a. Definisi Syari’at, Fikih, Hukum Islam dan Fikih Mu’āmalah Ada beberapa istilah kunci yang tetap muncul ketika membicarakan hukum Islam, yakni syariat, fikih, qanūn, fatwa, qadha, siyāsah syar’iyah dan hukumKata hukum Islam sebenarnya tidak ditemukan sama sekali dalam Al- Qur’an, namun yang ada dalam Al-Qur’an adalah kata syariah, fikih, hukm, dan yang seakar dengannya. Sedangkan dalam literatur Barat, hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law”Pernikahan Menurut Ijma’ ulama, syariat ialah hukum- hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, yang dibawa oleh salah seorang Nabi- Nya yaitu Muhammad saw, baik hukum-hukum tersebut berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yang disebut sebagai “hukum- hukum cabang amalan”, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu fikih atau berhubungan dengan cara mengadakan kepercayaan (i’tikad), yaitu yang disebut dengan “hukum-hukum pokok” dan kepercayaan, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu kalam. Syari’at (Syara’) disebut juga agama (al- dīn dan millah Fikih adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan kepada pemikiran dan perenungan. Oleh karena itu Tuhan tidak bisa disebut sebagai fāqih (ahli dalam fikih), karena bagi- Nya tidak ada sesuatu yang tidak jelas Kata hukum yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan (judgement) atau ketetapan (provision). Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya Ada dua kategori hukum yang lahir dari perintah Allāh, yakni wajib dan sunnah, sedangkan firman Allāh dalam bentuk larangan melahirkan hukum haram dan makruh. Adapun firman Allāh yang memberi keluasan bagi manusia dalam menentukan pilihan antara berbuat dan tidak, dikategorikan mubāh (boleh), yang berindikasi boleh dilakukan dan boleh juga ditinggalkan, sehingga terkesan tak ada tuntutan di dalamnya Fikih muamalah dalam praktiknya dibagi kedalam beberapa bagian, yaitu: 1) Al-Aḥwāl al-Syakhsiyāh (hukum orang dan keluarga), yaitu hukum tentang orang (subyek hukum) dan hukum keluarga seperti hukum perkawina 2) Al-Madāniyat (hukum benda) yaitu hukum yang mengatur masalah yang berkaitan dengan benda, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, penyelesaian harta warisan atau hukum kewarisan. 3) Al-Jināyat (hukum pidana Islam), yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana (delict, jarimah) dan ancaman atau sanksi hukum bagi yang melanggarnya (uqubat). 4) Al-Qadhā wa al-Murāfa’at (hukum acara) yaitu hukum yang berkaitan dengan acara di peradilan (hukum formil), misalnya aturan yang berkaitan dengan alat-alat bukti seperti saksi, pengakuan, sumpah, yang berkaitan dengan pelaksanaan hukuman dan lain-lain. 5) Al-Dustūriyah (hukum tata negara dan perundang-undangan), yaitu hukum yang berkaitan dengan masalah politik, seperti mengenai peraturan dasar dan sistem negara, perundang-undangan dalam negara, syarat-syarat, hak dan kewajiban pemimpin, hubungan pemimpin dengan rakyatnya. 6) Al-Dawliyah (hukum internasional) yaitu hukum yang mengatur hubungan antarnegara, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang. 7) Al-Iqtishādiyah wa al-Māliyah (hukum perekonomian dan moneter), yaitu hukum tentang perekonomian dan keuangan dalam suatu negara dan antarnegara. b) Pernikahan a. Pengertian Nikah Perkawinan atau pernikahan merupakan salah satu sunnatullāh yang berlaku pada semua makhluk ciptaan Allāh SWT, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh- tumbuhan. Lembaga perkawinan adalah dasar dan asas peradaban umat manusia Imām Taqiyuddīn dalam kitabnya Kifāyat al-Akhyār mendefinisikan nikah sebagai ‘ibarat tentang ‘aqad yang masyhūr (dikenal) yang terdiri dari rukun dan syarat dan yang dimaksud dengan ‘‘aqad adalah al-wathi’ (bersetubuh).28 Hal ini semakin jelas dan tegas karena menurut al-Azhari makna asal kata nikah bagi orang Arab adalah al-wathi’ (persetubuhan). Perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/ jasmani tetapi unsur batin/ ruhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia, rapat hubungan dengan keturunan yang juga merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. b. Dasar Hukum Firman Allāh SWT dalam sūrah al-Zariyāt [51] ayat : 49: Artinya: “Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allāh SWT Pada sisi lain, Rasūlullāh SAW menekankah pernikahan kepada pemuda-pemudi dengan sabda beliau: “Wahai pemuda-pemudi! Barangsiapa di antara kalian sanggup menikah, maka hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa tidak sanggup,maka hendaklah berpuasa sebab sesungguhnya itu adalah penekan hawa nafsu” (HR. Bukhari No. 4677) c. Tujuan Tujuan pernikahan menurut Islam yang sebenarnya adalah sebagai berikut: 1) Menjauhkan diri dari zina. 2) Mendapatkan keturunan. 3) Mendapatkan tenaga untuk kemajuan Islam 4) Mewujudkan suatu masyarakat Islam. 5) Menghibur hati Rasūlullāh SAW . 6) Menambah jumlah umat Islam 7) Menyambung zuriat/keturunan 8) Menghibur hamba Allāh d. Rukun dan Syarat-syarat Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan, maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari uraian tersebut. 1) Calon suami, syarat-syaratnya : a. Beragama Islam. b. Laki-laki. c. Jelas orangnya. d. Dapat memberikan persetujuan. e. Tidak terdapat halangan perkawinan. 2) Calon istri, syarat-syaratnya : i. Beragama Islam b. Perempuan. c. Jelas orangnya. d. Dapat dimintai persetujuannya. e. Tidak terdapat halangan perkawinan. 3) Wali nikah, syarat-syaratnya : a. Laki-laki. b. Dewasa. c. Mempunyai hak perwalian d. Tidak terdapat halangan perwaliannya. 4) Saksi nikah, syarat-syaratnya : a. Minimal dua orang laki-laki. b. Hadir dalam ‘ījāb dan qabūl. c. Dapat mengerti maksud ‘aqad . d. Islam. e. Dewasa. 5) ‘Ījāb-Qabūl, syarat-syaratnya : a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali. b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai. c. Memakai kata-kata nikah, tazwīj atau terjemahan dari kedua kata tersebut. d. Antara ‘ījāb dan qabūl.bersambungan. e. Antara ‘ījāb dan qabūl.jelas maksudnya. f. Orang yang terkait dengan ‘ījāb dan qabūl tidak sedang ihram haji atau umrah. g. Majelis ‘ījāb dan qabūl itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi. Calon mempelai laki-laki harus dalam kondisi kerelaannya dan persetujuannya dalam melakukan perkawinan. Hal ini terkait dengan asas kebebasan memilih pasangan hidup dalam perkawinannya. berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam yang lima dari Abu Musa ra. dari SAW ., bahwa beliau bersabda: Tidak nikah melainkan dengan (adanya) wali Dasar hukum saksi nikah ditemukan dalam berbagai hadis Nabi SAW . yang menentukan bahwa saksi merupakan rukun nikah yang wajib dipenuhi pada setiap pelaksanaan ‘aqad perkawinan berlangsung. Hadis Rasūlullāh SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari Imran bin Hushain dari Nabi Muhammad SAW ., bahwa “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil e. Hukum Nikah Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang hukum nikah. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa hukum nikah itu bisa wajib, sunat, haram, mubah atau makruh. Bagi yang sudah mampu menikah dan nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus ke dalam perzinaan, maka hukumnya wajib. Orang seperti ini wajib nikah, sebab menjauhkan diri dari yang haram itu hukumnya wajib. Al-Qurtuby berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Sayyid Sabiq mengatakan : orang bujangan yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya menjadi rusak, sedang tak ada jalan untuk menyelamatkan diri kecuali dengan kawin, maka tak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia kawin