Bila di antara gagasan yang telah dicatat ada yang masih kabur, maka
ia dapat melihat kembali teks aslinya. Namun dalam hal-hal lain
hendaknya teks asli jangan dipergunakan lagi, agar jangan tergoda
menggunakan kalimat dari pengarang asli. Kalimat pengarang asli
hanya boleh digunakan bila kalimat itu dianggap penting karena
merupakan kaidah, kesimpulan atau perumusan yang padat.
I. PENDAHULUAN
Jumlah kata karangan asli: 22 x 9 kata = 198 kata (jumlah riil 188
kata).
Jumlah kata ringkasan : 198 : 5 = ± 40 kata.
Panjang ringkasan : 40 : 9 = 4,5 baris ketikan dengan
huruf pika.
Ringkasan
Jumlah kata riil dari kutipan asli adalah sebanyak 198 kata, sehingga
seperlimanya menjadi ± 40 kata. Hasil final ringkasan di atas adalah
sebanyak 39 kata, tepat sama dengan perkiraan, lebih banyak 0,5 dari
perhitungan yang riil. Sedangkan jumlah baris pun sesuai dengan
perkiraan yaitu sekitar 4,5 baris. Sehingga dengan demikian ringkasan
ini dapat diterima sebagai ringkasan yang baik dan memenuhi syarat.
Latihan
1. Ringkaskanlah kutipan berikut menjadi seperlimanya!
"Sang dokter muda berwajah manusia dari kota. Di depan
matanya berbaring seorang anak yang telah hilang gerak,
dikelilingi kedua orang tuanya. Kuman-kuman yang mengikis
habis paru-paru si anak membawa ajalnya semakin dekat. Sang
dokter berkotbah tentang kesehatan. Sang dokter berkotbah
tentang kesadaran kesehatan dan kesehatan lingkungan, dan
berkata lagi: Anakmu harus dibawa ke rumah sakit. Kalian kejam
dan tidak berperikemanusiaan bila membiarkan anakmu mati
tanpa mencari pertolongan dokter. Dari wajah-wajah pucat
mengalir kata-kata: Kemiskinan telah menyebabkan kami tidak
berperikemanusiaan!
Manusia hidup dari saat ke saat dia harus menyambung
hidupnya. Untuk menyambung hidup sama artinya dengan
bekerja, berusaha, mencari makan. Namun dia terlalu benar
untuk selalu disadari setiap saat. Tetapi ketika hidup tidak
bersambung di sana kegiatan ekonomi tidak lain daripada usaha
memperoleh sesuap nasi penyambung hidup. Banyak yang
tersinggung oleh ungkapan ini.
Tetapi argumen hampir tidak dapat berdebat melawan
kenyataan. Satu setengah juta bayi meninggal setiap tahun di
Jawa. Angka kematian bayi 30 sampai 40 kali kematian orang
dewasa. Enam puluh persen kematian disebabkan penyakit-
penyakit menular dan semuanya pada akhirnya bersumber pada
kekurangan gizi. Kematian senantiasa menjadi kesimpulan dari
pertarungan argumen-argumen seperti: yang ada hanyalah
"gejala kurang makan," "tanda-tanda kurang gizi," dan bukan
kelaparan. Namun dengan tingkat kematian anak setinggi itu
tidaklah sulit untuk memperkirakan bahwa akan sering datang
saat di mana pilihannya bukan lagi menghindari kematian, akan
tetapi mereka terpaksa memilih siapa di antara anak-anaknya
yang lain! Dan bagi semua orang pilihan itu berperikemanusiaan.
Namun tuduhan keras tersebut hanyalah dijawab dengan
sebuah suara yang lemah: Kemiskinan telah menyebabkan kami
tidak berperikemanusiaan.
(Prisma, Februari 1978)