Anda di halaman 1dari 9

 

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Mata Kuliah
Anatomi Fisiologi sehingga terbentuk makalah ini. Makalah ini disusun sebagai syarat
untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Anatomi Fisiologi di Jurusan D3 Analis
Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Banten, Tanggerang. Dalam penyusunan
makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan masukan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Budi Siswanto, S.Kep,
Ners, MSc selaku dosen pengajar mata kuliah Anatomi Fisiologi Analis Kesehatan
Poltekkes Banten. 2. Teman-teman satu kelompok sebagai pelaksana dari tugas Mata
Kuliah Anatomi Fisiologi atas dukungan, bantuan dan kerjasamanya. 3. Semua pihak
yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan makalah yang kami sampaikan ini. Semoga
ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Tanggerang, September 2014

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………. Ii


DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………………………… 1
B. Tujuan ........................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistem Perkemihan …………………………………………………
2 B. Uraian ……………………………………………………………………………...
2 1. Proses Berkemih……………………………………………………………….
2 2. Faktor yang Mempengaruhi Proses Berkemih …………………………….
4 3. Penuaan pada Sistem Perkemihan …………………………………………
5 3.1 Teori Penuaan …………………………………………………………….
5 3.1.1 Teori Biologis ………………………………………………………
5 3.1.1.1 Teori Wear and Tear ………………………………….…..
6 3.1.1.2 Teori Rantai Silang ………………………………………..
6 3.1.1.3 Riwayat Lingkungan ………………………………………
6 3.1.1.4 Teori Imunitas ……………………………………….……...
7 3.1.1.5 TeoriLipofusin dan Radikal Bebas ……………….……....
7 3.1.1.6 Teori Neuroendrokrin…………………………….………...
8 3.1.2 Perubahan Sistem Perkemihan ………………………….…….…
9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan …………………………………………………………………………
B. 11DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………..
C. 12 BAB I PENDAHULUAN
D. A. Latar Belakang Urin adalah ampas metabolisme yang harus dikeluarkan oleh
tubuh, karena sebagai tanda bahwa ginjal telah bekerja dan membuang
ampasnya yang berwujud cair.

Ginjal memproses zat-zat yang terkandung dalam asupan dari luar tubuh,
kemudian membuang zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. Sistem
perkemihan merupakan suatu sistem yang penting bagi tubuh karena apabila
tubuh sistem perkemihan terganggu akan sulit berkemih, maka akan terjadi
berbagai penyakit ataupun dapat merusak organ-organ tubuh. Berkemih melalui
proses filtrasi, reabsorbsi dan augmentasi di dalam ginjal, faktorfaktor yang
menyebabkan tubuh melakukan proses berkemih dan penuaan pada sistem
perkemihan. B. Tujuan Kami membuat makalah ini untuk menjelaskan proses
berkemih dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses berkemih serta penuaan
pada sistem perkemihan dalam tubuh manusia.

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Sistem Perkemihan 1. Sistem Perkemihan


Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh
tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan
dikeluarkan berupa urin (air kemih). Susunan sistem perkemihan terdiri dari: dua
ginjal (ren) yang menghasilkan urin, dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke
vesika urinaria (kandung kemih), satu vesika urinaria (kandung kemih) adalah
tempat urin dikumpulkan, dan satu urethra adalah saluran untuk urin dikeluarkan
dari vesika urinaria. B. Uraian 1. Proses Berkemih Mikturisi merupakan gerak reflek
yang dapat dikendalikan dan dapat ditahan oleh pusa-pusat persarafan yang
lebih tinggi, gerakkannya oleh kontraksi otot abdominal yang menambah
tekanan di dalam rongga dan berbagai organ yang menekan kandung kemih
membantu mengosongkannya (Syaifuddin, 1995). Reflek berkemih adalah reflek
medula spinalis yang seluruhnya bersifat otomatis. Selama kandung kemih terisi
penuh dan menyertai kontraksi berkemih, keadaan ini disebabkan oleh reseptor
regang sensorik pada dinding kandung kemih sampai reseptor pada urethra
posterior ketika mulai terisi urin pada tekanan kandung kemih yang lebih tinggi.
Sinyal sensorik dari reseptor kandung kemih ke segmen sakral medula spinalis
melalui nervus pelvikus kemudian secara reflek kembali lagi ke kandung kemih
melalui syaraf parasimpatis (Syaifuddin, 2001). Berkemih pada dasarnya
merupakan reflek spinal yang akan difasilitasi dan dihambat oleh pusat-pusat
susunan syaraf yang lebih tinggi. Urin yang memasuki kandung kemih tidak
begitu meningkatkan tekanan intravesika sampai terisi penuh. Pada kandung
kemih ketegangan akan meningkat dengan meningkatnya isi organ tersebut,
tetapi jari-jari pun bertambah, oleh karena itu peningkatan tekanan hanya akan
sedikit saja, sampai organ tersebut relatif 6

penuh. Selama proses berkemih otot-otot perinium dan sfingter urethra eksterna
relaksasi, otot detrusor berkontraksi dan urin akan mengalir melalui urethra.
Kontraksi otot-otot perinium dan sfingter eksterna dapat dilakukan secara
volunter, sehingga mencegah urin mengalir melewati urethra atau menghentikan
aliran urin saat sedang berkemih (Guyton, 2006). Reflek berkemih adalah reflek
medula spinalis yang seluruhya bersifat autonomik, tetapi dapat dihambat atau
dirangsang di otak. Pusat yang lebih tinggi dapat mencegah berkemih, bahkan
ketika reflek berkemih muncul, yaitu dengan membuat kontraksi tonik terus
menerus pada sfingter eksternus kandung kemih sampai mendapat waktu yang
baik untuk berkemih. Jika sudah tiba saat berkemih, pusat cortical dapat
merangsang pusat berkemih untuk membantu mencetuskan reflek berkemih dan
dalam waktu yang bersamaan, menghambat sfingter eksternus kandung kemih
sehingga peristiwa berkemih dapat terjadi (Guyton, 2006). Pada kondisi tertentu,
proses berkemih tidak dapat terjadi secara normal, oleh karenanya diperlukan
tindakan khusus untuk tetap dapat mengeluarkan urin dari kandung kemih, yaitu
dengan pemasangan kateter. Pola eliminasi urin sangat tergantung pada individu,
biasanya berkemih setelah bekerja, makan atau bangun tidur. Normalnya dalam
sehari sekitar lima kali. Jumlah urin yang dikeluarkan tergantung pada usia, intake
cairan dan status kesehatan. Pada orang dewasa sekitar 1200-1500ml per hari
atau 150600ml per sekali berkemih. Proses pengosongan kandung kemih terjadi
bila kandung kemih terisi penuh. Proses miksi terdiri dari dua langkah utama : A)
Bladder Filling/Urine Storage. Kandung kemih secara progresif terisi sampai
tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang. Yang kemudian
mencentuskan langkah kedua. B) Bladder Emptying/Voiding. Timbul reflek yang
disebut reflek miksi yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau,jika ini
gagal, setidaktidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih.
Meskipun reflek miksi adalah reflek autonomic medulla spinalis, reflek ini juga
dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak. 2. Faktor
yang Mempengaruhi Proses Berkemih

Faktor-faktor yang mempengaruhi berkemih menurut Tarwoto & Wartonah


(2006) antara lain : A) Pertumbuhan dan perkembangan Usia dan berat badan
dapat mempengaruhi jumlah pengeluaran urin. Pada usia lanjut volume kandung
kemih berkurang, perubahan fisiologis banyak ditemukan setelah usia 50 tahun.
Demikian juga wanita hamil sehingga frekuensi berkemih juga akan lebih sering.
B) Sosiokultural Budaya masyarakat dimana sebagian masyarakat hanya dapat
berkemih pada tempat tertutup dan sebaliknya ada masyarakat yang dapat
berkemih pada lokasi terbuka. C) Psikologis Pada keadaan cemas dan stres akan
meningkatkan stimulasi berkemih. D) Kebiasaan seseorang Misalnya seseorang
hanya bisa berkemih di toilet sehingga ia tidak dapat berkemih menggunakan
pot urin. E) Tonus otot Eliminasi urin membutuhkan tonus otot kandung kemih,
otot abdomen, dan pelvis untuk berkontraksi. Jika ada gangguan tonus otot,
dorongan untuk berkemih juga akan berkurang. Mekanisme awal yang
menimbulkan proses berkemih volunter belum diketahui dengan pasti. Salah satu
peristiwa awal adalah relaksasi otot-otot dasar panggul, hal ini mungkin
menimbulkan tarikan yang cukup besar pada otot detrusor untuk merangsang
kontraksi. Kontraksi otot-otot perineum dan sfingter eksterna dapat dilakukan
secara volunter sehingga mampu mencegah urin mengalir melewati urethra atau
menghentikan aliran urin saat sedang berkemih (Guyton, 2006). F) Intake cairan
dan makanan Alkohol menghambat anti diuretik hormon, kopi, teh, coklat, dan
cola atau yang mengandung kafein dapat meningkatkan pembuangan dan
ekskresi urin. G) Kondisi penyakit Pada pasien yang deman akan terjadi
penurunan produksi urin karena banyak cairan yang dikeluarkan melalui kulit.
Peradangan dan iritasi organ kemih menyebabkan retensi urin. H) Pembedahan
Penggunaan anastesi menurunkan filtrasi glomerulus sehingga produksi urin akan
menurun. I) Pengobatan

Penggunaan diuretik meningkatkan output urin, anti kolinergik dan antihipertensi


menimbulkan retensi urin. J) Pemeriksaan diagnostik Intravenus pyelogram
dimana pasien dibatasi intake sebelum prosedur untuk mengurangi output urin.
Eliminasi urin atau mikturisi biasanya terjadi tanpa nyeri dengan frekuensi lima
sampai enam kali sehari, dan kadang-kadang sekali pada malam hari. Rata-rata
individu memproduksi dan mengeluarkan urin sebanyak 1200-1500ml dalam 24
jam. Jumlah ini tergantung asupan cairan, respirasi, suhu lingkungan, muntah
atau diare. Proses berkemih pada seseorang dapat mengalami gangguan
sehingga tidak dapat berjalan dengan normal. Kondisi umum yang terjadi
sebagian besar adalah ketidakmampuan individu untuk berkemih karena adanya
obstruksi urethra. Pada kondisi ini perlu dilakukan intervensi untuk
mengosongkan kandung kemih yaitu dengan pemasangan kateter. 3. Penuaan
Sistem Perkemihan 3.1 Teori Penuaan 3.1.1 Teori Biologis Teori biologi
merupakan teori yang menjelaskan mengenai proses fisik penuaan yang meliputi
perubahan fungsi dan struktur organ, pengembangan, panjang usia dan kematian
(Christofalo dalam Stanley). Perubahan yang terjadi di dalam tubuh dalam upaya
berfungsi secara adekuat untuk dan melawan penyakit dilakukan mulai dari
tingkat molekuler dan seluler dalam sistem organ utama. Teori biologis mencoba
menerangkan menganai proses atau tingkatan perubahan yang terjadi pada
manusia mengenai perbedaan cara dalam proses menua dari waktu ke waktu
serta meliputi faktor yang mempengaruhi usia panjang, perlawanan terhadap
organisme dan kematian atau perubahan seluler. 3.1.1.1 Teori Wear And Tear
(Dipakai dan Rusak) Teori Wear And Tear mengajukan akumulasi sampah
metabolik atau

zat

nutrisi

dapat

merusak

sintesis

DNA. August

Weissmann berpendapat bahwa sel somatik nomal memiliki kemampuan yang


terbatas dalam bereplikasi dan menjalankan fungsinya. Kematian sel terjadi
karena jaringan yang sudah tua tidak beregenerasi. Teori wear and tear
mengungkapkan 9

bahwa organisme memiliki energi tetap yang tersedia dan akan 3.1.1.2

habis sesuai dengan waktu yang diprogramkan. Teori Rantai Silang Teori rantai
silang mengatakan bahwa struktur molecular normal yang dipisahkan mungkin
terikat bersama-sama melalui reaksi kimia. Agen rantai silang yang
menghubungkan menempel pada rantai tunggal, dengan bertambahnya usia,
mekanisme pertahanan tubuh akan semakin melemah, dan proses cross-link terus
berlanjut sampai terjadi kerusakan. Hasil akhirnya menyebabkan

3.1.1.3

adalah mutasi

akumulasi silang senyawa pada

sel,

ketidakmampuan

yang untuk

menghilangkan sampah metabolik. Riwayat Lingkungan Menurut teori ini, faktor


yang ada dalam lingkungan dapat membawa perubahan dalam proses penuaan.
Faktor-faktor tersebut merupakan karsinogen dari industri, cahaya matahari,

3.1.1.4

trauma dan infeksi. Teori Imunitas Teori imunitas berhubungan langsung dengan
proses penuaan. Selama proses penuaan, sistem imun juga akan mengalami
kemunduran dalam pertahanan terhadap organisme asing yang masuk ke dalam
tubuh sehingga pada lansia akan sangat mudah mengalami infeksi dan kanker.
Perubahan sistem imun ini diakibatkan perubahan pada jaringan limfoid sehingga
tidak adanya keseimbangan dalam sel T untuk memproduksi antibodi dan
kekebalan tubuh menurun. Pada sistem imun akan terbentuk autoimun tubuh.
Perubahan yang terjadi merupakan pengalihan integritas sistem tubuh untuk
melawan

3.1.1.5

sistem imun itu sendiri. Teori Lipofusin dan Radikal Bebas Radikal bebas
merupakan contoh produk sampah metabolisme yang dapat menyebabkan
kerusakan apabila terjadi akumulasi. Normalnya radikal bebas akan dihancurkan
oleh enzim pelindung, namun beberapa berhasil lolos dan berakumulasi di dalam
organ tubuh.

10

Radikal bebas yang terdapat di lingkungan seperti kendaraan bermotor, radiasi,


sinar ultraviolet, mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen pada proses
penuaan. Radikal bebas tidak mengandung DNA. Oleh karena itu, radikal bebas
dapat menyebabkan gangguan genetik dan menghasilkan produkproduk limbah
yang menumpuk di dalam inti dan sitoplasma. Ketika

radikal

kerusakan

bebas

membran

menyerang sel;

molekul,

penuaan

akan
diperkirakan

terjadi karena

kerusakan sel akumulatif yang pada akhirnya mengganggu fungsi. Dukungan


untuk teori radikal bebas ditemukan dalam lipofusin, bahan limbah berpigmen
yang kaya lemak dan protein. Peran lipofusin

pada

penuaan

mungkin

kemampuannya

untuk

mengganggu transportasi sel dan replikasi DNA. Lipofusin, yang menyebabkan


bintik-bintik penuaan, adalah dengan produk oksidasi dan oleh karena itu
tampaknya terkait dengan radikal bebas.

3.1.1.6

Teori Neuroendokrin Teori neuroendokrin

merupakan

teori

yang

mencoba

menjelaskan tentang terjadinya proses penuaan melalui hormon. Penuaan terjadi


karena adanya keterlambatan dalam sekresi hormon tertentu sehingga berakibat
pada sistem saraf. Hormon dalam tubuh berperan dalam mengorganisasi
organorgan tubuh melaksanakan tugasnya dan menyeimbangkan fungsi tubuh
apabila terjadi gangguan dalam tubuh. Pengeluaran hormon diatur oleh
hipotalamus dan hipotalamus juga merespon tingkat hormon tubuh sebagai
panduan untuk aktivitas hormonal. Pada lansia, hipotalamus kehilangan
kemampuan dalam pengaturan dan sebagai reseptor yang mendeteksi hormon
individu menjadi kurang sensitif. Oleh
11

karena itu, pada lansia banyak hormon yang tidak dapat dapat disekresi dan
mengalami penurunan keefektivitasan. Penerunan kemampuan hipotalamus
dikaitkan dengan hormon kortisol. Kortisol dihasilkan dari kelenjar adrenal
(terletak di ginjal) dan kortisol bertanggung jawab untuk stres. Hal ini dikenal
sebagai salah satu dari beberapa hormon yang meningkat dengan usia. Jika
kerusakan kortisol hipotalamus, maka seiring waktu hipotalamus akan mengalami
kerusakan. Kerusakan

ini

kemudian

dapat

menyebabkan

ketidakseimbangan hormon sebagai hipotalamus kehilangan kemampuan untuk


mengendalikan sistem.

3.2 Perubahan Sistem Perkemihan  Perubahan pada Sistem Renal dan Urinaria
Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder, uretra,
dan sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi terkait eliminasi urine.
Hal ini dapat mengganggu kemampuan dalam mengontrol berkemih, sehingga
dapat mengakibatkan inkontinensia, dan 

akan memiliki konsekuensi yang lebih jauh. Perubahan pada Sistem Renal Pada
usia dewasa lanjut, jumlah nefron telah berkurang menjadi 1 juta nefron dan
memiliki banyak ketidak normalan. Penurunan nefron terjadi sebesar 5-7% setiap
dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin berkurang 0,75 ml/m/tahun.
Nefron bertugas sebagai penyaring darah, perubahan aliran vaskuler akan
mempengaruhi kerja nefron dan akhirnya mempengaruhi fungsi pengaturan,
ekskresi, dan matabolik sistem renal. Berikut ini merupakan perubahan yang
terjadi pada sistem renal akibat proses menua: a. Membrana basalis glomerulus
mengalami penebalan, sklerosis pada area fokal, dan total permukaan glomerulus
mengalami penurunan, 12

panjang dan volume tubulus proksimal berkurang, dan penurunan aliran darah
renal. Implikasi dari hal ini adalah filtrasi menjadi kurang efisien, sehingga secara
fisiologis glomerulus yang mampu menyaring 20% darah dengan kecepatan 125
mL/menit (pada lansia menurun hingga 97 mL/menit atau kurang) dan menyaring
protein dan eritrosit menjadi terganggu, nokturia. b. Penurunan massa otot yang
tidak berlemak, peningkatan total lemak tubuh, penurunan cairan intra sel,
penurunan sensasi haus, penurunan kemampuan untuk memekatkan urine.
Implikasi dari hal ini adalah penurunan total cairan tubuh dan risiko dehidrasi. c.
Penurunan hormon yang penting untuk absorbsi kalsium dari saluran
gastrointestinal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko osteoporosis.

Perubahan pada Sistem Urinaria Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria
akibat proses menua, yaitu penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400mL),
peningkatan volume residu (N: 50 mL), peningkatan kontraksi kandung kemih
yang tidak di sadari, dan atopi pada otot kandung kemih secara umum. Implikasi
dari hal ini adalah peningkatan risiko inkotinensia.

13

BAB III PENUTUP A.

Kesimpulan 1. Sistem perkemihan merupakan suatu sistem proses penyaringan


darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan oleh
tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang
tidak dipergunakan lagi oleh tubuh dikeluarkan berupa urin. 2. Reflek berkemih
merupakan reflek medula spinalis yang bersifat autonomik, tetapi dapat dihambat
atau dirangsang oleh otak. Jika sudah tiba saat berkemih, pusat cortical dapat
merangsang pusat berkemih untuk membantu mencetuskan reflek berkemih dan
dalam waktu yang bersamaan, menghambat sfingter eksternus kandung kemih
sehingga peristiwa berkemih dapat terjadi. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi
berkemih adalah - Pertumbuhan dan perkembangan - Sosiokultural - Psikologis -
Kebiasaan seseorang - Tonus otot - Intake cairan dan makanan - Kondisi penyakit
- Pembedahan - Pengobatan - Pemeriksaan diagnostik 4. Penuaan pada sistem
perkemihan meliputi perubahan pada sistem renal dan urinaria karena seiring
bertambahnya usia, kemudian perubahan pada perubahan sistem renal akibat
berkurangnya jumlah nefron dan perubahan pada sistem urinaria akibat proses
menua.

14

Daftar Pustaka Syaifuddin. 1995. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat Edisi
Revisi. Jakarta: EGC. http://irfanahb.blogspot.com. 01/03/2013. Anatomi Fisiologi
Sistem Perkemihan. http://digilib.unimus.ac.id. Unimus Soesilowati Bab II.
http://eviesetya.wordpress.com. 05/03/2012. Miksi ( Berkemih ).
http://akpemgaruttingkat2akel4.blogspot.com. 01/03/2011. Tugas III Proses
Pembentukan Urine dan Proses Miksi. http://prastiwisp.files.wordpress.com.
01/11/2010. Teori Penuaan dan Perubahan Fisiologis Lansia.pdf

Anda mungkin juga menyukai