Anda di halaman 1dari 6

Autoimmune Optic Neuropathy (AON)

Dr.dr. AA Mas Putrawati Triningrat, SpM(K)

Autoimmune optic neuropathy (AON) jarang yang berpotensi menyebabkan kebutaan jika tidak
didiagnosa dan ditangani dengan tepat. Optic neuropathy (ON) terutama idiopatik berupa
kelainan bawaan, berhubungan dengan lesi demielinasi (seperti multiple sclerosis, neuromielitis
optika) atau penyebab jarang lainnya seperti penyakit autoimun (misalnya sarcoidosis, SLE),
akibat infeksi dan parainfeksi (misalnya sifilis, TB), inflamasi dan respon imun post vaksin
(misalnya sinusitis, vaksin rubella) (Hoorbakht dan Bagherkashi, 2012).

Optic Neuritic on Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit kronik, autoimun dan multi sistem
dengan gambaran klinis yang luas dan menyerang hamper seluruh organ dan jaringan.Prevalensi
SLE di berbagai Negara bervariasi antara 2,9 per 100.000 sampai 400 per 100.000, sering
mengenai wanita pada usia subur dengan rasio laki-laki: perempuan 1:10. Insiden SLE
cenderung meningkat tiga kali lipat dalam 40 tahun terakhir. Diagnosa SLE ditegakkan bila
memenuhi empat atau lebih dari 11 gejala klinis menurut criteria American College of
Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997 (Betsias dkk, 2005 ; Sivaraj dkk, 2007; Joewono, 2008;
Palejwala dkk, 2012).
Sindrom Sjogren’s sekunder adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada SLE dan
retinopati lupus mungkin merupakan kelainan okular yang paling mudah dikenali (Amigo dkk,
2012; Palejwala dkk, 2012; Bajwa dan Foster, 2014). Kelainan saraf optic pada SLE khususnya
dapat berupa neuritis optik, neuropati optic iskemik, neuropati optic retrobulbar dan atrofi optik.
Mekanisme SLE dapat menyebabkan kelainan pada mata yaitu deposisi kompleks imun,
vaskulitis dan vaskulopati oklusif (Sivaraj dkk, 2007; Wong dan Cunningham, 2013; Bajwa dan
Foster, 2014)
Neuritis optic pada SLE jarang terjadi yaitu sekitar 1% dari pasien, tetapi dapat
merupakan manifestasi awa lsebelum diagnosa SLE ditegakkan. Neuritis optic pada SLE dapat
berupa papillitis atau neuritis retrobulber (Ahmadieh dkk, 1997; Amigo dkk, 2012; Clin, 2010;
Palejwala dkk, 2012). Penatalaksanaan kasus neuritis optika dalah ONTT (Optic Neuritis
Treatment Trial) berupa injeksi Metilprednisolon 250 mg setiap 6 jam selama 3 hari dan
dilanjutkan dengan Prednison oral 1 mg/kgbb/hari selama 11 hari kemudian dilakukan tappering
off sesuai kondisi klinis. Terapi pilihan untuk SLE adalah kortikosteroid. Regimen terapi lain
seperti Cyclophosphamide (CYC) dapat diberikan bersama kortikosteroid jika pasien tidak
berespon terhadap monoterapi kortikosteroid (Rodriguez dkk, 1999; Betsiasdkk, 2005; AAO,
2014-2015).

Multiple Sclerosis associated Optic Neuropathy (MSON)


Berdasarkan International Panel on Multiple Sclerosis Diagnosis, diseminasi visualisasi MRI
lesi CNS dalam ruang dan waktu cukup dalam diagnosis MS meskipun belum terjadinya gejala
klinis terjadi (Hickman dkk, 2002). Pasien dengan ON demielinasi akut khas pada dewasa muda
sehat. Wanita lebih banyak, dengan rasio sekitar 3:1. Untuk alasan yang masih belum jelas,
insiden MS berhubungan dengan ON tertinggi pada orang yang tinggal di lintang lebih tinggi
(misalnya USA Utara, Eropa Utara dan Barat, New Zealand dan Australia Selatan) dan
berkurang secara signifikan mendekati ekuator. Penelitian melaporkan adanya korelasi antara
reduksi dalam level vitamin D dan peningkatan resiko terjadinya/kekambuhan MS. Intensitas
lebih rendah dan paparan lebih sedikit sinar matahari pada daerah lintang atas dapat menjelaskan
variasi epidemiologi MS ( Hoorbakht dan Bagherkashi, 2012).
Gambaran klinis pasien menentukan jenis pemeriksaan yang diperlukan. Pemeriksaan
oftalmik, neurologi, dan sistemik lengkap dikerjakan dalam mendiagnosa ON (Menon dkk, 2011;
Mehrotra dkk, 2007). Pemeriksaan sistemik meliputi analisa CSF terdiri dari determinasi protein
total, albumin, IgG, IgA, IgM, glukosa, laktat, jumlah sel, analisa virology/mikrobiologi dan
ikatan oligoklonal. Ikatan oligoklonal protein di CSF merupakan prediktor penting dalam resiko
MS (Hoorbakht dan Bagherkashi, 2012). ON dapat terjadi sebagai penyakit rekurensi atau
monofasik, baik pada mata yang sama ataupun kontralateral terutama pada pasien yang menjadi
MS (Foroozan dkk, 2002). Adanya lesi putih demielinasi pada scan MRI, diameter 3 mm atau
lebih besar, ovoid, lesi putih berlokasi di area periventrikel dan menyebar ke ruang ventrikel,
diidentifikasi sebagai predictor terkuat dalam perkembangan MS. Resiko MS mengikuti
demielinasi ON lebih jarang pada anak-anak daripada dewasa dan estimasinya 13% pada 10
tahun, 19% pada 20 tahun, dan 26% pada 40 tahun (Shams dan Plant, 2009; Menon dkk, 2011).
Tujuan dari pengobatan yang ada dan emergensi meliputi terapi steroid dan
imunomodulator untuk mengurangi jumlah dan keparahan serangan, dan mencegah hilangnya
axon dan disabilitas lanjut pada ON dan MS (Pau dkk, 2011). Berdasarkan ONTT, pengobatan
dengan metilprednisolon intra vena diikuti prednisone oral menghasilkan angka kejadian lebih
rendah terjadinya MS pada 2 tahun pertama, tetapi efek ini tidak berlanjut setelah tahun ke3. Hal
ini menunjukkan 16% resiko terjadinya MS dalam 5 tahun dengan temuan MRI otak normal,
37% dengan 1-2 lesi, dan 51% dengan >= 3 lesi. Hanya berbeda statistic secara signifikan pada
10 tahun antara tanpa lesi ( 22% resiko) dan 1/lebih lesi (56% resiko), yang dapat meningkat
menjadi 25% dan 75% masing-masing pada tahun ke 15 ( Hoorbakht dan Bagherkashi, 2012).

Neuromyelitis optica (NMO)


Neuromyelitis optica (NMO) merupakan penyakit inflamasi autoimun idiopatik dari central
nervous system (CNS) yang mengenai saraf optic dan spinal cord ( Wingerchuk dkk, 2006).
Eugene Devic, pertama kali melaporkan NMO pada tahun 1994, perempuan 45 tahun dengan
acute transverse myelitis dan satu hari kemudian mengalami bilateral optic neuritis. Pemeriksaan
patologi menunjukkan demyelinisasi ekstensif dan nekrosis pada spinal cord dan saraf optik(
Akiyuki dkk, 2012). Telah lama terjadi kontroversi dimana dikatakan NMO merupakan varian
dari multiple sclerosis (MS), tetapi didapatkan sebagian besar pasien NMO mempunyai
autoantibody terhadap aquaporin-4 (AQP4) sehingga telah diketahui pathogenesis yang
menunjukkan perbedaan dari MS. Prevalensi NMO dilaporkan 0.5 per 100.000 di Kuba, 1.0 di
Meksiko, 2.0 di Inggris, 1.4-2.8 di Amerika dan 4.4 di Denmark (Gomez dkk, 2009; Rivera dkk,
2008; Cossburn dkk,2012; Mealy dkk, 2012). Di Jepang dilaporkan prevalensi NMO 2.8 per
100.000. Di Asia proporsi yang tinggi antibody AQP4 yang positif pada penyakit idiopatik
demyelinisasi CNS (40,3% di Cina, 39,3% di Thailand dan 33,1% di korea) dibandingkan
dengan ras kaukasian. NMO merupakan salah satu penyakit mayor neuroimunologi di Asia
(Long dkk, 2012; Siritho dkk, 2011; Muto dkk, 2013)
Tahun 2006 dilakukan revisi kriteria diagnosis NMO yang sekarang digunakan untuk
mendiagnosis NMO. Kriteria NMO termasuk adanya (1) Optik neuritis dan (2) acute myelitis
dengan (3) sedikitnya dua dari: (a) longitudinal lesi sedikitnya tiga segmen spinal cord; (b)
magnetic resonance imaging (MRI) otak bukan merupakan kriteria MS (criteria paty’s yang
mana adanya empat atau lebih lesi white matter atau tiga lesi dan salah satunya pada
periventrikular) dan (c) NMO-IgG sero positif(Wingerchuk dkk, 2006).
Untuk serangan akut, kortikosteroid intravena merupakan terapi lini pertama baik itu
pada optik neuritis yang terjadi maupun myelitis. Metilprednisolon intravena diberikan dengan
dosis 1000 mg setiap hari sampai lima hari dan dilanjutkan prednisone oral tapering off ( Beck
dkk, 1992; Brusaferri dkk, 2000; Wingerchuk dkk, 2007). Pada serangan akut plasma exchange
bias ditambahkan untuk mengurangi sequele yang terjadi. Pasien dengan NMO progresivitas
disabilitas yang terjadi dipengaruhi oleh seberapa sering serangan terjadi. Oleh karena itu terapi
imunosupresif diperlukan sebagai maintenance. Imunoterapi diberikan sebagai maintenance
dimulai saat pasien telah mengalami dua kali serangan atau lebih atau pada serangan pertama
terdapat longitudinal ekstensif myelitis dan NMO-IgG seropositif yang mana menunjukkan
resiko tinggi untuk relaps (Bonnam dkk, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadieh, H et al.1997.Successful Treatment of Optic Neuritis in Association with Systemic


Lupus Erythematosus using Intravenous cyclophospamide. British Journal of
Opthalmology,81,130-132

Akiyuki et al.2012. Recovery from Optic Neuritis Attack in Neuromyelitis Optica Spectrum
Disorder and Multiple Sclerosis. Journal of Neurological Sciences,367,375-379
American Academy of Opthalmology Staff.2014-2015.Optic Neuritis.Neuroopthalmology
Section 5 .p119
Amigo et al.2012.Autoimmune Optic Neuropathy as The First Manifestation of Systemic Lupus
Erythematosus.RevBras Oftalmology,71(2),106-10
Bajwa and Foster.2014.Ocular manifestation of Systemic Lupus Erythematosus. Journal of
Clinincal and Cellular Immunology,5:191
Beck et al.1992.Optic Neuritis in Neuromyelitis Optica.NCBI, 36,159-171
Brusaferri et al.2000.Clinical Approach to Optic Neuritis: Pitfall, Red Flags and Differential
Diagnosis. The Advanced Neurology Disorder, 4(2),123-134
Betsias et al.2005. Neutrophil Gelatinase associated Lipocalin as Biomaker for Lupus Nephritis.
Nephrology Dialysis Transplantation,0,1-10
Bonnam et al.2009. A Care of NMO combined with Sjogren Syndrome Presenting Posterior
Reversible Encephalopathy Syndrome.Journal of MS,1(1),27-29
Clin.2000.Neurologic Manifestation of Systemic Lupus Erythematosus in Children and Adults.
Neurology Clinic,28(1),61-73
Cossburn et al.2012.The Incidence and Prevalence of Neuromyelitis Optica. International
Journal MS Care,15(3),113-118
Foorozan et al. 2002. Acute Demyelinating Optic Neuritis. International Journal of
Opthalmology,13(6), 375-80
Gomez et al.2009. An Epidemiological Study of Neuromyelitis Optica in Cuba. Journal of
Neurology,256(1),35-44
Hoorbakht,H and Bagherkashi, F.2012. Optic Neuritis, Its Differential Diagnosis and
Management. The Open Opthalmology Journal,6,65-72
Joewono.2008.Management of Systemic Lupus Erythematosus.Pengabdian kepada Masyarakat,
FK/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Airlangga
Long et al.2012.Differentiation of NMO from Multiple Sclerosis on Spinal MRI. International
Journal MS Care,14(4),209-214
Mealy et al.2012.Epidemiology of Neuromyelitis Optica in United State. Arch Neurology,
69(9),1176-1180
Mehrotra et al.2007. Comparative Evaluation of Megadose Methylprednisolone with
Dexamethasone for Therapy of Primary Typical Optic Neuritis. Indian Journal of
Opthalmology, 55(5), 355-359
Menon, V et al. 2011. Management of Optic Neuritis.Medical Sciences, 59(2), 117-122
Muto et al.2013. Cerebrospinal fluid interleukin-6 and Glial Fibrillary Acidic Protein Levels are
Increased during Initial NMO attack.NCBI,421,181-3
Palejwala, NV et al.2012. Ocular Manifestation of Systemic Lupus Erythematosus: A Review of
The Literature Autoimmune Diseases,2012,1-9
Pau et al.2011.Optic Neuritis.NCBI,25(7),833-42
Rivera et al.2008.Characteristic of Devic’s Disease (NMO) in Mexico. Journal of Opthalmology,
255(5),710-5
Rodriguez, M et al.1999. Immunological Abnormalities in PrimaryAPS evolving into SLE: 6
years follow up in women with repeated pregnancy loss, 8(4),274-8
Shams and Plant.2009. Antegrade Degenration along The Visual Pathway after Optic Nerve
Injury.Plos One, 7(12),1-11
Siritho et al.2011. A Clinical and Radiological Profile of NMO and Spectrum Disorder in an
Indian Cohort.An Indian Academy of Neurology,17(1),778
Sivaraj, RR et al.2007. Ocular Manifestationos Systemic Lupus Erythematosus. Rheumatology
(Oxford),46(12),1757-62
Wingerchuk et al.2006.Revised Diagnostic Criteria for Neuromyelitis Optica.Neurology Of
Opthalomolgy,66(10),1485-9
Wong et al.2013.Treatment of Geographic Atrophy with Subconjunctiva Sirolimus: Result of a
Phase I/II Clinical Trial.IOVS,54(4),2941-50

Anda mungkin juga menyukai