Anda di halaman 1dari 8

Ontologi 

merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi
tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki
pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya,
kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal
sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang
merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin
sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa
dianggap ada berdiri sendiri).
Hakikat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:

1. kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki
kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang
berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan
konkret secara kritis.
Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni Monisme, Dualisme, Materialisme, Idealisme,
Agnostisisme
Monisme: aliran yang mempercayai bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada adalah satu saja,
baik yang asa itu berupa materi maupun ruhani yang menjadi sumber dominan dari yang lainnya.
Para filosof pra-Socrates seperti Thales, Demokritos, dan Anaximander termasuk dalam kelompok
Monisme, selain juga Plato dan Aristoteles. Sementara filosof Modern seperti I. Kant dan Hegel
adalah penerus kelompok Monisme, terutama pada pandangan Idealisme mereka.
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan filsafat yang paling kuno.
Pertama kali diperkenalkan oleh filosof Yunani bernama Thales atas pernungannya terhadap air
yang terdapat dimana-mana, dan sampai pada kesimpulan bahwa “air merupakan substansi
terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu”. Yang penting bagi kita bukanlah
mengenai kesimpulannya tersebut melainkan pendiriannya bahwa mungkin segala sesuatu berasal
dari satu substansi saja.
Dualisme: kelompok ini meyakini sumber asal segala sesuatu terdiri dari dua hakikat, yaitu
materi(jasad) dan jasmani(spiritual). Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri
sendiri, sama-sama abadi dam azali. Perhubungan antara keduanya itulah yang menciptakan
kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini
ialah dalam diri manusia.
Descartes adalah contoh filosof Dualis dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang
(kebendaan). Aristoteles menamakan kedua hakikat itu sebagai materi dan forma (bentuk yang
berupa rohani saja). Umumnya manusia dengan mudah menerima prinsip dualisme ini, karenaa
kenyataan lahir dapat segera ditangkap panca indera kita, sedangkan kenyataan batin dapt segera
diakui adanya dengan akal dan perasaan hidup.
Materialisme: aliran ini menganggap bahwa yang ada hanyalah materi dan bahwa segala sesuatu
yang lainnya yang kita sebut jiwa atau roh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri.
Menurut pahan materialisme bahwa jiwa atau roh itu hanyalah merupakan proses gerakan
kebendaan dengan salah satu cara tertentu.
Materialisme terkadang disamakan orang dengan naturalisme.Namun sebenarnya terdapat
perbedaan antara keduanya. Naturalisme merupakan aliran filsafat yang menganggap bahwa alam
saja yang ada, yang lainnya di luar alam tidak ada. (Tuhan yang di luar alam tidak ada). Sedangkan
yang dimaksud alam (natural) disana ialah segala-galanya meliputi benda dan roh. Sebaliknya
materialisme menganggap roh adalah kejadian dari benda, jadi tidak sama nilainya dengan benda.
Filsafat Yunani yang pertama kali muncul juga berdasarkan materialisme, mereka disebut filsafat
alam (natuur filosofie). Mereka menyelidiki asal-usul kejadian alam ini pada unsur-unsur kebendaan
yang pertama. Thales (625-545 s.M) menganggap bahwa unsur asal itu air. Anaximandros (610-545
s.M) menganggap bahwa unsur asal itu apeiron yakni suatu unsur yang tak terbatas. Anaximenes
(585-528 s.M) menganggap bahwa unsur asal itu udara. Dan tokoh yang terkenal dari aliran ini
adalah Demokritos (460-360 s.M) menggap bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang
banyak jumlahnya tak dapat dihitung dan sangat halus. Atom-atom itulah yang menjadi asal
kejadian peristiwa alam. Pada Demokritos inilah tampak pendapt materialisme klasik yang lebih
tegas.
Idealisme: idealisme merupakan lawan dari materialisme yang juga dinamakan spiritualisme. Aliran
menganggap bahwa hakikat kenyataan yang beraneka warna itu semua berasal dari roh (sukma)
atau yang sejenis dengan itu. Intinya sesuatu yang tidak berbentuk dan yang tidak menempati
ruang. Menurut aliran ini materi atau zat itu hanyalah suatu jenis daripada penjelmaan roh. Alasan
yang terpenting dari aliran ini adalah “manusia menganggap roh lebih berharga, lebih tinggi nilainya
dari materi bagi kehidupan manusia. Roh dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya, sehingga
materi hanyalah badannya, bayngan atau penjelmaan saja.
Agnostisisme: pada intinya Agnostisisme adalah paham yang mengingkari bahwa manusia mampu
mengetahui hakikat yang ada baik yang berupa materi ataupun yang ruhani. Aliran ini juga menolak
pengetahuan manusia tentang hal yang transenden. Contoh paham Agnostisisme adalah para
filosof Eksistensialisme, seperti Jean Paul Sartre yang juga seorang Ateis. Sartre menyatakan tidak
ada hakikat ada (being) manusia, tetapi yang ada adalah keberadaan (on being)-nya.
Istilah istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah:

 yang-ada (being)
 kenyataan/realitas (reality)
 eksistensi (existence)
 esensi (essence)
 substansi (substance)
 perubahan (change)
 tunggal (one)
 jamak (many)
Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi,
ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Dengan demikian Ontologi adalah ilmu pengetahuan yang meneliti segala sesuatu yang ada.
Epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang teori, sedangkan Aksiologi adalah kajian tentang
nilai ilmu pengetahuan.

Ontologi berasal dari kata "Onthos" yang berarti berada dan "Logos" berarti ilmu. Jadi bisa
disimpulkan bahwa ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu yang ada
sehingga sesuatu tersebut bisa dipercaya masyarakat. ... Contoh Ontologi Pendidikan yaitu:
Apa hakikatnya Pendidikan yang di dirikan pemerintah.

Ontologi sendiri merupakan cabang ilmu filsafat mengenai sifat (wujud) atau fenomena yang


ingin diketahui manusia. ... Ontology merupakan mengerjakan terjadinya pengetahuan dari
sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi
kemanusiaan (Stephen Litle John).
ONTOLOGI

Dr. HM. Zainuddin, MARabu, 13 November 2013 . in Wakil Rektor I . 63793 views

1.   Ontologi           Tiap-tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang


penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah: ontologi,
epistemologi dan aksiologi (Jujun, 1986 : 2).           Ontologi menjelaskan mengenai
pertanyaan apa, epistemologi menjelaskan
pertanyaan bagaimana dan aksiologi menjelaskan pertanyaan untuk apa. Ontologi
merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling
kuno. Sejak dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan ontologis,
sebagaimana Thales ketika ia merenungkan dan mencari apa sesungguhnya hakikat ”yang
ada” (being) itu, yang pada akhirnya ia berkesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu
(yang ada) itu adalah air. Ontologi merupakan azas dalam menetapkan batas ruang lingkup
wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika)
(Jujun, 1986 :2). Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakekat
kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari
pandangan tentang apa dan bagaiman yang ada (being) itu.
Paham idealisme atau spiritualisme, materialisme, dualisme, pluralisme dan seterusnya
merupakan paham ontologis yang akan menentukan pendapat dan bahkan keyakinan kita
masing-masing tentang apa dan bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak
dicapai oleh ilmu itu (Koento Wibisono, 1988 :7). Louis O. Kattsoff (1987 : 192) membagi
ontologi dalam tiga bagian: ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif dan kualitatif,
serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesuatu dipandang
dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena
dipertanyakannya mengenai tunggal atau jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga
berangkat dari pertanyaan: apakah yang merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan
ontologi monistik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya;
keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya
ontologi monistik melahirkan monisme atau idealisme dan materialisme (lihat, Hery, 17-18).
Ada beberapa pertanyaan ontologis yang melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Misalnya
pertanyaan: Apakah yang ada itu? (what is being?), bagaimanakah yang ada itu (how  is
being?) dan di manakah yang ada itu? (where is being?).   A. Apakah yang ada itu (what is
being ?) Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir empat aliran filsafat, yaitu: monisme,
dualisme, idealisme dan agnotisme. 1. Aliran monisme. Aliran ini berpendapat, bahwa yang
ada itu hanya satu. Bagi yang berpendapat bahwa yang ada itu serba spirit, ideal, serba
roh, maka dikelompokkan dalam aliran monisme-idealisme. Plato adalah tokoh filosuf yang
bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan
kenyataan yang sebenarnya (lihat Kattsoff, 1997:17).

1. Aliran dualisme. Aliran ini menggabungkan antara idealisme dan materialisme


dengan mengatakan, bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber,
yaitu hakikat materi dan hakikat rohani. Descartes bisa digolongkan dalam aliran ini
(Harun Hadiwijono, 1991:49).
2. Aliran pluralisme.  Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang tidak hanya
terdiri dari jasmani dan rohani, tetapi juga tersusun dari api, tanah dan udara yang
merupakan unsur substansial dari segala wujud.
1. Aliran agnotisisme. Aliran ini mengingkari kesanggupan manusia untuk
mengetahui hakikat materi maupun hakikat rohani. Mereka juga menolak
suatu kenyataan yang mutlak yang bersifat transenden (Hasbullah Bakri,
1991:60).

B. Bagaimanakah yang ada itu? (how is being ?) Apakah yang ada itu sebagai sesuatu
yang tetap, abadi atau berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno (490-430 SM) menyatakan,
bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka (Kattsoff, 1987:246). Pendapat ini dibantah
oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead, bahwa alam ini dinamis,
terus bergerak dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif (Iqbal,
1981:35).   C.Di manakah yang ada itu? (where is being ?). Aliran ini berpendapat,
bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kudrati, universal, tetap abadi dan abstrak.
Sementara aliran materilaisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik,
kodrati, individual, berubah-ubah dan riil. Dalam hal ini Kattsoff memberikan banyak term
dasar mengenai bidang ontologi, misalnya: yang ada (being), kenyataan (reality), eksistensi
(existence) perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many). Semua istilah tersebut
dijabarkan secara rinci oleh Kattsoff (lihat Kattsoff, 1987: 194). Secara ontologis, ilmu
membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berbeda
dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penalaahan yang berada dalam batas pra-
pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti penciptaan
surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain (agama). Ilmu hanya
merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetauhan yang mencoba
menelaah kehidupan dalam batas-batas ontologi tertentu. Penetapan lingkup batas
penelaahan keilmuan yang bersifat impiris ini adalah merupakan konsistensi pada asas
epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses
penyusunan peryataan  yang benar secara ilmiah (Jujun,  1986: 3) Ontologi keilmuan juga
merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan, sebagaimana
dituturkan di atas. Penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik
objek ontologis sebagaimana adanya (das sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat
diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari nilai-nilai
dogmatis. Suatu peryataan diterima sebagai premis dalam argumentasi ilmiah hanya
setelah melalui pengkajian/penelitian berdasarkan epistemologi keilmuan. Untuk
membuktikan kebenaran peryataan tersebut maka langkah pertama adalah, melakukan
penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris, sejalan dengan apa yang
dikatakan Einstein: “Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apapun juga
teori yang disusunnya. Menurut Jujun (1986:4), metafisika keilmuan yang berdasarkan
kenyataan sebagaimana adanya (das sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang
bersifat seharusnya (das sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan
alat untuk mewujudkan tujuan-tujaun yang mencerminkan das sein agar dapat
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol fenomena alam. Kecenderungan untuk
memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah menurutnya
hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan
mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman
modern.
1. 2.   Epistemologi

Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan


sahnya ilmu pengetahuan (Kattsoff, 1987: 76). Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang
epistemologi:

1. Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang


benar itu? Dan bagaimana cara mengetahuinya?
2. Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar pikiran
kita? Dan kalau ada, apakah kita bisa mengetahuinya?
3. Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang
benar dari yang salah? (Harold Titus et.al., 1984: 187-188).

Secara umum pertanyaan-pertanyaan epistemologis menyangkut dua macam, yakni


epistemologi kefilsafatan yang erat hubungannya dengan psikologi dan pertanyaan-
pertanyaan semantik yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objek
pengetahuan tersebut (Kattsoff, 1987:76). Epistemologi meliputi tata cara dan sarana untuk
mencapai pengetahuan. Perbedaan mengenai pilihan ontologik akan mengakibatkan
berbedaan sarana yang akan digunakan yaitu: akal, pengalaman, budi, intuisi atau sarana
yang lain. Ditunjukkan bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu cara pendekatan dan
batas-batas validitas dari suatu yang diperoleh melalui suatu cara pendekatan ilmiah
(Koento Wibisono, 1988: 7). Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara
ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: pertama, kerangka
pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun; kedua, menjabarkan hipotesis yang
merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut dan ketiga, melakukan verifikasi
terhadap hipotetis tersebut untuk menguji kebenaran peryataannya secara faktual. Secara
akronim metode ilmiah terkenal sebagai logico-hypotetico-verificative atau deducto-
hypotetico-verificative (Jujun, 1986: 6). Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi
yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam.
Verifikasi secara empirik berarti evaluasi secara objektif dari suatu peryataan hipotesis
terhadap kenyataan faktual. Ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain, selain
yang terkandung dalam hipotetis. Demikian juga verifikasi faktual terbuka atas kritik
terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Berfikir ilmiah berbeda
dengan kepercayaan relijius yang memang didasarkan atas kepercayaan dan keyakinan,
tetapi dalam cara berpikir ilmiah didasarkan atas dasar prosedur ilmiah (Jujun, 1986:6).
Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi,
yaitu rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme
lain, misalnya: rasionalisme kritis (kritisisme),
(fenomenalisme), intuisionisme, postivisme dan seterusnya. Rasionalisme adalah suatu
aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau ide, sementara peran indera
dinomorduakan. Pemikiran para filosuf pada dasarnya tidak lepas dari orientasi ini: rasio
dan indera. Dari rasio kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada dasar
ontologik idealisme atau spiritualisme; dan dari indera lalu melahirkan empirisme yang
berpijak pada dasar ontologik materialisme. Rasionalisme timbul pada
masa renaissance yang dipelopori oleh Descartes, seorang berkebangsaan Perancis yang
dijuluki sebagai “Bapak filsafat moderen”. Rasionalisme dikembangkan berdasarkan filsafat 
“ide” Plato. Dalam sejarah kefilsafatan, nama Plato (427-347 S.M) dan Aristoteles (384-322
S.M) merupakan prototype cikal bakal pergumulan antara rasionalisme dan empirisme.
Plato berpendapat, bahwa hasil pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang
kokoh karena sifatnya yan selalu berubah-ubah. Menurutnya, ilmu pengetahuan yang
bersumber dari panca indera diragukan kebenarannya. Menurut Plato alam ide adalah alam
yang sesungguhnya yang bersifat tetap tak berubah-ubah (lihat Harold H. Titus et-al.,
1984:256). Menurut Plato, manusia lahir sudah membawa ide bawaan yang oleh Descartes
(15966-1650 M) dan para tokoh rasionalis yang lain disebut innate ideas. Dengan ide
bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatunnya, dan dari situlah
timbul ilmu pengetahuan (Titus et.al., 1984:256). Menurut rasionalisme Descartes, untuk
memperoleh kebenaran harus dimulai dengan meragukan sesuatu. Seorang yang ragu
berarti sedang berpikir, yang berarti ada. Statemennya yang populer adalah “aku berpikir,
maka aku ada” (cogito ergo sum). Kebenaran adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah
(clear and distinctly), artinya bahwa ide-ide itu seharusnya dapat dibedakan dari gagasan-
gagasan yang laim (Harun Hadiwijono, 1990: 19, 21). Rasionalisme yang dikembangkan
oleh Descartes disamping dapat dukungan dari para pengikutnya, seperti Spinoza dan
Leibniz tidak luput pula dari tantangan. Tantangan utama adalah datang dari seorang filosuf
berkebangsaan Inggris, John Locke (1632-1704 M) dengan filsafat empirisme-nya. Filsafat
empirisme kalau dilacak adalah bersumber dari filsafat Aristoteles yang mengatakan,
bahwa realitas yang sebenarnya adalah terletak pada “benda-benda kongkret” yang dapat
diindera, bukan pada ide sebagaimana kata Plato (lihat Bertens, 1984: 153). Menurut
Aristoteles karena realitas adalah bendanya yang kongkret itu sendiri, bukan ide, maka ide
tentang benda tidak terdapat dalam kenyataan. Meski demikian Aristoteles juga mengakui
adanya “ide”, tetapi ide yang terletak pada benda itu sendiri, bukan seperti “ide” Plato yang
berada pada rasio. Menurut Plato, dengan ide terlahir ilmu pengetahuan “yang umum dan
tetap”. Aristoteles tidak menyangkal dalam hal ini, tetapi sesuatu “yang umum dan tetap” itu
tidak berada di dunia “ide” yang tidak kongkret, melainkan berada dalam bendanya yang
kongkret itu sendiri. Teori Aristoteles ini disebut dengan teori helemorphisme, materi
bentuk. Artinya untuk bisa dikatakan benda, maka harus terdiri dari “materi dan bentuk”
(lihat Bertens, 1976: 12-13). Berdasarkan teori helemorphisme Aristoteles, John Locke
berpendapat, bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris. Menurut
Locke, ketika manusia dilahirkan didalam akalnya merupakan sejenis buku catatan yang
kosong yang lebih dikenal dengan teori tabularasa, dan di dalam buku inilah tercatat
pengalaman-pengalaman inderawi. Dia memandang akal sebagai tempat penampungan,
yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut (Kattsoff, 1987: 137).
Kebenaran yang diperoleh empirisme bersifat korespondensi, hasil hubungan antara subjek
dan objek melalui pengalaman, sehingga mudah dibuktikan dan diuji. Kebenaran didapat
dari pengalaman melalui proses induktif, dari suatu benda lalu ditarik kesimpulan. Menurut
Locke pengalaman ada dua macam: pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman
batiniah (reflexion) yang keduanya saling jalin-menjalin, karena menurutnya segala sesuatu
yang berada di luar diri kita menimbulkan ide-ide dalam diri kita (Harun Hadiwijono, 1990:
36). Filsafat empirisme dikembangkan oleh filosuf-filosuf Inggris: F. Bacon, T. Hobbes, J.
Locke, C. Berkeley dan D. Hume (Peurser, 1989: 81). Emperisme Locke juga
dikembangkan oleh Comte, seorang filosuf berkebangsaan Perancis dengan
teori Postivisme-nya. Menurut positivisme, yang ada adalah yang tampak, segala gejala di
luar fakta ditolak. Oleh sebab itu metafisika pun ditolak (Harun, 1990: 32). Beda emperisme
dengan positivisme adalah keduanya mengutamakan pengalaman, tetapi positivisme hanya
membatasi diri pada pengalaman objektif, sementara emperisme menerima pengalaman
subjektif (batiniah) (Harun, 1990:109-110). Tesis rasionalisme melahirkan antitesis yang
berupa empirisme dan dari keduanya pada abad belakangan memunculkan sintesis baru
yang disebut dengan rasionalisme kritis yang dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804),
seorang filosuf berkebangsaan Jerman. Rasionalisme kritis memang tepat ketika
mengatakan, bahwa rasionalitas suatu ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat dicari
pada kekuatan nalar ilmiah sendiri, melainkan justru pada keterbukaan terhadap realitas
empiris (Peursen, 1989 : 86). Kant membedakan empat macam pengetahuan:
pengetahuan analitis a priori, sintesis a priori, analitis a posteriori, sintesis a
posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya
pengalaman, atau yang ada sebelum pengalaman. Pengetahuan a posteriori adalah terjadi
sebagai akibat pengalaman. Pengetahuan analitis apriori adalah pengetahuan yang
dihasilkan oleh analisis-analisis terhadap unsur-unsur a priori dan pengetahuan sintesis a
priori dihasilkan oleh akal terhadap bentuk-bentuk pengalaman sendiri dan penggabungan
unsur-unsur yang tidak saling bertumpu. Pengetahuan analitis a posteriori dan analisisnya
diperoleh setelah ada pengalaman (Kattsoff, 1987:143-144). Berbeda dengan para ahli
yang lain, Kattsoff mengatagorikan filsafat Kant sebagai filsafat fenomenalisme, bukan
rasionalisme kritis (Bandingkan dengan Harun Hadiwijono, 1990: 65). Disamping itu muncul
pula aliran intuisionisme yang dipelopori oleh seorang filosuf Perancis modern, Henry
Bergson. Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung
dan seketika. Sebagaimana kata Kattsoff (1987: 146), bahwa salah satu unsur yang
berharga dalam intuisionisme Bergson adalah kemungkinan suatu bentuk pengalaman
(intuisi) di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Setidaknya dalam beberapa hal,
intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi, ia hanya mengatakan, bahwa
pengetahuan yang lengkap adalah pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi (Kattsoff,
1987: 147). Kembali kepada pertanyaan epistemologi, apakah kebenaran itu? Dalam hal ini
Jujun (dalam A.M. Saifuddin et.al., 1991: 16-17) menuturkan, bahwa ilmu dalam upaya
untuk menemukan kebenaran mendasarkan dirinya kepada beberapa kriteria kebenaran:
yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatisme. Koherensi merupakan teori kebenaran
yang mendasarkan diri kepada kriteria kebenaran tentang konsistensi suatu argumentasi.
Sekiranya terdapat konsistensi dalam alur berpikir, maka kesimpulan yang ditariknya
adalah benar, sebaliknya jika terdapat argumentasi yang bersifat tidak konsisten, maka
kesimpulan yang ditariknya adalah salah. Landasan koherensi inilah yang dipakai sebagai
dasar kegiatan keilmuan untuk menyusun pengetahuan yang
bersifat sistematis dan konsisten.           Koresponden merupakan teori kebenaran yang
mendasarkan diri pada kriteria taentang kesesuaian antar materi yang dikandung oleh
suatu pernyataan dengan objek yang dikenai pernyataan tersebut. Jika kita menyatakan
“gula itu rasanya manis”, maka peryataan itu benar sekiranya dalam kenyataanya gula itu
rasanya memang manis. Sebaliknya, jika kenyataanya gula itu rasanya tawar, maka
peryataan itu salah. Jadi, kebenaran harus sesuai dengan kenyataan setelah dibuktikan
(verifikasi). Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada
kriteria tentang berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu
tertentu. Jadi, bila suatu teori keilmuan secara fungsional mampu menjelaskan,
meramalkan dan mengontrol suatu gejala alam tertentu, maka secara pragmatis teori
tersebut benar, dan sekiranya dalam kurun waktu yang berlainan muncul teori lain yang
lebih funsional, maka kebenaran itu teralihkan kepada teori baru tersebut. Dengan
demikian, secara pragmatis, dunia keilmuan memberikan preferensi kepada teori yang
bersifat lebih menyakinkan dan lebih bersifat umun (universal) dibandingkan dengan teori-
teori sebelumnya. Penganut positivisme ilmu pengetahuan hanya mengakui satu
kebenaran, yaitu kebenaran inderawi, yang teramati dan yang terukur, yang dapat
diulangbuktikan oleh siapa pun. Di luar itu tidak diakui sebagai kebenaran. Sementara
rasionalisme hanya mengakui kebenaran etik (Noeng Muhadjir, 1990: 214).

1. 3.   Aksiologi

Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai yang pada umumnya
ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa
yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana kehidupan kita yang
menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil dan kawasan
simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu,
aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam
menerapkan ilmu ke dalam praksis (Van Melsen, 1990: 107). Pertanyaan mengenai
aksiologi menurut Kattsoff (1987:331) dapat dijawab melalui tiga cara: Pertama, nilai
sepenuhnya berhakekat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai itu merupakan
reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung
kepada pengalaman-pengalaman mereka; kedua, nilai-nilai merupakan kenyataan-
kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-
nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini
dinamakan objektivisme logis; ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang
menyusun kenyataan, yang demikian ini disebut objektivisme metafisik. Dalam pendekatan
aksiologis ini, Jujun (1986: 6) menyebutkan, bahwa pada dasarnya ilmu harus digunakan
dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu menurutnya
dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia
dengan memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan
alam. Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan
disusun di pergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti, bahwa ilmu
merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan
ilmu menurut kebutuhannya sesuai dengan komunalisme. Universal berarti bahwa ilmu
tidak mempunyai konotasi parokial sepertia: ras, ideologi atau agama. Tidak ada ilmu Barat
dan tidak ada pula ilmu Timur.

(Author)

Anda mungkin juga menyukai