merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi
tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki
pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya,
kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal
sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang
merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin
sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa
dianggap ada berdiri sendiri).
Hakikat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
1. kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki
kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang
berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan
konkret secara kritis.
Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni Monisme, Dualisme, Materialisme, Idealisme,
Agnostisisme
Monisme: aliran yang mempercayai bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada adalah satu saja,
baik yang asa itu berupa materi maupun ruhani yang menjadi sumber dominan dari yang lainnya.
Para filosof pra-Socrates seperti Thales, Demokritos, dan Anaximander termasuk dalam kelompok
Monisme, selain juga Plato dan Aristoteles. Sementara filosof Modern seperti I. Kant dan Hegel
adalah penerus kelompok Monisme, terutama pada pandangan Idealisme mereka.
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan filsafat yang paling kuno.
Pertama kali diperkenalkan oleh filosof Yunani bernama Thales atas pernungannya terhadap air
yang terdapat dimana-mana, dan sampai pada kesimpulan bahwa “air merupakan substansi
terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu”. Yang penting bagi kita bukanlah
mengenai kesimpulannya tersebut melainkan pendiriannya bahwa mungkin segala sesuatu berasal
dari satu substansi saja.
Dualisme: kelompok ini meyakini sumber asal segala sesuatu terdiri dari dua hakikat, yaitu
materi(jasad) dan jasmani(spiritual). Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri
sendiri, sama-sama abadi dam azali. Perhubungan antara keduanya itulah yang menciptakan
kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini
ialah dalam diri manusia.
Descartes adalah contoh filosof Dualis dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang
(kebendaan). Aristoteles menamakan kedua hakikat itu sebagai materi dan forma (bentuk yang
berupa rohani saja). Umumnya manusia dengan mudah menerima prinsip dualisme ini, karenaa
kenyataan lahir dapat segera ditangkap panca indera kita, sedangkan kenyataan batin dapt segera
diakui adanya dengan akal dan perasaan hidup.
Materialisme: aliran ini menganggap bahwa yang ada hanyalah materi dan bahwa segala sesuatu
yang lainnya yang kita sebut jiwa atau roh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri.
Menurut pahan materialisme bahwa jiwa atau roh itu hanyalah merupakan proses gerakan
kebendaan dengan salah satu cara tertentu.
Materialisme terkadang disamakan orang dengan naturalisme.Namun sebenarnya terdapat
perbedaan antara keduanya. Naturalisme merupakan aliran filsafat yang menganggap bahwa alam
saja yang ada, yang lainnya di luar alam tidak ada. (Tuhan yang di luar alam tidak ada). Sedangkan
yang dimaksud alam (natural) disana ialah segala-galanya meliputi benda dan roh. Sebaliknya
materialisme menganggap roh adalah kejadian dari benda, jadi tidak sama nilainya dengan benda.
Filsafat Yunani yang pertama kali muncul juga berdasarkan materialisme, mereka disebut filsafat
alam (natuur filosofie). Mereka menyelidiki asal-usul kejadian alam ini pada unsur-unsur kebendaan
yang pertama. Thales (625-545 s.M) menganggap bahwa unsur asal itu air. Anaximandros (610-545
s.M) menganggap bahwa unsur asal itu apeiron yakni suatu unsur yang tak terbatas. Anaximenes
(585-528 s.M) menganggap bahwa unsur asal itu udara. Dan tokoh yang terkenal dari aliran ini
adalah Demokritos (460-360 s.M) menggap bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang
banyak jumlahnya tak dapat dihitung dan sangat halus. Atom-atom itulah yang menjadi asal
kejadian peristiwa alam. Pada Demokritos inilah tampak pendapt materialisme klasik yang lebih
tegas.
Idealisme: idealisme merupakan lawan dari materialisme yang juga dinamakan spiritualisme. Aliran
menganggap bahwa hakikat kenyataan yang beraneka warna itu semua berasal dari roh (sukma)
atau yang sejenis dengan itu. Intinya sesuatu yang tidak berbentuk dan yang tidak menempati
ruang. Menurut aliran ini materi atau zat itu hanyalah suatu jenis daripada penjelmaan roh. Alasan
yang terpenting dari aliran ini adalah “manusia menganggap roh lebih berharga, lebih tinggi nilainya
dari materi bagi kehidupan manusia. Roh dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya, sehingga
materi hanyalah badannya, bayngan atau penjelmaan saja.
Agnostisisme: pada intinya Agnostisisme adalah paham yang mengingkari bahwa manusia mampu
mengetahui hakikat yang ada baik yang berupa materi ataupun yang ruhani. Aliran ini juga menolak
pengetahuan manusia tentang hal yang transenden. Contoh paham Agnostisisme adalah para
filosof Eksistensialisme, seperti Jean Paul Sartre yang juga seorang Ateis. Sartre menyatakan tidak
ada hakikat ada (being) manusia, tetapi yang ada adalah keberadaan (on being)-nya.
Istilah istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah:
yang-ada (being)
kenyataan/realitas (reality)
eksistensi (existence)
esensi (essence)
substansi (substance)
perubahan (change)
tunggal (one)
jamak (many)
Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi,
ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Dengan demikian Ontologi adalah ilmu pengetahuan yang meneliti segala sesuatu yang ada.
Epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang teori, sedangkan Aksiologi adalah kajian tentang
nilai ilmu pengetahuan.
Ontologi berasal dari kata "Onthos" yang berarti berada dan "Logos" berarti ilmu. Jadi bisa
disimpulkan bahwa ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu yang ada
sehingga sesuatu tersebut bisa dipercaya masyarakat. ... Contoh Ontologi Pendidikan yaitu:
Apa hakikatnya Pendidikan yang di dirikan pemerintah.
B. Bagaimanakah yang ada itu? (how is being ?) Apakah yang ada itu sebagai sesuatu
yang tetap, abadi atau berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno (490-430 SM) menyatakan,
bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka (Kattsoff, 1987:246). Pendapat ini dibantah
oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead, bahwa alam ini dinamis,
terus bergerak dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif (Iqbal,
1981:35). C.Di manakah yang ada itu? (where is being ?). Aliran ini berpendapat,
bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kudrati, universal, tetap abadi dan abstrak.
Sementara aliran materilaisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik,
kodrati, individual, berubah-ubah dan riil. Dalam hal ini Kattsoff memberikan banyak term
dasar mengenai bidang ontologi, misalnya: yang ada (being), kenyataan (reality), eksistensi
(existence) perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many). Semua istilah tersebut
dijabarkan secara rinci oleh Kattsoff (lihat Kattsoff, 1987: 194). Secara ontologis, ilmu
membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berbeda
dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penalaahan yang berada dalam batas pra-
pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti penciptaan
surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain (agama). Ilmu hanya
merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetauhan yang mencoba
menelaah kehidupan dalam batas-batas ontologi tertentu. Penetapan lingkup batas
penelaahan keilmuan yang bersifat impiris ini adalah merupakan konsistensi pada asas
epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses
penyusunan peryataan yang benar secara ilmiah (Jujun, 1986: 3) Ontologi keilmuan juga
merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan, sebagaimana
dituturkan di atas. Penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik
objek ontologis sebagaimana adanya (das sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat
diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari nilai-nilai
dogmatis. Suatu peryataan diterima sebagai premis dalam argumentasi ilmiah hanya
setelah melalui pengkajian/penelitian berdasarkan epistemologi keilmuan. Untuk
membuktikan kebenaran peryataan tersebut maka langkah pertama adalah, melakukan
penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris, sejalan dengan apa yang
dikatakan Einstein: “Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apapun juga
teori yang disusunnya. Menurut Jujun (1986:4), metafisika keilmuan yang berdasarkan
kenyataan sebagaimana adanya (das sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang
bersifat seharusnya (das sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan
alat untuk mewujudkan tujuan-tujaun yang mencerminkan das sein agar dapat
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol fenomena alam. Kecenderungan untuk
memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah menurutnya
hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan
mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman
modern.
1. 2. Epistemologi
1. 3. Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai yang pada umumnya
ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa
yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana kehidupan kita yang
menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil dan kawasan
simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu,
aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam
menerapkan ilmu ke dalam praksis (Van Melsen, 1990: 107). Pertanyaan mengenai
aksiologi menurut Kattsoff (1987:331) dapat dijawab melalui tiga cara: Pertama, nilai
sepenuhnya berhakekat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai itu merupakan
reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung
kepada pengalaman-pengalaman mereka; kedua, nilai-nilai merupakan kenyataan-
kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-
nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini
dinamakan objektivisme logis; ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang
menyusun kenyataan, yang demikian ini disebut objektivisme metafisik. Dalam pendekatan
aksiologis ini, Jujun (1986: 6) menyebutkan, bahwa pada dasarnya ilmu harus digunakan
dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu menurutnya
dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia
dengan memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan
alam. Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan
disusun di pergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti, bahwa ilmu
merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan
ilmu menurut kebutuhannya sesuai dengan komunalisme. Universal berarti bahwa ilmu
tidak mempunyai konotasi parokial sepertia: ras, ideologi atau agama. Tidak ada ilmu Barat
dan tidak ada pula ilmu Timur.
(Author)