BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................4
1.2 RUMUSAN MASALAH..................................................................................4
1.3 TUJUAN PRAKTIKUM..................................................................................4
1.4 BATASAN MASALAH....................................................................................4
BAB II DASAR TEORI...................................................................................................5
2.1 PENGUKURAN...............................................................................................5
2.1.1 Pengertian Pengukuran...............................................................................5
2.1.2 Metode Pengukuran....................................................................................5
2.2 ALAT UKUR DAN CARA PENGGUNANNYA...........................................6
2.2.1 Mikrometer.................................................................................................6
2.2.2 Jangka Sorong............................................................................................8
2.2.3 Bevel Protractor.......................................................................................10
2.3 SIFAT UMUM ALAT UKUR.......................................................................12
2.3.1 Rantai Kalibrasi dan Keterlacakan............................................................12
2.3.2 Kecermatan...............................................................................................12
2.3.3 Kepekaan..................................................................................................13
2.3.4 Keterbacaan..............................................................................................13
2.3.5 Histerisis...................................................................................................13
2.3.6 Kepasifan..................................................................................................14
2.3.7 Pergeseran................................................................................................14
2.3.8 Kestabilan Nol..........................................................................................15
2.3.9 Pengambangan / Ketidakpastian...............................................................15
2.4 AKURASI DAN PRESISI..............................................................................15
2.5 PENYIMPANGAN PENGUKURAN............................................................16
2.5.1 Penyimpangan pengukuran karena alat ukur............................................16
2.5.2 Penyimpangan pengukuran karena benda ukur.........................................17
2.5.3 Kesalahan pengukuran karena faktor si pengukur....................................17
2.5.4 Kesalahan karena faktor lingkungan.........................................................19
2.6 STATISTIK....................................................................................................20
2.6.1 One Sample T...........................................................................................20
2.6.2 One Way ANOVA....................................................................................21
1
BAB III METODE PENGUKURAN............................................................................22
3.1 Pengukuran Benda Ukur 1............................................................................22
3.2 Pengukuran Benda Ukur 2............................................................................24
3.3 Pengukuran Benda Ukur 3............................................................................25
3.4 Pengukuran Benda Ukur 4............................................................................27
BAB IV HASIL PENGUKURAN DAN PEMBAHASAN...........................................29
4.1 Pengukuran Kedalaman Menggunakan Jangka Sorong.............................29
4.2 Pengukuran Diameter Dalam Menggunakan Jangka Sorong....................33
4.3 Pengukuran Sudut Menggunakan Bevel Protactor......................................37
4.4 Pengukuran Diameter Luar Menggunakan Mikrometer............................42
4.5 Pengukuran Diameter Luar Menggunakan Mikrometer............................47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................................52
5.1 Kesimpulan.....................................................................................................52
5.2 Saran...............................................................................................................54
2
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
DASAR TEORI
2.1 PENGUKURAN
2.1.1 Pengertian Pengukuran
Pengukuran adalah suatu prosedur yang sistematis untuk memperoleh
informasi data kuantitatif baik data yang dinyatakan dalam bentuk angka
maupun uraian yang akurat, relevan, dan dapat dipercaya terhadap atribut yang
diukur dengan alat ukur yang baik dan prosedur pengukuran yang jelas dan
benar. Proses pengukuran akan menghasilkan data berupa angka yang diikuti
oleh besaran acuan. Besaran tersebut haruslah sudah sesuai standar.
2.1.2 Metode Pengukuran
a. Pengukuran Langsung
Proses pengukuran dengan memakai alat ukur langsung. Hasil
pengukuran langsung terbaca berdasarkan skala dari alat ukur. Tingkat
kecermatannya cukup rendah dan pemakaiannya dibatasi. Pengukuran
langsung terbagi jadi dua metode, yaitu:
- Pengukuran Tunggal
Pengukuran yang dengan satu kali pengukuran langsung diperoleh
hasil ukurnya berupa (x ± Δx) satuan dan jika dilakukan
pengukuran berulang hasilnya tetap sama.
- Pengukuran Berulang
Pengukuran berulang adalah pengukuran yang dilakukan secara
berulang atau berkali-kali pada satu variabel karena untuk sekali
pengukuran, hasil ukurnya belum dapat ditentukan karena setiap
pengulangan pengukuran memperoleh hasil yang berbeda.
b. Pengukuran Tidak Langsung
Proses pengukuran yang dilakukan menggunakan beberapa jenis alat
ukur pembanding. Perbedaan harga yang ditunjukkan oleh skala alat ukur
dibandingkan dengan ukuran standar dapat digunakan untuk menentukan
dimensi objek ukur. Tingkat kecermatannya lebih baik namun
membutuhkan waktu yang lebih lama. Pengukuran tidak langsung terbagi
jadi lima metode, yaitu:
- Metode Dasar
Metode dasar yaitu pengukuran besaran fisis yang langsung dibaca
pada alat ukurnya. Ketelitian hasil pengukuran dengan menggunakan
metode dasar sangat dipengaruhi oleh alat ukur. Misalnya: ralat titik
nol, kepekaan atau ketelitian skala alat ukur.
5
- Metode Selisih
Mengunakan standar atau referensi dalam pengukurannya. Hasil ukur
diperoleh dari nilai yang tertera pada alat ukur dikurangi dengan nilai
dari perangkat acuan/standar/referensi. Kepekaan alat ukur dapat
diperbaiki sesuai dengan ketelitian perangkat acuan. Kekurangan
metode ini adalah membutuhkan perangkat acuan/standar yang baik
sesuai dengan skala yang dikehendaki dan tidak praktis.
- Metode Nol
Metode Nol serupa dengan metode selisih, hanya selisihnya dibuat
sama dengan nol. Kelebihan metode ini adalah dapat menghilangkan
kesalahan titik nol dan kepekaan alat ukur menjadi tinggi. Kekurangan
metode ini adalah membutuhkan perangkat acuan/standar yang
nilainya dapat diubah-ubah hasil ukur tidak langsung terbaca pada alat
ukur, dan rangkaian/setup eksperimen menjadi lebih rumit.
- Metode Penggantian
Cara mengukur besaran yang diukur dengan mengganti dengan besaran
standar sehingga memberikan hasil penunjukan yang sama. Hasil ukur
diperoleh secara tidak langsung. Sistem yang bekerja adalah
tetap/sama, tetapi besaran yang akan diukur diganti dengan besaran
standar sehingga memberikan hasil penunjukan yang sama.
- Metode Penukaran
Hasil ukur diperoleh tidak secara langsung. Seluruh sistem ditukar
dengan sistem yang serupa, yang telah/dapat diketahui besarnya, yang
dapat dijadikan acuan.
6
Gambar 2.1 Mikrometer
(Sumber: websiteteknologi.com)
7
c. Memutar ratchet untuk menghasilkan perhitungan yang lebih presisi
dengan menggerakkan poros geser secara perlahan.
Setelah memastikan bahwa objek benar-benar terjepit diantara kedua
poros, hasil pengukuran dapat dibaca di skala utama dan skala nonius dengan
cara:
a. Pertama-tama posisikan mikrometer searah pandangan Anda, sehingga
Anda bisa melihat secara jelas skala yang dihasilkan dari pengukuran.
b. Kemudian, lanjutkan dengan membaca skala utama yang tertera pada
mikrometer sekrup. Angka di atas garis yang tertera menunjukan angka
bulat dalam satuan mm sebagai contoh 1 mm, 2 mm dan seterusnya.
Sementara pada garis skala bawah menunjukan angka 0,5 mm.
c. Apabila terlihat garis skala atas tertera angka 5 mm, sedangkan garis skala
bawah tertera 0,5 mm, maka jumlahkan kedua angka tersebut. Sehingga
dapat diketahui bahwa skala utama mikrometer tersebut adalah
menunjukan angka 5,5 mm.
d. Selanjutnya, bacalah skala putarnya (skala nonius) yaitu skala garis yang
berada segaris dengan garis pembagi di skala utama. Apabila suatu benda
yang diukur menunjukkan skala nonius 30, maka untuk mengetahui hasil
pengukuran kalikan 0,01 (30 x 0,01), maka hasilnya yaitu 0,30. Angka
0,30 merupakan hasil skala nonius dari suatu benda yang diukur.
e. Terakhir, untuk mengetahui jumlah dari pengukuran secara keseluruhan,
maka jumlahkan hasil pengukuran skala utama dan skala nonius. Seperti
pada contoh di atas maka hasil yang diperoleh yaitu 5,5 mm + 0,3 mm =
5,8 mm.
2.2.2 Jangka Sorong
Jangka Sorong adalah suatu alat ukur yang mempunyai ketelitian tinggi
mencapai seperseratus mm dan digunakan untuk mengukur satuan panjang,
diameter, dan kedalaman. Biasanya jangka sorong banyak digunakan di
manufaktur atau industri permesinan seperti mesin bubut, CNC, skrap, industri
otomotif, dan juga industri elektronik.
8
Gambar 2.2 Jangka Sorong dan bagian-bagiannya
(Sumber: pengelasan.net)
Jangka sorong mempunyai skala nonius yang bervariasi, mulai dari skala
0,01; 0,02; 0,05 dan beberapa skala lainnya. Selain itu alat ukur ini juga
mempunyai beberapa model atau tipe seperti jangka sorong analog, digital dan
manual. Berikut ini penjelasan mengenai bagian-bagian jangka sorong:
a. Skrup Pengunci (Locking Screw)
Berfungsi sebagai pengunci hasil pengukuran, sehingga hasil pengukuran
tidak akan berubah ketika dipegang sehingga hasil tetap akurat.
b. Rahang Luar (External Jaws)
Untuk mengukur satuan panjang, diameter luar sebuah silinder, atau untuk
mengukur ketebalan bentuk dimensi lainnya.
c. Rahang Dalam (Inner Jaws)
Sebagai pengukur bagian diameter dalam atau inside diameter.
d. Skala Utama
Nilai yang menunjukkan hasil pengukuran yang satuannya dapat dalam
mm, cm, dan inchi.
e. Skala Nonius
Sebagai skala pengukuran fraksi, untuk satuannya dapat berupa mm, cm
dan inchi. Sedangkan besarnya biasanya 0,05; 0,02; dan sebagainya.
f. Pengukur Kedalaman (Depth Probe)
Bagian ini berada di ujung dari jangka sorong yang berfungsi untuk
mengukur bagian kedalaman suatu benda atau kedalaman sebuah lubang.
Adapun cara membaca jangka sorong adalah sebagai berikut:
a. Geser Rahang Sejauh Ukuran Benda
Geser rahang ke arah benda dan pastikan tidak ada jarak atau kedua rahang
menyentuh dan menjepit benda.
9
b. Kunci/Rapatkan Screw Lock
Setelah posisi rahang sudah menyentuh benda, langkah selanjutnya adalah
mengunci screw lock. Tujuannya adalah agar hasil ukuran yang dilakukan
ini tidak berubah jika ada getaran, tersenggol dan dapat kita catat dengan
nilai yang sesuai.
c. Membaca Nilai Jangka Sorong
Langkah selanjutnya adalah membaca nilai,
- Skala Utama
Ambil contoh pada skala utama yang paling dekat atau berimpit
dengan angka 0 menunjukkan angka 7, sehingga nilainya adalah 7
mm.
- Skala Vernier atau Nonius
Ambil contoh di atas garis skala nonius yang sejajar dengan skala
utama adalah pada garis ketiga, sehingga nilainya 0,02 X 3 = 0,06
digabungkan dengan perhitungan sebelumnya maka pengukuran
menghasilkan nilai 7,06 mm.
- Untuk membaca ketelitian jangka sorong yang skala noniusnya
berbeda tinggal mengalikan saja, misalnya 0,05 berarti 0,05 dikalikan
garis yang sejajar dengan skala utama (7) berarti 7×0,05 = 0,35 mm.
2.2.3 Bevel Protractor
Bevel protractor merupakan sebuah alat ukur yang digunakan dalam
pengukuran sudut diantara dua permukaan benda ukur dengan tingkat ketelitian
lebih kecil daripada 1° yaitu mencapai 5’.
10
a. Skala Utama
Skala utama merupakan bagian dari bevel protractor yang berupa piringan
busur derajat yang dapat diputar dengan pembagian sudut dalam derajat
serta diberi nomor 0 – 90 – 0 – 90 (skala dari kiri ke kanan)
b. Pelat Dasar
Pelat dasar atau landasan adalah bagian yang menyatu dengan piringan dan
berfungsi sebagai penahan atau landasan pada permukaan benda ukur
ketika dilakukan pengukuran sudut.
c. Skala Nonius
Skala nonius terdapat pada piringan busur derajat dengan tingkat ketelitian
mencapai 5 menit.
d. Kaca Pembesar
Kaca pembesar terdapat pada beberapa jenis bevel protractor dan
berfungsi untuk mempermudah pembacaan skala utama dan skala nonius
yang saling sejajar.
e. Bilah
Bilah berfungsi sebagai landasan dan berbentuk pelat memanjang yang
kedua ujungnya membentuk sudut. Bilah merupakan bagian yang sangat
dinamis dan dapat digeser maupun dipindah sesuai dengan bentuk
permukaan dari benda ukur.
f. Pengunci Bilah
Pengunci bilah berfungsi untuk mengunci bilah agar tidak bergeser
maupun bergerak ketika dilakukan pengukuran sudut.
g. Pengunci Skala
Pengunci skala berfungsi untuk mengunci skala atau piringan agar tidak
bergerak maupun bergeser ketika dilakukan pengukuran sudut.
Adapun cara penggunaan bevel protractor adalah sebagai berikut:
1. Memosisikan benda kerja atau benda ukur.
2. Menggerakkan bilah dan menempelkan pada kedua permukaan benda ukur
yang akan diukur sudutnya.
3. Mengunci bilah serta piringan skala agar tidak bergeser.
4. Membaca hasil pengukuran pada skala utama dan skala nonius.
Prinsip pembacaan alat ukur bevel protractor ini tidak berbeda jauh
dengan pembacaan pada jangka sorong, namun pada bevel protractor skala
utamanya dalam satuan derajat dan skala noniusnya dalam satuan menit. Hal
yang perlu diperhatikan adalah pada pembacaan skala nonius harus satu arah
dengan arah pembacaan pada skala utama, sehingga perlu diperhatikan arah
bergesernya garis nol pada skala nonius terhadap garis pada skala utama.
11
2.3 SIFAT UMUM ALAT UKUR
2.3.1 Rantai Kalibrasi dan Keterlacakan
Kalibrasi (Peneraan) pada dasarnya serupa dengan pengukuran yaitu
membandingkan suatu besaran dengan besaran standar. Tingkat kebenaran
mengandung makna praktis. Untuk menjamin hubungannya dengan satuan
standar panjang internasional, alat ukur besaran panjang yang digunakan oleh
operator mesin perkakas (alat ukur kerja) dapat diperiksa melalui suatu
prosedur kalibrasi. Jika suatu prosedur kalibrasi ini dianggap sebagai suatu
mata rantai, rantai kalibrasi akan mencakup rangkaian mata rantai sebagai
berikut:
- Tingkat 1, Kalibrasi alat ukur kerja dengan memakai acuan alat ukur
standar kerja.
- Tingkat 2, Kalibrasi alat ukur standar kerja dengan memakai acuan alat
ukur standar.
- Tingkat 3, Kalibrasi alat ukur standar dengan acuan alat ukur standar
dengan tingkatan yang lebih tinggi (standar nasional atau yang telah ditera
secara nasional).
- Tingkat 4, Kalibrasi standar nasional dengan acuan standar meter
(internasional).
2.3.2 Kecermatan
Kecermatan alat ukur ditentukan oleh kecermatan skala dengan cara
pembacaannya. Bagi skala yang dibaca melalui garis indeks atau jarum
penunjuk kecermatan alat ukur sama dengan kecermatan skala yaitu arti jarak
antar garis skala". Bila dibaca dengan pertolongan skala nonius maka
kecermatan alat ukur sama dengan kecermatan interpolasi nonius. Jika
digunakan penunjuk digital kecermatan alat ukur diwakili oleh angka paling
kanan (angka satuan terkecil). Kecermatan dirancang sesuai dengan rancangan
bagian pengubah dan penunjuk alat ukur dengan memperhatikan kepekaan,
keterbacaan, dan kapasitas ukur. Kecermatan alat ukur biasanya bersifat tetap
tetapi ada pula alat ukur yang kecermatannya dapat diatur. Alat ukur dengan
pengubah elektrik dengan bagian penunjuk/pencatat elektrik sering dilengkapi
dengan attenuator pemilih harga pembesaran. Pembesaran yang dipilih akan
mengubah arti jarak antar garis-garis skala sehingga dapat mengubah
kecermatan. Alat ukur dipilih sesuai dengan kecermatannya yang dikaitkan
dengan besar-kecilnya daerah toleransi objek ukur. Prosedur pengukuran perlu
diikuti dengan seksama supaya kecermatan alat ukur bermanfaat dan
mempunyai makna pada hasil akhir yang dalam hal ini sering dinyatakan
dengan istilah ketepatan (keterulangan, precision, repeatability) dan ketelitian
(keakuratan, kebenaran; accuracy).
12
2.3.3 Kepekaan
Kepekaan alat ukur secara umum mengacu kepada dua hal. Pada beberapa
kasus kepekaan menyatakan perubahan terkecil nilai peubah yang diukur di
mana alat ukur memberikan tanggapan sementara aliran pemikiran lain
menganggap kepekaan sebagai ukuran perubahan yang dihasilkan oleh alat
ukur untuk suatu perubahan peubah yang diukur. Daerah mati (dead zone)
adalah rentang nilai terbesar dari peubah yang diukur dimana alat ukur tidak
memberikan tanggapan. Daerah mati biasanya terjadi karena gesekan pada alat
pencatat. Juga ditemukan jenis mekanisme tertentu yang hanya dapat
menunjukkan sedikit perubahan dan perubahan diskrit dari nilai peubah yang
diukur. Kepekaan suatu alat ukur berkaitan erat dengan sistem mekanisme dari
pengubahnya. Makin teliti sistem pengubah mengolah isyarat dari sensor maka
makin peka pula alat ukurnya.
2.3.4 Keterbacaan
Kalau kepekaan berkaitan erat dengan sistem pengubah maka kemudahan
baca berkaitan erat dengan sistem skala yang dibuat. Jadi, kemampuan alat
ukur untuk menunjukkan harga yang jelas pada skala ukurnya dapat diartikan
sebagai kemudahan baca alat ukur tersebut. Pembuatan skala nonius dengan
sistem yang lebih terinci memegang peranan penting dalam masalah
kemudahan baca. Akhir-akhir ini sistem penunjuk digital secara elektronis
banyak digunakan dalam rangka mencari kemudahan baca yang tinggi.
2.3.5 Histerisis
Pada waktu dilakukan pengukuran sudut benda kerja di atas batang sinus
(sine bar) atau dengan senter sinus (sine center) dengan menggunakan alat
ukur pembanding jam ukur (dial indicator) biasanya dilakukan pengukuran
bolak-balik. Bolak-balik di sini artinya jam ukur digerakkan dalam dua arah
yaitu dari titik terendah menuju titik tertinggi dari benda ukur, dan dari titik
tertinggi menuju ke titik terendah. Kalau diperhatikan pengukuran pada waktu
menuju ke titik tertinggi dan kembali ke titik terendah kadang-kadang
didapatkan penyimpangan. Penyimpangan yang terjadi sewaktu dilakukan
pengukuran dari titik terendah (titik nol) sampai titik tertinggi (maksimum)
kemudian kembali lagi dari titik tertinggi sampai ke titik terendah disebut
dengan histerisis. Kalau digambarkan maka dapat dilihat secara grafis adanya
perbedaan tersebut,
13
Gambar 2.4 Histerisis
Perbedaan tersebut timbul karena pada waktu poros jam ukur bergerak ke
atas banyak gaya-gaya yang harus dilawannya seperti gaya pegas dan gaya
gesek, pada waktu poros jam ukur turun gaya pegas malah mendorongnya
tetapi gaya gesekan harus dilawannya. Kita lihat garis grafik waktu naik
berbeda dengan garis grafik waktu turun. Seharusnya garis grafik waktu turun
dan garis grafik waktu naik dapat berimpit walaupun kesalahan pengukuran
dapat terjadi. Untuk menghindari histerisis maka gesekan poros dengan
bantalannya harus dibuat seminimum mungkin. Kalaupun ada pengaruh
histerisis, pengaruh ini dapat dikurangi dengan jalan membuat tinggi susunan
blok ukur kirakira sama dengan tinggi benda ukur, sehingga dengan demikian
perbedaan ukuran yang ditunjukkan oleh jam ukur relatif kecil.
2.3.6 Kepasifan
Kadang-kadang sewaktu dilakukan pengukuran terjadi pula bahwa jarum
penunjuk skala tidak bergerak sama sekali pada waktu terjadi perbedaan harga
yang kecil. Atau dapat dikatakan isyarat yang kecil dari sensor alat ukur tidak
menimbulkan perubahan sama sekali pada jarum penunjuknya. Keadaan yang
demikian inilah yang sering disebut dengan kepasifan atau kelambatan gerak
alat ukur. Untuk alat-alat ukur mekanis kalaupun terjadi kepasifan atau
kelambatan gerak jarum penunjuknya mungkin disebabkan oleh pengaruh
pegas yang sifat elastisnya kurang sempurnya. Pada alat ukur pneumatis juga
sering terjadi kepasifan ini misalnya lambatnya reaksi dari barometer padahal
sudah terjadi perubahan tekanan udara. Hal ini disebabkan volume udaranya
terlalu besar akibat dari terlalu panjangnya pipa penghubung sensor dengan
ruang perantara.
2.3.7 Pergeseran
Pergeseran adalah penyimpangan yang terjadi dari harga-harga yang
ditunjukkan pada skala atau yang tercatat pada kertas grafik padahal sensor
tidak melakukan perubahan apa-apa. Kejadian seperti ini sering disebut dengan
istilah pergeseran, banyak terjadi pada alat-alat ukur elektris yang komponen-
komponennya sudah tua.
14
2.3.8 Kestabilan Nol
Salah satu contoh kasus, pada waktu mengukur dengan jam ukur,
kemudian secara tiba-tiba diambil benda ukurnya, maka seharusnya jarum
penunjuk kembali pada posisi nol semula. Akan tetapi, sering terjadi bahwa
jarum penunjuknya tidak kembali ke posisi nol. Keadaan ini disebut dengan
kestabilan nol yang tidak baik. Salah satu penyebab tidak kembalinya pada
posisi nol adalah adanya keausan pada sistem penggerak jarum penunjuk.
Dengan demikian jelaslah bahwa banyak sekali hal-hal yang dapat
menimbulkan penyimpangan dalam pengukuran yang salah satunya disebabkan
oleh sifat-sifat dari alat ukur itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mengurangi
banyaknya penyimpangan perlu dilakukan pengecekan alat-alat ukur, baik
yang belum digunakan, lebih-lebih lagi untuk alat-alat ukur yang sering
digunakan. Jadi, kalibrasi alat ukur memang sangat diperlukan, disamping
untuk mengecek sifat-sifat dari alat ukur. Kalau hal yang demikian ini
dilakukan secara rutin maka penyimpangan pengukuran yang timbul dari alat
ukur bisa dikurangi menjadi sekecil mungkin.
2.3.9 Pengambangan / Ketidakpastian
Terkadang terjadi pada jarum penunjuk dari alat ukur yang digunakan
posisinya berubah-ubah. Atau jika penunjuknya dengan sistem digital, angka
paling kanan atau angka terakhir berubah-ubah. Kejadian seperti ini dinamakan
pengambangan. Kepekaan dari alat ukur akan membuat perubahan kecil dari
sensor diperbesar oleh pengubah. Makin peka alat ukur makin besar pula
kemungkinan terjadinya pengambangan. Untuk itu, bila menggunakan alat-alat
ukur yang mempunyai jarum penunjuk pada skalanya, atau pada penunjuk
digital harus dihindari adanya kotoran atau getaran, dan juga harus digunakan
metode pengukuran yang secermat mungkin.
2.4 AKURASI DAN PRESISI
15
Suatu alat ukur dikatakan tepat jika mempunyai akurasi yang baik, yaitu hasil
ukur menunjukkan ketidakpastian yang kecil. Keakuratan sebuah eksperimen
diukur dari seberapa dekat hasil ukur dengan nilai sebenarnya. Dalam hal ini
sebelum sebuah alat ukur digunakan, harus dipastikan bahwa kondisi alat sudah
dalam keadaan terkalibrasi dengan baik. Kalibrasi yang buruk akan menyebabkan
kesalahan dalam pengukuran yaitu hasil pengukuran yang tidak tepat dengan hasil
yang sebenarnya sebesar kesalahan dalam kalibrasi tersebut. Sedangkan sebuah
alat ukur dikatakan presisi jika untuk pengukuran besaran fisis tertentu yang
diulang, maka alat ukur tersebut mampu menghasilkan hasil ukur yang sama
seperti sebelumnya. Kepresisian eksperimen diukur dari seberapa baik hasil yang
ditetapkan, tanpa referensi yang sesuai dengan nilai sebenarnya.
Gambar 2.5 Ilustrasi Akurasi dan Presisi
16
yang berbeda, menggunakan metode yang sama tetapi peralatan yang berbeda
untuk menganalisis sampel bahan uji yang identik.
2.5 PENYIMPANGAN PENGUKURAN
2.5.1 Penyimpangan pengukuran karena alat ukur
Sebelumnya diatas telah disinggung adanya bermacam-macam sifat alat
ukur. Kalau sifat-sifat yang merugikan ini tidak diperhatikan tentu akan
menimbulkan banyak kesalahan dalam pengukuran. Oleh karena itu, untuk
mengurangi terjadinya penyimpangan pengukuran sampai seminimal mungkin
maka alat ukur yang akan dipakai harus di kalibrasi terlebih dahulu. Kalibrasi
ini diperlukan di samping untuk mengecek kebenaran skala ukurnya juga untuk
menghindari sifat-sifat yang merugikan dari alat ukur, seperti kestabilan nol,
kepasifan, pengambangan, dan sebagainya.
2.5.2 Penyimpangan pengukuran karena benda ukur
Tidak semua benda ukur berbentuk pejal yang terbuat dari besi, seperti rol
atau bola baja, balok dan sebagainya. Kadang-kadang benda ukur terbuat dari
bahan alumunium, misalnya kotak-kotak kecil, silinder, dan sebagainya. Benda
ukur seperti ini mempunyai sifat elastis, artinya bila ada beban atau tekanan
dikenakan pada benda tersebut maka akan terjadi perubahan bentuk. Bila tidak
hati-hati dalam mengukur benda- benda ukur yang bersifat elastis maka
penyimpangan hasil pengukuran pasti akan terjadi. Oleh karena itu, tekanan
kontak dari sensor alat ukur harus diperkirakan besarnya.
Di samping benda ukur yang elastis, benda ukur tidak elastis pun tidak
menimbulkan penyimpangan pengukuran misalnya batang besi yang
mempunyai penampang memanjang dalam ukuran yang sama seperti pelat
besi, poros-poros yang relatif panjang dan sebagainya. Batang-batang seperti
ini bila diletakkan di atas dua tumpuan akan terjadi lenturan akibat berat batang
sendiri. Untuk mengatasi hal itu biasanya jarak tumpuan ditentukan sedemikian
rupa sehingga diperoleh kedua ujungnya tetap sejajar. Jarak tumpuan yang
terbaik adalah 0.577 kali panjang batang dan juga yang jaraknya 0.544 kali
panjang batang. Gambar di bawah menunjukkan letak tumpuan yang
seharusnya dipasang. Titik tumpuan ini biasanya disebut dengan Titik Airy
(Airy point).
17
Dapat dilihat pada gambar bahwa walaupun ada lenturan, kedua
permukaan ujung batang tetap dalam keadaan sejajar. Besarnya lenturan
diujung dan di tengah adalah sama karena lenturannya ternilai minim. Kadang-
kadang diperlukan juga penjepit untuk memegang benda ukur agar posisinya
mudah untuk diukur. Pemasangan penjepit ini pun harus diperhatikan betul-
betul agar pengaruhnya terhadap benda kerja tidak menimbulkan perubahan
bentuk sehingga bisa menimbulkan penyimpangan pengukuran.
2.5.3 Kesalahan pengukuran karena faktor si pengukur
Kesalahan pengukuran dari faktor manusia ini dapat dibedakan antara lain
sebagai berikut:
18
dilihat beberapa contoh posisi alat ukur yang kurang tepat pada waktu
melakukan pengukuran.
Gambar 2.7 Kesalahan karena pengaturan posisi alat ukur yang kurang tepat
c. Kesalahan karena pembacaan skala ukur
Kurang terampilnya seseorang dalam membaca skala ukur dari alat
ukur yang sedang digunakan akan mengakibatkan banyak terjadi
penyimpangan hasil pengukuran. Kebanyakan yang terjadi karena kesalahan
posisi waktu membaca skala ukur. Kesalahan ini sering disebut, dengan
istilah paralaks. Paralaks sering kali terjadi pada si pengukur yang kurang
memperhatikan bagaimana seharusnya dia melihat skala ukur pada waktu
alat ukur sedang digunakan. Di samping itu, si pengukur yang kurang
memahami pembagian divisi dari skala ukur dan kurang mengerti membaca
skala ukur yang ketelitiannya lebih kecil daripada yang biasanya
digunakannya juga akan berpengaruh terhadap ketelitian hasil
pengukurannya.
Jadi, faktor manusia memang sangat menentukan sekali dalam proses
pengukuran. Sebagai orang yang melakukan pengukuran harus menetukan
alat ukur yang tepat sesuai dengan bentuk dan dimensi yang akan diukur.
Untuk memperoleh hasil pengukuran yang betul-betul dianggap presisi tidak
hanya diperlukan asal bisa membaca skala ukur saja, tetapi juga diperlukan
pengalaman dan ketrampilan dalam menggunakan alat ukur. Ada beberapa
faktor yang harus dimiliki oleh seseorang yang akan melakukan pengukuran
yaitu:
- Memiliki pengetahuan teori tentang alat ukur yang memadai dan
memiliki ketrampilan atau pengalaman dalam praktek-praktek
pengukuran.
19
- Memiliki pengetahuan tentang sumber-sumber yang dapat
menimbulkan penyimpangan dalam pengukuran dan sekaligus tahun
bagaimana cara mengatasinya.
- Memiliki kemampuan dalam persoalan pengukuran yang meliputi
bagaimana menggunakannya, bagaimana, mengkalibarasi dan
bagaimana memeliharanya.
2.5.4 Kesalahan karena faktor lingkungan
Random error akibat lingkungan bisa diartikan sebagai kesalahan yang
tidak disengaja dan tidak dapat dikendalikan dikarenakan faktor lingkungan
yang tidak menentu dan bisa menyebabkan kesalahan dalam pengukuran.
Kesalahan pengukuran yang disebabkan oleh kondisi lingkungan disebut
Environmental Random Error. Berikut merupakan contoh Environmental
Random Error:
a. Terjadinya fluktuasi tegangan listrik, misalnya sumber tegangan dari PLN
atau generator AC dan bahkan aki (baterai), hal ini dapat menyebabkan
perubahan kecil yang tidak teratur dan berlalu sangat cepat sehingga
membuat alat ukur berbasis listrik menjadi tidak bekerja sebagaimana
mestinya.
b. Cahaya terik matahari atau melakukan pengukuran di tempat redup dapat
mengganggu pengamatan spesimen dan juga angka hasil pengukuran.
c. Radiasi latar-belakang, misal radiasi gelombang elektromagnetik
handphone, sinar X, kamera digital, radiasi gelombag radio, radiasi dari
sebuah antena dan sebagainya. Beberapa radiasi ini dapat menggangu
pengukuran, terutama alat ukur yang menggunakan basis gelombang dan
sinar.
d. Getaran pada base atau landasan alat ukur, misal pada alat pengukur gempa
(seismograf). Alat ini sangat peka dan dapat terganggu apabila landasan
telah bergetar.
Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan
memperhatikan kelayakan kondisi lingkungan sekitar. Kelayakan ini dapat
diartikan bahwa tidak ada distraksi atau gangguan yang dapat mengintervensi
komponen pengukuran, baik terhadap benda dan alat ukur, maupun praktikan
sendiri. Maka dari itulah dalam sebuah praktikum digunakan batasan masalah
agar segala sesuatu yang tidak dapat diperkirakan secara akurat, dapat
diabaikan efeknya selama akibat dari efek tersebut masih bisa ditolerir.
2.6 STATISTIK
2.6.1 One Sample T
One sample t test membandingkan rata-rata data sampel dengan suatu nilai
yang diketahui. Contohnya, apabila ingin mengetahui perbandingan rata-rata
20
sampel dan populasi. Harus dilakukan one sample t test saat standar deviasi
populasi tidak diketahui atau memiliki ukuran sampel yang kecil. Asumsi dari
tes ini, antara lain:
a. Data bersifat independen.
b. Data dikumpulkan secara acak.
c. Data yang ada diperkirakan mengalami distribusi normal.
Langkah-langkah dari tes ini antara lain:
1. Tentukan null hypothesis
2. Tentukan alternative hypothesis
3. Temukan informasi berikut untuk menghitung statistik tes,
- Rata-rata sampel (x̄)
- Rata-rata populasi (μ)
- Standar deviasi sampel (s)
- Jumlah observasi (n)
4. Hitung nilai t dengan rumus berikut,
x́−μ
t=
s
√n
5. Temukan nilai t dari tabel distribusi t. Nilainya ditentukan dengan melihat
nilai level signifikansi, biasanya 5%, dan nilai degrees of freedom.
6. Bandingkan nilai thitung dengan nilai ttabel. Apabila nilai thitung berada di daerah
penolakan yang ditentukan oleh nilai ttabel maka null hypothesis ditolak,
berlaku juga sebaliknya.
2.6.2 One Way ANOVA
One-way analysis of variance (ANOVA) digunakan untuk
membandingkan beberapa rata-rata populasi berdasarkan sampel acak
sederhana dari masing-masing populasi. Populasi diasumsikan normal dengan
kemungkinan rata-rata yang berbeda dan standar deviasi yang sama. Untuk
melakukan analysis of variance, tahapannya adalah sebagai berikut:
1. Pertama, hitung rata-rata sampel dan seluruh standar deviasinya.
2. Tuliskan hasil dalam bentuk tabel agar lebih mudah dibandingkan.
3. Periksa plot kuantil Normal (baik untuk setiap grup secara terpisah atau
untuk residu) untuk mendeteksi pencilan atau penyimpangan ekstrim dari
Normalitas.
4. Hitung rasio dari standar deviasi terbesar hingga standar deviasi terkecil.
Jika rasionya lebih kecil dari 2 dan plot kuantil Normal sudah sesuai maka
ANOVA bisa dilakukan.
21
5. Tentukan hipotesis, untuk null hypothesis dimana rata-rata populasi
semuanya setara. Sedangkan untuk alternative hypothesis dimana ada
selisih di antara rata-rata populasi.
6. ANOVA memiliki prinsip dasar memisah total varian yang diamati pada
data menjadi dua bagian: varian di antara grup atau varian di dalam grup.
Jika varian di antara grup lebih besar dibandingkan varian di dalam grup,
maka itu merupakan bukti yang menolak null hypothesis. Sebuah analisis
tabel varian mengelompokkan hasil perhitungan ANOVA dimana di
dalamnya terdapat degrees of freedom, jumlah kuadrat, dan rata-rata
kuadrat. F statistic dan P-value digunakan untuk menguji null hypothesis.
BAB III
METODE PENGUKURAN
22
Bagian yang ditunjuk pada benda ukur 1 pada Gambar 3.1 dapat diukur
menggunakan jangka sorong. Percobaan pengukuran menggunakan jangka sorong
dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Tentukan kecermatan dari jangka sorong yang akan dipakai terlebih dahulu
sebelum melakukan pengukuran.
2. Bersihkan jangka sorong dan benda yang akan diukur sebelum melakukan
pengukuran.
3. Pastikan skala nonius dapat bergeser dengan bebas.
4. Pastikan ketepatan angka nol pada kedua skala terlebih dahulu.
5. Usahakan benda yang diukur sedekat mungkin dengan skala utama.
6. Tempatkan jangka sorong tegak lurus pada benda yang berputar dan pada titik
yang sudah ditentukan, kemudian diukur.
7. Jangan terlalu kuat dalam menekan pada saat pengukuran karena dapat
menimbulkan kerusakan pada rahang ukur maupun pada pengukuran dalam.
8. Gunakan baut pengunci agar rahang tidak bergeser tetapi jangan terlalu kuat
pengencangannya, karena dapat menimbulkan kerusakan pada alat ukur.
9. Pada saat melakukan pembacaan skala nonius, pastikan jangka sorong
diangkat dari benda kerja.
10. Lakukan pengukuran pada diameter luar, diameter dalam dan kedalaman.
11. Catat hasil pengukuran.
12. Lakukan langkah 10-11 sebanyak 5 kali untuk masing-masing pengukuran.
23
Gambar 3.2 Flowchart pengukuran Benda Ukur 1
24
3.2 Pengukuran Benda Ukur 2
Bevel Protractor
α
α
25
Gambar 3.5 Flowchart pengukuran Benda Ukur 2
26
5. Jangan menekan poros ukur terlalu keras pada benda ukur. Gunakan momen
putar ke titik poros untuk mencapai benda ukur.
6. Lakukan pengukuran pada titik yang sudah ditentukan, kemudian catat hasil
ukurannya pada lembar data.
7. Lakukan pengukuran sampai lima kali.
27
3.4 Pengukuran Benda Ukur 4
28
Gambar 3.9 Flowchart pengukuran Benda Ukur 4
29
BAB IV
HASIL PENGUKURAN DAN PEMBAHASAN
Gambar 4.1 Grafik data hasil pengukuran diameter luar menggunakan jangka
sorong
Dilihat dari grafik dan tabel diatas dapat dilihat hasil pengukuran diameter
luar menggunakan jangka sorong yang dilakukan sebanyak 5 kali oleh tiap
praktikan. Pada tabel 4.1, diketahui bahwa data acuan pengukuran adalah 2.9.
Dari pengukuran yang dilakukan oleh Agha didapatkan hasil 3.30 mm, 2.9
mm 3.15 mm, 3.00 mm, 3.30 mm. Dari pengukuran yang dilakukan oleh Anas
30
didapatkan hasil 2.90 mm, 2.9 mm, 2.9 mm, 2.95 mm, 2.9 mm. Dari
pengukuran yang dilakukan oleh Rayhan didapatkan hasil 3.3 mm, 2.9 mm,
3.2 mm, 3.0mm, 3.2 mm. Dari pengukuran yang dilakukan oleh Data
didapatkan 3.25 mm, 2.95 mm, 3.20 mm, 2.90 mm, 3.35 mm. Dari
pengukuran yang dilakukan oleh Afif didapatkan hasil 3.3 mm, 2.9 mm, 3.2
mm, 3.0 mm, 3.2 mm. Dari pengukuran yang dilakukan oleh Daffa didapatkan
hasil 3.2 mm, 2.9 mm, 3.3 mm, 3.0 mm, 3.2 mm. Dari pengukuran yang
dilakukan oleh Raisha didapatkan hasil 3.30 mm, 2.9 mm, 3.15 mm, 3.0 mm,
3.25 mm.
Test
Null hypothesis H₀: μ = 2,9
Alternative H₁: μ ≠ 2,9
hypothesis
T-
Sample Value P-Value
31
Gambar 4.2 Hasil one-sample t pengukuran kedalaman menggunakan jangka
sorong
32
Gambar 4.3 Hasil one-way ANOVA pengukuran kedalaman menggunakan jangka
sorong
33
4.2 Pengukuran Diameter Dalam Menggunakan Jangka Sorong
Tabel 4.2 Data hasil pengukuran diameter dalam menggunakan jangka sorong
Diameter Luar Menggunakan Jangka Sorong
Ukuran (mm)
Nama
1 2 3 4 5 Acuan
Agha 12,05 12 12,05 11,95 12,05
Anas 11,95 12 12,1 12,05 12,1
Rayhan 12,05 12 12,05 11,95 12
Data 12,05 11,95 12,05 12,05 12,05 12.05
Afif 12 12 11,05 11,95 12
Daffa 12,05 12,05 12,05 12,05 12,05
Raisha 12,05 12 12,05 11,9 12,05
Gambar 4.4 Grafik data hasil pengukuran diameter dalam menggunakan jangka
sorong
34
didapatkan hasil 12,05 mm, 12 mm, 12,05 mm, 11,95 mm, dan 12 mm. Dari
pengukuran yang dilakukan oleh Data didapatkan hasil 12,05 mm, 11,95 mm,
12,05 mm, 12,05 mm, dan 12,05 mm. Dari pengukuran yang dilakukan oleh
Afif didapatkan hasil 12 mm, 12 mm, 12,05 mm, 11,95 mm, dan 12 mm.
Dari pengukuran yang dilakukan oleh Daffa didapatkan hasil 12,05 mm,
12,05 mm, 12,05 mm, 12,05 mm, dan 12,05 mm. Dari pengukuran yang
dilakukan oleh Raisha didapatkan hasil 12,05 mm, 12 mm, 12,05 mm, 11,9
mm, dan 12,05 mm.
Test
Null hypothesis H₀: μ = 12,05
Alternative H₁: μ ≠ 12,05
hypothesis
Sampl T-
e Value P-Value
35
Gambar 4.5 Hasil one-sample t pengukuran diameter dalam menggunakan jangka
sorong
Factor Information
Facto
r Levels Values
Analysis of Variance
Sourc F-
e DF Adj SS Adj MS Value P-Value
Model Summary
R-
S R-sq sq(adj) R-sq(pred)
36
0,0470562 13,55% 0,00% 0,00%
Means
Factor N Mean StDev 95% CI
12,075
12,050
Data
12,025
12,000
11,975
11,950
Agha Anas Rayhan Data Afif Daffa Raisha
37
a. Rata-rata
1
x́= ∑ X i
n
1
x́= ( 12,05+11,95+ 12,05+12,05+12,05 ) mm
5
x́=12.03 mm
b. Deviasi Standar
1
S= (√ n−1 ∑ ( X − x́ ) )
i
2
S=0,0447 mm
38
Data 140.08 139.92 140.33 140.33 140.00
Afif 140.00 140.50 140.33 140.00 140.00
Daffa 140.17 139.92 140.33 140.50 140.00
Raisha 140.00 140.50 140.33 140.00 140.08
140.50
140.00
139.50
139.00
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
Pengukuran Ke-
39
Anas 5 140,100 0,208 0,093 (139,842; 140,358)
Rayhan 5 140,450 0,326 0,146 (140,045; 140,855)
Data 5 140,132 0,189 0,085 (139,897; 140,367)
Afif 5 140,166 0,235 0,105 (139,874; 140,458)
Daffa 5 140,184 0,237 0,106 (139,890; 140,478)
Raisha 5 140,182 0,223 0,100 (139,905; 140,459)
μ: mean of Agha; Anas; Rayhan; Data; Afif; Daffa; Raisha
Test
Null hypothesis H₀: μ = 140,25
Alternative hypothesis H₁: μ ≠ 140,25
40
Equal variances were assumed for the analysis.
Factor Information
Factor Levels Values
Factor 7 Agha; Anas; Rayhan; Data; Afif; Daffa; Raisha
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
Factor 6 0,6570 0,10950 1,69 0,160
Error 28 1,8120 0,06471
Total 34 2,4690
Model Summary
S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred)
0,254390 26,61% 10,88% 0,00%
Means
Factor N Mean StDev 95% CI
Agha 5 140,450 0,326 (140,217; 140,683)
Anas 5 140,100 0,208 (139,867; 140,333)
Rayhan 5 140,450 0,326 (140,217; 140,683)
Data 5 140,132 0,189 (139,899; 140,365)
Afif 5 140,166 0,235 (139,933; 140,399)
Daffa 5 140,184 0,237 (139,951; 140,417)
Raisha 5 140,182 0,223 (139,949; 140,415)
41
Gambar 4.9 Hasil one-way ANOVA pengukuran sudut menggunakan bevel
protactor
1
x́= ( 140,17+140,25+140,25+139,75+140,08 ) °
5
x́=140,10 °
b. Deviasi Standar
1
S= (√ n−1 ∑ ( X − x́ ) )
i
2
S=0,208°
42
bilah dan pelat dasar bevel protactor tidak dapat secara sempurna menempel
pada bidang benda ukur.
43
pengukuran yang dilakukan oleh Agha, Anas, Rayhan, Data, Afif, Daffa, dan
Raisha untuk percobaan pertama sampai keempat sama yaitu mendapatkan
hasil pada percobaan pertama 15,11, percobaan kedua 15,1, percobaan ketiga
15,11, percobaan keempat 15,1, Lalu mendapatkan hasil 15,11 pada percobaan
kelima kecuali Agha dan Afif yang mendapatkan hasil 15,1.
Test
Null hypothesis H₀: μ = 15,1
Alternative hypothesis H₁: μ ≠ 15,1
44
dan α = 0,05 dengan hipotesis H 0, µ1 = µ0 dan H1, µ1 ≠ µ0. Jika diperoleh
P-Value yang lebih besar dari α, menunjukkan bahwa hasil pengukuran
masih dalam batas toleransi yang diberikan terhadap data acuan. Jika P-
Value lebih kecil dari α, menunjukkan bahwa H0 ditolak, berarti data
hasil pengukuran masuk H1. Didapatkan nilai P-Value dari praktikan
Anas, Rayhan, Data, Daffa, Raisha yaitu 0,070, sedangkan Agha dan
Afif sebesar 0,178. Dari nilai P-Value yang sudah diperoleh dapat
disimpulkan bahwa seluruh data milik praktikan gagal ditolak karena P-
Value > α.
Factor Information
Factor Levels Values
Factor 7 Agha; Anas; Rayhan; Data; Afif; Daffa; Raisha
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
Factor 6 0,000029 0,000005 0,16 0,986
Error 28 0,000840 0,000030
Total 34 0,000869
Model Summary
S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred)
0,0054772 3,29% 0,00% 0,00%
Means
Factor N Mean StDev 95% CI
Agha 5 15,1040 0,0055 (15,0990; 15,1090)
Anas 5 15,1060 0,0055 (15,1010; 15,1110)
Rayhan 5 15,1060 0,0055 (15,1010; 15,1110)
Data 5 15,1060 0,0055 (15,1010; 15,1110)
Afif 5 15,1040 0,0055 (15,0990; 15,1090)
45
Daffa 5 15,1060 0,0055 (15,1010; 15,1110)
Raisha 5 15,1060 0,0055 (15,1010; 15,1110)
1
x́= ( 15,11+15,1+15,11+15,1+15,11 ) mm
5
x́=15,106 mm
b. Deviasi Standar
46
1
S= (√ n−1 ∑ ( X − x́ ) )
i
2
S=0,0003 mm
47
4.5 Pengukuran Diameter Luar Menggunakan Mikrometer
10
8
6
4
2
0
0 2 4 6 8 10 12
Pengukuran Ke-
48
8,73 mm, 8,72 mm, dan 8,72 mm. Dari pengukuran yang dilakukan oleh Daffa
didapatkan hasil 8,72 mm, 8,72 mm, 8,73 mm, 8,73 mm, dan 8,73 mm. Dari
pengukuran yang dilakukan oleh Raisha didapatkan hasil 8,73 mm, 8,73 mm,
8,73 mm, 8,72 mm, dan 8,72 mm.
Descriptive Statistics
Sample N Mean StDev SE Mean 95% CI for μ
Agha 5 8,72400 0,00548 0,00245 (8,71720; 8,73080)
Anas 5 8,73200 0,00447 0,00200 (8,72645; 8,73755)
Rayhan 5 8,72400 0,00548 0,00245 (8,71720; 8,73080)
Data 5 8,72800 0,00447 0,00200 (8,72245; 8,73355)
Afif 5 8,72400 0,00548 0,00245 (8,71720; 8,73080)
Daffa 5 8,72600 0,00548 0,00245 (8,71920; 8,73280)
Raisha 5 8,72600 0,00548 0,00245 (8,71920; 8,73280)
Test
Null hypothesis H₀: μ = 8,73
Alternative hypothesis H₁: μ ≠ 8,73
49
masih dalam batas toleransi yang diberikan terhadap data acuan. Jika P-
Value lebih kecil dari α, menunjukkan bahwa H0 ditolak, berarti data
hasil pengukuran masuk H1. Didapatkan nilai P-Value dari masing-
masing data yaitu Agha sebesar 0,070; Anas sebesar 0,374; Rayhan
sebesar 0,070; Data sebesar 0,374; Afif sebesar 0,070; Daffa sebesar
0,178; dan Raisha sebesar 0,178. Dari nilai P-Value yang sudah
diperoleh dapat disimpulkan bahwa seluruh data milik praktikan gagal
ditolak karena P-Value > α.
Factor Information
Factor Levels Values
Factor 7 Agha; Anas; Rayhan; Data; Afif; Daffa; Raisha
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
Factor 6 0,000257 0,000043 1,58 0,190
Error 28 0,000760 0,000027
Total 34 0,001017
Model Summary
S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred)
0,0052099 25,28% 9,27% 0,00%
Means
Factor N Mean StDev 95% CI
Agha 5 8,72400 0,00548 (8,71923; 8,72877)
Anas 5 8,73200 0,00447 (8,72723; 8,73677)
Rayhan 5 8,72400 0,00548 (8,71923; 8,72877)
Data 5 8,72800 0,00447 (8,72323; 8,73277)
Afif 5 8,72400 0,00548 (8,71923; 8,72877)
Daffa 5 8,72600 0,00548 (8,72123; 8,73077)
Raisha 5 8,72600 0,00548 (8,72123; 8,73077)
50
Pooled StDev = 0,00520988
1
x́= ( 8,72+8,73+ 8,73+8,73+8,73 ) mm
5
x́=8,728 mm
b. Deviasi Standar
1
S= (√ n−1 ∑ ( X − x́ ) )
i
2
51
[ ( 8,72−8,728 )2+ ( 8,73−8,728 )2 +( 8,73−8,728 )2 +( 8,73−8,728 )2 + ( 8,73−8,728 )2 ]
S=
√ 5−1
S=0,0047 mm
52
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum metrologi industri yang telah dilakukan oleh praktikan,
didapatkan beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Alat ukur yang digunakan selama proses praktikum dapat digunakan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mikrometer
- Meletakkan objek yang akan diukur hingga menempel dengan
poros tetap.
- Memutar thimble hingga objek terhimpit oleh poros tetap dan poros
geser.
- Memutar ratchet knob untuk menghasilkan perhitungan yang lebih
presisi dengan menggerakkan poros geser secara perlahan.
- Setelah memastikan bahwa objek benar-benar terjepit diantara
kedua poros, hasil pengukuran dapat dibaca di skala utama dan
skala nonius.
b. Jangka Sorong
- Menggeser rahang luar sejauh ukuran benda, setelah objek
diletakkan rahang harus tepat digeser sejauh ukuran benda dan
tidak boleh ada celah antara kedua rahang dengan benda ukur.
- Merapatkan sekrup pengunci setelah posisi rahang sudah
menyentuh benda. Tujuannya adalah agar hasil ukuran yang
dilakukan tidak berubah jika ada getaran atau tersenggol.
- Membaca nilai yang terukur pada jangka sorong.
c. Bevel Protactor
- Memosisikan benda kerja atau benda ukur.
- Menggerakkan bilah dan menempelkan pada kedua permukaan
benda ukur yang akan diukur sudutnya.
- Mengunci bilah serta piringan skala agar tidak bergeser.
- Membaca hasil pengukuran pada skala utama dan skala nonius.
2. Penentuan presisi dan akurasi dari hasil pengukuran dapat dilakukan
dengan cara :
a. Presisi: persebaran data menunjukkan hasil yang sama jika
pengukuran diulang secara identik.
b. Akurasi: penunjukan data proses pengukuran memiliki nilai
mendekati harga sebenarnya dari objek ukur.
53
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran adalah :
- Faktor penyimpangan dari alat ukur, biasanya terjadi karena alat ukur
belum dikalibrasi.
- Faktor penyimpangan dari benda ukur, biasanya karena benda ukur
memiliki sifat yang elastis, yang apabila benda ukur tersebut terkena
gaya, seperti terjadi beban atau tekanan, maka dimensi benda ukur
tersebut akan berubah, dan menyebabkan kesalahan pengukuran.
- Faktor penyimpangan dari posisi pengukuran, terjadi ketika benda ukur
tidak dipegang atau diletakkan pada posisi yang ideal.
- Faktor penyimpangan dari lingkungan, biasanya terjadi ketika
lingkungan laboratorium atau ruang pengukuran yang digunakan untuk
pengujian tidak bersih. Ruangan harus dijaga dengan mendapat
pencahayaan yang cukup, dan terjaga temperaturnya sesuai dengan
temperatur ruangan.
- Faktor penyimpangan dari pengukur, sering terjadi karena berbagai
macam hal, misalnya saat mengambil sampel pengukuran benda uji,
tangan pengukur bergetar, yang menyebabkan posisi terhadap benda
ukur mengalami perubahan, atau juga penglihatan pengukur yang
kurang presisi, sehingga menyebabkan kesalahan pengukuran, atau
kondisi badan yang kurang sehat.
4. Untuk pengukuran diameter luar dengan menggunakan jangka sorong
yang memiliki keakuratan paling tinggi adalah praktikan Anas sedangkan
praktikan Data memiliki keakuratan paling rendah.
5. Untuk pengukuran diameter dalam dengan menggunakan jangka sorong
yang memiliki ketelitian paling tinggi adalah Daffa, sedangkan yang
keakuratan paling rendah adalah Anas dan Raisha.
6. Untuk pengukuran kedalaman dengan menggunakan jangka sorong yang
memiliki keakuratan paling tinggi adalah Anas, sedangkan yang
keakuratan paling rendah adalah Agha dan Rayhan.
7. Untuk pengukuran mikrometer diameter luar setiap praktikkan memiliki
akurasi dan ke-presisian yang sama.
8. Untuk pengukuran sudut dengan bevel protractor yang memiliki
keakuratan paling tinggi adalah praktikan Anas dan Data, sedangkan
keakuratan paling rendah adalah Raisha, Afif, Agha dan Rayhan.
54
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan terhadap praktikum metrologi industri yang
telah dilaksanakan adalah:
1. Praktikan diharapkan lebih teliti saat melakukan pengambilan data
berupa foto proses pengukuran
2. Praktikan diharapkan lebih teliti saat melakukan pembacaan data hasil
pengukuran.
55
REFERENSI
a. Pengantar Metrologi Geometrik. PLN Corporate University, bekerjasama
dengan tim konsultan MPE (Mechanical Production Engineering) FTMD-
ITB, Tahun 2015 https://pdfslide.net/reader/f/pengantar-metrologi
b. http://staffnew.uny.ac.id/upload/130681036/pendidikan/MATERI+PERKULI
AHAN++METROLOGI+INDUSTRI.pdf
c. https://mesin.ulm.ac.id/assets/dist/bahan/Pengukuran_Teknik_dan_Instrumen
tasi.pdf
d. Form and Style for ASTM Standards,
https://www.astm.org/bluebook_FormStyle.pdf
e. Modul Mata Kuliah Instrumentasi dan Pengukuran, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember 2020.
f. Modul Praktikum Fisika Dasar 1, Laboratorium Pendidikan Fisika,
Universitas Jambi.
g. ANALYSIS OF RANDOM ERRORS IN PHYSICAL MEASUREMENTS:
A PRIMER http://www.iiserpune.ac.in/~bhasbapat/phy221_files/random.pdf
h. Montgomery, D. C. (2013) Design and Analysis of Experiments 8th Edition.
New York: John Wiley and Sons, Inc.
i. Moore, David S., McCabe, George P., Craig, Bruce A. (2014) Introduction to
the Practice of Statistics 8th Edition. New York: W.H. Freeman and Company.
56