Anda di halaman 1dari 6

Nama : MUHAMMAD YUDHA AUDRYAN

Nim : 2003110260

MUAMALAH

a) Muamalah dan Seluk Beluknya


a. Definisi Syari’at, Fikih, Hukum Islam dan Fikih Mu’āmalah
Ada beberapa istilah kunci yang tetap muncul ketika membicarakan hukum
Islam, yakni syariat, fikih, qanūn, fatwa, qadha, siyāsah syar’iyah dan hukumKata
hukum Islam sebenarnya tidak ditemukan sama sekali dalam Al- Qur’an, namun
yang ada dalam Al-Qur’an adalah kata syariah, fikih, hukm, dan yang seakar
dengannya. Sedangkan dalam literatur Barat, hukum Islam merupakan terjemahan
dari term “Islamic Law”Pernikahan Menurut Ijma’ ulama, syariat ialah hukum-
hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, yang dibawa oleh
salah seorang Nabi- Nya yaitu Muhammad saw, baik hukum-hukum tersebut
berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yang disebut sebagai “hukum-
hukum cabang amalan”, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu fikih atau
berhubungan dengan cara mengadakan kepercayaan (i’tikad), yaitu yang disebut
dengan “hukum-hukum pokok” dan kepercayaan, dan untuknya maka dihimpunlah
ilmu kalam. Syari’at (Syara’) disebut juga agama (al- dīn dan millah Fikih adalah
ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan kepada
pemikiran dan perenungan.
Oleh karena itu Tuhan tidak bisa disebut sebagai fāqih (ahli dalam fikih),
karena bagi- Nya tidak ada sesuatu yang tidak jelas Kata hukum yang dikenal dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan (judgement)
atau ketetapan (provision). Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti
menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya Ada dua kategori hukum yang
lahir dari perintah Allāh, yakni wajib dan sunnah, sedangkan firman Allāh dalam
bentuk larangan melahirkan hukum haram dan makruh.
Adapun firman Allāh yang memberi keluasan bagi manusia dalam
menentukan pilihan antara berbuat dan tidak, dikategorikan mubāh (boleh), yang
berindikasi boleh dilakukan dan boleh juga ditinggalkan, sehingga terkesan tak ada
tuntutan di dalamnya Fikih muamalah dalam praktiknya dibagi kedalam beberapa
bagian, yaitu:
1) Al-Aḥwāl al-Syakhsiyāh (hukum orang dan keluarga), yaitu hukum tentang orang
(subyek hukum) dan hukum keluarga seperti hukum perkawina
2) Al-Madāniyat (hukum benda) yaitu hukum yang mengatur masalah yang berkaitan
dengan benda, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, penyelesaian
harta warisan atau hukum kewarisan.
3) Al-Jināyat (hukum pidana Islam), yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan
yang dilarang atau tindak pidana (delict, jarimah) dan ancaman atau sanksi hukum
bagi yang melanggarnya (uqubat).
4) Al-Qadhā wa al-Murāfa’at (hukum acara) yaitu hukum yang berkaitan dengan acara
di peradilan (hukum formil), misalnya aturan yang berkaitan dengan alat-alat bukti
seperti saksi, pengakuan, sumpah, yang berkaitan dengan pelaksanaan hukuman dan
lain-lain.
5) Al-Dustūriyah (hukum tata negara dan perundang-undangan), yaitu hukum yang
berkaitan dengan masalah politik, seperti mengenai peraturan dasar dan sistem
negara, perundang-undangan dalam negara, syarat-syarat, hak dan kewajiban
pemimpin, hubungan pemimpin dengan rakyatnya.
6) Al-Dawliyah (hukum internasional) yaitu hukum yang mengatur hubungan
antarnegara, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang.
7) Al-Iqtishādiyah wa al-Māliyah (hukum perekonomian dan moneter), yaitu hukum
tentang perekonomian dan keuangan dalam suatu negara dan antarnegara.
b) Pernikahan
a. Pengertian Nikah
Perkawinan atau pernikahan merupakan salah satu sunnatullāh yang berlaku pada
semua makhluk ciptaan Allāh SWT, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-
tumbuhan. Lembaga perkawinan adalah dasar dan asas peradaban umat manusia Imām
Taqiyuddīn dalam kitabnya Kifāyat al-Akhyār mendefinisikan nikah sebagai ‘ibarat
tentang ‘aqad yang masyhūr (dikenal) yang terdiri dari rukun dan syarat dan yang
dimaksud dengan ‘‘aqad adalah al-wathi’ (bersetubuh).28 Hal ini semakin jelas dan
tegas karena menurut al-Azhari makna asal kata nikah bagi orang Arab adalah al-wathi’
(persetubuhan). Perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/ jasmani tetapi unsur
batin/ ruhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang
bahagia, rapat hubungan dengan keturunan yang juga merupakan tujuan perkawinan,
pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
b. Dasar Hukum
Firman Allāh SWT dalam sūrah al-Zariyāt [51] ayat : 49: Artinya: “Dan segala
sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allāh
SWT Pada sisi lain, Rasūlullāh SAW menekankah pernikahan kepada pemuda-pemudi
dengan sabda beliau:
“Wahai pemuda-pemudi! Barangsiapa di antara kalian sanggup menikah, maka
hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa tidak sanggup,maka hendaklah berpuasa
sebab sesungguhnya itu adalah penekan hawa nafsu” (HR. Bukhari No. 4677)
c. Tujuan
Tujuan pernikahan menurut Islam yang sebenarnya adalah sebagai berikut:
1) Menjauhkan diri dari zina.
2) Mendapatkan keturunan.
3) Mendapatkan tenaga untuk kemajuan Islam
4) Mewujudkan suatu masyarakat Islam.
5) Menghibur hati Rasūlullāh SAW .
6) Menambah jumlah umat Islam
7) Menyambung zuriat/keturunan
8) Menghibur hamba Allāh
d. Rukun dan Syarat-syarat
Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing
rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan, maka
uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari uraian
tersebut.
1) Calon suami, syarat-syaratnya :
a. Beragama Islam.
b. Laki-laki.
c. Jelas orangnya.
d. Dapat memberikan persetujuan.
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
2) Calon istri, syarat-syaratnya :
i. Beragama Islam
b. Perempuan.
c. Jelas orangnya.
d. Dapat dimintai persetujuannya.
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
3) Wali nikah, syarat-syaratnya :
a. Laki-laki.
b. Dewasa.
c. Mempunyai hak perwalian
d. Tidak terdapat halangan perwaliannya.
4) Saksi nikah, syarat-syaratnya :
a. Minimal dua orang laki-laki.
b. Hadir dalam ‘ījāb dan qabūl.
c. Dapat mengerti maksud ‘aqad .
d. Islam.
e. Dewasa.
5) ‘Ījāb-Qabūl, syarat-syaratnya :
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.
c. Memakai kata-kata nikah, tazwīj atau terjemahan dari kedua kata
tersebut.
d. Antara ‘ījāb dan qabūl.bersambungan.
e. Antara ‘ījāb dan qabūl.jelas maksudnya.
f. Orang yang terkait dengan ‘ījāb dan qabūl tidak sedang ihram haji atau
umrah.
g. Majelis ‘ījāb dan qabūl itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu
calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang
saksi.
Calon mempelai laki-laki harus dalam kondisi kerelaannya dan
persetujuannya dalam melakukan perkawinan. Hal ini terkait dengan asas kebebasan
memilih pasangan hidup dalam perkawinannya. berdasarkan hadis Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam yang lima dari Abu Musa ra. dari
SAW ., bahwa beliau bersabda: Tidak nikah melainkan dengan (adanya) wali Dasar
hukum saksi nikah ditemukan dalam berbagai hadis Nabi SAW . yang menentukan
bahwa saksi merupakan rukun nikah yang wajib dipenuhi pada setiap pelaksanaan
‘aqad perkawinan berlangsung.
Hadis Rasūlullāh SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari
Imran bin Hushain dari Nabi Muhammad SAW ., bahwa “Tidak ada nikah kecuali
dengan wali dan dua saksi yang adil
e. Hukum Nikah
Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang hukum nikah. Ada
beberapa pendapat yang menyatakan bahwa hukum nikah itu bisa wajib, sunat,
haram, mubah atau makruh. Bagi yang sudah mampu menikah dan nafsunya sudah
mendesak dan takut terjerumus ke dalam perzinaan, maka hukumnya wajib. Orang
seperti ini wajib nikah, sebab menjauhkan diri dari yang haram itu hukumnya wajib.
Al-Qurtuby berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Sayyid Sabiq mengatakan :
orang bujangan yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya menjadi
rusak, sedang tak ada jalan untuk menyelamatkan diri kecuali dengan kawin, maka
tak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia kawin

Anda mungkin juga menyukai