Anda di halaman 1dari 23

PENDAHULUAN (1)

Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis


nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis
lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter
dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes
simplex) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan
penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada
Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di
dekat ganglion genikulatum.
Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat
penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan
matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi
dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika
dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).
DEFINISI (2)
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti
beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n.
fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi
anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan
erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini
lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2
tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat
hubungannya dengan cuaca dingin

EPIDEMIOLOGI (3, 4)
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-
diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang
sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan
trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s
palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan.
Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan
frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak
pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak
didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada
beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan .
ANATOMI (5)
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1.      Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah).
2.      Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga
hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
3.      Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4.      Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba)
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang
menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut
parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut
dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang
telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral
umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif
dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang
menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai
saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di
ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi
pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda
timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi
ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada
akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan
sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan
keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral
pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius
dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis
bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan
dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi
otot- otot wajah.
PATOFISIOLOGI (6)
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun
demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis
bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas,
tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus
fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya
inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat
gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa
terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah
di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam
sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin
seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka
diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus
fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di
sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus
herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada
Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya
lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada
usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut
mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa
digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara
wajar sehingga tertimbun disitu.
ETIOLOGI (1)
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:

A.    Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s
palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain :
sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,
hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,
gangguan imunologik dan faktor genetic.
B.     Kongenital
a.       anomali kongenital (sindroma Moebius)
b.      trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
C.     Didapat

a. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)


b. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
c. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
d. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
e. Sindroma paralisis n. fasialis familial
GEJALA KLINIK (1, 2)
Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan
gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas
bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal,
linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal
yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :
         Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh
(lagophthalmos).
         Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar
zXke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign
         Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang
lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.

Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi


lesi :
a.       Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang
sehat,makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep
sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang
terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus
menerus.
b.      Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti
pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian
depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan
pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan
lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan
nervus fasialis di kanalis fasialis.
c.       Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.
d.      Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan
di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran
timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang
berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat
di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e.       Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b),
(c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
DIAGNOSA (4)
A.    Anamnesa
- Rasa nyeri
- Gangguan atau kehilangan pengecapan.
- Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan.
-  Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
B.     Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :

1.      Mengerutkan dahi

2.      Memejamkan mata

3.      Mengembangkan cuping hidung

4.      Tersenyum

5.      Bersiul

6.      Mengencangkan kedua bibir

C.     Pemeriksaan Laboratorium.


Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis
Bell’s palsy.
D.    Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan
dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang,
stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien
Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus
fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

DIAGNOSA BANDING (2)


1.      Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai
dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.
Tanda dan gejala RHS meliputi:
         Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga,
saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau
lidah
         Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi
         Kesulitan menutup satu mata
         Sakit telinga
         Pendengaran berkurang
         Dering di telinga (tinnitus)
         Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
         Perubahan dalam persepsi rasa

2.      Miller Fisher Syndrom


Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang
jarang dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated
Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa
opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom
didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan
kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan
kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada
Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan
rasa kebas, pusing dan mual.
 
TATA LAKSANA (1, 8)
1.      Istirahat terutama pada keadaan akut
2.      Medikamentosa
a.                Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral
atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari
kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset
penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya
kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus
fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit.
b.               Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari)
dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan
prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang
tidak dapat mengkonsumsi prednison.Penggunaan Acyclovir akan berguna jika
diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.
c.                Perawatan mata:
         Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan lakrimasi
yang hilang.
         Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika air mata
buatan tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya
adalah pandangan kabur.
         Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan
dengan menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea
3.      Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada
stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit
pagi-sore atau dengan faradisasi.
4.      Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat
menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
            tidak terdapat penyembuhan spontan
            tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison

KOMPLIKASI (2, 9,10)


1.      Crocodile tear phenomenon.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa
bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari
serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar
lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.

2.      Synkinesis

Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan
timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau
berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang
mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.

3.      Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme

Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya
mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya.
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini
terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau
1-2 tahun kemudian.

PROGNOSIS (3, 6,7)


Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki
prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy,
85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset
penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa
gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak
berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.
1/3 sisanya cacat seumur hidup.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
1.      Usia di atas 60 tahun
2.      Paralisis komplit
3.      Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4.      Nyeri pada bagian belakang telinga dan
5.      Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk
mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala
neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang
berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko
tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang,
hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan
meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita
cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang
spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM.
Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy
kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral
menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
  
KESIMPULAN (1)
Bell’s palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang dapat
menyebabkan gangguan pada indera pengecapan , yaitu pada dua per tiga anterior
lidah.Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n.
fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian
prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi

 
DAFTAR PUSTAKA
1.      Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2.      Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy,
“http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/ sPalsy.html” (diakses tanggal
11 desember 2011)
3.      Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,
“http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156” (diakses
tanggal 22 Desember 2011).
4.      Annsilva, 2010, Bell’s Palsy, “http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s-
palsy-case-report/” (diakses tanggal 11 desember 2011)
5.      Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
6.     Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html”,
(diakses tanggal 12 Desember 2011)
7.     Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
8.      Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy,
http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html (diakses tanggal 12
desember 2011)
9.      Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2
10.  Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian
Rakyat, 1985 : 311-17
PARESE NERVUS FASIALIS PERIFER

I.PENDAHULUAN
Parese nervus fasialis perifer merupakan kelemahan jenis lower motor neuron
yang terjadi bila nukleus atau serabut distal nervus fasialis terganggu, yang
menyebabkan kelemahan otot wajah.1 Parese nervus facialis biasanya mengarah
pada suatu lesi nervus fasialis ipsilateral atau dapat pula disebabkan lesi nukleus
fasialis ipsilateral pada pons.2

II.ANATOMI DAN FISIOLOGI


Nervus Fasialis mengandungi empat macam serabut :1
1. Serabut somatomotorik, yang memepersarafi otot-otot wajah (kecuali muskulus
levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastricus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.
2. Serabut viseromotorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga
hidung, sinus paranasal dan glandula submaksiler serata sublingual dan
maksilaris.
3. Serabut viserosensorik yang menghantar implus dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somatosensorik rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rabadari
bagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi nervus trigeminus. Daerah
overlapping disarafi oleh dari satu saraf ini terdapat pada lidah, platum, meatus
acusticus eksterna dan bagian luar dari gendang telinga.

Nervus facialis terutama merupakan saraf motorik, yang menginervasi otot-otot


ekspresi wajah. Disamping saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar
ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga hidung dan mulut dan juga
menghantar berbagai jenis sensasi termasuk sensasi eksteroseptif dari daerah
gendang telinga sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, sensasi viseral
umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring dan sensasi proprioseptif
dari otot-otot yang disarafinya.1
Inti motorik nervus fasialis terletak dipons. Serabut mengintari inti nervus
abdusen, dan kelenjar di bagian lateral pons. Nervus intermedius keluar di
permukaan lateral pons diantara nervus fasialis dan nervus vestibukoklearis.
Nervus fasialis bersama dengan nervus intermedius dan nervus vestibulokoklearis
kemudian memasuki meatus akusticus internus. Di sini nervus facialis bersatu
dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas yang berjalan di dalam
kanalis facialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang
tengkorak melalui foramen stilomastoideum , dan bercabang untuk mempersarafi
otot-otot wajah.1

III. ETIOPATOGENESIS
Parese nervus fasialis timbul karena berbagai etiologi dengan proses patogenesis
yang bervariasi, yaitu :

1.Trauma
Parese nervus fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi
fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka
tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab.
Nervus fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma akusik
atau neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.3

2.Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling
sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat.
Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel schwann,
kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang
akhir dari nervus fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat
kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri
karotis dapat mengganggu fungsi motorik nervus fasialis secara ipsilateral.4

3. Paralisis nervus fasialis perifer telah dijelaskan dalam banyak kasus embriopati
talidomid..Larutan antiseptic kloroseksol yang banyak digunakan dalam pasta
elektroda dan berbagai krim kulit, telah dilaporkan bahwa dapat menyebabkan
paralisis fasialis yang tiba-tiba.Ingesti etilenglikol, baik dalam percobaan bunuh
diri maupun mabuk, dapat mengakibatkan kelemahan fasial tipe perifer, baik
permanen ataupun temporer.4

4. Kongenital
Parese nervus fasialis bilateral kadang merupakan kelainan congenital yang
kemungkinan terjadi karena adanya gangguan perkembangan nervus fasialis dan
seringkali bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).5

 5.Bell’s Palsy
Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau
tidak menyertai penyakit lain. Karena proses yang dikenal awam sebagai masuk
angin atau dalam bahasa inggris “cold” nerfus facialis bisa sembab. Karena
terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe
LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.6

6.Penyakti-penyakit tertentu
Parese fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya DM,
hepertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi telinga tengah,
sindrom Guillian Barre.6

IV.GEJALA DAN TANDA KLINIK


Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi :
1. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makan terkumpul di antara pipi dan
gusi. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau
tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang.
Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan titik dimana korda
timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
3.Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti (1) dan (2) di tambah dengan hiperakusis
4.Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda kilinik seperti pada (1),(2),(3) disertai dengan nyeri di belakang
dan didalam liang telinga . Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes di
membrana timpani dan konka. Sindrom Ramsay-Hunt adalah parese fasialis
perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi
herpertik terlihat di membrana timpani, kanalis auditorius eksterna dan pinna.
5.Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat terlibatnya
nervus akustikus
6.Lesi ditempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlibatnya
nervus trigeminus, nervus akustikus dan kadang – kadang juga nervus abdusen,
nervus aksesorius dan nervus hipoglossus.

V.DIAGNOSA BANDING
Lesi kortikal pada lesi ini dapat ditemukan keterlibatan tanda kortikal dan tanpa
adanya gangguan pada otot dahi dan kelopak mata atas ini disebut sebagai lesi
supranuklear. Dan lagi, kelemahan pada lesi perifer adalah sama dalam setiap
jenis pergerakan, sementara pada lesi supranuklear dapat timbul perbedaan antara
pergerakan volunter dan ekspresi emosional. Pergerakan volunter dapat lebih
meningkat ataupun menurun dibandingkan pada saat pasien tersenyum atau
tertawa.

Myasthenia Gravis, adalah satu cara untuk membedakannya dengan parese fasialis
adalah bahwa myasthenia gravis memberikan respon terhadap injeksi tensilon atau
neostigmin.

VI.PENATA LAKSANAAN
1. Proteksi mata sebelum tidur

2. Masase otot yang lumpuh. Pasien hendaknya melakukan masase otot wajah
selama 5 menit dua kali sehari. Masase ini dimulai dari dagu dan bibir dan
diarahkan ke atas

3. Sebuah bidai untuk mencegah kendurnya otot wajah bagian bawah yang
dipakai secara umum dalam penanganan beberapa kasus. Sebuah metode
sederhana yakni dengan membidai otot yang lumpuh dengan cara menggunakan
plaster adhesive yang direkatkan pada dahi yang dibelah pada bagian bawahnya
sehingga berbentuk seperti huruf “Y“ terbalik kemudian direkatkan pada bibir atas
dan bawah seperti sedemikian rupa sehingga keduanya terangkat.

4. Stimulasi energi listrik dengan aliran galvanik berenergi lemah dianggap cukup
bermanfaat.

5. Pemberian prednison (40-60 mg/hari) selama seminggu pertama hingga 10 hari


setelah onset cukup menguntungkan, dan hal tersebut dapat menurunkan
kemungkinan terjadinya paralisis yang permanen akibat adanya pembengkakan
dari nervus dalam kanalis fasialis yang sempit.

6. Prosedur operasi biasanya cukup bermanfaat ketika penyembuhan spontan tidak


terjadi. Neurolisis atau sambungan end to end dapat diindikasikan untuk lesi di
eksrakranial atau pada cabang nervus fasialis. Ketika kerusakan saaf berada diatas
foramen stilomastodeus, maka cara tersebut tidak efektif lagi dan perbaikan
persarafan otot wajah hanya dapat dicapai dengan menyambungkan bagian
distalnya nervus fasialis dengan bagian pusat dari salah satu saraf kranialis
liannya, misalnya dengan saraf XII.

7. Tidak ada bukti yang nyata bahwa operasi dekompresi saraf fasialis cukup
efektif dan bahkan hal tersebut bisa membahayakan.

8. Ketika fungsi motorik pulih kembali, pasien hendaknya latihan mengerakkan


berbagai otot wajahnya ketika sedang bercermin.6

VII.PROGNOSIS
Jika dengan stimulasi listrik teridentifikasi adanya aktivitas dari motorik unit dan
jika dalam beberapa hari nervus fasialis sama sekali tidak dapat terstimulasi maka
prognosisnya kurang baik. Dilaporkan bahwa adanya fibrilasi spontan dari otot
dalam 2 atau 3 minggu menandakan bahwa setidaknya beberapa serabut saraf
telah mengalami degenersi Wallerian. Kadang kadang dapat timbul gejala berupa
spasme klonik otot wajah meskipun hal tersebut jarang parah. Sindrom air mata
buaya, suatu lakrimasi unilateral pada saat makan bisa terjadi beberapa kasus,
yang terjadi akibat berpindahnya serabut saraf dari ganglion genikulatum ke
glandula lakrimalis. Lebih dari 50% kasus Bell’s palsy sembuh sempurna dalam
kurun waktu beberapa bulan.5
VIII.KESIMPULAN
1. Parese nervus fasialis perifer dapat terjadi dengan berbagai etiologi diantaranya
trauma, tumor, toksin, congenital, penyakit tertentu, serta idiopatik (Bell’spalsy).
2. Manifestasi klinik dari parese nervus fasialis tergantung dari lokasi lesinya
3. Prognosis parese nervus fasialis perifer tergantung dari cepat tidaknya tindakan.

CONTOH KASUS
I. IDENTITAS
Nama : TN .L
Jenis Kelamin : LAKI-LAKI
Umur : 36 tahun
Pendidikan : SMA
Agama : Protestan
Tgl Masuk : 22 Agustus 2010 , pukul 22.00WIB

II. ANAMNESIS
Auto-alloanamnesis (dari IGD tanggal 22-08-10 pukul 22.00WIB)

A. Keluhan Utama :
Cedera di kepala dengan perdarahan di telinga kanan sejak kurang lebih 2 jam
SMRS.

B. Riwayat Penyakit Sekarang : 


Pasien laki-laki datang di hantar ke IGD RSOB dengan keluhan cedera kepala
ringan disertai perdarahan di telinga kanan sejak ± 2 jam SMRS. Sebelumnya OS
terlibat dalam kecelakaan kerja di mana OS jatuh dari skyholder setinggi ± 20
meter.

Menurut OS, sebelum jatuh dia sempat berpaut pada kayu staging dan bagian
muka sebelah kirinya sempat di hentam serpihan kayu sebelum OS jatuh ke tanah.
Posisi ketika jatuh tidak diketahui. OS sempat pingsan, mual, muntah dan pusing.
Lama pingsan tidak diketahui tapi OS sudah sadar penuh sewaktu datang ke IGD.
OS sadar telinganya berdarah selepas sadar dari pingsannya. Jumlah perdarahan
banyak, warna merah segar. 
OS mengeluh perdarahan di telinga kanan tetap berlangsung selepas ± 2 jam pasca
kecelakaan. OS juga nyeri pada telinga kanan dan mengeluh pendengaran di
telinga kanan agak terganggu serta bagian muka sisi kanan terasa agak baal dan
agak tidak nyaman. OS merasa sakit di seluruh tubuh dan agak sedikit pusing.
Keluhan sesak nafas di sangkal.

C. Riwayat Penyakit Dahulu : 


Keluhan di telinga pertama kali dirasakan. Sebelumnya OS tidak pernah terlibat
dalam sebarang kecelakaan kerja. Riwayat penyakit sistemik lain disangkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga : 


Riwayat hipertensi (-), sakit gula (-), infeksi kronis (-), asma (-), tumor (-). Tiada
anggota keluarga dengan gejala yang sama.

E. Riwayat Kebiasaan :
Makan minum biasa 3 kali sehari, riwayat merokok (+), konsumsi alcohol (+),
olahraga (-), Riwayat pemakaian alat pelindung diri sewaktu bekerja (-),

III. PEMERIKSAAN FISIK


Kesadaran : Compos mentis GCS: 15
Keadaan umum : tampak sakit berat
Tinggi Badan : 168 cm Berat Badan : 70 kg

Tanda Vital
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Suhu : 37.6 oC
Pernafasan : 16 x/menit
Kepala : normocephali, vulnus excoriatum di bawah pelipis kanan, vulnus
laseratum pada wajah
Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+
Hidung : normal
Mulut : normal
Leher : tidak tampak distensi vena, trachea teraba lurus di tengah, KGB dan tiroid
tidak teraba membesar

Thorax
Paru
Inspeksi : tipe pernafasan abdominal-torakal, tampak simetris dalam keadaan
statis maupun dinamis, jejas (-)
Auskultasi : suara nafas vesikuler,ronki (-),wheezing (-)

Jantung
Auskultasi : bunyi jantung I & II normal, splitting (-), irama regular, murmur (-),
gallop (-)

Abdomen :datar, supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepatosplenomegali (-),
bising usus (+) normal

Ekstremitas
Atas : tidak sianosis, akral hangat, tidak ada oedem, pulsasi arteri radialis teraba
normal, vulnus laseratum di              lengan kanan
Bawah : tidak sianosis, akral hangat, tidak edema, pulsasi arteri dorsalis pedis dan
arteri tibialis posterior                        teraba, vulnus laseratum di paha kanan
Genital : tidak diperiksa
Pemeriksaan motorik N.VII perifer :  
1. m. frontalis Mengangkat alis ke atas 0
2. m. sourcilier Mengerutkan alis 0
3. m. piramidalis Angkat & kerutkan hidung ke atas 0
4. m. orbikularis okuli Pejam mata sekuatnya 1
5. m. zigomatikus Tertawa lebar sehingga tampak gigi 0
6. m. levator komunis Memoncongkan mulut ke depan sampai terlihat gigi 1
7. m. businator Menggembungkan kedua2 pipi 1
8. m. orbikularis oris bersiul 1
9. m. triangularis Tarik kedua sudut bibir ke bawah 1
10. m. mentalis Memoncongkan mulut yg tertutup rapat ke depan 1

Total skor: 6/30 = 20%       Grade : severe dysfunction

Pemeriksaan Penunjang :
(a) Pemeriksaan darah lengkap 
HGB 13,8 g/dl 12,0-14,0 g/dl Normal
HCT 39% 37-43% Normal
PLT 270 x 103/mm3 150-390x103/mm3 Normal
WBC 7,8 x 103/mm3 3,5-10,0 x 103/mm3 Normal
RBC 4,68 x 106/mm3 3,8-5,8 x 106/mm3 Normal
LED 27 47 Normal
MCV 88 fl 80-97 fl Normal
MCH 29,4 pg 26,5-33,5 pg Normal
MCHC 33,6 g/dl 31,5-35,0 g/dl Normal
RDW 13,1 % 10,1-15,0 % Normal
(b) Pemeriksaan kimia darah 
SGOT 43/ul 38/ul Meningkat
SGPT 49/ul 41/ul Meningkat
Ureum 25,5 mg/dl 10-50 mg/dl Normal
Creatinine 0,76 mg/dl 0,7-1,2 mg/dl Normal
Albumin 4,8 mg/dl 3,4 – 4,8 mg/dl Normal perbatasan
Natrium 136 meq/L 135-147 meq/L Normal
Kalium 2,7 meq/L 3,5-5.0 meq/L Normal
Clor 96 meq/L 94-11,1 meq/L Normal
Gula Darah Sewatu 97 mg/dl 70-140 mg/dl Normal

(c) CT-Scan mastoid tanpa injeksi:


Hasil interpretasi: 
- Fraktur multiple pada temporal mastoid kanan
- Tampak perdarahan pada telinga tengah dan antrum mastoid kanan
- Cellulae mastoidea kanan tampak bayangan udara di sertai perdarahan
- Tegmen tympani baik. Sinus sigmoid kanan tampak menyempit (tertekan oleh
fragmen tulang)
- CAE kanan dan kiri tampak cerah
- Mastoid air cells kiri cerah
- Cerebellum dan batang otak baik
- Sebagian parenkim cerebri frontal, temporal dan occipital yang ter’scanning’
tampak baik. Tidak tampak perdarahan. 
Kesimpulan: 
 Fraktur multiple pada temporal mastoid kanan disertai perdarahan pada telinga
tengah dan mastoid kanan.
(d) Test Audiometri & Tympanometri: 
Hasil interpretasi: 
- Telinga kanan: AC > BC. Gap (+) sebanyak > 10 dB.
Tympanogram: kemungkinan ada cairan di telinga tengah
- Telinga kiri: AC> BC. Gap (+) sebanyak < 10 dB
Tympanogram: normal
Kesan: tuli konduktif derajat sedang telinga kanan

RESUME
Pasien laki-laki berusia 36 tahun datang di hantar ke IGD RSOB dengan keluhan
cedera kepala di sertai perdarahan di telinga kanan sejak ± 2 jam SMRS. OS
sebelumnya ada riwayat jatuh dari ketinggian ± 20m. OS sempat pingsan, mual
dan muntah sebelum masuk ke IGD.
Pemeriksaan fisik di dapatkan: perdarahan aktif di telinga kanan warna merah
segar, CAE kanan menyempit dengan sedikit tonjolan tulang, vulnus excoriatum
di pelipis kanan bawah, vulnus laseratum di wajah, lengan kanan bawah dan paha
kanan.
Status neurologis:
- Mulut terlihat sedikit mencong ke kiri
- kelopak mata kanan tidak dapat menutup
- tidak dapat mengangkat alis kanan
- tidak dapat mengerutkan alis
- tidak dapat mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas
- tidak bisa tertawa lebar
- tidak bisa memoncongkan bibir kedepan
- tidak bisa menggembungkan pipi kiri
- tidak dapat bersiul
- tidak dapat menarik sudut bibir kanan ke bawah

Pemeriksaan penunjang:
1. CT-scan: Fraktur multiple pada temporal mastoid kanan disertai perdarahan
pada telinga tengah dan mastoid kanan.
2.Audiometri: tuli konduktif derajat sedang telinga kanan
3.Timpanometri: cairan di telinga tengah auris dextra

IV. DIAGNOSIS KERJA


Paresis nervus fasialis perifer dextra dan tuli konduktif derajat sedang auris dextra
e.c fraktur multiple os temporal mastoid dextra.
Dasar: dari hasil anamnesis dengan riwayat cedera kepala akibat terjatuh dari
tempat tinggi, hasil dari pemeriksaan motorik N.VII dengan skor 20%, hasil CT-
scan menunjukkan adanya tanda fraktur di temporal mastoid dextra dan hasil
audiometri yang menunjukkan AC> BC dengan gap > 10 dB pada telinga kanan.

V. DIAGNOSIS BANDING
Paresis nervus fasialis central

V. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

VI. PENATALAKSANAAN
1. IVFD Ringer Laktat 20 tpm
2. Analgetic morphine dalam larutan infuse
3. Observasi airway, breathing, circulation dan tanda vital
4. Posisikan pasien dalam setengah duduk.
5. Hentikan perdarahan di telinga dengan depth tampon
6. Cuci telinga kanan dengan H2O2
7. Antibiotic tetes telinga pada auris kanan
8. Rujuk ke spesialis THT dan bedah

DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing SM, Neurologi KlinikPemeriksaan Fisik dan Mental: Saraf


Otak, FK UI Jakarta 2004, hal 55-59

2. Meritt HH. A. Texbook of Neurogy : Injury to Cranial and Peripheral Nerves,


Philadelphia; 1967. p. 378-81

3. Bradley WG,Daroff RB,Fenichel GM,Marsden CD. Neurologi in Clinical


Practise: The Cranial Neuropathies. Vol II. Boston : Butterworth-Heinemann;
1989.p.1557

4. Walton SJ.Brain’s Disease of of the Nervous System: the Seventh of Facial


Nerve.6th ed.ford.Oxford University Press;1985.p.114-15

5. Mardjono M.Sidharta P.Neurologi Klinis Dasar: Saraf Otak dan Patologinya.


Jakarta: Dian Rakyat; 2000.hal 162

6. Harsono.Kapita Selekta Neurologi: Neuropati dan Miopati.Edisi II.Yogyakarta


:Gadjah Mada University Press;2000.hal 297-98

Anda mungkin juga menyukai