Anda di halaman 1dari 10

1.

Korban kekerasan langsung


Kekerasan langsung sebagai akibat dari konflik adalah korban
meninggal, luka, pengungsi atau cacat seumur hidup dan sebagainya
merupakan data empiris yang penting dipaparkan. Menghadapi situasi
masyarakat ditengah pergumulan konflik sering muncul informasi yang
membingungkan dan simpang siur, sulit di percaya, karena terjadi
kontroversial diantara kedua komonitas yang berkonflik, berdasarkan
sumber data/infonnasi dari subjek pelaku secara samar-samar.
Selain korban nyawa, juga korban kekerasan langsung lainya yang
harus di perhitungkan, seperti luka ringan, luka parah, tempat tinggal, rumah
dan pengungsi. Korban kekerasan jenis ini seringkali kurang mendapat
perhatian yang memadai khususnya masyarakat yang telah dilanda konflik
hebat seperti di Ambon. kebanyakan orang hanya membicarakan korban
jiwa langsung yang mudah dan menarik perhatian, sementara korban
langsung selain itu sering diabaikan tenggelam dalah hirur pikuk banyaknya
korban jiwa yang ada.1

2. Korban Nyawa dan Luka-Luka


Berapa jumlah korban yang meninggal akibat konflik Ambon, sejauh
ini masih sulit penulis temukan, khususnya dari pihak Kristen, karena tidak
ada pendataan yang sistimatis dari lembaga atau LSM yang bisa di percaya
kecuali dari pihak Islam dan pihak kepolisian. Menurut catatan resmi pihak
kepolisian daerah Polda Maluku korban nyawa dan luka-luka 1999-2000
dalam tabel menurut Lambang Trijono sebagai berikut:
Korban
N Meningga
Bulan Luka-Luka Hilang Keterangan
O l
Jumlah ini menurut
Januari 9 data perkiran banyak
1 2.115 - -
April 2000 orang, relative rendah
selama 2 tahun.

1
Lihat Lambang Trijino, Keluar Dari Kamelut Maluku, Refleksi Pengalaman
Praktis Untuk Perdamaian Maluku, Cet. 1 (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2001), h. 70-71.
Data dari kontras
15 Juli 5 (Komite untuk Orang
2 Agustus 82 1441 4 hilang dan Korban
199 Kekerasan. Lihat L.
Trijino

Data tersebut masih belum akurat, perlu diuji kebenarannya secara


objektif, karena hanya berdasarkan infomasi melalui media cetak dan
elektronik, bukan fakta lapangan yang sebenarnya Ada yang mengatakan
korban jiwa mencapai sekitar 3.000 ribu jiwa, bahkan informasi lain
(Kompas 7 Agustus l999) yang dikutip Lambang Trijono menyebutkan
sampai 4-5 ribu korban jiwa. sementara angka resmi Kapolri menyebut 33
orang tewas.2 Justru pernyataan Kapolri ini adalah sesuatu kekeliruan yang
sengaja dibuat-dibuat atau karena laporan yang subjektif tanpa didukung
oleh data dan fakta kebenaran obyektif di lapangan.

3. Korban Pengungsi
Dampak dari konflik Ambon, sejauh ini lelah menimbulkan korban
kehilangan tempat tinggal dan pengungsi dalam jumlah yang sangat besar.
Diperkirakan sekitar 440.000 orang menjadi pengungsi, belum terhitung
jumlah pengungsi akibat konflik episode ketiga 2001/2002, yang
diperkirakan puluhan ribu rumah di beberapa lokasi yang dianggap aman
seperti: Lantamal IX TNI AL terdiri dari komonits lslam-Kristen, Polda
Maluku, Gonzalo, Tl IR Waehaong, telah kembali ketempat asal, dan
sebagian tidak kembali, mereka memilih ketempat yang baru (relokasi).
Pemerintah telah merekontruksi rumah-rumah yang rusak disamping
membangun perumahan baru Tipe-10 yang lebih asri, letaknya strategi dan
aman pada dua lokasi dalam wilayah kota Ambon. Pengungsi yang
beragama Islam ditempatkan dikompleks perumahan baru Katekate Kec.
Baguala Sementara pengungsi Kristen ditempatkan dilokasi pengungsi
Kusu-kusu Kec. Sirimau kota Ambon.

2
Lihat Lambang Trijono, Ibid, h. 72.
Pemda kota Ambon, masih diperhadapkan dengan persoalan
pengungsi dan pengembalian mereka ketempat asal, masing-masing belum
dapat teratasi secara tuntas, baik BBR, ceklist dana pengungsi atau hak-hak
lainnya. Sehingga sampai dengan tahun 2006 para pengungsi masih
menempati camp-camp dipusat pertokoan antara lain: Jl.A.Y. Patti, Jl.
Samratulangi, Hotel Sakura (lokasi pengungsi Islam), sebaliknya Jl. Imam
Bonjol, Batu Gajah, Gonzalo, (lokasi pengungsi Kristen), bahkan sebagian
besar masih tersebar di luar Ambon, seperti: Sulawesi. Selatan Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Utara maupun Teranate Maluku Utara.
Dari percakapan penulis dengan pengungsi di Halong, bisa
ditangkap setidaknya terdapat tiga varian utama pengaruh konflik Ambon
terhadap sikap dan psikoiogi mereka, antara lain:
a. Para pengungsi, korban konflik melihat bahwa komonitas Islam dan
Kristen tidak mungkin atau setidaknya kecil kemungkinan bisa
didamaikan. Pandangan itu adalah menyebabkan pengungsi, baik
muslim atau kristen menganggap kalau toh mesti tinggal di Ambon,
mereka memilih untuk tinggal lingkungan yang mayoritas yang
seagama.
b. Kekhawatiran terhadap kemungkinan pecah konflik dimasa depan,
ada juga pengungsi yang tidak ingin pindah ke tempat tinggal
sekalipun dilingkungan bukan mayoritas seagama Mereka masih
mau bersama dengan warga lain agama. Alasannya ditempat
tinggalnya itulah mereka lahir, di besarkan dan bekerja Memiliki
kekayaan seperti tanah, ternak dan rumah yang bisa digunakan
sebagai aset produksi. Selain itu, jika suatu saat mereka yakin bisa
berdamai dengan komonitas agama lain, karena mereka sebenarnya
sebagai saudara bila keadaan sudah relatif aman mereka bisa
berdamai karena mereka sangat takut bagaimana karakter
saudaranya dan tahu bagaimana harus berhubungan antara sesama
orang basaudara dengan ikatan pela-gandong.
c. Pengungsi ada yang tidak sama sekali tidak punya keinginan untuk
tinggal di Ambon, kendati nenek moyang mereka tinggal di pulau
tersebut, satu abad yang lalu. Mereka melihat konflik kali ini begitu
dahsyat sehingga memporak-porandakan hubungan persaudaraan
yang telah mengkristal (pela-gandong) selama ini, sulit untuk
dibangun dan dirajut kembali. Tetapi ironisnya, meskipun bersih
keras meninggalkan Ambon, mereka ternyata menyadari adanya
kesulitan jika harus kembali ketanah keiuhumya, terutama BBM,
karena ditanah asalnya di Sulawesi mereka seolah-olah merasa
terasing karena sudah tidak punya akar leluhur satupun. Nenek
moyang mereka, telah lama meninggalkan Buton dan Makassar.
praktis mereka sudah kehilangan jalur pertalian keluarga dengan
saudara-saudara mereka yang tetap tinggal di Buton dan Makassar.

4. Korban kekerasan tidak langsung


Kekerasan tidak langsung yang penulis maksudkan di sini adalah
kerusakan sarana, prasarana atau infra struktur fisik dan sosial-ekonomi,
akibat konflik yang menyebabkan aktifitas sosial-ekonomi terganggu dan
lumpuh total. Kekeresan tidak langsung ini berupa kerusakan fisik dan
kerusakan pranata dan lembaga sosial, ekonomi, budaya dan politik yang
menjadi sarana penting untuk menopang berlangsungnya kehidupan
sosial secara normal. Jenis-jenis kerusakan fisik dan pranata-paranta sosial
ekonomi akibat konfiik sej auh ini, khususnya di kota Ambon di paparkan
sebagai berikut:

a. Kerusakan fisik
Dampak konflik Ambon, terhadap kerusakan fisik telah demikian
parah sehingga melumpuhkan sendi-sendi kehidupan sosial, ekonomism,
politik dan pemerintahan di Ambon-Maluku dalam waktu yang relatif
panjang. Sarana dan prasarana ekonomis, seperti pasar, pertokoan dan
pusat-pusat perdagangan informal di daerah-daerah perbatasan Muslim-
Kristen dalam kota, rumah-rumah penduduk dan tempat ibadah menjadi
puing-puing.
Sebagai ilustrasi betapa hebatnya kerusakan fisik akibat konflik ini.
Yayasan Salawaku mencatat di kota Ambon sejak Januari 1999 sampai Mei
1999, sudah tercatat sekitar 1.396 rumah terbakar dan 1.333 rumah yang
rusak berat. Sebagaimana pemikiran Drs. Sudarmo, M.Si, 3 (Politisi Ketua
PKS Maluku), bahwa pos keadilan peduli umat mencatat Sampai 8 Agustus
1999 sejumlah perkampungan muslim yang hancur terbakar, mencakup:
Talake dalam, Wailela pantai, Poka, Perumahan Poka, Latta, Taeno, Rumah
Tiga, Karang Panjang, Wailete, Air Besar di kompleks STAIN. Sebalikhya
di komunitas Kristen, kerusakan hebat terjadi dalam konflik episode ketiga
bulan April-Juli 2000, meliputi, kampung Kristen di Wai, Tantui/RSU
Otoquick, Talake, Rumah Tiga, Suli Bawah, di samping tempat ibadah,
gereja ikut terbakar atau rusak berat. Begitu pula sarana dan prasarana
pemerintah, kantor gubernur, kantor DPR kota Ambon, markas Brimob
Tantui, Kanwil Agama, Unpatti, Yayasan Al-Hilal, SMU Muhammadiyah
dan UKIM. Angka kerugian mencapai triliun rupiah.

b. Pranata Sosial dan Kegiatan Ekonomi Lumpuh


Salah satu akibat yang terparah secara sosio-kullural dari konllik ini
adalah semakin merosotnya wibawa adat, pranata sosial, maupun ' tokoh-
tokohnya. Di satu sisi, sebagian tokoh adat, masih percaya bahwa ikatan-
ikatan adat yang menatkan kelompok-kelompok masyarakat Ambon masih
bisa efektif bekerja sebagai pilihan untuk meredakan konflik. Tetapi pranata
adat itu tidak dapat dipercaya oleh sebagian tokoh, mereka menganggap
adat, khususnya pela-gandong tinggal menjadi romantis yang tidak relavan
dengan perkembangan zaman. Hal itu banyak dirasakan oleh para tokoh
agama tokoh adat, tokoh pemuda untuk menutupi ketergangguan sosial yang
gagal di akomodasikan. Pasca konflik 25 April 2004, pemerintah dan tokoh
adat (Islam-Kristen) memprakarsai kembali upaya rekonsiliasi dengan

3
Sodarmo, "Wawancara”, tanggal 10 Juli 2006, di Ambon.
menghidupkan kultur pela-gandong sebagai sarana "bakudapa" dalam setiap
acara adat, terutama pemilihan dan pelantikan raja (kepala Desa), seperti
desa Passo, Batu Merah (pela) Ema dan Batu Merah (gandeng), Morella-
Soya (gandong), Mamala-Passo (gandong).
Dampak lain yang parah akibat konflik Ambon adalah kelumpuhan
aktivitas ekonomi, menyebabkan kegoncangan hidup yang mengancam
penduduk Ambon, terutama camp-camp pengungsian sampai tahun 2006,
belum dapat di peroleh hak-hak mereka sebagai korban konflik,
sebagaimana yang telah dijelskan di muka.
Kegiatan-kegiatan perekonomian pasar, pertokoan, termasuk sentral
bisnis dan hiburan di Ambon Plaza yang lumpuh sampai dengan konflik 25
April 2004 (HUT RMS) telah berimbas terhadap stabilitas keamanan,
sehingga aparat keamanan perlu melakukan pendekatan persuasif untuk
mensteril kompleks itu dalam memperlancar aktivitas ekonomi dan
sekaligus dijadikan sebagai sarana rekonsiliasi antara dua komunitas.
Strategi lain, menurut H. Syarif Hadler, BA.,4 Wakil Walikota
Ambon, bahwa langkah strategi yang pernah dilakukan oleh pemerintah
kota adalah pembukaan terminal Mardika sebagai pusat angkutan dalam dan
lubar kota telah dapat berfungsi kembali secara efektif, dan rekonstruksi
pasar Mardika. Hal ini dilakukan untuk mensiasati pembauran kedua
komunitas dalam rangka membangun perdamaian, karena “damai” itu
mahal, tegasnya. Kedua sarana ekonomi ini telah lumpuh total sejak Januari
1999 sampai tahun 2005 normal kembali. lni berkat kebijakan dan
keberhasilan dua tokoh yang memimpin kota Ambon yaitu MJ. Papilaya dan
Syarif Helder sebagai wali kota dan wakil wali kota periode 2001-2006.
Selain berdampak pada aktivitas ekonomi, konflik selama ini juga
berakibat fatal pada aktivitas pendidikan dan pelayanan kesehatan di
Ambon. Kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah maupun kampus-
kampus terhenti dan lumpuh total, pemerintah dengan segala kebijakan

4
Syarif Hadler (Wakil Wali Kota Ambon), "Wawancara", tanggal 25 Juni 2006, di Ambon.
membangun kembali sarana-sarana alternatif untuk memberi keamanan dan
kenyamanan bagi masyarakat di sektor pendidikan dan kesehatan.
Aktifitas kampus Unpatti beroperasi kembali dikompleks PGSD
dalam bentuk rekontruksi yang lebih permanen, kampus UKIM di Talake
melaksanakan kegiatan kuliah diyayasan Efrata Kuda Mati belakang Soya
sementara kegitan dibelajar bagi -SMU Muhammadiyah Talake pindah
kegedung baru di Wara-STAIN, SDN I-III Yayasan Al-l-lilal beroperasi
pada sarana alternatip di desa Batu Merah, dan dalam waktu singkat mereka
segera dapat kembali menempati gedung berlantai dua, telah rampung di
bangun kembali.5 Siswa-siswi SMU 3 Poka Rumah Tiga yang muridnya
tertampung di camp-camp pengungsi Batu Merah memilih sarana alternatif
di SDN-Asmil Batu Merah dalam dan SMU-ll Galunggung, sebagai tempat
belajar yang aman. Kini mereka semua telah kembali aktif berbaur untuk
belajar bersama teman-teman yang beragama lain di SMU 3 yang telah
rehabilitasi (rekontruksi).6

c. Segregasi sosial
Dampak sangat fatal dari konflik Ambon adalah terjadinya segregasi
sosial. Segregasi sosial secara paksa pasti terjadi sebagai akibat akumulasi
dari konflik yang berlangsung lebih kurang 5 tahun terakhir. Penulis yang
ada di tengah-tengah masyarakat kota Ambon pada lingkungan mayoritas
Kristen sangat merasakan gesekan sosial yang cukup mencekam, terutama
menjelang hari “H” konflik itu pecah, segregasi itu berlangsung dengan
sangat cepat.
Intimidasi, teror telpon, Bakar Bunuh Muslim (BBM) secara terang-
terangan tanpa sadar diucapkan, sejak pecah sampai episode kedua bulan
Juli 1999. Kekerasan itu secara moral sangat menakutkan dan sulit
dihentikan, kecuali dua pilihan: Pertama, pilih selamat harus mengungsi

5
Abdullah Soamole (Kepala SDN-2 Al-Hilal), “Wawancara", tanggal 5 Juni 2006,
di Ambon.
6
Nurbaiti. S.Hi (Kepala SMU-3 Ambon). "Wawancara". tanggal 5 Juni 2006, di
Ambon.
(eksodus), Kedua, bertahan dan melawan akan dibantai. Hari pertama pecah
konflik 19 Januari 1999, penulis tetap bertahan dari beberapa warga muslim
Kami membentuk Pos Kamling bersama (Islam-Kristen), selama dua
minggu bertahan. Tetapi stabilitas keamanan yang tidak bersahabat
disebabkan masyarakat muslim setempat (desa Hative Kecil) dalam jumlah
besar telah mengungsi ke tempat yang lebih aman (Batu Merah), karena
ketakutan terhadap ancaman pihak Kristen, sehingga tinggal kami yang
muslim berempat (Daeng Arsad, AR Hayato, Ode Jumu dan Penulis),
akhirya lebih baik memilih meninggalkan rumah. dari pada jadi korban sia-
sia.
Masih teringat dalam catatan penulis, tepat pada hari Kamis, 21
Januari 1999, sebuah mebel yang cukup besar (Home Industri) milik
seorang pengusaha asal Bone Sulawesi Selatan H. Daeng Henso, mebel itu
dirubuhkan dengan mesin sensor, kemudian dibakar oleh pemuda kristen
dalam jumlah besar. Pada umumnya, mereka adalah domba-domba AM-
GPM Galala dan Hative Kecil. Sambil berteriak Ambon Israel kecil, kami
pasukan anti BBM, usir. kaum pendatang, bantai Muslim.
Perlu dijelaskan bahwa, hasil akhir dari konspirasi politik
penghancuran, pengusiran dan pembersihan terhadap umat lslam di Ambon,
termasuk BBM, telah mengakibatkan terjadi pemutusan wilayah secara
alami, sehingga umat Islam maupun Kristen, masing-masing tidak dapat
kembali ke tempat asalnya seperti semula, atau relokasi secara alamiah.
Zona-zona perbatasan yang telah dikuasai oleh pihak Kristen khususnya,
semakin membesar-luas. Dari Suli sampai masuk perbatasan Galala Batu
Merah, diperkirakan hampir 80% wilayah kota Ambon terbelah dua lebih
besar diwilayah Kristen. Dari fakta ini sangat sulit diprediksi apakah
"mungkin" umat Islam berani kembali ke tempat asal mereka, seperti:
Karang Panjang, Kuda Mati, Passo, Waetatiri, Halong, Waelete dan Galala
betapa sangat imposible hal itu akan terjadi.
Luas wilayah yang meliputi Watatiri sampai dengan Galela,
merupakan bagian dari hasil akhir sebuah konspirasi politik, konflik 19
Januari 1999, dan pasca konflik 25 April 2004 baru dirasakan oleh umat
Islam, karena terjadi pembelahan dan pemutusan wilayah secara alami. Luas
wilayah pemukiman Islam yang telah dikuasai pihak Kristen sebagai akibat
dari konflik semakin luas (hasil konspirasi konflik) pada tiga wilayah
kecamatan di kota Madya Ambon, antara lain Kecamatan Baguala, Sirimau
dan Nusaniwe.
Persempitan wilayah darat maupun laut dalam transportasi pada saat
konflik sampai tahun 2004. Menurut Afras Pattisausiwa, 7 (politisi) kini
harus dibuka lebar untuk dapat berfungsi kembali. Peralihan pusat-pusat
transit angkutan laut, seperti : transportasi spitboat dari Rumah Tiga ke Batu
Merah dialihkan melalui efektivitas pelabuhan Very Poka ke Galala,
sehingga terjadi pembauran dua komunitas sacara alami, tanpa rasa takut
atau khawatir. Begitu pula yang terjadi antara pelabuhan Gudang Arang ke
Galala melalui laut, sekarang telah mengalami mereka, seperti: Karang
Panjang, Kuda Mati, Passo, Waetatiri, Halong, Waelete dan Galala betapa
sangat imposible hal itu akan terjadi.
Luas wilayah yang meliputi Watatiri sampai dengan Galela,
merupakan bagian dari hasil akhir sebuah konspirasi politik, konflik 19
Januari 1999, dan pasca konflik 25 April 2004 baru dirasakan oleh umat
Islam, karena terjadi pembelahan dan pemutusan wilayah secara alami. Luas
wilayah pemukiman Islam yang telah dikuasai pihak Kristen sebagai akibat
dari konflik semakin luas (hasil konspirasi konflik) pada tiga wilayah
kecamatan di kota Madya Ambon, antara lain Kecamatan Baguala, Sirimau
dan Nusaniwe.
Persempitan wilayah darat maupun laut dalam transportasi pada saat
konflik sampai tahun 2004. Menurut Afras Pattisausiwa,15 (politisi) kini
harus dibuka lebar untuk dapat berfungsi kembali. Peralihan pusat-pusat
transit angkutan laut, seperti : transportasi spitboat dari Rumah Tiga ke Batu
Merah dialihkan melalui efektivitas pelabuhan Very Poka ke Galala,

7
Afras Pattisausiwa (Ketua DPD PPP kota Ambon), "Wawancara", tanggal 8
April 2005. di Ambon.
sehingga terjadi pembauran dua komunitas sacara alami, tanpa rasa takut
atau khawatir. Begitu pula yang terjadi antara pelabuhan Gudang Arang ke
Galala melalui laut, sekarang telah mengalami normalisasi, yakni peralihan
dari laut ke darat secara menyeluruh melalui angkot kesatu tujuan akhir
yaitu terminal Mardika.
Dengan demikian dapat dianalisis bahwa berbagai faktor yang
melatar belakangi konflik Ambon telah menimbulkan peperangan dan
kerusakan yang meliputi berbagai aspek. Akibatnya terjadi korban
kekerasan langsung, seperti: korban nyawa dan pengungsi serta korban
kekerasan tidak langsung seperti: kerusakan fisik, pranata sosial-ekonomi
lumpuh dan terjadi segregasi sosial. Permasalahan yang sangat kompleks
pada tataran ini segera diatasi, dicari solusi penyelesaian yang bersifat
komprehensif melalui penghentian konflik dan rekonstruksi.

Anda mungkin juga menyukai