EPIDEMIOLOGI (3, 4)
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-
diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang
sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan
trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s
palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan.
Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan
frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak
pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak
didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada
beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan .
ANATOMI (5)
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga
hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba)
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang
menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut
parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut
dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang
telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral
umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif
dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang
menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai
saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di
ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi
pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda
timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi
ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada
akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan
sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan
keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral
pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius
dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis
bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan
dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi
otot- otot wajah.
PATOFISIOLOGI (6)
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun
demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis
bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas,
tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus
fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya
inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat
gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa
terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah
di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam
sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin
seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka
diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus
fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di
sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus
herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada
Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya
lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada
usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut
mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa
digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara
wajar sehingga tertimbun disitu.
ETIOLOGI (1)
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
A. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s
palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain :
sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,
hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,
gangguan imunologik dan faktor genetic.
B. Kongenital
a. anomali kongenital (sindroma Moebius)
b. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
C. Didapat
4. Tersenyum
5. Bersiul
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan
timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau
berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang
mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya
mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya.
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini
terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau
1-2 tahun kemudian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2. Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy,
“http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/ sPalsy.html” (diakses tanggal
11 desember 2011)
3. Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,
“http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156” (diakses
tanggal 22 Desember 2011).
4. Annsilva, 2010, Bell’s Palsy, “http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s-
palsy-case-report/” (diakses tanggal 11 desember 2011)
5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
6. Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html”,
(diakses tanggal 12 Desember 2011)
7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
8. Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy,
http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html (diakses tanggal 12
desember 2011)
9. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2
10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian
Rakyat, 1985 : 311-17
PARESE NERVUS FASIALIS PERIFER
I.PENDAHULUAN
Parese nervus fasialis perifer merupakan kelemahan jenis lower motor neuron
yang terjadi bila nukleus atau serabut distal nervus fasialis terganggu, yang
menyebabkan kelemahan otot wajah.1 Parese nervus facialis biasanya mengarah
pada suatu lesi nervus fasialis ipsilateral atau dapat pula disebabkan lesi nukleus
fasialis ipsilateral pada pons.2
III. ETIOPATOGENESIS
Parese nervus fasialis timbul karena berbagai etiologi dengan proses patogenesis
yang bervariasi, yaitu :
1.Trauma
Parese nervus fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi
fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka
tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab.
Nervus fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma akusik
atau neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.3
2.Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling
sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat.
Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel schwann,
kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang
akhir dari nervus fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat
kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri
karotis dapat mengganggu fungsi motorik nervus fasialis secara ipsilateral.4
3. Paralisis nervus fasialis perifer telah dijelaskan dalam banyak kasus embriopati
talidomid..Larutan antiseptic kloroseksol yang banyak digunakan dalam pasta
elektroda dan berbagai krim kulit, telah dilaporkan bahwa dapat menyebabkan
paralisis fasialis yang tiba-tiba.Ingesti etilenglikol, baik dalam percobaan bunuh
diri maupun mabuk, dapat mengakibatkan kelemahan fasial tipe perifer, baik
permanen ataupun temporer.4
4. Kongenital
Parese nervus fasialis bilateral kadang merupakan kelainan congenital yang
kemungkinan terjadi karena adanya gangguan perkembangan nervus fasialis dan
seringkali bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).5
5.Bell’s Palsy
Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau
tidak menyertai penyakit lain. Karena proses yang dikenal awam sebagai masuk
angin atau dalam bahasa inggris “cold” nerfus facialis bisa sembab. Karena
terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe
LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.6
6.Penyakti-penyakit tertentu
Parese fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya DM,
hepertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi telinga tengah,
sindrom Guillian Barre.6
V.DIAGNOSA BANDING
Lesi kortikal pada lesi ini dapat ditemukan keterlibatan tanda kortikal dan tanpa
adanya gangguan pada otot dahi dan kelopak mata atas ini disebut sebagai lesi
supranuklear. Dan lagi, kelemahan pada lesi perifer adalah sama dalam setiap
jenis pergerakan, sementara pada lesi supranuklear dapat timbul perbedaan antara
pergerakan volunter dan ekspresi emosional. Pergerakan volunter dapat lebih
meningkat ataupun menurun dibandingkan pada saat pasien tersenyum atau
tertawa.
Myasthenia Gravis, adalah satu cara untuk membedakannya dengan parese fasialis
adalah bahwa myasthenia gravis memberikan respon terhadap injeksi tensilon atau
neostigmin.
VI.PENATA LAKSANAAN
1. Proteksi mata sebelum tidur
2. Masase otot yang lumpuh. Pasien hendaknya melakukan masase otot wajah
selama 5 menit dua kali sehari. Masase ini dimulai dari dagu dan bibir dan
diarahkan ke atas
3. Sebuah bidai untuk mencegah kendurnya otot wajah bagian bawah yang
dipakai secara umum dalam penanganan beberapa kasus. Sebuah metode
sederhana yakni dengan membidai otot yang lumpuh dengan cara menggunakan
plaster adhesive yang direkatkan pada dahi yang dibelah pada bagian bawahnya
sehingga berbentuk seperti huruf “Y“ terbalik kemudian direkatkan pada bibir atas
dan bawah seperti sedemikian rupa sehingga keduanya terangkat.
4. Stimulasi energi listrik dengan aliran galvanik berenergi lemah dianggap cukup
bermanfaat.
7. Tidak ada bukti yang nyata bahwa operasi dekompresi saraf fasialis cukup
efektif dan bahkan hal tersebut bisa membahayakan.
VII.PROGNOSIS
Jika dengan stimulasi listrik teridentifikasi adanya aktivitas dari motorik unit dan
jika dalam beberapa hari nervus fasialis sama sekali tidak dapat terstimulasi maka
prognosisnya kurang baik. Dilaporkan bahwa adanya fibrilasi spontan dari otot
dalam 2 atau 3 minggu menandakan bahwa setidaknya beberapa serabut saraf
telah mengalami degenersi Wallerian. Kadang kadang dapat timbul gejala berupa
spasme klonik otot wajah meskipun hal tersebut jarang parah. Sindrom air mata
buaya, suatu lakrimasi unilateral pada saat makan bisa terjadi beberapa kasus,
yang terjadi akibat berpindahnya serabut saraf dari ganglion genikulatum ke
glandula lakrimalis. Lebih dari 50% kasus Bell’s palsy sembuh sempurna dalam
kurun waktu beberapa bulan.5
VIII.KESIMPULAN
1. Parese nervus fasialis perifer dapat terjadi dengan berbagai etiologi diantaranya
trauma, tumor, toksin, congenital, penyakit tertentu, serta idiopatik (Bell’spalsy).
2. Manifestasi klinik dari parese nervus fasialis tergantung dari lokasi lesinya
3. Prognosis parese nervus fasialis perifer tergantung dari cepat tidaknya tindakan.
CONTOH KASUS
I. IDENTITAS
Nama : TN .L
Jenis Kelamin : LAKI-LAKI
Umur : 36 tahun
Pendidikan : SMA
Agama : Protestan
Tgl Masuk : 22 Agustus 2010 , pukul 22.00WIB
II. ANAMNESIS
Auto-alloanamnesis (dari IGD tanggal 22-08-10 pukul 22.00WIB)
A. Keluhan Utama :
Cedera di kepala dengan perdarahan di telinga kanan sejak kurang lebih 2 jam
SMRS.
Menurut OS, sebelum jatuh dia sempat berpaut pada kayu staging dan bagian
muka sebelah kirinya sempat di hentam serpihan kayu sebelum OS jatuh ke tanah.
Posisi ketika jatuh tidak diketahui. OS sempat pingsan, mual, muntah dan pusing.
Lama pingsan tidak diketahui tapi OS sudah sadar penuh sewaktu datang ke IGD.
OS sadar telinganya berdarah selepas sadar dari pingsannya. Jumlah perdarahan
banyak, warna merah segar.
OS mengeluh perdarahan di telinga kanan tetap berlangsung selepas ± 2 jam pasca
kecelakaan. OS juga nyeri pada telinga kanan dan mengeluh pendengaran di
telinga kanan agak terganggu serta bagian muka sisi kanan terasa agak baal dan
agak tidak nyaman. OS merasa sakit di seluruh tubuh dan agak sedikit pusing.
Keluhan sesak nafas di sangkal.
E. Riwayat Kebiasaan :
Makan minum biasa 3 kali sehari, riwayat merokok (+), konsumsi alcohol (+),
olahraga (-), Riwayat pemakaian alat pelindung diri sewaktu bekerja (-),
Tanda Vital
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Suhu : 37.6 oC
Pernafasan : 16 x/menit
Kepala : normocephali, vulnus excoriatum di bawah pelipis kanan, vulnus
laseratum pada wajah
Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+
Hidung : normal
Mulut : normal
Leher : tidak tampak distensi vena, trachea teraba lurus di tengah, KGB dan tiroid
tidak teraba membesar
Thorax
Paru
Inspeksi : tipe pernafasan abdominal-torakal, tampak simetris dalam keadaan
statis maupun dinamis, jejas (-)
Auskultasi : suara nafas vesikuler,ronki (-),wheezing (-)
Jantung
Auskultasi : bunyi jantung I & II normal, splitting (-), irama regular, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen :datar, supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepatosplenomegali (-),
bising usus (+) normal
Ekstremitas
Atas : tidak sianosis, akral hangat, tidak ada oedem, pulsasi arteri radialis teraba
normal, vulnus laseratum di lengan kanan
Bawah : tidak sianosis, akral hangat, tidak edema, pulsasi arteri dorsalis pedis dan
arteri tibialis posterior teraba, vulnus laseratum di paha kanan
Genital : tidak diperiksa
Pemeriksaan motorik N.VII perifer :
1. m. frontalis Mengangkat alis ke atas 0
2. m. sourcilier Mengerutkan alis 0
3. m. piramidalis Angkat & kerutkan hidung ke atas 0
4. m. orbikularis okuli Pejam mata sekuatnya 1
5. m. zigomatikus Tertawa lebar sehingga tampak gigi 0
6. m. levator komunis Memoncongkan mulut ke depan sampai terlihat gigi 1
7. m. businator Menggembungkan kedua2 pipi 1
8. m. orbikularis oris bersiul 1
9. m. triangularis Tarik kedua sudut bibir ke bawah 1
10. m. mentalis Memoncongkan mulut yg tertutup rapat ke depan 1
Pemeriksaan Penunjang :
(a) Pemeriksaan darah lengkap
HGB 13,8 g/dl 12,0-14,0 g/dl Normal
HCT 39% 37-43% Normal
PLT 270 x 103/mm3 150-390x103/mm3 Normal
WBC 7,8 x 103/mm3 3,5-10,0 x 103/mm3 Normal
RBC 4,68 x 106/mm3 3,8-5,8 x 106/mm3 Normal
LED 27 47 Normal
MCV 88 fl 80-97 fl Normal
MCH 29,4 pg 26,5-33,5 pg Normal
MCHC 33,6 g/dl 31,5-35,0 g/dl Normal
RDW 13,1 % 10,1-15,0 % Normal
(b) Pemeriksaan kimia darah
SGOT 43/ul 38/ul Meningkat
SGPT 49/ul 41/ul Meningkat
Ureum 25,5 mg/dl 10-50 mg/dl Normal
Creatinine 0,76 mg/dl 0,7-1,2 mg/dl Normal
Albumin 4,8 mg/dl 3,4 – 4,8 mg/dl Normal perbatasan
Natrium 136 meq/L 135-147 meq/L Normal
Kalium 2,7 meq/L 3,5-5.0 meq/L Normal
Clor 96 meq/L 94-11,1 meq/L Normal
Gula Darah Sewatu 97 mg/dl 70-140 mg/dl Normal
RESUME
Pasien laki-laki berusia 36 tahun datang di hantar ke IGD RSOB dengan keluhan
cedera kepala di sertai perdarahan di telinga kanan sejak ± 2 jam SMRS. OS
sebelumnya ada riwayat jatuh dari ketinggian ± 20m. OS sempat pingsan, mual
dan muntah sebelum masuk ke IGD.
Pemeriksaan fisik di dapatkan: perdarahan aktif di telinga kanan warna merah
segar, CAE kanan menyempit dengan sedikit tonjolan tulang, vulnus excoriatum
di pelipis kanan bawah, vulnus laseratum di wajah, lengan kanan bawah dan paha
kanan.
Status neurologis:
- Mulut terlihat sedikit mencong ke kiri
- kelopak mata kanan tidak dapat menutup
- tidak dapat mengangkat alis kanan
- tidak dapat mengerutkan alis
- tidak dapat mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas
- tidak bisa tertawa lebar
- tidak bisa memoncongkan bibir kedepan
- tidak bisa menggembungkan pipi kiri
- tidak dapat bersiul
- tidak dapat menarik sudut bibir kanan ke bawah
Pemeriksaan penunjang:
1. CT-scan: Fraktur multiple pada temporal mastoid kanan disertai perdarahan
pada telinga tengah dan mastoid kanan.
2.Audiometri: tuli konduktif derajat sedang telinga kanan
3.Timpanometri: cairan di telinga tengah auris dextra
V. DIAGNOSIS BANDING
Paresis nervus fasialis central
V. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
VI. PENATALAKSANAAN
1. IVFD Ringer Laktat 20 tpm
2. Analgetic morphine dalam larutan infuse
3. Observasi airway, breathing, circulation dan tanda vital
4. Posisikan pasien dalam setengah duduk.
5. Hentikan perdarahan di telinga dengan depth tampon
6. Cuci telinga kanan dengan H2O2
7. Antibiotic tetes telinga pada auris kanan
8. Rujuk ke spesialis THT dan bedah
DAFTAR PUSTAKA