Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

PEMFIGOID BULOSA

KHAIRINA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................... i


I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
II. EPIDEMIOLOGI ................................................................................. 2
III. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS ...................................................... 2
IV. GEJALA KLINIS ................................................................................. 3
V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM ................................................ 5
VI. DIAGNOSIS BANDING ..................................................................... 8
VII. PENATALAKSANAAN ..................................................................... 9
VIII. PROGNOSIS ........................................................................................ 13
IX. KESIMPULAN .................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 14

Universitas Sumatera Utara


PEMFIGOID BULOSA

I. PENDAHULUAN

Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan


adanya bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang tua
dengan erupsi bulosa yang kadang-kadang disertai rasa gatal menyeluruh dan
jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang tinggi. 1,2
Walter Lever adalah pelopor dalam mengklasifikasikan pemfigoid bulosa
sebagai suatu penyakit yang berbeda dari pemfigus dengan gambaran klinis dan
histologinya tersendiri. Pemfigoid bulosa memiliki prognosis yang lebih baik dari
pada pemfigus vulgaris. Klasifikasi pemfigoid bulosa dan pemfigus ini telah
ditetapkan dan dibenarkan sepenuhnya oleh gambaran imunopatologis yang
tersendiri dari penyakit ini.3-6
Ciri khas lesi pemfigoid bulosa adalah suatu lepuh yang besar, tegang
timbul pada dasar kulit yang normal atau pada daerah eritematosa. Pada
pemeriksaan histopatologi pada pemfigoid bulosa menunjukkan lepuh sub
epidermal berisikan eosinofil. Pada pemeriksaan imunofluoresensi langsung
menunjukkan komponen komplemen ke-3 (C3) dan IgG pada membran basal
epidermis dan pada pemeriksaan imunofluoresensi tidak langsung menunjukkan
anti membran basal IgG dalam serum.3
Pengobatan pemfigoid bulosa terdiri dari kortikosteroid topikal dan
sistemik serta agen imunosupresif. Sebelum pilihan terapi ditentukan, variabel
yang berhubungan dengan penyakit (luas dan gejala), dan dengan penderita (usia,
penyakit lainnya seperti diabetes, hipertensi dan tuberkulosis) harus
3,7
dipertimbangkan.

Universitas Sumatera Utara


II. EPIDEMIOLOGI

Sebagian besar pasien pemfigoid bulosa berusia di atas 60 tahun pada saat
timbulnya penyakit, dengan insiden puncak pada dekade 80-an atau
lebih.pemfigoid bulosa. Pemfigoid bulosa juga dapat terjadi di bawah umur 40-an
dengan sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak dengan usia di atas 10 bulan.
Tidak diketahui predileksi secara etnik, rasial atau menurut jenis kelamin dari
perkembangan pemfigoid bulosa. Insidensi pemfigoid bulosa diperkirakan 7 juta
per tahun di Prancis dan di Jerman, dan 14 juta per tahun di Skotlandia. 2,3

III. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Etiologi pemfigoid bulosa ialah autoimunitas, tetapi penyebab yang


menginduksi produksi autoantibodi pada pemfigoid bulosa masih belum diketahui
secara pasti. Sebagian besar kasus pemfigoid bulosa terjadi secara sporadis tanpa
faktor pencetus yang jelas. Akan tetapi terdapat beberapa laporan tentang pencetus
pemfigoid bulosa oleh cahaya ultraviolet (UV), baik UVB atau psoralen dengan
UVA dan terapi radiasi.2,3
Antigen pemfigoid bulosa merupakan protein yang terdapat pada
hemidesmosom sel basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian dari
zona membran basal epitel gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah
melekatkan sel-sel basal dengan membrana basalis, strukturnya berbeda dengan
desmosom.2,3,6
Ciri khas molekular dari antigen pemfigoid bulosa melalui metode
imunokimia menunjukkan bahwa autoantibodi pasien pemfigoid bulosa mengikat
dua molekul yang berbeda, antara lain antibodi terhadap molekul 230 kD yang
disebut BPAG1 atau BPAG1e dan antibodi terhadap molekul 180 kD yang
disebut BPAG2 atau kolagen tipe XVII yang merupakan produk dari gen yang
terletak pada kromosom yang berbeda.1-4,6,8
BPAG1 yang juga dikenal sebagai BP230 merupakan molekul yang
memiliki ciri khas dan berat molekul 230 kD. BPAG1 merupakan intraseluler dan
berlokasi pada plak densa. Gen pada BPAG1 telah dikloning dan menempati

Universitas Sumatera Utara


lengan pendek dari kromosom. BPAG1 dikenal memiliki isoform-isoform yang
muncul dengan bentuk berbeda-beda pada jaringan epitel dan jaringan saraf.
Antigen BPAG1 merupakan target pada autoantibodi atau imunodominan epitop
yang berlokasi terutama pada akhir terminal karboksi yang diperantarai interaksi
dari filamen-filamen keratin intermediet dengan hemidesmosom.2,6
BPAG2 yang juga dikenal sebagai BP180 dan kolagen tipe XVII,
memiliki berat molekul 180 kD dan merupakan molekul transmembran yang
banyak memiliki kolagen dan berada di sepanjang ekstraseluler yang terjadi pada
kondisi fisiologis. Gen BPAG2 telah dikloning dan berada pada lengan panjang
kromosom 10. BPAG2 berlokasi pada dinding desmosom dan pada ekstraseluler
berinteraksi dengan anyaman-anyaman filamen. Daerah ekstraseluler melekat
pada transmembran yang merupakan lokasi dari NC16A, yaitu imunodominan
epitop, walaupun epitop-epitop lain banyak ditemukan pada berbagai daerah dari
molekul termasuk daerah intraseluler, daerah ektodomain kolagen dan terminal
karboksi.2,6
Bula yang terbentuk pada pemfigoid bulosa berasal dari lamina lusida,
yang terletak diantara membran sel basal dan lamina densa. Deposit IgG pada
mebran basal menyebabkan aktivasi komplemen melalui jalur klasik, dan
mekanisme amplifikasi C3 adalah penyebab aktivasi untuk jalur alternatif.
Perekrutan komponen-komponen inflamatorik penting untuk pemisahan dermal-
epidermal dan pembentukan bula pada pemfigoid bulosa. Komponen komplemen
yang aktif akan menarik leukosit dan menstimulasi sel mast untuk melepaskan
protease, histamin, proteoglikans, dan protease serin yang akan menarik eosinofil.
Sel-sel inflamatorik kemudian melekat pada membran basal dan protease-protease
tersebut selanjutnya mendegradasi komponen hemidesmosom yang menyebabkan
hilangnya lamina densa, menghasilkan pemisahan dermis dan epidermis.2,3,6

IV. GEJALA KLINIS

Kebanyakan kasus pemfigoid bulosa diawali dengan timbulnya erupsi


prodromal seperti lesi urtikaria , dan berkembang selama berminggu-minggu
sampai bulan yang kemudian dapat berubah menjadi erupsi yang menyeluruh.

Universitas Sumatera Utara


Awalnya tidak dijumpai gejala kecuali rasa gatal yang sedang sampai parah,
sehingga kemudian terdapat lesi erosi yang dapat mendahului pembentukan lepuh.
Tidak ada gejala konstitusional kecuali penyakit yang parah dan meluas.1-3,5,8-10
Pada pemeriksaan fisik akan dijumpai lesi kulit yang papular eritematosa
atau lesi yang menyerupai urtikaria, bula yang besar, tegang dan terletak di
subepidermal yang terbentuk selama berbulan-bulan dan dapat timbul pada kulit
yang normal atau eritema dan terdiri dari cairan serosa atau hemoragik. Erupsi
dapat bersifat lokal atau generalisata, biasanya menyebar tapi juga berkelompok
dengan pola serpiginosa. Ruptur pada bula tidak semudah pada pemfigus, namun
kadang-kadang erosi yang lebar, memerah dan berdarah menjadi suatu masalah.
Biasanya bula akan kolaps dan berubah menjadi krusta.2-5
Lesi pada pemfigoid bulosa dapat terjadi pada bagian tubuh mana saja,
tetapi paling sering pada abdomen bagian bawah, paha bagian dalam atau bagian
depan dan lengan bawah bagian fleksor. Lesi membran mukosa terjadi pada kira-
kira 10 – 35 persen dari pasien dan hampir selalu terbatas pada membran mukosa
mulut, khususnya mukosa bukal. Pada bayi, lesi selalu dijumpai pada daerah
akral, dan pada anak-anak biasanya dijumpai keterlibatan daerah genital.1-5

Gambar 1. Pemfigoid bulosa (A) bula besar dan tegang serta makula eritematosa
pada paha dan kaki bagian bawah (B) lesi urtikaria pada pemfigoid bulosa*
*Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan 3

Universitas Sumatera Utara


V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Histopatologi
Biopsi dari lepuh kecil yang baru memberi nilai diagnostik. Histologi dari
biopsi akan menunjukkan suatu lepuh subepidermal tanpa nekrosis epidermis
dan suatu infiltrat dermis superfisial yang berisikan limfosit, histiosit dan
eosinofil yang khas. Terdapat infiltrat dari yang padat sampai jarang dengan
ciri khas berisikan beberapa eosinofil. Biopsi lepuh yang berada pada dasar
yang eritema cenderung memiliki infiltrat yang lebih luas. Eosinofil juga
sering terlihat di dalam rongga lepuh. Netrofil mungkin tampak dalam infiltrat
tetapi jarang membentuk mikroabses pada ujung papila. Lesi-lesi urtikaria bisa
menunjukkan hanya suatu infiltrat dermis superfisial dari limfosit, histiosit,
dan eosinofil dengan edema papila dermis. Histologi dari lesi urtikaria juga
bisa memperlihatkan degranulasi eosinofil pada dermal-epidermal junction
dengan pemisahan dini dari sel basal individual dari membran basal dan
spongiosis eosinofilik. 2,3,5,9,11,12

Gambar 2. Histopatologi pemfigoid bulosa (A) lepuh pada sub-epidermal


dengan infiltrat sel radang yang berisi eosinofil pada permukaan dermis (B)
Degranulasi eosinofil pada membran basal epidermis dan spongiosis
eosinofilik.*
*Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan 3

Universitas Sumatera Utara


2. Imunologi
• Imunofluoresensi direk
Imunofluoresensi direk tidak dapat dilakukan pada lepuh karena
imunoreaktan sering hilang pada atap lepuh. Pengambilan biopsi paling
baik pada daerah perilesi yaitu tidak lebih dari 2 cm dari lesi. Apabila
tidak ada lesi yang aktif, biopsi untuk imunofluoresensi dapat juga diambil
pada daerah kulit yang secara klinis tidak terlibat pada daerah paha bagian
depan atau fleksor lengan bawah dan pada permukaan mukosa. Sebaiknya
digunakan biopsi punch dengan ukuran 3 – 4 mm dan pada saat
pengambilan tidak perlu dalam. 2
Imunofluoresensi direk dari kulit tepi lesi pasien pemfigoid bulosa
menunjukkan penumpukan imunorektan dalam suatu bentuk linier pada
membran dasar epidermis. Pada hampir semua pasien dapat dideteksi C3,
kadang-kadang sebagai imunoreaktan tunggal, namun IgG juga terdeteksi
pada sebagian besar pasien. 2,3,5,9,11,12

Gambar 3. Imunofluoresensi direk pada daerah perilesi menunjukkan pita


linier C3 (pembesaran 340 kali) *
*Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan 3

• Imunofluoresensi indirek
Imunofluoresensi indirek dapat dilakukan pada darah, cairan pada
bula dan urin. Cairan pada bula dan urin hanya dilakukan pada pasien
yang tidak koperatif karena hasilnya jarang positif.2

Universitas Sumatera Utara


Imunofluoresemsi indirek pada 70-80 persen pasien pemfigoid
bulosa memiliki autoantibodi IgG sirkulasi pada membran dasar
epidermis. False positif jarang terjadi dan menemukan adanya
autoantibodi sirkulasi dapat menegakkan diagnosis pemfigoid
bulosa.2,3,5,9,11,12
Apabila substrat imunofluoresensi diinkubasi dalam NaCl 1M
untuk memisahkan epidermis dan dermis pada lamina lusida, maka pada
pasien akan dapat terdeteksi antibodi dalam sirkulasi dengan persentase
yang lebih tinggi. Selain itu, antibodi pemfigoid bulosa juga berikatan
pada atap lepuh (yaitu dasar dari sel basal). 2,3,5,9,11,12

Gambar 4. Imunofluoresensi indirek menunjukkan pola linier IgG yang


terlihat pada membran dasar epidermis kulit normal (pembesaran 340
kali)*
*Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan 3

Gambar 5. Imunofluoresensi indirek kulit normal yang diinkubasi dalam


NaCl 1M. IgG serum pemfigoid bulosa berikatan pada atap lepuh
(pembesaran 330 kali)”
*Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan 3

Universitas Sumatera Utara


VI. DIAGNOSIS BANDING

1. Pemfigus vulgaris
Pada pemfigus vulgaris, dinding bula biasanya kendur, mudah pecah, tersebar
secara generalisata, nikolsky’s sign positif dan berdasarkan pemeriksaan
histopatologis didapatkan bula yang terletak di intraepidermal. 2
2. Dermatitis herpetiformis
Pada dermatitis herpetiformis, biasanya keluhannya sangat gatal, ruam
polimorfik, dinding vesikel atau bula tegang dan berkelompok, serta
mempunyai tempat predileksi tertentu yaitu daerah sakrum, bokong, ekstensor
lengan atas, siku dan lutut.2
3. Epidermolisis Bulosa Akuisita
Epidermolisis Bulosa Akuisita biasanya dapat dibedakan melalui kriteria
klinis apabila muncul sebagai penyakit mekanobulosa non inflamasi.
Adakalanya penyakit ini hadir sebagai suatu penyakit yang secara klinis dan
histopatologis tidak dapat dibedakan dengan pemfigoid bulosa. Epidermolisis
Bulosa Akuisita hanya dapat dibedakan dari pemfigoid bulosa melalui
pemeriksaan imunofluoresensi direk atau indirek pada kulit yang diinkubasi
dalam NaCl 1M dimana antibodi pasien Epidermolisis Bulosa Akuisita
2,3,9
berikatan dengan dasar lepuh (sisi dermis).

Gambar 6. IgG serum epidermolisis bulosa akuisita berikatan dengan dasar


lepuh / sisi dermis (pembesaran 215 kali)*
*Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan 3

Universitas Sumatera Utara


4. Pemfigoid sikatrisial
Pemfigoid sikatrisial biasanya menunjukkan aktifitas klinis yang terutama
pada membran mukosa. Pemfigoid sikatrisial ditandai oleh ginggivitis
deskuamatifa seperti halnya peradangan dan jaringan parut dari konjungtiva.
Apabila terdapat lepuh pada kulit, kemungkinan bersifat sementara atau dapat
terbentuk jaringan parut. Lepuh yang besar dan tegang yang merupakan ciri
khas pemfigoid bulosa, biasanya tidak dijumpai pada pemfigoid sikatrisial.2,9

VII. PENATALAKSANAAN

Sebelum pilihan terapi ditentukan, variabel yang berhubungan dengan


penyakit (luas dan gejala), dan dengan penderita (usia, penyakit lainnya seperti
diabetes, hipertensi dan tuberkulosis) harus dipertimbangkan. Tujuan terapi adalah
untuk menyembuhkan lesi dan mencegah pembentukan lesi baru. Munculnya lesi
baru yang hanya sementara tidak mengharuskan peningkatan dosis terapi.7

Gambar 7. Algoritma pengobatan pemfigoid bulosa*


*Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan 7

Universitas Sumatera Utara


- Kortikostreoid
• Kortikosteroid topikal poten
Kortikosteroid topikal poten sebaiknya dipertimbangkan dan
merupakan pilihan pada penyakit yang terbatas atau terlokalisir, karena
varian ini menunjukkan respon baik terhadap terapi tersebut. 2,3,7,13
• Kortikosteroid oral
Sebagian besar penderita pemfigoid bulosa generalisata
memerlukan terapi sistemik. Agen sistemik yang paling banyak digunakan
adalah glukokortikoid. Prednison merupakan glukokortikoid paling sering
diberikan, dan cukup memadai sebagai satu-satunya terapi dalam sebagian
besar kasus. 7,13,14
Dosisnya adalah 1-2 mg/kgBB/hari atau 3-4 mg/kgBB/hari. Dosis
prednison yang lebih tinggi jarang dibutuhkan. Respon klinis biasanya
tampak dalam 1-4 minggu dan dinilai dari penyembuhan lesi dan
berhentinya pembentukan bula baru. Dosis prednison kemudian
diturunkan dalam jumlah relatif besar yaitu 10 mg pada permulaan, lalu
selanjutnya lebih sedikit yaitu 2,5-5 mg. Ketika dosis harian mencapai 30-
40 mg, perubahan pemberian menjadi berselang-seling dilakukan untuk
mengurangi potensi efek samping jangka panjang glukokortikoid. 2,7,13
Terapi denyut steroid dengan metil prednisolon yang diberikan
secara intravena 0,5-1 gram/hari selama 3 hari berturut-turut, dianjurkan
untuk pengendalian awal pada kasus yang berat. Terapi ini jarang
diindikasikan pada penatalaksanaan pemfigoid bulosa. 7
- Agen imunosupresif
Obat imunosupresif diindikasikan terhadap penderita yang memerlukan
dosis pemeliharaan glukokortikoid dalam jumlah besar, pada penderita dengan
efek samping glukokortikoid, dan pada mereka yang tidak menunjukkan
respon komplit terhadap glukokortikoid. Agen imunosupresif yang paling
sering digunakan antara lain azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid
dan metotreksat.7,13

Universitas Sumatera Utara


• Azatioprin
Azatioprin merupakan antimetabolit purin yang merupakan derivat
imidazolil dari merkaptopurin. Efek imunosupresifnya lebih tinggi
dibandingkan merkaptopurin. Azatioprin biasanya digunakan dengan dosis
2-3 mg/kgBB/hari. Dosis dapat disesuaikan menurut respon klinis.
Umunya azatioprin dapat ditoleransi dengan baik.7,13
• Mikofenolat mofetil
Mikofenolat, yang merupakan prekursor asam mikofenolat adalah
suatu antimetabolit purin. Mikofenolat mofetil biasanya digunakan dengan
dosis 0,5-1 gram, yang diberikan 2 kali sehari. Mikofenolat mofetil dapat
efektif sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan glukokortikoid.7,13
• Siklofosfamid
Siklofosfamid merupakan agen alkilasi terhadap DNA pada
berbagai posisi, sehingga menyebabkan gangguan siklus DNA, reparasi
DNA dan apoptosis. Siklofosfamid diberikan dalam dosis 1-2
mg/kgBB/hari. Pemberian siklofosfamid dipertimbangkan hanya jika
dengan pengobatan lain gagal atau kontraindikasi.7,13
• Metotreksat
Metotreksat adalah antimetabolit dan analog asam folat.
Metotreksat terbukti efektif dalam dosis kecil (hingga 12,5 mg/minggu)
sebagai terapi tunggal pada 12 penderita pemfigoid bulosa. Metotreksat
harus dipertimbangkan pada pasien psoriasis yang bersamaan dengan
pemfigoid bulosa.7,13
- Modulator tingkat antibodi
• Terapi immunoglobulin intravena
Terapi immunoglobulin intravena berasal dari IgG plasma yang
dikumpulkan dan dimurnikan. Beberapa preparat immunoglobulin
intravena mengandung sedikit IgA. Terapi immunoglobulin intravena
dosis tinggi sangat efektif pada kasus tertentu. Diberikan dalam dosis
2g/kgBB/hari dalam 3-5 dosis terbagi untuk 1 siklus. Penderita biasanya
memerlukan 2-4 siklus (sekali dalam 3-4 minggu) pada permulaan dan 1-2
siklus jika terjadi rekurensi. Terapi ini sangat mahal, dan sebaiknya

Universitas Sumatera Utara


ditujukan pada kasus yang resisten. Dosis minimal 2g/kgBB/siklus dengan
interval bulanan selama 3 bulan atau lebih adalah pendekatan yang paling
sering digunakan. 7,13,15
• Plasmaferesis
Plasmaferesis adalah tindakan pemisahan plasma dari darah penderita
dengan menggunakan penyaring untuk memisahkan elemen selulernya.
Prosedur ini mengakibatkan terbuangnya antibodi yang bersifat patogen.
Plasmaferesis dilaporkan efektif untuk penatalaksanaan pemfigoid bulosa.
Tindakan tersebut dilaporkan pada kasus berat, bersamaan dengan
pemberian obat imunosupresif. Sering terjadi peningkatan kembali kadar
autoantibodi setelah plasmaferesis. Oleh sebab itu, prosedur tersebut
sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pemberian obat imunosupresif.
Akan tetapi, hal tersebut sangat mahal, memerlukan banyak waktu dan
manfaatmya hanya sementara. 7,13
- Terapi lainnya
• Tetrasiklin atau eritromisin dengan atau tanpa niasinamid
Tetrasiklin dan antibiotik lain memiliki efek anti inflamasi dan
mungkin juga imunomodulasi. Mekanismenya belum jelas diketahui.
Niasinamid merupakan agen fisiologis yang mekanisme kerjanya dalam
penyakit bulosa dan penyakit kulit lainnya belum diketahui.7,13
Tetrasiklin atau eritromisin dengan atau tanpa niasinamid telah
digunakan secara efektif. Kombinasi kedua obat tersebut sama efektifnya
dengan prednison. Tetrasiklin diberikan dengan dosis 4 x 500 mg/hari dan
niasinamid 3 x 500 mg/hari. Penggunaan tetrasiklin dan niasinamid dapat
diindikasikan dalam 2 kondisi. Dalam kasus ringan, kombinasi dapat
menghasilkan remisi klinis tanpa penggunaan steroid. Pada kasus yang
lebih luas, penambahan kombinasi kedua obat tersebut pada pemberian
prednison berfungsi memberikan efek pelengkap steroid.7,13
• Dapson
Dapson adalah contoh prototipe dari golongan obat sulfa.
Mekanisme kerja dapson dalam kondisi inflamasi belum jelas. Dapson
telah menghasilkan respon ringan hingga sedang pada 110 kasus. Terapi

Universitas Sumatera Utara


dapson biasanya dimulai dengan 50 mg/hari dan ditingkatkan 50 mg setiap
minggu sampai efek yang diharapkan tercapai.7,13
• Takrolimus topikal
Takrolimus topikal juga dilaporkan sangat berguna pada beberapa
kasus pemfigoid lokalisata. 3

VIII. PROGNOSIS

Pemfigoid bulosa biasanya sembuh sendiri walaupun tanpa pengobatan,


tetapi bisa bertahan beberapa bulan sampai beberapa tahun. Lamanya penyakit
biasanya 3 – 6 tahun, dan kebanyakan pasien yang diobati mencapai remisi
lengkap. Pemfigoid bulosa dapat berakibat fatal, terutama bila terjadinya lepuh
aktif pada usia lanjut dan sekitar sepertiga pasien yang tidak diobati meninggal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya prognosis buruk dan kematian pada
pemfigoid bulosa adalah usia, luasnya penyakit, skor Karnofsky yang rendah,
albumin yang rendah dan steroid dosis tinggi. Penyakit yang terlokalisata sangat
responsif terhadap pengobatan dan terjadinya remisi. 2,9

IX. KESIMPULAN

Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan


adanya bula subepidermal pada kulit. Sebagian besar pasien pemfigoid bulosa
berusia di atas 60 tahun. Ciri khas lesi pemfigoid bulosa adalah suatu lepuh yang
besar, tegang, timbul pada dasar kulit yang normal atau pada daerah eritematosa.
Pada pemeriksaan histopatologi pada pemfigoid bulosa menunjukkan lepuh sub
epidermal berisikan eosinofil. Pengobatan terdiri dari kortikosteroid topikal,
kortikosteroid sistemik dan agen imunosupresif.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

1. Mimouni H, Nousari HC. Bullous pemphigoid. Dermatology Therapy.


2002;15;369-73.
2. Wojnarowska F, Venning VA. Immunobullous Disease. Dalam : Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of
dermatology. Edisi ke-8. UK : Wiley Blackwell; 2010. h. 40.1-40.58.
3. Stanley JR. Bullous pemphigoid. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Lffell Dj, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. Edisi ke-7. New York : McGraw Hill Companies; 2008.
h.475-80.
4. James WD, Berger TG, Elston DM, editor. Andrew’s diseases of the skin
clinical dermatology, Edisi ke-10. United States of America : Saunders
Elsevier; 2006.
5. Ghohestani RF, Novotney J, Chaudhary M, Agah RS. Bullous Pemphigoid :
From the Bedside to the Research Laboratory. Clinics in Dermatology.
2001;19;690-6.
6. Kasperkiewicz M, Zillikens D. The Pathophysiology of Bullous Pemphigoid.
Clinic Rev Allerg Immunol. 2007; 33; 67-7.
7. Mutasim DF, Management of autoimmune bullous disease : pharmacology
and therapeutics. J Am Acad Dermatol. 2004. 51(6); 859-76.
8. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Thieme Clinical Companions Dermatology.
Edisi ke-5. USA : Georg Thieme Verlag KG; 2005.
9. Laffitte E, Borradori L. Bullous Pemphigoid : Clinical Features, Diagnostic
Markers, and Immunopathogenic Mechanisms. Dalam : Hertl M, penyunting.
Autoimmune Disease of the Skin. Edisi ke-2. New York : Springer; 2005.h.
71-87.
10. Yeh SW, Ahmed B, Sami N, Ahmed AR. Blistering disorders : diagnosis and
treatment. Dermatologic Therapy. 2003; 16; 214-23.
11. Kempf W, Hantschke M, Kutzner H, Burgdorf WHC. Dermatopathology.
Germany : Springer; 2008.

Universitas Sumatera Utara


12. Mihai S, Sitaru C. Immunopathology and molecular diagnosis of autoimmune
bullous diseases. J Cell Mol 2007; 11(3); 462-81.
13. Wojnarowska F. Kirtschig G, Highet AS, Venning VA, Khumalo NP.
Guideline for the management of bullous pemphigoid. British Journal of
Dermatology. 2002; 147; 214-21.
14. Nousari HC, Anhalt Gj. Pemphigus and bullous pemphigoid. The lancet.
1999; 354; 667-72.
15. Ahmed AR. Intravenous immunoglobulin therapy for patients with bullous
pemphigoid unresponsive to conventional immunosuppressive treatment. J
Am Acad Dermatol. 2001; 45(6); 825-35.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai