Anda di halaman 1dari 10

AWAN-AWAN SENJA – iket atau kuluk – rambut itu kulilitkan pada sisir kult penyu yang

Walaupun mataku sudah buta enam puluh tahun yang lalu, tapi sampai kusisipkan di kepala.
hari ini aku masih dapat membayangkan keindahan kota Solo. Sering kali Masih pagi benar hari itu aku sudah menyuruh Senen, bujangku untuk
pada pagi hari aku keluar dengan menunggang kuda keliling kota mencari menyiapkan Duren, kudaku. Niatku hendak berpesiar ke alun-alun Selatan
pemandangan. Setiba di luar kota, maka pemandangan yang menerawang untuk melatih Duren berlari kencang, kemudian ketepian bengawan Solo
ke segala penjuru memulas mataku. Duduk sendiri di dangau, telinga untuk melatih kuda itu berlarian di pasir, di lumpur atau tempat-tempat
mendengarkan cericik burung-burung gelatik yang berayun di batang padi, penyeberangan.
sedang mata memandang jauh ke puncak biru Gunung Merapi, sungguh Keluar dari halaman rumah, Jalan masih diliputi halumun. Baru dua
merupakan kegemaranku di kala senggang. Apa lagi di kala senja, Gunung tiga orang kelihatan menyapu halaman. Duren belum kularikan, masih
Merapi Nampak wingit bagaikan seorang pertapa yang lagi duduk semadi. berjalan dengan tapak-tapak ringan, walaupun tampak gagah dan tegap
Jurang-jurang dan lereng-lerengnya yang menurun dan bersilang siku Tapal besinya terdengar berirama berantukan dengan batu-batu jalan.
bagaikan tangan yang sedekap, sedangkan puncaknya yang bersentuhan
dengan awan-awan jingga senja, laksana kepala sang pertapa yang lurus- Tiba-tiba dari sebuah jalan simpang jalan sebuah kampung muncul
lurus mengusap langit nirwana. seorang gadis. Tangannya mencangking bakul. Mungkin ke pasar. Sudah
Kala itu usiaku belum ada 25 tahun – bahkan menurut perhitungan pasti duren melihat sosok gadis itu, sebab saat itu juga ia menegakkan
tahun Masehi baru 23 tahun – tetapi kedudukanku sebagai pegawai lehernya, kepalanya bergeleng-geleng, suarainya berjurai-jurai, sedangkan
keraton sudah mencapai pangkap mentri. Memang terhitung cepat sekali kaki belakang dihentak-hentakkan seperti menari. Sebaliknya anak gadis
kenaikan pangkatku, aku mulai bekerja di keraton pada usia 17 tahun, dan itu nampak ketakutan; langkahnya terhenti, bahkan terpaku. Seperti anak
ketika umurku baru saja menginjak 20 tahun, pangkatku sudah dinaikkan nakal saja, Duren bahkan berlari berputar-putar di tengah jalan. Kendaliku
menjadi lurah. Mungkin juga karena kecakapan dan kerajinanku, tetapi kuabaikan. Gadis itu makin ketakutan, sehingga terjongkok di tepi jalan.
silsilah yang masih terhitung tinggi derajatnya di lingkungan bangsawan, Rasa malu terbit dalam hatiku, kalau-kalau aku disangka priyayi nakal
kiranya berpengaruh pula atas kedududkanku. Baik dari alur Bapak yang suka mengganggu orang. Cemeti segera kupukulkan ke kepala
maupun Ibu, aku masih berhak menggunakan gelar raden mas. Duren. Kuda jantan itu tahu benar aku marah, maka kepalanya tunduk dan
“Ndorobei hendak berpesiar ke mana?” tanya tetangga-tetanggaku tak mau bertingkah lagi.
sambil membungkuk-bungkuk setiap dilihatnya aku duduk di atas kuda Dari punggung kuda aku melompat turu, dan segera aku hampiri gadis
keluar dari pelataran rumah. Kegemaranku menunggang kuda memang yang lagi berjongkok itu.
berlebihan. “Maaf, maafkan saya, “kataku, “kuda ini memang jahat.”
“Serba cakap,” kudengar pujian orang-orang, “ndorobey masih muda Gadis itu bangkit tetapi mukanya menunduk. Ketika dilihatnya mata
dan cakap, kudanya putih belang hitam.” Apakah itu pujian yang keluar uang jatuh berderi dari ikat pinggangnya, ia membungkuk lagi memunguti.
sungguh-sungguh dari kekaguman, atau pujian untuk memancing Aku pun membantu memungut sebuah mata uang benggol yang
kedermawananku, aku tidak mempersoalkannya. menggelinding agak jauh.
Sebagai seorang priyayi muda aku senang berdandan pula. Ada empat “Nanti kotor tangan, priyayitun. “ kata gadis itu lirih. “Biarlah hamba
buah lemari pakaianku. Kain ataupun baju hanya beberapa kali kupakai, sendiri memungutnya.”
selanjutnya kuhadiahkan kepada tetangga-tetangga atau pejabat-pejabat Aku yakin kata-kata itu bukan sindiran.
bawahanku. Seperti priyayi-priyayi di waktu itu, rambutku kupelihara Di samar cadar halimun kuawasi wajah gadis itu. Pipinya halus bahai
panjang-panjang untuk digelung . jika aku tidak mengenakan tutup kepala dibubut.
1
“Izinkan saya pergi, ndoro,” pamit gadis itu. Sungguh kata-kata itu Cemeti pura-pura kujatuhkan, maksudku jika aku harus turun untuk
mengagetkan aku yang lagi terpesona memandangnya. berbicara, tidaklah aku malu di mata orang. Sambil membungkuk meraih
Aku pun meloncat ke punggung kuda. Cemeti kuayunkan. Duren cemeti dari tanah, aku berkata dengan canda: “Ah,bagaimana, ada pula
mengangkat kaki depannya, ringkiknya menyambar telinga, lalu meloncat yang menyebut aku ndoro. Bukankah sudah berkenalan baik-baik tadi
dan larilah ia bagai terbang. pagi?”
Sampai di alun-alun kuda itu kularikan terus memintaspadang rumput, “Betul nDoro, “ sahut perempuan itu, “tadi pagi saya mendapat
selanjutnya mengitari alun-alun untuk berlatih lari di padang luas. amarah dari orang tua,”
Matahari sudah tersembul kini, maka lari Duren semakin perkasa. Derap “Lho, apakah masih ada uang yang hilang atau tercecer di jalan?”
kakinya berirama gembira. Hanya hatiku yang kurasa kurang tenang. tanyaku kubuat-buat. “Berapa banyak yang hilang, saya yang mengganti.”
Kejadian di jalan tadi berkilasan di mata. Cemeti sering kupukulkan pada Lalu seperti berkata pada diriku sendiri: “Hemm, hemm, memamng sudah
Duren tanpa maksud. Maka Duren segera kularikan keluar dari gerbang nasibku, kalau ternyata banyak uang yang hilang; biarlah untuk
alun-alun, membelok ke arah timur langsung menuju tepi bengawan. menggantinya aku terpaksa menjual sarung keris emasku ...”
Pemandangan di sepanjang kali telah ramai. Pedagang-pedagang dari “Bukan begitu nDoro,” seru gadis itu.
desa beriring-iring menyeberangi bengawan menuju kota. Dengan hati- Sambil menampar dagu kuda aku seperti mengajak berbicara Duren:
hati kuda kusuruh menuruni tebing menuju tempat penyeberangan yang “Ren, engkau yang nakal, kesurupan setan di tengah jalan tadi pagi.
dangkal. Kakinya berkecopakan, dan air pun bercipratan membasahi Akulah kini yang harus merogoh saku. Salah-salah sarung emasku harus
kakiku di sanggurdi. Sesudah segar Duren bermain air, sanggurdi kutekan, kujual dulu untuk mengganti uang orang.”
kendali kutarik, ujung cemeti kujentikkan di dahi Duren, maka kuda itu “Tidak nDoro,” seru gadis itu. “sayalah yang salah dan keliru. Mohon
pun mulai melangkah menyusur bengawan. dijatuhkan amarah, nDoro. Sayalah yang kurang sopan. Kata embok saya.
Pohon-pohon bambu yang merimba di tepi kali sungguh merupakan Terhadap norobei harus menghormat dan menyembah.”
rintangan yang sulit untuk ditembus, tapi Duren tampak tabah untuk “Lho, lho, lho, mengapa mengaku salah dan keliru? Ah, mengapa kita
menyusup di tengah-tengahnya. Akulah yang menderita, karena badan- sama-sama mengaku salah. Ha, ha, ha, pasti kita sama-sama tidak
badanku terkait ranting-ranting bambu yang tajam. Badanku pun terasa bersalah,” demikian sahutku sambil mengulum senyum.
penat sekali karena kuda itu berjalan naik-turun menaiki tanjakan-tanjakan Sambil mencucukkan ujung cemeti ke pantat Duren aku mengajak
sempit sepanjang kali. kuda itu bercanda lagi: “Ren, Duren, sungguh hari ini merupakan hari
Menjelang sore, setelah aku beristirahat dan makan di rumah Wedana peruntungan kita. Aku tak jadi kehilangan sarung keris emas, malah dapat
Bekonang, barulah aku memacu Duren kembali ke kota. Matahari hampir kenalah baru . . . .”
tenggelam ketika aku memasuki kota bagaikan naik kuda sembrani. Aku meloncat ke punggung kuda, kutepis pelipis kuda yang berbintik-
Tiba-tiba hatiku tersentak. Seketika kendali kutarik, hingga kepala bintik hitam itu sebaga isyarat agar ia mulai melangkah. Sebelum Duren
Duren terangkat tinggi-tinggi. Walaupun suasana sore telah samar kelabu, melonjak dan berlari, senyum kulemparkan pada gadis yang masih terpaku
mataku masih sempat melihat sesosok tubuh gadis yang berjalan tergopoh- di tepi jalan itu.
gopoh menyisih karena takut tersambar lari kudaku. Pasti, pasti dia gadis
yang kujumpai tadi pagi. Sampai di rumah sehabis mandi, abdiku Senen berkata bahwa Dimas
Begitu Duren berhenti dengan nafas masih terhambur, dari atas kuda Pradopo – seorang priyayi dari Sraten – tadi siang datang ke rumah.
aku menyapa gadis itu: “Baru pulang sudah begini sore?” Maksudnya malam ini hendak datang lagi untuk mengajak hadir ke suatu
Gadis itu kaget. “Betul nDoro, “ jawabnya. keramaian tayuban di kampung Notokusuman. Biasanya malam – malam
2
kami berdua memang suka datang ke keramaian tayuban di rumah-rumah bandingannya di seluruh Surakarta. Mau pilih penari siapa saja; malam ini
priyayi kenalan kami. pasti dikumpulkan Pak Projo.”
Sambil duduk di kursi goyang di tengah pendapa aku menantikan “Tapi – tapi kali ini saya minta maaf, Dimas,” sahutku serak.
Senen membawa cangkir dan teko. “Kudaku si Duren nakal benar sehari tadi, larinya menyambar-nyambar
“Nen,” tanyaku pada Senen begitu datang, “Coba aku ingin tanya.” pohon bambu di sepanjang bengawan. Sakit terasa seluruh tubuhku
Senen lantas duduk bersila di depanku. ”Apakah engkau kenal dengan sekarang.”
seorang pedagang di pasar Gading – seorang pedagang yang tinggalnya di “Lho!” Dimas Pradopo tersentak, lalu membeliakkan mata.”Ada
dekat tikungan jalan kecil sebelah timur perempatan itu?” penyakit aneh lagi. Baru sekarang Kamas malas pergi ke tayuban.”
“Jalan kecil mana, nDoro?” Senen minta penjelasan. “Cobalah pikir. Kaki rasanya seperti bengkak,” sahutku sambil
“Jalan kecil buntu. Ada pohon nangka besar di tikungan,” jawabku. “ memijat-mijat paha.
jawabku. “Nanti kalau sudah turun ke gelanggang, pasti hilang sendiri segala
“O ya, ya, saya kenal, nDoro. Itulah mBok Joyo Ayam! Sebutan rasa nyeri itu” Dimas Pradopo membujuk.
Ayam diperoleh karena suaminya berdagang ayam. Adapun Pak Joyo Namun aku tetap minta maaf untuk tidak pergi ke tayuban. Sungguh
sudah lama meninggal. mBok Joyo Ayam sekarang berjualan kain malam itu cerita Senen tentang Tinah kiranya lebih menarik. Dimas
rombengan,” demikian Senen menjelaskan. Pradopo akhirnya berangkat seorang diri.
“Berapa orang anaknya?” tanyaku lagi.
Senen tersenyum, lalu pura-pura batuk. Sambil memandang dengan Seperti biasa sehabis makan malam aku berbaring di kursi malas di
sudut mata ia menyingkap rahasia: “Kalau hendak bertanya tentang Tinah, pendapa. Senen pasti menghadap sambil duduk bersila di dekatku, kadang-
mengapa nDoro mesti berputar-putar dulu bertanya tentang orang kadang sambil memijit-mijit kakiku.
tuanya?” “nDoro, bolehkah saya berbicara sedikit,” kata Senen. ”Jika
“Husy!” seruku. Hampir-hampir aku memakinya. seandainya nDoro menginginkan Tinah, maka persoalannya agak berat.”
“Tapi sebenarnya ingin berkenalan atau bagaimana?” Senen semakin “Heh, bagaimana katamu?” tanyaku cepat.
berani. “Begini nDoro, “sambungnya. “Pertama, walaupun Tinah anak
Aku diam saja. Lambat-lambat aku menghirup teh. Juadah bakar di kampung, tapi sukar untuk didekati. Apalagi – maaf – jika hanya untuk
piring kuambil, tapi sebelum aku mengunyahnya, aku bertanya lagi kesenangan. Kedua, Tinah sekarang sudah diperjodohkan. Kasarnya –
tentang Tinah. dijual! Begitulah. Adapun lelaki yang hendak mengawininya adalah
Satu kalimat Senen yang paling menggembirakan diriku tentang seorang anak saudagar batik di Kemlayan. Belum lama saya mendengar
Tinah ialah, bahwa anak gadis kampung itu cukup sopan santun. dari Pak Bekel di sebelah rumah, bahwa Tinah hanya akan dijadikan isteri
Belum sampai aku selesai juadah, tampak seorang tamu memasuki kedua. Maklumlah, keadaan keluarga mBok Joyo amat pahit sekarang.”
halaman. Pasti Dimas Pradopo, sejak dari halaman ia sudah berseru-seru: “O, begitu,” sahutku. Aku sendiri dapat mendengar nada kecewa
“Kemas, Kemas, ke mana saja seharian ini? Wah, asal keluar sekarang suaraku.
seorang diri saja. Selalu aku ditinggalkan.” Sambil berbaring, mata kupejamkan. Aku tak ingin lagi berbicara
“Duduk dulu, duduk dulu . . . .. “ kataku sabar. tentang Tinah.
“Ayolah kita berangkat sekarang, “ jawabnya seperti tidak sabar lagi. Senen maklum. Kini dia diam. Kemudian di antara mendengar dan
“Percayalah, jika Pak Projo yang menanggap tayuban; tak ada tidak, Senen berganti cerita tentang pohon palijiwa di halaman rumah yang
sedang berkembang, tentang sawahku di desa Klodran yang sudah
3
menunggu panen, tentang permainan ketoprak Harjosumpel yang jatuh Rupanya Senen memata-matai diriku, mengikuti jalanku dengan
pingsan karena ketagihan madat. Mataku terasa berat sekali. bersembunyi.
Mungkin sudah lewat tengah malam ketika aku terjaga. Dari pendapa Senen kusepak dengkulnya.
tampak sinar bulan tanggal tua yang mulai menerangi halaman. Malamnya ketika aku berbaring-baring di pendapa dan dihadap
“Terjaga, nDoro?” Tanya Senen. Senen, aku memerintahkan agar Tinah dan emboknya dipanggil. “Nen,
“He-eh” jawabku sambil menggeliat. Tangan dan kaki kurentangkan coba panggilkan Tinah dan emboknya supaya datang ke mari,” perintahku.
“Anu, nDoro, “sambung Senen, “burung perkutut si Abimanyu tadi “Bagaimana, nDoro? Tanya Senen. “Sekarang saja saya berangkat,
terus-menerus berbunyi.” Lalu seperti pada dirinya sendiri: “Ya, ya, agar besok malam mereka sudah dapat menghadap kemari.” Senen
barangkali suatu pertanda juga.” bangkit.
“Pertanda apa?” tanyaku mendesak.
“Pertanda bahwa ada seorang priyayi yang sedang kasmaran,” jawab Benar juga. Keesokan malamnya Tinah beserta emboknya datang.
Senen menahan ketawa. Mereka kusuruh duduk di beranda samping. Mereka Nampak agak
“Sontoloyo!” kumaki dia. ketakutan.
Aku bangkit menuju kamar tidur. Tapi aneh, mataku tak mau “Begini, mBok Joyo,” kataku., “rumah kecilku di belakang dekat
terpejam. Perkututku si Abimanyu berbunyi terus. Hur-ketekung, hur- sumur itu masih kosong. Daripada jarang tersentuh sapu, alangkah baiknya
ketekung . . . . . . . . . . jika mBok Joyo dan Tinah tinggal di situ. Seburuk-buruk rumah itu, tapi
Aku tersenyum. tidak becek dan terendam air di musim hujan. Perkara makan sehari-hari
Hampir subuh mataku tak juga terlelap. Karenanya aku bangkit, jangan dipikirkan. Di dapur emboknya Senen selalu memasak.”
niatku hendak keluar berjalan-jalan hingga matahari terang, dan baru mBok Joyo dan Tinah tersumbat mulutnya.
kembali untuk mandi, terus berangkat ke keraton memenuhi hari dinas. Aku menyambung:” Cobalah pikir, rumah sebesar ini peninggalan
Pintu kubuka, langsung menuju pintu halaman yang masih tertutup. orang tuanya hanya ditempati beberapa orang. Rumah kecil di dekat sumur
Palang kuangkat, lalu berjalan menuju lorong besar ke arah timur. Entah tetap kosong.”
bagaimana, kakiku melangkah terus menuju tikungan jalan kecil di mana Mungkin mBok Joyo sudah maklum apa yang kumaksud. Setelah
tumbuh pohon nangka. Sampai di mulut tikungan kuingat kembali mengucapkan terimakasihnya, ia menjawab langsung bahwa untuk pindah
peristiwa kemarin pagi, ketika Duren memaksaku bersapa kata dengan dari rumahnya di kampung terasa berat. Alasan yang dikemukakan jelas
Tinah. Sambil membelenggu tangan di belakang, aku berjalan bolak-balik. sekali, yaitu bahwa rumah tersebut sudah dibeli oleh seorang saudagar di
Dan benar, dari arah muara tikungan itu muncullah sesosok tubuh gadis Kemlayan. Adapun Tinah sekarang sudah dipinta untuk diperistri, dan
membawa bakul kecil. Semula aku pura-pura tak melihat. Tapi saat diberi hak untuk menempati rumah itu. Sebagai basa basi,mBok Joyo
berpapasan, aku pura-pura terkejut. menyempaikan undangan padaku agar suka meringankan langkah nanti
“Ooo, ketemu lagi,” sapaku ramah. pada hari perkawinan Tinah.
Ia pun terkejut. Aku merasa terpotong kata dan terputus langkah. Beberapa saat
“Maaf, nDoro,” serunya sopan, “barangkali hendak berpesiar.” mulutku terasa kelu. Untuk menutupi kegagalan maksudku, aku pura-pura
Aku tersenyum. Walaupun matahari belum terang, tapi aku tidak bertanya, apakah mBok Joyo pandai memasak, untuk sewaktu-waktu
meneruskan niatku berjalan-jalan. Aku balik pulang. dapat kupanggil guna membantu emboknya Senen.
Di pintu pagar Senen sudah menyambutku. “nDoro, apakah buah
pohon nangka di tikungan jalan itu sudah masak?” Senen menyindir.
4
Rupanya ia maklum benar bahwa aku tersandung-sandung langkah. Ia dirinya. Tapi buat mBok Joyo yang sudah terlanjur menerima berbagai
akan segera minta diri. Kepada mBok Joyo dan Tinah kuberi hadiah kain- pemberian, kehendak Tinah itu benar-benar sukar untuk diikuti.
kain baru dan uang. Kuberi pertimbangan kepada mBok Joyo agar sebaiknya Tinah
Malam itu aku duduk bersunyi diri di pendapa. Mungkin Senen dapat tinggal beberapa hari dulu di rumahku, untuk kuberi nasehat bagaimana
membayangkan suasana sungkawa hatiku. Ia pun mendekat, mengumpan sebaiknya, lagi pula agar nama mBok Joyo tidak tercela di kampung.
percakapan dan cerita-cerita lucu. Aku cuma mendengarkan saja. Berbagai Bagaimanapun, pembicaraannya dengan saudagar di Kemlayan sudah
soal tetek-bengek ia ceritakan. Tentang dalang Noyo yang marah jika mengikat, maka jauhlah dari pantas jika pembicaraan yang sudah bulat itu
leluconnya gagal, tentang kudaku Duren yang sudah lama tidak diretakkan secara tiba-tiba.
dikawinkan, tentang pesinden Ngadiyem yang sudah tidak muncul lagi di “Saya yakin jika Tinah mendapat penjelasan dan nasehat, pasti ia
muka umum karena sudah masuk keraton, dan cerita-cerita yang melantur dapat mengambil keputusan yang setepat-tepatnya demi kebaikan
ke soal-soal yang kurang senonoh. keluarga,” demikian kata-kataku kepada mBok Joyo ketika hendak pulang.
Menjelang tengah malam mataku juga belum terasa berat. Senen Tinah kupanggil seorang diri untuk kutanya duduk persoalannya.
kusuruh memanggil Truno Tembang, seorang kakek tua yang hafal di luar Tampak kedua belah matanya merah menahan air mata. Ia benar-benar
kepala berbagai buku cerita dan tembang Dewa Ruci. Baru beberapa bait terkejut ketika kunasehatkan agar bersedia kawin dengan lelaki yang
aku sudah menguap. sudah memberi tanda-tanda pertunangan. Lagi pula rumah di kampung
Namun pada keesokan harinya, aku sudah terbangun sebelum pun sudah dibeli untuk keperluan keluarga Tinah sendiri.
matahari muncul. Memang ada juga keinginan untuk berjalan-jalan, agar Tinah hanya menunduk bagai patung di depanku. Mungkin dirinya
Tinah tidak terganggu perasaan karena mengira aku marah. Tapi niat itu kini merasa terbanting dan terusir dari rumahku lewat kata-kataku yang
kupendam lagi. Buat apa membela orang yang tidak mau kubela? Buat apa berselubung nasehat. Ketika ia gemetar menahan gejolak perasaan, ia
aku menawar-nawarkan jasa? Demikian hatiku kubakar sendiri. kusuruh kembali ke kamar. Ia mundur dariku dengan dada terisak.
Maka sejak hari itu aku tak pernah berjalan-jalan lagi. Kukira Senen
sudah maklum. Sudah lebih dari seminggu Tinah tinggal di rumah. Maksudku di
Tapi tujuh hari kemudian ketika aku tidak pergi dinas ke keraton, rumah kecil dekat sumur belakang. Ia sudah keluar halaman, memegang
tanpa kuduga-duka Tinah datang. sapu membersihkan halaman dan membantu emboknya Senen menimba
“Lho, engkau Nah?” tanyaku kaget. air. Peristiwa itu sebenarnya hendak kupendam saja. Andaikata kelak
Tinah tak dapat kuajak bicara. Wajahnya menangis di balik selendang Tinah jadi kawin dengan saudagar kaya Kemlayan, tiadalah suatu kerugian
basah. Karenanya ia kusuruh istrahat di ruang samping. Senen pun tak yang kuderita. Demikian pertimbanganku. Apa yang kulakukan kukira
tahu mula sebabnya. Tak ada jalan lain kecuali memanggil mBok Joyo sudah berharga sebagai pertolongan. Aku sendiri tidaklah mungkin untuk
pada malam harinya. mengambil Tinah sebagai isteri. Derajat keturunanku terlalu tinggi di
Orang tuanya bingun ketika kuberitahu bahwa anaknya sudah berada atasnya. Itulah sebabnya Senen merasa kurang senang ketika kusuruh
di rumahku sejak tadi pagi, tanpa kupanggil, tanpa kuundang. Akhirnya memanggil Tinah dan emboknya. Memang Senen tak pernah mencegah
dengan terus terang mBok Joyo mengatakan, bahwa sebenarnyalah Tinah jika aku pergi ke tayuban, tapi ia selalu memperingatkan aku jika kerena
kurang rela untuk diperistri oleh anak saudagar di Kemlayan. Karenanya arus pergaulan yang mewah kadang-kadang terhanyut dalam hal-hal yang
ketika aku menawarkan rumah, Tinah merasa menemukan jalan untuk kurang patut. Itu sebabnya aku menganggap Senen bukan sekedar abdiku;
melepaskan diri dari gelutan masalah yang selama ini membelenggu tapi juga teman, saudara dan orangtua sekaligus.

5
Aku berkehendak supaya peristiwa Tinah itu tertutup saja hingga saat malam-malam. Semula memang aku merasa terlalu berani membawa
penyelesainnya. Tapi tiba-tiba datang berita yang dibawa Senen, seorang perempuan di lepas malam, tapi perasaan itu terkikis sendiri.
mengatakan bahwa kabar-kabar larinya Tinah ke rumahku sudah terdengar Bukan mustahil jika ada orang yang mengira aku dan Tinah sebagai
oleh calon suaminya di Kemlayan. Bahkan menurut salah seorang buruh pasangan temanten baru yang berpesiar di malam cerah. Tinah
batik yang bekerja di rumah saudagar itu, segala alamat buruk telah mengenakan kain Tirtateja baru yang kuberikan tadi sore, sedang aku
dijatuhkan atas namaku tegasnya, aku didakwa mengganggu milik orang, mengenakan pakaian resmi untuk lingkungan keraton. Seperti biasa jika
menyembunyikan perempuan dan segala tuduhan yang serba memalukan. aku keluar malam, selalu kubawa keris Kyai Bramoro–peninggalan
Pada suatu sore ketika Tinah selesai membuat teh di belakang, ia almarhum bapakku. Aku merasa tabah jika menyandang keris itu.
kupanggil untuk kuberitahu tentang segala suara yang serba busuk itu. Baru saja kami hendak membelok memasuki jalan tikungan yang
Saat itu pula Senen kusuruh pergi ke rumah mBok Joyo untuk menuju rumah mBok Joyo, muncul seorang lelaki pendek kekar
memberitahukan desas-desus yang sangat mengganggu dan mencemarkan menghadang jalan. Lelaki itu segera memanggil teman-temannya – tiga
namaku. jumlahnya.
“Katakanlah kepada mBok Joyo, aku sendiri tak ada keinginan apa- “Ini dia orangnya!” teriaknya. “Capek-capek kemarin, malam ini si
apa terhadap Tinah,” pesanku pada Senen. “Tapi jika Tinah sendiri tak ikan lele masuk jaring! Eh, eh, eh, dengan Tinah lagi, pantas dari jauh
mau dikawinkan, janganlah sekali-kali dipaksa, bahkan jika terpaksa kelihatan bergandengan tangan.”
timbul suatu perkara, aku sanggup memberikan pembelaan. Apa yang “Siapa engkau, berani membuka mulut lancang?” tanyaku
hendak kulakukan hanyalah ingin menolong.” membentak.
Kepada Tinah kuberi penjelasan agar memaklumi benar-benar “Sudah merampas milik orang, pura-pura bertanya lagi,” orang itu
pendirianku. menggertak.
“Tinah,” kataku dengan sabar, “jika engkau hendak membatalkan “Kalau engkau bisa sopan sedikit saja, dengarlah,” seruku sambil
segala ikatan dari Kemlayan, sebaiknya kau pikirkan benar-benar. menuding mukanya. “Tinah ini hendak kukembalikan pada orangtuanya.
Sebaiknyalah engkau pulang dulu ke rumahmu. Jika embokmu ingin Kalau engkau mau mengambil, ambillah nanti setelah kuserahkan pada
mengembalikan segala pemberian, aku bersedia mengganti berapa besar orangtuanya.”
jumlahnya. Yang penting, persoalanmu tidak menjadi buah tutur orang. “Wah, baru sekali ini aku bisa dengar lidah semanis madu. Pantas
Engkau kuminta ikut menjaga namaku, jangan sampai angin busuk itu Tinah bisa dirampas. Sudah menyimpan seminggu, kini pura-pura hendak
meniup ke keraton.” dikembalikan,” cibir lelaki itu menyengat telinga.
Sekalipun ia terdiam, kiranya ia bisa memahami maksudku. Tinah berdiri gemetar di belakangku.
“Sebaiknya begini, Nah,” lanjutku,”nanti malam engkau kuantarkan “Menyisihlah dulu, Nah. Calon suamimu ini tingkah lakunya seperti
pulang pada orangtuamu. Sekalian aku terus berangkat ke keraton karena perampok,” kusuruh Tinah menyisih jauh.
malam ini aku mengepalai tugas penjagaan.” Kulihat mereka hendak menangkapku. Aku mundur beberapa langkah
Selembar kain baru kuberikan padanya. untuk mencari tempat. Ujung kain kulilitkan di pinggang. Kemudian keris
Malam itu sehabis makan, Tinah kuantar pulang. Malam musim Kyai Bramono kuhunus.
kemarau dihiasi rembulan alit di langit cerah. Keluar dari pintu halaman, Tinah berteriak, mungkin hendak lari ke rumahnya, tapi sudah
Tinah berjalan di belakangku seperti seorang abdi, tapi lepas beberapa saat dihadang oleh teman-teman lelaki itu. “Tangkap Tinah!” perintahnya.
ia kusuruh berjalan di sampingku. Aku tak sempat memikirkan bagaimana “Ikat tangannya di bawah pohon nangka!”
pendapat orang jika ketemu aku dan Tinah sedang berjalan berdampingan
6
Dua orang lelaki hendak maju menyergapku, tapi ragu-ragu melihat Lebih dari sebulan aku terbaring dengan perasaan demikian itu.
acungan kerisku. Aku mundur lagi beberapa langkah mencari tempat. Tapi Kapan aku sanggup bangkit dari pembaringan, kemudian sanggup
dari arah belakang tiba-tiba jatuhlah pukulan kayu di kepalaku. Aku pula menegakkan kaki, ternyata mataku masih sakit. Bukan saja sakit,
terguling. Mataku berkunang-kunang. untuk melihat pun tiada mampu sama sekali. Sampai aku dapat berjalan
Belum sempat aku berdiri, pukulan jatuh bertubi-tubi di badanku. keluar dari kamar pun, mataku tetap terpejam. Aku berjalan dengan tangan
Tapi keris masih kupegang erat-erat. Aku ingin mati dengan keris di teracung ke depan untuk mencari pegangan, agar jangan sampai kaki
tangan. terantuk atau tubuh tertumbuk sesuatu. Selanjutnya aku terpaksa
Aku tengkurap dengan nafas terengah-engah. Lelaki itu mendekat menggunakan tongkat sebagai pegangan dan pedoman.
sambil mencaci-maki. Tiba-tiba kakinya diinjakkan ke kepalaku. “Obat apa lagi yang harus saya cari, nDoro?” tanya Senen berkali-
kali.
Darahku tersirap. Amarahku bangkit. Dengan kekuatan penghabisan “Tidak Nen, jangan kaucarikan obat lagi,” jawabku. “Seandainya aku
keris kutusukkan ke pinggangnya. harus buta, tiada pula aku akan mengeluh. Aku ingin mati.”
Lelaki itu mengaduh, “Belum mati dia! Bunuh sekarang!” Senen tersedu.
perintahnya. Selang beberapa bulan kemudian ketika kurasa mataku tidak akan
Bertubi-tubi pukulan kayu menghujani tubuhku yang sudah terkapar. Sembuh lagi, malam-malam Senen kupanggil mendekat.
Sebuah pukulan dengan pangkal bambu jatuh di tanganku. Kerisku “Nen,” kataku sabar. “Kukira permohonanku kepada Yang Maha
terlepas. Ketika tanganku hendak meraihnya kembali, senjata pusaka itu Kuasa telah terkabul. Walaupun aku belum dipanggil untuk menghadap ke
sudah tersambar dengan pemukul kayu. Terdengar suaranya berdencang di alam sana, tapi mataku sudah tak dapat lagi melihat dunia kini. Mataku
kegelapan malam. Saat itu juga aku merasa akan tewas. telah buta, Aku tak dapat lagi memandang rumahku yang besar, kudaku
Sambil memegang pinggangnya yang berdarah, lelaki itu mendekat yang gagah dan Gunung Merapi yang indah.”
lagi. Belati dihunusnya, dan sambil mulutnya menyumpahkan segala Kuusap kepala Senen.
cacian, ditusukkannya belati itu ke mata kananku. “ini upahmu!” serunya. “Jika aku sudah tidak dapat lagi memandang keindahan dunia ini,
Belum puas, sekali lagi ditusukkannya belati ke mata kiriku. tiada lain lagi artinya, bahwa aku telah diperintahkan untuk mengalihkan
Aku sudah tak ingat. pandangan ke dunia yang baka. Akan kulakukan perintah ini, Nen. Entah
Kapan aku sadar, badanku sudah terbaring di tempat tidur rumahku, berapa lama aku harus belajar dan berlatih memusatkan pandang ke arah
dengan mata yang tak kuasa kubuka. Darah yang mengalir dari mata dunia baru itu. Mudah-mudahan tiada akan lama lagi aku diijinkan
belum juga kering. Kudengar suara Senen yang berada di dekatku, melangkahkan kaki memasuki dunia baru yang kurindukan itu.”
tangannya memijit-mijit tangan dan kakiku. Kepada Senen kuperintahkan untuk menjual segala barang milikku,
“nDoro..... Saya Senen, nDoro.....,” kudengar suaranya. Kudengar mas intan dan segala harta-benda. Kepada fihak keraton aku mengajukan
kemudian suara isak tangisnya. permohonan berhenti. Akhirnya rumah dan kudaku kurelakan untuk dijual.
“Aku ingin mati, Nen,” kataku sambil memegang bahu Senen.” Aku Uang hasil penjualan kubagi-bagikan kepada sanak keluarga. Sisanya
masih sanggup menahan sakit, tapi aku tak sanggup menahan malu.” kubelikan sebuah rumah kecil di desa Paras, sebuah dusun di puncak
Senen makin terisak. Gunung Merapi . Ingin aku tinggal di tempat itu hingga ajalku. Senen dan
Aku merasa diriku sudah tak berharga lagi. Sungguh, aku yang dulu orangtuanya ternyata tidak mau ketinggalan, ikut bersamaku tinggal
selalu membanggakan diri sebagai seorang bangsawan yang dermawan, menetap di desa sunyi.
kini kiranya hanya sesosok kerangka belaka.
7
Entah sampai berapa lama aku hidup di puncak Mearapi. Ketika baru Sejak dua tahun yang lalu aku berada lagi di kota solo. Semua sanak
setahun, dua tahun, tiga tahun, kiranya aku masih sanggup menghitung. keluarga, priyayi-priyayi dan sahabat telah tiada lagi. Adapun orang yang
Tapi setelah windu, berganti windu, ingatanku tak sanggup lagi datang berpijit tiada seorang pun yang mengenalku. Tidak aneh, mereka
menghitung. Emboknya Senen meninggal karena penyakit tua. Bahkan itu masih kanak-kanak ketika aku dulu tinggal di Kratonan. Mereka ini
ajalnya Senen – ya, abdiku yang setia, aku masih sempat mengantarkan pun sekarang sudah pada tua.
samapi ke kuburnya. Isterinya Senen yang berasal dari Boyolali pulang ke Tiga bulan sejak kedatanganku di kampung Nirbitan, aku mulai
tempat asalanya, tapi kadangkala masih menengok aku ke Paras. Ah, mendapat langganan yang lumayan. Mereka pada umumnya memberikan
pengalaman apa lagi yang belum kulalui? pujian akan kehalusan ulasan tanganku.
Tiada berkawan hidup memaksa aku harus mencari makan sendiri. Pada suatu malam – setahun yang lalu kira-kira – seperti biasa aku
Barang milik telah habis, sedang kesanggupan mencari makan hanya lagi duduk sendiri. Tiba-tiba terdengar suara orang yang mengetuk pintu.
sebagai tukang pijit. Seperti sudah ditakdirkan, Senen dahulu semasa Belum terkancing pintu itu, hanya tertutup saja. Menggerit suara pintu
hidupnya di kala sanggang selalu memijit badanku, kini sepeninggalnya terbuka.
pun masih mewariskan kepandaian memijit padaku. “Ndorobei, nDorobei....,” suara orang itu.
Dan entah berapa lama pula aku hidup sebagai tukang pijit dan tukang “O, siapa itu?” tanyaku kaget karena panggilan ndorobei itu. “Silakan
urut di desa Paras. Sudah tentu tak banyak orang desa yang memerlukan masuk. Memerlukan pijit barangkali?”
pijit. Tapi apakah kebutuhanku, selain bertahan hidup sampai hari Sesungguhnya aku terkejut karena panggilan ndorobei itu. Sejak aku
penghabisan? Sungguh lama aku harus bertahan di puncak Merapi gunung pindah ke Paras dulu, aku telah meminta kepada Senen untuk tidak
yang selalu menjadi lamunan mataku jika aku ke luar kota dengan kudaku memanggilku dengan gelar bangsawan itu, semata-mata untuk
dahulu. menghilangkan jejak.
Sekalipun dengan tabah aku sengaja melemparkan jasadku ke tempat “Ndorobei, saya yang datang,” suara itu lagi. Nadanya menaik.
terpencil ini, tapi sekali aku terhenyak juga mendengarkan angka “Ya, siapakah? Mari, silahkan masuk dan duduk ke mari,” sahutku.
perhitungan tahun dari seseorang guru Banyudono yang sekali sebulan “Saya yang datang, nDoro. Tinah! Saya Tinah!” Suara itu kian
pulang ke desanya, Paras. Kuhitung dalam hati – sudah lebih dari lima menaik, penuh getar.
puluh tahun aku bersunyi diri di puncak Merapi. Jaman telah silih “Lho, Tinah? Tinah? Engkau. Nah?” seruku. Aku bangkit. Buru-buru
berganti, tapi ragaku masih bernafas, menunggu-nunggu panggilan yang tongkatku hendak kupegang, tetapi terpukul oleh pergelangan tanganku
tak kunjung tiba. sendiri. Tongkat itu jatuh di bawah bale-bale. “Ke mari Nah, aku di sini!”
Langganan yang datang semakin berkurang. Hidupku pun semakin seruku tak sabar.
terlantar. Seandainya aku membunuh diri, tentu merupakan jalan yang “Di mana ndorobei? Di mana” tanya Tiah.
paling mudah untuk menutup riwayat hidupku. Tapi tak ingin aku Dengan tangan teracung ke depan tanpa tongkat dan kaki menelusur
menghadap dia tanpa panggilanNya. Karenanya siang malam aku selalu tanah, aku berjalan menuju arah suara Tinah.
membuka telinga untuk menangkap suara panggilan itu. Belum sampai di pintu, suara Tinah menyambung lagi: “Di mana
Timbul niatku kembali ke Solo, meneruskan pula penghidupan sebagi nDoro? Saya tak tahu di mana nDoro.”
tukang pijit. Kukira tiada lagi orang kota yang masih ingat kepada lakon “Di sini, Nah,” jawabku segera
hidupku dulu. Entah di mana nanti aku berteduh, kukira penderitaanku “Saya tak dapat melihat, Ndoro,” sahut Tinah. “Saya sudah buta! Saya
akan menjadi pengantar penghabisan bagi sejarah hayatku. sudah buta seperti nDorobei.”
Kujemput engkau, Nah,” kataku.
8
Belum sampai tiga lagkah, tanganku bertatapan dengan tangan Tinah. ia bangkit menuju perapian. Dengan sempit dipungutnya bara itu, tapi
Tangan kami berdua berantuk. Lalu berpegangan erat-erat. Kami berdua karena tangannya sudah terlalu lemah, bara itu berkali-kali terjatuh dari
berangkulan. Baru sekali itu kami berangkulan, tapi sama-sama telah buta. sampitnya. Tak sabar lagi dipungutnya bara dengan tangan kanannya.
Kudengar isaknya. Kepalanya bersandar pada dadaku. “nDorobei, tunggu saya di dunia yang kelam....,” kata Tinah, seraya
“Mari duduk di sini, Nah,” ajakku sambil menuntun Tinah. mencucukkan bara api itu pada kedua belah matanya. Ia tidak menjerit
Riwayat hidup Tinah yang dikisiahkan kepadaku membuat hatiku sakit. Tinah jadi buta.
pedih. Setelah diikat tangannya dibawah pohon nagka malam-malam dulu Malamnya secara diam-diam ia pergi meninggalkan rumah. Hanya
ketika hendak kuantar pulang, Tinah diseret oleh anak saudagar Kemlayan berpedoman pada ingatan arah jalan, ia meninggalkan kampung Purwosari
ke desa Tanjunganom, sebuah desa di sebelah selatan kota; kemudian menuju Nirbitan. Setelah kesasar di Tipes, ia mendapatkan pertolongan
digelandang lagi sampai di desa Baki. Ia tersiksa hingga pingsan, Mungkin orang, yang memanggilkan becak sekalian dengan upahnya.
dikira telah mati, tubuhnya dilemparkan ke tengah lumpur sawah. Malam itu Tinah sampai di rumahku. Kami bertemu lagi setelah
Paginya tubuhnya ditemukan oleh seorang petani, dirawat hingga berpisah lebih dari enam puluh tahun. Ya, kami bertemu kembali sesudah
sembuh. Segala pertanyaan yang diajukan kepadanya tak sepatah pun buta. Apa yang tampak? Apa yang nampak di mata batinku? Wujud
terjawab. Tinah! Benar, wujud Tinah! Tinah yang tenang wajahnya, bersih kulit
Setelah didengarnya lamat-lamat berita tentang diriku yang telah pergi mukanya, Tinah yang remaja dengan kain Tirtateja seperti pada waktu
meninggalkan kota Solo tanpa tujuan yang pasti, Tinah dengan diam-diam kami berjalan bersama-sama, malam-malam dahulu di bawah bulan alit
pula pergi meninggalkan rumah petani itu tanpa tujuan. Perjalan ke arah dan bintang-bintang musim kemarau – lebih dari setengah abad yang lalu.
timur akhirnya sampai ke Ngawi, selanjutnya sampai pula di Madiun. Di Demikianlah Yang Maha Pengasih memberi aku penglihatan lagi!
kota itu ia mencari pekerjaan sebagai buruh batik. Aku diijinkan melihat wajah Tinah yang masih remaja!
Tinah kembali ke Solo setelah tua. Dicarinya rumah anak sepupunya Tapi hanya tujuh hari Tinah hidup Bersamaku. Ia meninggal di bale-
di Purwosari untuk menitipkan badan. Tinah yakin bahwa aku pasti telah bale tempat tidurku. Ruhnya kuantar dengan samadi, dengan pengharapan
meninggal. Karena itu betapa kagetnya ketika diberitahu oleh anak dan permohonan agar aku dapat segera diperkenankan menyusulnya,
sepupunya, bahwa aku masih hidup sebagai seorang tukang pijit di bertemu dalam dunia yang terang-benderang, dunia cerah tanpa kegelapan,
kampung Nirbitan. Tukang pijit yang buta dan tua renta. Si anak sepupu dunia tanpa kebutaan.
itu mengatakan pernah datang padaku hendak berpijit. Setahun sudah berlalu sejak Tinah meninggal. Selama itu aku tunggu-
Memang aku pernah kedatangan seorang tamu, yang sudah terhitung tunggu hariku yang penghabisan. Kukira, barangkali, mungkin – ah, aku
tua juga usianya. Sebagai orang yang pernah bekerja sebagai juru taman di malah yakin, bahwa hari yang kutunggu-tunggu itu tiada lama lagi bakal
kebun binatang Sriwedari, ia mempunyai banyak kenangan-kenangan di datang. Pertandanya telah Nampak.
masa lalu. Ia suka pada cerita-cerita lama, yang membuatku terlena juga Tadi sore aku duduk sedekap di bale-bale menikmati kesejukan
untuk mengungkapkan kisah-kisah tua. Mungkin karena itulah ia dapat suasana. Kukira senja kala menyepuh langit dan bumi dengan pesona
menangkap dan menghubung-hubungkan peristiwa-peristiwa dari sejarah warnanya. Dan kenanganku melayang pada arakan awan-awan senja yang
hidup pribadiku. mengambang di puncak Merapi.
Tinah demi mendengar cerita si anak sepupu itu badannya semakin Tiba-tiba badanku terasa gemetar. Segala inderaku seperti terlepas
melemah. Tubuhnya terbaring layu di atas bale-bale di pojok dapur. dari ragaku. Yang tinggal hanya perasaan-perasaan tunggal, menyeluruh,
Pada suatu hari setelah orang-orang selesai masak, Tinah melihat di semesta. Karena kesemestaan itulah aku bahkan dapat melihat segala
tempat perapian masih terdapat arang yang membara. Dengan susah payah
9
warna, mencium segala ganda, meraba segala wujud, merangkul segala
gerak alam. Aku lantas menundukkan kepala kepada Yang Satu.
Aku Menyembah.....
Bagaikan tersentak aku tersadar kembali. Tapi badanku sudah
terbaring di bale-bale. Di sampingu duduk seorang penjual rokok yang
biasa berdagang di muka rumah. Dia bercerita, bahwa semula dari
tempatnya berdagang, tampak aku sedang duduk di bale-bale. Katanya;
aku duduk bersila, tanganku sedekap. Kemudian aku tampak sujud,
menyembah. Selanjutnya aku terjatuh dari bale-bale. Ketika ia buru-buru
mendapatkan diriku, aku sudah pingsan.
Sejak itu, sejak senja itu, hatiku terasa begitu ringan dan segar,
penuh sukacita. Aku telah menerima pertanda panggilan-Nya.
Karena begitu besar dan meluap sukacitaku, maka segala riwayat
hidupku kuceritakanlah malam ini.

10

Anda mungkin juga menyukai