Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Empati

1. Pengertian Empati

Empati menurut Hoffman (2000) adalah kemampuan yang terjadi karena seseorang

memiliki perasaan yang berhubungan dengan situasi dirinya sendiri. Adapun menurut

Davis (1980) empati merupakan reaksi yang cepat, tidak disengaja, dan munculnya

perasaan emosional terhadap pengalaman orang lain, dan kemampuan untuk mengenali

pengalaman emosional orang lain tanpa adanya perantara.

Hurlock mengungkapkan bahwa empati (Fauzia, 2014) adalah kemampuan

memposisikan diri sendiri pada posisi orang lain dan memaknai pengalaman tersebut

serta untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain. Masih dikutip dari Fauziah

(2014), Chaplin menyebutkan bahwa empati merupakan kegiatan menelaah perasaan

sendiri pada satu kejadian suatu objek alamiah atau suatu karya estesis, serta realisasi

dan pengertian terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain. Adapun menurut

Menurut Staub (Puspita & Gumelar, 2014) empati diartikan sebagai perasaan simpati

dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara

tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.

Pendapat yang hampir sama pun disampaikan oleh Rogers (Andayani, 2012) yang

mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang memahami orang lain

dengan cara seolah-olah masuk ke dalam diri orang lain sehingga dapat merasakan dan

14
mengalami perasaan dan pengalaman orang lain tersebut tanpa harus kehilangan

identitas sendiri.

Berdasarkan dari beberapa konstrak yang dituliskan di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa empati merupakan munculnya perasaan emosional, memahami, mengenal dan

memaknai perasaan atau pengalaman orang lain yang kemudian memproyeksikannya

menjadi sebuah tindakan tanpa adanya perantara. Pada penelitian ini, teori empati yang

digunakan adalah penjelasan yang dikemukakan oleh Davis (1980). Hal ini didasarkan

pada cangkupan pengertian dari empati menurut Davis (1980) sudah dapat mencakupi

pengertian empati secara luas.

2. Aspek-Aspek Empati

Davis (1980) mengungkapkan bahwa ada empat aspek yang terdapat dalam

empati, yaitu:

a. Pengambilan Perspektif (Perspective Taking)

Peengambilan perspektif merupakan kecenderungan seseorang untuk

mengambil sudut pandang orang lain secara spontan atau cepat. Contohnya

adalah bagaimana seseorang mencoba memahami cara pikir, perasaan atau

kondisi orang lain dengan melihat suatu hal dari sudut pandang orang tersebut.

b. Fantasi (Fantasy)

Fantasi merupakan kemampuan seseorang untuk memposisikan diri

mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter

khayal dalam buku, film, dan sandiwara yang dibaca atau ditonton. Contohnya

15
ketika seseorang terbawa perasaan sedih, senang, dan takut ketika melihat

potongan adegan dalam kisah fiktif yang mereka baca ataupun tonton.

c. Kecemasan Empatik (Empathic Concern)

Kecemasan empatik yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain

dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain. Contohnya ketika

seseorang merasa kasihan atau sedih ketika melihat orang lain yang kesulitan

ataupun diperlakukan tidak adil.

d. Tekanan Pribadi (Personal Distress)

Tekanan pribadi adalah kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri

serta kegelisahan dalam menghadapi situasi interpersonal yang tidak

menyenangkan. Contohnya adalah ketika seseorang merasa cemas atau tidak

nyaman ketika melihat pengalaman negatif yang dialami orang lain.

Adapun Batson dan Coke (Saputra, 2016) merumuskan bahwa empati

memiliki beberapa aspek yaitu :

a. Kehangatan

Kehangatan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk

bersikap hangat terhadap orang lain. Kehangatan dapat diwujudkan dari

adanya rasa cinta atau kasih sayang yang diberikan antara satu orang ke

orang yang lain.

b. Kelembutan

Kelembutan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk

bersikap maupun bertutur kata lemah lembut terhadap orang lain. Contoh

16
dari kelembutan adalah tidak memperlakukan seseorang dengan etika yang

buruk, seperti berkata kasar, menganiyaya, dan sebagainya.

c. Peduli

Peduli merupakan suatu sikap yang dimiliki seseorang untuk

memberikan perhatian terhadap sesama maupun lingkungan sekitar. Peduli

dapat diwujudkan dari adanya perilaku saling tolong menolong, menghargai,

berbagi, dan sebagainya.

d. Kasihan

Kasihan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk

bersikap iba atau belas kasih terhadap orang lain. Kasihan dapat dicontohkan

dengan seseorang yang merasakan iba dan sedih ketika melihat orang lain

yang sedang mengalami hal buruk.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui terdapat beberapa poin penting terkait

aspek-aspek yang mampu menjelaskan empati. Aspek-aspek yang dirumuskan

Davis mengemukakan bagaimana rasa empati bisa terbentuk dari dalam diri

seseorang disertai dengan pola pikir dan motivasi yang berbeda. Hal ini sedikit

berbeda dengan aspek yang dikemukakan oleh Batson dan Coke, yang

menjelaskan bahwa empati bisa terbentuk dengan adanya perasaan atau sikap

yang sudah terdapat pada diri individu. Namun, pada dasarnya, aspek-aspek

dari kedua teori memiliki banyak kesamaan. Seperti aspek kasihan dan peduli

oleh Batson dan Coke yang dapat dirangkum dalam aspek empathic concern

dari Davis. Aspek-aspek yang dirumuskan oleh Davis kemudian dipilih oleh

17
peneliti karena sudah dianggap mampu mendiskripsikan empati secara lebih

detail.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Empati

Menurut Hoffman (Nurhidayati, 2012) terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi seseorang untuk berperilaku empati, yaitu:

a. Sosialisasi

Sosialisasi dapat mempengaruhi empati melalui permainan-permainan

memberikan peluang kepada anak untuk mengalami sejumlah emosi, membantu

untuk lebih berfikir dan memberikan perhatian kepada orang lain, serta lebih

terbuka terhadap kebutuhan orang lain sehingga akan meningkatkan

kemampuan berempati anak.

b. Mood dan feeling

Apabila seseorang dalam situasi perasaan yang baik, maka dalam

berinteraksi dan menghadapi orang lain akan lebih baik serta menerima keadaan

orang lain.

c. Proses belajar dan indentifikasi

Pada proses belajar, anak belajar membetulkan respons-respons khas dari

situasi yang khas, yang disesuaikan dengan peraturan yang dibuat oleh orang

tua atau penguasa lainnya. Apa yang telah dipelajari anak di rumah pada situasi

tertentu, diharapkan anak dapat menerapkannya pada waktu yang lebih luas.

18
d. Situasi atau tempat

Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik di bandingkan

dengan situasi lainnya bergantung dengan pengalaman sebelumnya yang

pernah seseorang itu dapatkan.

e. Komunikasi dan bahasa

Komunikasi dan bahasa sangat mempengaruhi seseorang untuk

mengungkapkan dan menerima empati.

f. Pengasuhan

Lingkungan yang berempati dari suatu keluarga sangat membantu anak

dalam menumbuhkan empati dalam dirinya. Pengasuhan dari keluarga yang

hangat dan dengan orangtua yang memiliki empati yang baik akan cenderung

menurunkan empati yang baik pula bagi anak-anaknya.

Selain faktor-faktor yang ditemukan diatas, adapun Adapun beberapa literatur

yang ditemukan, beberapa faktor lain yang mempengaruhi timbulnya sikap empati

yaitu adalah kematangan emosi (Asih & Pratiwi, 2010), kecerdasan emosi

(Loannidou, 2008; Badea & Pana, 2010; Skinner dan Spurgeon, 2005), pola asuh

keluarga (Strayer, Faser, & Roberts, 2004), komunikasi yang baik (Janovie,

Ivkovic, Nazor, Grammer, & Jovanovic, 2003), metode pembelajaran Cooperative

Learning (Ginting, 2009).

Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa terdapat satu dari beberapa

faktor yang mempengaruhi adanya sikap empati, yaitu adanya pengaruh dari b

19
pengasuhan atau pola asuh. Hal ini kemudian menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara pola asuh otoriter dengan empati.

B. Pola Asuh Otoriter

1. Pengertian Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter menurut Niaraki dan Rahimi (2012) adalah pola asuh

yang cederung bersifat diktator, rendah kehangatan dalam pengasuhan serta

menjunjung tinggi kedisiplinan yang ketat. Adapun menurut Jadon dan Tripathi

(2017), pola asuh otoriter merupakan tipe pola asuh yang mana orangtua

memberikan tuntutan yang tinggi kepada anak-anaknya, namun pihak orangtua

tidak responsif sama sekali.

Baumrind (1991) pun menjelaskan, orangtua yang menggunakan pola

asuh otoriter cenderung mencoba untuk membentuk, mengontrol dan

mengevaluasi perilaku anak dengan menentukan standar tertentu. Olla,

Daulima, dan Putri (2018) mengungkapkan bahwa orangtua yang

menggunakan pola asuh otoriter cenderung mengharuskan anaknya untuk

menurut, dan jika anak tidak menuruti keinginan orangtuanya, maka anak

tersebut akan diberikan hukuman yang memiliki efek negatif pada self-esteem

dan prestasi di sekolah. Adapun Hidayati (2014) menambahkan bahwa

orangtua dengan pola asuh otoriter akan cenderung mendominasi anak dalam

setiap aspek kehidupannya sehingga mengakibatkan anak menjadi pemurung,

tidak bersahabat, tidak patuh, agresif dan otoriter.

20
Berdasarkan penjelasan beberapa ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa

pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang mana orangtua cenderung

mendominasi anak dalam setiap aspek kehidupannya. Orangtua mencoba

membentuk dan mengontrol anak dengan standar tertentu dan memberikan

tuntutan-tuntutan yang tinggi, selain itu jika anak tidak menurut maka orangtua

akan memberikan hukuman yang bersifat negatif. Pada penelitian ini, teori pola

asuh otoriter yang digunakan adalah penjelasan yang dikemukakan oleh

Baumrind (1991). Hal ini didasarkan pada cangkupan pengertian dari pola asuh

otoriter menurut Baumrind (1991) sudah dapat mencakupi pengertian pola asuh

otoriter secara luas.

2. Aspek-Aspek Pola Asuh Otoriter

Baumrind (Robbinson, 1995) mengungkapkan terdapat empat aspek

yang terdapat pada pola asuh otoriter, yaitu :

a. Kebencian Verbal (Verbal Hostility)

Orangtua cenderung melampiaskan kemarahan pada anak ketika

anak berperilaku tidak sesuai dengan keinginan orangtua. Orangtua

juga sering berargumen dan tidak menerima bantahan dari anak.

Contoh dari verbal hostility termasuk memarahi, membentak,

memaki, dan sebagainya.

21
b. Hukuman Fisik (Corporal Punishment)

Orangtua menghukum secara fisik untuk mendisiplinkan

anaknya, seperti memberikan pukulan dan tarikan yang kasar.

Biasanya orangtua juga cenderung menghukum anak lebih dari yang

seharusnya. Hukuman yang biasa dilakukan termasuk memukul,

mencubit, menampar, dan kekerasan fisik lainnya.

c. Strategi Hukuman yang Tidak Beralasan (Nonreasoning Punitive

Strategies)

Orangtua ketika menghukum anak tidak memberikan alasan

yang jelas, begitupun ketika anak melakukan kesalahan orangtua

tidak memberikan kesempatan untuk anak menjelaskan dan

orangtua pasif untuk mencari tahu alasan perilaku tidak sesuai anak.

Contoh dari perilaku ini adalah ketika anak mendapatkan nilai yang

kurang memuaskan di sekolah, orang tua justru menghukum anak

tanpa mencari tahu alasan mengapa anak tidak mendapatkan nilai

yang tinggi.

d. Pengarahan (Directiveness)

Orangtua memberi arahan apa yang harus dilakukan anaknya

dalam berbagai hal, orangtua juga sering mengkritik atau memarahi

anaknya ketika ekspektasi orangtua tidak terpenuhi. Contoh dari

dicertiveness adalah orangtua yang memegang kontrol penuh dalam

22
pengambilan keputusan tentang anak, seperti waktu belajar, lingkar

pertemanan, dan sebagainya.

C. Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter dan Empati pada Siswa SMA

Setiap orangtua pasti menginginkan anak-anaknya untuk menjadi orang yang

sukses di masa depan, atau sukses dalam standar masing-masing orangtua tersebut.

Agar mencapai kesuksesan tersebut, ada banyak cara yang dilakukan oleh orangtua

yaitu dengan bagaimana orangtua mendidik anak-anaknya di rumah dengan pola

asuh tertentu.

Salah satu jenis pola asuh, yaitu pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang

dengan karakteristik yang keras. Orangtua sangat disiplin, mendominasi dan

mendikte anak-anaknya hampir di setiap aspek kehidupan. Hal ini kemudian

membuat anak cenderung merasa sangat terkekang dan tidak bisa mengembangkan

kemampuannya secara mandiri. Baumrind (1996) pun menjelaskan, orangtua yang

menggunakan pola asuh otoriter cenderung mencoba untuk membentuk,

mengontrol dan mengevaluasi perilaku anak dengan menentukan standar tertentu.

Pola asuh otoriter juga memiliki empat unsur di dalamnya yaitu Verbal Hostility,

Corporal Punishment, Nonreasoning Punitive Strategies, dan Directiveness.

Setiap jenis pola asuh yang diberikan oleh orangtua tentu saja akan menentukan

bagaimana perilaku anaknya kelak di masa depan. Pada pola asuh otoriter, anak

yang cenderung tertekan karena orangtuanya akan menimbulkan sikap-sikap

negatif lainnya, seperti yang dijelaskan Hidayati (2014) bahwa pola asuh otoriter

23
dapat mengakibatkan anak menjadi pemurung dan mempunyai sikap yang kurang

ber-sahabat, agresif, tidak patuh dan otoriter. Begitu pula dengan perkembangan

sikap empati pada anak, pola asuh otoriter dianggap menghambat sikap empati.

Pada pola asuh otoriter, orangtua cenderung memberikan hukuman jika anak

tidak mencapai targetan yang diberikan orang tua. Hal ini akan membuat anak

menjadi terfokus pada bagaimana mencapai target tersebut tanpa memperdulikan

orang lain. Contohnya jika anak di sekolah dituntut untuk mendapatkan ranking

satu di kelas, anak hanya akan terfokus pada mencapai nilai bagus dan menjadi

yang terbaik di kelas. Anak akan menganggap siswa lain sebagai saingan dan

kemungkinan tidak akan membantu siswa lain yang kesulitan belajar karena

dianggap sebagai ancaman. Hal ini akan membuat inisiatif tolong menolong anak

pun berkurang, yang kemudian berdampak pada rasa empati yang tidak

berkembang pada anak. Padahal jika dilihat dari penelitian yang dilakukan Puspita

dan Gumelar (2014) yang menyatakan bahwa perilaku memberikan bantuan atau

yang biasa disebut perilaku prososial dapat terjadi karena adanya rasa empati.

Begitu pula dengan orangtua yang menggunakan pola asuh otoriter, cenderung

berkepribadian keras dan tidak suka dibantah oleh anaknya. Orangtua juga

memberikan hukuman tanpa memberikan kesempatan untuk anak menjelaskan

keadaannya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada komunikasi yang dibangun

dengan baik antara orangtua dan anak. Padahal sebuah komunikasi yang baik

memiliki pengaruh dengan rasa empati, ditunjukkan dari penelitian yang dilakukan

Janovi, Ivkovic, Nazor, Grammer, dan Jovanovi (2003) yang menyatakan bahwa

24
komunikasi antar personal dapat menentukan tinggi rendahnya rasa empati

seseorang.

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara empati

dan pola asuh otoriter pada siswa SMA.

25

Anda mungkin juga menyukai