Anda di halaman 1dari 220

MODUL

GURU PEMBELAJAR

PERIKANAN CCRF DAN PENCEMARAN POLUSI


LINGKUNGAN LAUT

Paket Keahlian
NAUTIKA KAPAL PENANGKAP IKAN

Kelompok Kompetensi A

Penulis : MUHAMMAD M. DJAFAR, S.Pi. M.M

Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan


Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Tahun 2016

i
HALAMAN FRANCIS

Penulis:

1. Muhammad Mashuri Djafar, S.Pi., M.M

Penelaah:

1. Irawan Alham, ST., M.Si

Ilustrator :

1. Faizal Reza Nurzeha, Amd


2. Sierra Maulida Asrin, ST

Copyright ©2016

Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan Tenaga


Kependidikan Bidang Kelautan Perikanan Teknologi Informasi dan
Komunikasi.

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengkopi sebagian atau keseluruhan isi buku ini untuk


kepentingan komersial tanpa izin tertulis dari Kementrian Pendidikan
Kebudayaan.

ii
KATA SAMBUTAN

Peran guru profesional dalam proses pembelajaran sangat penting sebagai kunci
keberhasilan belajar siswa. Guru profesional adalah guru yang kopeten membangun
proses pembelajaran yang baik sehingga dapat menghasilkan pendidikan yang
berkualitas. Hal ini tersebut menjadikan guru sebagai komponen yang menjadi fokus
perhatian pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam peningkatan mutu
pendidikan terutama menyangkut kopetensi guru.
Pengembangan profesionalitas guru melalui program Guru Pembelajar (GP)
merupakan upaya peningkatan kompetensi untuk semua guru. Sejalan dengan hal
tersebut, pemetaan kopetensi guru telah dilakukan melalui uji kompetensi guru (UKG)
untuk kompetensi pedagogik dan profesional pada akhir tahun 2015. Hasil UKG
menunjukanpeta kekuatan dan kelemahan kompetensi guru dalam penguasaan
pengetahuan. Peta kompetensi guru tersebut dikelompokan menjadi 10 (sepuluh)
kelopok kompetensi. Tindak lanjut pelaksanaan UKG diwujudkan dalam bentuk
pelatihan guru paska UKG melalui program Guru Pembelajar. Tujuannya untuk
meningkatkan kompetensi guru sebagai agen perubahaan dan sumber belajar utama
bagi peserta didik. Program Guru Pembelajar dilaksanakan melalui pola tatap muka,
daring (online) dan campuran (blended) tatap muka dengan online.
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenag Kependidikan
(PPPPTK), Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Kelautan Perikanan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LP3TK KPTK) dan
Lembaga Pengembangan dan Pemberayaan Kepala Sekolah (LP2KS) merupakan Unit
Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan yang
bertanggung jawab dalam mengembangkan perangkat dan melaksanakan peningkaan
kompetensi guru sesuai dengan bidangnya. Adapun peragkat pembelajaran yang
dikembangkan tersebut adalah modul untuk program Guru Pembelajar (GP) tatap muka
dan GP online untuk semua mata pelajaran dan kelompok kompetensi. Dengan modul
ini diharapkan program GP memberikan sumbangan yang sangat besar dalam
peningkatan kualitas kompetensi guru.
Mari kita sukseskan program GP ini untuk mewujudkan Guru Mulia Karena Karya.

Jakarta, Desember 2015


Direktur Jendral
Guru dan Tenaga Kependidikan

Sumarna Surapranata, Ph.D


NIP. 195908011985031002

iii
KATA PENGANTAR

Profesi guru dan tenaga kependidikan harus dihargai dan dikembangkan


sebagai profesi yang bermartabat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini dikarenakan guru dan
tenaga kependidikan merupakan tenaga profesional yang mempunyai fungsi,
peran, dan kedudukan yang sangat penting dalam mencapai visi pendidikan
2025 yaitu “Menciptakan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif”. Untuk itu guru
dan tenaga kependidikan yang profesional wajib melakukan pengembangan
keprofesian berkelanjutan.
Modul Diklat Guru Pembelajar merupakan petunjuk bagi penyelenggara
pelatihan di dalam melaksakan pengembangan modul yang merupakan salah
satu sumber belajar bagi guru dan tenaga kependidikan. Modul ini disajikan
untuk memberikan informasi tentang penyusunan modul sebagai salah satu
bentuk bahan dalam kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi
guru dan tenaga kependidikan.
Pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi secara maksimal
dalam mewujudkan modul ini, mudah-mudahan modul ini dapat menjadi acuan
dan sumber inspirasi bagi guru dan semua pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan penyusunan modul untuk pengembangan keprofesian
berkelanjutan. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk
menyempurnakan modul ini di masa mendatang.

Makassar, Desember 2015


Kepala

Dr. H. Rusdi, M.Pd.


NIP. 19650430 199103 1 004

v
DAFTAR ISI

COVER LUAR .................................................................................. i


COVER DALAM ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................ iii
DAFTAR ISI ..................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... vii
DAFTAR TABEL .............................................................................. vii

PENDAHULUAN .............................................................................. 8
A. Latar Belakang ............................................................................. 8
B. Tujuan .......................................................................................... 9
C. Peta Kompetensi .......................................................................... 10
D. Ruang Lingkup ............................................................................. 10
E. Saran Cara Penggunaan Modul 10

KEGIATAN PEMBELAJARAN 1
A. Tujuan .......................................................................................... 12
B. Indikator Pencapaian ................................................................... 13
C. Uraian Materi ............................................................................... 13
D. Aktifitas Pembelajaran ................................................................. 46
E. Latihan/Kasus/Tugas ................................................................... 47
F. Ringkasan .................................................................................... 48
G. Umpan Balik/Tindak lanjut ........................................................... 49
H. Kunci Jawaban ............................................................................. 52

KEGIATAN PEMBELAJARAN 2
A. Tujuan .......................................................................................... 55
B. Indikator Pencapaian ................................................................... 55

vii
C. Uraian Materi ............................................................................... 55
D. Aktifitas Pembelajaran.................................................................. 83
E. Latihan/Kasus/Tugas ................................................................... 84
F. Ringkasan .................................................................................... 85
G. Umpan Balik/Tindak lanjut ........................................................... 86
H. Kunci Jawaban ............................................................................. 89

KEGIATAN PEMBELAJARAN 3
A. Tujuan .......................................................................................... 90
B. Indikator Pencapaian ................................................................... 91
C. Uraian Materi ............................................................................... 91
D. Aktifitas Pembelajaran ................................................................. 154
E. Latihan/Kasus/Tugas ................................................................... 155
F. Ringkasan .................................................................................... 156
G. Umpan Balik/Tindak lanjut ........................................................... 157
H. Kunci Jawaban ............................................................................. 164

KEGIATAN PEMBELAJARAN 4
A. Tujuan .......................................................................................... 165
B. Indikator Pencapaian ................................................................... 165
C. Uraian Materi ............................................................................... 166
D. Aktifitas Pembelajaran ................................................................. 201
E. Latihan/Kasus/Tugas ................................................................... 202
F. Ringkasan .................................................................................... 203
G. Umpan Balik/Tindak lanjut ........................................................... 204
H. Kunci Jawaban ............................................................................. 206

GAMBAR

viii
DAFTAR GAMBAR

1 Kapal penangkap ikan 13


2 Jenis-jenis kapal perikanan 17
3 Kegiatan operasi penangkapan 19
4 Anak buah kapal yang menyiapkan peralatan penangkapan 25
Alat navigasi
5 29

6 Kemudi kapal 31
7 Pelabuhan perikanan 40
8 Kapal sedang berlabuh di pelabuhan perikanan 41
9 Ikan hasil tangkapan nelayan 57
10 Kapal menuju fishing ground 59
11 Kapal perikanan yang siap-siap menuju daerah penangkapan 62
12 Kegiatan penangkapan 67
13 Kapal sedang berlabuh 76
14 Lay out pelabuhan perikanan 77
Pelabuhan perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhan Ratu 78
15

16 Pelabuhan perikanan pantai karangantu Banten 79


17 Pelabuhan perikanan Indonesia Muara Angke Jakarta 80
18 Fungsi dan peran pelabuhan perikanan 82
19 Tumpahan minyak mengakibatkan pencemaran laut 167
20 Asap merupakan polusi udara 187
21 Skema sewage plant 190
22 Incinerator 191
23 Kapal tenggelam salah satu sumber pencemaran 193

ix
DAFTAR TABEL

1 Kebijakan pemerintah menghadapi over eksplotasi dan


Fully eksploitasi 92
2 Defenisi-defenisi berkaitan dengan pencemaran di laut. 160

xi
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Laut merupakan sumber kekayaan alam yang sungguh besar bagi


kehidupan umat manusia. Oleh sebab itu wajarlah jika bangsa-bangsa
saling berlomba mengarahkan perhatian dan minatnya kepada laut sebagai
sumber penghidupan. Dalam hubungan ini maka menjadi kewajiban bagi
seluruh umat manusia untuk mengatur dan menertibkan penggunaan dan
pemanfaatan laut untuk kemaslahatan masa depan. Dalam kesatuan laut
seluas itu hanya sebagian kecil saja yang termasuk dalam kekuasan mutlak
negara-negara merdeka yang kini merupakan anggota masyarakat bangsa-
bangsa dan menentukan politik antar bangsa. Sebagian besar dari laut itu
berada diluar kekuasaan mutlak negara-negara termaksud dan tunduk pada
hukum laut International.
Hukum Laut tumbuh dan berkembang seiring dengan berkembangnya
politik baik yang berhubungan dengan perkembangan sejarah maupun
dengan kepentingan yang kini sedang timbul dengan berbagai
permasalahannya. Salah satunya adalah kegiatan pencemaran laut. Maka
untuk menangani masalah-masalah hukum yang timbul maka dibentuk
komite dengan tugas menangani masalah tersebut diatas dengan lingkup
pekerjaan IMO (International Maritim Organization) maka di bentuk IMO
ASSEMBLY Tahun 1973. Dengan tugas mengkoordinir kegiatan
pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang asalanya dari kapal.
Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki beribu-ribu pulau
dengan area teritori laut yang sangat luas. Daratan Indonesia seluas
1.904.569 km 2 dan lautannya seluas 3.288.683 km 2 yang membentang
sepanjang khatulistiwa dan terletak di antara benua Asia dan Australia serta
di antara Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia.Oleh sebab itu sarana
perhubungan laut menjadi hal yang sangat penting. Karena untuk
menghubungkan antar kota yang satu dengan kota lainnya terlebih pulau

1
satu dengan pulau lainnya, diperlukan suatu sistem pengangkutan untuk
mencapai tujuan tersebut.
Selain itu, semua perhubungan laut membutuhkan alat pengangkut yang
harus dikelola pemeriksaannya dengan teliti dan teratur agar kapal selalu
terjaga keselamatannya selama di laut. Namun sampai saat ini,
pengelolaan, pemberdayaan dan pemanfaatan alat transportasi perairan
belum optimal dikelola oleh negara untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Kecelakaan kapal yang lima tahun belakangan ini sering terjadi
mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap
transportasi laut. Dalam perhubungan laut tentu saja tidak akan terlepas dari
penggunaan kapal sebagai alat pengangkutnya. Penggunaan kapal sebagai
alat transportasi telah dikenal sejak zaman nenek moyang kita. Hal tersebut
terbukti dengan adanya Kapal Pinisi yang merupakan salah satu kapal yang
terkenal di seluruh dunia. Begitu banyak kapal yang melintas di perairan
Indonesia baik sebagai alternatif transportasi maupun sebagai moda
transportasi untuk menunjang usaha perekonomian para pelaku.
Atas dasar tersebut maka disusunlah peraturan pemerintah yang
mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, pelatihan,
perijasahan, kewenangan serta hak dan kewajiban pelaut, pencemaran laut
dan tata laksana perikanan yang bertanggung jawab sebagaimana diuraikan
dalam halaman-halaman berikut ini.
Dalam Modul Diklat PKB pada kompetensi Peraturan Pelayaran memuat :
1. Mengintegrasikan Hukum Maritim
2. Memahami Peraturan Perikanan
3. Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab (CCRF)
4. Menerapkan Marine Polution ( Pencemaran Lingkungan Laut)

B. TUJUAN
Setelah mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan dapat
memahami kompetensi :
1. Hukum Laut
2. Peraturan Perikanan
3. Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab (CCRF)
4. Pencegahan Pencemaran di laut

2
C. PETA KOMPETENSI

1. Menerapkan Hukum Laut & Perikanan, CCRF dan Polusi Laut


2. Dasar-Dasar Keselamatan di kapal
3. Dasar-Dasar Teknik Penangkapan Ikan, Penanganan dan Penyimpanan
Hasil Tangkap
4. Menerapkan Stabilitas dan Bangunan Kapal
5. Bahasa Inggeris Maritim
6. Melakukan Komunikasi di kapal
7. Teknik Penangkapan Ikan, Daerah Penangkapan, dan Bahan dan Alat
Tangkap
8. Dinas jaga dan P2TL
9. Pelayaran Kapal Perikanan
10. Manajemen Nautika Kapal Penangkap Ikan

D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari modul Peraturan pelayaran menguraikan :
1. Kegiatan pembelajaran 1 membahas tentang mengintegrasikan Hukum
Laut
2. Kegiatan pembelajaran 2 membahas tentang Peraturan Perikanan
3. Kegiatan Pembelajaran 3 membahas tentang Tata Laksanan Perikanan
yang Bertanggung Jawab
4. Kegiatan pembelajaran 4 membahas tentang Pencemaran Lingkungan
Laut
Keempat kegiatan belajar tersebut disajikan dalam modul Peraturan
Pelayaran

E. Saran Cara Penggunaan Modul


Modul ini merupakan salah satu sumber belajar pada kompetensi
Peraturan Pelayaran yang diperuntukan kepada peserta diklat PKB pada
program keahlian Teknika Kapal Penangkap Ikan grade 1. Diharapkan
kepada Peserta diklat agar dapat mempelajari dan memahami terlebih
dahulu isi di dalam modul ini, sehingga peserta diklat PKB dapat berperan
aktif dalam proses pembelajaran.

3
Modul ini dirancang sebagai ;
1. Sumber belajar kepada peserta diklat PKB dengan pendekatan
peserta diklat aktif.
2. Widyaiswara berfungsi sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran
3. Lembar tugas peserta diklat untuk menyusun pertanyaan yang berkaitan
dengan isi buku yang memuat apa, mengapa dan bagaimana.
4. Tugas membaca buku teks secara mendalam untuk dapat menjawab
pertanyaan. Apabila pertanyaan belum terjawab, maka peserta diklat
dipersilahkan untuk mempelajari sumber balajar lainnya yang relevan

Dalam Modul ini membahas tentang Hukum Laut dan Peraturan


Perikanan, Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab (CCRF)
Pencemaran polusi Lingkungan Laut.
Setelah mempelajari modul ini anda sebagai peserta diklat PKB
Bidang Keahlian Kelautan dan perikanan diharapkan dapat memahami
Kompetensi sebagaimana tersebut di atas. Teknik-teknik berkenaan dengan
konsep secara khusus dapat dirinci dalam bentuk-bentuk perilaku sebagai
berikut :
1. Kemampuan mengintegrasikan Hukum Laut
2. Kemampuan mengintegrasikan Peraturan Perikanan
3. Melaksanakan Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab
4. Memahami Pencemaran Lingkungan Laut/Marine Polution.

Untuk memberikan kemudahan pada anda dalam mencapai tujuan


tersebut pada masing-masing butir bagian, anda akan selalu menjumpai
uraian materi, bahan latihan, rangkuman/inti sari dan tes formatif sebagai
satu kesatuan utuh. Oleh karena itu sebaiknya anda mengetahui seluruh
pembahasan. Sedangkan untuk memperkaya pemahaman dan memperluas
wawasan anda mengenai materi, disarankan agar membaca buku rujukan
yang sesuai dan dicantumkan di bagian akhir Buku Materi ini.

4
5
6
HUKUM MARITIM

DESKRIPSI PEMBELAJARAN

Hukum laut merupakan rangkaian peraturan dan kebiasaan hukum


mengenai laut yang bersifat keperdataan yang menyangkut kepentingan
perorangan dan bersifat publik yang menyangkut kepentingan umum.
Hukum Maritim adalah pengetahuan yang harus dikuasai oleh para pelaut yang
bekerja di atas kapal, peraturan-peraturan dapat setiap saat berubah disesuaikan
dengan kondisi perkembangan keadaan jaman.

Pentingnya keselamatan pelayaran bagi para pihak yang bersangkutan


dengan pengangkutan di laut terutama bagi para pemakai jasa angkutan sudah
tidak dapat disangkal lagi. Telah menjadi prinsip umum bahwa setiap orang yang
mengirim barang atau penumpang kapal sebagaimana menghendaki terjaminnya
keselamatan jiwa dan barang itu sejak saat pemberangkatannya sampai di
tempat tujuan. Untuk maksud itulah maka kapal sebagai alat angkutan tersebut
terjamin “layak laut “nya (sea worhness), sehingga penyelenggaraan
pengangkutan itu dapat terlaksana dengan tertib, aman dan sempurna.
Modul bahan ajar bagi peserta diklat PKB ini didasarkan dengan kompetensi
yang harus dikuasai oleh peserta diklat. Modul ini disusun sesuai Standar
Training Certifikation and Watchkeeping 1995.

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah Mempelajari modul ini peserta diklat PKB diharapkan mampu dan
memahami :
1. Pengertian Hukum laut dan Hukum Maritim
2. Tujuan Hukum Maritim dan Sumber Hukum
3. Tugas dan tanggungjawab awak kapal sesuai aturan P2TL
4. Hak dan kewajiban anak buah kapal
5. Perjanjian kerja laut
6. kelengkapan dokumen kapal berdasarkan aturan administrasi
pelabuhan

7
7. Pengurusan administrasi kapal berdasarkan aturan kesyahbandaran
B. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI
Indikator pencapaian kompetensi pada modul ini peserta diklat
diharapkan dapat memahami pengertian hukum Laut, tujuan hukum maritim,
tugas, tanggung jawab dan kewajiban nakhoda kapal, memhamai hak dan
kewajiban anak buah kapal, dan memahami perjanjian kerja laut (PKL),
kelengkapan dokumen kapal.

C. URAIAN MATERI

1. Pengertian Hukum Dan Hukum Maritim

Pengertian hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang


bersifat memaksa yang mengurus tata tertib suatu lingkungan masyarakat.
Hukum hanya berlaku dalam suatu masyarakat, pada lingkungan
masyarakat semua orang menjadi pendukung dari kepentingan yang akan
mereka amankan sebaik mungkin. Peraturan hukum memiliki ciri memaksa
yaitu adanya perintah atau larangan dan harus ditegakkan dengan cara
paksa.

Hukum maritim adalah himpunan peraturan-peraturan termasuk


perintah-perintah yang mengurus tata tertib dalam masyarakat maritim dan
oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu (Jordan Eerton,2004).

8
Gambar 1. Kapal Penangkap ikan
Hukum laut ialah hukum yang mengatur laut sebagai objek dengan
mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan dan kepentingan seluruh Negara
termasuk yang tidak berpantai guna pemanfaatan laut dengan seluruh potensi
yang terkandung didalamnya bagi umat manusia sebagaimana tercantum dalam
UNCLOS 1982 beserta konvensi-konvensi internasional yang terkait dengannya.

Hukum laut keperdataan mengatur hubungan-hubungan perdata yang


ditimbulkan karena perajanjian - perjanjian perdata perjanjian - perjanjian
pengangkutan penyeberangan laut dengan kapal laut niaga. Hukum ini
merupakan matra dari hukum pengangkutan adalah bagian dari hukum
dagang termasuk hukum Privat.

Hukum laut Nasional telah berkembang dengan pesat sebagai


akibat perkembangan International yang memerlukan adanya bantuan - bantuan
hukum laut yang dapat menjawab kebutuhan keadaan yang mendesak.
Untuk menjamin terselenggaranya sejumlah kepentingan Nasional, hukum publik
Internasional dapat menjadi sarana, terdapat beberapa peraturan hukum
yang menyangkut dunia pelayaran dan kelautan antara lain:
1. Kitab undang - undang dagang ( 1 Mei 1848, diperbarui 1933 dan
berlaku mulai berlaku mulai 1938 ) Tentang pengangkutan laut indonesia.
2. Undang - undang pelayaran Indonesia 1936 tentang keterbukaan
perdagangan luar negeri telah diterbitkan kebijaksanaan mengenai Inpres
Nomor : 4 / 1985 dan pak Nov 21 / 1988.
3. Ordonansi kapal-kapal 1935 tentang persyaratan kapal untuk alat- alat
perlengkapan dan pengawakan, sebagian besar dari peraturan -
peraturan disesuaikan dengan ketentuan yang ditetapkan SOLAS 1974.
Tujuan hukum maritim antara lain :
a. Menjaga kepentingan tiap-tiap manusia dalam masyarakat maritim, supaya
kepentingannya tidak dapat diganggu,
b. Setiap kasus yang menyangkut kemaritiman diselesaikan berdasarkan
hukum maritim yang berlaku.

9
Hukum Maritim jika ditinjau dari tempat berlakunya maka ada 2
penggolongan yaitu Hukum Maritim Nasional dan Hukum Maritim
Internasional.
Hukum Maritim Nasional adalah Hukum Maritim yang diberlakukan
secara Nasional dalam suatu Negara. Untuk di Indonesia contohnya, adalah :
Buku kedua KUHD tentang Hak dan Kewajiban yang timbul dari Pelayaran
Buku kedua Bab XXIX KUH Pidana tentang Kejahatan Pelayaran
Buku ketiga Bab IX KUH Pidana tentang Pelanggaran Pelayaran
Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Pelayaran
Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 2000 tentang Kepelautan
Keputusan Menteri (KM) Menteri Perhubungan RI No.70 Tentang Pengawakan
Kapal Niaga
Hukum Maritim Internasional adalah Hukum maritim yang diberlakukan
secara Internasional sebagai bagian dari hukum antara Bangsa/Negara.
Contoh Hukum Maritim Internasional :
1. Internastional Convention on Regulation for Preventing Collision at Sea.
1972 (KonvensiInternasional tentang Peraturan untuk mencegah terjadinya
tubrukan di laut Thn 1972).
International Convention on Standard if Training Certification and
Watchkeeping for Seafarars 1978, Code 1995. (Konvensi Internasional
tentang standar Pelatihan, Sertifikasi dan Tugas Jaga pelaut Thn 1978
dengan amandemen thn 1995)
International Convention of Safety of Life At Sea 1974 (Konvensi
Internasional tentang Keselamatan Jiwa di Laut thn 1974).
International Convention for the Prevention if Pollution from Ship 1973/1978
(Konvensi Internasional tentang Pencegahan Pencemaran di Laut dari kapal
thn 1973/1978).
Convention on the International Maritime Satellite Organization 1976
(Konvensi tentang Organisasi Satelit Maritim Internasional/INMARSAT
1976).
International Convention on Maritime Search and Rescue 1979 (Konvensi
Internasional tentang S.A.R Maritim thn 1979).

10
Sumber Hukum
Sumber hukum merupakan segala sesuatu dari mana orang dapat
mengenal bermacam-macam peraturan yang berlaku di dalam masyarakat dan
oleh hukum dianggap sebagai peraturan yang pada hakekatnya merupakan
peraturan-peraturan yang mempunyai ketentuan hukum.
Sumber hukum dapat berupa tulisan-tulisan, dokumen-dokumen, naskah-
naskah. Sumber hukum terdiri atas :
1. Undang-undang / sumber hukum yang utama yaitu keputusan pemerintah
yang menentukan peraturan-peraturan yang mengikat, kekuatan perundang-
undangan berdasarkan Undang-Undang Dasar oleh pemerintah bersama
DPR.
2. Kebiasaan ; hal ini dapat menjadi sumber hukum, bila kebiasaan itu diterima
masyarakat maka timbul kebiasaan hukum yang oleh pergaulan hidup
dipandang sebagai hukum, contoh hukum adat.
3. Yurisprudensi (Keputusan Hakim).
4. Ilmu Pengetahuan berdasarkan kajian-kajian ilmiah mengenai suatu
persoalan
5. Perjanjian dua pihak atau lebih yang mengadakan kesepakatan tentang
suatu hal yang melahirkan perjanjian.

Pendaftaran Kapal
Pengertian kapal menurut Kitab Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal
309 adalah semua perahu dengan bentuk dan jenis apapun. Sedangkan
menurut KUHD pasal 310 yang dimaksud dengan kapal laut adalah semua kapal
yang digunakan untuk pelayaran di laut atau yang diperuntukkan untuk itu.
Dalam pasal 311 yang dimaksud dengan kapal Indonesia adalah kapal yang
dimiliki oleh warga negara Indonsia atau badan hukum dimana dua pertiga %
sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Undang-undang nomor 21 tahun 1992 pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan
kapal adalah kendaraan air, dengan bentuk dan jenis apapun yang digerakkan
oleh tenaga mekanik, tenaga angin, atau di termasuk kendraan yang berdaya

11
dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air serta alat apung dan
bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
Kapal wajib memiliki status hukum atau kebangsaan kapal. Latar belakang
perlunya kapal mempunyai kebangsaan yaitu :
1. Tidak ada suatu negara manapun di dunia mempunyai kekuasaan hukum
di laut bebas.
2. Pelayaran melibatkan berbagai kapal dari berbagai negara dan memasuki
wilayah negara lain.
3. Adanya keterkaitan beberapa hak dan kewajiban atau negara dan
warganya.
4. Point-point di atas dikuatkan pada pasal 92 UNCLOS 82 yang bunyinya:
kapal hanya boleh berlayar dengan suatu negera berbendera dengan
demikian kapal di laut adalah wilayah negara bendera kapal yang diperluas
(Flag State Yuridiction).

Gambar 2. Berbagai jenis kapal penangkap ikan

Untuk menghindari suatu kevakuman hukum di atas kapal, maka kapal


wajib memiliki kebangsaan. Persyaratan untuk memperoleh kebangsaan adalah
kapal sudah dibukukan dalam daftar (register) kapal. Walaupun menurut KUHD
pasal 314, pendaftaran kapal dibukukan dalam daftar (register) kapal, pada
kenyataannya pendaftaran kapal merupakan sesuatu yang wajib, mengingat :

12
1. Merupakan persyaratan untuk memperoleh kebangsaan (UU No. 21 Tahun
1992 pasal 50)
2. Kewajiban nahkoda untuk menyimpan akta pendaftaran di kapal (KUHD
pasal 347)
3. Di kapal harus ada ikhtisar daftar kapal (KUHD pasal 374)
4. Sanksi pidana untuk nahkoda jika tidak mempunyai akta pendaftaran (KUHD
Pasal 561)

Daftar (register) kapal adalah susunan administrasi, buku dan lampiran-


lampiran yang diselenggarakan di kantor-kantor, Syahbandar dan Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut. Pada kapal laut, kapal pendalaman dan kantor
Syahbandar diselenggrakan antara lain :
a. Daftar Harian : Pencatatan rincian akta-akta
b. Daftar Induk : ringkasan akta-akta
Sedangkan dikantor Direktorat Jenderal Perhubungan Laut diseleggarakan
Daftar Induk dari tip-tiap pelabuhan untuk menghindari pendaftaran ganda di
pelabuhan-pelabuhan lain. Segera setelah kapal didaftarkan maka oleh ahli ukur
kapal diselar dengan memuat keterangan tentang Tahun, Nama tempat
Pendaftaran dan Nomor Pendaftaran. Akta pendaftaran diterbitkan oleh ahli ukur
kapal menyerahkan pernyataan tentang telah diselarkannya data-data tersebut
diatas.
Pendaftaran dicoret dalam kapal apabila :
1. Tenggelam atau dirampas bajak laut atau musuh.
2. Terkena ketentuan pelepasan hak pihak tertanggung (KUHD pasal 667)
3. Kehilangan kebangsaan
Sedangkan kapal asing yang sedang dibangun di galangan kapal Indonesia dapat
didaftarkan sementara dan akan berakhir apabila kapal tersebut telah digunakan.
Jenis pendaftaran kapal ada dua yaitu sistem tertutup (closed System) dan
Sistem Terbuka (open system).
Sistem tertutup yaitu sistem pendaftaran kapal yang dianut oleh negara
dimana kapal yang didaftarkan di negaranya hanya kapal-kapal yang miliki oleh
warga negara tersebut dan atau badan hukumnya berdasakan hukum negaranya
dan berkedudukan di negaranya.

13
Sistem terbuka adalah sistem pendaftaran kapal yang dianut oleh suatu
negara dimana kapal yang daftarkan dinegaranya tidak wajib dimiliki oleh warga
negaranya atau badan hukum yang didirikan berdasakan hukum negaranya dan
tidak harus berkedudukan di negaranya.
Suatu kebangsaan atau surat laut tidak berlaku bila :
1. Kapal didaftarkan di luar negeri
2. Kapal tidak cocok lagi dengan pemiliknya (ganti pemilik)
3. Kapal hilang atau dibajak
4. Konstruksi kapal berubah
5. Atas putusan pengadilan
6. Kapal ganti nama

Gambar 3. Kapal yang sedang melakukan penangkapan

Adapun prosedur pendaftaran kapal sebagai berikut :


1. Pemilik kapal membawa dokumen dan sertifikat kapal ke port of
registration yang ia kehendaki
2. Kapal ditaksir ulang (valuation) nilainya
a. Untuk perhitungan bea matrix dan bea balik nama

14
b. Ditetapkan nilainya dan dikeluarkan surat keterangan untuk
membayar dan membayar ke kantor bendahara negara dengan
bukti pembayaran
3. Pemilik ke kantor Syahbandar dengan pegawai pendaftaran akan
mencatat dalam buku registrasi kapal selanjutnya dikeluarkan
GROSS AKTE (Certificate Of Registration) dan di kapal dipasang
TANDA SELAR

Tugas dan Tanggung Jawab Awak kapal Sesuai aturan P2TL


Awak kapal adalah mereka yang namanya tercantum dalam dalam daftar
awak kapal (monsterrol) atau sijil awak kapal. Pekerjaan yang dilakukan di atas
kapal disebut dinas anak kapal yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang
telah diterima untuk bekerja di kapal kecuali pekerjaan nakhoda (pasal 375
alinea 2 KUHD).
Sijil Awak Kapal yaitu daftar yang berisi nama-nama perwira kapal dan
anak buah kapal, anak buah kapal adalah semua awak kapal di bawah perwira
kapal sebagaimana yang diatur dalam pasal 341 bsd 375 bsd 376 alinea 1
KUHD. Sijil awak kapal dibuat rangkap dua di depan pegawai pendaftar awak
kapal, dimana lembar pertama untuk pegawai pendaftar awak kapal, dan lembar
kedua untuk Nakhoda.
Menurut pasal 376 alinea kedua KUHD bahwa sijil awak kapal berisi tentang ;
1. Nama Awak Kapal
2. Nama kapal yang bersangkutan
3. Nama pengusaha kapal dan Nakhoda
4. Kedudukan setiap awak kapal dalam melaksanakan dinas awak kapal
5. Penunjukan siapakah diantara awak kapal menjadi perwira
6. Sijil awak kapal harus ditandatangani oleh nakhoda dan pegawai
pendaftar awak kapal.

I. BAGIAN DECK (DECK DEPARTEMEN)


1. Nakhoda
Nakhoda kapal ialah seseorang yang sudah menanda tangani
Perjanjian Kerja Laut (PKL) dengan Pengusaha Kapal dimana

15
dinyatakan sebagai Nakhoda, serta memenuhi syarat sebagai
Nakhoda dalam arti untuk memimpin kapal sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Semua orang yang mempunyai jabatan di atas kapal itu
disebut Awak kapal, termasuk Nakhoda, tetapi Anak kapal atau
Anak Buah Kapal (ABK) adalah semua orang yang mempunyai
jabatan diatas kapal kecuali jabatan Nakhoda.
Nakhoda kapal adalah seorang dari awak kapal yang menjadi
pimpinan umum di atas kapal serta mempunyai wewenang dan
tanggung jawab tertentu sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (PP RI. No. 51 tahun 2002 tentang
Perkapalan).
Secara ringkas tanggung jawab Nakhoda kapal dapat dirinci antara lain :
1. Memperlengkapi kapalnya dengan sempurna
Mengawaki kapalnya secara layak sesuai prosedur/aturan
Membuat kapalnya layak laut (seaworthy)
Bertanggung jawab atas keselamatan pelayaran
Bertanggung jawab atas keselamatan para pelayar yang ada diatas
kapalnyaMematuhi perintah Pengusaha kapal selama tidak menyimpang
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jabatan-jabatan Nakhoda diatas kapal yang diatur oleh peraturan dan


perundang-undangan yaitu :
1. Sebagai Pemegang Kewibawaan Umum di atas kapal. (pasal 384, 385
KUHD serta pasal 55 UU. No. 21 Th. 1992).
Sebagai Pemimpin Kapal. (pasal 341 KUHD, pasal 55 UU. No. 21 Th. 1992
serta pasal 1/1 (c) STCW 1978)
Sebagai Penegak Hukum. (pasal 387, 388, 390, 394 (a) KUHD, serta pasal
55 No. 21 Th. 1992).
Sebagai Pegawai Pencatatan Sipil. (Reglemen Pencatatan Sipil bagi
Kelahiran dan Kematian, serta pasal 55 UU. No. 21. Th. 1992).
Sebagai Notaris. (pasal 947 dan 952 KUHPerdata, serta pasal 55 UU. No.
21, Th. 1992).

16
Menurut pasal 341 KUHD Tugas Nakhoda adalah memimpin kapal,
kepadanya diberikan kekuasaan umum atas semua orang yang berada di atas
kapal (pelayar), pelayar harus mentaati perintah yang diberikan demi
keselamatan serta tegaknya ketertiban. Sedangkan kekuasaan terhadap awak
kapal lebih besar kekuasaan disipliner. Dengan kekuasaannya nakhoda dapat
menjatuhkan hukuman / sanksi terhadap pelanggar.
1. Muallim I dengan tugas-tugas di kapal sebagai berikut :
a. Kepala dinas deck dan pembantu Nakhoda
b. Membantu nakhoda menjaga ketertiban, disiplin dan mentaati peraturan-
peraturan dinas jaga.
c. Tugas jaga navigasi.
d. Pemuatan dan pembongkaran muatan.
e. Menyelenggarakan tugas administrasi berhubungan dengan muatan
hewan, dan penumpang.
f. Penyerahan dokumen-dokumen kepada keagenan
g. Memelihara alat-alat bongkar muat.
2. Muallim II; dengan tugas-tugas di kapal sebagai berikut :
a. Membantu Nakhoda dalam hal Tugas Jaga Navigasi
b. Bertanggung jawab terhadap peralatan navigasi dan perawatannya dan
peralatan GMDSS
c. Mengoreksi peta dan buku-buku navigasi, menarik garis haluan dan
route dan membuat Voyage Report.
d. Membuat permintaan dan menyimpan barang-barang store Stationeri.
e. Menerima, menyimpan dan penyerahan benda-benda pos dan
administrasinya.
f. Sebagai perwira kesehatan, menyimpan obat-obatan bila dikapal tidak
ada tenaga medis.
g. Membantu muallim I dalam pelaksanaan bongkar muat.
3. Muallim III
a. Tugas Jaga Navigasi
b. Menjaga dan memelihara alat-alat pemadam kebakaran, alat-alat
keselamatan dan bendera.
c. Membuat permintaan mengenai alat-alat keselamatan dan pemadam
kebakaran.

17
d. Merawat lampu navigasi (listrik/minyak tanah).
e. Membuat roll kebakaran dan roll sekoci
f. Membantu muallim I dalam pelaksanaan bongkar muat.

4. Muallim IV,
a. Tugas jaga navigasi
b. Membantu muallim I dalam pelaksanaan bongkar muat
c. Membantu muallim III merawat alat-alat keselamatan
d. Membantu nakhoda di anjungan.
5. Serang / Bosun
a. Sebagai kepala kerja dan mengatur pelaksanaan kerja di bagian deck,
b. menerima perintah kerja dari muallim I
6. Juru Mudi / AB
a. Tugas jaga baik di laut maupun di pelabuhan
b. Mambantu Bosun.

2. BAGIAN MESIN (ENGINE DEPARTEMEN)


1. Kepala Kamar Mesin (KKM)
a. Bertanggung jawab terhadap kelancaran pengoperasian semua
perlatan permesinan dan penunjangnya yang ada di kamar mesin,
deck termasuk perbaikan dan perawatannya.
b. Sebagai atasan semua awak kapal bagian mesin.
2. Masinis II;
a. Bertanggung jawab terhadap routen kerja harian dan kebersihan di
kamar mesin.
b. Bertugas jaga pada jam 04.00 – 08.00 / 16.00 – 20.00.
c. Bertanggung jawab terhadap perawatan mesin induk.
d. Menggantikan KKM bila berhalangan.
3. Masinis III
a. Bertugas jaga pada jam 00.00 – 04.00 / 12.00 – 16.00
b. Bertanggung jawab terhadap perawatan mesin bantu di kamar mesin.
c. Menerima tugas jaga kerja dari masinis II
4. Masinis IV ;

18
a. Bertugas jaga pada jam 08.00 – 12.00 / 20.00 – 24.00, sekoci, ketel uap,
oil water separator dan mesin kemudi.
b. Bertanggung jawab terhadap perawatan pesawat bantu di deck, mesin
c. Mengawasi spare part.
d. Bertanggung jawab terhadap tangki bahan bakar, pemakaiannya dan
bunkering.
5. Masinis V ;
a. Menerima Tugas dari Masinis II,
b. Membantu masinis III merawat pesawat bantu di kamar mesin,
c. Mengawasi buku jaga kamar mesin.
6. Mandor / Foreman / No 1. Oiler
Sebagai kepala kerja dan mengatur pelaksanaan kerja di bagian mesin yang
menerima perintah dari Masinis II.
7. Juru Minyak ; Melaksanakan tugas jaga, membantu mandor.

HAK DAN KEWAJIBAN ANAK BUAH KAPAL


Hak-hak Anak Buah Kapal
1. Hak Atas Upah
Hak Atas Tempat Tinggal dan Makan
Hak Atas Perawatan waktu sakit/kecelakaan
Hak Atas Cuti
Hak Atas Pengangkutan untuk dipulangkan

Kewajiban Anak Buah Kapal


1. Taat kepada perintah atasan,
2. teristimewa terhadap perintah Nakhod Meninggalkan kapal (turun ke
darat) harus dengan ijin Nakhoda atau yang mewakilinya Tidak
membawa barang dagangan,
3. minum-minuman keras,
4. dan senjata (api) di atas kapal Melakukan tugas tambahan atau kerja
lembur jika dianggap perlu oleh Nakhoda Turut membantu
menyelamatakan kapal, penumpang, dan muatannya, dalam kecelakaan
kapal

19
5. Berprilaku sopan, serta tidak mabuk-mabukan di kapal dalam rangka turut
menciptakan keamanan dan ketertiban diatas kapal
Hak-hak Awak Kapal (UU No.17/2008)
Setiap awak kapal berhak mendapatkan kesejahteraan yg meliputi:
1. Gaji
2. Jam kerja dan jam istirahat.
3. Jaminan pemberangkatan ketempat tujuan dan pengembalian ke tempet
asal.
4. Kompensasi apalbila kapal tidak dapat beroperasi karena mengalami
kecelakaan.
5. Kesempatan mengembangkan karier.
6. Pemberian akomodasi,fasilitas rekreasi,makanan atau minuman dan
7. Pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta pemberian asuransi
kecelakaan kerja.
Kewajiban Awak Kapal
1. Mentaati perintah Perusahaan
2. Bekerja sesuai dengan jangka waktu perjannjian
Melaksanakan tugas sesuai jam kerja yang ditetapkan

Berdasarkan pasal 30 PP. RI. No. 7 tahun 2000 tentang kepelautan


menyebutkan :
1) Jika awak kapal setelah dirawat akibat kecelakaan kerja menderita cacat
tetap yang mempengaruhi kemampuan kerja besarnya santunan ditentukan :

20
a. Cacat tetap yang mengakibatkan kemampuan kerja hilang 100%
besarnya santunan minimal Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah);
b. Cacat tetap yang mengakibatkan kemampuan kerja berkurang besarnya
santunan ditetapkan persentase dari jumlah sebagaimana ditetapkan
dalam huruf a sebagai berikut :

dua kaki dari paha : 100%;

(2) Jika awak kapal kehilangan beberapa anggota badan sekaligus besarnya
santunan ditentukan dengan menjumlahkan persentase dengan ketentuan
tidak melebihi jumlah sebagaimana ditetapkan dalam ayat (1) huruf a.
Berdasarkan Pasal 31 (PP. No. 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan.)
(1) Jika awak kapal meninggal dunia di atas kapal, pengusaha angkutan di
perairan wajib menanggung biaya pemulangan dan penguburan jenazahnya
ke tempat yang dikehendaki oleh keluarga yang bersangkutan sepanjang
keadaan memungkinkan.
(2) Jika awak kapal meninggal dunia, pengusaha angkutan di perairan wajib
membayar santunan :
a. Untuk meninggal karena sakit besarnya santunan minimal Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
b. Untuk meninggal dunia akibat kecelakaan kerja besarnya santunan
minimal Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

21
(3) Santunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan kepada ahli
warisnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan Pasal 440 Kitab Undang Undang Hukum Dagang Perusahaan


pelayaran berkewajiban menanggung biaya penguburan atau pembuangan
jenazah ke laut Jika awak kapal meninggal dunia, di atas kapal.

Untuk dapat bekerja sebagai awak kapal, wajib memenuhi persyaratan:

1. memiliki Sertifikat Keahlian Pelaut dan/atau Sertifikat Keterampilan


Pelaut;
2. berumur sekurang-kurangnya 18 tahun;
3. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
yang khusus dilakukan untuk itu;
4. disijil.

Memenuhi persyaratan tersebut, pelaut kapal ikan Indonesia diharuskan


memiliki sertifikasi kepelautan berstandar, baik itu untuk level Nakhoda, Perwira
ataupun Anak Buah Kapal (ABK).

Sertifikat Kepelautan :

a. Sertifikat Keahlian Pelaut (Certificate Of Competency / COC)

Sertifikat Keahlian Pelaut Nautika

Sertifikat Ahli Nautika Tingkat I ( ANT I )

Sertifikat Ahli Nautika Tingkat II ( ANT II )

Sertifikat Ahli Nautika Tingkat III ( ANT III )

Sertifikat Ahli Nautika Tingkat IV ( ANT IV )

Sertifikat Ahli Nautika Tingkat Dasar ( ANT Dasar)

Sertifikat Untuk Kapal Penangkap Ikan antara Lain

Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan Tingkat I (ANKAPIN I)

Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan Tingkat II ((ANKAPIN Ii)

22
Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan Tingkat III (ANKAPIN III)

Catatan :

Sertifikat Ahli Nautika Tingkat Dasar (ANT Dasar) adalahSertifikat


Keahlian sebagai Rating bagian Deck.

Sertifikat Keahlian Pelaut Teknik Permesinan


Sertifikat Ahli Teknika Tingkat I ( ATT I )
Sertifikat Ahli Teknika Tingkat II ( ATT II )
Sertifikat Ahli Teknika Tingkat III ( ATT III )
Sertifikat Ahli Teknika Tingkat IV ( ATT IV )
Sertifikat Ahli Teknika Tingkat Dasar ( ATT Dasar)

Untuk Sertifikat Kapal Perikanan

Sertifikat Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan Tingkat I (ATKAPIN I)

Sertifikat Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan Tingkat II (ATKAPIN II)

Sertifikat Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan Tingkat III (ATKAPIN III)
Catatan :
Sertifikat Ahli Teknika Tingkat Dasar (ATTDasar) adalah
Sertifikat Keahlian sebagai Rating bagian Mesin.

Sertifikat Keahlian Pelaut Radio Elektronika

Sertifikat Ahli Elektronika I ( REKI )


Sertifikat Ahli Elektronika II ( REKII )
Sertifikat Operator Radio Umum ( ORU)
Sertifikat Operator Radio Terbatas ( ORT )

b. Sertifikat Ketrampilan Pelaut ( Certificate Of Proficiency / COP)

Jenis Sertifikat Keterampilan Pelaut sebagaimana dimaksud di atas terdiri


dari:

a. Sertifikat Keterampilan Dasar Pelaut;

b. Sertifikat Keterampilan Khusus.

23
Sertifikat Keterampilan Dasar Pelaut sebagaimana dimaksud dalam uraian di
atasdalah Sertifikat Keterampilan Dasar Keselamatan (Basic Safety Training).

Gambar 5. Alat-Alat Navogasi di Kapal

Sedangkan Jenis Sertifikat Keterampilan Khusus sebagaimana dimaksud


terdiri dari :

a. Sertifikat Keterampilan Penggunaan Pesawat Luput Maut dan


Sekoci Penyelamat (Survival Craft dan Rescue Boats);
b. Sertifikat Keterampilan Sekoci Penyelamat Cepat (Fast Rescue
Boats);
c. Sertifikat Keterampilan Pemadaman Kebakaran Tingkat Lanjut
(Advance Fire Fighting);
d. Sertifikat Keterampilan Pertolongan Pertama (Medical Emergency
First Aid);
e. Sertifikat Keterampilan Perawatan Medis di atas Kapal (Medical
Care on Boats);
f. Sertifikat Radar Simulator;
g. Sertifikat ARPA Simulator;

24
Perjanjian Kerja Laut

Perjanjian kerja laut adalah suatu perjanjian atau persetujuan antara


seseorang dengan majikan dan dengan perjanjian itu seseorang tadi
mengikatkan diri kepada majikan untuk bekerja menurut ketentuan yang berlaku.
Syarat-syarat PKL yaitu :
1. Dibuat dan ditanda tangani kedua belah pihak
2. Ditanda tangani oleh Syahbandar
3. Dibiayai oleh pemerintah
Untuk ABK penanda tangan dilakukan di depan syahbandar dan
dibacakan tentang perjanjiannya pasal demi pasal, sedang perwira tidak perlu
dibuat di depan syahbandar karena sudah dianggap mengetahui tentang
peraturan dan undang-undangnya.
Jenis-jenis PKL terdiri dari :
1. Berdasarkan waktu atau periode
a. PKL Trip yaitu PKL yang berdasarkan pelayarannya dari pelabuhan satu
ke pelabuhan lain, biasanya disebutkan ketentuan kapal dan trayeknya
b. PKL Periode yaitu PKL menurut waktu tertentu
c. PKL tak tertentu yaitu PKL yang tidak ditetapkan masa berlakunya dan
berakhir sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak
2. Berdasarkan sudut perbedaan dalam undang-undang
a. PKL untuk nahkoda
b. PKL untuk ABK
Perbedaan dalam undang-undang yaitu yang menyangkut alasan-alasan
yang sah katika terjadi pemutusan tenaga kerja.
3. Berdasarkan pihak yang mengikatkan diri
a. PKL pribadi, yaitu KPL antara seseorang dengan majikan
b. PKL Kolektif yaitu antara gabungan pelaut dengan gabungan
majikan/pengusaha

25
Gambar 6. Kemudi kapal

Adapun isi PKL meliputi (pasal 400 & 401 KUHD) :


1. Nama pelaut
2. Umur dan tanggal lahir
3. Jabatan di atas kapal
4. Tempat dan tanggal dibuat perjanjian
5. Nama kapal dimana pelaut akan bekerja
6. Periode atau waktu atau trip
7. Gaji pelaut dan jaminan-jaminan lainnya
8. Pernyataan apakan pelaut juga mengikatkan diri dengan tugas lainnya
selain tugas utama
9. Nama syahbandar yang ikut menanda tangani
10. Tanggal saat perjanjian mulai berlaku
11. Pernyataan mengenai undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam
penentuan hak dan kewajiban juga mengenai pemutusan hubungan kerja
12. Tanda tangan pelaut, majikan dan syahbandar
13. Tanggal ditanda tangani dan di syahkan oleh PKL tersebut

26
Mengkhiri Perjanjian Kerja Laut
PKL berakhir dapat terjadi karena berbagai alasan antara lain :
1. Alasan Wajar / biasa (psl 1603 KUH Perdata)
a. Masa pkl telah berakhir, dan PKL bisa di perpanjang
b. Pelaut meninggal dunia
c. Persetujuan kedua belah pihak
d. Perjanjian tidak sah
e. Salah satu pihak tidak setuju selama masa percobaan
f. Perusahaan dilikuidasi
2. Alasan mendesak untuk majikan (psl 1603 KUH Perdata dan 418).
a. ABK menganiaya Nakhoda atau pelayar lainnya.
b. Pelaut datang terlambat atau tidak datang ke kapal tanpa ijin Nakhoda
c. Menyelundupkan barang tanpa sepengetahuan Nakhoda atau
pengusaha kapal
d. Memberi keterangan palsu sehubungan dengan PKL nya.
e. Kurang cakap, suka mabuk minuman, bertingkah laku tidak senonoh
walaupun sudah diperingatkan,
f. Melakukan pencurian, pengelapan, dan kejahatan lainnya
g. Merusak barang milik majikan secara sengaja.
h. Menolak perintah dan melalaikan perintah yang merupakan tanggung
jawabnya.
3. Surat keterangan berhenti
Pada tiap akhir PKL pengusaha / majikan wajib memberikan surat
keterangan berhenti bila dikehendaki oleh pelaut, pada surat keterangan berhenti
dicantumkan keterangan mengenai :
1. Jenis pekerjaan yang telah di lakukan pelaut.
2. Lama bekerja
3. Bukti diri pelaut
4. Konduite
5. Alasan pemutusan hubungan kerja (PHK)
6. Tanggal dan tanda tangan

27
DOKUMEN KAPAL
Dokumen Kapal dapat dibagi atas :
1. Sertifikat-sertifikat dan Surat-surat Kapal.
2. Sertifikat-sertifikat dan Surat-surat pengujian perlatan
3. Surat-surat kapal untuk awak kapal
4. Surat-surat kapal sehubungan dengan pengoperasian kapal

Sertifikat dan Surat Kapal harus dimiliki oleh sebuah kapal pertama sekali
dimana saat kapal baru selesai dibangun atau baru dibeli. Tentu perlu diadakan
surey untuk melengkapi data-data kapal yang diperlukan mengeluarkan sertfikat
atau surat-surat kapal oleh instansi yang berwewenang dan sesuai dengan
peraturan dan undang-undang yang berlaku, setelah segala sesuatunya selesai,
maka kapal yang bersangkutan diberikan Sertifikat dan atau Surat-surat kapal
antara lain :
1. Surat Laut (Sertificate of Nationality/Certificate of Registry)
Menandakan kebangsaan suatu kapal, terdiri atas :
a. Surat Laut (isi kotor 500 m2 atau lebih)
b. Pas tahunan (isi kotor 20 m2 sampai 500 m2) masa berlaku 1 tahun
c. Pas kecil (isi kotor kurang 20 m2) terdiri atas pas biru dan pas putih,
masa berlaku satu tahun

2. Surat Ukur ( Certificate of Tonnage and Measurement )


Surat Ukur ( Certificate of Tonnage and Measurement ) ialah suatu
Sertifikat yang diberikan setelah diadakan pengukuran terhadap kapal oleh
juru ukur dan instansi pemerintah yang berwenang, yang merupakan
sertifikat pengesahan dan ukuran-ukuran dan tonase kapal menurut
ketentuan yang berlaku.
Dalam pasal 347-352 KUHD serta pasal 45 UU. 21, Th. 1992
mengatur tentang Surat Ukur. Isi dari sebuah Surat Ukur, terdiri atas :
a. Nama Kapal,
b. Tanda Selar (Nomor Register resmi kapal),
c. Tempat asal kapal,
d. Jumlah dek, jumlah tiang, dasae berganda, tangki ballast,

28
e. Ukuran Tonnage, Volume dan lainnya.
Surat Ukur tidak berlaku lagi atau tidak mempunyai masa berlaku lagi apabila
kapal tidak berganti nama, tidak berubah konstruksi, tidak tenggelam, tidak
terbakar, musnah dan sejenisnya.

3. Surat Tanda Pendaftaran Kapal


Surat Tanda Pendaftaran Kapal adalah suatu dokumen yang
menyatakan bahwa kapal telah dicatat dalam register kapal-kapal, yaitu
setelah memperoleh Surat Ukur, dimana tujuan dari Pendaftaran kapal ini
adalah untuk memperoleh Bukti Kebangsaan Kapal.

4. Bendera Kemudahan ( Flag Of Convenience )


Bendera kemudahan itu adalah kapal yang menggunakan
Bendera Kebangsaan Negara yang tidak sama dengan Kebangsaan dari
pemilik kapal tersebut.Contoh sebuah kapal yang menggunakan bendera
kemudahan itu adalah bila pemilik kapal adalah warga negara Indonesia
akan tetapi kapalnya didaftarkan di Panama, jadi kapal tersebut
mempunyai register Panama.
Ada beberapa hal yang penting perlu diketahui mengapa banyak
kapal yang mencari bendera kemudahan itu dikarenakan :
a. Pemilik kapal dengan sengaja menghindari Pajak Nasional
b. Menghindari peraturan-peraturan keselamatan pelayaran
c. Menghindari adanya standae Pelatihan dan sertifikasi untuk para pelaut
d. Menghindari peranan Organisasi Pelaut dalam melindungi tenaga kerja
Pelaut
e. Membayar Upah Pelaut dibawah standar ITF (International Transport
workers Federation)

5. Sertifikat Garis Muat ( Load Line Certificate )


Sertifikat Garis Muat ( Load Line Certificate ) dalah suatu sertifikat
yang diterbitkan oleh Pemerintah Negara Kebangsaan kapal, berdasarkan
Perjanjian Internasional (konvensi) tentang garis muat dan lambung timbul
(free board) yang memberikan pembatasan garis muat untuk tiaptiap

29
musim atau daerah atau jenis perairan dimana kapal berlayar. Ditandai
dengan plimsoll mark/merkah kambangan.

6. Sertifikat Penumpang ( Passanger Ship Safety Certificate )


Sertifikat penumpang hanya diberikan kepada kapal penumpang
yang mengangkut penumpang lebih dari 12 orang. Sebuah kapal
penumpang dapat diberi sertifikat kapal penumpang harus memenuhi syarat-
siarat sebagai berikut :
- Mengenai konstruksinya
- Mengenai Radio Tekegraphy dan/atau Radio Telephony
- Mengenai Garis muatnya
- Mengenai Akonodasi bagi penumpangnya
- Mengenai alat-alat penolongnya (safety equipment)

7. Sertifikat Hapus Tikus ( Dreating Certificate )


Sertifikat Hapus Tikus (dreating Certifikat) adalah suatu sertifikat
yang diberikan kepada sebuah kapal oleh Departemen Kesehatan yaitu
Kesehatan Pelabuhan ( Port Health ), setelah kapal yang bersangkutan di
semprot dengan uap campuran belerang atau cyanida dan telah diteliti tidak
terdapat tikus di kapal atau relatif sudah sangat sedikit jumlahnya.
Masa berlaku sertifikat ini adalah 6 bulan dan dapat diperpanjang
selama 1 tahun. Jika telah habis masa berlakunya tetapi kapal belum
disemprot lagi hanya diteliti dan temui bahwa tidak ada atau tidak banyak
tikus di kapal, maka kepada kapal itu diberikan Surat Keterangan yang
disebut dengan Pembebasan Hapus Tikus ( Dreating Exemption ) yang
berlaku 6 bulan.

8. Sertifikat Pencemaran Minyak (International Of Pollution Prevention


Certificate)
Sertifikate ini dikeluarkan setelah kapal telah memenuhi persyaratan
mengenai pencegahan pencemaran sesuai dengan apendix II Annex I Marpol
73/78 suplement A atau B

30
9. Surat-surat Kapal Yang Lain

Kapal yang datang dari laut dengan membawa muatan dan/atau


penumpang, Nakhoda sudah membuat dan menyiapkan dokumen-dokumen
kapal yang lain seperti :
1. Crew List adalah Daftar nama dari seluruh anggota/awak kapal
2. Personal Effect List adalah Dafttar nama dan jumlah barang pribadi
milik awak kapal dibuat dalam kepentingan pemeriksaan Petugas Bea
dan Cukai. Dibuat untuk kapal yang datang dari luar negeri.
3. Cargo Manifest adalah daftar muatan di kapal
4. Cargo Discharging List adalah Daftar muatan yang akan dibongkar di
pelabuhan yang bersangkutan
5. Passangers List Daftar nama penumpang dikapal
6. Harbour Report (Warta Kapal) merupakan suatu warta kapal yang
berisi segala keterangan mengenai kapal, muatan, air tawar, bahan
bakar penumpang, hewan ada tidaknya senjata api dikapal, tempat
berlabuh atau tempat sandar.
7. International Declaration of Health adalah suatu pernyataan bahwa
kapal sehat, tidak tersangka dan tidak terjangkit suatu penyakit
menular
8. Daftar / Sijil Awak kapal adalah suatu buku yang berisi Daftar nama
dan jabatan Anak Kapal, yaitu mereka yang melakukan tugas diatas
kapal yang harus diketahui serta disyahkan oleh Syahbandar (Pasal
375 KUHD).

10. Buku Harian kapal (Log Book)


Keterangan mengenai kapal, kegiatan dan pelayarannya.
Exhibitum yaitu bukti pemeriksaan oleh syahbandar dilaksanakan dalam
jangka waktu 48 jam setelah tiba di pelabuhan (psl 354 KUHD) dengan
tujuan :
a. Pengawasan pemerintah.

31
b. Ikhtisar tentang peristiwa-peristiwa kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
c. Sumber data Hakim (Setelah di Exhibitum)

DOKUMEN PERALATAN
Setiap Peralatan mempunyai sertifikat antara lain :
1. Sertifikat pembuatan
2. Sertifikat pengujian / kir
3. Sertifikat kalibrasi
Dokumen dan surat awak kapal, antara lain :
1. Paspor
2. Buku pelaut
3. Sertifikat ( certivicate of competance )
4. Sertifikat keterampilan
5. Buku kesehatan / kuning
6. Surat kesehatan
7. Perjanjian kerja laut
Dokumen dan surat sehubungan dengan pengoperasian kapal antara lain :
1. Crew list
2. Passengger manifest
3. Daftar inventaris kapal
4. Personal effeck list
5. Cargo manifest
6. Narcitic list
7. Surat perintah berlayar / sailing order
8. Konosemen
9. Buku kesehatan
10. Sijil ABK ( ship‟s article )
11. Vaksinasi list
12. Pemberitahuan pemuatan barang ke bea cukai
13. Surat pemakaian pandu / tug boat
14. Port clearance

32
Sertifikat – sertifikat yang lain ;
1. Sertifikat kebersihan – ruang muatan
2. Sertifikat pemanas – pipa pemanas dalam tangki
3. Sertifikat muatan bahaya – amunisi , gas
4. Sertikat kematian – untuk hewan atau ternak
5. Sertifikat bebas gas – ruangan tertutup
6. Sertifikat bebas hama – untuk muatan tertentu ex; tembakau, beras
7. Sertifikat muatan kayu log – muatan kayu gelondongan
Berita acara
Jenisnya :
1. Berita acara Biasa : dibuat oleh syahbandar atas permintaan nahkoda
tentang data-data pelayaran dimana tidak terjadi hal-hal istimewa selama
pelayaran.
2. Berita acara Wajib ( note of protest / sea protest )
Bila terjadi kejadian – kejadian istimewa selama berlayar :
a. Terjadi kerusakan muatan
b. Kecelakaan
c. Memberi pertolongan kepada kapal lain
d. Peristiwa luar biasa / atau diluar dugaan
Di buat oleh syahbandar atau konsulat dan harus dibuat dalam waktu 3 x 24
jam terhitung mulai tiba dipelabuhan ( hari kerja )
3. Statement of fact
Dibuat bila terjadi hal-hal istimewa di pelabuhan seperti : kawat muat
putus,buruh luka, muatan rusak, ada bagian kapal yang rusak karena
kecerobohan stevador dan lain-lain ditanda tangani oleh saksi yang bisa
digunakan untuk menuntut ganti rugi.
Dokumen dan sertifikat yang harus ada di atas kapal dan ketika kapal berlayar
yaitu :
1. Dokumen dan setifikat yang erkaitan dengan kapal
2. Dokumen dan sertifikat yang berkaitan dengan awak kapal seperti certificate
of competence, certificate of proficiency, medicacal recond book.
3. Dokumen penunjang operasi kapal ; seperti log book, peta navigasi, port
clearance.
4. Dokumen muatan antara ;

33
a. Konosemen dimana unsur-unsurnya sesuai KUHD pasal 506 yaitu : surat
bertanggal, persyaratan penerimaan barang di atas kapal untuk dikirim ke
pelabuhan tertentu untuk di serahkan.
b. Cargo manifest
c. Mate‟s receipt (resu muallim)
d. Hatch list
e. Stowage plan
f. Tally sheet
g. Cargo damage report
h. Letter of indennity.

Kepelabuhanan
Menurut Keputusan Menteri Perhubungan tentang penyelenggaraan laut
No. KM.26 Tahun 1988, yang dimaksud dengan pelabuhan adalah Tempat yang
terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu
sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang
dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan
pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan
intra dan antar Roda transportasi.
Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 10/MEN/2004
yang dimaksud dengan pelabuhan perikanan itu adalah sama dengan tempat
yang terdiri dari daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu
sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan
yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh
dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan
pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan perikanan.

34
Gambar 7. Pelabuhan Perikanan

Menurut Keputusan Menteri Perhubungan tentang penyelenggaraan


laut No. KM.26 Tahun 1988, yang dimaksud dengan pelabuhan adalah Tempat
yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu
sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang
dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan
pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan
intra dan antar Roda transportasi.
Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
10/MEN/2004 yang dimaksud dengan pelabuhan perikanan itu adalah sama
dengan tempat yang terdiri dari daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-
batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis
perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar,
berlabuh dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan perikanan.
Ada dua pengertian tentang pelabuhan yaitu pelabuhan umum dan pelabuhan
khusus. Menurut Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1983
yang dimaksud dengan :
Pelabuhan umum adalah pelabuhan yang terbuka untuk umum dan
berada di bawah pengelolaan Perum Pelabuhan Indonesia (Pelindo).

35
Pelabuhan khusus adalah pelabuhan yang penggunaannya khusus untuk
kegiatan sektor industri, pertambangan atau pertanian. Contoh pelabuhan
khusus Angkatan Laut, Pelabuhan Khusus Minyak sawit, perikanan, dan lain-lain.

Gambar . Kapal yang sedang berlabuh di Pelabuhan

Wilayah Laut
a. Perairan Pedalaman ( Internal Water )
Perairan pedalaman adalah bagian dari laut yang berkaitan
langsung dengan daratan yang dipandang sebagai bagian dari daratan
tersebut. Perairan pedalaman ini secara geometrik merupakan perairan
yang ada di dalam teluk, sengai dan pelabuhan

b. Perairan Kepulauan ( Archipelagic Sea )


Perairan kepulauan adalah perairan yang ada di dalam wilayah
negara yang dibatasi oleh batas perairan pedalaman ( closing line ) dan
garis dasar. Garis dasar adalah garis imajiner yang ditarik melalui titik-titik
terluar pulau yang paling luar. Untuk garis pantai yang lurus, garis dasar
tersebut adalah batas air surut perbani. Didalam perairan pedalaman,
negara mempunyai kedaulatan mutlak sedang di dalam perairan

36
kepulauan, berlaku hak lintas damai (Innocent Passage), lintas transit dan
lintas alur laut kepulauan bagi kapal-kapal asing. Untuk itu negara yang
memiliki perairan kepulauan, wajib menentukan alur-alur laut.Apabila
kewajiban ini tidak dipenuhi maka pihak asing akan menggunakan alur-
alur yang biasanya mereka layari.

Laut Teritorial ( Territorial Sea )


Laut Teritorial adalah bagian laut selebar 12 mil yang diukur dari garis
dasar ke arah laut. Dalam laut teritorial, negara pantai mempunyai kedaulatan
penuh kecuali hak lintas damai bagi kapal-kapal niaga dan kapal- kapal perang
asing.
Dalam wilayah laut teritorial ini pemerintah :
a. Memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut teritorial, ruang udara
diatasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya, serta segenap sumber
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
b. Membuat peraturan mengenai lintas laut damai yang berkenaan dengan
keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut, perlindungan serta
fasilitas navigasi, kabel laut, konversi sumber kekayaan, pencegahan
pelanggaran perikanan, pengurangan dan pengendalian pencemaran,
penelitian ilmiah kelautan, dan pencegahan pelanggaran peraturan cukai,
fiskal, imigrasi dan kesehatan.
Namun demikian, sesuai dengan ketentuan Internasional, kedaulatan
atas laut teritorial tidaklah berarti monopoli pelayaran bagi negara tersebut
dalam memanfaatkan laut sebagai sarana transportasi. Dalam wilayah laut
teritorial, berlaku hak lintas laut damai bagi kepentingan
internasional/kendaraan-kendaraan asing. Sebaliknya, kendaraan-
kendaraan negara asing yang melakukan kegiatan lintas laut damai di
wilayah teritorial tidak boleh melakukan ancaman terhadap kedaulatan dan
keutuhan, atau kemerdekaan Negara Indonesia.

ZEE ( 200 mil ) ( Zone Economic Exclusive )


ZEE adalah bagian laut selebar 200 mil dari garis dasar. Didalam dan
diatas ZEE ini semua negara mempunyai hak kebebasan pelayaran dan
kebebasan penerbangan, dapat memasang kabel dan pipa bawah laut, dan

37
melakukan perhubungan dengan bebas. Selanjutnya negara pantai juga
mempunyai hak untuk pelbagai tindakan seperti mengadakan inspeksi,
penegakan hukum dan bongkar muat.
Di wilayah laut yang merupakan Zona Ekonomi Ekskusif Indonesia,
pemerintah Indonesia memiliki kewenangan penuh untuk memperoleh manfaat
ekonomi melalui kegiatan-kegiatan pengelolaan, pengawasan dan pelestarian
segenap sumberdaya baik hayati maupun non hayati, sedangkan negara-negara
asing yang ingin memanfaatkan sumberdaya ekonomi dieilayah tersebut
haruslah mendapat ijin dari pemerintah Indonesia. Dengan Kewenangan ini,
maka pemerintah Indonesia dimungkinkan untuk melaksanakan segenap upaya
peningkatan sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat.

Secara garis besar, hak-hak tersebut adalah :


a. Hak berdaulat untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi
sumberdaya laut, untuk melindungi dan melestarikan, dan
menjaga keutuhan ekosistem laut,
b. Hak untuk melakukan penegakan hukum dalam upaya
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian,
c. Hak untuk melakukan tuntutan terhadap kapal-kapal asing yang
melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan ZEE
d. Hak ekslusif untuk membangun, mengizinkan dan mengatur
pembangunan, pengoperasian dan penggunaan pulau-pulau
buatan, instalasi dan bangunan-bangunan penunjangnya,
e. Hak untuk menentukan dan mengizinkan kegiatan-kegiatan
ilmiah/penelitian
Namun kewenangan yang diperoleh itu, tidaklah menghilangkan hak-hak
internasional negara-negara lain dalam menfaatkan wilayah Zone ekonomi
Ekslusif tersebut, sepanjang untuk segala tujuan damai. Oleh karena itu, adalah
kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk, misalnya
a. Menjamin keselamatan serta pengaturan lalu lintas laut dan penerbangan
internasional,
b. Melindungi kepentingan negara-negara lain dalam memanfaatkan suberdaya
laut dengan pembatasan-pembatasan,

38
c. Berkewajiban memberikan kesempatan/perlindungan kepada negara yang
tidak
berpantai/secara geografis kurang menguntungkan untuk memanfaatkan
surplus tangkapan ikan,
d. Tetap menjaga kondisi wilayah laut agar dapat dimanfaatkan bagi berbagai
bangsa dengan pembatas-pembatasan kegiatan yang dapat mengarah
kepada rusaknya sumberdaya laut,
e. Mengurangi dan menghindari segala bentuk kegiatan pencemaran laut

Laut Bebas ( High Sea )


Laut bebas adalah bagian laut yang tidak termasuk laut teritorial dan
perairan kepulauan. Penggunaan laut bebas dapat dilakukan oleh seluruh
bangsa didunia namun penggunaan tersebut dilakukan hanya untuk maksud-
maksud damai dan tidak saling merugikan pihak lain.
Laut bebas merupakan wilayah laut yang pada dasarnya terbuka bagi
semua negara untuk memperoleh manfaat ekonomi. Tidak ada satupun negara
yang dapat menyatakan bahwa laut bebas tersebut merupakan daerah
kedaulatan yang berada dalam kekuasaannya. Di laut lepas, setiap negara
mempunyai hak untuk melakukan kegiatan perikanan, perdagangan dan
kegiatan-kegiatan lainnya.
Namun demikian setiap negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan
dan bekerjasama dengan negara-negara lain guna menciptakan ketentuan-
ketentuan dan batasan-batasan tertentu bagi negara masing-masing agar tidak
terjadi benturan kepentingan, serta menjaga keadaan laut lepas sebagai sumber
ekonomi bagi negara-negara dunia pada umumnya.

PSC (Port State Control)


Fungsi Port State Control adalah :
1. Melaksanakan ketentuan-ketentuan PSC dalam konvensi IMO
2. Memeriksa kapal-kapal berbendera bukan negara peserta konvensi
3. Memeriksa kapal-kapal dibawah ukuran konvensi
4. Identifikasi kapal-kapal dibawah standar atau resiko-resiko pencemaran
5. Melakukan pengawasan melalui monitor (Monitoring Control)

39
Ketentuan-ketentuan untuk PSC dalam konvensi IMO yaitu tanggung jawab
negara bendera untuk keselamatan dan perlindungan laut, begitu pula negara
pelabuhan dapat memberikan kontribusinya untuk tujuan tesebut. (SOLAS
74/78, MARPOL 73/78, LOAD LINE 66/78, STCW DAN ILO 147), memuat
ketentuan-ketentuan yang memberikan kewenangan kepada negara-negara
pelabuhan untuk melakukan pengawasan terhadap diterapkannya persyaratan
konvensi.

D. AKTIFITAS PEMBELAJARAN
Aktifitas pembelajaran pada modul hukum laut adalah:
1. Buatlah kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 5 orang
2. Setiap kelompok mencari informasi tentang:
Perbedaan Hukum laut dengan hukum maritim, perjanjian kerja
laut, hak dan kewajiban Anak Buah Kapal, tugas dan tanggung
jawab nakhoda, sertifikat dan surat kapal, kepelabuhan, wilayah-
wilayah laut berdasarkan zona.
3. Diskusikan hasil informasi yang diperoleh.
4. Lakukan analisis tentang Pentingnya Hukum Laut dan hukum
maritim.
5. Buatlah konsep rekomendasi/laporan hasil diskusi dengan
kelompokmu tentang keselamatan dan kesehatan kerja di kapal

E. LATIHAN/KASUS DAN TUGAS

1. Jelaskan perbedaan Hukum Maritim Nasional dengan Hukum Maritim


International. Berikan contohnya.
2. Sumber hukum dapat berupa tulisan-tulisan, dokumen-dokumen, naskah-
naskah, tuliskan berbagai sumber hukumn tersebut.
3. Diskusikan dengan peserta yang lain apa saja yang termasuk hak dan
kewajiban anak buah kapal.
4. Uraikan tugas dan tanggung jawab awak kapal baik bagian deck maupun
mesin.
5. Jelaskan syarat-syarat PKL dan tuliskan jenis-jenis PKL.

40
F. RANGKUMAN

1. Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa


yang mengurus tata tertib suatu lingkungan msyarakat.
2. Hukum laut yaitu rangkaian peraturan dan kebiasaan hukum mengenai
laut yang bersifat keperdataan (menyangkut kepentingan perorangan dan
bersifat publik (menyangkut kepentingan umum).
3. Awak kapal adalah orang yang bekerja atau di pekerjakan di atas kapal
oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal
sesuai dengan jabatan yang tercantum dalam buku sijil (UU RI No.
17/2008 tentang pelayaran).
4. Nakhoda kapal adalah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan
umum di atas kapal serta mempunyai wewenang dan tanggung jawab
tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (PP
RI. No. 51 tahun 2002 tentang Perkapalan).
5. Hak-hak Anak Buah Kapal
a. Hak Atas Upah
b. Hak Atas Tempat Tinggal dan Makan
c. Hak Atas Perawatan waktu sakit/kecelakaan
d. Hak Atas Cuti
e. Hak Atas Pengangkutan untuk dipulangkan
6. Perjanjian kerja laut adalah perjanjian atau persetujuan antara seseorang
dengan majikan dan dengan perjanjian itu seseorang tadi mengikatkan diri
kepada majikan untuk bekerja menurut ketentuan yang berlaku.

41
G. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT

Berilah tanda silang (X) pada huruf a, b, c, dan d pada jawaban yang
Anda anggap paling benar.

1. Himpunan peraturan-peraturan termasuk perintah-perintah dan larangan-


larangan yang bersangkut paut dengan lingkungan maritim dalam arti luas,
yang mengurus tata tertib dalam masyarakat maritim dan oleh karena itu
harus ditaati oleh masyarakat itu, merupakan pengertian dari
a. Hukum laut perkapalan
b. Hukum maritim
c. Hukum
d. Hukum laut keperdataan
2. Hukum Maritim jika ditinjau dari tempat berlakunya maka ada 2
penggolongan adalah
a. Hukum Maritim Nasional dan Hukum Maritim Internasional.
b. Hukum maritim dalam wilayah dan Hukum Maritim Luar wilayah negara
c. Hukum maritim daerah dan hukum maritim Nusantara
d. Hukum maritim Nasional dan hukum Maritim khusus Luar Negeri
3. Jabatan-jabatan Nakhoda diatas kapal yang diatur oleh peraturan dan
perundang-undangan antara lain, kecuali..
a. Sebagai Pemimpin Kapal
b. Sebagai Penegak Hukum
c. Sebagai anak buah kapal
d. Sebagai Pegawai Pencatatan Sipil
4. Bagian laut selebar 12 mil yang diukur dari garis dasar ke arah laut
merupakan pengertian dari...
a. Pelabuhan
b. Perairan pedalaman
c. ZEE
d. Laut teritorial

42
5. Bagian laut selebar 200 mil dari garis dasar laut merupakan pengertian
dari...
a. Pelabuhan
b. Perairan pedalaman
c. ZEE
d. Laut teritorial
6. isi dari PKL (perjanjian Kerja Laut) adalah…
a. nama, tanggal lahir dan tempat kelahiran ABK
b. jawaban A dan C benar
c. tanggal dan tempat dilakukannya perjanjian
d. jawaban A dan C salah
7. Tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-
batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi
yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun
penumpang dan/atau bongkar muat barang, adalah pengertian dari...
a. Pelabuhan
b. Perairan pedalaman
c. ZEE
d. Laut teritorial
8. Terdapat 4 Struktur dari SOLAS Convention berikut ini diantaranya, kecuali
a. Alat Komunikasi
b. Keselamatan Navigasi
c. Inter Govermental Maritime ConsuLtative Organization ( IMCO ).
d. International Maritime Organization ( IMO )
9. Suatu buku yang berisi Daftar nama dan jabatan Anak Kapal, yaitu mereka
yang melakukan tugas diatas kapal yang harus diketahui serta disyahkan
oleh Syahbandar (Pasal 375 KUHD), adalah pengertian...
a. Daftar / Sijil Awak
b. Cargo Manifest
c. Buku bulanan kapal
d. Buku tahunan kapal
10. Tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-
batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi
yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun

43
penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai
tempat perpindahan intra dan antar Roda transportasi, pengertian dari...
a. Teluk
b. Sungai
c. Pelabuhan
d. Perairan pedalaman

Cocokkanlah jawaban anda dengan kunci jawaban yang terdapat pada


bagian akhir Modul ini. Hitunglah jumlah jawaban anda yang benar, kemudian
gunakanlah rumus di bawah ini untuk megetahui tingkat penguasaan anda
terhadap materi pada modul ini.

Rumus :

Jumlah Jawaban anda yang benar


Tingkat Penguasaan : ----------------------------------------------- X 100 %
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan yang anda capai :


90 % - 100 % : Baik sekali
80 % - 89 % : Baik
70 % - 79 % : Cukup
- 69 % : Kurang
Bila tingkat penguasaan anda mencapai 80 % ke atas, anda dapat
meneruskan ke kegiatan belajar berikutnya, ini berarti perolehan nilainya Bagus,
tetapi apabila nilai yang anda capai di bawah 80 %, anda harus mengulangi
kegiatan belajar ini, terutama pada bagian yang belum anda kuasai.

44
H. KUNCI JAWABAN

1. B
2. A
3. C
4. D
5. C
6. B
7. A
8. C
9. A
10. C

45
46
47
48
PERATURAN PERIKANAN

DESKRIPSI PEMBELAJARAN

Kegiatan usaha perikanan baik itu penangkapan ikan, budidaya ataupun


pengolahan hasil perikanan tidak bisa lepas dari berbagai macam aturan atau
perangkat hukum yang dibuat untuk melindungi; Kelestarian Sumber daya ikan
sebagai objeknya, Manusia sebagai pelakunya serta sarana yang dipakai
sebagai alat produksi seperti kapal, mesin, kolam dlsb.
Usaha penangkapan ikan dilautlah yang saat ini dianggap paling
kompetitif sehingga perlu diatur oleh perangkat hukum baik itu hukum
Internasional maupun nasional. Tujuan pengaturannya luas; baik secara
ekonomis, politis, administratif maupun teknis. Perangkat yang menaunginya ini
disebut Hukum Laut dan Peraturan Perikanan.
Melimpahnya komoditas sumber daya perikanan Indonesia bukanlah
sekedar retorika bagi bangsa ini. Kekayaan ini merupakan aset bangsa yang
benar-benar harus dimanfaatkan untuk mengeluarkan bangsa kita dari krisis
moneter / ekonomi yang berkepanjangan. Hukum dasar tertulis negara kita
menyatakan secara jelas bahwa” Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya untuk Kemakmuran rakyat” ( UUD 1945, Pasal 33 ayat 3). Apabila
hanya sekedar dibaca, maka rumusan ayat tersebut di atas sangatlah singkat.
Tetapi apabila kita renungkan secara mendalam, ternyata rumusan yang
demikian singkat tersebut memiliki jangkauan yang sangat luas serta memiliki
pengertian yang sangat dalam.
Sementera itu, perikanan tangkap adalah kegiatan yang sangat
tergantung pada ketersediaan dan daya dukung sumber daya ikan dam
lingkungannya. Keberlanjutan perikanan memerlukan pengelolaan sumber
daya ikan yang tepat yaitu pemanfaatan sumber daya perikanan yang
mempertimbangkankeberlanjutan sumber daya ikan (Hermawan, 2006).
Widodo dan Suadi (2006), dalam bukunya menegaskan di tengah berbagai
ketidakpastian dan keterbatasan pengetahuan kita akan sumberdaya ikan dan

49
berbagai realitas yang kita lihat sehari-hari, sudah sepatutnya kita bersikap
lebih konservatif, dalam pengertian lebih bersifat hati-hati dan bijaksana.
Usaha perikanan ternyata sangat beragam, yang dimulai dari usaha menangkap
ikan, membudidayakan ikan, termasuk didalamnya bermacam-macam kegiatan,
seperti menyimpan, mendinginkan atau mengawetkannya; untuk tujuan
komersial yang akan mendatangkan penghasilan dari keuntungan bagi manusia.
Usaha penangkapan ikan dilakukan diperairan bebas, dalam artian tidak sedang
dalam pembudidayaan; yaitu di laut dan perairan umum (sungai, danau, waduk,
rawa dan sejenisnya), dengan mempergunakan alat tangkap ikan.
Pembudidayaan ikan merupakan kegiatan memelihara/membesarkan ikan
termasuk melakukan pembenihan atau membiakkan ikan untuk menghasilkan
benih serta memanen hasilnya.
Dari usaha perikanan salah satu yang diharapkan adalah memperoleh
keuntungan usaha yang tinggi, hal ini bisa memberikan dampak kurang
menguntungkan bagi kelestarian sumber daya ikan maupun kesinambungan
usaha. Sumber daya ikan dengan sifat-sifat biologis yang dimiliki serta
lingkungan yang menguntungkan, memang mempunyai “kekuatan pulih sendiri”
(renewable resources), walaupun hal itu tidak pula berarti tidak terbatas. Jika
manusia mengeksploitasi sumber daya ikan semena-mena dan bertentangan
dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumber yang rasional, mustahil usaha
perikanan berjalan langgeng (lestari), bahkan bisa saja berhenti setengah jalan
karena sumbernya rusak atau habis. Dalam hubungan ini maka perlu dipikirkan
bagaimana mengantisipasi agar usaha perikanan dapat berjalan
berkesinambungan dan merupakan usaha yang menguntungkan, yakni dengan
melakukan pengaturan sehingga menjadi semakin bermanfaat bagi umat
manusia.
Usaha perikanan laut di Indonesia mengacu kepada kekayaan sumber
daya laut Indonesia yang demikian luas. Laut Nusantara, Laut Teritorial dan
Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia menjadi surga tumbuhnya ikan-ikan
ekonomis penting yang tidak terhingga terduga stoknya. Walaupun para ahli
pendugaan stok selalu memberikan “Warning” tentang semakin berkurangnya
jumlah ikan hasil tangkapan dikarenakan “over fishing” terutama akibat
penangkapan illegal yang hasilnya tidak dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia
sendiri

50
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari materi ini peserta diklat PKB diharapkan mampu
memahami peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Kapal Perikanan,
perizinan usaha kapal perikanan, peraturan tentang pengawakan kapal
perikanan, pelabuhan perikanan.

B. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI

Indikator pencapaian pada kompetensi peraturan perikanan akan


membahas tentang beberapa pengertian tentang perikanan, daerah
penangkapan ikan, kapal perikanan, perizinan usaha perikanan, peraturan
tentang pengawakan kapal perikanan, pelabuhan perikanan, wilayah laut.

C. URAIAN MATERI

Menurut undang-undang Republik Indonesia No. 31 tahun 2004


tentang Perikanan BAB 1 ketentuan umum bahwa:
1. Pengertian perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan
lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan
sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistim
bisnis perikanan.
2. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di
perairan yang tidak dalam di budidayakan dengan alat ataupun
dengan cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal
untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
menangani,mengolah dan mengawetkan
3. Kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung lain yang
dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung
operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan
ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan
penelitian/eksplorasi perikanan.

51
Usaha perikanan ternyata sangat beragam, yang dimulai dari usaha
menangkap ikan, membudidayakan ikan, termasuk didalamnya bermacam-
macam kegiatan, seperti menyimpan, mendinginkan atau mengawetkannya;
untuk tujuan komersial yang akan mendatangkan penghasilan dari keuntungan
bagi manusia. Usaha penangkapan ikan dilakukan diperairan bebas, dalam
artian tidak sedang dalam pembudidayaan; yaitu di laut dan perairan umum
(sungai, danau, waduk, rawa dan sejenisnya), dengan mempergunakan alat
tangkap ikan. Pembudidayaan ikan merupakan kegiatan
memelihara/membesarkan ikan termasuk melakukan pembenihan atau
membiakkan ikan untuk menghasilkan benih.; serta memanen hasilnya.
Sampai saat ini banyak peraturan perundangan perikanan yang diterbitkan
oleh pemerintah; diantaranya adalah UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 1990 tentang Usaha Perikanan
serta tentang perubahan PP No 15 tahun 1990 ini menjadi PP No. 46 tahun
1993. Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum
Indonesia. Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud di atas
diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha
penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban
Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau
ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri
menetapkan:
1. rencana pengelolaan perikanan;
2. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia;
3. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia;
4. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
5. potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
6. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
7. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;

52
8. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
9. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
10. sistem pemantauan kapal perikanan;
11. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
12. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan
berbasis budi daya;
13. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
14. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta
lingkungannya;
15. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya;
16. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
17. suaka perikanan;
18. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
19. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan
20. jenis ikan yang dilindungi.

Gambar 9. Ikan hasil Tangkapan nelayan

Pengelolaan sumber daya hayati ZEE Indonesia tidak terbatas hanya


dikelola oleh nelayan Indonesia saja, tetapi nelayan asingpun dapat ikut
memanfaatkan sesuai peraturan internasional. Dalam hal Usaha perikanan

53
dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi,
produksi, pengolahan, dan pemasaran.

Adapun beberapa pokok pengaturannya antara lain sebagai berikut:


(1). Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP.
(2) .Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud pada point 1, tidak berlaku
bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil.
(3) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau laut
lepas wajib memiliki SIPI.
(4) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIPI
(diterbitkan oleh Menteri).
(5) Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan
ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah.
(6) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI
(diterbitkan oleh Menteri).

54
Gambar 10. Kapal Penangkap sedang mencari fishing ground

PERIZINAN USAHA PERIKANAN TANGKAP

Semua usaha perikanan termasuk didalamnya usaha perikanan tangkap


harus memiliki izin dari pemerintah. Peraturan menteri Kelautan & Perikanan No.
05/ Men/ 2008 tentang usaha perikanan tangkap, dijadikan dasar rujukannya.
Untuk perikanan tangkap persyaratan izin usaha yang harus ada tertera dalam
pasal 2 peraturan menteri di atas adalah :
1. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)
Surat izin usaha perikanan adalah surat izin tertulis yang harus dimiliki oleh
perusahaan perikanan yang melakukan usaha perikanan dengan
menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut. SIUP
berlaku selama 30 tahun dan dapat diperpanjang dalam waktu yang sama
(pasal 29 ayat 1)
2. Surat Izin penangkapan Ikan (SIPI)
Surat izin penangkapan ikan adalah surat izin tertutil yang harus dimiliki
setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari SIUP. Masa berlaku SIPI paling lama 3
tahun untuk penangkapan ikan Rawai Tuna, Jaring Insang hanyutdan
Huhate (pasal 31 ayat 1). Sedang SIPI untuk alat tangkap selain yang

55
tertera dalam pasal 31 ayat 1 di atas berlaku selama 2 tahun. Kedua SIPI di
atas dapat diperpanjang dengan waktu yang sama (pasal 32 ayat 2)
3. Surat Izin kapal pengangkut Ikan (SIKPI)
Surat izin kapal pengangkut ikan adalah surat izin tertulis yang harus dimiliki
setiap kapal perikanan yang melakukan pengumpulan dan pengangkutan
ikan.berdasarkan pasal 32 ayat 1, bagi kapal berbendera Indonesia SIKPI
berlaku selam 3 tahun, sedangkan untuk kapal berbendera asing yang
dioperasikan oleh perusahaan perikanan indonesia berlaku selama 1 tahun
(pasal 312 ayat 3). Dalam pasal yang sama, kedua jenis SIKPI dapat
diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.

PERATURAN TENTANG PENGAWAKAN KAPAL PENANGKAP IKAN

Untuk dapat bekerja sebagai awak kapal, wajib memenuhi persyaratan:

a. memiliki Sertifikat Keahlian Pelaut dan/atau Sertifikat Keterampilan


Pelaut;
b. berumur sekurang-kurangnya 18 tahun;
c. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan yang
khusus dilakukan untuk itu;
d. disijil.

Memenuhi persyaratan tersebut, pelaut kapal ikan Indonesia diharuskan


memiliki sertifikasi kepelautan terstandar, baik itu untuk level Nakhoda, Perwira
ataupun Anak Buah Kapal (ABK).

- Jenis sertifikat kepelautan yang dimaksud di atas adalah :


a. Sertifikat Keahlian Pelaut
b. Sertifikat Keterampilan Pelaut.
- Jenis Sertifikat Keahlian Pelaut sebagaimana dimaksud terdiri dari :
a. Sertifikat keahlian pelaut nautika kapal penangkap ikan
b. Sertifikat keahlian pelaut teknik permesinan kapal penangkap
ikan.
- Sertifikat keahlian pelaut nautika kapal penangkap ikan sebagaimana
dimaksud terdiri dari :
a. Sertifikat ahli nautika kapal penangkap ikan tingkat I;

56
b. Sertifikat ahli nautika kapal penangkap ikan tingkat II;
c. Sertifikat ahli nautika kapal penangkap ikan tingkat III.
- Sertifikat keahlian pelaut teknik permesinan kapal penangkap ikan:
a. Sertifikat ahli teknika kapal penangkap ikan tingkat I;
b. Sertifikat ahli teknika kapal penangkap ikan tingkat II
c. Sertifikat ahli teknika kapal penangkap ikan tingkat III
- Jenis Sertifikat Keterampilan Pelaut sebagaimana dimaksud di atas terdiri
dari:
a. Sertifikat Keterampilan Dasar Pelaut;
b. Sertifikat Keterampilan Khusus.

Sertifikat Keterampilan Dasar Pelaut sebagaimana dimaksud dalam uraian


di atasadalah Sertifikat Keterampilan Dasar Keselamatan (Basic Safety Training).
Sedangkan Jenis Sertifikat Keterampilan Khusus sebagaimana dimaksud adalah:

a. Sertifikat Keterampilan Penggunaan Pesawat Luput Maut dan Sekoci


Penyelamat (Survival Craft dan Rescue Boats);

b. Sertifikat Keterampilan Sekoci Penyelamat Cepat (Fast Rescue Boats);

c. Sertifikat Keterampilan Pemadaman Kebakaran Tingkat Lanjut (Advance


Fire Fighting);

d. Sertifikat Keterampilan Pertolongan Pertama (Medical Emergency First


Aid);

f. Sertifikat Keterampilan Perawatan Medis di atas Kapal (Medical Care on


Boats);

g. Sertifikat Radar Simulator;

h. Sertifikat ARPA Simulator;

Untuk mendapatkan sertifikat keahlian pelaut kapal penangkap ikan


tersebut para calon pelaut atau pelaut harus lulus ujian yang dilaksanakan oleh
Dewan Penguji yang mandiri (independen) sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Ketentuan lebih lanjut mengenai ujian tersebut diatur
dengan Keputusan Menteri setelah mendengar pendapat dari Menteri yang
bertanggung jawab di bidang perikanan.

57
pengawakan kapal penangkap ikan harus disesuaikan dengan :

a. daerah pelayaran;
b. ukuran kapal;
c. daya penggerak kapal (kilowatt/KW).

Kebutuhan awak kapal penangkap ikan sesuai dengan jenis kapal.


Secara umum dibutuhkan sekitar 17 orang untuk mengawaki kapal penangkap
ikan ukuran 50 GT atau rata-rata umum kebutuhan adalah 23 orang untuk kapal
dengan ukuran 50 GT hingga > 300 GT (DJPT, 2005). Dengan asumsi setiap
kapal dibutuhkan 20% awak kapal bersertifikat maka perlu paling tidak 4 orag
bersertifikat pada setiap kapal penangkap ikan.

Gambar 11. Kapal perikanan

Sebagai ilustrasi, kajian DKP (2004) menunjukkan bahwa serrtifikasi


nahkoda adalah ANKAPIN II sebesar 25%, sedang untuk KKM sebesar 22 %
bersertifikat ATKAPIN II. Hasil tersebut diperoleh dari 59 kapal penangkap ikan
sampel, dengan ukuran antara 24 meter hingga 72 meter.

Kualifikasi keahlian dan keterampilan ini tidak berlaku terhadap pelaut


yang bekerja di :

1. Kapal layar motor


2. Kapal layar

58
3. Kapal motor dengan ukuran kurang dari 35 GT
4. Kapal pesiar pribadi yang tidak digunakan untuk berniaga serta
5. Kapal-kapal khusus

KETENTUAN UMUM PERATURAN NASIONAL


YANG BERKAITAN DENGAN KAPAL PERIKANAN

Ukuran dan Jenis Kapal Penangkapan Ikan

Menurut Capt. J. H. Warokka dalam bukunya yang berjudul Hukum Maritim


mengatakan bahwa Kitab Undang – undang Hukum Dagang (KUHD) terbagi
dalam 2 buku yaitu :
1. Buku pertama membahas Tata – Niaga secara umum, seperti :
a. Perseroan
b. Bursa Perniagaan
c. Asuransi
2. Buku kedua membahas aturan hak – hak dan kewajiban – kewajiban yang
berasal dari dunia pelayaran yang dikenal sebagai “Hukum Laut
Keperdataan”. Buku ini terbagi dalam 13 bab yaitu :
a. Bab I : Kapal laut & muatannya = Terdiri dari 11 pasal
b. Bab II : Pengusaha kapal = 21 pasal
c. Bab III : Nahkoda, ABK = 58 pasal
d. Bab IV : Perjanjian kerja laut
e. Bab V : Penchateran
f. Bab VI : Penubrukan kapal
g. Bab VII : Karamnya kapal
h. Bab VIII : Dihapus
i. Bab IX-X : Pertanggungan
j. Bab XI : Kerugian laut
k. Bab XII : Pengakhiran perikatan
l. Bab XIII : Kapal pedalaman
Pengukuran Kapal
A. Dasar Hukum = - UU No. 21 Tahun 1992
- TMS - 1969
- KEPRES No. 5 Tahun 1989

59
B. Peraturan Pelaksanaan = - KEPMENHUB No. km 41 Tahun 1990
- Sk. DJPL No. PY. 67 / 1 / 13 – 90
- SE KADITKAPPEL = -PY.671/1/14/D. II – 91
- UM.482/4/2/D. II - 91
C. Tujuan = - Untuk menentukan ukuran termasuk tonase
kapal berdasarkan cara pengukuran yang
berlaku untuk penerbitan surat ukur.
- Tonase kapal berupa tonase kotor dan tonase
bersih.
- Cara pengukuran yang diberlakukan terhadap
kapal kapal Indonesia.
D. Ruang Lingkup = Ukuran dan tonase kapal yang merupakan
identitas kapal berkaitan dengan beberapa
aspek antara lain :
- Konstruksi kapal
- Pendaftaran dan surat tanda kebangsaan
kapal
- Daftar statistic serta perhitungan biaya
pelabuhan
E. Daftar Ukur dan Tanda Selar
- Daftar Ukur = Formulir yang dipergunakan untuk menghitung dan
menetapkan tonase kapal, disusun dan ditanda tangani
oleh ahli ukur kapal.
- Surat Ukur = Salah satu surat kapal yang harus ada di kapal apabila
kapal akan berlayar dalam surat ukur (SU)
dicantumkan data umum kapal, ukuran dan tonase
kapal yang bersangkutan.
- Tanda Selar = Rangkaian angka dan huruf yang menunjukkan tonase
kotor (GT) kapal, nomor surat ukur serta kode
pengukuran dari pelabuhan yang menerbitkan surat
ukur. Contoh = GT. 27 No. 1 / LLF
Pendaftaran Kapal
A. Dasar Hukum = - UU No. 21 Tahun 1992 Pasal 46 ayat (2) kapal yang
didaftar di Indonesia adalah :

60
a. Kapal dengan ukuran isi kotor sekurang –
kurangnya GT. 7.
b. Dimiliki oleh WNI atau BHI dan berkedudukan di
Indonesia.
- KUHD Pasal 314 ayat (1) = Kapal laut yang
berukuran paling sedikit GT. 7 dapat dibedakan di
dalam suatu register kapal menurut ketentuan –
ketentuan yang akan ditetapkan dalam suatu UU
tersendiri.
B. Tujuan = - Untuk memperoleh surat tanda kebangsaan kapal
(STKK).
- Status hokum pemilikan kapal menjadi jelas.
- Dapat dipasang / dibebani hipotik.
Dengan adanya STKK maka kapal dapat berlayar dengan mengibarkan
bendera kebangsaannya, dengan demikian kedaulatan Negara bendera
berlaku secara sepenuhnya di atas kapal tersebut dan orang yang berada di
atas kapal harus tunduk pada peraturan – peraturan dari Negara bendera.
C. Penerbitan Akte Pendaftaran = Dokumen yang disyaratkan :
- Permohonan - Surat Ukur
- Bukti Pemilik - Bukti Pelunasan BBN
- Identitas Pemilik - Deletion Certificate

Surat Tanda Kebangsaan Kapal


A. Dasar Hukum = - Pasal 311 KUHD
- UU No. 21 Tahun 1992
- Stbl. 1934 No. 78 Tentang Penetapan surat – surat
laut dan pas kapal.
- Stbl. 1935 No. 492 Tentang Ordenansi surat laut
dan pas kapal.
- Stbl. 1935 No. 564 Tentang Peraturan surat laut dan
pas kapal.
- Km No. 46 / 96 Tentang Sertifikat kapal – kapal
penangkapan ikan.

61
B. Tujuan = Memberikan hak kepada kapal untuk berlayar
mengibarkan bendera Indonesia.
C. Kebangsaan Adalah = Hubungan hukum antara subyek dengan negaranya.
D. Kebangsaan suatu kapal dibuktikan dengan adanya :
- Bendera kebangsaan
- Surat tanda kebangsaan
- Tanda,s panggilan (Call Sign) bagi kapal
yang mempunyai perangkat Radio
komunikasi.

Adanya surat tanda kebangsaan kapal, memberikan hak untuk berlayar


dengan mengibarkan bendera kebangsaan kapal tersebut. Pengibaran bendera
kebangsaan di atas kapal berarti hukum dari Negara yang bersangkutan berlaku
di atas kapal tersebut. Berarti juga kapal tersebut dianggap sebagai besitorial
Negara yang bersangkutan dimanapun kapal tersebut berada. Surat tanda
kebangsaan kapal Indonesia harus ada di atas kapal apabila kapal berlayar,
sebab tanpa surat tanda kebangsaan, kapal Indonesia tidak berwenang
mengibarkan bendera Indonesia.

Penerbitan surat tanda kebangsaan kapal Indonesia diatur dalam pasal 3


penetapan surat – surat laut dan pas – pas kapal pasal 50 UU Pelayaran No. 21
Tahun 1992.
Jenis – jenis surat tanda kebangsaan kapal :
 Surat Laut = Untuk kapal Niaga dan kapal penangkapan ikan yang
berukuran tonase kotor GT 75 atau lebih.
 Pas Tahunan = Untuk kapal Niaga dan kapal penangkapan ikan yang
berukuran tonase kotor GT 75 atau lebih tetapi kurang dari
GT 175.
 Pas Kecil = Untuk kapal Niaga atau kapal penangkapan ikan yang
berukuran tonase kotor kurang dari GT 7.
 Model E = Diterbitkan untuk kapal yang belum didaftarkan atau dibalik
hama, sebagai pengganti surat tanda kebangsaan kapal
sementara dan hanya berlaku untuk pelayaran dalam negeri.

62
Kapal adalah suatu alat pengangkutan di air dari suatu tempat ketempat yang
lain. Kapal ikan adalah kapal yang digunakan untuk menangkap ikan atau
kegiatan lainnya yang berhubungan dengan perikanan misalnya untuk
menangkap atau mengangkut ikan – ikan hasil tangkapan.

Gambar 12. Sedang melakukan penangkapan

Persyaratan umum bagi kapal ikan yaitu :


a. Bentuk dan konstruksi.
b. Peralatan.
c. Stabilitas.
d. Palkah penyimpan ikan.

Klasifikasi kapal ikan yaitu :


a. Kapal ikan sungai => memiliki cirri sbb : - Beroperasi di sungai/danau
- Bahan dari kayu
- Ukuran kecil
- Alat tangkap tradisional
b. Kapal ikan laut => memiliki cirri sbb : - Beroprasi di pantai dan lepas
pantai
- Bahanya dari kayu, fiber dan
besi
- Ukurannya bervariasi

63
- Alat tangkap tradisional semi
modern dan modern
Karakteristik kapal ikan yaitu :
1. Memiliki ruang palkah
2. Memiliki perlengkapan refrigerasi
3. Memiliki gladak dan tempat bekerja mengoperasikan alat tangkap
4. Memiliki kecepatan => - Kapal Trawl berukuran 100 GT, kecepatan sekitar
11 mil/jam (11 knot)
- Kapal Long Line berukuran 300 GT, kecepatannya
sekitar 12 mil/jam (12 knot)
5. Memiliki kelincahan berolah gerak
6. Memiliki ketahanan => Angin, gelombang besar & daya apung tunggi
7. Memiliki jarak tempuh
8. Memliki fasilitas pengawetan hasil tangkapan => es & garam
9. Memiliki alat bantu dalam penangkapan => line hauler, winch, bick

Klasifikasi kapal ikan berdasarkan ukuran dan mesin yaitu = kapal ikan
1. Yang dapat dilakukan berdasarkan pada bentuknya = bentuk U dan V.
2. Yang dapat dilakukan berdasarkan pada bahannya = kayu, fibre glass, besi.
3. Yang dapat dilakukan berdasarkan pada cara menggerakkannya = duyung,
layar, motor temple dan diesel.
4. Yang dapat dilakukan berdasarkan pada tipe perikanan yang digunakan :
a. Kapal Ikan Ukuran Kecil = - Bahanna dari kayu
- Beroperasi di perairan pantai
- Lama operasinya 1 hari
- Ukurannya 5 GT
- Keuntungannya = Tidak memerlukan
pelabuhan yang besar, mudah dalam
mengoperasikannya, murah dalam
pembuatannya.
b. Kapal Ikan Ukuran Sedang = - Ukurannya 3 – 50 GT
- Bahannya kayu dan besi serta fibre
glass

64
- Beroperasi dilepas pantai dan laut
bebas
- Lama operasinya 2 minggu – 6 bulan
c. Kapal Motor dan Perahu = - Kapal Perahu dipergerakkan dengan
layar dan dayung.
- Kapal Motor, ada 2 macam yaitu :
 Motor Tempel 5 – 50 HP
 Kapal yang bermesin dalam 30 –
200 HP.

Ukuran – Ukuran Pokok Kapal

1. Ukuran Panjang Kapal (Lengih)


Panjang adalah jarak memanjang sebuah kapal dalam meter pada
surat kuat mesin panas yang dihitung dari bagian depan tinggi haluan sampai
sisi belakang poros kemudi.
Ukuran panjang kapal terdiri dari 3 bagian :
a. Panjang seluruhnya (Length Over All = LOA) adalah panjang kapal yang
di ukur dari haluan kapal terdepan sampai buritan kapal paling belakang
di ukur sejajar lunas.
b. Panjang sepanjang garis tegak (Length between perpen discolors = LBP)
adalah panjang kapal yang di ukur dari haluan kapal pada garis air / garis
muat di linggi depan kapal sampai dengan tinggi kemudi.
c. Panjang sepanjang garis muat / garis air (length on the load water line =
LWL) adalah panjang kapal di ukur dari perpotongan garis air dengan
linggi depan sampai ketitik potong garis air dengan tinggi belakang.
2. Ukuran Lebar Kapal (Greadth)
Lebar adalah lebar kulit kapal bagian dalam terbesar yang diukur dari
bagian sebelah dalam kulit kapal.
Ukuran lebar kapal terdiri dar :
a. Lebar extrim adalah lebar kapal yang diukur pada kulit kapal bagian luar
sampai kulit kapal bagian luar sisi lainnya (diukur pada tengah – tengah
kapal).

65
b. Lebar dalam atau breadth moulder adalah lebar kapal yang diukur dari
bagian luar gading lambung yang satu ke gading lambung yang lain
sejajar dengan garis air (tebal kulit kapal tidak dihitung).
c. Lebar terdaftar adalah lebar kapal seperti tertera dalam sertifikat kapal.
d. Lebar pada garis air muat yaitu lebar terbesar yang diukur pada garis air
muat.
3. Ukuran Tegak Kapal (Vertikal)
Tegak adalah jarak tegak yang dinyatakan dalam meter pada
pertengahan panjang kapal diukur dari bagian atas lunas sampai bagian atas
blok gladak.
Ukuran tegak kapal terdiri dari :
a. Serak kapal adalah jarak tegak yang dari titik terendah badan kapal
sampai garis ukuran air.
b. Lambang bebas (Free Board) adalah jarak tegak yang diukur dari garis
air sampai gladak lambung bebas menurut UU ditetapkan sampai dengan
gladak lambung bebas.
c. Dalam (Depth) adalah jarak tegak yang diukur dari titik terendah badan
kapal samping titik di gladak lambung bebas tersebut (garis depth).
4. Ukuran Volume atau Tonase (TONNAGE)
- Gross Tonnage (Isi Kotor) adalah volume seluruh kapal dikurangi ruang
untuk tempat NAKHODA dan tempat ABK, tempat – tempat bekerja di
kapal.
(Misal = Ruang mengemudi, kamar peta, kamar radio, kamar alat – alat
elektronik, ruang kerja mesin), gudang peralatan kapal.
(Misal = CERUK RANTAI, ruang penyimpanan aki, ruang pompa, ruang
layar dan kamar mesin sebagian) sesuai dengan ketentuan.
- NET TONAGE (Isi Bersih) adalah volume (isi) kotor dikurangi dengan
ruangan yang dikurangkan.
(Misal = Ruang NAKHODA, ABK, Ruang NAVIGASI, Ruang mesin
kemudi, ruang peninjau dan lain – lain).

Daerah Penangkapan Ikan


Daerah penangkapan ikan adalah suatu daerah perairan tempat ikan
berkumpul, dimana daerah penangkapan ikan dibedakan :

66
1. Menurut Sifat Perairan
 Secara Horizontal
a. Daerah Penangkapan Pantai / Laut Dangkal
b. Daerah Penangkapan Lepas Pantai / Laut Dalam
c. Daerah Penangkapan Laut Bebas
 Secara Vertikaly
a. Daerah Perairan Permukaan
b. Daerah Perairan Pertengahan
c. Daerah Perairan Dasar
2. Menurut Jenis Ikan Yang Ditangkap
a. Daerah Penangkapan Ikan Layang
b. Daerah Penangkapan Ikan Kembung
c. Daerah Penangkapan Ikan Lemuru
3. Daerah Penangkapan Ikan Cakalang
a. Daerah Penangkapan Ikan dengan alat Trawl
b. Daerah Penangkapan Ikan dengan alat Longline
c. Daerah Penangkapan Ikan dengan alat Purse Seine
4. Menurut Jenis Alat Tangkap IkanDaerah Penangkapan Ikan dengan alat Pole
and Line
a. Daerah Penangkapan Ikan dengan alat Gill Net
b. Daerah Penangkapan Ikan Tuna
c. Daerah Penangkapan Ikan Udang
Perairan wilayah perikanan Indonesia (UU No. 9 Tahun 1985 Wilayah Perikanan)
1. Perairan Pedalaman adalah sungai, waduk, danau dan lain – lain.
2. Perairan Teritorial adalah wilayah perairan 12 mil pada saat surut
terendah dari pantai.
3. Perairan ZEE adalah wilayah perairan 200 mil laut dari garis terpantai
terluar pada saat pasang surut.

Suatu daerah perairan dinamakan daerah penangkapan yang baik (subur)


apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Di daerah tersebut terdapat ikan yang melimpah sepanjang tahun.
2. Alat tangkap dapat dioperasikan dengan mudah dan sempurna.
3. Daerahnya aman dan tidak dinyatakan terlarang oleh peraturan dan UU.

67
Suatu daerah perairan dinamakan daerah penangkapan yang kurang baik (tidak
subur dan gersang) disebabkan karena berbagai hal antara lain :
1. Adanya usaha penangkapan yang berlebihan.
2. Di daerah itu diadakan penangkapan yang menggunakan alat dengan
mata jaring ukuran yang lebih kecil.
3. Mengadakan penangkapan pada sembarang waktu tanpa
mengindahkan waktu ikan sedang menghadapi masa pemijahan.
4. Usaha penangkapan yang menggunakan racun / bahan peledak.

Untuk menentukan lokasi daerah penangkapan ikan itu tidak mudah,


namun memerlukan penelitian dan pengujian yang continue dan beberapa kali
musim penangkapan.
Para nelayan yang belum maju mencari daerah penangkapan ikan dengan cara
tradisional yaitu berdasarkan kepada pengalaman, keadaan angin, keadaan
arus, pasang surut, keadaan bulan dan sebagainya.
Namun lama – kelamaan usaha pencarian daerah penangkapan menjadi lebih
maju yaitu dengan menggunakan teropong untuk melihat jarak jauh, keadaan
perairan dipelajari dan diselidiki baik keadaan kabar garam, suhu air laut,
kejernihan air laut, zat – zat hara, zat asam dan lain – lain.

Cara mencari gerombolan ikan di daerah penangkapan yaitu :

1. Cara pengamatan dan pencarian langsung di kapal dengan tanda – tanda


adanya ikan melalui teropong seperti :
a. Adanya ikan yang berloncatan dipermukaan.
b. Adanya indikasi lain seperti burung laut yang beterbangan di permukaan
air.
c. Adanya perubahan warna air di permukaan.
d. Adanya buih – buih di permukaan.
e. Adanya percikan – percikan air di permukaan.
f. Adanya kilatan – kilatan warna ikan dalam air.
g. Dengan Fishfinder / Echosaunder.
a. Data – data oceanografi dan meterologi seperti :

68
2. Kondisi perairan
b. Suhu air
c. SalinitasTekanan udara
3. Pengamatan yang dilakukan oleh pengusaha besar, dimana pilot kapal udara
yang mengamati dari atas selalu berhubungan dengan nakhoda kapal.

Adanya berbagai cara untuk mengumpulkan ikan dalam air yaitu :


1. Dengan menyebarkan umpan hidup seperti pada penangkapan ikan
cakalang.
2. Dengan memasang rumpon (cara induktif).
3. Dengan memasang lampu di waktu malam (cara induktif).
4. Dengan rangsangan pendengaran seperti rekaman gemerisik suara air
atau suara ikan (cara compulsip).
Oleh karena itu ada beberapa aturan – aturan hukum perikanan Indonesia yang
perlu dicermati antara lain :
1. Surat keputusan menteri pertanian No. 123 / kpts / um / 3 / 75 : Melarang
semua kegiatan penangkapan kembung, layar, selar, lemuru dan ikan – ikan
pelagis sejenisnya dengan menggunakan purse – purse dengan berukuran
mata jarring kurang dari 2 inci pada bagian sayap dan kurang dari 1 inci pada
bagian kantong.
2. Keputusan Presiden No.85 Tahun 1982 tentang penggunaan pukat udang.
3. UU No. 5 Tahun 1983 tentang zona ekonomi exlusif Indonesia / ZEE.
4. Peraturan pemerintah No. 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber daya
alam hayati di ZEE :
a. Menteri Pertanian menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
menurut jeni atau kelompok jenis.
b. Menteri Pertanian menetapkan jumlah unit kapal perikanan dan jenis alat
tangkap yang diperbolehkan.
c. Orang atau badan hokum yang melakukan penangkapan ikan di ZEE
harus memperoleh izin dari pemerintah RI.
5. Surat keputusan Menteri Pertanian No. 815 / kpts / IK. 120 / 11 / 1990
tentang pengizinan usaha perikanan.
6. Keputusan Menteri Pertanian No. 392 / kpts / IK. 120 / 4 / 1999 tentang jalur
– jalur penangkapan ikan.

69
7. UU No. 4 Tahun 1960 tentang perairan Indonesia.
8. UU No. 9 Tahun 1985 tentang wilayah perikanan :
a. Pasal 3 = Perairan pantai 3 – 6 mil laut diukur dari permukaan air laut
pada sudut terendah.
b. Pasal 4 = Perairan lepas pantai 6 – 12 mil laut pada saat surut terendah
dari pantai.
c. Pasal 5 = Perairan laut bebas 12 – 200 mil laut pada saat surut terendah
dari lepas pantai dan pulau terluar.

Perizinan Penangkapan Ikan


Aturan – aturan hukum perikanan Indonesia mengenai izin penangkapan yaitu :
1. Surat keputusan Menteri Pertanian No. 475 / kpts / IK. 120 / 7 / 1985
tentang perizinan bagi orang / Badan Hukum Asing untuk menangkap
ikan di ZEEI.
2. Surat keputusan Menteri Pertanian No. 476 / kpts/ IK. 120 / 1985 tentang
penetapan tempat melapor bagi kapal perikanan asing yang mendapat
izin penangkapan ikan di ZEEI.
3. Surat keputusan Menteri Pertanian No. 477 / kpts / IK. 120 / 7 / 1985
tentang pungutan perikanan yang dikenakan kepada orang / Badan
Hukum yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI.
4. pemerintah No. 15 Tahun 1990 terdiri atas :
BAB I = Ketentuan Umum (Pasal 1 – 5)
BAB II= Perizinan Usaha Perikanan (Pasal 6 – 14)
BAB III = Pencabutan Izin Usaha Perikanan (IUP)
Surat Penangkapan Ikan (SPI)
Persetujuan Penggunaan Kapal Asing (PPKA)
Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) Pasal 15 – 17
BAB IV = Pungutan Perikanan (Pasal 18 – 22)
BAB V = Pembinaan dan Pengawasan (Pasal 23)
BAB VI = Ketentuan Pidana (Pasal 24)
BAB VII = Ketentuan Peralihan (Pasal 25)
BAB VIII = Ketentuan Penutup (Pasal 26)

70
5. Surat keputusan Menteri Pertanian No. 815 / kpts / IK. 120 / 11 / 1990
tentang perizinan Usaha perikanan sebagai tindak lanjut peraturan
pemerintah No. 15 Tahun 1990.
Cara pengurusan izin penangkapan :
1. Pemilik kapal baru melapor ke Syah bandar.
2. Syahbandar turun mengukur dengan biaya pemilik kapal.
3. Syahbandar membuatkan surat izin berlayar (SIB) surat kapal / pas biru
yang tercantum didalamnya = panjang, lebar, dalam, mesin yang
digunakan dan lain – lain ( 1 Tahun).
4. Pemilik kapal selanjutnya mengurus surat izin penangkapan dan surat
izin usaha perikanan kepada Dinas Perikanan yang berlaku selama 1
tahun.
5. Bagi pemilik kapal yang beroperasi di luar provinsi sebaiknya mengurus
surat Andon (surat izin penangkapan ikan di luar povinsi) di Dinas
Perikanan setempat yang berlaku selama 1 tahun.
6. Biaya dari masing – masing surat izin penangkapan kurang lebih 35.000,
sedangkan pas biru kurang lebih 100.000 ke atas.

PELABUHAN PERIKANAN
Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan
perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai
tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang
dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.

71
Gambar 13. Kapal Sedang Berlabuh di Pelabuhan

Menurut peraturan menteri kelautan dan perikanan nomor 6 tahun 2001


tentang organisasi dan tata kerja pelabuhan perikanan disebutkan bahwa tugas
pelabuhan perikanan adalah : melaksanakan fasilitas produksi dan pemasaran
hasil perikanan dan wilayahnya, pengawasan dan pemanfaatan sumberdaya
ikan untuk pelestariannya, dan kelancaran kegiatan kapal perikanan, serta
pelayanan kesyahbandaran di pelabuhan perikanan.
Dalam permen DKP No. 05/ Men/ 2008 tentang usaha perikanan
tangkap, setiap kapal penangkap ikan dan atau kapal pengangkut ikan harus
mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan yang tercantum
dalam surat izin penangkapan ikan dan/atau surat izin kapal pengangkut ikan
(SIKPI).

Menurut peraturan menteri yang sama, pelabuhan perikanan diklasifikasikan


dalam 4 kelas yaitu :
1. Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) /Pelabuhan Perikanan kelas A
Adalah pelabuhan perikanan yang diperuntutkan terutama bagi kapal-
kapal perikanan yang beroperasi di perairan samudera yang lazim
digolongkan ke dalam armada perikanan jarak jauh sampai ke perairan ZEEI
(Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia), dan perairan internasional, mempunyai
perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah sumberdaya ikan
sesuai kapasitasnya yaitu jumlah hasil ikan yang didaratkan. pelabuhan

72
perikanan samudera yang ada di indonesia terdapat di : Jakarta, Kendari,
Cilacap, Belawan dan Bungus.
Kriteria teknis suatu pelabuhan dikatakan sebagai pelabuhan perikanan
samudera (PPS) yaitu :
a. Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut
teritorial, Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, dan laut lepas
b. Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran
sekurang-kurangnya 60 GT
c. Panjang dermaga sekurang-kurangnya 300m, dengan kedalaman kolam
sekurang-kurangnya minus 3 m
d. Mampu menanampung sekurang-kurangnya 100 kapal perikanan atau
jumlah keseluruhan sekirang-kurangnya 6.000 GT kapal perikanan
sekaligus
e. Ikan yang didaratkan sebagian besar untuk tujuan ekspor
f. Terdapat industri perikanan

Gambar 14 Pelabuhan Perikanan samudera (PPS) Bungus

2. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)/ Pelabuhan Perikanan kelas B.


Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) adalah pelabuhan perikanan
yang diperuntutkan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di
perairan Nusantara yang lazim digolongkan kedalam armada perikanan jarak
sedang samapi ke perairan ZEEI, serta mempunyai perlengkapan untuk

73
menangani dan atau mengolah ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah
ikan yang didaratkan. Pelabuhan Perikanan Nusantara yang ada di Indonesia
terdapat di : Pekalongan, pelabuhan ratu, Sibolga, Brondong, Kejawanan,
Prigi, ternate, Ambon, Tual, tanjung pandan, Pengambenan, Sungailiat,
Pemangkat.
Suatu pelabuhan ditetapkan menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara
(PPN), jika memenuhi kriteria teknis sebagai berikut :
a. Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan di laut teritorial dan
ZEEI
b. Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran
sekurang-kurangnya 30 GT
c. Panjang dermaga sekurang-kurangnya 150m, dengan kedalaman kolam
sekurang-kurangnya minus 3 m
d. Mampu menampung sekurang-kurangnya 75 kapal perikanan atau jumlah
keseluruhan sekirang-kurangnya 2.250 GT kapal perikanan sekaligus
e. Terdapat industri perikanan

Gambar 78. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhan Ratu

74
3. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) /Pelabuhan Perikanan kelas C
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) adalaha pelabuhan perikanan yang
diperuntutkan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di
perairan pantai serta mepunyai perlengkapan untuk menangani dan/atau
mengolah ikan sesuai dengan kapasitasnya.
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) tersebar hampir diseluruh wilayah
indonesia, secara administrasi pelabuhan yang masuk klasifikasi pelabuhan
jenis ini menurut peraturan Menteri kelautan Nomor 19 tahun 2008, hanya
ada 2 yaitu pelabuhan karangantu, banten dan pelabuhan Teluk batang,
Kalimantan Barat.
Suatu pelabuhan diklasifikasikan sebagai Pelabuhan Perikanan Pantai
(PPP) bila memenuhi kriteria teknis sebagai berikut :
a. Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan
diperairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial
b. Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran
sekurang-kurangnya 10 GT
c. Panjang dermaga sekurang-kurangnya 100m, dengan kedalaman kolam
sekurang-kurangnya minus 2 m
d. Mampu menampung sekurang-kurangnya 30 kapal perikanan atau
jumlah keseluruhan sekirang-kurangnya 300 GT kapal perikanan
sekaligus

Gambar 16. Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu Banten

75
4. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) adalahpangkalan untuk
pendaratan ikan hasil tangkapan yang berskala lebih kecil dari pelabuhan
perikanan pantai ditinjau dari segi kapasitasnya penanganan jumlah
produksi Ikan, maupun fasilitas dasar dan perlengkapannya.
Suatu pangkalan dapat diklasifikasikan sebagai pangkalan pendaratan
ikan (PPI), bila memenuhi kriteri sebagai berikut :
a. Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan
diperairan pedalaman dan perairan kepulauan
b. Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran
sekurang-kurangnya 3 GT
c. Panjang dermaga sekurang-kurangnya 50m, dengan kedalaman
kolam sekurang-kurangnya minus 2 m
d. Mampu menampung sekurang-kurangnya 20 kapal perikanan atau
jumlah keseluruhan sekirang-kurangnya 60 GT kapal perikanan
sekaligus

Gambar 17. Pangkalan pendaratan ikan Muara Angke Jakarta

76
Fungsi Dan Peranan Pelabuhan Perikanan
1. Fungsi umum, merupakan tugas pokok melindungi kapal dan pelayanan
lainnya yang dapat dilakukan di setiap pelabuhan perikanan seperti juga di
pelabuhan yang bukan untuk kegiatan perikanan
Fasilitas pendukung :
- Jalan Masuk yang aman
- Pintu atau gerbang pelabuhan dan saluran navigasi yang cukup aman
dan dalam
- Kedalaman air yang cukup dan terlindung dari gelombang
- Bantuan peralatan navigasi secara visual maupun elektronis pemandu
kapal
- Dermaga yang cukup panjang dan luas
- Tersedia fasilitas penyedia kebutuhan pelayaran seperti : beban bahan
bakar minyak, pelumas, air minum,listrik, sanitasi, dan kebersihan serta
saluran pembuangan sisa kotoran dari kapal, penanggulangan sampah
dan sistem pemadam kebakaran
- Adanya bangunan Breakwater sebagai penahan gelombang
- Bangunan rumah dan perkantoran yang perlu untuk kelancaran
operasional pelabuhan
- Area di bagian laut dan darat untuk perluasan atau pengembangan
pelabuhan
- Jalan raya untuk sistem transportasi
- Halaman tempat parkir yang luas
- Fasilitas perbaikan, reparasi dan pemeliharaan kapal
2. Fungsi Khusus :Fungsi- fungsi yang berkaitan dengan masalah perikanan
yang memerlukan pelayanan khusus yang belum terlayani oleh adanya
berbagai fasilitas fungsi umum
Fasilitas pendukung :
- Fasilitas pelelangan ikan yang cukup luas dan dekat dengan tempat
pendaratan
- Fasilitas pengolahan ikan seperti tempat pengepakan, pengemasan dan
cold storage
- Pabrik es
- Fasilitas penyediaan sarana produksi penangkapan ikan

77
Peranan Pelabuhan Perikanan
1. Merupakan basis utama kegiatan industri yang menjamin suksesnya
aktivitas usaha perikanan tangkap di laut
2. Sebagai terminal penghubung kegiatan usaha di laut dan di darat
3. Penyedia data perikanan secara akurat
4. Sebagai pusat kegiatan nelayan

Gambar 18. Fungsi dan peran Pelabuhan Perikanan


D. AKTIFITAS PEMBELAJARAN

Aktifitas pembelajaran pada modul Peraturan Perikanan adalah:


1. Buatlah beberapa kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 5
orang
2. Setiap kelompok mencari informasi tentang:
Peraturan perikanan, pengawakan kapal perikanan, perjanjian kerja
laut, hak dan kewajiban Anak Buah Kapal, tugas dan tanggung jawab
nakhoda, Syarat-syarat untuk dapat bekerja di kapal perikanan,
pelabuhan perikanan, klasifikasi pelabuhan perikanan, fungsi dan
peranan pelabuhan perikanan.
3. Diskusikan hasil informasi yang diperoleh.

78
4. Lakukan analisis tentang Pentingnya peraturan perikanan.
5. Buatlah konsep rekomendasi/laporan hasil diskusi dengan
kelompokmu tentang Peraturan Perikanan.

E. LATIHAN/KASUS/TUGAS

1. Jelaskan pengertian dari perikanan, penangkapan ikan, kapal


perikanan
2. Diskusikan dengan bapak dan ibu guru yang lainnya tentang syarat-
syarat untuk dapat bekerja di kapal perikanan
3. Klasifikasikan pelabuhan perikanan
4. Apa fungsi dan peranan pelabuhan perikanan.
5. Pelabuhan perikanan.

F. RANGKUMAN

1. Pengertian perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan


pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai
dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang
dilaksanakan dalam suatu sistim bisnis perikanan.
2. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang
tidak dalam di budidayakan dengan alat ataupun dengan cara apapun,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani,mengolah dan mengawetkan
3. Kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung lain yang
dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi
penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan
ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan.
4. Perizinan usaha perikanan tangkap terdiri dari : Surat Izin Usaha Perikanan
(SIUP), Surat Izin penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin kapal pengangkut
Ikan (SIKPI).
5. Jenis sertifikat kepelautan adalah :

79
a. Sertifikat Keahlian Pelaut (Certificate of Proficiency)

b. Sertifikat Keterampilan Pelaut (Certifikcate of Competency)

G. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT

Berilah tanda silang (X) pada huruf a, b, c, dan d pada jawaban yang Anda
anggap paling benar.

1. Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan


sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu
sistim bisnis perikanan, merupakan pengertian dari...
b. Pelabuhan
c. Perikanan
d. Penangkapan
e. Usaha perikanan
2. Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam di
budidayakan dengan alat ataupun dengan cara apapun, termasuk
kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani,mengolah dan mengawetkan,
merupakan pengertian dari...
a. Kapal Perikanan
b. Usaha perikanan
c. Penangkapan ikan
d. Pelabuhan perikanan
3. Usaha perikanan ternyata sangat beragam, beberapa diantaranya kecuali...
a. menangkap ikan
b. membudidayakan ikan
c. mendinginkan atau mengawetkannya
d. memanen hasil perikanan
4. Kewajiban memiliki SIUP tidak berlaku bagi nelayan..
a. kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil.
b. Kapal yang berbendera asing

80
c. Besar dan/ pembudi daya ikan-besar
d. Kapal yang berbendera indonesia
5. Masa berlaku SIPI untuk penangkapan ikan Rawai Tuna, Jaring Insang
hanyutdan Huhate, adalah...
a. 1 tahun
a. 2 tahun
b. 3 tahun
c. 4 tahun
6. Untuk dapat bekerja sebagai awak kapal, wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut, kecuali...
a. memiliki Sertifikat Keahlian Pelaut dan/atau Sertifikat Keterampilan Pelaut
b. berumur sekurang-kurangnya 16 tahun;
c. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan yang
khusus dilakukan untuk itu;
d. disijil.
7. Bagi kapal berbendera Indonesia SIKPI berlaku selama...
a. 3 tahun
b. 4 tahun
c. 2 tahun
d. 1 tahun
8. Berikut ini Jenis Sertifikat Keterampilan Khusus, kecuali...

a. Sertifikat Keterampilan Penggunaan Pesawat Luput Maut dan Sekoci


Penyelamat (Survival Craft dan Rescue Boats);

b. Sertifikat Keterampilan Sekoci Penyelamat Cepat (Fast Rescue Boats);

c. Sertifikat Keterampilan Dasar Pelaut;

d. Sertifikat Keterampilan Pemadaman Kebakaran Tingkat Lanjut (Advance


Fire Fighting)
9. Berikut ini merupakan karakteristik kapal ikan, kecuali...
a. Memiliki perlengkapan pengolahan yang moderen
b. Memiliki ruang palkah
c. Memiliki perlengkapan refrigerasi
d. Memiliki gladak dan tempat bekerja mengoperasikan alat tangkap

81
10. Daerah penangkapan ikan menurut sifat perairan yang benar adalah...
a. Secara horizontal dan vertikal
b. Secara vertikal dan diagonal
c. Secara horizontal dan diagonal
d. Secara horizontal dan diagonal

Cocokkanlah jawaban anda dengan kunci jawaban yang terdapat pada bagian
akhir Modul ini. Hitunglah jumlah jawaban anda yang benar, kemudian
gunakanlah rumus di bawah ini untuk megetahui tingkat penguasaan anda
terhadap materi pada modul ini.

Rumus :

Jumlah Jawaban anda yang benar


Tingkat Penguasaan : ----------------------------------------------- X 100 %
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan yang anda capai :


90 % - 100 % : Baik sekali
80 % - 89 % : Baik
70 % - 79 % : Cukup
- 69 % : Kurang

Bila tingkat penguasaan anda mencapai 80 % ke atas, anda dapat meneruskan


ke kegiatan belajar berikutnya, ini berarti perolehan nilainya Bagus, tetapi apabila
nilai yang anda capai di bawah 80 %, anda harus mengulangi kegiatan belajar
ini, terutama pada bagian yang belum anda kuasai.

82
H. KUNCI JAWABAN

1. B
2. C
3. D
4. A
5. D
6. B
7. A
8. C
9. A
10. A

83
84
85
86
TATALAKSANA PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB
(CODE CONDUCT FOR RESPONSIBLE FISHERIES)

Deskripsi Pembelajaran

Pengelolaan perikanan di Indonesia yang didasarkan pada konsep


Maximum Sustainable Yield dimana konsep intinya adalah menjaga
keseimbangan biologi dari sumber daya ikan agar dapat dimanfaatkan secara
maksimum dalam waktu yang panjang. Dalam konsep ini hanya
mempertimbangkan faktor biologi semata. Konsep ini berangkat dari dinamika
suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu; tambahan
individu ikan (recruitment), pertumbuhan individu ikan (growth) dan kematian
individu ikan (mortalitas). Kematian itu sendiri diketahui dikelompokan menjadi 2
(dua) yaitu kematian karena penangkapan (fishing mortality) dan kematian ikan
karena alami (natural mortality). (Suyasa (2007)
Keberlangsungan perikanan tangkap atau yang lebih dikenal dengan
keberlanjutan (sustainability) mengandung pengertian kemampuan manusia
mencukupi kebutuhannya dari hasil laut pada saat ini tanpa mengorbankan
kepentingan generasi yang akan datang. Dalam kalimat lain, laut adalah titipan
dari anak cucu kita, sehingga suatu saat nanti harus kita kembalikan pada
mereka tanpa kurang satu apapun, bila perlu dengan jasanya berupa sistem
manajemen yang baik dalam pengelolaan sumber daya perikanan laut yang
dapat di wariskan dan diterapkan pada generasi yang akan datang tersebut.
Konsep dasar dari manajemen perikanan tangkap tak akan lepas dari; ikan,
kapal, alat tangkap, adminisitrasi kewilayahan, upaya memelihara keberlanjutan
sumber daya serta tindakan aktif menjaga keseimbangan ekosistem itu sendiri.

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari Modul ini peserta diklat PKB diharapkan dapat ;


1. Menganalisis Sifat, ruang Lingkup dan Tujuan Tata Laksana
2. Memahami Pelaksanaan, Pemantauan dan Pemutakhiran
3. Memahami Latar Belakang asal mula dan perluasan Tata Laksana.

87
4. Memahami Resolusi
B. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI

Indikator pencapaian kompetensi pada modul ini peserta diklat


diharapkan dapat mengintegrasikan Sifat, ruang lingkup dan tujuan
tatalaksana perikanan yang bertanggung jawab. Memahami latar belakang
dan asal mula dan perluasan tata laksanan, dan memahami resolusi dari
tatalaksana.

C. URAIAN MATERI

Perikanan, termasuk akuakultur, merupakan sumber pangan,


kesempatan kerja, rekreasi, perdagangan dan kesejahteraan ekonomi yang
sangat penting bagi penduduk seluruh dunia, baik untuk generasi kini
maupun generasi mendatang dan karena itu usaha perikanan harus
dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab.
Tatalaksana perikanan yang bertanggung jawab didasarkan pada
aturan internasional Code Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). CCRF
merupakan salah satu kesepakatan dalam konferensi committee on
Fisheries (COFI) ke 28 FAO di Roma pada tanggal 31 Oktober 1995, dimana
tercantum dalam resolusi Nomor : 4 / 1995 yang secara resmi mengadopsi
dokumen Code Conduct for Responsible Fisheries. Resolusi yang sama juga
meminta pada FAO berkolaborasi dengan anggota dan organisasi yang
relevan untuk menyusun technical guidelines yang mendukung pelaksanaan
dari Code Conduct for Responsible Fisheries tersebut.
Tatalaksana ini menjadi asas dan standar international mengenai
pola perilaku bagi praktek yang bertanggung jawab dalam pengusahaan
sumberdaya perikanan dengan maksud untuk menjamin terlaksananya
aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumberdaya
hayati, akuatik berkenaan dengan pelestarian ekosistem dan
keanekaragaman hayati. Tatalaksana ini memperhatikan karakteristik biologi
sumberdaya perikanan yang terkait dengan lingkungan/habitat serta
menjaga terwujudnya secara adil dan berkelanjutan kepentingan para
konsumen maupun pengguna hasil pengusahaan perikanan lainnya.

88
Kusumastanto (2003) menyatakan, dengan meningkatkan upaya penangkapan
maka akan terjadi; (1) Penurunan hasil tangkapan perunit kapalnya, (2)
menurunnya angka kesempatan bekerja di kapal ikan, dan (3) menurunnya
suplai ikan kepada konsumen.
Pemerintah sendiri sebagai upaya menjaga keberlanjutan aktivitas
penangkapan ikan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 29
tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan
Bidang Penangkapan Ikan, pasal 8, disebutkan apabila tingkat pemanfaatan
statusnya sudah mencapai O (Over fishing) atau F (Fully Fishing) untuk
sementara pemerintah, dalam permen yang sama pasal 9 telah mengeluarkan
kebijakan antara lain:

Tabel 1. Kebijakan Pemerintah Menghadapi Over Eksploitasi dan Fully


Exploited
Status Potensi Perikanan Kebijakan Pemerintah
Over Exploited (O)  Tidak memperpanjang Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI) yang telah habis
masa berlakunya dan/atau
 Pengurangan kapasitas alat penangkap
ikan atau alat bantu penangkapan ikan
dalam rangka mengurangi ikan hasil
tangkapan
Fully Exploited (F)  Tidak menerbitkan Surat izin Penangkapan
Ikan (SIPI) yang baru, dan/atau
 Tidak melakukan perubahan SIPI yang
berakibat pada meningkatnya jumlah hasil
tangkapan

Para ahli perikanan dunia memperkenalkan berbagai macam metode


untuk menilai kondisi keberlanjutan perikanan tangkap di semua area
penangkapan sebagai bentuk dukungan pada tatalaksana ini. Semua metode
pendugaan stok sumber adaya ikan ini bertujuan membantu mencegah
terjadinya fully dan over fishing aktivitas perikanan tangkap di area sebuah

89
fishing ground yang di dikhawatirkan mengakibatkan sumber daya ikan (fish
resources) sampai pada titik deplesi yang tidak dapat dipulihkan lagi (irreversible
depletion).
Menurut Fauzi dan Suzi (2005), salah satu alternative analisis sederhana
yaitu secara kuantitatif yang dapat dilakukan untuk hal tersebut di atas adalah
dengan menggunakan Rapid Appraissal For Fisheries (Rapfish). Pendekatan
Rapfish mampu menganalisis seluruh aspek keberlanjutan dari perikanan di
sebuah area penangkapan yang sedang diamati.
Rapfish yang merupakan hasil pemikiran dari Tonny J. Pitcher (1999)
seorang ahli perikanan dari University Of British Colombia, Vancouver Canada,
menurut Tri dkk (2005) Pitcher dalam kajian pendugaannya mendasarkan pada
lima dimensi yang didukung atribut-atributnya di dalam menjaga keberlanjutan
perikanan. Dimensi ini merupakan cerminan dari baik buruknya kualitas
lingkungan dan sumber daya perikanan tangkap berikut proses-proses alami
didalamnya, baik yang dapat atau tidak dapat mendukung secara berkelanjutan
setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam perikanan tangkap.
Menurut Fauzi dan Anna (2005), tahapan prosedur penelitian menggunakan
Rapfish melalui beberapa tahapan yaitu:

a. Analisis terhadap data perikanan wilayah yang akan di teliti melalui data
statistik, studi litelatur, dan pengamatan dilapangan
b. Melakukan skoring dengan mengacu pada litelatur Rapfish yang
berdasarkan pada publikasi FAO dengan excell
c. Melakukan analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan sofware SPSS
untuk menentukan ordinasi dan nilai stres melalui ALSCAL Algoritma
d. Melakukan “rotasi” untuk menentukan posisi perikanan pada ordinasi bad
dan good dengan Excell dan Visual Basic
e. Melakukan sensitivity analysis (leverage analysis) dan Monte Carlo Analysis
untuk memperhitungkan aspek ketidakpastiannya
f. Menganalisis tingkat keberlanjutan (Asses Sustainability)
g. Untuk mengetahui tingkat pengelolaan sumberdaya perikanan yang
berkelanjutan menggunakan pendekatan analisis Rapfish.

90
Berikut panduan CCRF yang dikeluarkan oleh FAO untuk diterapkan diseluruh
dunia
PASAL 1
SIFAT DAN RUANG LINGKUP TATALAKSANA

Tatalaksana ini bersifat sukarela akan tetapi bagian tertentu dari tatalaksana
ini didasarkan pada aturan hukum internasional yang relevan, termasuk yang
tercermin dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tanggal 10 Desember
1982. Tatalaksana juga memuat ketentuan yang mungkin berupa atau telah
diberi efek mengikat dengan perangkat hukum lain yang bersifat obligatori
diantara pihak-pihak. Seperti misalnya persetujuan memajukan pemenuhan
dengan Langkah Konservasi dan Pengelolaan Internasional oleh Kapal
Penangkap Ikan di laut lepas tahun 1993 yang menurut Konferensi FAO resolusi
15/93 paragraf 3, membentuk suatu bagian integral dari tatalaksana ini.
Tatalaksana ini bersifat global dalam ruang lingkupnya, dan diarahkan
kepada para anggota dan bukan anggota FAO, Badan Usaha Penangkapan
Ikan, organisasi subregional, regional dan global, baik pemerintah maupun non
pemerintah dan semua yang peduli dengan konservasi sumber daya perikanan
dan pengelolaan serta pembangunan perikanan, seperti para nelayan, mereka
yang ikut terlibat dalam pengolahan dan pemasaran ikan serta produk perikanan,
dan para pengguna lain dari lingkungan akuatik yang bertalian dengan
perikanan.

Tatalaksana ini menyediakan asas dan standar yang bisa diterapkan pada
konservasi. Pengelolaan dan pembangunan perikanan. Tatalaksana juga
mencakup penangkapan, pengolahan dan perdagangan ikan serta produk
perikanan, operasi penangkapan, akuakultur/budidaya, penelitian perikanan dan
keterpaduan perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir.
Dalam tatalaksana ini, rujukan pada negara–negara termasuk masyarakat eropa
yang menyangkut sehubungan dengan kompetensinya. Sedangkan istilah
perikanan berlaku sama untuk perikanan tangkap dan akuakultur.

91
PASAL 2
TUJUAN TATALAKSANA

Sasaran Tatalaksana ini adalah untuk:


2.1. Menetapkan asas, sesuai dengan aturan hukum internasional yang terkait,
bagi penangkapan ikan dan kegiatan perikanan yang bertanggung jawab,
dengan memperhatikan seluruh aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial,
lingkungan dan komersial yang relevan.
2.2. Menetapkan asas dan kriteria bagi penjabaran dan pelaksanaan kebijakan
nasional untuk konservasi sumber daya perikanan dan pengelolaan serta
pembangunan perikanan yang bertanggung jawab.
2.3. Berfungsi sebagai sebuah perangkat rujukan untuk membantu Negara–
negara dalam menetapkan atau meningkatkan kerangka kelembagaan dan
hukum yang diperlukan bagi berlangsungnya perikanan yang bertanggung
jawab dan dalam perumusan serta pelaksanaan langkah yang sesuai.
2.4. Menyediakan tuntunan yang bisa digunakan, bila diperlukan dalam
perumusan dan pelaksanaan perjanjian internasional berikut perangkat
hukum lain, baik yang bersifat mengikat maupun sukarela,
2.5. Memberi kemudahan dan memajukan kerjasama teknis, pembiayaan dan
lainnya dalam konservasi sumber daya perikanan dan pengelolaan serta
pembangunan perikanan.
2.6. Meningkatkan kontribusi perikanan bagi ketahanan pangan dan mutu
pangan, memberikan prioritas untuk kebutuhan gizi komunitas local.
2.7. Meningkatkan upaya perlindungan sumber daya hayati akuatik serta
lingkungannya dan kawasan pesisir.
2.8. Menggalakan perdagangan ikan dan produk perikanan sesuai dengan
aturan internasional yang relevan dan menghindari penggunaan langkah
yang merupakan hambatan terselubung bagi perdagangan tersebut.
2.9. Memajukan penelitian mengenai perikanan demikian pula mengenai
ekosistem terkait dan faktor lingkungan relevan, dan
2.10 Menyediakan standar pelaksanaan untuk semua sektor yang terlibat dalam
perikanan.

92
PASAL 3
KETERKAITAN DENGAN PERANGKAT HUKUM
INTERNASIONAL LAIN

3.1. Tatalaksana ini ditafsirkan dan diberlakukan sesuai dengan aturan hukum
internasional yang relevan, seperti tercermin dalam Konvensi PBB tentang
hukum laut. 1982. Dalam tatalaksana ini tidak ada perasangka terhadap hak,
yuridiksi dan kewajiban dari negara–negara di bawah hukum internasional
seperti yang tercermin di dalam konvensi.

3.2. Tatalaksana juga ditafsirkan dan diberlakukan:


a. Dengan suatu cara yang konsisten dengan ketentuan relevan dari
Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut
yang bertalian dengan Konservasi dan Pengelolaan Stok Ikan Straddling
dan stok ikan peruaya jauh.
b. Dengan suatu cara yang konsisten dengan ketentuan relevan dari
Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut
yang bertalian dengan Konservasi dan Pengelolaan Stok Ikan Straddling
dan stok ikan peruaya jauh.
c. Dengan suatu cara yang konsisten dengan ketentuan relevan dari
Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut
yang bertalian dengan Konservasi dan Pengelolaan Stok Ikan Straddling
dan stok ikan peruaya jauh.
d. Sesuai dengan aturan hukum internasional yang berlaku, termasuk
kewajiban masing-masing negara sesuai dengan persetujuan
internasional yang ditandatanganinya, dan
e. Mempertimbangkan deklarasi Cancun 1992, Deklarasi Rio 1992 tentang
Lingkungan dan Pembangunan, serta Agenda 21 yang disetujui oleh
Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED ),
khususnya Bab 17 dari Agenda 21, dan deklarasi serta perangkat
hukum internasional lain yang relevan.

93
PASAL 4
PELAKSANAAN, PEMANTAUAN DAN PEMUTAKHIRAN
4.1. Semua anggota dan bukan anggota FAO, intensitas penangkapan ikan dan
organisasi subregional, regional dan global yang relevan, baik pemerintah
maupun non pemerintah, dan semua yang peduli dengan konservasi,
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan serta perdagangan
ikan dan produk perikanan harus bekerjasama dalam pemenuhan dan
pelaksanaan dari tujuan dan asas tatalaksana ini.
4.2. FAO, sesuai dengan perannya dalam lingkup sistem PBB, akan memantau
aplikasi dan pelaksanaan dari tatalaksana dan pengaruhnya terhadap
perikanan dan Sekretariat akan melapor kepada Komite Perikanan FAO
(COFI). Semua Negara–negara baik anggota maupun bukan anggota FAO,
demikian pula organisasi internasional yang relevan, baik pemerintah
maupun non pemerintah harus secara aktif bekerjasama dengan FAO dalam
tugas ini.
4.3. FAO melalui badannya yang berwenang, boleh merevisi tatalaksana ini
dengan memperhatikan perkembangan perikanan dan laporan kepada COFI
mengenai implementasi tatalaksana ini.
4.4. Negara–negara dan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non
pemerintah harus meningkatkan pemahaman akan tatalaksana oleh mereka
yang ikut terlibat dalam perikanan, termasuk bilamana bisa dipraktekan
dengan cara pengenalan pola yang akan meningkatkan penerimaan
tatalaksana dan penerapannya yang efektif secara sukarela.

PASAL 5
KEBUTUHAN KHUSUS NEGARA BERKEMBANG

5.1. Kapasitas negara berkembang untuk melaksanakan rekomendasi


tatalaksana ini sepatutnya harus diperhitungkan.
5.2. Dalam rangka mencapai tujuan tatalaksana ini dan mendukung
pelaksanaannya yang efektif, negara, organisasi internasional yang relevan.
Baik pemerintah maupun non pemerintah, dan lembaga pembiayaan harus
menyadari sepenuhnya keadaan dan kebutuhan khusus negara–negara
berkembang, dan diantara mereka diutamakan negara–negara yang paling

94
kurang berkembang, dan negara pulau kecil yang sedang berkembang.
Negara–negara, organisasi antar pemerintah dan non pemerintah dan
lembaga-lembaga pembiayaan yang relevan harus berupaya bagi
pengambilan langkah untuk memerhatikan keperluan negara berkembang
terutama dalam bidang bantuan pembiayaan dan teknis, alih teknologi
pelatihan dan kerjasama ilmiah serta dalam meningkatkan kemampuan
mereka guna mengembangkan perikanan mereka sendiri dan berpartisipasi
dalam perikanan laut lepas, termasuk aksesnya ke perikanan tersebut.

PASAL 6
ASAS UMUM

6.1. Negara–negara dan para pengguna sumber daya hayati akuatik harus
melakukan konservasi ekosistem akuatik. Dalam hak menangkap ikan
terkandung pula kewajiban untuk melakukan konservasi dengan cara yang
bertanggung jawab sedemikian rupa sehingga dapat menjamin konservasi
dan pengelolaan sumber daya hayati akuatik yang efektif.
6.2. Pengelolaan perikanan harus memajukan pemeliharaan mutu,
keanekaragaman dan ketersediaan dari sumber daya perikanan dalam
jumlah yang cukup untuk generasi kini dan mendatang dalam konteks
ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pengembangan berke-
lanjutan. Langkah–langkah pengelolaan seharusnya tidak hanya menjamin
konservasi spesies target tetapi juga spesies yang mendiami ekosistem
yang sama atau yang terkait atau yang tergantung pada spesies target.
6.3. Negara–negara harus mencegah lebih tangkap dan penangkapan ikan yang
melebihi kapasitas serta harus melaksanakan langkah pengelolaan untuk
menjamin bahwa upaya penangkapan seimbang dengan kapasitas produktif
sumber daya perikanan tersebut dan pemanfaatannya yang lestari.
Bilamana perlu, sejauh mungkin negara–negara harus mengambil langkah
untuk merehabilitasi populasi ikan.
6.4. Keputusan untuk konservasi dan pengelolaan perikanan harus didasarkan
pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia, juga memperhatikan pengetahuan
tradisional menyangkut sumber daya dan habitatnya, serta faktor
lingkungan, ekonomi dan sosial yang relevan. Negara harus memberikan

95
prioritas kepada penelitian dan pengumpulan data guna meningkatkan
pengetahuan ilmiah dan teknis perikanan termasuk interaksinya dengan
ekosistem. Dengan mempertimbangkan sifat lintas batas dari banyak
ekosistem akuatik. Negara–negara selayaknya harus mendorong kerjasama
bilateral dan multilateral dalam penelitian.
6.5. Negara–negara dan organisasi pengelolaan perikanan subregional dan
regional harus memberilakukan pendekatan bersifat kehati-hatian secara
luas terhadap konservasi, pengelolaan dan pengusahaan sumber daya
hayati akuatik guna melindungi dan melakukan konservasi lingkungan
akuatik, dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik yang tersedia, ketiadaan
informasi ilmiah yang mencukupi tidak boleh digunakan sebagai alasan
untuk menunda atau melalikan pengambilan langkah untuk melakukan
konservasi spesies target, spesies yang terkait atau yang tergantung dengan
spesies lainnya dan spesies bukan target dan lingkungan mereka.
6.6. Alat dan cara penangkapan ikan yang selektif dan aman lingkungan harus
dikembangkan dan diterapkan lebih lanjut, sejauh bisa dilakukan untuk
memelihara keaneka ragaman hayati melakukan konservasi struktur
populasi dan ekosistem akuatik serta melindungi mutu ikan. Bila terdapat
alat penangkap ikan dan praktek penangkap ikan yang selektif yang aman
bagi lingkungan dan layak, maka harus diakui dan diberi prioritas dalam
menetapkan langkah konservasi dan pengelolaan untuk perikanan. Negara
dan para pemanfaat ekosistem akuatik harus meminimumkan limbah,
penangkapan spesies bukan target, baik spesies ikan maupun bukan ikan
serta dampaknya terhadap spesies terkait atau yang tergantung dengan
spesies lainnya
6.7. Pemanenan, penanganan, pengolahan dan distribusi ikan dan produk
perikanan harus dilakukan dengan cara yang mempertahankan nilai gizi,
mutu dan keamanan produk perikanan, mengurangi limbah dan
meminimumkan dampak negatifnya terhadap lingkungan.
6.8. Seluruh habitat perikanan yang dalam keadaan kritis di dalam ekosistem laut
dan air tawar, seperti halnya lahan basah, hutan bakau, terumbu, goba,
daerah asuhan dan pemijahan, jika perlu dan sejauh mungkin haruslah
dilindungi dan direhabilitasi. Upaya khusus harus dibuat untuk melindungi
habitat semacam itu dari perusakan, penurunan mutu, pencemaran dan

96
dampak nyata lainnya yang diakibatkan oleh kegiatan manusia yang
mengancam kesehatan dan kelangsungan dari sumber daya perikanan
tersebut.
6.9. Negara–negara harus menjamin bahwa kepentingan perikanan mereka,
termasuk kepentingan konservasi sumber daya, diperhatikan dalam
pemanfaatan serbaguna zona pesisir dan dipadukan ke dalam pengelolaan,
perencanaan dan pembangunan kawasan pesisir.
6.10.Dalam lingkup wewenang masing-masing dan sesuai dengan hukum
internasional, termasuk di dalam lingkup kerangka organisasi atau
tatanan konservasi dan pengelolaan perikanan subregional atau regional,
negara–negara harus menjamin kepatuhan terhadap penegakan langkah
konservasi dan pengelolaan serta menetapkan mekanisme yang efektif.
Untuk memantau dan mengendalikan kegiatan kapal penangkap ikan dan
kapal pendukung penangkap ikan jika diperlukan.
6.11. Negara–negara yang memberikan hak kepada kapal penangkap dan
pendukung penangkap ikan untuk mengibarkan bendera mereka harus
harus menjalankan pengendalian yang efektif atas kapal tersebut
sedemikian rupa sehingga menjamin pemberlakuan Tatalaksana ini
secara benar. Negara itu harus menjamin bahwa kegiatan kapal tersebut
tidak mengurangi keefektifan langkah konservasi dan pengelolaan yang
sesuai dengan hukum internasional dan telah diadopsi pada tingkat
nasional, subregional, regional atau global. Negara tersebut harus pula
memastikan bahwa kapal yang mengibarkan bendera mereka memenuhi
kewajibannya dalam hal pengumpulan dan penyediaan data yang
berhubungan dengan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukannya.
6.12. Negara–negara sesuai dengan wewenang masing-masing dan sesuai
dengan hukum internasional harus bekerjasama pada tingkat subregional,
regional dan global melalui organisasi pengelolaan perikanan, perjanjian
internasional lainnya atau tatanan lainnya untuk memajukan konservasi
dan pengelolaan, menjamin penangkapan ikan yang bertanggung jawab
dan menjamin konservasi dan perlindungan sumber daya hayati akuatik
secara efektif pada seluruh jangkauan persebarannya dengan
memperhatikan keperluan akan langkah yang sesuai dikawasan di dalam
dan di luar yuridiksi nasional.

97
6.13. Negara–negara sejauh diijinkan oleh hukum dan peraturan nasional,
harus menjamin bahwa proses pengambilan keputusan berlangsung
secara transparan dan mencapai penyelesaian tepat waktu terhadap
persoalan yang mendesak. Negara sejalan dengan prosedur yang sesuai
harus memberi kemudahan konsultasi dan keikutsertaan yang efektif dari
industri, para pekerja perikanan, organisasi lingkungan dan organisasi
lain yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan dengan
memperhatikan perkembangan hukum dan kebijakan yang berhubungan
dengan pengelolaan, pembangunan, pinjaman dan bantuan internasional
dan bidang perikanan.
6.14. Perdagangan internasional untuk ikan dan produk perikanan harus
dilakukan sesuai dengan asas, hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam
Perjanjian organisasi perdagangan di dunia (WTO) dan persetujuan
internasional lain yang relevan. Negara harus menjamin kebijakan,
program dan praktek yang bertalian dengan perdagangan ikan dan
produk perikanan tidak mengakibatkan hambatan terhadap perdagangan
tersebut, dampak penurunan mutu lingkungan atau dampak sosial
termasuk gizi secara negatif.
6.15. Negara–negara harus bekerjasama dalam rangka mencegah
perselisihan. Semua perselisihan yang bertalian dengan kegiatan dan
praktek penangkapan harus diselesaikan tepat waktu secara damai dan
dengan cara musyawarah, sesuai dengan persetujuan internasional yang
bisa diterapkan atau cara lain yang disepakati oleh pihak yang berselisih.
Pada saat penyelesaian perselisihan tertunda, negara bersangkutan
harus melakukan segala upaya untuk memberilakukan tatanan sementara
yang bersifat praktis dengan tidak mempengaruhi hasil akhir dari setiap
prosedur penyelesaian perselisihan.
6.16. Negara–negara, dengan memperhatikan pentingnya pemahaman para
nelayan dan pembudidaya petani ikan akan konservasi dan pengelolaan
sumber daya perikanan sebagai sumber mata pencaharian, harus
memajukan kesadaran akan perikanan yang bertanggung jawab melalui
pendidikan dan pelatihan. Mereka harus menjamin agar para nelayan dan
pembudidaya ikan dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan dan

98
pelaksanaan, juga dengan maksud untuk memberii kemudahan bagi
pelaksanaan tatalaksana.
6.17. Negara–negara harus menjamin bahwa fasilitas dan peralatan
penangkapan ikan serta semua kegiatan perikanan memungkinkan
persyaratan kehidupan dan pekerjaan yang adil, sehat dan aman serta
memenuhi standar yang disepakati secara internasional yang sudah
diadopsi oleh organisasi internasional yang relevan.
6.18. Menyadari pentingnya kontribusi perikanan artisanal dan perikanan skala
kecil terhadap kesempatan kerja, pendapatan dan ketahanan pangan,
negara–negara harus secara tepat melindungi hak para nelayan dan
pekerja perikanan, terutama bagi mereka yang terlibat dalam perikanan
“subsistem”, skala kecil dan “artisanal”, atas suatu mata pencarian yang
aman dan pantas dan jika perlu, hak atas akses istimewa ke daerah
penangkapan dan sumber daya tradisional di dalam perairan di bawah
yuridiksi mereka.
6.19. Negara–negara harus mempertimbangkan akuakultur termasuk perikanan
berbasis kultur, sebagai suatu cara untuk mendorong penganekaragaman
pendapatan & makanan, dalam melaksanakan hal itu, negara harus
menjamin bahwa sumber daya digunakan secara bertanggung jawab dan
meminimumkan dampak yang merugikan terhadap lingkungan dan
komunitas lokal.

PASAL 7
PENGELOLAAN PERIKANAN

7.1. Umum
7.1.1. Negara–negara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan
perikanan, melalui suatu kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan
yang tepat, harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan
pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan. Langkah–
langkah konservasi dan pengelolaan, baik pada tingkat lokal, nasional,
subregional, harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia dan
dirancang untuk menjamin kelestarian jangka panjang sumber daya
perikanan pada tingkat yang dapat mendukung pencapaian tujuan dari

99
pemanfaatan yang optimum dan mempertahankan ketersediaannya untuk
generasi kini dan mendatang, pertimbangan-pertimbangan jangka pendek
tidak boleh mengabaikan tujuan ini.
7.1.2. Di dalam kawasan di bawah lingkup yuridiksi nasional, negara–negara
harus berupaya mengidentifikasikan pihak domestik yang mempunyai
relevansi dan kepentingan yang sah dalam pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya perikanan dan memantapkan tatanan untuk berkonsultasi
dengan pihak domestik tersebut guna mendapatkan kolaborasi mereka
dalam pencapaian perikanan yang bertanggung jawab.
7.1.3. Bagi stok ikan pelintas batas, stok ikan straddling, stok ikan peruaya jauh
dan stok ikan laut lepas, yang diusahakan oleh dua negara atau lebih,
maka negara bersangkutan, termasuk negara pantai yang relevan dalam
hal stok yang straddling dan ikan peruaya jauh tersebut, harus
berkerjasama untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sumber daya
yang efektif. Upaya ini harus dicapai, jika perlu melalui pembentukan
sebuah organisasi atau tatanan perikanan bilateral, subregional atau
regional.
7.1.4. Suatu organisasi atau tatanan pengelolaan perikanan subregional atau
regional harus mengikutkan perwakilan dari negara yang sumber daya
perikanan itu berada di dalam lingkup yuridiksi mereka, dan perwakilan
dari negara yang mempunyai kepentingan riil dalam perikanan atau
sumber daya di luar yuridiksi nasional. Bila terdapat suatu organisasi atau
tatanan pengelolaan perikanan subregional atau regional yang
mempunyai wewenang untuk menetapkan langkah konservasi dan
pengelolaan, maka negara harus bekerjasama dengan cara menjadi
anggota organisasi perikanan atau peserta dalam tatanan perikanan
tersebut, dan berperan aktif.
7.1.5. Suatu negara yang tidak merupakan anggota suatu organisasi
pengelolaan perikanan subregional atau regional atau bukan peserta
dalam suatu tatanan pengelolaan perikanan, subregional atau regional
bagaimanapun harus bekerjasama. Suatu perjanjian internasional dan
hukum internasional dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya
perikanan yang relevan dengan mulai memberilakukan setiap langkah

100
konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi atau tatanan
semacam itu.
7.1.6. Perwakilan dari organisasi yang relevan, baik pemerintah maupun non
pemerintah yang peduli dengan perikanan, harus diupayakan
kesempatan berpartisipasi dalam pertemuan organisasi pengelolaan
perikanan subregional dan regional sebagai pengamat atau dengan cara
lain, jika perlu, sesuai dengan prosedur dari organisasi atau tatanan
bersangkutan wakil-wakil itu harus diberi akses terhadap catatan dan
laporan dari pertemuan tersebut secara tepat waktu dengan mengikuti
aturan prosedur mengenai akses terhadap catatan dan laporan tersebut.
7.1.7. Negara–negara, dalam lingkup wewenang dan kapasitas masing–masing
harus menetapkan mekanisme yang efektif bagi pemantauan,
pengawasan, pengendalian perikanan dan penegakannya untuk
menjamin kepatuhan terhadap langkah konservasi dan pengelolaannya,
maupun langkah yang diadopsi oleh organisasi atau tatanan subregional
atau regional.
7.1.8. Negara–negara harus mengambil langkah untuk mencegah atau
menghapus penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan harus
menjamin bahwa tingkat upaya penangkapan adalah sepadan dengan
pemanfaatan sumber daya ikan yang lestari sebagai suatu cara menjamin
keefektifan langkah konservasi dan pengelolaan.
7.1.9. Negara–negara dan organisasi serta tatanan pengelolaan perikanan
subregional atau regional harus menjamin transparansi dalam mekanisme
pengelolaan perikanan dan dalam proses pengambilan keputusan terkait.
7.1.10. Negara–negara dan organisasi serta tatanan pengelolaan perikanan
subregional atau regional harus memberii hak publisitas sepatutnya
kepada langkah konservasi dan pengelolaan serta menjamin bahwa
hukum dan perundang–undangan disebarluaskan secara efektif serta
aturan lainnya yang sah. Dasar dan maksud dari langkah tersebut harus
diterangkan kepada para pemanfaat sumber daya dalam rangka
memberikan kemudahan penerapannya dan dengan demikian
memperoleh tambahan dukungan dalam penerapan langkah tersebut.

101
7.2 Tujuan Pengelolaan
7.2.1. Menyadari bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan lestari jangka
panjang adalah tujuan yang lebih mementingkan konservasi dan
pengelolaan, negara dan organisasi serta tatanan pengelolaan perikanan
subregional atau regional, antara lain harus mengadopsi langkah yang
sesuai berdasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia, yang
dirancang untuk mempertahankan atau memulihkan stok pada berbagai
tingkat yang mampu memberikan hasil maksimum yang lestari seperti
yang dikualifikasikan oleh faktor lingkungan dan ekonomi yang relevan,
termasuk kebutuhan khusus negara berkembang.
7.2.2. Langkah–langkah tersebut harus menetapkan antara lain agar:
a. Penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dihindari dan
pengeksploitasian stok tetap layak secara ekonomi
b. Kondisi ekonomi yang mendasari beroperasinya industri penangkapan
mendorong perikanan yang bertanggung jawab.
c. Kepentingan para nelayan, termasuk mereka yang terlibat dalam
perikanan subsistem perikanan skala kecil dan perikanan artisanal,
diperhatikan
d. Keanekaragaman hayati dari habitat akuatik dan ekosistem dikonservasi
dan spesies terancam punah dilindungi
e. Stok ikan yang menipis dibiarkan pulih atau jika perlu dipulihkan secara
aktif
f. Dampak lingkungan yang merugikan terhadap sumber daya akibat
kegiatan manusia, dikaji dan jika perlu diperbaik, dan
g. Pencemaran, limbah, ikan buangan, hasil tangkapan oleh alat tangkap
yang hilang atau ditelantarkan, hasil tangkapan spesies bukan target,
baik spesies ikan maupun bukan ikan, dan dampak terhadap spesies
berasosiasi atau dependent species. Diminimumkan, melalui langkah
termasuk, pengembangan dan penggunaan alat dan teknik
penangkapan yang selektif, aman lingkungan dan hemat biaya yang
dapat dipraktekan.
7.2.3. Negara–negara harus mengkaji dampak faktor lingkungan terhadap stok
dan spesies target yang menjadi bagian dalam ekosistem yang sama atau

102
yang berasosiasi dengan atau yang tergantung pada stok target dan
mengkaji hubungan antara populasi di dalam ekosistem.

7.3. Kerangka Kerja dan Prosedur Pengelolaan


7.3.1. Agar efektif, pengelolaan perikanan harus peduli terhadap seluruh unit
stok yang meliputi keseluruhan kawasan sebarannya dan memperhatikan
langkah pengelolaan yang telah disepakati sebelumnya yang ditetapkan
dan diterapkan di wilayah yang sama, semua pengambilan serta
kesatuan biologi dan ciri biologi lain dari stok tersebut. Bukti ilmiah terbaik
yang tersedia harus digunakan untuk menetapkan, antara lain, kawasan
sebaran dari sumber daya dan kawasan tempat sumber daya itu beruaya
sepanjang daur hidupnya.
7.3.2. Dalam rangka melaksanakan konservasi dan mengelola stok ikan pelintas
batas stok ikan straddling stok ikan peruaya jauh dan stok ikan laut lepas
seputar jangkauan kisarannya. Maka langkah konservasi dan
pengelolaan yang ditetapkan untuk stok tersebut, sesuai dengan
wewenang masing-masing dari negara yang relevan atau, jika perlu
melalui organisasi dan tatanan kesepakatan pengelolaan perikanan
subregional dan regional, haruslah sesuai. Kesesuaian harus dicapai
dalam satu cara yang konsisten dengan hak, wewenang dan kepentingan
dari negara bersangkutan.
7.3.3. Tujuan pengelolaan jangka panjang harus dijabarkan ke dalam tindakan
pengelolaan, dirumuskan sebagai suatu rencana pengelolaan perikanan
atau kerangka pengelolaan lain.
7.3.4. Negara–negara dan bila perlu, organisasi dan tatanan pengelolaan
perikanan subregional atau regional harus membina dan meningkatkan
kerjasama dan koordinasi internasional dalam semua hal yang berkaitan
dengan perikanan, termasuk pengumpulan dan pertukaran informasi,
penelitian, pengelolaan, dan pengembangan perikanan.
7.3.5. Negara–negara yang berupaya mengambil tindakan apapun melalui
suatu organisasi bukan perikanan yang mungkin mempengaruhi langkah
konservasi dan pengelolaan yang diambil oleh organisasi atau tatanan
pengelolaan perikanan subregional atau regional yang kompeten harus

103
berkonsultasi lebih dahulu, sejauh bisa dipraktekan dengan organisasi
atau tatanan tersebut dan memperhatikan pendapat mereka.

7.4. Petunjuk Pengumpulan dan Pengelolaan Data


7.4.1. Pada saat mempertimbangkan pengadopsian langkah konservasi dan
pengelolaan, bukti ilmiah terbaik yang tersedia harus diperhatikan untuk
mengevaluasi status terkini dari sumber daya perikanan dan dampak
yang mungkin terjadi akibat langkah–langkah yang diusulkan terhadap
sumber daya.
7.4.2. Penelitian guna mendukung konservasi dan pengelolaan perikanan harus
ditingkatkan, termasuk penelitian mengenai sumber daya serta pengaruh
faktor iklim, lingkungan dan sosial-ekonomi. Hasil-hasil penelitian tersebut
harus disebarluaskan ke pihak yang berkepentingan.
7.4.3. Studi harus digiatkan untuk memberikan pemahaman mengenai biaya,
manfaat dan efek dari opsi pengelolaan pilihan yang dirancang untuk
merasionalkan penangkapan, khususnya opsi yang berkaitan dengan
kapasitas dan tingkat upaya penangkapan berlebih.
7.4.4. Negara–negara harus menjamin bahwa data statistik yang tepat waktu,
lengkap dan dapat dipercaya mengenai hasil tangkapan dan upaya
penangkapan dikumpulkan dan disimpan sesuai dengan standar praktek
internasional yang diterapkan dalam rincian yang cukup untuk
memungkinkan analisis statistik yang baik. Data tersebut harus
dimutakhirkan secara teratur dan diverifikasi dengan suatu sistem yang
tepat. Negara harus mengumpulkan dan menyebarluaskan data tersebut
menggunakan cara yang konsisten dengan persyaratan kerahasiaan
yang bisa diterapkan.
7.4.5. Guna menjamin pengelolaan perikanan yang berlanjut dan
memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan sosial dan ekonomi, maka
harus dikembangkan pengetahuan yang cukup tentang faktor sosial,
ekonomi dan kelembagaan dengan cara pengumpulan data, analisis dan
penelitian.
7.4.6. Negara–negara harus mengumpulkan data yang terkait dengan perikanan
dan data ilmiah pendukung lainnya yang berhubungan dengan stok ikan
yang dicakup oleh organisasi atau tatanan pengelolaan perikanan

104
subregional atau regional dalam sebuah format yang disepakati secara
internasional dan menyediakan data itu secara tepat waktu untuk
organisasi atau tatanan tersebut. Dalam hal stok yang berada dalam
lingkup yurisdiksi lebih dari satu negara dan tidak ada organisasi atau
tatanan untuk itu, maka negara bersangkutan harus bersepakat mengenai
suatu mekanisme bagi kerjasama untuk mengumpulkan dan
mempertukarkan data tersebut.
7.4.7. Organisasi atau tatanan pengelolaan perikanan subregional atau regional
harus mengumpulkan data dan mengupayakan ketersediaannya dengan
cara yang konsisten dengan syarat–syarat kerahasiaan yang dapat
diterapkan dengan tepat waktu dan dalam sebuah format yang disepakati
untuk seluruh anggota dari organisasi tersebut dan pihak berkepentingan
lainnya sesuai dengan prosedur yang disepakati.

7.5. Pendekatan Yang Bersifat Kehati – Hatian


7.5.1. Negara–negara harus memberlakukan pendekatan yang bersifat kehati–
hatian secara luas untuk konservasi, pengelolaan dan pengusahaan
sumber daya hayati akuatik guna melindunginya dan mengawetkan
lingkungan akuatiknya. Ketiadaan informasi ilmiah yang memadai tidak
boleh digunakan sebagai suatu alasan untuk menunda atau tidak
mengambil langkah konservasi dan pengelolaan.
7.5.2. Dalam melaksanakan pendekatan yang bersifat kehati–hatian, negara
harus memperhatikan, antara lain, ketidakpastian yang bertalian dengan
ukuran dan produktivitas stok ikan, titik rujukan, kondisi stok yang
berhubungan dengan titik rujukan tersebut, tingkat–tingkat dan
persebaran mortalitas penangkapan dan dampak dari kegiatan
penangkapan, termasuk ikan buangan, terhadap spesies bukan target
dan spesies terkait atau dependent species serta kondisi lingkungan dan
sosio ekonomi.
7.5.3. Negara–negara dan organisasi serta tatanan pengelolaan perikanan
subregional atau regional, atas dasar bukti fakta ilmiah terbaik yang
tersedia, antara lain, harus menetapkan: titik rujukan target khas stok, dan
sekaligus tindakan yang akan diambil bila titik tersebut terlampaui dan titik
rujukan batas khas stok dan sekaligus tindakan yang akan diambil bila

105
mereka terlampaui: jika suatu titik rujukan batas didekati, harus diambil
langkah untuk menjamin bahwa titik tersebut tidak akan terlampaui.
a. Titik–titik rujukan target yang khas stok, pada waktu bersamaan,
tindakan yang akan diambil bila mereka dilampaui, dan
b. Titik–titik rujukan batas yang khas stok dan pada waktu yang
berasamaan, tindakan yang diambil bila mereka dilampaui: jika suatu
titik rujukan batas didekati, harus diambil langkah–langkah untuk
memastikan bahwa ia tidak akan dilampaui.
7.5.4. Dalam hal perikanan baru diusahakan atau bersifat eksploratori, negara
harus bersepakat sesegera mungkin mengambil langkah konservasi dan
pengelolaan yang berhati-hati, termasuk antara lain batas tangkap dan
batas upaya. Langkah–langkah tersebut harus tetap berlaku sampai
tersedia data yang mencukupi untuk memungkinkan pengkajian dari
dampak perikanan tersebut terhadap kelestarian jangka panjang dari
stok. Kemudian langkah konservasi dan pengelolaan yang didasarkan
atas pengkajian itu harus dilaksanakan. Langkah–langkah yang disebut
belakangan, jika perlu harus memungkinkan bagi perkembangan
perikanan tersebut secara bertahap.
7.5.5. Jika suatu gejala alam mempunyai dampak merugikan yang nyata
terhadap status sumber daya hayati akuatik, negara harus mengambil
langkah konservasi dan pengelolaan atas dasar keadaan darurat untuk
menjamin bahwa kegiatan penangkapan tidak memperburuk dampak
yang merugikan tersebut. Negara harus pula mengambil langkah serupa
atas dasar keadaan darurat ketika kegiatan penangkapan
memperlihatkan ancaman serius terhadap kelestarian sumber daya
tersebut. Langkah–langkah yang diambil atas dasar keadaan darurat
haruslah bersifat sementara dan harus didasarkan pada bukti ilmiah
terbaik yang tersedia.

7.6. Langkah–Langkah Pengelolaan


7.6.1. Negara–negara harus memastikan bahwa tingkat penangkapan yang
diizinkan sepadan dengan status sumber daya perikanan
7.6.2. Negara–negara harus mengambil langkah untuk memastikan bahwa tidak
ada kapal yang boleh menangkap ikan kecuali yang sudah diizinkan,

106
menggunakan cara yang konsisten dengan hukum internasional untuk
laut lepas atau sesuai dengan peraturan perundang–undangan nasional
dalam lingkup kawasan yuridiksi nasional.
7.6.3. Bila terjadi penangkapan ikan yang melebihi kapasitas harus ditetapkan
mekanisme untuk mengurangi kapasitas ke tingkat yang sepadan dengan
pemanfaatan lestari sumber daya perikanan sedemikian rupa sehingga
menjamin para nelayan beroperasi dalam kondisi ekonomi yang
mendorong perikanan yang bertanggung jawab. Mekanisme seperti itu
harus termasuk pemantauan kapasitas armada penangkapan.
7.6.4. Kinerja dari semua alat tangkap, metode dan praktek penangkapan yang
akan harus diperiksa dan diambil langkah untuk memastikan bahwa alat
penangkapan ikan metode dan praktek yang tidak konsisten dengan
penangkapan ikan yang bertanggung jawab dihapuskan dan diganti
dengan alternatif yang lebih bisa diterima dalam proses ini, perhatian
khusus harus diberikan pada dampak dari langkah tersebut terhadap
komunitas nelayan, termasuk kemampuan mereka me-ngusahakan
sumber daya itu.
7.6.5. Negara–negara dan organisasi serta tatanan pengelolaan perikanan
harus mengatur penangkapan ikan sedemikian rupa untuk menghindari
resiko sengketa diantara para nelayan yang menggunakan kapal, alat
tangkap dan metode penangkapan yang berbeda.
7.6.6. Pada saat memutuskan mengenai pemanfaatan, konservasi dan
pengelolaan sumber daya perikanan, pengakuan yang sepatutunya harus
diberikan, jika perlu sesuai dengan hukum dan peraturan perundangan
nasional, kepada praktek tradisional, kebutuhan dan kepentingan
penduduk asli serta komunitas nelayan setempat yang sangat tergantung
pada sumber daya perikanan untuk mata pencaharian mereka.
7.6.7. Dalam mengevaluasi alternatif langkah konservasi dan pengelolaan,
hemat biaya dan dampak sosialnya harus dipertimbangkan.
7.6.8. Keampuhan langkah konservasi dan pengelolaan serta interaksinya yang
mungkin harus dikaji secara terus menerus. Langkah–langkah tersebut
jika perlu harus direvisi atau dihapus bila ada informasi baru.
7.6.9. Negara–negara harus mengambil langkah yang tepat untuk
meminimumkan limbah, ikan buangan, hasil tangkapan oleh alat tangkap

107
yang hilang atau ditelantarkan. Hasil tangkapan bukan spesies target,
baik spesies ikan maupun bukan spesies ikan dan dampak negatif
terhadap spesies terkait atau dependent species khususnya spescies
yang terancam punah, jika perlu langkah tersebut bisa mencakup langkah
teknis yang bertalian dengan ukuran ikan, ukuran mata jaring atau alat
tangkap, ikan buangan, musim dan kawasan tertutup serta zona yang
dicadangkan untuk perikanan terpilih, khususnya perikanan artisanal.
Langkah tersebut harus diberlakukan, jika perlu untuk melindungi yuwana
dan induk pemijah. Negara dan organisasi dan tatanan pengelolaan
perikanan, sejauh bisa diperaktekan, harus menggalakan pengembangan
dan penggunan alat tangkap dan teknik–teknik yang selektif, aman
lingkungan dan hemat biaya.
7.6.10. Negara–negara dan organisasi serta tatanan pengelolaan perikanan
subregional serta regional, dalam kerangka kerja wewenang mereka
masing–masing harus mengintroduksikan langkah bagi sumber daya
yang menipis dan sumber daya yang terancam penipisan yang
memberikan kemudahan pemanfaatan yang berkelanjutan stok tersebut.
Negara dan organisasi serta tatanan itu harus melakukan upaya untuk
menjamin bahwa sumber daya dan habitat yang sangat penting bagi
kesejahteraannya yang sudah secara merugikan dipengaruhi oleh
penangkapan atau aktivitas manusia lainnya, harus dipulihkan.

7.7. Pelaksanaan
7.7.1. Negara–negara harus menjamin bahwa sebuah kerangka kerja hukum
administratif yang efektif pada tingkat lokal dan tingkat nasional
selayaknya ditetapkan untuk pengelolaan konservasi sumber daya dan
pengelolaan perikanan.
7.7.2. Negara–negara harus menjamin bahwa hukum dan perundang–
undangan memuat sanksi, yang dapat diterapkan sepadan dengan
beratnya pelanggaran agar efektif. Termasuk sanksi yang memungkinkan
bagi penolakan, pembatalan atau pembekuan autorisasi untuk
menangkap ikan akibat ketidaktaatan terhadap langkah konservasi dan
pengelolaan yang berlaku

108
7.7.3. Negara–negara, sesuai dengan hukum nasional mereka, harus
melaksanakan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan perikanan
yang efektif serta langkah penegakan hukum, jika perlu, termasuk
program pengamat, pola inspeksi dan sistem pemantauan kapal.
Langkah–langkah tersebut harus digiatkan dan jika perlu dilaksanakan
oleh organisasi dan tatanan pengelolaan perikanan subregional atau
regional sesuai dengan prosedur yang disepakati oleh organisasi atau
tatanan itu.
7.7.4. Negara–negara organisasi dan tatanan pengelolaan perikanan
subregional atau regional selayaknya harus menyetujui cara pembiayaan
kegiatan organisasi dan tatanan itu dengan mengingat, antara lain,
manfaat-manfaat relatif yang diperoleh dari perikanan itu dan berbedanya
kapasitasnya negara dalam menyediakan pembiayaan dan kontribusi lain,
jika perlu dan apabila mungkin organisasi dan tatanan itu harus berusaha
memperoleh kembali biaya-biaya konservasi. Pengelolaan dan penelitian
perikanan.
7.7.5. Negara–negara anggota atau peserta dalam organisasi atau tatanan
pengelolaan perikanan subregional atau regional harus melaksanakan
langkah yang disepakati secara internasional dan diadopsi dalam
kerangka kerja organisasi atau tatanan tersebut dan konsisten dengan
hukum internasional untuk menangkal kegiatan kapal yang mengibarkan
bendera bukan anggota atau bukan peserta yang terlibat dalam kegiatan
yang mengurangi keefektifan langkah konservasi dan pengelolaan yang
ditetapkan oleh organisasi atau tatanan tersebut.

7.8. Langkah Pembiayaan


7.8.1. Tanpa melanggar perjanjian internasional yang relevan, negara harus
mendorong bank dan lembaga pembiayaan untuk tidak mengharuskan
kapal penangkap ikan atau kapal pendukung penangkap ikan berbendera
dalam yuridiksi selain negara penerima pinjaman karena keharusan itu
akan mempunyai pengaruh meningkatkan kemungkinan ketidaktaatan
terhadap langkah konservasi dan pengelolaan internasional.

109
PASAL 8
OPERASI PENANGKAPAN IKAN

8.1. Kewajiban Semua Negara


8.1.1. Negara–negara harus menjamin bahwa hanya operasi penangkapan ikan
yang diizinkan oleh negara tersebut dilakukan di dalam perairan yuridiksi
negara tersebut dan bahwa operasi penangkapan itu dilaksanakan
dengan cara yang bertanggung jawab.
8.1.2. Negara–negara harus memelihara catatan tentang otoritas penangkapan
ikan yang diterbitkan, dan dimutakhirkan pada selang waktu beraturan.
8.1.3. Negara–negara harus memelihara data statistik yang dimutakhirkan pada
selang waktu teratur sesuai dengan standard praktek internasional yang
diakui atas semua operasi penangkapan ikan yang diizinkan negara
tersebut.
8.1.4. Negara–negara sesuai dengan hukum internasional di dalam kerangka
kerja organisasi atau tatanan pengelolaan perikanan subregional atau
regional harus bekerjasama menetapkan sistem untuk pemantauan,
pengendalian, pengawasan dan penegakan dari langkah yang bisa
diterapkan berkenaan dengan operasi penangkapan dan kegiatan yang
terkait di perairan di luar yuridiksi nasional mereka.
8.1.5. Negara–negara harus menjamin bahwa standar kesehatan dan
keamanan diberlakukan bagi setiap orang yang bekerja dalam operasi
penangkapan. Standar itu tidak boleh kurang dari persyaratan minimum
perjanjian internasional yang relevan tentang kondisi–kondisi kerja dan
pelayanan.
8.1.6. Negara–negara secara sendiri, bersama dengan negara lain atau dengan
organisasi internasional yang sesuai harus membuat tatanan untuk
mengintegrasikan operasi penangkapan ikan ke dalam sistem pencarian
dan penyelamatan maritim.
8.1.7. Negara–negara melalui program pendidikan dan pelatihan harus
meningkatkan pendidikan dan keterampilan para nelayan, dan jika perlu
kualifikasi profesi mereka. Program tersebut harus memperhatikan
standar dan pedoman internasional yang disepakati.

110
8.1.8. Negara–negara, selayaknya harus memelihara dokumen menyangkut
para nelayan, bilamana mungkin, memuat informasi tentang tugas dan
kualifikasi mereka, termasuk sertifikat kecakapan sesuai dengan hukum
nasional.
8.1.9. Negara–negara harus menjamin bahwa langkah yang bisa dipraktekan
berkenaan dengan para nahkoda dan para perwira lain yang didakwa
dengan suatu pelanggaran pengoperasian kapal penangkap ikan harus
mencakup ketentuan yang mungkin membolehkan, antar lain, penolakan,
pembatalan atau pembekuan otorisasi untuk bertugas sebagai nahkoda
atau perwira kapal penangkap ikan.
8.1.10. Negara–negara dengan bantuan organisasi internasional yang relevan,
harus berupaya menjamin melalui pendidikan dan pelatihan bahwa
semua yang terlibat dalam operasi penangkapan diberi informasi tentang
ketentuan yang paling penting dari tatalaksana ini, demikian pula
ketentuan menyangkut konvensi internasional yang relevan dan standar
lingkungan yang bisa diterapkan dan standar lain yang penting untuk
menjamin operasi penangkapan ikan yang bertanggung jawab.
8.2. Kewajiban Negara Bendera Kapal
8.2.1. Negara bendera harus memelihara catatan kapal penangkap ikan yang
diberi otoritas mengibarkan bendera mereka dan diberi otoritas
menangkap ikan serta harus menunjukan dalam catatan itu rincian dari
kapal, kepemilikan dan hak untuk menangkap ikan.
8.2.2. Negara bendera harus menjamin bahwa kapal penangkap ikan yang
diberi hak untuk mengibarkan bendera mereka tidak menangkap ikan di
laut lepas atau di perairan dalam lingkup yuridiksi negara lain kecuali
kalau kapal itu telah memiliki sebuah sertifikat pendaftaran dan telah
diotorisasikan menangkap ikan oleh otoritas berwenang. Kapal tersebut
harus membawa sertifikat pendaftaran dan otorisasi menangkap ikan
yang mereka miliki.
8.2.3. Kapal penangkap ikan yang diotorisasikan menangkap ikan di laut lepas
atau di perairan lingkup yuridiksi suatu negara selain dari negara
bendera, harus diberi tanda sesuai dengan sistem penandaan kapal yang
seragam dan diakui secara internasional seperti misalnya, standar

111
spesifikasi dan pedoman bagi penandaan dan identifikasi kapal
penangkapan ikan dari FAO.
8.2.4. Alat penangkap ikan harus diberi tanda sesuai dengan peraturan
perundang-undang nasional supaya pemilik dari alat tangkap itu dapat
diidentifikasi. Persyaratan penandaan alat tangkap harus memperhatikan
sistem penandaan alat tangkap yang seragam dan diakui secara
internasional.
8.2.5. Negara bendera harus memastikan kepatuhan nelayan dan kapal
penangkap ikan terhadap persyaratan keselamatan yang tepat sesuai
dengan konvensi internasional, kode-kode praktek yang sudah disepakati
secara internasional dan pedoman yang bersifat sukarela. Negara harus
menggunakan persyaratan keselamatan yang tepat untuk seluruh kapal
kecil yang tidak dicakup oleh konvensi internasional, kode praktek atau
pedoman suka rela tersebut.
8.2.6. Negara–negara yang tidak menandatangani persetujuan untuk
memajukan kepatuhan Langkah–langkah konservasi dan pengelolaan
internasional oleh kapal ikan yang menangkap di laut lepas harus
didorong untuk menerima persetujuan tersebut dan menggunakan hukum
dan perundang–undangan dan peraturan yang konsisten dengan
ketentuan-ketentuan persetujuan tersebut.
8.2.7. Negara bendera harus mengambil langkah penegakan terhadap kapal
penangkap ikan yang diberi hak untuk mengibarkan bendera mereka
yang tidak mematuhi langkah konservasi dan pengelolaan yang bisa
diberlakukan, jika perlu termasuk menganggap ketidakpatuhan tersebut
sebagai suatu pelanggaran menurut peraturan perundang–undangan
nasional. Sangsi yang bisa diberlakukan berkenaan dengan pelanggaran
harus cukup berat agar efektif dalam pemastian ketaatan dan untuk
menangkal pelanggaran yang terjadi dimanapun dan harus mencegah
para pelanggar untuk memperoleh manfaat yang diperoleh dari kegiatan
mereka yang tidak sah. Sanksi bagi pelanggaran yang serius dapat
mencakup ketentuan bagi pembatalan atau pembekuan otorisasi
penangkap ikan.
8.2.8. Negara bendera harus mempermudah akses akses penanggungan
asuransi untuk para pemilik dan penyewa kapal penangkap ikan. Para

112
pemiliki dan penyewa kapal penangkap ikan harus mempunyai asuransi
yang cukup untuk melindungi anak buah kapal dan kepentingan mereka,
untuk mengganti kerugian kepada pihak ketiga terhadap kehilangan atau
kerusakan dan untuk melindungi kepentingan mereka sendiri.
8.2.9. Negara bendera harus menjamin bahwa para anak buah kapal berhak
untuk pemulangan dengan memperhatikan asas dalam konvensi
pemulangan pelaut.
8.2.10. Jika terjadi suatu kecelakaan pada suatu kapal penangkap ikan atau
seseorang di atas kapal penangkap ikan, negara bendera dari kapal
penangkap ikan yang bersangkutan harus memberikan rincian tentang
kecelakaan tersebut kepada negara dari setiap warga negara asing di
kapal yang mengalami kecelakaan. Informasi tersebut harus pula, sejauh
bisa dilakukan, dikomunikasikan ke Organisasi Maritim Internasional/
IMO.

8.3. Kewajiban Negara Pelabuhan


8.3.1. Negara pelabuhan, melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang–undangan mereka, sesuai dengan hukum internasional,
termasuk persetujuan atau tatanan internasional yang bisa diberlakukan,
harus mengambil langkah yang diperlukan untuk mencapai dan
membantu negara lain dalam mencapai tujuan dari tatalaksana ini, dan
harus memberitahukan ke negara lain rincian dari peraturan-peraturan
dan langkah yang mereka tetapkan untuk maksud itu. Bila mengambil
langkah tersebut suatu negara pelabuhan tidak boleh membeda-bedakan
terhadap kapal dari negara lain dalam prosedur atau tindakan.
8.3.2. Negara pelabuhan harus memberikan bantuan kepada negara bendera
jika perlu, sesuai dengan hukum nasional dari negara pelabuhan yang
bersangkutan dan hukum internasional, ketika sebuah kapal penangkap
ikan yang berada secara sengaja dalam suatu pelabuhan atau pada
suatu terminal lepas pantai dari negara pelabuhan dan negara bendera
dari kapal itu memohon bantuan pada negara pelabuhan berkenaan
dengan ketidaktaatan terhadap langkah konservasi dan pengelolaan
subregional, regional atau global atau standar minimum yang disepakati
secara internasional untuk mencegah pencemaran dan untuk

113
keselamatan, kesehatan serta persyaratan kerja di atas kapal penangkap
ikan.

8.4. Operasi Penangkapan Ikan


8.4.1. Negara–negara harus memastikan bahwa penangkapan ikan dilakukan
dengan memperhatikan keselamatan hidup manusia dan Peraturan
Internasional IMO bagi pencegahan tabrakan dilaut. Demikian pula
persyaratan IMO bertalian dengan pengorganisasian lalu lintas laut,
perlindungan lingkungan laut dan pencegahan kerusakan atau kehilangan
alat penangkap ikan.
8.4.2. Negara–negara harus melarang praktek penangkapan ikan yang
menggunakan bahan peledak dan racun serta praktek penangkapan ikan
yang merusak lainnya.
8.4.3. Negara–negara harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa
dokumentasi berkenaan dengan operasi penangkapan ikan, semua hasil
tangkapan ikan maupun bukan ikan, baik yang disimpan maupun yang
dibuang, dan informasi yang dibutuhkan bagi pengkajian stok ikan seperti
yang diputuskan oleh badan pengelolaan yang relevan, dikumpulkan dan
diajukan secara sistematis ke badan tersebut, negara sejauh mungkin
harus menetapkan program misalnya program pengamat dan inspeksi,
guna meningkatkan ketaatan terhadap langkah yang diterapkan.
8.4.4. Negara–negara harus mendorong penerapan teknologi tepatguna.
Dengan memperhatikan kondisi ekonomi, untuk pemanfaatan dan
penanganan yang terbaik dari hasil tangkapan
8.4.5. Negara–negara dengan kelompok industri yang relevan harus mendorong
pengembangan dan pelaksanaan teknologi dan metode operasional yang
dapat mengurangi ikan buangan. Penggunaan alat penangkap ikan dan
praktek yang menjurus pada terbuangnya hasil tangkapan harus dicegah,
sedangkan penggunaan alat penangkap ikan dan praktek yang
meningkatkan laju lintasan ikan yang lolos harus digalakan
8.4.6. Negara–negara harus bekerjasama mengembangkan dan menerapkan
teknologi. Material dan metode operasional yang meminimumkan
kehilangan alat penangkap ikan dan efek penangkapan dari alat
penangkap ikan yang hilang atau ditelantarkan (ghost fishing effects)

114
8.4.7. Negara–negara harus memastikan bahwa pengkajian implikasi gangguan
terhadap habitat dilaksanakan sebelum introduksi alat penangkap ikan,
metode dan operasi yang baru pada skala komersial ke suatu kawasan
8.4.8. Penelitian dampak lingkungan dan sosial alat penangkap ikan dan
khususnya, dampak alat tangkap itu terhadap keanekaragaman hayati
dan komunitas nelayan pesisir harus digiatkan.

8.5. Selektivitas Alat Penangkap Ikan


8.5.1. Negara–negara harus mensyaratkan bahwa alat, metode dan praktek
penangkapan ikan, sejauh bisa dilaksanakan agar cukup efektif
sedemikian rupa sehingga meminimumkan limbah, ikan buangan, hasil
tangkapan spesies bukan target baik spesies ikan maupun spesies bukan
ikan serta dampak terhadap spesies yang terkait atau tergantung dan
bahwa maksud dari peraturan terkait tidak diabaikan oleh peranti teknis.
Sehubungan dengan ini, para nelayan harus bekerjasama dalam
pengembangan alat dan metode penangkapan yang selektif. Negara
harus menjamin bahwa informasi tentang perkembangan dan persyaratan
yang terbaru tersedia bagi semua nelayan.
8.5.2. Dalam rangka meningkatkan selektivitas, bilamana negara menyusun
hukum dan peraturan perundang–undangan serta mereka harus
memperhatikan kisaran dan alat penangkap ikan yang selektif, metode
dan strategi penangkapan ikan yang tersedia pada industri tersebut.
8.5.3. Negara–negara dan lembaga yang relevan harus ber-kolaborasi dalam
mengembangkan metodologi baku bagi penelitian selektivitas alat,
metode dan strategi penangkapan ikan
8.5.4. Kerjasama internasional berkenaan dengan program penelitian bagi
selektivitas alat, metode serta strategi penangkapan ikan.
Penyebarluasan hasil program penelitian itu dan pengalihan teknologi
harus digalakkan.
8.6. Optimisasi Energi
8.6.1. Negara–negara harus menggiatkan pengembangan standar dan
pedoman tepat guna yang menjurus pada penggunaan energi yang lebih
efisein dalam pemanenan dan kegiatan pasca panen di dalam lingkup
sektor perikanan

115
8.6.2. Negara–negara harus menggiatkan pengembangan dan alih teknologi
bertalian dengan optimisasi energy di dalam sektor perikanan dan,
khususnya mendorong para pemilik, penyewa dan pengelola kapal
penangkap ikan melengkapi peranti optimisasi energi pada kapal mereka.

8.7. Perlindungan Lingkungan Akuatik


8.7.1. Negara–negara harus mengintroduksikan dan menegakan hukum dan
peraturan perundang–undangan yang didasarkan pada konvensi
internasional bagi Pencegahan Pencemaran dari Kapal, 1973
sebagaimana dimodifikasi dengan the Protocol of 1978 yang terkait
(MARPOL 73/78)
8.7.2. Para pemilik, penyewa dan pengelola kapal penangkap ikan harus
menjamin bahwa kapal mereka dilengkapi dengan peralatan tepatguna
seperti yang disyaratkan oleh MARPOL 73/78 dan harus
mempertimbangkan pemasangan sebuah alat pemadatan dan
pengabuan di kapal untuk kelas kapal yang relevan guna menangani
sampah dan limbah kapal yang dihasilkan selama operasi normal kapal
tersebut.
8.7.3. Para pemilik, penyewa dan pengelola kapal penangkap ikan harus
meminimumkan sampah potensial yang dibawa di kapal melalui praktek
yang benar.
8.7.4. Para anak buah kapal penangkap ikan harus memahami prosedur yang
benar di kapal dalam rangka menjamin pembuangan yang tidak melebihi
jumlah yang ditetapkan oleh MARPOL 73/78. Prosedur tersebut
setidaknya harus termasuk pembuangan limbah berminyak dan
penanganan serta penyimpanan sampah yang berasal dari kapal.

8.8. Perlindungan Atmosfer


8.8.1. Negara–negara harus menggunakan standar dan pedoman yang relevan
termasuk ketentuan untuk pengurangan senyawa berbahaya dalam emisi
gas buang.
8.8.2. Para pemilik, penyewa dan pengelola kapal penangkap ikan harus
menjamin bahwa kapal mereka dilengkapi peralatan untuk mengurangi
emisi dari senyawa yang menipiskan ozon. Para anak buah kapal

116
penangkap ikan yang bertanggung jawab harus mahir dalam menjalankan
dan merawat permesinan di kapal secara benar.
8.8.3. Otoritas yang berwenang harus membuat ketentuan bagi penghapusan
penggunaan khlorofluorokarbon (CFC) dan senyawa seperti
hidrokhlorofluorokarbon (HCFC) dalam sistem refrigerasi kapal
penangkap ikan dan harus menjamin bahwa industri galangan dan
mereka yang terlibat dalam industri penangkapan ikan diinformasikan
mengenai dan memenuhi ketentuan tersebut.
8.8.4. Para pemilik atau pengelola kapal penangkap ikan harus mengambil
tindakan yang tepat untuk mengisi kembali instalasi pemadam kebakaran
yang ada di kapal mereka dengan refrigeran pengganti CFC dan HCFC
dan pengganti Halon. Alternatif tersebut harus digunakan dalam
spesifikasi untuk semua kapal penangkap ikan yang baru
8.8.5. Negara–negara dan para pemilik, penyewa dan pengelola kapal
penangkap ikan demikian pula para nelayan harus mematuhi pedoman
internasional bagi pembuangan CFC, HCFC dan Halon.

8.9. Pelabuhan dan Pangkalan Pendaratan Ikan


8.9.1. Negara–negara harus memperhatikan antara lain, hal berikut dalam
rancangan dan konstruksi pelabuhan dan tempat pendaratan
8.9.2. Tempat berlindung yang aman bagi kapal penangkap ikan dan disediakan
fasilitas pelayanan yang memadai bagi kapal, para pedagang dan
pembeli
8.9.3. Pasok air tawar yang memadai dan pengaturan sanitasi harus disediakan;
8.9.4. Sistem pembuangan limbah, termasuk untuk pembuangan minyak, air
berminyak dan alat penangkap ikan harus diintroduksikan;
8.9.5. Pencemaran dari kegiatan perikanan dan sumber eksternal harus
diminimumkan; dan
8.9.6. Pengaturan untuk menanggulangi efek erosi dan silitasi harus dibuat.
8.9.7. Negara–negara harus menetapkan sebuah kerangka kelembagaan bagi
seleksi atau perbaikan lokasi untuk pelabuhan bagi kapal penangkap ikan
yang memungkinkan konsultasi diantara otoritas yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan kawasan pesisir.

117
8.10. Penelantaran Kerangka Bangunan dan Material Lain
8.10.1. Negara–negara harus memastikan bahwa standar dan pedoman bagi
pemindahan kerangka bangunan lepas pantai yang tidak digunakan lagi
yang diterbitkan oleh IMO dipatuhi. Negara harus pula memastikan
bahwa otoritas perikanan yang kompeten dimintakan pendapatnya
sebelum pengambilan keputusan tentang penelantaran kerangka
bangunan dan material lain oleh otoritas yang relevan.

8.11. Terumbu Buatan dan Alat Bantu Pengumpul Ikan


8.11.1. Negara–negara, jika perlu harus mengembangkan kebijakan untuk
meningkatkan populasi stok dan memperluas peluang penangkapan
melalui pemanfaatan kerangka buatan, yang ditempatkan dengan
mempertimbangkan keselamatan navigasi. Pada atau di atas dasar laut
atau pada permukaan laut. Penelitian pemanfaatan kerangka tersebut,
termasuk dampaknya terhadap sumber daya hayati laut dan lingkungan,
harus digiatkan
8.11.2. Negara–negara harus memastikan bahwa, jika memilih material yang
akan digunakan untuk membuat terumbu buatan, dan jika memilih lokasi
geografis terumbu buatan itu, ketentuan konvensi internasional yang
relevan menyangkut lingkungan dan keselamatan navigasi diperhatikan.
8.11.3. Negara–negara, di dalam kerangka rencana pengelolaan kawasan
pesisir, harus menetapkan sistem pengelolaan bagi terumbu buatan dan
alat bantu pengumpul ikan. Sistem pengelolaan tersebut harus
mensyaratkan persetujuan bagi konstruksi dan penempatan terumbu dan
alat bantu semacam itu serta harus memperhatikan kepentingan para
nelayan, termasuk nelayan artisanal dan subsisten.
8.11.4. Negara–negara harus memastikan agar otoritas yang bertanggung jawab
atas pemeliharaan catatan dan peta kartografi untuk keperluan navigasi,
demikian pula otoritas lingkungan yang relevan, dibertitahu sebelum
terumbu buatan atau alat bantu pengumpul ikan ditempatkan atau
dipindahkan.

118
PASAL 9
PEMBANGUNAN AKUAKULTUR

9.1. Pengembangan Akuakultur yang Bertanggung Jawab, Termasuk


Perikanan Berbasis Kultur di Kawasan di Bawah Yuridiksi Nasional.
9.1.1. Negara–negara harus menetapkan, memelihara dan mengembangkan
kerangka hukum dan administratif yang tepat yang memberikan
kemudahan bagi pengembangan akuakultur yang bertanggung jawab
9.1.2. Negara–negara harus menggiatkan pengembangan dan pengelolaan
akuakultur yang bertanggung jawab termasuk suatu evaluasi
pendahuluan menyangkut pengaruh pengembangan akuakultur terhadap
keaneka ragaman genetik dan keutuhan ekosistem, yang didasarkan
pada informasi ilmiah terbaik yang tersedia.
9.1.3. Negara–negara harus menghasilkan dan memutakhirkan strategi dan
rencana pengembangan akuakultur secara teratur bila diperlukan, untuk
menjamin bahwa pengembangan akuakultur yang secara ekologis,
berkelanjutan dan memungkinkan pemanfaatan sumber daya secara
rasional dan dimanfaatkan secara bersama oleh akuakultur dan kegiatan
lainnya.
9.1.4. Negara–negara harus menjamin bahwa mata pencaharian komunitas
lokal dan akses mereka ke daerah penangkapan dan tidak dipengaruhi
secara negatif oleh pengembangan akuakultur
9.1.5. Negara–negara harus menetapkan prosedur efektif yang khas bagi
akuakultur untuk menyelenggarakan pemantauan dan pengkajian
lingkungan yang sesuai dengan maksud meminimumkan konsekuensi
perubahan ekologi yang merugikan dan konsekuensi ekonomis dan sosial
yang terkait akibat penyedotan air, tataguna lahan, pembuangan limbah
cair, penggunaan obat dan bahan kimia, dan kegiatan akuakultur lainnya.

9.2. Pengembangan Akuakultur yang Bertanggung Jawab Termasuk


Perikanan Berbasis Kultur di Dalam Ekosistem Akuatik Lintas Batas.
9.2.1. Negara–negara harus melindungi ekosistem akuatik lintas batas dengan
mendukung praktek akuakultur yang bertanggung jawab di dalam lingkup

119
yuridiksi nasional mereka dan dengan bekerjasama menggiatkan praktek
akuakultur berkelanjutan.
9.2.2. Negara–negara dengan menghormati Negara tetangga mereka sesuai
hukum internasional, harus menjamin pemilihan yang bertanggung jawab
atas spesies, penempatan dan pengelolaan kegiatan akuakultur yang
dapat mempengaruhi ekosistem akuatik lintas batas.
9.2.3. Jika perlu, negara harus berkonsultasi dengan Negara tetangga mereka,
jika perlu sebelum mengintroduksikan spesies bukan asli ke dalam
ekosistem akuatik lintas batas.
9.2.4. Negara–negara harus menetapkan mekanisme yang tepat, seperti
misalnya basis data dan jaringan informasi untuk mengumpulkan,
membagi dan menyalurkan data yang berkaitan dengan kegiatan
akuakultur mereka untuk memberikan kemudahan kerjasama mengenai
perencanaan pembangunan akuakultur pada tingkat nasional,
subregional, regional, dan global.
9.2.5. Negara–negara harus bekerjasama dalam pengembangan mekanisme
yang sesuai, bila diperlukan, untuk memantau dampak dari masukan
yang digunakan dalam akuakultur.

9.3. Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Akuatik Untuk Akuakultur


Termasuk Perikanan Berbasis Akuakultur.
9.3.1. Negara–negara harus melakukan konservasi keaneka-ragaman genetik
dan mempertahankan keutuhan komunitas dan ekosistem akuatik dengan
cara pengelolaan yang tepat. Upaya harus dilakukan terutama untuk
meminimumkan pengaruh berbahaya dari introduksi spesies bukan asli
atau stok yang secara genetic diubah yang digunakan bagi akuakulutur
termasuk perikanan berbasis kultur ke dalam perairan, teristimewa bila
terdapat suatu potensi nyata bagi penyebaran spesies bukan asli atau
stok yang secara genetik diubah tersebut ke dalam perairan di bawah
yuridiksi negara lain demikian pula perairan di bawah yuridiksi negara
asal. Sejauh mungkin negara harus mendorong tindakan untuk
meminimumkan pengaruh genetika, penyakit dan lainnya yang merugikan
dari lolosnya ikan yang di budidayakan terhadap stok.

120
9.3.2. Negara–negara harus bekerjasama dalam elaborasi, adopsi dan
implementasi kode praktek dan prosedur internasional bagi introduksi dan
pemindahan organisme akuatik.
9.3.3. Negara–negara dalam rangka meminimumkan resiko penularan penyakit
dan pengaruh lainnya yang merugikan terhadap stok alam dan yang
dibudidayakan harus mendorong adopsi praktek yang tepat dalam
perbaikan genetik induk. Introduksi spesies bukan asli, dan dalam
produksi, penjualan dan pengangkutan telur, larva atau benih, induk dan
material hidup lainnya. Negara harus memberikan kemudahan penyiapan
dan pelaksanaan kode praktek dan prosedur nasional yang tepat ke arah
maksud ini.
9.3.4. Negara–negara harus menggiatkan penggunaan prosedur yang tepat
bagi seleksi induk dan produksi telur, larva dan benih.
9.3.5. Negara–negara, bilamana perlu, harus menggiatkan penelitian dan
bilamana layak, pengembangan teknik akuakultur untuk melindungi
spesies yang terancam punah, merehabilitasi dan meningkatkan stok,
dengan memper-hatikan keperluan kritikal untuk melakukan konservasi
keanekaragaman genetik dari spesies terancam punah.

9.4. Akuakultur yang Bertanggung jawab Pada tingkat produksi


9.4.1. Negara–negara harus menggiatkan praktek akuakultur yang bertanggung
jawab dalam menopang masyarakat pedesaan, organisasi produsen dan
para pembudidaya ikan
9.4.2. Negara–negara harus menggiatkan partisipasi aktif pembudidaya ikan
dan masyarakatnya dalam pengembangan praktek pengelolaan
akuakultur yang bertanggung jawab.
9.4.3. Negara–negara harus menggiatkan upaya yang dapat memperbaiki
seleksi dan pemanfaatan pakan, bahan tambahan pakan dan pupuk
termasuk pupuk kandang yang tepat.
9.4.4. Negara–negara harus menggiatkan praktek pengelolaan kesehatan ikan
dan usaha akuakultur yang efektif yang mendukung langkah higienik dan
penggunaan vaksin. Penggunaan yang aman, efektif dan minimal harus
dipastikan menyangkut hormon dan obat–obatan, antibiotika dan bahan
kimia pengendali penyakit lainnya.

121
9.4.5. Negara–negara harus mengatur penggunaan masukan bahan kimia
dalam akuakultur, yang membahayakan kesehatan manusia dan
lingkungan.
9.4.6. Negara–negara harus mensyaratkan bahwa pembuangan limbah seperti
jeroan ikan, endapan kotoran, ikan mati atau ikan berpenyakit, obat
vateriner yang berlebih dan masukan bahan kimia berbahaya lain tidak
akan membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
9.4.7. Negara–negara harus menjamin keamanan pangan produk akuakultur
dan menggiatkan upaya yang mempertahankan mutu produk,
meningkatkan nilainya melalui perhatian khusus sebelum dan selama
pemanenan, pengolahan di tempat, dalam penyimpanan dan
pengangkutan produk.

PASAL 10
INTEGRASI PERIKANAN
KE DALAM PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR

10.1. Kerangka Kelembagaan


10.1.1. Negara–negara harus menjamin suatu kerangka kebijakan, hukum dan
kelembagaan yang tepat, diadopsi untuk mencapai pemanfaatan sumber
daya yang lestari dan terpadu dengan memperhatikan kerentanan
ekosistem pesisir dan sifat terbatasnya sumber daya alamnya serta
keperluan komunitas pesisir.
10.1.2. Mengingat sifat multiguna kawasan pesisir, negara harus memastikan
bahwa wakil sektor perikanan dan komunitas penangkapan dimintakan
pendapat dalam proses pengambilan keputusan dan dilibatkan dalam
kegiatan lainnya yang berkaitan dengan perencanaan pengelolaan dan
pembangunan kawasan pesisir.
10.1.3. Negara–negara harus mengembangkan kerangka kelem-bagaan dan
hukum seperlunya dalam rangka menetapkan pemanfaatan yang
mungkin menyangkut sumber daya pesisir dan mengatur akses ke
sumber daya tersebut dengan memperhatikan hak nelayan pesisir dan
praktek turun temurun yang serasi dengan pembangunan yang
berkelanjutan.

122
10.1.4. Negara–negara harus memberikan kemudahan pengadopsian praktek
perikanan yang menghindari sengketa diantara para pengguna sumber
daya perikanan dan diantara mereka serta para pengguna lainnya dari
kawasan pesisir.
10.1.5. Negara–negara harus menggiatkan penetapan prosedur dan mekanisme
pada tingkat administratif yang tepat untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul di dalam lingkup sektor perikanan dan diantara para pengguna
sumber daya perikanan dengan para pengguna kawasan pesisir lainnya.

10.2 Langkah Kebijakan


10.2.1. Negara–negara harus meningkatkan terwujudnya kesadaran publik akan
perlunya perlindungan dan pengolahan sumber daya pesisir dan
keikutsertaan mereka yang terkena pengaruh dalam proses pengelolaan
10.2.2. Dalam rangka membantu pengambilan keputusan mengenai alokasi dan
pemanfaatan sumber daya pesisir, negara harus menggiatkan pengkajian
dari masing-masing nilai dengan memperhatikan faktor ekonomi, sosial
dan budaya.
10.2.3. Dalam menetapkan kebijakan bagi pengelolaan kawasan pesisir, negara
harus sepatutnya memperhatikan resiko dan ketidakpastian.
10.2.4. Negara–negara, sesuai dengan kapasitas mereka harus menetapkan
atau menggiatkan pembentukan sistem untuk memantau lingkungan
pesisir sebagai bagian dari proses pengelolaan pesisir dengan
menggunakan parameter fisik, kimia, biologi, ekonomi dan sosial.
10.2.5. Negara–negara harus menggiatkan penelitian multi disiplin dalam
menopang pengelolaan kawasan pesisir, teristimewa mengenai aspek
lingkungan, biologi, ekonomi, sosial, hukum dan kelembagaan.

10.3 Kerjasama Regional


10.3.1. Negara–negara dengan kawasan pesisir bertetangga harus bekerjasama
satu dengan lainnya untuk memberi kemudahan penggunaan yang
berkelanjutan dari sumber daya pesisir dan konservasi lingkungannya.
10.3.2. Dalam hal kegiatan yang mungkin mempunyai pengaruh lingkungan lintas
batas yang merugikan kawasan pesisir, negara harus:

123
10.3.3. Menyediakan informasi yang tepat waktu dan bila mungkin,
pemberitahuan sebelumnya kepada negara yang secara potensial
terkena pengaruh.
10.3.4. Berkonsultasi dengan negara tersebut sedini mungkin.
10.3.5. Negara–negara harus bekerjasama pada tingkat subregional dan regional
dalam rangka meningkatkan pengelolaan kawasan pesisir.

10.4 Pelaksanaan
10.4.1. Negara–negara harus menetapkan mekanisme kerjasama dan koordinasi
diantara otoritas nasional yang terlibat dalam perencanaan,
pembangunan, konservasi, dan pengelolaan kawasan pesisir.
10.4.2. Negara–negara harus menjamin bahwa otoritas atau otoritas-otoritas
yang mewakili sektor perikanan dalam proses pengelolaan pesisir
mempunyai kapasitas teknis dan sumber pembiayaan yang memadai.

PASAL 11
PRAKTEK PASCA PANEN DAN PERDAGANGAN

11.1. Pemanfaatan Ikan yang Bertanggung jawab.


11.1.1. Negara–negara harus mengambil langkah yang tepat untuk menjamin
hak para konsumen ikan dan produk perikanan yang aman, sehat dan
tidak kadaluarsa
11.1.2. Negara–negara harus menetapkan dan mempertahankan sistem
penjaminan mutu dan keselamatan nasional yang efektif untuk melindungi
kesehatan konsumen dan mencegah kecurangan komersial.
11.1.3. Negara–negara harus menetapkan standar minimum bagi keamanan dan
jaminan mutu dan memastikan bahwa standar itu diterapkan secara
efektif di seluruh industri tersebut. Negara harus memajukan pelaksanaan
standar mutu yang disepakati di dalam lingkup konteks FAO/WHO Codex
Alimintarius Commission dan organisasi atau tatanan yang relevan
lainnya.
11.1.4. Negara–negara selayaknya harus bekerjasama untuk mencapai
keserasian, atau saling mengakui, atau keduanya baik menyangkut
langkah saniter nasional maupun program sertifikasi dan menjajaki

124
kemungkinan pembentukan badan pengendalian dan sertifikasi yang
saling diakui.
11.1.5. Negara–negara harus memberi pertimbangan sepatutnya terhadap peran
ekonomi dan sosial pasca panen sektor perikanan saat merumuskan
kebijakan nasional bagi pembangunan dan pemanfaatan sumber daya
perikanan yang berkelanjutan.
11.1.6. Negara–negara dan organisasi yang relevan harus mensponsori
penelitian teknologi ikan dan jaminan mutu, serta mendukung proyek
untuk meningkatkan penanganan pasca-panen ikan, dengan
memperhatikan dampak ekonomi, sosial, lingkungan dan gizi dari proyek
tersebut.
11.1.7. Negara–negara dengan memperhatikan adanya metode produksi yang
berbeda, melalui kerjasama dan dengan memberikan kemudahan bagi
pengembangan dan alih teknologi tepat guna, harus menjamin bahwa
metode pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan yang digunakan
bersifat ramah lingkungan.
11.1.8. Negara–negara harus mendorong mereka yang terlibat dalam
pengolahan, distribusi dan pemasaran ikan segar:
a. mengurangi susut dan limbah pasca panen ikan
b. meningkatkan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan dan sejauh
mungkin konsisten dengan praktek penge-lolaan perikanan yang
bertanggung jawab, dan
c. memanfaatkan sumber daya, teristimewa air dan energi, khususnya
kayu bakar, dengan cara yang ramah lingkungan.
11.1.9. Negara–negara harus mendorong pemanfaatan ikan untuk konsumsi
manusia dan menggalakan konsumsi ikan bila perlu.
11.1.10.Negara–negara harus bekerjasama dalam rangka memberikan
kemudahan bagi produksi produk–produk bernilai tambah oleh negara
berkembang.
11.1.11. Negara–negara harus menjamin bahwa perdagangan ikan dan produk
ikan secara domestik dan internasional sesuai dengan praktek konservasi
dan pengelolaan yang layak melalui peningkatan identifikasi asal ikan dan
produk perikanan yang diperdagangkan.

125
11.1.12. Negara–negara harus menjamin bahwa efek lingkungan dari kegiatan
pasca panen dipertimbangkan dalam pengem-bangan hukum dan
peraturan perundang–undangan dan kebijakan terkait tanpa menimbulkan
distorsi pasar.

11.2 Perdagangan Internasional yang Bertanggung jawab


11.2.1. Ketentuan tatalaksana ini harus ditafsirkan dan diberlakukan sesuai
dengan asas hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam persetujuan
organisasi perdagangan dunia (WTO)
11.2.2. Perdagangan ikan dan produk perikanan internasional tidak boleh
mengancam pembangunan perikanan yang berkelanjutan dan
pemanfaatan sumber daya hayati akuatik yang bertanggung jawab.
11.2.3. Negara–negara harus menjamin agar langkah yang mempengaruhi
perdagangan ikan dan produk perikanan internasional bersifat transparan,
bila mungkin di dasarkan pada bukti ilmiah, dan sesuai dengan aturan
yang disepakati secara internasional.
11.2.4. Langkah–langkah perdagangan ikan yang diadopsi oleh negara untuk
melindungi kehidupan atau kesehatan manusia dan hewan, kepentingan
para konsumen atau lingkungan tidak boleh bersifat membeda-bedakan
dan harus sesuai dengan aturan perdagangan yang disepakati secara
internasional, teristimewa asas, hak dan kewajiban yang ditetapkan
dalam persetujuan tentang hambatan teknis terhadap perdagangan dari
Organisasi Perdagangan Sedunia.
11.2.5. Negara–negara lebih lanjut harus melakukan liberalisasi perdagangan
ikan serta produk perikanan dan menghilangkan hambatan dan distorsi
terhadap perdagangan seperti pajak, kuota dan hambatan bukan tarif
sesuai dengan asas, hak dan kewajiban dari persetujuan WTO.
11.2.6. Negara–negara tidak boleh secara langsung atau tidak langsung
membuat hambatan yang tersembunyi atau yang tidak perlu terhadap
perdagangan yang membatasi kebebasan para konsumen dalam memilih
pemasok atau yang membatasi akses pasar.
11.2.7. Negara–negara tidak boleh mempersyaratkan akses ke pasar menjadi
akses ke sumber daya. Asas ini tidak menghalangi kemungkinan
menyangkut persetujuan penangkapan diantara negara, termasuk

126
ketentuan yang mengacu pada akses ke sumber daya, perdagangan dan
akses ke pasar, alih teknologi, penelitian ilmiah, pelatihan dan unsur yang
relevan lainnya.
11.2.8. Negara–negara tidak boleh mengaitkan akses ke pasar dengan
pembelian teknologi yang khas atau penjualan produk lainnya.
11.2.9. Negara–negara harus bekerjasama dalam memenuhi persetujuan
internasional yang relevan yang mengatur perdagangan spesies yang
terancam punah.
11.2.10. Negara–negara harus mengembangkan persetujuan internasional bagi
perdagangan spesimen hidup bila tejadi resiko kerusakan lingkungan
dalam negara pengimpor atau pengekspor.
11.2.11. Negara–negara harus bekerjasama dalam mendorong ketaatan kepada
standar internasional serta pelaksanaannya yang efektif bagi
perdagangan ikan dan produk perikanan serta konservasi sumber daya
hayati akuatik.
11.2.12. Negara–negara tidak boleh mengabaikan langkah konservasi bagi
sumber daya hayati akuatik dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat
perdagangan atau penananman modal
11.2.13. Negara–negara harus bekerjasama mengembangkan aturan atau
standar yang bisa diterima secara internasional bagi perdagangan ikan
dan produk perikanan sesuai dengan asas, hak dan kewajiban yang
ditetapkan dalam persetujuan WTO.
11.2.14. Negara–negara harus bekerjasama satu dengan lainnya dan
berpartisipasi aktif dalam berbagai forum regional dan multilateral yang
relevan, seperti WTO, untuk menjamin perdagangan ikan dan produk
perikanan yang adil dan tidak membeda-bedakan serta ketaatan yang
meluas terhadap langkah konservasi perikanan yang secara multilateral
disepakati.
11.2.15 Negara–negara, badan bantuan, bank pembangunan multilateral dan
organisasi internasional yang relevan lainnya harus menjamin bahwa
kebijakan dan prakteknya yang terkait dengan promosi perdagangan ikan
internasional dan produksi untuk tujuan ekspor tidak mengakibatkan
penurunan mutu lingkungan atau dampak yang merugikan terhadap hak
dan kebutuhan gizi penduduk yang bagi mereka ikan adalah penting bagi

127
kesehatan dan kesejahteraannya serta untuk sumber pangan lainnya
yang setara tidak tersedia atau tidak terjangkau.

11.3 Hukum dan Peraturan Perundang–undangan yang Berhubungan


dengan Perdagangan Ikan
11.3.1. Hukum dan perundang–undangan dan prosedur administratif yang bisa
diberlakukan pada perdagangan internasional ikan dan produk perikanan
harus transparan, sesederhana mungkin, bisa diperluas dan jika perlu,
didasarkan atas bukti ilmiah.
11.3.2. Negara–negara, sesuai dengan hukum nasional mereka harus
memberikan kemudahan konsultasi dan partisipasi yang tepat bagi
industri serta kelompok lingkungan hidup dan konsumen dalam
pengembangan dan pelaksanaan hukum dan perturan perundang–
undangan yang berhubungan dengan perdagangan ikan dan produk
perikanan.
11.3.3. Negara–negara harus menyederhanakan hukum dan peraturan
perundang–undangan dan prosedur administratifnya yang harus
diberlakukan pada perdagangan ikan dan produk perikanan tanpa
mengurangi efektivitasnya.
11.3.4. Bilamana suatu negara mengajukan perubahan terhadap persyaratan
hukumnya yang mempengaruhi perdagangan ikan dan produk perikanan
dengan negara lain, maka negara dan para produsen yang terpengaruh
harus diberikan informasi dan waktu yang cukup untuk memperkenalkan
perubahan yang diperlukan dalam proses dan prosedur mereka. Dalam
hubungan ini, lebih dikehendaki konsultasi dengan negara yang terkena
pengaruh dari jangka waktu bagi pelaksanaan perubahan, pertimbangan
yang sepatutnya harus diberikan terhadap permintaan dari negara
berkembang untuk pengecualian sementara dari kewajiban dimaksud.
11.3.5. Negara–negara harus secara berkala meninjau hukum dan peraturan
perundang–undangan yang dapat diberlakukan pada perdagangan
internasional ikan dan produk perikanan dalam rangka menetapkan
kondisi yang menyebabkan introduksi itu tetap ada.
11.3.6. Negara–negara harus menyelaraskan sejauh mungkin standar yang bisa
diberlakukan pada perdagangan internasional atas ikan dan produk

128
perikanan sesuai dengan ketentuan yang relevan yang secara
internasional diakui.
11.3.7. Negara–negara harus mengumpulkan, menyebarluaskan dan
mempertukarkan informasi statistik yang akurat, relevan dan tepat waktu
tentang perdagangan internasional ikan dan produk perikanan melalui
lembaga nasional dan organisasi internasional yang relevan.
11.3.8. Negara–negara harus segera memberitahukan negara lainnya yang
berkepentingan. WTO dan organisasi internasonal yang tepat lainnya
menyangkut perkembangan dan perubahan pada hukum dan peraturan
perundang–undangan dan prosedur administratif yang bisa diberlakukan
pada perdagangan internasional ikan dan produk perikanan internasional.

PASAL 12
PENELITIAN PERIKANAN

12.1. Negara–negara harus menyadari bahwa perikanan yang bertanggung


jawab mengharuskan tersedianya suatu basis ilmiah yang layak untuk
membantu para pengelola perikanan dan pihak berkepentingan lainnya
dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, negara harus menjamin
dilakukannya penelitian tepat guna yang mencakup semua aspek
perikanan termasuk biologi, ekologi, teknologi, ilmu pengetahuan
lingkungan, ekonomi, ilmu pengetahuan sosial, akuakultur dan ilmu
pengetahuan gizi. Negara harus menjamin ketersediaan fasilitas
penelitian dan menyediakan pelatihan, staf dan pembentukan lembaga
yang tepat untuk melakukan penelitian tersebut, dengan memperhatikan
kebutuhan khusus negara berkembang.
12.2. Negara–negara harus menetapkan suatu kerangka kelembagaan yang
tepat untuk menentukan penelitian terapan yang diperlukan dan
pemanfaatan yang benar.
12.3. Negara–negara harus menjamin bahwa data yang dihasilkan oleh
penelitian dianalisis, dan hasilnya dipublikasikan, menjaga kerahasiaan
jika diperlukan, dan didistribusikan dalam suatu cara yang mudah
dimengerti dan tepat waktu, sehingga bukti ilmiah terbaik tersedia sebagai
suatu sumbangan terhadap konservasi, pengelolaan dan pembangunan

129
perikanan. Bila informasi ilmiah yang memadai tidak tersedia, penelitian
tepat guna harus diprakarsai sesegera mungkin.
12.4. Negara–negara harus mengumpulkan data yang dapat dipercaya dan
akurat untuk mengkaji status perikanan dan ekosistem, termasuk data
tentang hasil tangkapan sampingan, ikan buangan dan limbah. Jika perlu,
data ini harus diberikan pada waktu dan tingkat keterkumpulan yang
tepat, ke negara dan organisasi perikanan subregional, regional, dan
global yang relevan.
12.5. Negara–negara harus mampu memantau dan mengkaji keadaan stok
ikan di bawah yurisdiksinya, termasuk dampak perubahan ekosistem
yang diakibatkan oleh tekanan penangkapan, pencemaran, atau
pengubahan habitat. Negara tersebut harus menetapkan kapasitas
penelitian yang diperlukan untuk mengkaji pengaruh dari perubahan iklim
atau lingkungan terhadap stok ikan dan ekosistem akuatik.
12.6. Negara–negara harus mendukung dan agar memperkuat kemampuan
penelitian nasional agar memenuhi standar ilmiah yang diakui.
12.7. Negara–negara bekerjasama secara memadai dengan organisasi
internasional yang relevan, harus mendorong penelitian untuk menjamin
pemanfaatan optimum sumber daya perikanan dan menggairahkan
penelitian yang dibutuhkan untuk menopang kebijakan nasional yang
berkaitan dengan ikan sebagai pangan.
12.8. Negara–negara harus melakukan penelitian dan memantau suplai
pangan yang berasal dari sumber akuatik dan lingkungan dari tempat
mereka diambil dan menjamin bahwa tidak terjadi dampak yang
merugikan kesehatan konsumen. Hasil penelitian tersebut harus
dipublikasikan secara luas.
12.9. Negara–negara harus menjamin bahwa aspek ekonomi, sosial,
pemasaran dan kelembagaan perikanan diteliti secara memadai, dan
bahwa data yang bisa diperbandingakan dihasilkan bagi pemantauan
yang terus menerus, analisis dan perumusan kebijakan.
12.10. Negara–negara harus melakukan kajian terhadap selektivitas alat
penangkapan ikan, dampak lingkungan alat tangkap terhadap spesies
target dan terhadap prilaku spesies target dan spesies bukan target
berkaitan dengan alat penangkapan tersebut sebagai suatu dukungan

130
bagi pengambilan keputusan pengelolaan dan dengan maksud untuk
meminimumkan hasil tangkapan yang tidak dimanfaatkan serta
melindungi keanekaragaman hayati ekosistem dan habitat akuatik.
12.11. Negara–negara harus menjamin bahwa sebelum introduksi komersial
jenis alat tangkap baru, dilakukan sebuah evaluasi ilmiah mengenai
dampaknya terhadap perikanan dan pada ekosistem di tempat alat
tangkap itu akan digunakan. Efek dari introduksi alat tangkap semacam
itu harus dipantau.
12.12. Negara–negara harus menyelidiki dan mendokumentasikan pengetahuan
dan teknologi perikanan tradisional, teristimewa yang diterapkan pada
perikanan skala kecil, dalam rangka mengkaji penerapannya pada
konservasi, pengelolaan dan pengembangan perikanan yang
berkelanjutan.
12.13. Negara–negara harus menggiatkan pemanfaatan hasil penelitian sebagai
dasar bagi penetapan tujuan pengelolaan, titik rujukan dan kriteria
keberhasilan pencapaian serta untuk menjamin hubungan yang memadai
antara penelitian terapan dan pengelolaan perikanan.
12.14. Negara–negara yang melakukan kegiatan penelitian ilmiah di perairan di
dalam yurisdiksi negara lain harus menjamin agar kapal mereka
memenuhi hukum dan perundang–undangan Negara tersebut dan
undang-undang internasional.
12.15. Negara–negara harus menggiatkan adopsi pedoman yang seragam yang
mengatur penelitian perikanan di laut lepas.
12.16. Negara–negara bilamana diperlukan harus mendukung penetapan
mekanisme, termasuk, antara lain, adopsi, pedoman yang seragam untuk
memberikan kemudahan penelitian pada tingkat subregional atau regional
dan harus mendorong untuk berbagi hasil penelitian tersebut dengan
wilayah lain.
12.17. Negara–negara baik secara langsung maupun dengan dukungan
organisasi internasional yang relevan, harus mengembangkan program
penelitian dan program teknis kolaboratif untuk meningkatkan
pemahaman biologi, lingkungan dan status stok akuatik lintas batas.
12.18. Negara–negara dan organisasi internasional yang relevan harus
mendorong dan meningkatkan kapasitas penelitian negara berkembang,

131
antara lain, dalam bidang pengumpulan dan analisis data, informasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi pengembangan sumber daya manusia dan
pengadaan fasilitas penelitian. Supaya mereka ikut serta secara efektif
dalam konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hayati
akuatik yang berkelanjutan.
12.19. Organisasi internasional yang kompeten, jika diperlukan harus
memberikan dukungan teknis dan pembiayaan pada negara berdasarkan
permintaan dan bilamana terlibat dalam penyelidikan penelitian yang
bertujuan mengevaluasi stok ikan yang sebelumnya tidak ditangkap atau
sangat sedikit ditangkap.
12.20. Organisasi internasional teknis dan pembiayaan yang relevan atas
permintaan, harus mendukung negara dalam upaya penelitian mereka.
Dengan perhatian khusus kepada negara berkembang, teristimewa
negara paling sedikit perkembangannya di antara mereka dan negara
kepulauan kecil yang berkembang.

LATAR BELAKANG ASAL MULA DAN PERLUASAN TATALAKSANA


1. Lampiran ini menggambarkan proses perluasan dan negosiasi dari
Tatalaksana ini, yang kemudian diserahkan untuk memperoleh persetujuan
penggunaan pada sidang ke 28 konferensi FAO. Dirasakan bermanfaat
untuk menambahkan seksi ini sebagai rujukan pada yang asli dan
pengembangan dari tatalaksana dan dengan demikian mencerminkan
kepentingan dan semangat kompromi semua pihak yang terlibat dalam
perluasannya. Diharapkan bahwa upaya ini akan memberii sumbangan pada
promosi keterikatan yang diperlukan bagi pelaksanaannya.
2. Pada berbagai forum internasional, sudah lama dinyatakan keprihatinan
mengenai tanda-tanda yang jelas menyangkut pengusahaan lebih stok ikan
penting, kerusakan pada ekosistem, kerugian ekonomi dan isu-isu yang
mempengaruhi perdagangan ikan semuanya telah mengancam konservasi
jangka panjang perikanan dan pada gilirannya membahayakan kontribusi
perikanan pada pasokan pangan. Dalam membahas keadaan akhir-akhir ini
dan prospek perikanan dunia. Sidang ke 19 dari komite FAO mengenai
perikanan (COFI), yang diadakan pada bulan Maret 1991, telah

132
merekomendasikan agar FAO mengembangkan konsep perikanan yang
bertanggung jawab dan merinci sebuah Tatalaksana untuk maksud itu.
3. Kemudian. Pemerintah Meksiko, bekerjasama dengan FAO,
mengorganisasikan sebuah Konferensi Internasional tentang Perikanan
yang bertanggug jawab di Cancun, Mei 1992. Deklarasi Cancun yang telah
disahkan pada Konferensi tersebut lebih lanjut telah mengembangkan
konsep perikanan yang bertanggung jawab dan menyatakan bahwa “konsep
ini mencakup pemanfaatan lestari sumber daya perikanan yang serasi
dengan lingkungan, penerapan praktek perikanan tangkap dan akuakultur
yang tidak membahayakan ekosistem, sumber daya atau mutunya,
pemberian nilai tambah pada produk–produk tersebut melalui proses
informasi yang memenuhi standar sanitasi yang dipersyaratkan pelaksanaan
praktek komersial sedemikian rupa sehingga memberi akses bagi para
konsumen pada produk yang bermutu baik”.
4. Deklarasi Cancun telah disampaikan untuk mendapat perhatian pada
Pertemuan Tingkat Tinggi UNCED Rio pada bulan Juni 1992, yang
mendukung penyiapan sebuah Tatalaksana untuk Perikanan yang
bertanggung jawab, (CCRF). Konsultasi Teknis FAO tentang Penangkapan
di laut lepas yang diadakan pada bulan September 1992. Lebih lanjut
merekomendasikan penjabaran sebuah tatalaksana untuk mengamanatkan
isu berkenaan dengan perikanan di laut lepas.
5. Sidang ke 102 Dewan FAO, yang diadakan pada November 1992, telah
membahas penjabaran tatalaksana itu, merekomendasikan agar prioritas
diberikan pada isu-isu laut lepas dan meminta agar usul bagi tatalaksana itu
disajikan pada sidang 1993 Komite tentang Perikanan.
6. Sidang ke 20 COFI, yang diadakan pada bulan Maret 1993, menelaah asas
umum bagi sebuah tatalaksana semacam itu, termasuk penjabaran
pedoman dan menyetujui sebuah kerangka waktu bagi perluasan lebih lanjut
tatalaksana tersebut. Juga dimintakan pada FAO untuk mempersiapkan atas
dasar “pelacakan cepat“, sebagai bagian dari Tatalaksana, usul–usul untuk
penukaran bendera kapal penangkap ikan yang mempengaruhi langkah
konservasi dan pengelolaan di laut lepas.
7. Pengembangan lebih lanjut tatalaksana perikanan yang bertanggung jawab
(CCRF) dilangsungkan dengan konsultasi dan kerjasama dengan Badan-

133
badan PBB relevan dan organisasi internasional lain termasuk organisasi
non pemerintah.
8. Menurut instruksi Badan Pengarah FAO, draf Tatalaksana telah dirumuskan
sedemikian rupa agar konsisten dengan Konvensi PBB 1982 tentang Hukum
Laut (UNCLOS 1992) dengan memperhatikan Deklarasi Cancun 1992.
Deklarasi Rio 1992 dan ketentuan–ketentuan Agenda 21 UNCED,
kesimpulan dan rekomendasi Konsultasi Teknis FAO 1992 tentang
penangkapan di laut lepas. Strategi yang disahkan oleh Konferensi Dunia
FAO 1984 tentang pengelolaan dan Pembangunan Perikanan serta
instrument–instrument lain yang relevan termasuk hasil Konferensi PBB
yang sedang berlangsung tentang stok ikan straddling dan Stok Ikan Peruya,
jauh yang dalam Agustus 1995 menyetujui sebuah Persetujuan bagi
Pelaksanaan dari Ketentuan–ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut
10 Desember 1982 berkenaan dengan Stok Ikan straddling dan stok ikan
peruaya Jauh.
9. Konferensi FAO, pada sidang ke 27, bulan Nopember 1993, telah
mengadopsi persetujuan untuk memajukan pemenuhan dengan langkah–
langkah konservasi dan pengelolaan internasional oleh kapal penangkapan
ikan di laut lepas dan merekomendasikan agar Asas Umum CCRF disiapkan
berdasarkan atas “ pelacakan cepat “ dalam rangka perumusan Pasal–pasal
tematik. Sesuai dengan itu, sebuah draf teks asas umum ditinaju kembali
oleh sebuah kelompok kerja informal pakar-pakar yang dicalonkan
pemerintah, yang bertemu di Roma pebruari 1994. Sebuah draf yang direvisi
telah diedarkan luas keseluruh anggota dan anggota tidak tetap FAO
demikian pula organisasi antar pemerintah dan non-pemerintah. Komentar
yang telah diterima mengenai versi kedua asas Umum digabungkan dengan
draf tatalaksana bersama dengan usul-usul menjadi sebuah teks pilihan.
Dokumen ini juga merupakan subyek konsultasi informal dengan organisasi
non-pemerintah pada kesempatan sidang keempat konferensi PBB tentang
stok ikan straddling dan stok Ikan Peruaya jauh, yang diadakan Agustus
1994 di New York.
10. Untuk memberikan kemudahan pemandangan mengenai teks langkah dari
draf Tatalaksana. Direktur Jenderal telah mengusulkan kepada Dewan pada
sidang ke 106 Juni 1994, agar sebuah konsultasi teknis mengenai TPB

134
diorganisasikan terbuka bagi seluruh Anggota FAO, bukan anggota yang
berkepentingan organisasi antar pemerintah dan non-pemerintah, agar
membuka peluang bagi keterlibatan seluas mungkin semua pihak yang
bersangkutan pada tahap dini dari perluasan Tatalaksana.
11. Konsultasi teknis tersebut berlangsung di Roma sejak 26 september hingga
5 Oktober 1994 disampaikan sebuah draf tatalaksana lengkap dan
disampaikan sebuah draf pertama mengenai pedoman teknis untuk
mendukung bagian terbesar dari pasal tematik. Menyusul sebuah tinjauan
menyeluruh dari seluruh pasal dari draf lengkap tatalaksana sebuah draf
alternatif sekretariat kemudian disiapkan ata dasar komentar yang diberikan
selama pembahasan pleno dan perubahan khusus yang diserahkan secara
tertulis selama konsultasi.
12. Konsultasi telah mampu pula meninjau secara rinci sebuah draf alternatif
untuk tiga dari enam pasal tematik dari tatalaksana, yaitu pasal 9 “ Integrasi
Perikanan ke dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir”, Pasal 6 “ pengelolaan
perikanan”, Pasal 7 “ Operasi Penangkapan Ikan “, kecuali untuk asas yang
mungkin akan dipengaruhi oleh hasil Konferensi PBB yang sedang
berlangsung tentang stok ikan peruaya jauh. Sebuah laporan Administratif
singkat telah disiapkan dan disampaikan ke Dewan FAO dan ke COFI.
13. Konsultasi teknis mengusulkan kepada Dewan pada sidang ke 107, 15-24
Nopember 1994, agar susunan kata akhir dari asas yang terutama
berkenaan dengan isu laut lepas dibiarkan tertunda seraya menantikan hasil
dari Konferensi PBB. Dewan umumnya meluluskan prosedur yang
diusulkan, dan dengan memperhatikan bahwa mengikuti bahasan pada
sidang COFI berikutnya, sebuah draf akhir dari tatalaksana akan diserahkan
ke Dewan FAO Juni 1995 yang kemudian akan memutuskan mengenai
perlunya komite teknis bersidang pararel dengan sidang dari Dewan guna
merinci lebih lanjut ketentuan Tatalaksana jika diperlukan.
14. Didasarkan pada sejumlah komentar penting dan saran terinci yang diterima
pada konsultasi teknis. Sekretariat telah mengembangkan sebuah draf dari
CCRF yang direvisi yang diserahkan ke Sidang 21 dari komite tentang
Perikanan (COFI) yang diadakan 10-15 Maret 1995.
15. Komite tentang Perikanan juga diberitahukan bahwa Konferensi PBB
diharapkan menyelesaikan tugas kerjanya Agustus 1995. Diusulkan bahwa

135
asas yang tertunda dalam teks draf dari tatalaksana kemudian dapat
dirundingkan dengan bahasa yang telah disepakati pada Konferensi PBB
sesuai dengan mekanisme yang akan diputuskan oleh komite dan Dewan
sebelum penyerahan tatalaksana lengkap untuk diadopsi pada sidang ke 28
dari Konferensi FAO pada bulan Oktober 1995.
16. Komite telah diberitahukan berbagai tahap yang telah diambil sekretariat
dalam menyiapkan draf tatalaksana. Komite menetapkan sebuah kelompok
kerja terbuka guna meninjau kembali teks draf dari tatalaksana. Kelompok
kerja yang bersidang 10-14 Maret 1995, telah melakukan sebuah revisi
terinci dari draf tatalaksana dalam meneruskan kerja Konsultasi Teknis.
Kelompok kerja itu telah menyelesaikan dan menyepakati teks pasal 8
sampai 11. Mengingat kendala waktu, kelompok kerja memberikan arahan
kepada sekretariat untuk mendraf ulang pasal 1 sampai 5. Telah pula
naskah direkomendasikan bahwa unsure penelitian dan kerjasama serta
akuakultur telah pula direkomendasikan dimasukan dalam pasal 5 asas
umum, untuk mencerminkan isu yang berkembang dalam pasal tematik dari
tatalaksana.
17. Komite mendukung usul yang disahkan oleh sidang ke 107 Dewan
mengenai mekanisme untuk penyelesaian akhir tatalaksana. Susunan kata
akhir dari asas yang berkenaan terutama dengan isu-isu yang menyangkut
stok ikan peruaya jauh, yang hanya merupakan bagian kecil dari
Tatalaksana, harus ditelaah dengan memperhatikan hasil Konferensi PBB.
Kelompok juga merekomendasikan bahwa bila persetujuan telah tercapai
mengenai substansi tersebut, maka akan diperlukan untuk menyerasikan
aspek-aspek hukum, teknis dan idiomatik dari tatalaksana, guna
memberikan kemudahan bagi persetujuan akhir.
18. Laporan dari kelompok kerja terbuka telah disajikan ke Sidang Menteri
tentang Perikanan, diadakan pada tanggal 14-15 Maret 1995, sehubungan
dengan sidang COFI. Consensus Roma mengenai Perikanan Dunia yang
bermula dari pertemuan ini telah mendesak agar “ Pemerintah-pemerintah
dan organisasi internasional mengambil tindakan segera untuk
menyelesaikan tatalaksana internasional bagi perikanan yang bertanggung
jawab dengan maksud menyerahkan naskah akhir kepada Konferensi FAO
Oktober 1995.”

136
19. Sebuah versi tatalaksana yang direvisi telah disajikan pada sidang ke 128
dari Dewan. Dewan menetapkan sebuah komite teknis yang mengadakan
sidang pertama sejak 5 sampai 9 Juni 1995, dengan kehadiran para anggota
regional secara luas. Sejumlah organisasi antar pemerintah dan non-
pemerintah juga turut serta.
20. Dewan dibertitahukan oleh Komite Teknis bahwa Komite telah melakukan
tinjauan menyeluruh pasal 1 sampai 5 termasuk pendahuluan. Memeriksa
mengubah dan menyepakati pasal 8 sampai 11. Dewan juga telah
diberitahukan bahwa komite telah memulai revisi pasal 6.
21. Dewan telah menyetujui kerja yang dilakukan oleh Komite Teknis dan
meluluskan rekomendasinya bagi sidang ke 2 yang akan diadakan pada
tanggal 25-29 september 1995 untuk menyelesaikan revisi dari Tatalaksana
saat sekretariat sudah menyerasikan naskah secara linguistik dan secara
yuridis, dengan memperhatikan hasil dari Konferensi PBB mengenai stok
ikan straddling dan stok ikan peruaya jauh.
22. Sebuah versi Tatalaksana direvisi seperti yang disetujui oleh Komite Teknis
pada sidang pertamanya (5-9 Juni 1995) dan telah disyahkan oleh sidang ke
108 dari Dewan telah diterbitkan, baik sebagai dokumen Konferensi (C
95/20) maupun sebagai sebuah makalah kerja bagi sidang kedua dari
Komite Teknis. Unsur-unsur yang persetujuannya tertunda diidentifikasi
dengan jelas.
23. Dalam rangka memudahkan penyelesaian akhir keseluruhan Tatalaksana.
Sekretariat telah mempersiapkan dokumen “Usulan Sekretariat untuk pasal
6. Pengelolaan perikanan dan pasal 7, Operasi Penangkapan, dan CCRF”,
dengan memperhatikan persetujuan yang berkaitan dengan konservasi dan
pengelolaan stok. Ikan Straddling dan stok ikan Peruaya jauh, yang disetujui
oleh Koperensi PBB Agustus 1995, sekretariat juga telah menyelesaikan
usulan bagi penyerasian dari naskah mengenai aspek-aspek hukum dan
linguistic dan menyediakannya untuk komite dalam tiga bahasa bagi sidang
(Inggris, Prancis dan Spanyol).
24. Sidang kedua dari Komite Teknis Terbuka dari Dewan telah bersidang sejak
25 sampai 29 september 1995, dengan diwakili secara luas dari wilayah dan
organisasi berkepentingan. Komite bekerja dengan semangat penuh
kerjasama. Dengan sukses menyelesaikan tugasnya, mengakhiri dan

137
mengesahkan semua pasal dan Tatalaksana secara utuh. Komite Teknis
menyepakati bahwa negosiasi naskah dari Tatalakasana telah diakhiri.
Sebuah kelompok Informal Terbuka mengenai Penyerasian Bahasa
mengadakan sidang tambahan dan bersama dengan sekretariat.
Menyelesaikan penyerasian berdasarkan naskah yang disetujui dan
disahkan pada sidang penutupan. Komite teknis menginstruksikan
sekreteriat untuk segera menyerahkan versi yang selesai sebagai suatu
dokumen Konferensi yang direvisi kepada sidang ke 109 dari Dewan dan
kepada sidang ke 28 dari Konferensi untuk disetujui. Dewan telah
mengesahkan Tatalaksana seperti yang diselesaikan oleh komite teknis.
Sekretariat telah diminta untuk mempersiapkan naskah resolusi yang
dibutuhkan bagi Konferensi, termasuk pula undangan pada negara untuk
meratifikasi, sebagai hal yang mendesak, persetujuan pemenuhan yang
telah disetujui pada sidang terakhir dari Konferensi. Sidang ke 28 dari
Konferensi telah setuju mengesahkan pada 31 oktober 1995, secara
konsensus. CCRF dan masing-masing Resolusi yang dicantumkan pada
lampiran 2.

RESOLUSI
KONFERENSI

Menyadari peran vital perikanan dalam ketahanan pangan dunia, serta


pembangunan ekonomi dan sosial, seperti halnya pula keperluan untuk
menjamin kelestarian sumber daya hayati akuatik dan lingkungannya untuk
generasi kini dan generasi mendatang.
Mengingat bahwa Komite FAO tentang perikanan (COFI) pada tanggal 19
maret 1991 merekomendasikan pengembangan konsep perikanan yang
bertanggung jawab dan perumusan yang mungkin sebuah instrumen mengenai
hal tersebut.
Mempertimbangkan bahwa deklarasi Cancun, yang berasal dari Konferensi
Internasional mengenai Perikanan yang bertanggung jawab mei 1992,
diselenggarakan oleh pemerintah Meksiko bekerjasama dengan FAO, telah
meminta penyiapan sebuah Tatalaksana yang disebut Tatalaksana untuk
perikanan yang Bertanggung jawab (CCRF)

138
Memikirkan, memperhatikan dan merenungkan bahwa dengan berlakunya
Konvensi PBB mengenai Hukum Laut, 1982, dan pengesahan persetujuan itu
bagi pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan Konvensi PBB mengenai hukum laut
10 Desember 1982 bertalian dengan konservasi dan pengelolaan menyangkut
stok ikan Straddling dan stok ikan Peruaya jauh, seperti yang telah diantisipasi
dalam Deklarasi Rio 1992 dan ketentuan Agenda 21 dari UNCED, terdapat
keperluan yang mendesak bagi kerjasama subregional dan bahwa tanggung
jawab yang nyata diletakan pada FAO sesuai dengan tugas fungsinya.
Mengingat lebih lanjut bahwa Konferensi dalam 1993 telah mengesahkan
persetujuan FAO untuk memajukan pemenuhan dengan Langkah–langkah
konservasi dan pengelolaan oleh kapal penangkapan ikan di laut lepas, dan
bahwa persetujuan ini akan merupakan sebuah bagian integral dari Tatalaksana.
Memperhatikan dengan rasa puas bahwa FAO, sesuai dengan keputusan badan
pengarah telah menyelenggarakan serangkaian pertemuan teknis untuk
merumuskan Tatalaksana dan bahwa pertemuan-pertemuan ini telah
menghasilkan tercapainya persetujuan mengenai naskah dari Tatalaksana untuk
perikanan yang bertanggung jawab.
Mengakui bahwa konsensus Roma mengenai perikanan Dunia, yang
bermula dari Pertemuan Menteri mengenai perikanan pada 14-15 Maret 1995,
telah mendesak pemerintah dan organisasi internasional menanggapi secara
efektif situasi perikanan belakangan ini, antara lain, yang menyelesaikan CCRF
dan mempertimbangkan bagi mengesahkan persetujuan untuk memajukan
pemenuhan dengan Langkah–langkah konservasi dan pengelolaan internasional
oleh kapal penangkapan ikan di laut lepas:
a. Memutuskan, mengesahkan Tatalaksana untuk perikanan yang bertanggung
jawab.
b. Mengundang Negara. Organisasi Internasional, baik pemerintahan maupun
non pemerintahan, dan semua yang ikut terlibat dalam perikanan untuk
bekerjasama dalam memenuhi dan melaksanakan tujuan dan asas yang
dimuat dalam tatalaksana ini.
c. Mendesak bahwa ketentuan khusus Negara berkembang diperhatikan dalam
melaksanakan ketentuan-ketentuan dari tatalaksana.
d. Meminta FAO untuk membuat ketentuan dalam program kerja dan anggaran
untuk memberikan advis kepada Negara berkembang dalam melaksanakan

139
tatalaksana ini dan bagi perluasan sebuah program perbantuan antar
regional bagi bantuan eksternal yang dimaksudkan untuk mendukung
pelaksanaan dari Tatalaksana ini.
e. Lebih lanjut meminta FAO, bekerja sama dengan para anggota dan
organisasi relevan berkepentingan, untuk merinci setepatnya pedoman
teknis dalam menopang pelaksanaan dari Tatalaksana.
f. Meminta FAO memantau dan melaporkan menyangkut pelaksanaan dari
Tatalaksana dan efeknya terhadap perikanan, termasuk tindakan yang
diambil dibawah instrumen lain dan resolusi-resolusi oleh sidang umum
untuk memberii pemberlakuan pengaruh pada Konferensi mengenai stok
ikan straddling dan stok ikan peruaya jauh yang menjurus pada persetujuan
bagi pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan dari Konvensi PBB mengenai
Hukum Laut 10 Desember 1982. Bertalian dengan konservasi dan
pengelolaan stok ikan Straddling dan stok ikan peruaya jauh.
g. Mendesak FAO untuk memperketat badan Perikanan Regional supaya
menangani lebih efektif isu konservasi dan pengelolaan perikanan dalam
menopang kerjasama dan koordinasi subregional, regional serta global
dalam perikanan.

APAKAH TATALAKSANA UNTUK


PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB ITU ?

Perikanan (termasuk pengelolaan, penangkapan, pengolahan dan


pemasaran sediaan ikan) dan akuakultur (budidaya ikan) merupakan penyedia
pasokan makanan, lapangan kerja, pendapatan dan rekreasi bagi banyak orang
di dunia. Apabila diinginkan kecukupan ikan bagi generasi mendatang, maka
setiap orang yang terlibat dalam penangkapan ikan harus membantu
melestarikan dan mengelola perikanan dunia.
Dengan memperhatikan hal diatas, lebih dari 170 anggota organisasi
pertanian dan pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) mengadopsi
tatalaksana untuk perikanan yang bertanggung jawab (selanjutnya disebut
tatalaksana) pada tahun 1995. Tatalaksana tersebut bersifat sukarela, bukannya
wajib, dan ditujukan bagi setiap orang yang bekerja dan terlibat dalam perikanan
dan akuakultur, baik di darat maupun laut. Karena tatalaksana tersebut sukarela,

140
maka perlu diupayakan agar setiap orang yang bekerja dalam perikanan dan
akuakultur komit terhadap prinsip-prinsipnya dan menentukan langkah–langkah
partikal untuk melaksanakannya.
Diperlukan waktu lebih dari dua tahun untuk memperluas tatalaksana,
yang terdiri dari sejumlah prinsip-prinsip, tujuan-tujuan dan unsur-unsur untuk
pelaksanaannya. Wakil dari anggota FAO, organisasi antar pemerintahan,
industri penangkapan ikan dan organisasi non pemerintah telah bekerja keras
untuk mencapai kesepakatan terhadap tatalaksana tersebut. Karena itu, ia
merupakan suatu hasil dari usaha berbagai kelompok yang berbeda yang terlibat
dalam perikanan dan akuakultur. Terkait dengan itu, Tatalaksana ini
mencerminkan kesepakatan atau perjanjian global dalam berbagai isu yang luas
dalam perikanan dan akuakultur.
Pemerintah, bersama–sama dengan industri dan komunitas perikanan,
mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan tatalaksana ini. Peran FAO
adalah memberikan dukungan teknis, namun ia tidak mempunyai tanggung
jawab langsung dalam pelaksanaannya karena FAO tidak mempunyai tanggung
jawab dalam pengembangan dan pelaksanaan kebijakan nasional perikanan,
peran ini ada pada pemerintah.
Pelaksanaan tatalaksana ini paling efektif dicapai bila pemerintah mampu
memuat prinsip-prinsip dan tujuan tatalaksana ke dalam kebijakan dan peraturan
perikanan nasional. Agar ada dukungan bagi kebijakan dan peraturan perikanan
tersebut, maka pemerintah harus mengambil langkah–langkah konsultasi dengan
industri dan kelompok-kelompok terkait untuk memperoleh dukungan dan
penataan mereka. Selain itu, pemerintah perlu mendorong komunitas dan
industri perikanan untuk membuat petunjuk praktis yang sejalan dengan dan
mendukung tujuan-tujuan tatalaksana. Petunjuk praktis ini merupakan salah satu
cara penting dalam memajukan pelaksanaan tatalaksana. Tujuan risalah ini
adalah untuk menggambarkan, secara nonteknis, beberapa aspek penting
tatalaksana. Diharapkan risalah ini dapat menimbulkan kesadaran masyarakat
akan pentingnya tujuan dan pentingnya tujuan dan sasaran tatalaksana dan
mendorong mereka untuk melaksanakannya dalam semua jenis perikanan, baik
skala kecil, menengah atau besar, dan akuakultur. Risalah ini tidak
menggantikan tatalaksana, tapi hanyalah mencoba menyediakan informasi
tentangnya.

141
Tatalaksana ini telah diterjemahkan oleh FAO ke dalam lima bahasa resmi PBB,
yaitu Arab, Cina, Inggris, Prancis dan Spanyol, disamping itu, pemerintah,
industri, dan organisasi lainnya telah membuat terjemahan tidak resmi ke dalam
berbagai bahasa antara lain: bahasa Albania, Kroasia, Estonia, Parsi, Jerman,
Islandia, Indonesia, Italia, Jepang, Polandia, Rusia, Sinhala, Slovenia, Thamil,
Thailand dan Tigrina.

LATAR BELAKANG

Untuk menjamin pasokan ikan sebaik mungkin untuk generasi mendatang,


Tatalaksana menekankan bahwa Negara–negara dan semua yang terlibat dalam
perikanan dan akuakultur harus bekerja sama untuk melestarikan dan mengelola
sumber daya ikan dan habitatnya. Semua orang yang terlibat dalam perikanan
harus berusaha untuk mempertahankan atau mengembalikan sediaan ikan ke
tingkat-tingkat yang mampu memproduksi hasil tangkapan dalam jumlah yang
layak baik sekarang maupun masa datang. Istilah hasil tangkapan lestari
kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan tingkat penangkapan tersebut.
Ini berarti bahwa kebijakan dan operasi penangkapan di suatu Negara harus
dirancang sedemikian untuk mencapai pemanfaatan lestari sumber daya ikan
sebagai salah satu cara penjaminan pelestarian sumberdaya, pasokan makanan
yang sinambung dan mengangkat kemiskinan komunitas perikanan.
Karena itu, tujuan sesungguhnya tatalaksana adalah untuk membantu
Negara–negara dan kelompok-kelompok negara–negara, membangun atau
memperbaiki perikanan dan akuakulturnya, untuk mencapai sasaran tersebut.
Telah dimengerti bahwa pengembangan kebijakan perikanan yang baik
memerlukan dana, kecakapan dan pengalaman yang mungkin tidak selalu
tersedia di negara–negara sedang berkembang, dan khususnya tidak tersedia
sama sekali di negara–negara yang sangat tidak berkembang dan negara–
negara pulau. Tatalaksana mendorong organisasi-organisasi internasional
seperti FAO untuk membantu negara–negara tersebut mengembangkan
kapasitas nasionalnya guna memperbaiki kemampuannya mengembangkan dan
mengelola perikanan dan akuakultur.
Tatalaksana menggambarkan bagaimana perikanan harus dikelola
secara bertanggung jawab dan bagaimana operasi penangkapan harus

142
dilaksanakan. Ia juga mengamanatkan pembangunan akuakultur, hubungan
antar perikanan dan aktivitas pesisir lainnya, dan pengolahan serta penjualan
hasil tangkapan. Pentingnya kerjasama antar negara dalam berbagai aspek juga
disoroti dalam tatalaksana.
Tatalaksana tidak menerangkan secara tepat bagaimana nelayan,
industri dan pemerintah harus mengambil langkah–langkah parsial yang
diperlukan untuk melaksanakan tatalaksana. Karena itu, FAO mengembangkan
sejumlah petunjuk teknis yang lebih rinci terhadap berbagai topik yang berbeda
untuk mendukung pelaksanaan tatalaksana. Petunjuk teknis tersebut
dimaksudkan untuk menyediakan petunjuk praktis dan teknis bagi nelayan,
industri dan pengelola perikanan sebagai langkah–langkah yang mungkin
diperlukan untuk memastikan bahwa tatalaksana dilaksanakan sebagaimana
dimaksudkan.

PENGOLAHAN PERIKANAN

Tatalaksana menganjurkan agar negara–negara mempunyai kebijakan


penangkapan ikan yang jelas dan rapih guna mengelola perikanan mereka.
Kebijakan ini harus dibangun melalui kerjasama dengan semua kelompok yang
berkepentingan dalam industri penangkapan ikan, pekerja, kelompok-kelompok
lingkungan dan organisasi kepentingan lainnya.
Manakala kerjasama antar negara dalam pengelolaan dan pelestarian
perikanan diperlukan karena sumber daya ikan dimanfaatkan bersama antar
negara, maka Tatalaksana menyarankan dibentuknya organisasi perikanan
regional yang baru atau yang telah ada diperkuat. Kerjasama seperti ini
merupakan satu-satunya pendekatan yang realistis untuk mencapai sasaran
jangka panjang yang telah dibahas pada bagian terdahulu dari risalah ini. Peran
organisasi perikanan regional banyak dibahas dalam bagian kerjasama
Internasional dan Regional dari risalah ini. Adalah penting bahwa seluruh industri
penangkapan ikan pada semua tingkatan beroperasi di dalam kerangka hukum
dan pengelolaan perikanan yang jelas sehingga setiap orang yang terlibat di
dalam perikanan mempunyai pengertian yang jelas mengenai aturan-aturan yang
harus diikuti.

143
Perikanan harus dikelola untuk memastikan bahwa penangkapan ikan dan
pengolahan ikan diselenggarakan dengan cara–cara yang meminimalkan
dampak negatif terhadapa lingkungan, mengurangi limbah, dan mengawetkan
mutu ikan yang ditangkap. Nelayan harus menyimpan catatan–catatan mengenai
operasi pe-nangkapannya. Pemerintah harus mempunyai hukum yang
ditegakkan dengan prosedur untuk menentukan dan menghukum pelanggarnya.
Hukuman bagi pelanggar dapat meliputi denda atau bahkan pencabutan izin
penangkapan bila pelanggarannya berat.
Dalam mengembangkan kebijakan perikanan, adalah penting untuk
mempertimbangkan sejumlah isu. Termasuk diantaranya adalah biaya dan
keuntungan dari penangkapan ikan, dan dampak penangkapan ikan terhadap
sosial dan lingkungan. Di dalam menyusun kebijakan tersebut, negara–negara
harus menggunakan informasi ilmiah yang paling baik yang ada, sambil
mempertimbangkan praktik–praktik dan pengetahuan penangkapan ikan
tradisional bila mungkin. Apabila informasi ilmiah tersebut tidak ada, negara–
negara harus lebih hati–hati dalam membuat batas–batas penangkapan ikan.
Semua orang dan organisasi yang peduli dengan penangkapan ikan
harus di dorong untuk berbagi pandangan dan pendapat terhadap isu–isu
penangkapan ikan. Perhatian khusus harus diberikan terhadap kebutuhan
penduduk setempat yang mata pencahariannya bergantung kepada perikanan.
Negara–negara harus berusaha mendidik dan melatih nelayan dan pembudidaya
ikan sehingga mereka dapat terlibat dalam membangun dan melaksanakan
kebijakan untuk menjamin keberlanjutan perikanan kini dan masa datang. Untuk
melindungi sumberdaya ikan, pengeboman (dengan dinamit), peracunan dan
praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak harus dilarang di semua negara.
Negara–negara harus memastikan bahwa hanya kapal penangkap ikan
berizinlah yang menangkap ikan diperairannya. Penangkapan ikan tersebut
haruslah dilaksanakan dengan cara yang bertanggung jawab dan sesuai dengan
setiap aturan, regulasi atau hukum yang dapat diterapkan oleh suatu Negara.
Untuk mencegah lebih tangkap (menangkap ikan begitu banyak sehingga
sediaan ikan menurun di masa datang), armada penangkap ikan harus tidak
boleh terlalu besar bagi pasokan alami ikan, selain itu dampak alat tangkap ikan
terhadap lingkungan (dampak terhadap terumbu karang, misalnya) harus
dipahami sebelum menggunakan alat tangkap baru. Cara dan alat penangkapan

144
ikan harus selektif dan dirancang untuk meminimalkan limbah dan
mengupayakan tingginya lintasan ikan yang lepas. Alat tangkap harus juga
meminimalkan penangkapan ikan yang tidak dikehendaki (non target atau
tangkapan samping), atau yang terancam punah. Alat dan cara penangkapan
ikan yang tidak selektif atau menyebabkan tingginya jumlah limbah harus
disingkirkan.
Pasokan untuk kapal harus diadakan dengan meminimalkan limbah dan
sampah. Pemilik dan anak buah kapal penangkap ikan harus memastikan bahwa
pembuangan limbah tidak menyebabkan polusi. Untuk melindungi kualitas udara,
negara–negara harus mengadopsi petunjuk-petunjuk yang bertujuan untuk
mengurangi pelepasan gas-gas buang yang berbahaya dan pelepasan substansi
yang menipiskan lapisan ozon yang terdapat di dalam sistem pendinginan dalam
beberapa jenis kapal. Substansi-substansi seperti ini harus disingkirkan.
Habitat-habitat ikan penting seperti rawa, mangrove, karang dan laguna
harus dilindungi dari kerusakan dan polusi. Apabila bencana alam
membahayakan sumber daya perikanan, negara–negara harus bersiap untuk
mengambil Langkah–langkah pengelolaan dan pelestarian darurat bila perlu.

NEGARA–NEGARA BENDERA
Negara–negara yang mempunyai kapal-kapal penangkap ikan yang
menangkap ikan di luar perairannya mempunyai tanggung jawab untuk
memastikan bahwa kapal-kapal tersebut mempunyai sertififkat-sertifikat yang
diperlukan, dan diizinkan untuk menangkap ikan. Negara–negara harus
menyimpan catatan-catatan rinci tentang kapal-kapal tersebut yang menangkap
ikan di luar perairan negaranya.
Negara–negara bendera (yaitu negara–negara yang mengeluarkan
sebuah bendera bagi sebuah kapal penangkap ikan), juga harus memastikan
bahwa kapal-kapal mereka aman dan diasuransikan terlebih lagi, kapal-kapal
dan alat penangkap ikan harus ditandai dengan tepat, sesuai dengan aturan
nasional dan atau internasional. Keterangan mengenai kecelakaan yang
melibatkan bangsa asing harus dilaporkan kepada pemerintahnya.

145
NEGARA–NEGARA PELABUHAN

Negara–negara harus mengambil langkah–langkah, seperti menginspeksi


kapal penangkap ikan asing manakala kapal tersebut memasuki pelabuhannya,
kecuali dalam kasus-kasus kapal tersebut memasuki pelabuhan dalam situasi
darurat, untuk memastikan bahwa kapal tersebut telah menangkap ikan dengan
cara bertanggung jawab negara–negara pelabuhan harus bekerjasama dengan
Negara tempat kapal itu tercatat (negara bendera) bila negara bendera tersebut
mengharapkan bantuan untuk memeriksa kemungkinan pelanggaran oleh kapal-
kapalnya.
Pelabuhan dan tempat-tempat pendaratan harus merupakan tempat
berlindung yang aman untuk kapal penangkap ikan. Tempat-tempat ini harus
mempunyai fasilitas untuk melayani kapal-kapal, pedagang dan pembeli ikan,
pasokan air tawar, pengaturan sanitasi dan sistem pembuangan limbah juga
harus disediakan.

PEMBANGUNAN AKUAKULTUR

Sebagai sasaran utamanya, pembangunan akuakultur harus melestarikan


keanekaragaman genetic dan meminimalkan akibat-akibat ikan budidaya
terhadap populasi ikan liar, seraya meningkatkan pasokan ikan untuk konsumsi
manusia.
Sumber daya seperti air, teluk atau tanah terkadang digunakan oleh lebih
dari satu pengguna atau berpotensi untuk digunakan untuk berbagai keperluan.
Untuk menghindari perselisihan dan pertentangan antara pengguna yang
berbeda dari sumber daya itu, negara–negara harus mempunyai kebijakan dan
rencana-rencana untuk memastikan bahwa sumber daya digunakan dan
dialokasikan secara adil.
Negara–negara harus mengambil langkah–langkah untuk me-mastikan
bahwa penghasilan komunitas setempat, termasuk akses terhadap, dan
produktifitas dari daerah penangkapan ikan tidak terpengaruh secara negatif oleh
pembangunan akuakultur. Prosedur untuk memantau dan menilai pengaruh
lingkungan dari akuakultur harus disiapkan. Selain itu, kehati–hatian harus

146
diambil dalam memantau jenis pakan dan pupuk yang digunakan dalam
pembudidayaan ikan.
Pengunaan obat–obatan dan bahan kimia pengendali penyakit harus
sesedikit mungkin karena mereka dapat menyebabkan dampak negatif yang
signifikan terhadap lingkungan. Ini juga sangat penting bagi penjaminan
keamanan dan kualitas produk akuakultur.
Apabila akibat pembudidayaan ikan melampaui batas perairan suatu
negara, negara–negara harus berkonsultasi dengan negara–negara tetangganya
sebelum mengintroduksikan spesies ikan yang tidak asli untuk di budidayakan.
Untuk meminimalkan penyakit dari spesies baru, negara–negara harus membuat
suatu kode praktik atau prilaku untuk mengintroduksikan atau mentransfer hewan
dan tanaman air dari satu tempat ke tempat lain. Di dalam merencanakan suatu
proyek akuakultur, teknik–teknik harus dibuat oleh negara–negara dan industri
untuk mengembalikan atau meninkatkan pasokan spesies yang terancam
kepunahan (yaitu spesies yang akan punah bila tindakan koreksi tidak segera
diambil).

INTEGRASI PERIKANAN KE DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

Di dalam memutuskan bagaimana sumber daya pesisir (misalnya air,


tanah dsb) harus dimanfaatkan atau diakses, orang-orang, termasuk nelayan
yang hidup di wilayah itu, dan cara hidupnya, harus dipertimbangkan, dan
pendapat mereka diikutkan dalam proses perencanaan.
Apabila zona pesisir mempunyai multi guna, praktik-praktik perikanan
harus diselenggarakan untuk mencegah pertentangan antar nelayan dan
pengguna lain atau bila perselisihan muncul diselesaikan dengan prosedur yang
telah ditentukan dan adil. Selain itu, negara–negara yang bertetangga dengan
zona pesisir harus saling bekerjasama untuk memastikan agar sumber daya
pesisir dilestarikan dan dikelola dengan baik.

PRAKTEK–PRAKTEK PASCA PANEN DAN TANGGUNG JAWAB


PERDAGANGAN

147
Negara–negara harus mendorong rakyatnya untuk makan ikan dan harus
memastikan bahwa ikan dan produk perikanan adalah aman dan sehat. Standar-
standar untuk kualitas ikan yang dapat disupervisikan dan ditegakkan oleh
pemerintah harus dibuat untuk melindungi kesehatan konsumen dan mencegah
kecurangan komersial (misalnya dengan memberi informasi yang salah kepada
konsumen tentang ikan yang ditawarkan). Terlebih lagi, negara–negara harus
bekerja sama dalam membuat langkah saniter bersama dan program sertifikasi.
Cara–cara pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan ikan harus ramah
lingkungan (cara–cara ini harus tidak mempunyai pengaruh buruk terhadap
lingkungan). Susut lepas panen dan limbah sesudah ikan ditangkap harus
minimal, hasil tangkapan samping (tangkapan yang sebenarnya tidak
dikehendaki nelayan), harus dimanfaatkan sebanyak mungkin, dan air serta
energi, dan kayu, pada khususnya, dalam pengolahan ikan harus dikelola secara
hati–hati. Bila mungkin, produksi produk–produk bernilai lebih tinggi atau yang
telah diolah harus didorong karena produk–produk semacam ini biasanya
membawa harga yang lebih tinggi bagi nelayan.
Hukum–hukum perdagangan yang mengatur ikan dan produk ikan harus
dibuat sederhana, jelas dan konsisten dengan aturan internasional. Nelayan,
organisasi lingkungan kelompok-kelompok konsumen harus dikonsultasi
manakalan–negara secara periodik merumuskan dan meninjau ulang regulasi
dan hukum perdagangan mereka. Apabila regulasi dan hukum suatu negara
dibuat atau diubah, negara–negara lain harus diberitahu dan diberi waktu untuk
mengintroduksikan perubahan– perubahan yang diperlukan dalam prosedur
impor maupun ekspor mereka.
Adalah penting bahwa perdagangan internasional tidak meliputi ikan yang
diambil dari sediaan yang hampir habis (sediaan ikan yang sudah ditangkap
terlalu banyak), dan negara–negara bekerjasama di dalam mematuhi perjanjian–
perjanjian inter-nasional yang mengatur perdagangan spesies yang terancam
punah. Terlebih lagi, perdagangan ikan dan produk ikan tidak boleh
mengabaikan pelestarian dan pemanfaatan perikanan secara berkelanjutan,
aspek–aspek sosial dan pemasaran perikanan.
PENELITIAN PERIKANAN

148
Negara–negara harus menyadari bahwa kebijakan perikanan yang
bertanggung jawab memerlukan dasar ilmiah yang mapan. Karena itu, negara–
negara harus menyediakan fasilitas penelitian dan mendorong pelatihan bagi
bagi teknisi muda. Organisasi internasional dan teknis harus menyokong
negara–negara dalam upaya-upaya penelitian, mencurahkan perhatian khusus
bagi keperluan negara–negara yang kurang berkembang dan negara–negara
pulau kecil yang sedang berkembang.
Untuk melaksanakan penelitian, negara–negara harus memantau
kondisi–kondisi ikan dan habitatnya dan mengamati setiap perubahan yang
terjadi terhadap kondisi tersebut. Data mengenai pengaruh berbagai jenis alat
tangkap yang berbeda terhadap populasi ikan target dan lingkungan secara
umum harus dikumpulkan. Penelitian ini sangat penting khususnya apabila suatu
negara berencana untuk mengintroduksikan secara komersial teknik–teknik atau
alat penangkapan ikan yang baru.
Negara–negara harus bergabung bersama-sama dalam upaya-upaya
penelitian internasional. Manakala penelitian dilaksanakan di perairan negara
lain, maka adalah penting bagi para peneliti untuk mentaati regulasi
penangkapan ikan di negara tersebut. Penangkapan ikan dan informasi ilmiah
yang mendukungnya harus disediakan bagi organisasi perikanan regional dan
disebarkan kepada negara–negara yang berminat sesegera mungkin.

KERJASAMA REGIONAL DAN INTERNASIONAL

Sangat jelas bahwa negara–negara dan organisasi-organisasi perikanan


regional harus bekerja sama dalam berbagai hal menyangkut perikanan.
Langkah–langkah pengelolaan yang diambil oleh suatu negara harus sesuai
dengan langkah–langkah sejenis yang dilakukan oleh negara lain, teristimewa
bila mereka menangkap ikan dari sediaan yang sama. Terlebih lagi, kerjasama
melalui lembaga-lembaga regional akan mengurangi kemungkinan terjadinya
perselisihan antar negara. Tapi bila memang terjadi perselisihan, maka segala
upaya harus diambil untuk menye-lesaikannya secara damai dan sesegera
mungkin.
Organisasi-organisasi perikanan regional harus bertujuan untuk menarik biaya
pelestarian, pengelolaan dan kegiatan penelitian dari para anggotanya. Selain itu

149
wakil–wakil dari organisasi organisasi nelayan lokal harus diperbolehkan
berpartisipasi di dalam karya organisasi–organisasi perikanan regional.

3. Refleksi
Sebagai suatu sumber daya yang terbarukan, ikan dapat di panen dari
tahun ke tahun bila negara–negara mempunyai kebijakan benar yang berjalan
dan bila penangkapan ikan dan praktek-praktek pemanfaatan secara
bertanggung jawab diikuti. Demikian juga halnya dengan akuakultur,
pembudidayaan ikan yang tidak membahayakan lingkungan harus dimajukan
karena jenis pembudidayaan seperti ini akan membuat sumbangan-sumbangan
ekonomi dan sosial yang penting terhadap komunitas pembudidayaan dan
ekonomi Negara mereka. Bila tatalaksana untuk perikanan yang bertanggung
jawab ini berhasil dilaksanakan oleh semua yang terlibat dalam perikanan dan
akuakultur, maka diharapkan ikan dan produk perikanan akan tersedia untuk
dikonsumsi oleh generasi kini dan mendatang. Pada kenyataannya, generasi kini
sebenarnya mempunyai kewajiban moral untuk memastikan bahwa mereka tidak
mengurangi pasokan ikan yang tersedia bagi generasi mendatang dengan
pemanfaatan yang ceroboh dan berlebihan pada hari ini.
Tatalaksana untuk perikanan yang bertanggung jawab mendesak
Negara–negara dan warganegaranya untuk melaksanakan kebijakan–kebijakan
yang menyeluruh dan terpadu di sektor perikanan sehingga akan menjadi suatu
sektor yang lebih sehat dan kuat. Dalam jangka panjang, tabiat yang
bertanggung jawab itu akan memberikan hasil yang baik dalam hal status
sediaan ikan yang semakin baik, kontribusi yang lebih handal kepada ketahanan
pangan dan peluang penghasilan yang berlanjut.
Bila semua bangsa di dunia bersatu menuju praktik-praktik penangkapan
ikan yang bertanggung jawab, tentu akan tersedia cukup pasokan ikan bagi
banyak generasi mendatang. Depatemen Perikanan, FAO berharap kiranya
risalah ini informatif bagi anda dan berharap anda dapat ikut dalam memastikan
bahwa perikanan dan akuakultur dunia dibangun dan dikelola secara
bertanggung jawab.

150
D. AKTIFITAS PEMBELAJARAN
Aktifitas pembelajaran pada modul Tata laksana perikanan yang bertanggung
jawab adalah:
1. Buatlah beberapa kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 5 orang

2. Setiap kelompok mencari informasi tentang:


Apakah tatalaksana perikanan yang bertanggung jawab itu, Sifat dan ruang
lingkup tata Laksana Perikanan, tujuan tatalaksana, pengelolaan perikanan
dan tujuannnya, operasi penangkapan, selektifitas alat tangkap,
pembangunan akuakultur, penelitian perikanan, latar belakang asal mula
dan perluasan tatalaksana,
3. Diskusikan hasil informasi yang diperoleh.
4. Lakukan analisis tentang Pentingnya Tatalaksana Perikanan Yang
Bertanggung Jawab.
5. Buatlah konsep rekomendasi/laporan hasil diskusi dengan kelompokmu
tentang Peraturan Perikanan.

E. LATIHAN/KASUS/TUGAS
1. Apakah tatalaksana perikanan yang bertanggung jawab itu ?
2. Mengapa tata laksana dikatakan bersifat sukarela
3. Diskusikan tujuan dan sasaran dari tatalaksana
4. Jelaskan asa umum dari tatalaksana
5. Apa tujuan pengelolaan perikanan dalam tatalaksana dan jelaskan langkah-
langkah pengelolaan perikanan
6. Apa kewajiban negara berbendera kapal, kewajiban negara pelabuhan dan
operasi penangkapan.
7. Jelaskan selektivitas alat penangkap ikan
8. Diskusikan latar belakang asal mula dan perluasan tatalaksana

151
F. RANGKUMAN

1. Tata Laksana berisfat sukarela akan tetapi dibagian tertentu didasarkan


pada aturan hukum international yang relevan. Tata laksana juga memuat
ketentuan yang mengikat dan perangkat hukum lain yang bersifat obligatori
diantara pihak-pihak.
2. Bahwa tatalaksana dan pemeliharaaan habitat sumberdaya laut dapat
dilaksanakan apabila keterlibatan Pihak pemerintah sebagai pembuat dan
pelaku undang-undang dan hukum, Ketersediaan sarana dan prasarana
yang dibutuhkan, Nelayan dan pengusaha sebagai pengguna atau yang
memanfaatkan melakukan prosedur sistem yang telah ditetapkan.
3. Dalam Tata Laksana Perikanan yang bertanggung jawab memuat Perikanan
(termasuk pengelolaan, penangkapan, pengolahan dan pemasaran sediaan
ikan) dan akuakultur (budidaya ikan) merupakan penyedia pasokan
makanan, lapangan kerja, pendapatan dan rekreasi bagi banyak orang di
dunia. Diharapkan kepada publik yang terlibat dalam penangkapan agar
melestarikan dan mengelola perikanan dengan baik.
4. Tatalaksana menganjurkan agar negara–negara mempunyai kebijakan
penangkapan ikan yang jelas dan rapih guna mengelola perikanan mereka.
Kebijakan ini harus dibangun melalui kerjasama dengan semua kelompok
yang berkepentingan dalam industri penangkapan ikan, pekerja, kelompok-
kelompok lingkungan dan organisasi kepentingan lainnya.

G. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT


Pilihlah jawaban yang paling tepat dengan memberikan tanda silang (X)
pada huruf A, B, C dan D.
1. Meningkatkan kontribusi perikanan bagi ketahanan pangan dan mutu
pangan, memberikan prioritas untuk kebutuhan gizi komunitas lokal,
merupakan salah satu dari:
a. pengertian tatalaksana
b. tujuan tatalaksana
c. sifat tatalaksana
d. ruang lingkup tatalaksana.

152
2. Tatalaksana ini diberlakukan sesuai dengan aturan hukum internasional
yang relevan dalam konvensi PBB tentang hukum laut pada
tanggal...............
a. 10 Desember 1982
b. 10 Oktober 1982
c. 20 Desember 1982
d. 20 Oktober 1982
3. Yang berhak untuk memantau aplikasi dan pelaksanaan dari tatalaksana
adalah:
a. ILO b. UN c. ITO d. FAO
4. Pengelolaan perikanan harus memajukan pemeliharaan mengenai:
a. produksi perikanan
b. pemasaran perikanan
c. mutu ikan
d. penangkapan ikan
5. Salah satu azas umum dalam tatalaksana untuk perikanan yang bertanggung
jawab adalah:
a. negara harus mencegah penangkapan yang melebihi kapasitas.
b. negara diizinkan mensubsidi aktivitas penangkapan ikan nelayannya
c. negara melarang penangkapan ikan nelayan asing di ZEE
d. negara mengizin alat tangkap yang “efektif” digunakan diseluruh area
perairannya.
6. Negara harus menjamin bahwa tingkat upaya penangkapan ikan sepadan
dengan:
a. pemanfaatan sumber daya ikan yang lestari
b. pemanfaatan sumber daya ikan yang maksimum
c. pemanfaatan sumber daya ikan yang over fishing
d. pemanfaatan sumber daya yang terdeplesi
7. Kepentingan para nelayan termasuk mereka yang terlibat dalam perikanan
subsistem, perikanan skala kecil dan perikanan artisanal harus diperhatikan
merupakan salah satu tujuan dari..........................
a. pengelolaan perikanan
b. langkah – langkah tujuan pengelolaan
c. pengelolaan perikanan umum

153
d. azas umum perikanan
8. Salah satu cara untuk para nelayan agar beroperasi dalam kondisi ekonomi
yang mendorong perikanan yang bertanggung jawab adalah.......................
a. memberikan kebebasan untuk menangkap ikan sebebas – bebasnya.
b. memberikan kebebasan untuk menggunakan alat tangkap yang diinginkan
nelayan.
c. memberikan larangan untuk penangkapan dan penggunaan alat
penangkap
ikan jenis apapun.
d. bila terjadi penangkapan ikan yang melebihi kapasitas harus ditetapkan
mekanisme untuk mengurangi kapasitas tingkat yang sepadan dengan
pemanfaatan lestari sumber daya perikanan
9. Negara harus memelihara catatan tentang otorisasi penangkapan ikan yang
diterbitkan dan dimutakhirkan pada selang waktu tertentu, merupakan salah
satu dari..............
a. operasi penangkapan ikan.
b. kewajiban semua Negara
c. kewajiban negara bendera kapal
d. kewajiban Negara pelabuhan
10. Alat penangkap ikan harus diberi tanda sesuai dengan peraturan
perundang – undangan nasional supaya pemilik dari alat tangkap itu dapat
diidentifikasi, merupakan kewajiban............
a. kewajiban semua negara
b. kewajiban negara bendera kapal
c. kewajiban negara pelabuhan
d. kewajiban kapal lokal
11. Salah satu kewajiban negara pelabuhan adalah.........
a. menjamin para ABK berhak untuk pemulangan.
b. memelihara dokumen menyangkut para nelayan.
c. memberi bantuan untuk mencegah pencemaran dan untuk keselamatan
d. Mempermudah akses penanggungan asuransi untuk para pemilik dan
penyewa kapal penangkap ikan
12. Negara harus memastikan bahwa panangkapan ikan dilakukan dengan
memperhatikan..........

154
a. keselamatan hidup manusia
b. pemenuhan pasar internasional
c. pemasukan devisa
d. kebutuhan pasar dengan nilai tertinggi
13. Negara mensyaratkan selektifitas alat penangkap ikan yang bertujuan
untuk....
a. meminimumkan limbah dan ikan buangan
b. memaksimalkan ikan buangan
c. untuk memaksimalkan ikan hasil tangkapan
d. untuk mengurangi hasil tangkapan
14. Perlindungan lingkungan akuatik bagi pencegahan pencemaran dari kapal
ditetapkan dalam MARPOL..................
a. 73/76 b. 76/83 c. 73/78 d. 83/87
15. Yang harus diperhatikan dalam rancangan dan kontruksi pelabuhan dan
pendaratan ikan adalah....................
a. tempat berlindung bagi kapal penangkap ikan
b. berada dalam kepulauan
c. sistem pembuangan limbah terhubung ke laut
d. bercampurnya kapal moderen dan tradisional
16. Negara harus mengembangkan kebijakan untuk meningkatkan populasi stok
dengan cara......................
a. menelantarkan kerangka bangunan kapal
b. terumbu buatan dan kerangka buatan
c. invasi ke area perikanan lain
d. meningkatkan hasil tangkapan ikan non komersial
17. Langkah – langkah kebijakan dalam pengelolaan kawasan pesisir meliputi
antara lain kecuali..................
a. kesadaran publik untuk perlunya perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya perikanan.
b. membantu mengambil keputusan mengenai alokasi dan pemanfaatan
sumberdaya perikanan
c. menyediakan informasi yang tepat waktu.
d. memperhatikan resiko dan ketidak pastian dalam penetapan
kebijaksanaan bagi pengelolaan kawasan pesisir.

155
18. Pemanfaatan ikan yang bertanggung jawab bermanfaat untuk.............
a. menjamin hak para konsumen ikan
b. keuntungan nelayan semata
c. keuntungan pemilik kapal semata
d. keuntungan negara
19. Negara harus mendorong mereka yang terlibat dalam pengelola, distribusi
dan pemasaran ikan agar:
a. mengurangi susut dan limbah pasca panen ikan
b. memberikan informasi sedini mungkin
c. partisipasi aktif pembudidayaan ikan
d. seleksi dan pemanfaatan pakan
20. Langkah – langkah perdagangan internasional yang bertanggung jawab
dalam dunia perikanan adalah..........
a. tidak boleh mengancam pembangunan perikanan
b. manajemen yang tertutup
c. harga terserah pasar
d. berlaku politik dumping
21. Penelitian perikanan tepat guna yang mencakup semua aspek perikanan
termasuk:
a. biologi, Ekologi, Teknologi, Ekonomi
b. ilmu pengetahuan lingkungan, Ilmu pengetahuan social
c. akuakultur, ilmu pengetahuan gizi
d. A, B dan C benar
22. Perubahan ekosistem stok ikan yang diakibatkan oleh..........
a. penelitian
b. tekanan penangkapan
c. perdagangan
d. pengolahan.
23. Negara pelabuhan tidak boleh ……. dari negara lain.
a. memberi izin kapal
b. membeda – bedakan kapal
c. membantu
d. memfasilitasi
24. Negara harus melarang melakukan ……

156
a. penangkapan ikan
b. menjaring ikan
c. menggunakan bahan peledak
d. menggunakan perangkap
25. Negara lain mendapat izin operasi penangkapan ikan diperairan.......
a. yurisdiksi
b. ekonomi
c. eksklusif
d. intrusial
26. Negara harus memastikan bahwa tingkat penangkapan yang diizinkan
sepadan dengan status sumber daya perikanan memerlukan langkah –
langkah........
a. pengelolaan
b. pengaturan
c. pemanfaatan
d. penerimaan
27. Pengelolaan perikanan harus peduli terhadap seluruh unit stok supaya…...
a. efektif
b. baik
c. efesien
d. rata

28. Yang dimaksud dengan managemen Franework adalah.........


a. kerangka
b. kerangka aturan
c. kerangka kerja
d. prosedur
29. Stok ikan menipis dibiarkan pulih atau jika perlu dipulihkan secara aktif
merupakan tujuan….
a. pengelolaan
b. pengaturan
c. pemanfaatan
d. penerimaan

157
30. Menggiatkan pengembangan dan alih teknologi merupakan....................
a. optimisasi energi
b. disersifikasi energi
c. modifikasi energi
d. pesimisi energi

Cocokkanlah jawaban anda dengan kunci jawaban yang terdapat pada bagian
akhir dari Buku Materi Pokok ini. Hitunglah jumlah jawaban anda yang benar,
kemudian gunakanlah rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan
anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1 ini.

Rumus :

Jumlah Jawaban Anda yang benar


Tingkat Penguasaan = X 100 %
7

Arti tingkat penguasaan yang anda capai :


90 % - 100 % : Baik sekali
80 % - 89 % : Baik
70 % - 79 % : Cukup
 69 % : Kurang

Bila tingkat penguasaan anda mencapai 80 % ke atas, anda dapat


meneruskan ke kegiatan belajar berikutnya. Bagus, tetapi apabila nilai yang
anda capai di bawah 80 %, anda harus mengulangi Kegiatan Belajar 1,
terutama pada bagian yang belum anda kuasai.

158
H. KUNCI JAWABAN

1. B 11. C 21. D
2. A 12. A 22. B
3. D 13. A 23. B
4. C 14. C 24. C
5. A 15. D 25. A
6. A 16. B 26. A
7. B 17. C 27. A
8. D 18. A 28. C
9. B 19. A 29. A
10. B 20. C 30. A

159
160
161
162
PENCEGAHAN POLUSI LINGKUNGAN LAUT

DESKRIPSI PEMBELAJARAN

Dampak perkembangan teknologi yang sangat pesat sejak abad XVIII


hingga kini adalah semakin tercemarnya lingkungan kehidupan manusia
diseluruh dunia, baik diudara, permukaan tanah dan laut, termasuk semua
kehidupan didalamnya. Gas buang dari mesin-mesin industri berupa CO dan
CO2, serta gas-gas berbahaya lain telah menciptakan efek rumah kaca. Akibat
ini, ozon yang melindungi atmosfir bumi rusak dan mengancam kelangsungan
hidup manusia. Gas-gas ini tidak akan berkurang selama manusia masih bisa
menggunakan bahan bakar minyak. Minyak yang tumpah dilaut akibat
pengoperasian kapal, akan membunuh biota laut. Zat-zat beracun yang dibuang
dan ditanam didalam tanahpun merusak ekosistem.

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari materi pencemaran polusi lingkungan laut, peserta
diklat diharapkan dapat memahami :
a. Sumber-sumber pencemaran di laut
b. Tujuan dari marpol 73/78
c. cara penanggulangan Pencemaran Lingkungan Laut.
d. mengoperasikan peralatan pencegah pencemaran sesuai prosedur.
e. mampu melaksanakan perawatan peralatan Pencegah pencemaran.

B. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI


Indikator pencapaian kompetensi pada modul pencemaran polusi
lingkungan laut, peserta diklat diharapkan dapat memahami peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan sumber-sumber pencemaran di laut, tujuan dari marpol
73/78, cara penanggulangan pencemaran lingkungan laut, mengoperasikan
peralatan pencegahan pencemaran sesuai prosedur, melakukan perawatan
perlatan pencegah pencemaran di laut.

163
C. URAIAN MATERI

Laut adalah sumber kehidupan manusia yang sangat penting dimana


bukan saja tersimpan kekayaan dan sumber daya alam yang besar, tetapi juga
biota yang ada didalamnya. Fungsi laut adalah:
a) Tempat berkembang biaknya binatang laut dan tumbuh-tumbuhan laut
(marine resources)
b) Tempat pariwisata dan olahraga laut
c) Lalu lintas transportasi laut
d) Lokasi pertambangan
e) Sumber energi dan lain-lain

Sebenarnya masalah ini sudah mulai disadari sejak awal abad XX,
sehingga IMO (Internationaal Maritime Organization), setelah melalui berbagai
konvensi, pada tahun 1973 mengeluarkan peraturan yang harus diikuti oleh
semua kapal yang menyimpan dan menggunakan bahan bakar minyak dan
sejenisnya, dan kapal yang mengangkut barang-barang berbahaya dan beracun.
Peraturan yang kemudian disebut MARPOL ini diharapkan mampu
menghilangkan dampak polusi dari kapal, paling tidak menguranginya. Peraturan
ini kemudian diamandemen pada tahun 1978, sehingga peraturan ini selanjutnya
disebut MARPOL 73/78.
Peraturan inilah yang harus diketahui dan diterapkan oleh semua kapal,
dalam hal ini oleh nakhoda dan seluruh awak kapalnya. Dan sebagai calon
perwira dikapal-kapal niaga, merekapun wajib mengetahuinya, dan diharapkan
akan mampu menerapkannya di kemudian hari.
Adapun tujuan MARPOL 73/78 secara garis besar adalah untuk :
a. Mencegah terjadinya kontaminasi lingkungan laut dari bahan yang merugikan
yang berasal dari kapal
b. Melokalisir buangan bahan-bahan yang merugikan, sengaja atau tidak,
sehingga tidak meluas ke wilayah yang lebih besar
c. Menyusun aturan dan prosedur dalam pelaksanaan pencegahan pencemaran
agar dapat diterapkan oleh semua pihak yang berkepentingan.

164
Adalah tanggung jawab kita semua untuk tetap melestarikan laut dan segenap
isinya, demi kelangsungan hidup generasi mendatang. Dengan semakin
terkurasnya sumber daya alam didaratan, pada akhirnya kita harus
mengandalkan sumber kehidupan kita dilaut.

Gambar . Tumpahan Minyak dari Kapal

Tabel 2. Definisi-definisi berkaitan dengan Pencemaran di laut

No. Istilah Keterangan


1 Bahan Bakar Minyak Semua jenis minyak yang digunakan
(Fuel Oil) sebagai bahan bakar mesin-mesin kapal
dimana minyak tersebut diangkut atau
dibawa kapal.
2 Balas Bersih (Clean Balas didalam tangki kapal tanker, yang
Ballast) sejak terakhir diangkut telah dianggap
bersih, yang jika dibuang kelaut pada saat
air tenang dan hari cerah tidak nampak

165
tanda-tanda minyak tumpah dipermukaan air
atau pada garis pantai. Air balas ini tidak
menimbulkan limbah atau emulsi yang
terjadi dibawah permukaan air atau garis
pantai. Dalam pembuangan ke laut, harus
melalui sistem pengontrolan dan monitoring,
dengan kandungan minyak didalam air balas
ini tidak melebihi 15 ppm.
3 Balas Dedikasi Balas bersih yang diangkut dalam tangki
(Dedicated Ballast) muatan yang “dikorbankan”, dimana tangki
tersebut dapat digunakan lagi untuk
mengangkut muatan dengan menggunakan
pompa dan saluran yang sama dengan yang
digunakan untuk muatan biasa.
4 Balas Kotor (Dirty Air balas yang bukan balas bersih
Ballast)
5 Balas Tambahan Air balas yang diangkut kapal minyak
(Additional Ballast) (tanker) didalam tangki-tangki muatan yang
dibangun dengan ABT (Segregated Ballast
Tank) didalam suatu pelayaran dimana
kondisi cuaca sangat buruk, dan menurut
pertimbangan nakhoda, perlu diisi dengan
air balas tambahan didalam tangki muatan,
demi keselamatan kapal. Air balas ini
biasanya air balas kotor.
6 Balas Terpisah Air balas yang diisikan kedalam tangki yang
(Segregated Ballast) benar-benar terpisah dengan muatan
minyak dan sistem bahan bakar kapal, yang
secara permanen dibangun dan
dimaksudkan khusus untuk mengangkut
balas, atau muatan-muatan lain yang
berbahaya atau beracun.
7 COW Crude Oil Washing, sistem pembersihan

166
tangki minyak mentah yang harus diikuti
oleh semua kapal pengangkut minyak
mentah
8 Campuran Berminyak Zat cair campuran yang mengandung atau
(Oily Mixture) tercampur dengan minyak
9 Daerah Khusus Wilayah laut yang secara geografis sudah
(Special Area) diakui dan disyahkan oleh IMO sebagai
wilayah atau daerah khusus dimana
pembuangan air berminyak atau sampah-
sampah laut dari kapal tidak diijinkan.
10 Daratan/Pantai Adalah terdekat kapal ke wilayah teritori laut
Terdekat yang sudah diakui menurut hukum laut,
kecuali di wilayah timur laut Australia, yang
berarti jarak terdekat kapal dengan garis-
garis tertentu yang sudah ditetapkan.
IMO International Maritime Organization, yaitu
organisasi maritim internasional dibawah
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang
khusus menangani masalah maritim / laut.
11 Kapal Barang Muatan Kapal yang dibangun untuk mengangkut
Kering (Dry Cargo muatan umum yang bukan zat cair.
Ship)
12 Kapal Baru (New Ship) Kapal yang kontrak pembangunannya sudah
ditanda-tangani pada tanggal 31 Desember
1975 atau sesudahnya, atau jika tidak ada
kontrak dalam pembangunannya, perletakan
lunas atau tahapan pembangunannya sudah
dilakukan pada tanggal 30 Juni 1976 atau
sesudahnya.
13 Kapal Lama (Existing Kapal yang bukan kapal baru
Ship)
14 Kapal Minyak Lama Kapal pengangkut minyak yang bukan kapal
(Existing Tanker) minyak (tanker) baru.

167
15 Kapal Pengangkut Kapal yang dibangun khusus untuk
Bahan Kimia (Chemical mengangkut muatan bahan kimia dalam
Tanker) bentuk cair.
16 Kapal Pengangkut Kapal yang dibangun khusus untuk
Curah Cair (Liquied mengangkut muatan curah berbentuk cair.
Bulk Carrier) Kapal pengangkut minyak (tanker) termasuk
jenis kapal ini.
17 Kapal Pengangkut Kapal yang dibangun khusus untuk
Curah Kering (Dry Bulk mengangkut muatan curah berbentuk padat.
Carrier) Kapal pengangkut biji-bijian, batu
bara,gandum dll., termasuk jenis kapal ini.
18 Kapal Pengangkut Kapal yang dibangun khusus untuk
Minyak Mentah (Crude mengangkut minyak mentah (crude oil)
Oil Carrier)
19 Kapal Tangki (Tanker) Kapal yang dibangun khusus untuk
mengangkut minyak
20 Kapal Tangki Minyak New Tanker Ship, yaitu kapal yang kontrak
Baru pembangunannya dilakukan pada dans
esudah 1 Juni 1979, atau jika tidak ada
kontrak, peletakan lunasnya sudah
dilakukan pada atau sesudah 1 Januari
1982, atau sudah diserahkan ke pemiliknya
sesudah tanggal 1 Juni 1982, atau kapal
lama yang sudah dimodifikasi atau dilakukan
perubahan sesudah tanggal tersebut.
21 Konvensi IMO Hasil sidang IMO
22 MARPOL 73/78 Maritime Pollution, yang merupakan
konvensi IMO tahun 1973 dan yang sudah
ditambah sesuai hasil sidan IMO tahun
1978.
23 Meneruskan pelayaran Pelayaran yang sedang dilakukan oleh
(Proceeding voyage) sebuah kapal melalui perairan sesuai haluan
yang biasanya dilakukan oleh kapal

168
tersebut.
24 Mil (mile) Ukuran jarak dilaut, dimana 1 kil = 1852
meter
25 Minyak (Oil) Minyak yang diambil dari dalam tanah dalam
semua bentuk termasuk minyak mentah
bahan bakar minyak,endapan dan produk
sulingan selain petro kimia tertentu.
26 Minyak Mentah (Crude Jenis minyak cair yang diambil dari dalam
Oil) tanah dalam komposisi apa saja yang
terdapat didalamnya, baik yang sudah diolah
maupun yang belum, yang sudah dapat
diangkut.
27 Minyak Produk(Product Setiap minyak yang bukan minyak mentah
Oil)
28 OWS Oily Water Separator, yaitu air yang
bercampur dengan atau mengandung
minyak
29 Pelayaran Balas Suatu pelayaran (kapal tanker) yang sedang
(Ballast Voyage) tidak membawa muatan, hanya berisi air
balas.
30 Pelayaran dengan Suatu pelayaran kapal yang sedang
Muatan (Loaded membawa muatan.
Voyage)
31 Pembuangan seketika Instantenous rate of discharge of oil content,
bahan yang atau kecepatan pembuangan seketika air
mengandung Minyak yang mengandung minyak dari kapal
33 Ppm Part per million atau seper sejuta
34 SOLAS Safety Of Life At Sea, hasil konvensi IMO
yang merupakan peraturan internasioal yang
harus diikuti oleh kapal-kapal diseluruh
dunia dalam keselamatan, termasuk
konstruksi, alat-alat keselamatan, alat-alat
komunikasi dan navigasi, permesinan, listrik

169
dan lain-lain
35 STCW Standard Training and Certification of
Watchkeeping, yaitu peraturan IMO
mengenai persyaratan awak kapal yang
berdinas jaga dikapal
36 Sertifikat IOPP (the Sertifikat yang harus dierikan kepada kapal
International Oil yang sesudah disurvey memenuhi
Pollution Prevention persyaratan dan memiliki sistem
Certificate) pencegahan pencemaran laut sesuai
peraturan yang berlaku.
37 Garbage Recaord Book Buku catatan sampah, yaitu buku yang
harus diselenggarakan dikapal untuk
mencatat setiap pembuangan sampah dari
kapal.
38 Oil Recod Book Buku catatan tentang pengoperasian minyak
yang harus dimiliki setiap kapal untuk
mencatat semua kegiatan operasi kapal
yang menyangkut minyak dan air berminyak,
terutama dalam pembuangan minyak ke
laut.

1. Polusi dan Pencegahannya

Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuk atau


dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam
suatu lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan
manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak
dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (UU Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982).
Pencemaran timbul sebagai akibat kegiatan manusia atau
disebabkan oleh alam (misal gunung meletus, gas beracun). Ilmu
lingkungan biasanya membahas pencemaran yang disebabkan oleh

170
aktivitas manusia, yang dapat dicegah dan dikendalikan. Karena kegiatan
manusia, pencermaran lingkungan pasti terjadi. Pencemaran lingkungan
tidak dapat dihindari. Yang dapat dilakukan adalah berusaha mengurangi,
mengendalikan, meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat
terhadap pelestarian lingkungan agar tidak terjadi pencemaran.
Zat atau bahan yang dapat mengakibatkan pencemaran di sebut
polutan. Syarat-syarat suatu zat disebut polutan bila keberadaannya dapat
menyebabkan kerugian terhadap makluk hidup. Contohnya, karbon
dioksida dengan kadar 0,033% di udara berfaedah bagi tumbuhan, tetapi
bila lebih tinggi dari 0,033% dapat memberikan efek merusak.
Suatu zat disebut polutan apabila:
1. Jumlahnya melebihi jumlah normal.
2. Berada pada waktu yang tidak tepat.
3. Berada di tempat yang tidak tepat.

Sifat polutan adalah:


1. Merusak untuk sementara, tetapi bila telah bereaksi dengan zat yang ada
disekitarnya tidak merusak lagi.
2. Merusak dalam waktu lama.
Contohnya Pb (plumbum) tidak merusak bila konsentrasinya rendah,
tetapi dalam jangka waktu lama, Pb akan terakumulasi didalam tubuh sampai
tingkat yang dapat merusak.

Jenis-jenis Pencemaran Lingkungan


Jenis pencemaran yang akan dibahas disini dibedakan terutama menurut
lokasi terjadinya pencemaran, bahan pencemaran dan tingkat pencemaran.
Menurut lokasi dimana pencemaran terjadi, dibedakan pencemaran udara, air
dan tanah.

1. Pencemaran udara
Polusi udara disebabkan oleh gas-gas buang hasil pembakaran bahan
bakar, seperti gas CO2 , CO, SO, SO2, CFC, asap rokok dan lain-lain.
 CO2 dan CO

171
Pencemaran udara yang paling menonjol adalah semakin
meningkatnya kadar CO2 di udara. Karbon dioksida itu berasal dari
pabrik, mesin-mesin yang menggunakan bahan bakar fosil (batubara,
minyak bumi), juga dari mobil, kapal, pesawat terbang, dan
pembakaran kayu.
Sebenarnya CO2 dapat dirubah menjadi oksigen oleh tumbuh-
tumbuhan, namun karena banyak hutan gundul akibat penebangan,
kadar CO2 dipermukaan bumi menjadi meningkat. Adapun CO adalah
hasil pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna sehingga
menghasilkan gas CO (karbon monoksida) yang keluar menuju udara
bebas. Hal ini dapat membahayakan orang yang ada di sekitarnya,
terutama diruang tertutup. CO2 dan CO adalah salah satu penyebab
timbulnya efek rumah kaca.
 CFC (Freon)
Pencemaran udara yang berbahaya lainnya adalah gas freon
atau Chloro Fluoro Carbon (disingkat CFC). Sebenarnya gas ini tidak
tidak berbahaya, tidak bau, tidak berasa, dan banyak digunakan
sebagai media sistem pendingin (Aircon, mesin es) dan dapat
mengembangkan busa (busa kursi), dan penyemprot rambut (hair
spray). Namun berat jenis gas CFC kecil sekali sehingga dapat
membumbung tinggi hingga mencapai stratosfer, dimana terdapat
lapisan ozon (O3). Lapisan ozon adalah pelindung bumi dari
pengaruh cahaya ultraviolet. Seperti diketahui, tanpa lapisan ozon,
cahaya ultraviolet akan mencapai permukaan bumi, yang akan
menyebabkan organisme mati, tumbuhan menjadi kerdil,
menimbulkan mutasi genetik, dan terhadap manusia, menyebabkan
kanker kulit atau kanker retina mata. Jika gas CFC mencapai ozon,
akan terjadi reaksi antara CFC dan ozon, sehingga lapisan ozon
tersebut berkurang sehingga “berlubang” yang disebut “lubang ozon”.
Pengamatan melalui pesawat luar angkasa, terbukti ubang ozon di
kutub Selatan semakin lebar dan luasnya telah melebihi tiga kali luas
benua Eropa.
 SO dan SO2

172
Gas belerang oksida (SO,SO2) di udara adalah salah satu
hasil pembakaran bahan bakar. Gas ini dapat beraksi dengan
nitrogen oksida dan air hujan, hingga terjadi hujan asam. Hujan asam
mengakibatkan tumbuhan dan hewan-hewan tanah mati. Produksi
pertanian merosot. Besi dan logam mudah berkarat. Bangunan kuno
seperti candi, menjadi cepat aus dan rusak, demikian pula bangunan
gedungdan jembatan.

 Asap Rokok
Polutan udara yang berbahaya bagi kesehatan adalah asap
rokok. Asap rokok mengandung berbagai bahan pencemar yang
dapat menyebabkan batuk kronis, kanker patu-paru, mempengaruhi
janin dalam kandungan dan berbagai gangguan kesehatan lainnya.
Perokok dapat di bedakan menjadi dua yaitu perokok aktif dan
perokok pasif. Perokok aktif adalah mereka yang merokok. Perokok
pasif adalah orang yang tidak merokok tetapi menghirup asap rokok
di suatu ruangan. Menurut penelitian, perokok pasif memiliki risiko
lebih besar di bandingkan perokok aktif.

Akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran udara antara lain:


a. Terganggunya kesehatan manusia, seperti batuk dan penyakit pernapasan
(bronkhitis, emfisema, dan kemungkinan kanker paruparu.
b. Rusaknya bangunan karena pelapukan, korosi pada logam, dan
memudarnya warna cat.
c. Terganggunya pertumbuhan tananam, seperti daun yang menguning,
tanaman menjadi kerdil akibat konsentrasi SO2 tinggi dan gas yang bersifat
asam
d. Efek rumah kaca (green house effect) yang dapat menaikkan suhu udara
secara global serta dapat mengubah pola iklim bumi dan mencairkan es di
kutub. Bila es meleleh, permukaan laut akan naik sehingga mempengaruhi
keseimbangan ekologi.
e. Terjadinya hujan asam yang disebabkan oleh pencemaran oksida nitrogen.

173
2. Pencemaran Air
Pencemaran air adalah peristiwa masuknya zat, energi, unsur, atau
komponen lainnya kedalam air sehingga menyebabkan kualitas air menurun,
yang dapat ditandai dari perubahan bau, rasa, dan warna. Ditinjau dari asal /
sumber pencemaran air, dibedakan antara lain dari:
a. Limbah Pertanian
Limbah pertanian dapat mengandung polutan insektisida atau pupuk
organik. Insektisida dapat mematikan biota sungai. Jika biota sungai tidak mati
kemudian dimakan hewan atau manusia, akan terjadi keracunan. Untuk itu
harus upayakan agar insektisida yang digunakan mempunyai spektrum sempit
(khusus membunuh hewan sasaran) dan bersifat biodegradabel (dapat
terurai oleh mikroba) dan melakukan penyemprotan sesuai dengan aturan.
Sedangkan pupuk organik yang larut dalam air, akan menyebabkan
lingkungan air menjadi subur (eutrofikasi). Karena air kaya nutrisi, ganggang
dan tumbuhan air tumbuh subur (blooming). Hal demikian justru akan
mengancam kelestarian bendungan sehingga cepat dangkal dan biota air
akan mati karenanya.
b. Limbah Rumah Tangga
Limbah rumah tangga yang cairjuga menjadi sumber pencemaran air.
Dari limbah rumah tangga cair dapat dijumpai berbagai bahan organik (misal
sisa sayur, ikan, nasi, minyak, lemak, air seni yang terbawa ke got/parit,
kemudian ikut aliran sungai. Adapula bahan-bahan anorganik seperti plastik,
alumunium, dan botol hanyut terbawa arus air. Sampah bertimbun,
menyumbat saluran air, dan mengakibatkan banjir. Polutan lain limbah rumah
tangga adalah pencemar biologis berupa bibit penyakit, bakteri, dan jamur.
Bahan organik yang larut dalam air akan mengalami penguraian dan
pembusukan. Akibatnya kadar oksigen dalam air turun drastis sehingga biota
air akan mati. Jika pencemaran bahan organik meningkat, kita dapat menemui
cacing Tubifex berwarna kemerahan bergerombol. Cacing ini merupakan
petunjuk biologis (bio-indikator) parahnya pencemaran oleh bahan organik
dari limbah pemukiman. Dikota, air got berwarna kehitaman dan baunya
menyengat. Didalam air got yang demikian tidak ada organisme hidup kecuali
bakteri dan jamur. Dibandingkan dengan limbah industri, limbah rumah tangga

174
di daerah perkotaan di Indonesia mencapai 60% dari seluruh limbah yang
ada.

c. Limbah Industri
Hampir semua industri membuang limbahnya ke air. Jenis polutan yang
dihasilkan tergantung jenis industrinya, dapat berupa polutan organik (berbau
busuk) maupun polutan an-organik (berbuih, berwarna), serta polutan yang
mengandung asam belerang (berbau busuk), atau air menjadi panas.
Pemerintah telah menetapkan aturan untuk mengendalikan polusi air limbah
industri. Dalam hal ini, limbah industri harus diolah terlebih dahulu sebelum
dibuang ke sungai agar tidak terjadi pencemaran. Minyak yang tumpah dari
kapal (akibat tubrukan, kandas dan lain-lain) menggenangi laut dalam jarak
hingga mencapai ratusan kilometer. Ikan, terumbu karang, burung laut, dan
biota laut banyak yang mati karenanya.
d. Penangkapan Ikan dengan Tuba (racun)
Sebagian penduduk dan nelayan menggunakan tuba (racun dari
tumbuhan atau racun potas) untuk menangkap ikan, dimana biota lainnya
akan ikut terkena racunnya. Tuba bukan saja mematikan hewan-hewan
dewasa, tetapi juga hewan-hewan yang masih kecil. Penangkapan ikan
dengan cara ini akan mengakibatkan pencemaran air dan menurunkan
kualitas sumber daya air.

Akibat yang dtimbulkan oleh pencemaran air antara lain:


a. Terganggunya organisme air karena berkurangnya kandungan oksigen.
b. Meningkatnya populasi ganggang dan tumbuhan air (eutrofikasi)
c. Pendangkalan dasar perairan.
d. Biota air punah, seperti ikan, udang, dan serangga air.
e. Banjir akibat got tersumbat wabah penyakit (muntaber dll).

3 . Pencemaran tanah
Pencemaran tanah banyak diakibatkan oleh sampah-sampah
rumah tangga, pasar, industri, kegiatan pertanian, dan peternakan.
Sampah dapat dihancurkan oleh jasad-jasad renik menjadi mineral, gas,
dan air, sehingga terbentuklah humus. Sampah organik itu misalnya

175
dedaunan, jaringan hewan, kertas, dan kulit. Sampah-sampah tersebut
tergolong sampah yang mudah terurai. Sedangkan sampah anorganik
seperti besi, alumunium, kaca, dan bahan sintetik seperti plastik, sulit
atau tidak dapat diuraikan. Bahan pencemar itu akan tetap utuh hingga
300 tahun yang akan datang.
Salah satu cara untuk menanggulangi adalah sampah dipisah menjadi dua:
 Wadah pertama adalah sampah yang terurai, dan dapat dibuang ke tempat
pembuangan sampah atau dapat dijadikan kompos. Kompos yang dibuat
dengan memadukan dengan cacing tanah, dapat diperoleh keuntungan
ganda. Cacingnya untuk pakan ternak, sedangkan kompos dijual sebagai
pupuk. Prosesnya merupakan proses daur-ulang (recycle).
 Wadah kedua untuk sampah yang tak terurai, dapat dimanfaatkan secara
guna-ulang (re-use). Kaleng bekas kue digunakan lagi untuk wadah makanan,
botol selai bekas digunakan untuk tempat bumbu dan botol bekas sirup
digunakan untuk menyimpan air minum.

Daur-ulang maupun guna-ulang dapat mencegah terjadinya


pencemaran lingkungan. Upaya untuk mencegah pencemaran adalah
mengurangi bahan atau penghematan (reduce), dan pemeliharaan (repair). Di
negara maju, slogan-slogan reuse, reduce, dan repair, banyak
disosialisasikan ke masyarakat.
Akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran tanah antara lain:
a. Terganggunya organisme (terutama mikroorganisme dalam tanah).
b. Berubahnya sifat kimia atau sifat fisika tanah sehingga tidak baik untuk
pertumbuhan tanaman, dan
c. Mengubah dan mempengaruhi keseimbangan ekologi.

2 Polusi berdasarkan Jenis Bahan Pencemaran

Menurut jenis bahan pencemar, pencemaran dibedakan menjadi:


a. Pencemaran kimiawi :
CO2, logam berat (Hg, Pb, As, Cd, Cr, Ni,) bahan radioaktif, pestisida,
detergen, minyak, pupuk anorganik.
b. Pencemaran Biologi:

176
mikroorganisme seperti Escherichia coli, Entamoeba, coli, Salmonella
thyposa.
c. Pencemaran fisik (sampah):
logam, kaleng, botol, kaca, plastik, karet.
d. Pencemaran Suara : kebisingan.
Dikota daerah dekat industri / pabrik sering terjadi kebisingan.
Pencemaran suara disebabkan oleh bunyi keras/gaduh diatas 50 dB (Desibel,
ukuran tingkat kebisingan). Bunyi ini mengganggu kesehatan dan ketenangan
manusia. Kebisingan menyebabkan penduduk menjadi sulit tidur, bahkan
dapat mengakibatkan tuli, gangguan kejiwaan, dan dapat pula menimbulkan
penyakit jantung, gangguan janin dalam kandungan, dan stress.
Penanggulangannya diusahakan dengan membuat mesin-mesin tidak terlalu
bising, seperti memasang isolator. Menaman pohon berdaun rimbun di
halaman rumah meredam kebisingan.

3 Tingkat Pencemaran
Menurut tingkat pencemarannya, pencemaran dibedakan antara:
a. Pencemaran ringan
pencemaran yang dimulai dari timbulnya gangguan ekosistem lain seperti
pencemaran gas kendaraan bermotor.
b. Pencemaran kronis
pencemaran yang berakibatkan penyakit kronis. Contohnya pencemaran
Minamata, Jepang.
c. Pencemaran akuut
yaitu pencemaran yang dapat mematikan seketika, seperti pencemaran gas
CO dari knalpot yang mematikan orang di dalam mobil tertutup, dan
pencemaran radioaktif.

4 Dampak Pencemaran Lingkungan


Punahnya Spesies, sebagaimana telah diuraikan, polutan
berbahaya bagi biota air dan darat. Berbagai jenis hewan mengalami
keracunan, kemudian mati.
Berbagai spesies hewan memiliki kekebalan yang tidak sama, ada
yang peka, ada pula yang tahan. Hewan muda dan larva adalah hewan

177
yang peka terhadap bahan pencemar. Ada hewan yang dapat
beradaptasi sehingga kebal terhadap bahan pencemar, ada yang tidak.
Meskipun hewan beradaptasi, harus diketahui bahwa tingkat adaptasi
hewan ada batasnya. Bila batas tersebut terlampui, hewan tersebut akan
mati.
Peledakan Hama, seperti akibat penggunaan insektisida dapat
pula mematikan predator. Karena predator punah, maka serangga hama
akan berkembang tanpa kendali.
Gangguan Keseimbangan Lingkungan, dimana punahnya spasies
tertentu dapat mengibah pola interaksi di dalam suatu ekosistem. Rantai
makanan, jaring-jaring makanan dan lairan energi menjadi berubah.
Akibatnya, keseimbangan lingkngan terganggu. Daur materi dan daur
biogeokimia menjadi terganggu.
Kesuburan Tanah Berkurang, akibat insektisida yang mematikan fauna
tanah seperti cacing. Kesuburan tanah menurun akibat terjadinya hujan
asam dan penggunaan pupuk yang berlebihan dan terus menerus yang
akan membuat tanah menjadi asam.
a. Keracunan dan Penyakit, akibat mengkonsumsi sayur, ikan, dan
bahan makanan yang tercemar sehingga mengalami keracunan.
Ada yang meninggal dunia, kerusakan hati, ginjal, kanker,
susunan saraf, dan berakibat cacat pada keturunannya.
b. Biomagnification atau pemekatan hayati, yaitu proses
peningkatan kadar bahan pencemar yang melewati daya tahan
tubuh makhluk hidup.
c. Terbukanya Ozon dan efek rumah kaca, yang menjadi
permasalahan global dan mengancam kehidupan manusia.

5 Usaha Pencegahan Polusi


a. Menempatkan daerah industri atau pabrik jauh dari daerah perumahan
atau pemukiman penduduk
b. Pembuangan limbah industri diatur sehingga tidak mencemari lingkungan
atau ekosistem.
c. Pengawasan terhadap pemakain jenis pestisida dan zat kimia lain yang
menimbulkan pencemaran lingkungan.

178
d. Memperluas gerakan tanaman hijau (penghijauan).
e. Tindakan tegas terhadap pelaku pencemaran lingkungan.
f. Memberikan kesadaran terhadap masyarakat arti lingkungan hidup
sehingga manusia lebih mencintai lingkungan hidupnya

3 Peraturan Pencegahan Polusi Laut dari Kapal (MARPOL 73/78)

Usaha mengendalikan dan/atau pencegahan pencemaran laut


oleh minyak sudah dimulai sejak tahun 1920. Pada tahun 1954 diadakan
konvensi Internasional tentang pencegahan pencemaran laut oleh minyak
dan mulai diundangkan mulai tanggal 26 Juli 1958.

Selanjutnya konvensi tahun 1954 berikut amandemen-amandemennya


diganti oleh konvensi Internasional tentang Pencegahan Pencemaran Laut
dari Kapal (International Convention for the Prevention of Pollution from
Ship) tahun 1973 ditambah protokol-protokol yang ditetapkan pada tahun
1978, kemudian disebut MARPOL (Marine Pollution) 73/78.

Didalam MARPOL 73, hasil konvensi IMO tahun 1973, terdapat aturan-
aturan yang tercantum didalam Annex-Annexnya, ditambah 20 artikel.
MARPOL 73 selanjutnya ditambah dengan Protokol 1978 (9 artikel),
Protokol I yang berkaitan dengan zat-zat berbahaya (5 artikel) dan Protokol
II mengenai Arbritase, yang berisi 10 artikel. MARPOL 73/78 masih terus
diamandemen dan ditambah dengan berbagai peraturan yang disesuaikan
dengan kondisi dan perkembangan yang terjadi sesudahnya.
Penerapan Konvensi Marpol 73/78 di Indonesia berlaku sejak tanggal 2
Oktober 1983, yaitu setelah Indonesia meratifikasi konvensi Marpol 73/78
dengan Keppres nomor 46/86 tanggal 9 September 1986. Sejak tanggal 27
Oktober 1986 kapal-kapal yang berbendera Indonesia harus dilengkapi
dengan Sertifikat Internasional Pencegahan Pencemaran oleh Minyak
(IOPP Certificate).
Adapun peraturan-peraturan yang disetujui dalam konvensi-konvensi
tersebut, tertuang dalam 6 Annex, yaitu:
1. Annex I, berisi peraturan yang menyangkut pencegahan polusi oleh minyak,
terdiri dari 4 bab, yang berisi 28 peraturan. Peraturan ini diberlakukan sejak 2
Oktober 1983, menggantikan konvensi internasional mengenai pencegahan

179
polusi laut oleh minyak tahun 1954, yang diamandemen tahun 1962 dan 1969
yang kemudian diberlakukan. Annex ini selanjutnya diamandemen terus:
a. Tahun 1984, tentang pengontrolan pembuangan minyak, penahanan
minyak di kapal, pemompaan, susunan pipa dan pembuangan, pembagian
ruangan dan stabilitas kapal tanker yang berlaku mulai 7 Januari 1986.
b. Tahun 1987 (berlaku sejak 1 April 1989)
c. Tahun 1990 (berlaku 17-3-1992)
d. Tahun 1991
e. Tahun 1992 tentang kriteria pembuangan dan peraturan baru (13 F dan G)
yang diberlakukan sejak 6 Juli 1993
f. Tahun 1994, mengenari Port State Control, berlaku sejak 3-3-1996.
2. Annex II, berisi 15 peraturan tentang pengontrolan dan pengawasan terhadap
polusi akibat zat cair berbahaya dalam keadaan curah. Annex ini juga telah
diamandemen pada tahun 1985, 1987, 1989 (berlaku sejak 13 Oktober 1990),
1992 (berlaku sejak 1 Juli 194) dan 1994 yang berlaku sejak 3-3-1996.
3. Annex III, berisi 8 peraturan mengenai zat-zat berbahaya yang diangkut dalam
bentuk kemasan, berlaku sejak 1 Juli 1992. Annex ini juga mengalami
perubahan pada tahun 1992 yang merupakan revisi total Annex III, dan
berlaku sejak 28 Februari 1994. Revisi ini berkenaan dengan persyaratan dan
jenis-jenis zat yang termasuk dalam kategori zat berbahaya dan yang
tercantum didalam IMDG Code (Aturan International Maritime Dangerous
Goods)
4. Annex IV, terdiri dari 11 peraturan tentang polusi dari kotoran manusia, yang
sudah diratifikasi oleh 64 negara pada 31 Desember 1996.
5. Annex V terdiri dari 9 peraturan mengenai polusi akibat sampah dari kapal
dan berlaku sejak 31 Desember 1988, diamandemen tahun 1989, 1990, 1991,
1994 dan 1995 yang terakhir diberlakukan sejak 1 Juli 1997.
6. Annex VI, mengenai pencegahan pencemaran udara dari kapal
Pada dasarnya peraturan MARPOL „73/78 dapat dibagi dalam 3 (tiga)
kategori:
1. Peraturan untuk mencegah terjadinya pencemaran
2. Peraturan untuk menanggulangi pencemaran
3. Peraturan untuk melaksanakan ketentuan tersebut

180
Pencegahan pencemaran lingkungan laut telah diatur didalam konvensi
MARPOL 73/78, terdapat ketentuan-ketentuan pencegahan antara lain:

1. Pengadaan tanki ballast terpisah (separated ballast tank) pada ukuran kapal
tertentu ditambah dengan peralatan-peralatan ODM (Oil Discharge
Monitoring), Oil separator dan lain sebagainya.
2. Batasan-batasan jumlah minyak yang dapat dibuang di laut
3. Daerah-daerah pembuangan minyak
4. Keharusan pelabuhan-pelabuhan, khususnya pelabuhan minyak untuk
menyediakan tanki penampungan slop (ballast kotor)

Aturan yang diberlakukan adalah untuk melarang pembuangan atau pelepasan


minyak atau zat campuran minyak kelaut, kecuali:
 Benar-benar dianggap perlu untuk tujuan keselamatan kapal atau
keselamatan jiwa
 Pembuangan minyak akibat kapal dan/atau perlengkapannya rusak
 Pembuangan jenis zat yang mengandung minyak untuk tujuan mencegah
atau memperkecil jumlah minyak yang terbuang
Aturan selanjutnya adalah bahwa dalam setiap pembuangan minyak atau
campuran berminyak harus dikontrol dan diawasi. Pengawasan meliputi:
 Pembuangan air berminyak dari kamar mesin kapal yang hanya boleh
dilakukan jika:
o Kapal sedang melaju dalam suatu pelayaran
o Kapal tidak berada disalah satu daerah khusus (special area)
o Posisi kapal lebih 12 mil dari daratan
o Kandungan minyak kurang dari 100 ppm, kecuali kapal memiliki
perlengkapan sistem pembuangan air berminyak (OWS – Oily Water
Separator) dimana air berminyak ini hanya akan terbuang kelaut jika
kandungan minyaknya kurang dari 15 ppm.
o Pembuangan dilakukan setelah melalui sistem pemisahan air berminyak,
sistem penyaringan minyak atau sistem-sistem lain yang disyaratkan, dan
selalu dimonitor dengan sistem monitor pembuangan minyak (ODM – Oil
Discharge Monitoring system).
 Pembuangan minyak dari ruang muatan tidak dibenarkan kecuali:
o Kapal sedang melaju dalam suatu pelayaran

181
o Kapal ada diluar daerah khusus
o Kapal pada posisi lebih 50 mil dari daratan terdekat
o Volume dan/atau kecepatan pembuangan seketika dari air berminyak
tidak lebih dari 60 liter per menit
o Untuk kapal tanker baru (new oil tanker), total jumlah minyak yang
dibuang kelaut tidak melebihi satu per tiga puluh ribu dari jumlah
muatannya dan total jumlah tertentu dimana dari minyak muatan terjadi
residu;
o Untuk kapal tanker lama (existing oil tanker), total jumlah minyak yang
dibuang kelaut tidak melebihi satu per lima belas ribu dari jumlah
muatannya dan total jumlah tertentu dimana dari minya muatan terjadi
residu;
o Ketentuan-ketentuan ini tidak berlaku untuk pembuangan balas bersih
atau balas terpisah (clean and segregated ballast).
 Pembuangan dari kamar mesin dan ruang muatan
Pembuangan dari kamar mesin dan ruang muatan tidak boleh mengandung
zat-zat kimia (chemicals) atau zat-zat lain dalam jumlah dan konsentrasi
yang membahayakan lingkungan.
Jika pembuangan-pembuangan tersebut tidak mungkin dilakukan sesuai dengan
aturan-aturan diatas, maka zat campuran berminyak harus tetap berada dikapal
dan hanya boleh dipindahkan ke fasilitas penampungan didarat atau di
pelabuhan.
Maksud dari persyaratan tersebut di atas selain untuk membatasi pembuangan
minyak adalah agar minyak bisa dengan cepat dicerai-beraikan dan
dimusnahkan dalam waktu 2-3 jam saja.

3.1 Penanggulangan Polusi Laut sesuai SOP


Untuk penanggulangan terhadap pencemaran lingkungan laut dan perairan
dengan membuat prioritas penanganan dan daerah yang terkena pencemaran,
misalnya:

1. Membuat contingency plant baik regional maupun local, yaitu tata cara
penanggulangan pencemaran dengan skala prioritas pelaksanaan disertai
jenis peralatan yang digunakan untuk:

a. dalam memperkecil sumber pencemaran

182
b. melokalisir dan pengumpulan pencemaran
c. menetralisir pencemaran
2. Menyediakan peralatan penanggulangan seperti oil boom, oil skimmer,
termasuk bahan-bahan dispersant atau penetralisir minyak dan lain-lain.
3. Untuk itu perlu diketahui bahwa jika minyak berada dipermukaan laut bersifat:

a. Akan menguap dalam waktu 20-24 jam, tergantung dari angin, kondisi laut
dan jenis minyak.
b. Ber-oksidasi dan biodegradasi tergantung dari suhu dan kadar garam di
laut
c. Menyebar (spreading) kecepatannya tergantungkadar lilin dan aspalnya

3.2 Cara membersihkan tumpahan minyak dilaut


Pembersihkan tumpahan minyak dilingkungan laut dan perairan dapat
dilakukan dengan metode :

1. Secara mekanik

Memakai oil boom atau barrier akan efektif jika laut tidak berombak dan
arus tidak kuat (maksimum 1 knot). Oil boom dipakai jika ketebalan minyak tidak
melampaui tinggi boom. Posisi boom dibuat menyudut, minyak akan terkumpul di
sudut dan kemudian dihisap dengan pompa. Pada umumnya pompa hanya
mampu menghisap sampai ketebalan ¼ inci. Air yang terbawa dalam minyak
akan terpisah kembali.

2. Absorbents (Penyerap)

Bahan kimia untuk menyerap minyak ditaburkan di atas tumpahan


minyak sehingga minyak terserap. Bahan yang digunakan adalah : lumut kering,
ranting, potongan kayu, bubuk. Bahan lain adalah zat sintetis yang terbuat dari
polyethylene, polystyrene, polyprophylene dan polyurethane dan lain-lain.

3. Menenggelamkan Minyak

Suatu percobaan yang menggunakan bahan campuran 3.000 ton kalsium


karbonat ditambah 1% sodium stearate berhasil menenggelamkan 20.000 ton
minyak yang mengapung dipermukaan air laut. Dan setelah 14 bulan kemudian,
tidak lagi ditemui adanya minyak di dasar laut tersebut.

183
4. Dispersant

Bahan dispersant dicampur dengan 2 komponen lain dimasukkan ke


lapisan minyak hingga berbentuk emulsi. Stabiliser menjaga agar emulsi tidak
pecah. Dispersent tersebut akan menenggelamkan minyak dari permukaan air.
Keuntungan cara ini adalah mempercepat hilangnya minyak dari permukaan air
dan mempercepat proses penghancuran secara mikrobiologi. Dispersant tidak
berguna di wilayah pesisir karena adanya unsur timbel yang larut. Perlu
diketahui bahwa dispersant akan semakin baik jika menggunakan pelarut yang
lebih beracun untuk kehidupan laut.

5. Pembakaran

Membakar minyak di laut lepas umumnya kurang berhasil, karena minyak


ringan yang terkandung telah menguap secara cepat. Selain itu panas dari api
lebih banyak diserap oleh air sehingga pembakaran tidak efektif.

4. Polusi Laut dari Kapal

Penyebab pencemaran laut dan lingkungan perairan berasal dari sumber


pencemaran antara lain:
1. Ladang minyak di bawah dasar laut, baik melalui rembesan maupun kesalaan
pengeboran pada operasi minyak lepas pantai
2. Kecelakaan pelayaran misalnya kandas, tenggelam, tabrakan kapal tanker
atau barang yang mengangkut minyak/bahan bakar
3. Operasi tanker dimana minyak terbuang kelaut sebagai akibat darim
pembersiahn tanki atau pembuangan air ballast, dll.
4. Kapal-kapal selain tanker melalui pembuangan air bilge (got)
5. Operasi terminal pelabuhan minyak, dimana minyak dapat tumpah pada
waktu memuat/membongkar muatan atau pengisian bahan bakar ke kapal.
6. Limbah pembuangan refinery
7. Sumber-sumber darat misalnya minyak lumas bekas atau cairan yang
mengandung hidrokarbon
8. Hidrokarbon yang jatuh dari atmosfir misalnya asap pabrik, asap kapal laut,
asap pesawat udara, dll.

184
4.1Jenis-jenis Polusi Laut dari Kapal

Seperti dijelaskan didalam bab pendahuluan, menurut lokasinya,


selain polusi ditanah, terdapat polusi diudara diair, termasuk dilaut. Kapal
juga menjadi sumber polusi udara, yaitu dari gas buang mesin yang
keluar melalui cerobong kapal.
dikapal adalah, dengan selalu menjaga kesempurnaan
pembakaran yang terjadi dimesin. Hal ini dapat dilakkan melalui berbagai
perawatan dan perbaikan (jika diperlukan) terhadap semua alat /
perlengkapan permesinan di kapal. Selanjutnya yang akan dibahas disini
adalah yang berkaitan dengan jenis polusi dari kapal yang terbuang
dilaut.

Gambar 20. Sumber Pencemaran

Terdapat dua jenis polutan dari kapal kelaut, yaitu minyak dan sampah
kapal. Pencemaran dilaut yang terbesar berasal dari tumpahan minyak dari
kapal dan dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu :

 Pembuangan minyak yang timbul sebagai akibat dari pengoperasian kapal


selama pencucian tangki-tangki bahan bakar / muatan kapal
 Pembuangan air bilge (got) yang mengandung minyak
 Tumpahan minyak akibat kecelakaan seperti kandas, tenggelam, tabrakan
 Tumpahan minyak selama pemuatan, pembongkaran atau bunker

Pada umumnya sampah (garbage) dari kapal dibagi menjadi 3 kategori yaitu:
1. Sampah makanan sisa

185
2. Sampah kertas, kayu, kaleng dll.
3. Sampah plastic

4.2 Perlengkapan Kapal untuk Mencegah Polusi Sesuai SOP


Untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran laut dari kapal
seperti tumpahan minyak dikapal, dan dipelabuhan-pelabuhan, diwajibkan
mempunyai peralatan-peralatan sebagai berikut.
 OWS atau Oily Water Separator
 Incinerator
 Instalasi Kotoran Manusia (Sewage)
 ODM (Oil Discharge Monitoring)
 Oil Boom

4.2.1 OWS (Oily Water Separator)


OWS digunakan untuk memisahkan air dari minyak yang
dikandungnya, yang biasanya digunakan untuk membuang air dari kapal
yang dianggap mengandung minyak seperti got kamar mesin. Prinsip
kerjanya adalah memisahkan minyak dari air dengan sistem gravitasi dan
saringan. Semua kapal diwajibkan memiliki OWS dan dipasang di kamar
mesin.

Cara kerja

Air berminyak dipompa dan dimasukkan ke OWS dan dialirkan ke


ruang pemisah melalui katup isap dikolom primer (primary coloum)
dimana air akan berputar perlahan dalam ruangan pemutar (chamber
tangentially), dan masuk ke ke ruang pengumpul (Oil Collecting
Chamber). Selanjutnya air berminyak ini masuk ruang pemisah halus
(fine separating chamber) melalui bagian tengah buffle plate dan menuju
pipa pengumpul melalui celah-celah antara pelat-pelat penangkap
minyak (oil catch plates). Dalam proses ini minyak akan mengapung dan
menempel pada kedua sisi setiap plate penangkap, sehingga minyak dan
air akan terpisah.
Sesudah terpisah, air melewati lubang kecil pada pipa pengumpul
air dan mengalir ke ruangan pemisah kedua (secondary separation

186
coloum). Disini minyak akan tertinggal di pelat dalam bentuk gumpalan
kecil. Gumpalan yang besar akan mengapung dan mengalir ke buffle
plate yang berada di bawah aliran air berminyak dan akhirnya ke ruang
pengumpul minyak (oil collecting chamber).
Jumlah minyak di dalam collecting chamber diamati dengan
detector yang terdapat pada automatic oil level controller. Apabila jumlah
minyak melampaui batas, katup solenoid sisi keluar pemisah akan
membuka secara otomatis. Katupnya akan menutup kembali jika switch
dikembalikan ke posisi awal pengontrol. Udara yang terdapat didalamnya
akan terbuang secara otomatis melalui katup cerat. Cara pemisahan di
atas disebut pemisahan secara gravitasi.
Butiran minyak didalam kolom sekunder (secondary coloum)
dihilangkan dengan saringan sisi keluar kolom primer. Kemungkinan
lolosnya minyak dicegah dengan elemen saringan. Minyak masuk ke
kolom sekunder pertama kali melalui elemen tingkat pertama, dimana
sebagian besar gumpalan minyak tersaring.
Butiran minyak yang yang tersisa dihilangkan di dalam elelemn
tingka kedua dan air yang sudah dibersihkan ditekan keluar melalui
tempat pembuangan air yang sudah dibersihkan (purified water outlet).
Sedangkan butiran minyak yang ditangkap dalam tingkat pertama
terkumpul dan membentuk gumpalan yang akan mengalir ke ruang
pengumpul di bagian atas ruang pemisah.

Cara pengoperasian OWS

Sebelum pengoperasian,pastikan bahwa sistem pipa berada pada posisi


sesuai “Piping Arrangement”, demikian juga dengan sambungan-sambungan
kabel untuk automatic oil level controller diperiksa apakah sudah benar.
Pengisian air laut ke dalam tangki pemisah:
a. Buka semua katup air laut isap disisi isap pompa
b. Buka semua katup pada pipa tangki pemisah dan katup keluar kapal.
c. Buka penuh valve antara kolom primer dan sekunder.
d. Buka katup buang minyak di bagian atas kolom pemisah sekunder

187
e. Putar handle dibagian atas katup solenoid kearah berlawanan jarum jam ke
posisi stop dan atur katup ke posisi tutup (shut).
f. Switch diubah ke posisi masuk (on).
g. Tutup katup buang di kolom sekunder sesudah air laut dipastikan mengalir
keluar dari katup.
h. Biarkan air laut mengalir lebih dari 10 menit, setelah itu stop pompa.
1. Memulai pekerjaan (Start up) :
a. Buka katup air laut dibagian isap
b. Buka semua katup di saluran isap got dari tangki ke pompa.
c. Putar switch automatic oil level controller ke posisi “on” (pastikan lampu
indikator menyala).
d. Jalankan pompa got
e. Atur katup pengatur ke tekanan kolom primer antara 0.5 – 2.0 bar
2. Pemisahan minyak dari air got dan pembuangan dapat dimulai.
3. Pembuangan minyak yang sudah dipisahkan (discharge of separated oil) di
dalam primary separation column, minyak ini dibuang secara otomatis
dengan pengontrol otomatis jika jumlah minyak lebih tinggi dari ketentuan.
4. Menghentikan Pengoperasian
a. Apabila pekerjaan pembuangan air got sudah selesai, alirkan air laut lebih
dari 10 menit untuk mencegah perubahan kualitas dari campuran minyak
yang tersisa di dalam separating tank.
b. Tutup semua katup pada saluran pipa buang.
c. Putar switch ke “off” pada automatic oil level controller.

4.2.2 Sewage Plant


Sewage plant adalah instalasi pembuangan kotoran yang berasal
dari orang. Dikapal-kapal yang wajib memiliki instalasi ini, semua saluran
pembuangan air dari kamar mandi dan WC harus dilewatkan ke tangki
sewage. Disini kotoran manusia akan diolah sehingga menjadi netral dan
dapat dibuang ke laut.
Besar kecilnya instalasi ini tergantung dari jumlah orang yang
berada diatas kapal, demikian juga dosis obat yang harus dimasukkan ke
tangki setiap periode tertentu, yang dimaksudkan untuk mematikan
bakteri-bakteri yang terkandung dalam kotoranmanusia.

188
KM/WC
KM/WC
KM/WC
Kamar Mandi

/ WC

Sewage Tank

Ke laut
Pompa

Gambar 21. Skema Sewage Plant

4.2.3 Incinerator

Incinerator adalah salah satu kelengkapan sistem pencegahan


pencemaran yang harus ada dikapal. Unit ini merupakan dapur/tungku
untuk membakar minyak kotor atau endapan minyak yang tidak terpakai
yang dikapal akan semakin bertambah namun dilarang dibuang di laut.
Seharusnya minyak ini dapat dikirim ke fasilitas di setiap pelabuhan yang
disinggahi kapal, namun ada kalanya dipelabuhan tidak ada fasilitas
penampung, sementara itu tangki penyimpan endapan (sludge tank)
sudah penuh. Demikian juga dengan minyak pelumas bekas, serbuk
kayu, dan sampah-sampah lain yang padat dan yang tidak tertampung
lagi dikapal, dapat dibakar disini.
Incinerator merupakan unit tersendiri yang terdiri dari bagian-bagian :
a. Tangki minyak kotor Incinerator
b. Dapur (Ruang pembakaran)
c. Pompa minyak
d. Brander (pembakar)
e. Penyala/pemantik brander
f. Fan (kipas angin)

189
g. Katup pengaman (Safety device)
h. Panel kontrol

Gambar 22. Incinerator

Cara menjalankan/pengoperasian meliputi persiapan, menjalankan (start),


pengawasan dan penghentian, secara ringkas dapat dijelaskan disini:

a. Persiapan.
 Tangki minyak kotor ditangki incinerator dipanasi hingga lk. 600 C
 Air yang mungkin masih ada di tangki minyak kotor dicerat / dibuang
 Udara di pipa-pipa minyak dibuang melalui katup cerat di saringan
 Switch di-ON-kan, periksa lampu-lampu indikator, pastikan tidak ada yang
menunjuk pada “abnormal” dan sirene alarm tidak berbunyi
 Agitating switch di-ON-kan untuk mengaduk minak
 Buka damper pemasukan udara dan keluarkan gas bekas
 Masukkan majun bekas dll melalui pintu pemasukan ke dapur
 Buka dan atur katup-katup suplai&balik tangki diesel oil dan waste oil

b. Menjalankan.
 Tekan tombol “on” dari fan dan burner untuk mengeluarkan gas didalam
ruang pembakar
 Tekan tombol / switch pompa “on”

190
 Tekan tombol/switch dari pemantik / ignitor. Percikan bunga api dapat dilihat
melalui lobang/kaca intip. Pompa minyak akan hidup
 Tunggu/biarkan menyala + 10 menit untuk pemanasan dapur
 Tekan tombol “on” Solenoid valve. Main burner (waste oil) akan menyala,
ditandai dengan menyalanya lampu hijau. Kalau tidak menyala tekan
tombol Reset dan ulangi langkah 3 – 4
 Untuk mendapatkan pembakaran yang stabil, gunakan pembakaran secara
simultan (diesel oil & waste, dua-duanya menyala)
 Matikan “ignitor”, pemantik akan mati dan pembakaran berjalan normal

c. Menghentikan
 Tutup katup pemanas, matikan agitator dari waste oil tank
 Bilas pipa minyak kotor dengan mengalirkan diesel oil ke pipa tersebut
(dengan membuka/menutup kerangka yang perlu)
 Tekan tombol “off” Solenoid valve, api di brander padam
 Tekan tombol “off” dari “waste oil pump”
 Tekan tombol “off” dari “source”
 Selagi incinerator masih hangat dibersihkan automizing cup dan kaca
lobang-lobang intip

Gambar 23. Kapal tenggelam salah satu sumber pencemaran laut

191
4.2.4 ODM (Oil Discharge Monitor)

Alat ini merupakan kelengkapan yang harus ada di kapal-kapal tanker, dan
digunakan sewaktu membuang atau mengeluarkan sisa-sisa air berminyak yang
digunakan untuk pencucian tangki muatan.
Dalam pembuang air berminyak tersebut, sebelum dibuang ke laut harus
melalui alat ini untuk memastikan bahwa air tersebut tidak mengandung minyak
lebih dari 15 ppm. Alat ini bekerja secara otomatis, artinya, jika air mengandung
minyak lebih dari 15 ppm, alarm akan berbunyi dan air akan mengalir kembali ke
tangki.

4.2.5 Oil Boom (Boom minyak)


Oil boom digunakan untuk menanggulangi tumpahan minyak yang
cukup banyak dan terjadi di perairan terbuka. Disini tumpahan minyak
dilokalisir dan ditahan boom yang dipasang dan mengapung mengelilingi
tumpahan minyak.
Pengoperasiannya dapat dilakukan dengan dua bentuk (konfigurasi)
bentangan, yaitu:
 Konfigurasi U (U single sweep dan U double sweep)
Disini oil boom digelar berbentuk U, baik tunggal maupun ganda
(single sweep dan double sweep). Pada sistem tunggal hanya diperlukan
satu set oil boom dimana salah satu ujungnya idikatkan kesalah satu
lambung kapal. Pada sistem ganda boom dipasang dikedua sisi lambung.

Gambar 24. Oil Boom Dioperasikan

192
Dalam pengoperasian sarana apung (boom), harus dilengkapi dengan lengan
pengikat (arm/JIB) untuk menempatkan boom disekeliling tumpahan minyak dan
menariknya kembali, dan pompa pengisap minyak untuk mengambil minyak dari
laut yang selanjutnya dikirim ke tangki penampung.
 Konfigurasi J (single dan double J sweep
Metode ini memerlukan 2 kapal. Pada konfigurasi double J
diperlukan 3 set oil boom yang dibentangkan, sedangkan pada sistem single
hanya diperlukan 1 set boom.

Gambar 25. Pengoperasian Oil Boom

Persyaratan Kapal Tangki Pengangkut Minyak

193
Setiap kapal pengangkut minyak harus memenuhi persyaratan yang
sangat ketat, disamping harus memiliki sertifikat-sertifikat, juga harus memenuhi
persyaratan konstruksi serta dilengkapi dengan peralatan-peralatan tertentu.
Menurut kategorinya, kapal pengangkut minak dibagi menjadi:
a. Pengangkut Minyak Mentah (Crude Oil Tankers)
Kapal ini termasuk kapal yang lama yang tidak boleh mengangkut minyak
product, dan jika ukurannya 40.000 DWT atau lebih, harus dilengkapi sistem
COW (Crude Oil Washing) yang diakui.
b. Pengangkut Minyak Product (Product Oil Tankers)
 Kapal kategori ini tidak boleh mengangkut minyak mentah, yang terbagi
menajdi kapal tanker lama (existing oil tankers) dan kapal tanker baru (new
oil ship). Kapal lama berukuran 40.000 DWT atau lebih, harus mempunyai
sistem tangki balas terpisah (segregated ballast tank) atau sistem
dedicated ballast sesuai persyaratan dan diakui.
 Untuk kapal tanker baru, berukuran 30.000 DWT atau lebih harus
mempunyai sistem tangki balas terpisah (segregated ballast tanks) yang
lokasinya terlindung (protective location).
c. Pengangkut Minyak Mentah dan/atau Product
 Kategori kapal ini dapat mengangkut kedua jenis minyak tersebut, baik
sendiri-sendiri atau bersamaan. Dibagi dalam:
 Kapal tanker baru berukuran kurang dai 20.000 DWT
 Kapal tanker baru berukuran 20.000 atau lebih dengan konstruksi tangki
balas terpisah dan dilengkapi dengan COW yang diakui
 Kapal tanker lama berukuran kurang dari 40.000 DWT
 Kapal tanker lama berukuran 40.000 DWT atau lebih, dengan konstruksi
tangki balas terpisah. Kapal ini harus dilengkapi dengan COW yang diakui
dan mempunyai sistem dedicated clean ballast tank.
 Kapal tanker berukuran 70.000 atau lebih harus dikonstruksikan dengan
sistem tangki balas bersih
 Kapal tanker lama berukuran lebih dari 40.000 tetapi kurang dari 70.000
DWT harus mempunyai tangki balas bersih yang ditetapkan.
 Kapal-kapal VLCC (Very Large Crude Carrier) termasuk dalam kategori
tanker diatas 70.000 DWT.

194
6 Pembuangan Minyak dan Kotoran dari Kapal

Dalam pembuangan minyak dan kotorran lain seperti sampah dan limbah
beracun, telah ditetapkan daerah khusus (special area) yang disetujui IMO,
yaitu:
 Laut Tengah (Mediteranian Sea)
 Laut Baltic
 Laut Hitam (Black Sea)
 Laut Merah (Red Sea)
 Wilayah Teluk (Gulf Area)
 Wilayah Atlantik tertentu
 Laut Utara (North Sea)
 Laut Karibia (Carribian Sea) yang diperluas
Di semua wilayah daerah khusus tidak boleh ada pembuangan minyak
dan sampah apapun kecuali kapal dalam pelayaran dan menggunakan alat
penyaringan serta pemutus aliran otomatis (automatic trip) yang bekerja jika
kandungan minyak lebih dari 15 ppm.
Untuk kapal tanker, air got buka yang berasal dari ruang pompa muatan
atau bukan dari kamar mesin yang telah tercampur dengan residu-residu
minyak.
Disemua daerah diluar daerah khusus tidak boleh membuang minyak kecuali:
 Kandungan minyak tidak lebih dari 15 ppm
 Dalam pelayaran
 Pada posisi lebih dari 12 mil dari daratan terdekat dan kandungan
minyak kurang dari 100 ppm.
 Sistem monitor di ODM dan OWS bekerja baik
 Pembuangan balas bersih atau balas dari ruang balas terpisah
 Pembuangan diarea lebih 50 mil dari daratan terdekat
 Kecepatan pembuangan tidak melampui 60 liter per mil laut
 Jumlah yang dibuang tidak lebih dari 1:15.000 untuk kapal tanker
lama, dan untuk kapal baru tidak lebih dari 1:30.000, dari jumlah
muatan yang diangkut.

195
Untuk semua jenis sampah tidak diwajibkan memiliki perlengkapan
khusus, namun untuk pembuangan plastik, tali sintetis, jaring penangkap ikan
dan sampah jenis plastik lainnya sama sekali dilarang dibuang ke laut.
Sampah lain diatur seperti berikut:
 Diluar batas 25 mil dari daratan terdekat dapat dibuang dunnage (bekas
penyekat/penguat muatan), tali rami, dan paking yang mengambang
 Diluar batas 12 mil dari daratan terdekat, boleh dibuang kertas, kain lap /
majun, metal, botol dan sisa makanan
 Diluar batas 3 mil dari daratan terdekat, boleh dibuang kertas, kain la[,
metal, barang pecah belah dan sisa makanan jika terserak.
Walaupun tidak ada perlengkapan khusus untuk sampah, tetapi harus
ada bak penampungan sampah ini, yang dibedakan antara jenis-jenis
sampah tersebut. Biasanya dikapal disediakan drum-drum bekas oli yang
dicat dengan warna berbeda untuk jenis sampah berbeda.

7. Dokumen-dokumen dan Buku-Buku Rekord

Persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh semua kapal adalah dokumen-
dokumen atau sertifikat yang harus selalu tersimpan dikapal, termasuk buku-
buku yang harus selalu diisi dan diperbarukan.
Berikut dokumen / sertifikat / buku-buku tersebut:

7.1 IOPP (International Oil Pollution Prevention)

Pada prinsipnya semua jenis kapal minyak (tanker) yang mempunyai


kapasitas angkut 200 meter kubik atau lebih, atau berukuran 150 GT, dan
kapal-kapal jenis lain yang berukuran 400 GT atau lebih, sebagai bukti bahwa
kapalnya telah memenuhi aturan-aturan yang sudah ditetapkan, harus
memiliki sertifikat IOPP (International Oil Pollution Prevention) yang
diterbitkan oleh Admnistrasi, dalam hal ini pemerintah negara bendera.
Sebelum sertifikat IOPP diterbitkan, harus dilakukan survey pertama
(initial survey) yang dilakukan oleh Surveyor yang ditunjuk. Surveyor akan
memastikan bahwa konstruksi, sisem dan peralatan serta bahan kapal
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Sertifikat IOPP berlaku selama

196
5 tahun, terhitung sejak survey pertama. Setelah itu harus dilakukan survey
kembali untuk pembaharuan sertifikat. Selama masa berlakunya sertifikat,
harus ada survey-survey tambahan yang meliputi:
 Survey Tahunan (Annual Survey) yang harus dilakukan dalam periode tiga
bulan sebelum dan sesudah ulang tahun sertifikat tersebut. Survey ini untuk
memastikan bahwa perlengkapan dan peralatannya tetap ada, sesuai rincian
yang tertulis dalam sertifikat dan masih bekerja secara efisien.
 Survey antara (Intermediate Survey), yang dilaksanakan dalam kurun waktu
enam bulan sebelum dan sesudah pertengahan tanggal periode berlakunya
sertifikat. Survey ini dapat menggantikan satu dari survey-survey tahunan, dan
dilakukan secara lebih rinci dibandingkan dengan survey tahunan.

Sertifikat IOPP dapat dibatalkan, dan sesuai dengan definisinya, kapal dicegah
untuk melakukan pelayaran / perdagangan jika:
 Ditemukan ada perbedaan yang nyata antara temuan selama survey dengan
rincian yang tercatat didalam sertifikat
 Jika terhadap sertifikat IOPP tidak dilakukan survey antara (intermediae
survey) dalam periode yang telah ditentukan, atau
 Kapal dialihkan ke bendera negara lain.
Sertifikat IOPP harus selalu berada dikapal setiap saat dan dapat
diperiksa jika diperlukan. Pemeriksaan tiba-tiba atau yang tidak terjadwal
(unscheduled survey) dapat dilakukan oleh surveyor di pelabuhan dari negara
yang telah meratifikasi konvensi.
Bentuk sertifikat IOPP sebagaimana pelaksanaan sistem harmonisasi
survey, dapat dilihat pada lampiran dibagian akhir bab ini.

7.2 Buku Catatan Minyak (Oil Record’s Book)

Peraturan didalam MARPOL 73/78 juga mensyaratkan bahwa semua


kapal berukuran 400 GT atau lebih harus dilengkapi dengan Buku Catatan
Minyak (Oil Records Book) Bagian I untuk kamar mesin. Sedangkan untuk
kapal tanker berukuran 150 GT atau lebih, sebagai tambahan harus
dilengkapi dengan Buku Catatan Minyak II (untuk operasi muatan balas).

197
a. Buku Rekord I, biasanya diisi oleh KKM (Kepala Kamar Mesin) sewaktu:
 Mengisi atau memasukkan bahan bakar (bunker) ke kapal
 Pembersihan tangki bahan bakar
 Membuang balas atau mengisi tangki bahan bakar dengan air untuk
membersihkan tangki
 Menampung residu atau endapan-endapan bahan bakar ke tangki endap.
 Membuang air got yang terakumulasi dikamar mesin keluar kapal
b. Buku Rekord II untuk Operasi muatan/balas (kapal tanker) sewaktu:
 Memuat minyak kekapal
 Memindahkan muatan minyak dalam pelayaran
 Membongkat muatan minyak
 Operasi balas terhadap tangki-tangki muatan dan dedicated ballast tank
(tangki muatan yang digunakan untuk balas)
 Membersihkan tangki-tangki muatan dengan COW
 Membuang balas kecuali dari SBT (segregated ballast tank)
 Membuang air laut dari tangki-tangki endap (slop tanks)
 Menutup semua kran atau katup-katup yang digunakan setelah dipakai
untuk operasi-operasi pembuangan dari tangki endap.
 Menutup semua katup yang perlu untuk mengisolasi dedicated ballast tank
 Pembuangan residu (minyak kotor)
 Membuang minyak atau air yang tercampur minyak dari kapal yang
dimaksudkan untuk melindungi keselamatan kapal atau menyelamatkan
jiwa dilaut.
 Terjadi kebocoran atau pengeluaran minyak dari kapal akibat kerusakan
kapal atau perlengkapan kapal.
Adalah penting untuk selalu mengisi buku rekord minyak ini dalam
pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan seperti disebutkan diatas secara
berkesinambungan dan tepat waktu. Buku harus disimpan ditempat yang
aman namun selalu siap untuk sewaktu-waktu diperiksa oleh pejabat
pemeriksa yang berwewenang. Jika diminta oleh surveyor/pejabat
bersangkutan, maka nakhoda dapat memberikan copy buku catatan tersebut,
setelah copy tersebut dibubuhi tandatangan nakhoda sebagai bukti bahwa
copy tersebut sah.

198
7.3 Buku Catatan Sampah (Garbage Record Book)

Yang dimaksud dengan sampah adalah semua jenis makanan,


barang-barang bekas operasional diluar ikan segar, atau bagian
daripadanya, yang timbul sepanjang pengoperasian kapal dan dapat
dibuang secara terus menerus atau sekali-kali dan benda-benda lain
yang ditetapkan dalam aturan-aturan lain yang ditetapkan.
Sedangkan buku catatan sampah ini adalah wajib dimiliki oleh
semua kapal yang berukuran 400 berat kotor atau kapal-kapal yang
membawa 15 orang atau lebih. Buku ini harus dalam bentuk yang
ditetapkan, apakah tersendiri atau menjadi bagian dari buku harian kapal
atau lainnya.
Dalam setiap pembuangan sampah, atau sesudah melakukan
pembakaran sampah atau minyak di incinerator, harus dicatat dan
ditandatangani oleh perwira yang ditugasi. Pengisian didalam buku ini
harus mencantumkan tanggal dan jam, posisi kapal dan uraian sampah
yang dibuang ke laut, termasuk jumlahnya.
Seperti buku catatan minyak, buku ini harus selalu disimpan
dikapal, dan diperlihatkan ke pejabat berwewenang di pelabuhan jika
sewaktu-waktu diminta

199
D. AKTIFITAS PEMBELAJARAN

Aktifitas pembelajaran pada modul Pencemaran polusi lingkungan laut adalah:


1. Buatlah beberapa kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 5 orang
2. Setiap kelompok mencari informasi tentang:
Pengertian polusi, suatu zat disebut polutan, sifat-sifat polusi, jenis-jenis
pencemaran lingkungan, jenis-jenis pencemaran air, akibat yang ditimbulkan
oleh pencemaran, polusi berdasarkan jenis bahan pencemaranya, tingkat
pencemaran, usaha mencegah terjadinya pencemaran, Internasional
Pencegahan Pencemaran oleh Minyak (IOPP Certificate).
3. Diskusikan hasil informasi yang diperoleh.
4. Lakukan analisis tentang Pentingnya pencegahan pencemaran polusi
lingkungan laut.
5. Buatlah konsep rekomendasi/laporan hasil diskusi dengan kelompokmu
tentang Peraturan Perikanan.

E. LATIHAN/KASUS/TUGAS
1. Sebutkan apa yang dimaksud dengan polusi.
2. Uraikan sifat-sifat polusi dan kapan suatu zat disebut polutan.
3. Diskusikan jenis-jenis pencemaran lingkungan dan pencemaran air.
4. Jelaskan akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran baik di darat, udara
maupun laut.
5. Uraikan hasil konvensi marpol 73/78 dalam bentuk peraturan-peraturan yang
tertuang dalam annex.
6. Diskusikan bagaimana cara membersihkan tumpahan minyak di laut.
7. Sebutkan peralatan apa saja yang digunakan untuk menanggulangi
pencemaran di laut.

F. RANGKUMAN
1. Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam suatu lingkungan,
atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh
proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi

200
sesuai dengan peruntukannya (UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
No. 4 Tahun 1982).
2. Suatu zat disebut polutan apabila:
a. Jumlahnya melebihi jumlah normal.
b. Berada pada waktu yang tidak tepat.
c. Berada di tempat yang tidak tepat.
3. Pencegahan pencemaran lingkungan laut telah diatur didalam konvensi
MARPOL 73/78, terdapat ketentuan-ketentuan pencegahan antara lain:

a. Pengadaan tanki ballast terpisah (separated ballast tank) pada ukuran


kapal tertentu ditambah dengan peralatan-peralatan ODM (Oil Discharge
Monitoring), Oil separator dan lain sebagainya.
b. Batasan-batasan jumlah minyak yang dapat dibuang di laut
c. Daerah-daerah pembuangan minyak
d. Keharusan pelabuhan-pelabuhan, khususnya pelabuhan minyak untuk
menyediakan tanki penampungan slop (ballast kotor)
4. Untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran laut dari kapal seperti
tumpahan minyak dikapal, dan dipelabuhan-pelabuhan, diwajibkan
mempunyai peralatan-peralatan sebagai berikut.
 OWS atau Oily Water Separator
 Incinerator
 Instalasi Kotoran Manusia (Sewage)
 ODM (Oil Discharge Monitoring)
 Oil Boom

G. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT


Pilihlah salah satu kemungkinan jawaban yang menurut anda paling tepat
dengan memberikan tanda silang (X) pada huruf a, b, c, atau d.

1. Pencemaran laut disebabkan oleh faktor-faktor antara lain


a. Aktifitas mahluk hidup
b. Zat energi
c. Kegiatan manusia
d. Proses alam

201
2. Pencegahan tumpahan minyak di laut dan perairan adalah
a. Menjaga lingkungan di darat
b. Menjaga pelestarian lingkungan laut
c. Menyelamatkan tumpahan minyak
d. Membiarkan tumpahan minyak di Luat dan perairan
3. Mengapa lingkungan laut harus dilindungi dari pencemaran minyak
a. Laut tempat organisme laut, hewan dan tumbuhan laut
b. Laut tempat kapal berlayar
c. Laut tempat mancing
d. Laut tempat yang sangat indah
4. Kapal sedang berlayar dibolehkan membuang :
a. Air laut dari ruang mesin
b. Air pendingin
c. Air ketel
d. Air got dari ruang mesin dalam batas wajar
5. Sumber pencemaran lingkungan laut dan perairan berasal dari :
a. Darat
b. Pembuangan air bilge
c. Tumpahan minyak
d. Jawaban a, b, c benar
6. Sebab-sebab terjadinya tumpahan minyak dari kapal karena kerusakan
mekanis dan :
a. Kesalahan operasi
b. Keselamatan tidak terjamin
c. Kebocoran kapal
d. Kesalahan manusia
7. Kerusakan mekanis pada sistem peralatan kapal dapat diatasi dengan
perawatan yang baik dan secara berkala oleh :
a. Pemerintah/BKI
b. Surveyor
c. Dok kapal
d. Pemilik kapal
8. Alat yang digunakan untuk memisahkan minyak dan air
a. Pompa bilge

202
b. Gravitasi
c. Oil boom
d. Oily water separator (OWS)
9. Cara pengoperasian OWS
a. Harus sesuai prosedur yang benar
b. Menjalankan pompa
c. Menghidupkan tombol start
d. Memasukkan limbah minyak dengan ember plastik
10. Oil Boom digunakan untuk menanggulangi pencemaran tumpahan minyak di
lingkungan
a. Laut dan perairan
b. Lingkungan kolam
c. Lingkungan danau
d. Lingkungan tambak

H. KUNCI JAWABAN

1. A
2. B
3. A
4. D
5. D
6. D
7. A
8. D
9. A
10. A

203
204
PENUTUP

Modul Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) ini dibuat


sebagai salah satu referensi bahan ajar bagi guru SMK Kelautan Perinan. Modul
ini merupakan salah satu sumber belajar pada kompetensi Peraturan Pelayaran
pada kompetensi Nautika Kapal Penangkap Ikan Grade 1, dengan pokok materi
teridiri atas : Hukum Maritim/laut, Peraturan Perikanan, Tatalaksana Perikanan
yang Bertanggung Jawab, dan Pencemaran Polusi Lingkungan Laut.
penulis menyadari bahwa Modul ini sangat jauh dari kesempurnaan.
Modul ini digunakan sebagai salah satu acuan Kepada Guru dalam Pendidikan
dan Pelatihan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan.
Oleh karena itu, penulis berharap adanya kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan dalam penyusunan Modul PKB ini.
Semoga buku teks ini bermanfaat bagi yang menggunakannya dan
menambah kompetensi Guru dalam Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan khususnya guru Perikanan dan Kelautan pada
Kompetensi Peraturan Pelayaran Grade 1 NKPI.

205
206
DAFTAR PUSTAKA

Adi, BS dkk. 2008. Nautika Kapal Penangkap Ikan, Jilid 2 . Departemen


Pendidikan Nasional, Jakarta

Anonim, 2003. International Code Of Signal. National Imagery and Mapping


Agency, USA Tim IKIP Semarang

Anonim. 2002. STCW – F’95. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta


Anonim, 2000. Keselamatan Pelayaran & Perlindungan Lingkungan Laut .
Departemen Perhubungan & Pusat Penerangan Lingkungan
Hidup Indonesia, Jakarta.

Adi, BS dkk. 2008. Nautika Kapal Penangkap Ikan, Jilid 2 . Departemen


Pendidikan Nasional, Jakarta.

BP2IP. 2013. Pecnegahan Polusi. Diklat Pelaut Tingkat IV (ANT IV


Pembentukan). Barombong. Makassar. Sulwasi Selatan.

BP2IP. ____. Hukum Maritim. Diklat Teknologi Pelayaran Nusantara I. ATT IV.
Barombong. Makassar. Sulawesi Selatan.

BPPI. 2001. Regional Guidelines For Responsible Fisheries in Southeast Asia,


Operasi Penangkapan Ikan yang Bertanggung Jawab. BPPI, Semarang.

FAO. 1995. Tata Laksana Untuk Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Of
Conduct For Responsible Fisheries). FAO. Jakarta.

Fauzi, A dan Zuzi A. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan
untuk analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan-Isu, Sintesis dan Gagasan.


Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

207
FPIK IPB. 2006. Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap
Yang Bertanggung Jawab (Kenangan Purna Bakti Prof. Dr. Ir. Daniel R.
Monintja). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.

Hermawan, M. 2006. Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala kecil (Kasus


Perikanan Pantai di Serang dan Tegal). Institut Pertanian Bogor. Bogor

http://indomaritimeinstitute.org/2011/07/pencemaran laut.

Kartini, E. 2013. Hukum Maritim. Deepublish. Yogyakarta.

KKP. 2011a. Kelautan dan Perikanan dalam Angka. Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Jakarta

KKP. 2011b. Ikan ekonomis Penting Indonesia. Kementerian Kelautan dan


Perikanan. Jakarta

KKP. 2011c. Peta Keragaman Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan


Perikanan Republik Indonesia (WPPRI). Dirjen Perikanan Tangkap
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta

KKP. 2011d. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2011. Dirjen Perikanan


Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta

Koswara B dan R Hannesson. 2009. Bioeconomic Analysis Of Fisheries.


Fakultas Perikanan dan Ilmu Perikanan Universitas Padjadjaran.
Bandung.

Krisdiana, D. 2010. Marine Poluttion. Baruna Ilmu Indonesia. Cianjur

Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy Dalam Membangun Negeri Bahari di Era


Otonomi Daerah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Nybaken, JW. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis, Gramedia.


Jakarta.

208
Pitcher, JT. 1999. Rapfish, A Rapid Appraisal Technique For Fisheries, and Its
Application to the Code of Conduct For Responsible Fisheries. Food And
Agriculture (FAO) Of United Nation. Rome.
Parlindungan S, Capt, Drs, MM, dkk. 1999. Kompetensi dan Keterampilan Pelaut.
STIP. Jakarta
____________, 2004, UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Departemen
Perikanan Kelautan, Jakarta
____________, 1992, UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran, Departemen
Perhubungan, Jakarta
____________, 2002, Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2002 Tentang Usaha
Perikanan, Departemen Perikanan Kelautan, Jakarta

____________, 2000, Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2000 Tentang


Kepelautan, Departemen Perhubungan, Jakarta

____________, 2005, Kepmen No. 9 tahun 2005 Tentang , Departemen


Perikanan Kelautan, Jakarta

Subekti, Capt. 2000. P2TL – 1972. YPP Djadajat. Jakarta


Sutiyar, Dage La; Thamrin Rais. 1994. Kamus Istilah Pelayaran & Perkapalan.
Pustaka Beta, Jakarta

Siombo, RM. 2010. Hukum Perikanan Nasional dan Internasional.PT.Gramedia


Pustaka Utama. Jakarta.

Suyasa I N. 2007. Keberlanjutan dan Produktivitas Perikanan Pelagis Kecil yang


Berbasis di Pantai Utara Jawa.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor (IPB).Bogor.

Tri, T. Kodiran, T. Iqbal,A. dan S Kosehendrajana. 2005. Pengembangan


Teknik Rapid Appraisal For Fisheries (RAPFISH) untuk penentuan
Indikator Kinerja Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Indonesia. Buletin
Ekonomi Perikanan Vol.VI No. 1 Tahun 2005. Bogor.

Tridoyo dkk. 2011. Menuju Desa 2030. Crestpent Press. Bogor.


Widodo J, Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

209
210
GLOSARIUM

Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh
pemilik kapal atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai
dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil.

Anak Buah Kapal adalah awak kapal selain nakhoda.

Keadaan Darurat adalah keadaan di luar keadaan normal yang mempunyai


kecenderungan memiliki potensi membahayakan baik bagi keselamatan
manusia, harta benda maupun lingkungan.

Kepelautan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pengawakan,


pendidikan, persertifikatan, kewenangan serta hak dan kewajiban pelaut.

Kilo Watt (Kw) adalah satuan kekuatan mesin kapal, 1 Kw = 1,341 HP

Kapal Perikanan adalah kapal atau perahu atau alat apung lainnya yang
digunakan untuk mengangkut ikan termasuk memuat, menampung,
mengumpulkan, menyimpan, mengawetkan, mendinginkan dan memasarkan.

Konvensi adalah permufakatan, perjanjian antara negara-negara terdiri dari


pemerintah, pengusaha dan pekerja.

Prosedur adalah tata atau pedoman kerja yang harus diikuti dalam
melaksanakan suatu kegiatan agar mendapat hasil yang baik.

Perjanjian Kerja Laut adalah perjanjian kerja perorangan yang ditanda tangani
oleh pelaut Indonesia dengan pengusaha angkutan di perairan.

Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan


pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya.

Rating adalah awak kapal selain nakhoda, para mualim, masinin dan operator
radio.

Radio Beacon adalah stasiun radio pantai.

211
Tonase Kotor (Gross Tonagge/GT) adalah satuan volume kapal, 1 GT = 2,83
m3 = 100 cft.

Sumberdaya Ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lainnya.

Sijil adalah susunan dan pembagian tugas khusus berkenaan dengan


tanggungjawab awak kapal.

212

Anda mungkin juga menyukai