Anda di halaman 1dari 16

TUGAS RANGKUMAN

HUKUM WARIS ISLAM

OLEH :
NAMA : Muhammad Raihan Islamic Rasya
NIM : B10020349
KELAS : H

DOSEN PENGAMPU :
Evalina Alissa, S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
Asas asas hukum waris islam

Hukum kewarisan Islam merupakan sub sistem dari keseluruhan Hukum Islam yang khusus

mengatur peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup.

Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu yang merupakan landasan, di atas mana

dibangun tertib hukum. Asas-asas ini diperoleh melalui konstruksi yuridis, yaitu dengan

menganalisis (mengolah) data-data yang sifatnya nyata (konkrit) untuk kemudian mengambil sifat-

sifatnya yang umum (kolektif) atau abstrak (Mariam Darus Badrulzaman, 1983: 15).

Pemahaman yang umum mengenai sistem mengatakan, bahwa suatu sistem adalah suatu kesatuan
yang bersifat komplek, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain dan karena
adanya ikatan oleh asas-asas hukum, maka hukumpun merupakan satu sistem.

Asas menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti, salah satu diantaranya

adalah kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat (Poerwadarminta, 1984 : 61).

Jika kata ini dihubungkan dengan hukum, maka asas merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya

atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang

setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusah Hakim

yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat sifat umum dalam

peraturan konkrit tersebut (Sudikno Mertokusumo, 1988: 33).

dalam Kompilasi Hukum Islam.

Asas-asas hukum dimaksud diantaranya adalah

- asas ijbari
- asas bilateral
- asas individual
- asas keadilan berimbang
- asas kewarisan akibat kematian
- asas personalitas ke-Islaman.
1. Asas Ijbari
Dalam hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup

berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam berlaku secara ijbari (Amir

Syarifuddin, 1984: 18). Hal ini berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia

kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan

kepada kehendak pewaris ataupun ahli warisnya.

Adapun unsur paksaan dalam hukum kewarisan Islam itu terlihat dari segi ahli waris berhak

menerima berpindah-nya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang ditentukan oleh

Allah. Sehingga si meninggal tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal

kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis harta nya akan beralih kepada ahli warisnya

dengan perolehan yang sudah ditentukan. Unsur ijbari ini dapat dilihat dari surah An-Nisa ayat (7)

yang menjelaskan bahwa bagi laki-laki maupun perempuan ada hak bagian harta peninggalan ibu

bapa dan kerabatnya.

Berdasarkan sifat memaksa ini Pasal 188 Kompilasi menyatakan: para ahli waris baik secara

bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk

melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui

permintaan tersebut, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan

Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan.

Jadi para ahli waris dengan hak menuntutnya dapat melakukan pembagian melalui sistem

pemaksaan dengan berlandaskan penegakan hukum formal. Sedangkan orang-orang yang berhak

atas harta peninggalan tersebut sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan

manusiapun dapat mengubahnya. Adanya unsur ijbari ini dapat dipahami dari kelompok ahli waris

sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa ayat (11), (12) dan (176).

Namun demikian tampaknya sifat memaksa yang terkandung pada asas ijbari sebagaimana yang

digariskan dalam surah An-Nisa ayat (7), (11), (12) dan (176) tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam

tidaklah dipergunakan secara mutlak. Dalam dua hal asas ini sudah diperlunak sesuai dengan

ketentuan Pasal 183 dan 189 ayat (1) Kompilasi. Pasal 183 membuka kemungkinan pembagian

melalui perdamaian dengan menyebutkan :


para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah

masing-masing menyadari pembagiannya.

Jadi perdamaian dapat tetap berpegang pada bagian yang telah ditentukan atau boleh

menyimpang dari ketentuan tersebut dengan syarat sebelum dibicarakan penyimpangan

pembagian, kepada seluruh ali waris terlebih dahulu dijelaskan dengan terang berapa bagian yang

sebenarnya berdasarkan ketentuan hukum kewarisan Islam.

Apabila mengandung cacat pemaksaan, tipu muslihat dan salah sangka tentang furudhul muqaddarah,
maka kesepakatan pembagian tidak sah dan tidak mengikat serta pihak yang merasa dirugikan dapat
menuntut pembatalan kesepakatan pembagian tersebut (M. Yahya Harahap, 1983:31).

Sebenarnya kalau diperhatikan isi Pasal 189 Kompilasi secara jelas merupakan antisipasi atas

ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang berbunyi:

pemindahan hak atas tanah pertanian "kecuali pembagian warisan", dilarang bila mengakibatkan

timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari 2 ha. Larangan ini tidak

berlaku kalau penjual hanya memiliki tanah yang luasnya kurang dari 2 ha dan tanah itu dijual

sekaligus (kursif dari penulis).

Dengan ketentuan Pasal 189 Kompilasi pengecualian dimaksud menjadi tidak berlaku dan sekaligus

memperluas cakupan larangan fragmentasi atas tanah-tanah pertanian dalam pembagian warisan.

Namun dilihat dari segi tata urutan peraturan perundang-undangan jelas suatu Instruksi Presiden

tidak dapat menghapuskan suatu ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(PERPU) secara formal.

Bila diperhatikan secara seksama, nyatalah bahwa apa yang diatur dalam Pasal 189 Kompilasi

didasarkan atas kenyataan di masyarakat bahwa hampir merata di seluruh pelosok nusantara

golongan petani miskin rata-rata hanya memiliki lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 ha.

Tiadanya larangan dalam pembagian warisan atas lahan pertanian dimaksud akan memperburuk

kehidupan sosial ekonomi mereka dan manfaatnya menjadi semakin tidak berarti. Apabila

dikaitkan dengan kaidah hukum Islam menghindari madarat (bahaya) harus dilakukan dari menarik

maslahah (kebaikan), maka perlunakan atas asas ijbari dapat dibenarkan.


2. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam dapat berarti bahwa seseorang menerima hak dan

kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari pihak keturunan laki-laki dan perempuan. Asas ini

dapat dilihat dalam surah An-Nisa ayat (7), (11), (12) dan (176). Ayat tersebut mengandung

pengertian bahwa antara orang tua dan anak, antara laki laki dan perempuan mempunyai status

yang sama dalam kekeluargaan dan kewarisan (Abdullah Syah, 1993 : 2).

Ada beberapa alasan yang dijadikan dasar pertimbangan untuk tetap mengukuhkan standar

furudhul muqaddarah yang terdapat dalam hukum faraidh dalam ketentuan KHI (M.Yahya Harahap,

1993 : 27) antara lain :

1). Nash surah An-Nisa: 7 dan 11 tentang penetapan porsi 2 : 1 antara anak laki-laki dan perempuan

sudah tafsil dan sharih, sehingga nilai yang ditetapkan di dalamnya berbobot qathi.

2). Penetapan perbandingan furudhul muqaddarah antara anak laki-laki dan perempuan dianggap

objektif, realistik dan rasional sesuai dengan nilai imbalan antara hak perempuan dengan

kewajiban anak lelaki :

a) anak perempuan "berhak" mendapat mahar, nafkah, tempat tinggal dan alat perabotan rumah

tangga,

b) sebaliknya anak lelaki dibebani kewajiban membayar mahar, memberi nafkah, menyediakan

tempat tinggal serta perabotan rumah tangga.

Selanjutnya asas bilateral ini juga memberi hak dan kedudukan timbal balik antara suami istri untuk

saling mewarisi. Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak dan bila

pewaris meninggalkan anak, duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 Kompi-lasi). Sebaliknya

janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, maka janda mendapat

seperdelapan (Pasal 180 Kompilasi). Kemudian kewarisan datuk dan nenek yang dikembangkan

dari kata ayah dan ibu juga termasuk dalam lingkungan asas itu yang memberi hak dan kedudukan

orang tua untuk mewarisi harta anaknya.


- Pasal 177 Kompilasi menyatakan :

Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah

mendapat seperenam bagian.

- Sedangkan ibu menurut Pasal 178 Kompilasi:

1. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak

atau dua orang bersaudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian

2. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-

sama dengan ayah.

Dari perluasan pengertian itu dapat diketahui bahwa persamaan hak dan kedudukan ini juga

melingkupi garis kerabat ke atas baik melalui pihak laki-laki maupun pihak perempuan.

3. Asas Individual

Asas ini menyatakan bahwa harta warisan mesti dibagi-bagi kepada masing-masing ahli waris untuk

dimiliki secara perorangan. Asas ini berkaitan langsung dengan asas ijbari, bahwa bila terbuka harta

warisan mesti langsung diadakan pembagian kepada masing-masing ahli waris sesuai dengan

bagian yang telah ditentukan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai

tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya. Setiap ahli

waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain, karena bagian

masing-masing sudah ditentukan.

Kompilasi pada Pasal 171 huruf a dan Pasal 188 tetap membenarkan asas individual kewarisan

Islam sebagaimana ditentukan dalam surah An-Nisa ayat (7), (11), (12) dan (176), Ayat-ayat yang

menjelaskan bagian-bagian ahli waris pada surah An-Nisa dan keterangan-keterangan lainnya pada

surah Al-Baqarah menunjukkan bahwa pemilikan harta peninggalan oleh ahli waris bersifat

individual dan hak pemilikan bersifat otonom serta bagian yang diterima langsung menjadi hak

milik. Adapun terhadap harta yang diperoleh masing-masing ahli waris melekat hak kebendaan.

Hak kebendaan memberikan wewenang yang luas kepada pemiliknya. Hak itu dapat dialihkan,

diletakkan sebagai jaminan, disewakan atau dipergunakan sendiri (Mariam Darus Badrulzaman,

1978:95).
Disinilah letaknya sifat keluasan dan keluwesan syari'at Is lam dalam menghadapi

perkembangan hidup manusia ditengah-tengah perubahan zaman.

Walaupun demikian asas individual tetap diutamakan dengan meng-adakan perhitungan terhadap

harta masing-masing ahli waris memelihara harta orang-orang yang belum pantas

mengusahakannya dan mengembalikan harta itu kepadanya pada waktu ia telah cakap bertindak

atas bagian harta warisannya.

4. Asas Keadilan Berimbang

Asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan

kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya.

Sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang

dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Mereka sama-sama berhak

tampil sebagai ahli waris mewarisi harta peninggalan yang ditinggal mati oleh si pewaris seperti

terungkap dalam surah An-Nisa ayat (7) dan bagian yang diterimanya berimbang dengan

perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga.

Di sisi lain faktor keseimbangan dalam kehidupan keluarga sangat dituntut oleh ajaran Islam. Hal

tersebut lahir dari rasa cinta terhadap anak keturunan dan tanggung jawab terhadap generasi.

Bukankah Al Qur'an menamakan anak sebagai qurrah a'yum (buah hati yang menyejukkan) (QS 25:

74) serta zinah hayah al-dunya (hiasan kehidupan dunia) (QS 18:46) (M. Quraish Shihab, 1992: 257).

Dengan demikian hak warisan yang diterima oleh ahli waris pada hakekatnya adalah pelanjutan

tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya atau ahli waris, sehingga kadar yang diterima ahli

waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab seseorang terhadap keluarganya.

5. Asas Kewarisan Akibat Kematian

Asas ini menyatakan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan

nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia. Hal ini berarti

bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain selama orang yang mempunyai harta

masih hidup dan segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain baik

secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya tidak termasuk
ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Selanjutnya asas ini juga dapat dilihat dari

uraian-uraian pasal pasal berikut :

1). Pasal 181 menyatakan : bila seorang meninggal tanpa mening galkan anak dan ayah, maka

saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperempat bagian.

2). Pasal 182 menyatakan : Bila seorang meninggal tanpa mening galkan ayah dan anak, sedang ia

mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian.

Dengan demikian hukum kewarisan Islam hanya mengenal kewarisan akibat kematian semata (ab

intestato) dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat oleh seseorang pada waktu

ia masih hidup (kewarisan testamen).

6. Asas Personalitas ke-Islaman

Asas ini menyatakan bahwa peralihan harta warisan hanya terjadi bila antara pewaris dan ahli waris

sama-sama menganut agama Islam. Logika yang ada disini dapat dikemukakan, bahwa persoalan

kewarisan merupakan alat penghubung untuk mempertemukan ahli waris dengan pewaris

disebabkan oleh adanya keluasaan perwalian dan adanya jalinan rasa tolong menolong diantara

keduanya. Sehingga jika diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan dalam hak kebendaan,

seperti hak untuk memiliki, menguasai, dan mengalihkannya sebagaimana diatur menurut agama

mereka masing-masing, maka kekuasaan perwalian diantara mereka menurut hukum tidak ada.

Sehubungan dengan asas personalitas ke Islaman ini Kompilasi sendiri dalam beberapa pasalnya

memasukkan asas ini sebagai acuan terpenting dalam pembagian warisan. Pasal-pasal yang dapat

ditunjuk memuat asas ini sebagai berikut :

1). Pasal 171 huruf b sebagaimana disebutkan terdahulu.

2). Pasal 171 hurufc: Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, "beragama Islam" dan tidak

terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (kursif dari penulis).

3). Pasal 172 berbunyi: Ahli waris dipandang "beragama Islam" apabila diketahui dari kartu

identitas atau pengakuan atau amalan atau 3). Pasal 172 berbunyi: Ahli waris dipandang "beragama

Islam" apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan.
SEBAB DAN PENGHALANG KEWARISAN

Kewarisan berfungsi menggantikan kedudukan si meninggal dalam memiliki dan memanfaatkan harta
miliknya. Biasanya penggantian ini dipercayakan kepada orang-orang yang banyak memberikan bantuan
pelayanan, pertimbangan dalam mengemudikan bahtera hidupberumah tangga dan mencurahkan
tenaga dan harta demi pendidikan putra putrinya seperti suami isteri. Kepercayaan terhadap
hartapeninggalan itu juga dipercayakan kepada orang-orang yang selalu menjunjung martabat dan
nama baiknya serta selalu mendo'akansesudah ia meninggal seperti anak-anak keturunannya.

1. Menurut Hubungan Darah

Islam tidak membedakan status hukum seseorang dalam kewarisan dari segi kekuatan fisik, tetapi
semata-mata karena hubungan darah.

Hubungan darah merupakan sebab utama dalam memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena
hubungan darah termasuk unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Hubungan
darah ini menentukan adanya hubungan kekerabatan (Al-Qarabah) antara seorang pewaris dengan ahli
warisnya.

Secara pasti tidak terdapat dalam Al-Qur'an maupun as-Sunnah tentang struktur kekerabatan menurut
hukum Islam. Namun demikian dari surah An-Nisa ayat (7), (11), (12) dan (176) akan menentukan
kepada suatu kesimpulan logis tentang susunan kekerabatan dalam Islam. Keberadaan ayat ini
kemudian diterjemahkan dalam Pasal 174 ayat (1) huruf a Kompilasi yang menyatakan :

Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :

a. Menurut hubungan darah :

- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.

- golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

Dari pasal di atas dapat ditarik garis hubungan kekerabatan sebagai berikut: ke bawah yaitu anak laki-
laki dan anak perempuan dan kalau tidak ada anak-anak, maka cucu menggantikan anak-anak. Ke atas
yaitu ayah dan ibu, bila ayah sudah tidak ada, maka kakek menggantikan ayah dan bila ibu sudah tidak
ada, maka nenek menggantikan ibu. Ke samping yaitu saudara laki-laki dan saudaraperempuan baik
melalui ayah atau melalui ibu atau melalui ayah dan ibu.
Apabila dianalisis selanjutnya ayat-ayat kewarisan dalam hubungannya dengan kekerabatan akan
terlihat bahwa bagi seorang suami ahli warisnya selain istrinya adalah anak-anaknya baik perempuan
dan laki-laki, ayah dan ibunya serta saudara-saudaranya yang sekaligus keseluruh-annya adalah
kerabatnya. Sedangkan orang tua dan saudara istrinya bukanlah ahli warisnya dan bukan pula
kerabatnya. Bagiseorang istri ahli warisnya selain suami adalah anak-anaknya baik laki-laki maupun
perempuan, orang tua dan saudaranya. Sedangkanorang tua dan saudara suaminya bukan ahli warisnya
dan bukan pula kerabatnya.

Namun demikian terdapat masalah mengenai berapa dan bagaimana caranya untuk menentukan jumlah
bagian yang harus ditunda untuk diberikan dikemudian hari bila anak tersebut lahir, sedangkan
Kompilasi sama sekali tidak mengaturnya. Dalam hal ini menurut penuliskiranya dapat dipergunakan
kesepakatan jumhur ulama dalam penyelesaian masalah sebagai berikut (Fatchur Rahman, 1981: 212):

1). Bila ia mewarisi bersama-sama dengan orang yang tidak akan menerima pusaka, seperti saudaranya
si mati, maka saudara si mati tersebut tidak diberikan sedikitpun, karena anak dalam kandungan dikira-
kirakan laki-laki yang bakal menerima seluruh harta peninggalan secara 'ushubah.

2). Bila ia mewarisi bersama-sama dengan ahli waris yang furudhul muqaddarah-nya tidak pasang surut,
maka ahli waris tersebut menerima pusaka sesuai dengan furudhnya masing-masing dan anak dalam
kandungan menerima sisanya yang ditahan untuknya. Misalnya ahli waris terdiri dari ibu, istri dan anak
dalam kandungan. Dalam keadaan seperti ini furudh tidak berubah menjadi lebih kecil dari pada 1/6 dan
furudh istri tidak berubah dari pada 1/8, kendatipun anak tersebut lahir dalam keadaan hidup atau mati.

3). Bila ia mewarisi bersama-sama ahli waris yang furudhul muqad darahnya dapat pasang surut, maka
ahli waris tersebut diberikan bagian sesuai dengan furudh-nya yang terkecil dan anak dalam kandungan
diberikan bagian yang sedang ditahankan yaitu bagian yang terbesar diantara dua perkiraan laki-laki dan
perempuan.

Penegasan tentang keberadaan anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya kemudian
diterobos Kompilasi dengan konstruksi hukum wasiat wajibah. Tampaknya nilai-nilai adat (u'rf),
kemanusiaan dan keadilan melatar belakangi berlakunya konstruksi ini dalam Kompilasi. Berdasarkan
konstruksi hukum wasiat wajibah terwujud suatu sistem hubungan hukum timbal balik antara anak
angkat dengan orang tua angkat sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 209 Kompilasi:

1). Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di
atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.

2). Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyakıpa 1/3
dari harta warisan orang tua angkatnya.
Konstruksi hukum wasiat wajibah ini mengandung makna hilangnya unsur usaha bagi si pemberi wasiat
(anak angkat dan orang tua angkat) dan terbitnya unsur kewajiban melalui ketentuan Pasal 209 tanpa
tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat. Dengan demikian demi
hukum terwujud wasiat antara kedua-nya dalam harta peninggalan masing-masing, sehingga meskipun
tidak dikemukakan, hukum tetap. menganggap ada wasiat.

2. Menurut Hubungan Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu sebab adanya hubungan kewarisan antara suami dan istri secara
bertimbal balik, sehingga hubungan ini menempatkan duda dan janda (Pasal 174 ayat (1) huruf b)
sebagai salah satu ahli waris dari harta peninggalan diantara mereka berdua.

Pasal 2 Kompilasi menyebutkan :

perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Penggunaan kata akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan menunjukkan secara pasti
hubungan kewarisan antara suami dan istri.

Adapun berlakunya hubungan kewarisan antara suami dan istri didasarkan pada ketentuan yaitu :

1). Sahnya Perkawinan

Pasal 4 Kompilasi menyebutkan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai
dengan Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Ketentuan ini
merupakan suatu penegasan yang cukup tepat dan aspiratif dalam menentukan keabsahan suatu
perkawinan. Konsekuensinya perkawinan yang tidak memenuhi syarat dalam Islam menyebabkan tidak
adanya hubungan kewarisan antara suami dan istri.

2). Hubungan Perkawinan Masih Ada

Keberadaan hubungan perkawinan disini meliputi juga perkawinan yang telah diputuskan dengan talak
raj'i yang masa iddah bagi istri belum selesai. Talak raj'i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami
berhak rujuk selama istri dalam masa iddan (Pasal 118 Kompilasi).
Perkawinan tersebut dianggap masih ada, karena disaat iddah masih berjalan suami masih mempunyai
hak penuh untuk merujuk kembali bekas istrinya yang masih menjalankan iddah baik dengan perkataan
maupun dengan perbuatan tanpa memerlukan kerelaan istri, dengan syarat bekas suami membayar mas
kawin baru, menghadirkan dua orang saksi serta seorang wali.

Adapun suami meninggal dengan istri dalam masa iddah raj'i sebagaimana diterangkan dalam Pasal 154
Kompilasi:

apabila istri tertalak raj'i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b,
ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat
puluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya, maka istrinya dapat mewarisi harta peninggalan
suaminya.

Demikian juga sebaliknya suami dapat mewarisi harta peninggalan istrinya yang meninggal dalam
keadaan iddah raj 'i. Tetapi kalau istri yang ditalak raj 'i tersebut selesai masa iddahnya, maka keduanya
tidak dapat saling mewarisi harta peninggalan.

Sebenarnya jika ditelusuri pasal-pasal dalam Kompilasi seperti Pasal 171 huruf b dan c jo. Pasal 172 dan
Pasal 191 serta doktrin yang tersebar pada beberapa kitab fikih kewarisan terdapat sebab lain yang
menyebabkan terhalangnya ahli waris dalam mewarisi harta peninggalan pewaris seperti :

1). Perbedaan agama, yang dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 171 huruf b dan c jo. Pasal 172
Kompilasi juga secara "tersirat" menghalangi hak kewarisan ahli waris.

2). Hilang tanpa berita, yang dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 191 Kompilasi bagi ahli waris yang
tidak diketahui ada atau tidaknya berdasarkan putusan Pengadilan.

(3), Berlainan negara, yang dapat disimpulkan dari doktrin fikih dari empat mazhab. Apabila disadarkan
pada kepentingan nasional dan negara, maka Pasal 5 jo. Pasal 9 Undang Undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960 merupakan dasar hukum yang kuat menghalangi hak kewarisan dari ahli waris, demikian
juga bagi pewaris. Disini kita membedakan di satu pihak warga negara Indo nesia dan di lain pihak orang
asing dan UUPA penuh dengan ketentuan-ketentuan dan tidaka ada jalan keluar apapun untuk
melegalkan orang asing mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sama dengan warga negara Indonesia (A.P.
Parlindungan, 1991:26).
B. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam

Kewarisan Islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau dasar sebagai penguat hukum
kewarisan tersebut. Diantara

sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam diantaranya adalah, sebagai berikut:

1. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur'an.

2. Dalil-dalil yang bersumber dari as-Sunnah.

3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma' dan ijtihad para ulama'.

Dasar hukum bagi kewarisan adalah nash atau apa yang ada didalam al Qur'an dan as-Sunnah. Ayat-ayat
al-Qur'an yang mengatur secara

langsung tentang waris diantaranya adalah:

a. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur'an Surat al-Nisa: 7

‫للرجال نصيب مما ترك الوالدان واألقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان واألقربون‬

‫مما قل منه أو‬

‫كثنصيبا مفروضا‬

Artinya: "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita
ada hak dan bagian (pula) dari

harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan."

Garis hukum kewarisan pada ayat diatas (Q.S al-Nisa: 7) adalah sebagai

berikut:

1) Bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.

2) Bagi aqrabun (keluarga dekat) laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan aqrabun (keluarga
dekat yang laki-laki atau perempuannya).

3) Bagi anak perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya. 4) Bagi aqrabun
(keluarga dekat) perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan aqrabun (keluarga dekat yang
laki-laki atau perempuannya) Pembagian-pembagian itu ditentukan oleh Allah SWT.6

5) Ahli waris itu ada yang menerima warisan sedikit, dan ada pula yang banyak.

Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa ayat ke-7 surat al-Nisa' ini masih bersifat Universal, walaupun ini
ayat pertama yang menyebut-nyebut adanya harta peninggalan. Harta peninggalan disebut dalam ayat
ini dengan sebutan ma taraka.
Sesuai dengan sistem ilmu hukum pada umumnya, dimana ditemui perincian nantinya maka perincian
yang khusus itulah yang mudah memperlakukannya dan yang akan diperlakukan dalam kasus-kasus yang
akan diselesaikan.

b. Dasar Hukum Kewarisan Islam Dalam al-Hadist

Dasar hukum kewarisan yang kedua yaitu dasar hukum yang terdapat dalam hadits. Dari sekian banyak
hadist Nabi Muhammad SAW yang menjadi landasan hukum kewarisan Islam, penulis hanya
mencantumkan beberapa dari hadist Nabi, diantaranya sebagai berikut :

Hadist Nabi yang diriwayatkan dari Imron bin Hussein menurut riwayat

Imam Abu Daud:

seorang bahwa Husain bin Umar Dari:

laki-laki datang kepada Nabi lalu berkata bahwasanya anak dari anak meninggalkan harta, Nabi
menjawab: untukmu seperenam."

Artinya: "Dari Usamah bin Zaid dari Nabi SAW: Orang Islam itu tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir
tidak mewarisi orang Islam."

Artinya: "Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidak dapat
mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris lain selain dirinya sendiri, begitu juga
walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak
menerima warisan".

c. Dasar Hukum Kewarisan Islam Dalam Ijtihad Ulama

Ijtihad adalah menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi yaitu Al-Qur'an dan hadist
kemudian menarik garis hukum dari padanya dalam suatu masalah tertentu, misalnya berijtihad dari Al-
Qur'an kemudian mengalirkan garis garis hukum kewarisan Islam dari padanya. "Dalam definisi lainnya,
ijtihad yaitu pemikiran para sahabat atau ulama' yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai
mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam pembagian harta warisan. Yang
dimaksud disini ijtihad dalam menerapkan hukum, bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan
yang telah ada. Meskipun al Qur'an dan Hadist telah memberi ketentuan terperinci tentang pembagian
harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang
tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut. Misalnya mengenai bagian warisan bagi orang
banci atau dalam ilmu faraidh disebut khunsta, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa
sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah atau duda atau janda.

C. Prinsip-prinsip Kewarisan Dalam Islam

Sebagai sumber hukum agama yang utamanya bersumber dari wahyu Allah SWT yang disampaikan oleh
Nabi Muhammad SAW, hokum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal
berlaku pula dalam hukumkewarisan yang bersumber dari akal

manusia. Disamping itu, hukum kewarisan Islam juga mempunyai corak tersendiri yang membedakannya
dengan hukum kewarisan lain.

Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam itu. Adapun
mengenai prinsip-prinsip kewarisan Islam yaitu :

12 Prinsip ijbari, yaitu

bahwa peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan
sendirinya.

Pewaris harus memberikan 2/3 tirkahnya kepada ahli waris, sedangkan 1/3 lainnya pewaris dapat
berwasiat untuk memberikan harta waris tersebut kepada siapa yang dikehendakinya yang disebut
sebagai taqarrub. Ahli waris tidak boleh menolak warisan, karena ahli waris tidak akan diwajibkan untuk
membayar hutang pewaris apabila harta pewaris tidak cukup untuk melunasi utang-utangnya.

Prinsip bilateral, yaitu bahwa laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis
kekerabatan, atau dengan kata lain jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewarisi atau
diwarisi. Prinsip ini terdapat dalam surat An-Nisa' ayat 7, 11, 12 dan 176 yang tegas mengatakan bahwa
hak kewarisan dalam seseorang menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal dunia bias
diperoleh dari dua sumber yaitu dari sumber garis keturunan bapak dan bisa juga dari garis keturunan
ibunya.

Prinsip individual yaitu bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara
perseorangan.

Setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris
lainnya. Hal ini didasarkan dalam ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan
untuk menerima hak dan menjalankan kewajibannya.
Prinsip keadilan berimbang yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara
yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Atas dasar pengertian tersebut, terlihat prinsip
keadilan dalam pembagian harta warisan dalam hukum Islam. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa
perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam.

Prinsip kewarisan hanya karena kematian, yaitu bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain
dengan sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Dengan demikian
tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih hidup. Prinsip kewarisan akibat kematian ini
mempunyai kaitan erat dengan asas ijbari yang disebutkan sebelumnya.

D. Rukun Dan Syarat-Syarat Kewarisan Islam

1. Rukun Waris

Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi rukun-rukun waris. Bila ada salah satu
dari rukun-rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.

Menurut hukum Islam, rukun-rukun kewarisan itu ada tiga, yang pertama :

a. Muwarris, menurut hukum Islam muwarris (pewaris) adalah orang yang telah meninggal dunia
dengan meninggalkan harta warisan untuk dibagi 13 bagikan pengalihannya kepada para ahli waris.
Menurut KHI, muwarris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam meninggalkan ahli waris dan 14 harta peninggalan.14
Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik negara atau instansi. Sebab negara atau
instansi bukanlah termasuk pewaris.

Anda mungkin juga menyukai