Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)


“ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN FRAKTUR”

OLEH :

USPITA
NIM : 2030282054

PEMBIMBING AKADEMIK PEMBIMBING KLINIK

(Ns. Lisa Mustika Sari, M.Kep) (Ns. Yulyan Shari, S. Kep)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
TAHUN 2021
KONSEP TEORI

A. Pengertian
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang.
Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali
terganggu. Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera
tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek,
saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat menjadi
komplikasi pemulihan klien ( Black dan Hawks, 2014).

B. Klasifikasi
Menurut price & Wilson, 2006 klasifikasi fraktur terbagi atas :

1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)


a. Fraktur terbuka (open/compound).
b. Fraktur tertutup (closed).
2. Sudut Patah
Fraktur tranversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus
terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur semacam ini, segmen-segmen
tulang yang patah direposisi atau direduksi kembali ke tempatnya
semula, maka segmen-segmen itu akan stabil, dan biasanya mudah
dikontrol dengan bidai gips. Fraktur oblik adalah fraktur yang garis
patahnya membentuk sudut terhadap tulang. Fraktur ini tidak stabil dan
sulit diperbaiki.Fraktur spiral timbul akiba torsi pada ekstremitas.
Yang menarik adalah bahwa jenis fraktur rendah energi ini hanya
menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak, dan fraktur semacam
ini cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar.
3. Fraktur multipel pada satu tulang
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya. Fraktur
semacam ini sulit ditangani. Biasanya satu ujung yang tidak memiliki
pembuluh darah menjadi sulit untuk menyembuh, dan keadaan ini
mungkin memerlukan pengobatan secara bedah. Fraktur komunita
adalah serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan dengan
lebih dari dua fragmen tulang.
4. Fraktur Impaksi
Terjadi ketika dua tulang menumbuk (akibat tubrukan) tulang ketiga
yang berada di antaranya, seperti satu vetebra dengan dua vetebra
lainnya. Fraktur pada korpus vetebra ini dapat didiagnosis dengan
radiogram. Pandangan lateral dari tulang punggung menunjukan
pengurangan tinggi vertikel dan sedikit membentuk sudut pada satu
atau beberapa vetebra. Pada orang muda, fraktur kompresi dapat
disertai perdarahan retroperitoneal yang cukup berat. Seperti pada
fraktur pelvis, pasien dapat secara cepat menjadi syok hipovolemik dan
meninggal jika tidak dilakukan pemeriksaan denyut nadi, tekanan
darah dan pernafasan secara akurat dan berulang selama 24 sampai 48
jam pertama setelah cedera. Ileus dan retensio urine dapat juga terjadi
pada cedera ini.
5. Fraktur Patologik
Terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh
karena tumor atau proses patologik lainnya. Tulang seringkali
menunjukan penurunan densitas. Penyebab sering dari fraktur-fraktur
semacam ini adalah tumor baik primer atau tumor metastasis.
6. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru diterima
untuk berlatih dalam ankatan bersenjata atau orang-orang yang baru
saja memulai latihan lari. Pada saat awitan gejala timbul, radiogram
mungkin tidak menunjukan adanya fraktur. Tetapi, biasanya setelah 2
minggu, timbul garis-garis radiopak linear tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang. Fraktur semacam ini akan sembuh dengan baik jika
tulang itu diimobilisasi selama beberapa minggu. Tetapi, jika tidak
terdiagnosis, tulang-tulang itu dapat bergeser dari tempat asalnya dan
tidak menyembuh dengan seharusnya.
7. Fraktur grenstick
Fraktur grenstick adalah fraktur tidak sempurna dan sering terjadi pada
anak-anak. Korteks tulangnya sebagian masih utuh, demikian juaga
periosteum. Fraktur-fraktur ini akan segaera sembuh dan segera
mengalami re-modeling ke bentuk dan fungsi normal.
8. Fraktur avulasi
Fraktur avulasi memisahkan suatu fragmen tulang pada tempat insersi
tendon ataupun ligamen. Biasanya tidak ada pengobatan yang spesifik
yang diperlukan. Namun, bila diduga akan terjadi ketidakstabilan sendi
atau hal-hal yang menyebabkan kecacatan, maka perlu dilakukan
pembedahan untuk membuang atau meletakan kembali fragmen tulang
tersebut.
9. Fraktur sendi
Catatan khusus harus dibuat untuk fraktur yang melibatkan sendi,
terutama apabila geometri sendi terganggu secara bermakna. Jika tidak
ditangani secara tepat, cedera semacam ini dapat menyebabkan
osteoartritis pasca trauma yang progresif pada sendi yang cedera
tersebut.
C. Etiologi
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu
retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan.
Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan
hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa
memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang
tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur
yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap
(Digiulio, Jackson dan Keogh, 2014).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat
dibedakan menjadi :
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan.
b. Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga
menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak.
2. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan :
a. Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali.
b. Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul salah satu proses yang progresif.
c. Rakhitis
d. Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus.
D. Manifestasi Klinis
Menurut yasmara, Deni (2016) :
1. Deformitas, yaitu fragmen tulang berpindah dari tempatnya.
2. Bengkak, yaitu edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi
darah terjadi dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
3. Ekimosis
4. Spasme otot, yaitu spasme involunter dekat fraktur.
5. Nyeri tekan
6. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi akibat kerusakan
saraf /perdarahan).
7. Pergerakan abnormal
8. Hilangnya darah
9. Krepitasi

E. Patofisiologi
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur.
Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang
mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem,
seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat
terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot
dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi.
Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan
mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian
proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal
dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-
otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut
(membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga
dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering
terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan
lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula),
hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah
periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan
menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan terjadi
vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan
leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan
tulang.

F. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi fraktur. Komplikasi tergantung pada jenis
cedera, usia klien, adanya masalah kesehatan lain (komordibitas) dan
penggunaan obat yang mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin,
kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi yang terjadi setelah fraktur antara
lain :
1. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera
dapat menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan
tungkai klien yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada
kemampuan klien untuk menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai.
parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang meningkat.
2. Sindroma kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi oleh
jaringan fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar
jika otot mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai
respon terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan tekanan
kompartemen yang dapat mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai
darah lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik jaringan, maka
terjadi iskemia. Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi
gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan
yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan
oleh apapun yang menurunkan ukuran kompartemen.gips yang ketat
atau faktor-faktor internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia yang
berkelanjutan akan menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-otot
yang terkena, menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi
lebih lanjut.
3. Kontraktur volkman
Kontraktur volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus-
menerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh
jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma
kompartemen setelah fraktur tibia dapat menyebabkan kaki nyeri atau
kebas, disfungsional, dan mengalami deformasi.
4. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien
fraktur. Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang
panjang seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul.

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
2. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau
menurun pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin
terjadi sebagai respon terhadap peradangan.

H. Penatalaksanaan
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke posisi
semula dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah
tulang. Cara pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau
imobilisasi, misalnya menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada
fraktur iga dan fraktur klavikula pada anak. Cara kedua adalah imobilisasi
luar tanpa reposisi, biasanya dilakukan pada patah tulang tungkai bawah
tanpa dislokasi. Cara ketiga adalah reposisi dengan cara manipulasi yang
diikuti dengan imobilisasi, biasanya dilakukan pada patah tulang radius
distal. Cara keempat adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus
selama masa tertentu. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang apabila
direposisi akan terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa reposisi
yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa
reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang
secara operatif. Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan
fiksasi interna yang biasa disebut dengan ORIF (Open Reduction Internal
Fixation). Cara yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dengan
prostesis (Sjamsuhidayat dkk, 2010).
Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain :
1. Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan
untuk mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan
perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik
yang sesuai untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama
pengobatan.
2. Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran
garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi
terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau
mekanis untuk menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi
untuk mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup
gagal atau kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi
terbuka.Reduksi terbuka dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi
internal untuk mempertahankan posisi sampai penyembuhan tulang
menjadi solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat,
skrup, dan plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui
pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Pembedahan
terbuka ini akan mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang
patah dapat tersambung kembali.
3. Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan
plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi
ekstremitas yang mengalami fraktur.d.Rehabilitasi Mengembalikan
aktivitas fungsional seoptimal mungkin.Setelah pembedahan, pasien
memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.
Menurut Kneale dan Davis (2011) latihan rehabilitasi dibagi menjadi tiga
kategori yaitu :
1. Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan
rentang gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur
jaringan lunak serta mencegah strain berlebihan pada otot yang
diperbaiki post bedah.
2. Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang
sehat, katrol atau tongkat.
3. Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat
otot. Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah
pulih, 4-6 minggu setelah pembedahan atau dilakukan pada pasien
yang mengalami gangguan ekstremitas atas.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Pengkajian
Pengkajian meliputi :
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, nomer register, tanggal masuk
Rumah Sakit, diagnosa medis.
b. Pengkajian Primer
Menurut Paul Krisanty (2016) Setelah klien sampai di Instalasi Gawat
Darurat (IGD)yang pertama kali harus dilakukan adalah mengamankan
dan mengaplikasikan prinsip Airway, Breathing, Circulation,
Disability Limitation, Exposure (ABCDE).
a) Airway : Penilaian kelanaran airwaypada klien yang mengalami
fraktur meliputi, pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang
dapat disebabkan benda asing, fraktur wajah, fraktur mandibula
atau maksila, fraktur laring atau trachea. Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebral servikal
karena kemungkinan patahnya tulang servikal harus selalu
diperhitungkan. Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak
boleh melibatkan hiperektensi leher.
b) Breathing : Setelah melakukan airwaykita harus menjamin
ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik
dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada klien harus dibuka
uantuk melihat pernapasan yang baik.
c) Circulation : Kontrol perdarahan vena dengan menekan langsung
sisi area perdarahan bersamaan dengan tekanan jari pada arteri
paling dekat dengan perdarahan. Curiga hemoragi internal (pleural,
parasardial, atau abdomen) pada kejadian syok lanjut dan adanya
cidera pada dada dan abdomen. Atasi syok, dimana klien dengan
fraktur biasanya mengalami kehilangan darah. Kaji tanda-tanda
syok yaitu penurunan tekanan darah, kulit dingin, lembab dan nadi
halus.
d) Disability : Kaji kedaan neurologis secara cepat yang dinilai adalah
tingkat kesadaran (GCS), ukuran dan reaksi pupil. Penurunan
kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigen dan penurunan
perfusi ke otak, atau disebabkan perlukaan pada otak. Perubahan
kesadaran menuntut dilakukannya pemeriksaan terhadap keadaan
ventilasi, perfusi dan oksigenasi.
e) Exsposure : Jika exsposuredilakukan di Rumah Sakit, tetapi jika
perlu dapat membuka pakaian, misalnya membuka baju untuk
melakukan pemeriksaan fisik thoraks. Di Rumah Sakit klien harus
di buka seluruh pakaiannya, untuk evaluasi klien. Setelah pakain
dibuka, penting agar klien tidak kedinginan klien harus diberikan
slimut hangan, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan
intravena.
c. Pengkajian Sekunder
Bagian dari pengkajian sekunder pada klien cidera muskuloskeletal
adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder
adalah mencari cidera-cidera lain yang mungkin terjadi pada klien
sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati. Apabila klien
sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat
SAMPLE dariklien, yaitu Subyektif, Allergies, Medication, Past
Medical History, Last Ate danEvent (kejadian atau mekanisme
kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk
mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh klien,
terutama jika kitamasih curiga ada cidera yang belum diketahui saat
primary survey,
d. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada klien fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lama serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri di
gunakan :
a) Provoking Incident: Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presitasi nyeri.
b) Quality Of Pain: Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan. Apakah
seperti terbakar, berdenyut atau menusuk.
c) Region : Apakah rasaa sakit bias reda, apakah rasa sakit menjalar
atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (scalr) Of Pain: Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau menerangkkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
e. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini biasa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehinga
nantinya bisa ditentukan kekuatanyang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena.
f. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan member
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit –
penyakit tersebut seperti kangker tulang dan penyakit pagets yang
menyebabkan fraktur patologis yang sulit untuk menyambung.
g. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang nerhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yangsering terjadi pada beberapa keturunan dan
kangker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
h. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : dikaji GCS klien.
b) System Integumen : kaji ada tidaknya eritema, bengkak, oedema,
nyeri tekan.
c) Kepala : kaji bentuk kepala, apakah terdapat benjolan, apakah ada
nyeri kepala.
d) Leher : kaji ada tidaknya penjolankelenjar tiroid, dan reflek
menelan.
e) Muka : kaji ekspresi wajah klien wajah, ada tidak perubahan fungsi
maupun bentuk. Ada atau tidak lesi, ada tidak oedema.
f) Mata : kaji konjungtiva anemis atau tidak (karena tidak terjadi
perdarahan).
g) Telinga : kaji ada tidaknya lesi, nyeri tekan, dan penggunaan alat
bantu pendengaran.
h) Hidung : kaji ada tidaknya deformitas, dan pernapasan cuping
hidung.
i) Mulut dan Faring : kaji ada atau tidak pembesaran tonsil,
perdarahan gusi, kaji mukosa bibir pucat atau tidak.
j) Paru
Inspeksi: kaji ada tidaknya pernapasan meningkat.
Palpasi: kaji pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi :kaji ada tidaknya redup atau suara tambahan.
Auskultasi: kaji ada tidaknya suara nafas tambahan.
k) Jantung
Inspeksi: kaji ada tidaknya iktus jantung.
Palpasi: kaji ada tidaknya nadi meningkat, iktus teraba atau tidak.
Perkusi: kaji suara perkusi pada jantung.
Auskultasi : kaji adanya suara tambahan.
l) Abdomen
Inspeksi: kaji kesimetrisan, ada atau tidak hernia.
Auskultasi : kaji suara Peristaltik usus klien.
Perkusi : kaji adanya suara.
Palpasi : ada atau tidak nyeri tekan
m) Ekstremitas
Atas : kaji kekuatan otot, rom kanandan kiri, capillary refile,
perubahan bentuk tulang
Bawah : kaji kekuatan otot, rom kanan dan kiri, capillary refile,
dan perubahan bentuk tulang

B. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal, nyeri, penurunan kekuatan otot.
3. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan pada
tonjolan tulang.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan atau keletihan,
ketidakadekuatan oksigen, ansietas, dan gangguan pola tidur.
C. Intervensi
No Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
1. Nyeri akut berhubungan Tingkat nyeri menurun (L.08066). Manajemen Nyeri (I. 08238)
dengan agen cidera fisik. a. Observasi
(D.0077).  Lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
 Identifikasi skala nyeri.
 Identifikasi respon nyeri non verbal.
 Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri.
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
nyeri.
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
nyeri.
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan.
 Monitor efek samping penggunaan analgetik.
b. Terapeutik
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain)Control
lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan).
 Fasilitasi istirahat dan tidur.
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri.
c. Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.
Jelaskan strategi meredakan nyeri.
Anjurkan memonitor nyri secara mandiri.
Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
d. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Pemberian Analgetik (I.08243)


a. Observasi
 Identifikasi karakteristik nyeri (mis.
Pencetus, pereda, kualitas, lokasi, intensitas,
frekuensi, durasi).
 Identifikasi riwayat alergi obat.
 Identifikasi kesesuaian jenis analgesik
(mis. Narkotika, non-narkotika, atau NSAID)
dengan tingkat keparahan nyeri.
 Monitor tanda-tanda vital sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
 Monitor efektifitas analgesik.
b. Terapeutik
 Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk
mencapai analgesia optimal, jika perlu.
 Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau
bolus opioid untuk mempertahankan kadar
dalam serum.
 Tetapkan target efektifitas analgesic untuk
mengoptimalkan respon pasien.
 Dokumentasikan respon terhadap efek analgesic
dan efek yang tidak diinginkan.

c. Edukasi
 Jelaskan efek terapi dan efek samping obat.
d. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi.
2. Gangguan mobilitas fisik Mobilitas fisik meningkat (L.05042). Dukungan Ambulasi (1.06171)
berhubungan dengan a. Observasi
gangguan muskuloskeletal,  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
nyeri, penurunan kekuatan lainnya.
otot.  Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi.
(D.0054).  Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
sebelum memulai ambulasi.
 Monitor kondisi umum selama melakukan
ambulasi
b. Terapeutik
 Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu
(mis. tongkat, kruk)
 Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
 Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan ambulasi
c. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
 Anjurkan melakukan ambulasi dini
 Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan (mis. berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar
mandi, berjalan sesuai toleransi).

3. Intoleransi aktivitas Toleransi aktivitas meningkat Manajemen Energi (I. 05178)


berhubungan dengan (L.05047). a. Observasi
kelemahan atau keletihan,  Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang
ketidakadekuatan oksigen, mengakibatkan kelelahan
ansietas, dan gangguan pola  Monitor kelelahan fisik dan emosional
tidur.  Monitor pola dan jam tidur
(D.0056).  Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas
b. Terapeutik
 Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
(mis. cahaya, suara, kunjungan)
 Lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif
 Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
 Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau berjalan
c. Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
 Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak berkurang
 Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
kelelahan
d. Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan

Terapi Aktivitas (I.05186)


a. Observasi
 Identifikasi deficit tingkat aktivitas
 Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam
aktivotas tertentu
 Identifikasi sumber daya untuk aktivitas yang
diinginkan
 Identifikasi strategi meningkatkan partisipasi
dalam aktivitas
 Identifikasi makna aktivitas rutin (mis. bekerja)
dan waktu luang.
 Monitor respon emosional, fisik, social, dan
spiritual terhadap aktivitas
b. Terapeutik
 Fasilitasi focus pada kemampuan, bukan deficit
yang dialami
 Sepakati komitmen untuk meningkatkan
frekuensi danrentang aktivitas
 Fasilitasi memilih aktivitas dan tetapkan tujuan
aktivitas yang konsisten sesuai kemampuan
fisik, psikologis, dan social
 Koordinasikan pemilihan aktivitas sesuai usia
 Fasilitasi makna aktivitas yang dipilih
 Fasilitasi transportasi untuk menghadiri
aktivitas, jika sesuai
 Fasilitasi pasien dan keluarga dalam
menyesuaikan lingkungan untuk
mengakomodasikan aktivitas yang dipilih
 Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis. ambulansi,
mobilisasi, dan perawatan diri), sesuai
kebutuhan
 Fasilitasi aktivitas pengganti saat mengalami
keterbatasan waktu, energy, atau gerak
 Fasilitasi akvitas motorik kasar untuk pasien
hiperaktif
 Tingkatkan aktivitas fisik untuk memelihara
berat badan, jika sesuai
 Fasilitasi aktivitas motorik untuk merelaksasi
otot
 Fasilitasi aktivitas dengan komponen memori
implicit dan emosional (mis. kegitan keagamaan
khusu) untuk pasien dimensia, jika sesaui
 Libatkan dalam permaianan kelompok yang
tidak kompetitif, terstruktur, dan aktif
c. Edukasi
 Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari, jika
perlu
 Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih
 Anjurkan melakukan aktivitas fisik, social,
spiritual, dan kognitif, dalam menjaga fungsi dan
kesehatan
 Anjurka terlibat dalam aktivitas kelompok atau
terapi, jika sesuai
 Anjurkan keluarga untuk member penguatan
positif atas partisipasi dalam aktivitas
d. Kolaborasi
 Kolaborasi dengan terapi okupasi dalam
merencanakan dan memonitor program aktivitas,
jika sesuai.
 Rujuk pada pusat atau program aktivitas
komunitas, jika perlu.

4. Resiko kerusakan integritas Integritas kulit dan jaringan Perawatan Integritas Kulit (I.11353)
kulit berhubungan dengan meningkat (L.14125). a. Observasi
tekanan pada tonjolan tulang.  Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
(D.0139). (mis. Perubahan sirkulasi, perubahan status
nutrisi, peneurunan kelembaban, suhu
lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas)
b. Terapeutik
 Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring
Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang,
jika perlu
 Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama
selama periode diare
 Gunakan produk berbahan petrolium  atau
minyak pada kulit kering
 Gunakan produk berbahan ringan/alami dan
hipoalergik pada kulit sensitif
 Hindari produk berbahan dasar alkohol pada
kulit kering
c. Edukasi
 Anjurkan menggunakan pelembab (mis.
Lotin, serum)
 Anjurkan minum air yang cukup
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkat asupan buah dan saur
 Anjurkan menghindari terpapar suhu
ektrime
 Anjurkan menggunakan tabir surya SPF
minimal 30 saat berada diluar rumah

Perawatan Luka( I.14564 )


a. Observasi
 Monitor karakteristik luka (mis:
drainase,warna,ukuran,bau
 Monitor tanda –tanda inveksi
b. Terapiutik
 Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
 Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu
 Bersihkan dengan cairan NACL atau pembersih
non toksik,sesuai kebutuhan
 Bersihkan jaringan nekrotik
 Berika salep yang sesuai di kulit /lesi, jika perlu
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Pertahan kan teknik seteril saaat perawatan luka
 Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan
drainase
 Jadwalkan perubahan posisi setiap dua jam atau
sesuai kondisi pasien
 Berika diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari
dan protein1,25-1,5 g/kgBB/hari
 Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis
vitamin A,vitamin C,Zinc,Asam amino),sesuai
indikasi
 Berikan terapi TENS(Stimulasi syaraf
transkutaneous), jika perlu
d. Edukasi
 Jelaskan tandan dan gejala infeksi
 Anjurkan mengonsumsi makan tinggi kalium
dan protein
 Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
e. Kolaborasi
 Kolaborasi prosedur debridement(mis: enzimatik
biologis mekanis,autolotik), jika perlu.
 Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu.
D. Implementasi
Implementasi keperawatan dapat disesuaikan dengan intervensi
keperawatan yang telah di susun.

E. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan,
rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil di capai.

Anda mungkin juga menyukai