OLEH :
USPITA
NIM : 2030282054
A. Pengertian
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang.
Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali
terganggu. Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera
tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek,
saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat menjadi
komplikasi pemulihan klien ( Black dan Hawks, 2014).
B. Klasifikasi
Menurut price & Wilson, 2006 klasifikasi fraktur terbagi atas :
E. Patofisiologi
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur.
Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang
mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem,
seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat
terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot
dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi.
Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan
mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian
proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal
dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-
otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut
(membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga
dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering
terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan
lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula),
hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah
periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan
menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan terjadi
vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan
leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan
tulang.
F. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi fraktur. Komplikasi tergantung pada jenis
cedera, usia klien, adanya masalah kesehatan lain (komordibitas) dan
penggunaan obat yang mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin,
kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi yang terjadi setelah fraktur antara
lain :
1. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera
dapat menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan
tungkai klien yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada
kemampuan klien untuk menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai.
parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang meningkat.
2. Sindroma kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi oleh
jaringan fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar
jika otot mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai
respon terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan tekanan
kompartemen yang dapat mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai
darah lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik jaringan, maka
terjadi iskemia. Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi
gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan
yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan
oleh apapun yang menurunkan ukuran kompartemen.gips yang ketat
atau faktor-faktor internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia yang
berkelanjutan akan menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-otot
yang terkena, menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi
lebih lanjut.
3. Kontraktur volkman
Kontraktur volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus-
menerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh
jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma
kompartemen setelah fraktur tibia dapat menyebabkan kaki nyeri atau
kebas, disfungsional, dan mengalami deformasi.
4. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien
fraktur. Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang
panjang seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
2. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau
menurun pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin
terjadi sebagai respon terhadap peradangan.
H. Penatalaksanaan
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke posisi
semula dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah
tulang. Cara pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau
imobilisasi, misalnya menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada
fraktur iga dan fraktur klavikula pada anak. Cara kedua adalah imobilisasi
luar tanpa reposisi, biasanya dilakukan pada patah tulang tungkai bawah
tanpa dislokasi. Cara ketiga adalah reposisi dengan cara manipulasi yang
diikuti dengan imobilisasi, biasanya dilakukan pada patah tulang radius
distal. Cara keempat adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus
selama masa tertentu. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang apabila
direposisi akan terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa reposisi
yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa
reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang
secara operatif. Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan
fiksasi interna yang biasa disebut dengan ORIF (Open Reduction Internal
Fixation). Cara yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dengan
prostesis (Sjamsuhidayat dkk, 2010).
Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain :
1. Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan
untuk mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan
perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik
yang sesuai untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama
pengobatan.
2. Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran
garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi
terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau
mekanis untuk menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi
untuk mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup
gagal atau kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi
terbuka.Reduksi terbuka dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi
internal untuk mempertahankan posisi sampai penyembuhan tulang
menjadi solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat,
skrup, dan plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui
pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Pembedahan
terbuka ini akan mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang
patah dapat tersambung kembali.
3. Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan
plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi
ekstremitas yang mengalami fraktur.d.Rehabilitasi Mengembalikan
aktivitas fungsional seoptimal mungkin.Setelah pembedahan, pasien
memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.
Menurut Kneale dan Davis (2011) latihan rehabilitasi dibagi menjadi tiga
kategori yaitu :
1. Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan
rentang gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur
jaringan lunak serta mencegah strain berlebihan pada otot yang
diperbaiki post bedah.
2. Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang
sehat, katrol atau tongkat.
3. Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat
otot. Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah
pulih, 4-6 minggu setelah pembedahan atau dilakukan pada pasien
yang mengalami gangguan ekstremitas atas.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. Pengkajian
Pengkajian meliputi :
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, nomer register, tanggal masuk
Rumah Sakit, diagnosa medis.
b. Pengkajian Primer
Menurut Paul Krisanty (2016) Setelah klien sampai di Instalasi Gawat
Darurat (IGD)yang pertama kali harus dilakukan adalah mengamankan
dan mengaplikasikan prinsip Airway, Breathing, Circulation,
Disability Limitation, Exposure (ABCDE).
a) Airway : Penilaian kelanaran airwaypada klien yang mengalami
fraktur meliputi, pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang
dapat disebabkan benda asing, fraktur wajah, fraktur mandibula
atau maksila, fraktur laring atau trachea. Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebral servikal
karena kemungkinan patahnya tulang servikal harus selalu
diperhitungkan. Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak
boleh melibatkan hiperektensi leher.
b) Breathing : Setelah melakukan airwaykita harus menjamin
ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik
dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada klien harus dibuka
uantuk melihat pernapasan yang baik.
c) Circulation : Kontrol perdarahan vena dengan menekan langsung
sisi area perdarahan bersamaan dengan tekanan jari pada arteri
paling dekat dengan perdarahan. Curiga hemoragi internal (pleural,
parasardial, atau abdomen) pada kejadian syok lanjut dan adanya
cidera pada dada dan abdomen. Atasi syok, dimana klien dengan
fraktur biasanya mengalami kehilangan darah. Kaji tanda-tanda
syok yaitu penurunan tekanan darah, kulit dingin, lembab dan nadi
halus.
d) Disability : Kaji kedaan neurologis secara cepat yang dinilai adalah
tingkat kesadaran (GCS), ukuran dan reaksi pupil. Penurunan
kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigen dan penurunan
perfusi ke otak, atau disebabkan perlukaan pada otak. Perubahan
kesadaran menuntut dilakukannya pemeriksaan terhadap keadaan
ventilasi, perfusi dan oksigenasi.
e) Exsposure : Jika exsposuredilakukan di Rumah Sakit, tetapi jika
perlu dapat membuka pakaian, misalnya membuka baju untuk
melakukan pemeriksaan fisik thoraks. Di Rumah Sakit klien harus
di buka seluruh pakaiannya, untuk evaluasi klien. Setelah pakain
dibuka, penting agar klien tidak kedinginan klien harus diberikan
slimut hangan, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan
intravena.
c. Pengkajian Sekunder
Bagian dari pengkajian sekunder pada klien cidera muskuloskeletal
adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder
adalah mencari cidera-cidera lain yang mungkin terjadi pada klien
sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati. Apabila klien
sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat
SAMPLE dariklien, yaitu Subyektif, Allergies, Medication, Past
Medical History, Last Ate danEvent (kejadian atau mekanisme
kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk
mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh klien,
terutama jika kitamasih curiga ada cidera yang belum diketahui saat
primary survey,
d. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada klien fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lama serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri di
gunakan :
a) Provoking Incident: Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presitasi nyeri.
b) Quality Of Pain: Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan. Apakah
seperti terbakar, berdenyut atau menusuk.
c) Region : Apakah rasaa sakit bias reda, apakah rasa sakit menjalar
atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (scalr) Of Pain: Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau menerangkkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
e. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini biasa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehinga
nantinya bisa ditentukan kekuatanyang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena.
f. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan member
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit –
penyakit tersebut seperti kangker tulang dan penyakit pagets yang
menyebabkan fraktur patologis yang sulit untuk menyambung.
g. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang nerhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yangsering terjadi pada beberapa keturunan dan
kangker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
h. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : dikaji GCS klien.
b) System Integumen : kaji ada tidaknya eritema, bengkak, oedema,
nyeri tekan.
c) Kepala : kaji bentuk kepala, apakah terdapat benjolan, apakah ada
nyeri kepala.
d) Leher : kaji ada tidaknya penjolankelenjar tiroid, dan reflek
menelan.
e) Muka : kaji ekspresi wajah klien wajah, ada tidak perubahan fungsi
maupun bentuk. Ada atau tidak lesi, ada tidak oedema.
f) Mata : kaji konjungtiva anemis atau tidak (karena tidak terjadi
perdarahan).
g) Telinga : kaji ada tidaknya lesi, nyeri tekan, dan penggunaan alat
bantu pendengaran.
h) Hidung : kaji ada tidaknya deformitas, dan pernapasan cuping
hidung.
i) Mulut dan Faring : kaji ada atau tidak pembesaran tonsil,
perdarahan gusi, kaji mukosa bibir pucat atau tidak.
j) Paru
Inspeksi: kaji ada tidaknya pernapasan meningkat.
Palpasi: kaji pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi :kaji ada tidaknya redup atau suara tambahan.
Auskultasi: kaji ada tidaknya suara nafas tambahan.
k) Jantung
Inspeksi: kaji ada tidaknya iktus jantung.
Palpasi: kaji ada tidaknya nadi meningkat, iktus teraba atau tidak.
Perkusi: kaji suara perkusi pada jantung.
Auskultasi : kaji adanya suara tambahan.
l) Abdomen
Inspeksi: kaji kesimetrisan, ada atau tidak hernia.
Auskultasi : kaji suara Peristaltik usus klien.
Perkusi : kaji adanya suara.
Palpasi : ada atau tidak nyeri tekan
m) Ekstremitas
Atas : kaji kekuatan otot, rom kanandan kiri, capillary refile,
perubahan bentuk tulang
Bawah : kaji kekuatan otot, rom kanan dan kiri, capillary refile,
dan perubahan bentuk tulang
B. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal, nyeri, penurunan kekuatan otot.
3. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan pada
tonjolan tulang.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan atau keletihan,
ketidakadekuatan oksigen, ansietas, dan gangguan pola tidur.
C. Intervensi
No Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
1. Nyeri akut berhubungan Tingkat nyeri menurun (L.08066). Manajemen Nyeri (I. 08238)
dengan agen cidera fisik. a. Observasi
(D.0077). Lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
Identifikasi skala nyeri.
Identifikasi respon nyeri non verbal.
Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri.
Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
nyeri.
Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
nyeri.
Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan.
Monitor efek samping penggunaan analgetik.
b. Terapeutik
Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain)Control
lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan).
Fasilitasi istirahat dan tidur.
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri.
c. Edukasi
Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.
Jelaskan strategi meredakan nyeri.
Anjurkan memonitor nyri secara mandiri.
Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
d. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
4. Resiko kerusakan integritas Integritas kulit dan jaringan Perawatan Integritas Kulit (I.11353)
kulit berhubungan dengan meningkat (L.14125). a. Observasi
tekanan pada tonjolan tulang. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
(D.0139). (mis. Perubahan sirkulasi, perubahan status
nutrisi, peneurunan kelembaban, suhu
lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas)
b. Terapeutik
Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring
Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang,
jika perlu
Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama
selama periode diare
Gunakan produk berbahan petrolium atau
minyak pada kulit kering
Gunakan produk berbahan ringan/alami dan
hipoalergik pada kulit sensitif
Hindari produk berbahan dasar alkohol pada
kulit kering
c. Edukasi
Anjurkan menggunakan pelembab (mis.
Lotin, serum)
Anjurkan minum air yang cukup
Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Anjurkan meningkat asupan buah dan saur
Anjurkan menghindari terpapar suhu
ektrime
Anjurkan menggunakan tabir surya SPF
minimal 30 saat berada diluar rumah
E. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan,
rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil di capai.