Anda di halaman 1dari 8

Nama : Yanisa Asrika Tinaldri

NIM : 042011433093

Kelas : E

WAKALAH

1. Pengertian Wakalah

Wakalah adalah suatu tindakan menyerahkan atau mewakilkan kuasa dirinya (al-
muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) untuk melaksanakan sesuatu atau melakukan tindakan-
tindakan yang merupakan haknya dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (an-naqbalu
anniyabah) dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan pekerjaan tersebut
dilaksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup.

Istilah wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau
mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil. Al-Wakalah juga berarti
perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhamah), atau pendelegasian
(al-tafwidh) sehingga definisi wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak, dimana pihak
pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama
(Antonio, 2008).

Al-wakalah dalam pengertian lain yaitu pelimpahan kekuasaan oleh seseorang yang
disebut sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak ke dua dalam melakukan sesuatu
berdasarkan kuasa atau wewenang yang di berikan oleh pihak pertama, akan tetapi apabila kuasa
itu telah di laksanakan sesuai yang di syaratkan atau yang telah di tentukan maka semua risiko
dan tanggung jawab atas perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi
kuasa.

Berikut definisi dan pengertian wakalah dari beberapa sumber buku: 

 Menurut Karim (2002), wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-muwakkil)
kepada orang lain (al-wakil) supaya melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bisa
digantikan (an-naqbalu anniyabah) dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan
ketentuan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup. 
 Menurut Ayub (2009), wakalah adalah menjaga, menahan atau penerapan keahlian atau
perbaikan atas nama orang lain, dari sini kata tawkeel diturunkan yang berarti menunjuk
seseorang untuk mengambil alih atas suatu hal juga untuk mendelegasikan tugas apapun
ke orang lain. 
 Menurut Anshori (2009), wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya kepada
orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan haknya yang tindakan itu
tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati, sebab jika dikaitkan dengan
tindakan setelah mati berarti sudah berbentuk wasiat. 
 Menurut Muhammad (1995), wakalah adalah penyerahan sesuatu oleh seseorang yang
mampu dikerjakan sendiri sebagian dari suatu tugas yang bisa diganti, kepada orang lain,
agar orang itu mengerjakannya semasa hidupnya.

2. Dasar Hukum

Islam mensyariatkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang


mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusan sendiri. Pada suatu
kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili
dirinya.

Dasar hukum dari wakalah adalah boleh dilakukan dalam ikatan kontrak yang di
syariatkan dengan dasar hukum ibadah (diperbolehkan), al-wakalah bisa menjadi sunah, makruh,
haram, atau bahkan wajib sesuai dengan niat pemberi kuasa, pekerjaan yang di kuasakan atau
faktor lain yang mendasarinya dan mengikutinya.

Adapun landasan hukum wakalah antara lain adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur'an 

Dasar hukum Wakalah dari Al-Quran terdapat dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 19, yaitu:

Artinya: "... Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa
uang perakmu ini,...."(Q.S. Al-Khafi: 19).
Selain itu terdapat juga dalam Q.S. An-Nisa ayat 35, yaitu:

Artinya: "... Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan,...."(Q.S. An-Nisa: 35).

Ayat-ayat tersebut menyimpulkan bahwa dalam hal muamalah dapat dilakukan


perwakilan dalam bertransaksi, ada solusi yang bisa diambil manakala manusia mengalami
kondisi tertentu yang mengakibatkan ketidak-sanggupan melakukan segala sesuatu secara
mandiri, baik melalui perintah maupun kesadaran pribadi dalam rangka tolong menolong,
dengan demikian seseorang dapat mengakses atau melakukan transaksi melalui jalan Wakalah.

b. Al-Hadis 

Rasulullah SAW semasa hidupnya pernah memberikan kuasa kepada sahabatnya, di


antaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan
pengurusan unta, membagi kandang hewan dan lain-lain yang kemudian dapat dijadikan
landasan keabsahan wakalah. Salah satu Hadis yang menjadi landasan wakalah yaitu:

Artinya: "Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi SAW, mengutus Abu Rafi’, hamba
yang pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua orang itu menikahkan
Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu (Nabi SAW) di Madinah sebelum keluar
(ke mieqat Dzil Khulaifah)" (HR. Maliki No.678, Kitab al-Muaththa').

c. Ijma Ulama 

Menurut Antonio (2008), para ulama berpendapat dengan ijma atas dibolehkannya
wakalah. Mereka mensunahkan wakalah dengan alasan bahwa wakalah termasuk jenis ta'awun
atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa.
3. Rukun Wakalah 

Menurut jumhur ulama, rukun wakalah ada empat, yaitu

1) Orang yang memberi kuasa (al-Muwakkil),

2) Orang yang diberi kuasa (al-Wakil),

3) Perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil), dan

4) Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul).

Adapun penjelasan ke-empat rukun wakalah tersebut adalah sebagai berikut (Suhendi, 2002).

a. Orang yang memberi kuasa (Al-Muwakkil) 

Seseorang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk tasharruf
pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika
mewakilkan sesuatu yang bukan haknya. 

Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut
supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi
kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang gila.

b. Orang yang diberi kuasa (al-Wakil) 

Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang mengatur
proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yang
diwakilkan. 

Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan
amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin
sesuatu yang di luar batas, kecuali atas kesengajaannya.
c. Objek/perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil) 

Objek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli,
pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan
kuasa. Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah
badaniyah, seperti salat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti
membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada
campur tangan pihak yang diwakilkan. Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain.
Sehingga objek yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar syari'ah Islam.

d. Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul) 

Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, dari mulai
aturan memulai akad Wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya akad
Wakalah ini. Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima
kuasa.  Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi kuasa
melakukan sesuatu tindakan tertentu.

4. Syarat Wakalah

Adapun syarat-syarat wakalah adalah sebagai berikut: 


1. Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain. Oleh karena itu,
tidak sah untuk mewakilkan untuk mengerjakan ibadah seperti salat, puasa, dan membaca
alquran. 
2. Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh karena itu, tidak sah
berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya. 
3. Pekerjaannya itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah mewakilkan sesuatu yang masih
samar seperti "aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawini salah satu anakku". 
4. Shigat, hendaknya berupa lafal yang menunjukkan arti mewakilkan yang diiringi
kerelaan dari muwakkil seperti "saya wakilkan atau serahkan pekerjaan ini kepada kamu
untuk mengerjakan pekerjaan ini" kemudian diterima oleh wakil. Dalam shigat qabul si
wakil tidak syaratkan artinya seandainya si wakil tidak mengucapkan qabul tetap
dianggap sah.
SAMSARAH

1. Pengertian Samsarah

Samsarah (simsar) adalah perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau
mencarikan pembeli), atau perantara atara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.
Dengan adanya perantara maka phak penjual dan pembeli akan lebih mudah dalam bertransaksi,
baik transaksi berbentuk jasa maupun berbentuk barang

Samsarah (makelar) adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang
lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain makelar (simsar) ialah
penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual-beli. Jadi, samsarah adalah
perantara antara sebuah perusahaan jasa dengan pihak yang memerlukan jasa mereka (produsen,
pemlik barang), untuk memudahkan terjadinya transaksi jual beli dengan upah yang telah
disepakati sebelum terjadinya akad kerja sama tersebut.

Simsar adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk orang lan dengan upah, bak untuk
keperluan menjual maupun membelikan. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang yang
mencarikan (menunjukkan) orang lain sebagai partnernya sehngga pihak simsar tersebut
mendapat komisi dari orang yang menjadi partnernya.

2. Dasar Hukum

 Samsarah adalah pekerjaan yang halal menurut Syariah Islam.


 Dalilnya menurut hadits yang mentaqrir samsarah pada masa Nabi Muhammad SAW.
 Dari Qais bin Abi Gharazah Al Kinani RA, dia berkata :

“Dahulu kami (para shahabat) berjual beli di pasar-pasar di Madinah dan kami menyebut
diri kami samasirah (para simsar/makelar). Keluarlah Rasululullah SAW kepada kami kemudian
beliau menamai kami dengan nama yang lebih baik daripada nama dari kami. Rasulullah SAW
bersabda,’Wahai golongan para pedagang, sesungguhnya jual beli sering kali disertai dengan
ucapan yang sia-sia dan sumpah, maka bersihkanlah itu dengan shadaqah.”

(HR Abu Dawud no 3326; Ibnu Majah no 2145; Ahmad 4/6; Al Hakim dalam Al Mustadrak no
2138, 2139, 2140, dan 2141).
(Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah, 2/311; Yusuf Qaradhawi, Al Halal wal Haram fi al
Islam, hlm.226).

3. Rukun Samsarah

Untuk sahnya aqad samsarah harus memenuhi beberapa rukun yaitu:

1) Al-Muta'aqidani (makelar dan pemilik harta)

Untuk melakukan hubungan kerja sama ini, maka harus ada makelar (penengah) dan pemilik
harta supaya kerja sama tersebut berjalan lancar

2) Mahall al-ta'aqud (jenis transaksi yang dilakukan dan kompensasi)

Jenis transaksi yang dilakukan harus diketahui dan bukan barang yang mengandung maksiat dan
haram, dan juga nilai kompensasi (upah) harus diketahui terlebih dahulu supaya tidak terjadi
salah paham.

3) Al-shigat (lafadz atau sesuatu yang menunjukkan keridhoaan atas transaksi pemakelaran
tersebut)

Supaya kerja sama tersebut sah maka, kedua belah pihak tersebut harus membuat sebuah aqad
kerja sama (perjanjian) yang memuat hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak.

4. Syarat Samsarah

Adapun syarat yang membuat sahnya samsarah antara lain:

1.Persetujuan kedua belah pihak

2.Objek akad bisa diketahu manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan.

3.Objek akad bukan hal-hal maksiat atau haram, misalnya mencarikan untuk kasino, porkas, dsb.

Anda mungkin juga menyukai