Khutbah Jumat 18 April 19 Alfurqan
Khutbah Jumat 18 April 19 Alfurqan
Syamsul Sodiq
Qaalallahu ta’ala fil qurnail karim, Yaa ayyuhalladhiina aamanuu ittaqullaha haqqa
tuqaatih wala tamutunna illa wa antum muslimuun.
“Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan ruh-
Ku kepadanya; maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya.”
Alam taraa annallaha sakhkhara lakum maa fissamaawaati wal ardli, wa asbagha ‘alaykum
na’amahu dhaahiratan wa baathinah, wa minannasi man yujaadilu fillahi bighayri ‘ilmin
walaa hudaa walaa kitaabin muniir.
1
Dengan semua kondisi di atas, tidak ada pilihan bagi kita kecuali ber-syukur.
Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa bersyukur terdiri atas 3 komponen:
‘ilmu, hal, dan ‘amal.
Komponen tasyakur yang kedua adalah hal. Hal yang menggambarkan sikap
kita akan ni’mat Allah. Kita memiliki rasa senang karena Allah selalu menolong
kita saat kita perlukan. Hati kita penuh dengan rasa terima kasih kepada-Nya
karena Dia telah membawa kita kepada keadaan seperti sekarang ini. Orang
yang bersyukur, di hatinya, dipenuhi rasa senang dan terima kasih ini.
“Hendaklah kamu berbahagia bila mempunyai hati yang bersyukur, lidah yang
berdzikir, dan istri/suami mu’min yang membantumu dalam urusan akhirat (HR
Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
“Isti’maalu ni’amillahi ta’aala fii thaa’atihi wattauqii minal isti’aanati biha ‘alal
ma’shiyatihi”.
“Menggunakan nikmat Allah ta’ala untuk menaati-Nya serta menjaga agar tidak
menggunakan nikmat-nikmat-Nya itu untuk maksiyat kepada-Nya (Ihya’ 4:72)”
2
untuk membesarkan Allah yang Mahakuasa. Sampai suatu saat, istrinya melihat
dia bangun tengah malam, berdiri di depan Allah, sehingga pecah dan bengkak-
bengkak kedua telapak kakinya. Ketika Aisyah bertanya, “Mengapa engkau
lakukan ini, padahal telah diampuni Allah dosamu yang lalu dan yang
kemudian?” Rasulullah yang mulia menjawab, “Bukankah aku belum menjadi
hamba yang bersyukur?” (HR Bukhari dan Muslim).
Daud a.s. berhasil mengalahkan Raja Jalut yang perkasa. Ia diangkat menjadi
penguasa. Akan tetapi, sebagaimana dilukiskan oleh Imam Hasan Al-Bashri,
“Nabi Daud (yang hebat ini) makan roti jelai di biliknya, dan memberi makan
keluarganya dengan santapan kasar, sedangkan kepada rakyatnya diberikan
jagung pilihan. Bila malam tiba, dikenakannya kain kesat dan diikatkannya
sebuah tangannya pada lehernya (kedinginan), dan ia menangis sampai fajar.”
(AJ Arberri, Pasang Surut Aliran Tasawuf, 39). Suatu malam Nabi Daud
merintih kepada Tuhan, “Ya Rabbi, bagaimana mungkin saya dapat bersyukur
kepada-Mu. Padahal mensyukuri-Mu saja sudah merupakan kenikmatan yang
patut saya syukuri.” Allah swt menjawab, “Sekarang engkau telah bersyukur
kepada-Ku, hai Daud.” (Ibnul-Qayyim, Madarijus-Salikin, 2:245).
Nabi Ayub a.s. diberi cobaan oleh Allah SWT berupa sakit yang hebat. Seluruh
kulit tubuhnya, (bahkan ada yang menyatakan seluruh daging tubuhnya)
membusuk, sehingga kita tahu sampai istrinya tidak bersabar dan meninggalkan
Nabi Ayub a.s. Dalam kesabaran, keikhlasan, dan syukurnya, Nabi Ayub
memohon kepada Allah, “Wahai Allah, kini tinggal dua bagian tubuhku yang
Engkau “amankan”, yaitu daging pembungkus bibir dan daging pembngkus
hatiku. Jika kedua bagian daging ini juga akan Engkau ambil, bagaimana aku
bisa mengucapkan kalimat syukur dan bagaimana aku bisa menjaga hatiku
untuk selalu bertauhid kepada-Mu?”
Syekh Juha atau Syeh Huja, konon adalah Nashruddin Huja atau Nashruddin
Effendi, sufi yang hidup 1208—1284 M, kisahnya lucu, tetapi selalu penuh
hikmah. Beliau dekat dengan pencari rumput sekaligus dekat dengan Raja
Timurlenk, raja yang masih keturunan Kaisar Jenghiz Khan dari Mongol.
3
Suatu ketika Sang Raja, hampir terkena anak panah seorang pemuda yang
membidik mangga. Raja marah, merasa tidak dihargai, merasa dihina, merasa
direndahkan. Raja meminta agar pemuda itu ditangkap dan dihukum dengan
ditancap anak panah.
Saat genting itulah tampil Syekh Juha, “Kalau paduka tadi tertancap panah,
adillah jika sang pemuda dihukum dengan ditancap anak panah. Kalau anak
panah hanya melesat di dekat Paduka, apakah adil jika pemuda ini harus mati
karena tertancap anak panah? Sebaiknya Baginda bertanya dulu pada nurani
dengan hati yang jernih!” Baginda pun tersenyum, menyuruh agar pemuda itu
dilepaskan. Raja telah memenangkan hati nuraninya daripada naluri
kepenguasaannya. Raja telah mensyukuri kewenangan yang diterima dari
Allah.
Dari rangkaian kisah ini, kita bisa mengetahui bahwa di dalam syukur terdapat
sifat zuhud dan menghindari ketamakan (merasa cukup terhadap semua nimat
Allah SWT). Kita juga dapat mengetahui dalam syukur ada sifat menjaga
amanah, sehingga tidak sewenang-wenang. Amanah adalah alat untuk mencari
ridla Allah, bukan alat untuk meningkatkan eksistensi diri. Semua amanah itu
besar, meskipun kita sering membaginya mnjadi besar dan kecil. Kesempatan
menjadi presiden, bupati, anggota legislatif, camat, kepala desa, kepala sekolah,
sering kita sebut sebagai amanah, tetapi ketua RT dan ketua RW sering kita
kategorikan sebagai amanah kecil dan kita sering menyebutnya sebagai
pengabdian. Bahkan kalau di lingkup keagamaan, kita sering menyebutnya
sebagai hikmat. Menjadi ketua cabang, ketua ranting, ketua majelis, ketua
takmir, bahkan ditunjuk sebagai khotib pun amanah. Kalau kita pandai
bersyukur, insya Allah semua kita lakukan dengan bersemangat untuk alat
mencari ridla dan rahmat Allah, bukan alat meningkatkan eksistenasi diri.
Kita bisa melihat bagaimana Radja Daud a.s. dan Menteri Logistik Musa a.s.
menerapkan sikap “wara’” (khawatir katutan).
Kita juga dapat melihat bahwa syukur bersemayam di hati, sedangkan symtom-
nya (gejalanya) ada di lisan dan perbuatan anggota badan. Hatinya bersyukur
dan lisannya memproduksi kalimat thayyibah: alhamdulillah, subhanallah, laa
haulaa wala quwwata illa billah, astaghfirullah, inna lillah, laa ilaaha illallah,
hasbunallahu wanni’mal wakiil nikmal maulaa wanni’man nashiir, allahumma
yassir walaa tu’assir. Saat kita banyak bersyukur, kita tidak akan banyak
memproduksi kata-kata negatif, mengeluh, mengumpat, apalagi menyalahkan.
Saat kita bersyukur tangan kita ringan mambantu, tidak berat untuk berinfaq,
kaki kita mudah melangkah untuk memenuhi panggilan adzan dan iqomah,
menuju mushalla atau masjid (Nur Hidayah).
4
Dengan demikian kita tahu bahwa dalam tasyakkur terintegrasi takbir,
membesarkan nama Allah di dalamnya, dan menggunakan nikmat-nikmat Allah
swt secara tepat. Kita gunakan nikmat hidup untuk membesarkan asma-Nya,
menjunjung tinggi syari’at-Nya, menghidupkan agama-Nya, dan menyayangi
hamba-hamba-Nya. Kita gunakan kekuasaan, kekayaan, pengetahuan,
pengaruh, bahkan hanya kesempatan untuk sebesar-besarnya mewujudkan
kehendak Allah swt di bumi.
Jika kita orang yang berilmu, kita ber-tasyakkur saat ilmu yang kita miliki itu
kita sebarkan sehingga orang lain mendapat manfaat dari pengetahuan yang kita
miliki. Kita gunakan ilmu kita untuk memberi petunjuk kepada orang yang
bingung, hiburan bagi orang yang sedih, pengetahuan bagi orang yang belum
mengerti. Kita telah menyebarkan nikmat; kita telah membuat hidup kita penuh
manfaat, berarti kita telah ber-tasyakkur.
“ahabbul ‘ibaadi ilallahi ta’aalaa anfa’unnasi linnasi, wa afdlalul a’maali idkhalu alsuruuri
‘alaa qalbil mu’mini yathrudu ‘anhu juu’an au yaksyifu ‘anhu kurban au yaqdlii lahu
daynan.”
“Manusia yang paling dicintai Allah ta’ala adalah manusia yang paling
bermanfaat bagi manusia yang lain. Amal yang paling utama adalah
memasukkan rasa bahagia ke dalam hati orang beriman, mengenyangkan
yang lapar, melepaskan kesulitan, atau membayarkan utang (HR Ibnu
Hajar Al-Asqolani dalam Nashailul ‘Ibad: 4).”
Semoga Allah swt mengampuni kealpaan dan kekhilafan kuta, sehingga jiwa
dan raga kita menjadi jiwa dan raga yang bersyukur.
5
Khutbah kedua
Qaalallahu ta’ala fil qurnail karim, Yaa ayyuhalladhiina aamanuu ittaqullaha haqqa
tuqaatih wala tamutunna illa wa antum muslimuun.
Begitu indah keteraturan alam yang dapat kita baca sebagai paduan antara
keindahan ayat-ayat kauniyah dan qoauliyah Allah swt. Al-Quran dimulai
dengan asma Allah swt, bismillah, dan diakhiri dengan nama manusia, An-Nas.
Shalat dimulai dengan takbiratul ihram, penghormatan kepada Allah swt, dan
diakhiri dengan salam (assalaamu’alaikum), penghormatan kepada sesama
manusia. Demikian pula, puasa diamulai dengan menahan makan, dan diakhiri
dengan memberikan makanan kepada orang lain, zakat. Itu semua menunjukkan
bahwa perjalanan hidup dan amal seorang muslim selalu diawali dengan
dimulai dengan membesarkan nama Allah swt, dan diakhiri dengan tasyakkur,
mendatangkan manfaat kepada sesama manusia.
Akhirnya, marilah kita berdoa kepada Allah. Semoga hidup kita dan keluarga
kita mampu menyuburkan tasyakkur sebagai etos hidup muslim dalam ridla
Allah.
Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillahirabbil alamiin
Allahumma shalli alla muhammad, wa alaa aali muhammad.
Kama shallayta alla ibraahiim, wa aali ibraahim.
6
Yaa Allah, Engkaulah Dzat yang menguasai, merajai kerajaan langit dan
bumi.
Ya Allah, Engkau saksikan umat yang biasanya bercerai berai berpadu memuji
keagungan-Mu di masjid ini. Siang ini, umat yang biasanya melupakan-
Mu, datang bersimpuh di hadapan-Mu. Hari ini, umat yang sering
mengabaikan firman-Mu, berusaha untuk kembali ke jalan-Mu. Ya Allah
inilah hamba-hamba-Mu yang lemah, yang terseret hawa nafsu, yang
diperbudak oleh dunia, yang bergelimang dengan dosa, berserah diri
kepada-Mu. Ampunilah dosa-dosa kami, Yaa Ghaffur, rahmatilah kami,
Ya Rahiim, ya arhama raahimiin.
Yaa Allah, bimbinglah kami untuk senantiasa khusuk dan istiqomah bersyukur,
dan tetapkan kami pada jalan-Mu. Yaa muqollibal quluub, tsabit qolbi
‘alaa diinika
Yaa Allah, dari sahabat rasul-Mu, Ali bin Abi Thalib, kami paham bahwa anak
kami bukanlah milik kami, tetapi mereka adalah milik zaman mereka.
Karena itu yaa Allah, dengan rahmat-Mu jadikan kesusahpayahan kami,
kesungguhan kami, kerelaberkorbanan kami ini, sebagai wasilah agar
mereka menjadi anak dan generasi yang bermartabat, berbudaya,
berakhlak mulia, dan cakap dalam memecahkan masalah-masalah hidup
mereka kelak.
Yaa Allah, sehatkan tubuh mereka; cerdaskan otak mereka; bersihkan hati
mereka; dan indahkanlah akhlak mereka
7
Yaa Allah, karuniakan kepada kami, kesabaran, ketegasan bersikap,
kedermawanan dan, kebijaksanaan dan penghambaan kepada ilmu,
sebagaimana
kesabaran yang telah Engkau anugerahkan kepada Abu Bakar Ashidiq,
ketegasan bersikap yang telah Engkau anugerahkan kepada Umar bin
Khotob,
kedermawanan yang telah Engkau anugerahkan kepada Utsman bin
Affan, dan
kebijaksanaan dan penghambaan pada ilmu yang telah Engkau
anugerahkan kepada Ali bin Abi Tholib.
Fasihkanlah lidah kami yaa Allah, untuk tidak berkata yang menyakitkan, untuk
tidak berkata yang membuat kerusakan, untuk tidak berkata hanya untuk
mencari keuntungan pribadi dengan rela mendzalimi orang lain,
sebagaimana fasihnya Bilal bin Rabbah.