Anda di halaman 1dari 5

Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman,

‫ارةٌ ت َْخ َشوْ نَ َك َسا َدهَا‬ َ ‫يرتُ ُك ْم َوأَ ْم َوا ٌل ا ْقتَ َر ْفتُ ُموهَا َوتِ َج‬
َ ‫قُلْ إِ ْن َكانَ آَبَا ُؤ ُك ْم َوأَ ْبنَا ُؤ ُك ْم َوإِ ْخ َوانُ ُك ْم َوأَ ْز َوا ُج ُك ْم َوع َِش‬
‫ضوْ نَهَا أَ َحبَّ إِلَ ْي ُك ْم ِمنَ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه َو ِجهَا ٍد فِي َسبِيلِ ِه فَتَ َربَّصُوا َحتَّى يَأْتِ َي هَّللا ُ بِأ َ ْم ِر ِه َوهَّللا ُ اَل يَ ْه ِدي‬ َ ْ‫َو َم َسا ِك ُن تَر‬
ِ َ‫ْالقَوْ َم ْالف‬
َ‫اسقِين‬
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai,
adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
(QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada
Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan
menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.
Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala
berfirman,

‫النَّبِ ُّي أَوْ لَى بِ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ِم ْن أَ ْنفُ ِس ِه ْم َوأَ ْز َوا ُجهُ أُ َّمهَاتُهُ ْم‬
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6).
Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan
keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada
keburukan.”[2] Oleh karena itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri
sendiri.
‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau
memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh
engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam berkata,

َ‫الَ َوالَّ ِذى نَ ْف ِسى بِيَ ِد ِه َحتَّى أَ ُكونَ أَ َحبَّ إِلَ ْيكَ ِم ْن نَ ْف ِسك‬
”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau
cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih
aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula
wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]
Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :
Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai
Semakin sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya kecintaan. Sedangkan Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam adalah manusia yang paling luar biasa dan sempurna dalam akhlaq,
kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat beliau adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut
dan kasih sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-Nya,

ٌ ‫َزي ٌز َعلَ ْي ِه َما َعنِتُّ ْم َح ِريصٌ َعلَ ْي ُك ْم بِ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َر ُء‬


‫وف َر ِحي ٌم‬ ِ ‫لَقَ ْد َجا َء ُك ْم َرسُو ٌل ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم ع‬
”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika seseorang mencintai nabinya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Di antara faedah tersebut adalah:
[1] Mendapatkan manisnya iman
Dari Anas radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
ُ‫ان أَ ْن يَ ُكونَ هَّللا ُ َو َرسُولُهُ أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم َّما ِس َواهُ َما َوأَ ْن يُ ِحبَّ ْال َمرْ َء اَل ي ُِحبُّه‬
ِ ‫ث َم ْن ُك َّن فِي ِه َو َج َد َحاَل َوةَ اإْل ِ ي َم‬ ٌ ‫ثَاَل‬
ِ َّ‫هَّلِل ِ َوأَ ْن يَ ْك َرهَ أَ ْن يَعُو َد فِي ْال ُك ْف ِر َك َما يَ ْك َرهُ أَ ْن يُ ْق َذفَ فِي الن‬
‫ار‬ ‫إِاَّل‬
“Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintainya dari selain keduanya; mencintai saudaranya hanya karena Allah; dan benci kembali pada
kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam api.”[4]
[2] Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang
telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan
untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku
persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

َ‫أَ ْنتَ َم َع َم ْن أَحْ بَبْت‬


“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”[5]
Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira
kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan
bersama dengan orang yang engkau cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena
kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”[6]
[3] Akan memperoleh kesempurnaan iman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫اس أَجْ َم ِعين‬


ِ َّ‫اَل ي ُْؤ ِم ُن أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى أَ ُكونَ أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن َولَ ِد ِه َو َوالِ ِد ِه َوالن‬
“Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya
serta manusia seluruhnya.”[7]
Dengan dua alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam.[8]
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun
Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ٍ ‫إِ َّن هَّللا َ اصْ طَفَى ِكنَانَةَ ِم ْن َولَ ِد إِ ْس َما ِعي َل َواصْ طَفَى قُ َر ْي ًشا ِم ْن ِكنَانَةَ َواصْ طَفَى ِم ْن قُ َر ْي‬
‫ش بَنِى هَا ِش ٍم‬
ِ ‫َواصْ طَفَانِى ِم ْن بَنِى ه‬
‫َاش ٍم‬
“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy
yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku
sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”[9]
Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu
apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa
siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya
untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[10]
Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara
yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,
)4( ‫) إِ ْن هُ َو ِإاَّل َوحْ ٌي يُو َحى‬3( ‫ق َع ِن ْالهَ َوى‬
ُ ‫) َو َما يَ ْن ِط‬2( ‫صا ِحبُ ُك ْم َو َما غ ََوى‬ َ ‫) َما‬1( ‫َوالنَّجْ ِم إِ َذا هَ َوى‬
َ ‫ض َّل‬
”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah
yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)
Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang
layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau
terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

َّ َ‫ُصلِّ َعل‬
‫ي‬ ُ ْ‫ْالبَ ِخي ُل الَّ ِذي َم ْن ُذ ِكر‬
َ ‫ت ِع ْن َدهُ فَلَ ْم ي‬
“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat
kepadaku.”[11]
Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.
Allah Ta’ala berfirman,

‫قُلْ إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ِحبُّونَ هَّللا َ فَاتَّبِعُونِي يُحْ بِ ْب ُك ُم هَّللا ُ َويَ ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذنُوبَ ُك ْم‬
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
ٌ‫ضاللَة‬
َ ‫ ُكلُّ بِ ْد َع ٍة‬،‫ َوال تَ ْبتَ ِد ُعوا فَقَ ْد ُكفِيتُ ْم‬،‫اتَّبِعُوا‬
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu
sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat .”[12]
Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip
mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang
tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,

َ َ‫فَاَل َو َربِّكَ اَل ي ُْؤ ِمنُ©ونَ َحتَّى يُ َح ِّك ُم©وكَ فِي َم©ا َش© َج َر بَ ْينَهُ ْم ثُ َّم اَل يَ ِج© ُدوا فِي أَ ْنفُ ِس© ِه ْم َح َرجً©ا ِم َّما ق‬
‫ض©يْتَ َوي َُس©لِّ ُموا‬
ْ َ‫ت‬
‫سلِي ًما‬
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’:
65)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak
beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang
diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka
rasa keberatan terhadap hukumnya.”[13]
Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan
pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,

ُ ‫ار ِه ْم َوأَ ْم َوالِ ِه ْم يَ ْبتَ ُغونَ فَضْ اًل ِمنَ هَّللا ِ َو ِرضْ َوانًا َويَ ْن‬ ُ
َ ‫صرُونَ هَّللا‬ ِ َ‫ل ِْلفُقَ َرا ِء ْال ُمهَا ِج ِرينَ الَّ ِذينَ أ ْخ ِرجُوا ِم ْن ِدي‬
َ‫َو َرسُولَهُ أُولَئِكَ هُ ُم الصَّا ِدقُون‬
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka
(karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka
itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8)
‫‪Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diceritakan dalam kisah‬‬
‫‪berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya‬‬
‫‪Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari‬‬
‫‪perbuatan kaum musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin‬‬
‫‪Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai‬‬
‫‪Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata,‬‬
‫‪”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami‬‬
‫‪mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang‬‬
‫]‪mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14‬‬

‫ت فِ ْي ِعبَا َدتِ ِه َوتَ ْق َواهُ‬ ‫ضا َوال َّس َعا َد ِة‪َ ،‬ونَقُوْ َم بِ ْال َوا ِجبَا ِ‬ ‫اَ ْل َح ْم ُد هللِ الَّ ِذيْ أَ َم َرنا َ أَ ْن نُصْ لِ َح َم ِع ْي َشتَنَا لِنَ ْي ِل ال ِّر َ‬
‫صلِّ َو َسلِّ ْم َعلَى‬ ‫ي بَ ْع َدهُ‪ .‬اَللَّهُ َّم َ‬ ‫أَ ْشهَ ُد أَ ْن اَل إِلَهَ إِالَّ هللاُ َوحْ َدهُ الَ َش ِر ْيكَ لَهُ‪َ ،‬وأَ ْشهَ ُد أَ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُهُ اَل نَبِ َّ‬
‫صحْ بِ ِه أَجْ َم ِع ْينَ ‪ ،‬أَ ّما بَ ْع ُد‬
‫ف اأْل َ ْنبِيَا ِء َو ْال ُمرْ َسلِ ْينَ َو َعلَى آلِ ِه َو َ‬ ‫‪:‬أَ ْش َر ِ‬
‫ص ْينِي نَ ْف ِسي َوإِيَّا ُك ْم بِتَ ْق َوى هللاِ‪ ،‬فَقَ ْد فَازَ ْال ُمتَّقُوْ نَ ‪ .‬قَا َل هللاُ تَ َعالَى فِ ْي ِكتَابِ ِه ْال َك ِريْم‪ ،‬بِس ِْم هللاِ‬ ‫فَيَا ِعبَا َد هللا اُوْ ِ‬
‫ق تُقَاتِ ِه َواَل تَ ُموْ تُ َّن إِالَّ َوأَ ْنتُ ْم ُم ْسلِ ُموْ نَ‬ ‫الرَّحْ َم ِن ال َّر ِحي ِْم‪ .‬يَا أَيُّهَا الّذين آمنوا اتَّقُوْ ا هللاَ َح َّ‬
‫‪Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah‬‬
‫‪Pertama kali, marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan nikmat‬‬
‫‪iman dan Islam serta kesehatan sehingga kita dapat menghadiri sidang Jumat yang penuh berkah ini.‬‬
‫‪Shalawat serta salam semoga tercurah ke pangkuan junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw, beserta‬‬
‫‪keluarga, para sahabat, dan orang-orang beriman hingga akhir zaman.‬‬
‫‪Mengawali khutbah Jumat kali ini, khatib mengingatkan kita semua, khususnya diri khatib sendiri, agar‬‬
‫‪senantiasa meningkatkan takwa kepada Allah Swt dengan sebenar-benar takwa. Yaitu, menjalankan seluruh‬‬
‫‪perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Takwa adalah “jalan terang” menuju ke hadirat-Nya,‬‬
‫‪sehingga kita akan menemukan nilai-nilai kebajikan dan kemuliaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat‬‬
‫‪kelak.‬‬

‫ت َوال ِّذ ْك ِر ْال َح ِكي ِْم‪ .‬إِنَّهُ هُ َو ْالبَرُّ التَّوَّابُ‬


‫آن ْال َع ِظي ِْم‪َ ،‬ونَفَ َعنِي َوإِيَّا ُك ْم بِ َما فِ ْي ِه ِمنَ اآْل يا َ ِ‬
‫بَا َركَ هللاُ لِى َولَ ُك ْم فِي ْالقُرْ ِ‬
‫ال َّر ُؤوْ ُ‬
‫ف ال َّر ِح ْي ُم‬
‫‪Khutbah Kedua‬‬

‫ك لَهُ َوأَ ْشهَ ُد‬ ‫الحمد هللِ عَل َى إِحْ َسانِ ِه َوال ُّش ْك ُر لَهُ عَل َى تَوْ فِ ْيقِ ِه َواِ ْمتِنَانِ ِه‪َ .‬وأَ ْشهَ ُد أَ ْن الَ اِلَهَ إِالَّ هللاُ َوهللاُ َوحْ َدهُ الَ َش ِر ْي َ‬
‫صلِّ َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد ِو َعلَى اَلِ ِه َوأَصْ َحابِ ِه َو َسلِّ ْم‬ ‫أن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُهُ ال َّدا ِعى إل َى ِرضْ َوانِ ِه‪ .‬اللهُ َّم َ‬ ‫َّ‬
‫‪:‬تَ ْسلِ ْي ًما ِكث ْيرًا‪ .‬أَ َّما بَ ْع ُد‬
‫فَيا َ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا هللاَ فِ ْي َما أَ َم َر َوا ْنتَهُوْ ا َع َّما نَهَى َوا ْعلَ ُموْ ا أَ َّن هللاَ أَ َم َر ُك ْم بِأ َ ْم ٍر بَدَأَ فِ ْي ِه بِنَ ْف ِس ِه َوثَـنَّى بِ َمآل ئِ َكتِ ِه‬
‫صلُّوْ ا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُموْ ا تَ ْسلِ ْي ًما‬‫َلى النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ آ َمنُوْ ا َ‬ ‫ُصلُّوْ نَ ع َ‬ ‫بِقُ ْد ِس ِه َوقَا َل تَعاَلَى إِ َّن هللاَ َو َمآلئِ َكتَهُ ي َ‬
‫ض اللّهُ َّم ع َِن‬ ‫ك َو َمآلئِ َك ِة ْال ُمقَ َّربِ ْينَ َوارْ َ‬ ‫صلِّ َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى آ ِل َسيِّ ِدنا َ ُم َح َّم ٍد َو َعلَى اَ ْنبِيآئِكَ َو ُر ُسلِ َ‬ ‫اللهُ َّم َ‬
‫ص َحابَ ِة َوالتَّابِ ِع ْينَ َوتَابِ ِعي التَّابِ ِع ْينَ لَهُ ْم بِاِحْ َسا ٍن‬ ‫َّاش ِد ْينَ أَبِى بَ ْك ٍر َو ُع َمر َو ُع ْث َمان َو َعلِ ّى َوع َْن بَقِيَّ ِة ال َّ‬ ‫ْال ُخلَفَا ِء الر ِ‬
‫ض َعنَّا َم َعهُ ْم بِ َرحْ َمتِكَ يَا أَرْ َح َم الر ِ‬
‫َّاح ِم ْينَ‬ ‫اِلَى يَوْ ِم ال ِّدي ِْن َوارْ َ‬
‫ت اللهُ َّم أَ ِع َّز ْا ِإل ْسالَ َم َو ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ‬ ‫ت اَالَحْ يآ ُء ِم ْنهُ ْم َو ْاالَ ْم َوا ِ‬ ‫ت َو ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َو ْال ُم ْسلِ َما ِ‬
‫اَللهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْل ُم ْؤ ِمنِ ْينَ َو ْال ُم ْؤ ِمنَا ِ‬
‫اخ ُذلْ َم ْن خَ َذ َل ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َو َد ِّمرْ‬ ‫ص َر ال ِّد ْينَ َو ْ‬ ‫َوأَ ِذ َّل ال ِّشرْ كَ َو ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َوا ْنصُرْ ِعبَادَكَ ْال ُم َوحِّ ِدين َوا ْنصُرْ َم ْن نَ َ‬
‫لوبَا َء َوال َّزالَ ِز َل َو ْال ِم َحنَ َوسُوْ َء ْالفِ ْتنَ ِة‬ ‫أَ ْعدَا َء ال ِّد ْي ِن َواَ ْع ِل َكلِ َماتِكَ إِلَى يَوْ ِم ال ِّدي ِْن‪ .‬اللهُ َّم ا ْدفَ ْع َعنَّا ْالبَالَ َء َو ْا َ‬
‫صةً َو َسائِ ِر ْالب ُْلدَا ِن ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ عآ َّمةً يَا َربَّ ْال َعالَ ِم ْينَ‬ ‫‪َ .‬و ْال ِم َحنَ َما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَنَ ع َْن بَلَ ِدنَا اِ ْن ُدونِي ِْسيَّا خآ َّ‬
‫إن لَ ْم تَ ْغفِرْ لَنَا َوتَرْ َح ْمنَا‬ ‫ار‪َ .‬ربَّنَا ظَلَ ْمنَا اَ ْنفُ َسنَا َو ْ‬ ‫اب النَّ ِ‬ ‫َربَّنَا آتِنا َ فِ ْي ال ُّد ْنيَا َح َسنَةً َوفِ ْي ْاآل ِخ َر ِة َح َسنَةً َوقِنَا َع َذ َ‬
‫لَنَ ُكوْ ن ََّن ِمنَ ْالخَ ا ِس ِر ْينَ‬
‫بى َويَ ْنهَى ع َِن ْالفَحْ شآ ِء َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم‬ ‫ان َوإِيْتآ ِء ِذي ْالقُرْ َ‬ ‫ِعبَا َدهللاِ ! إِ َّن هللاَ يَأْ ُم ُر بِاْل َع ْد ِل َو ْا ِإلحْ َس ِ‬
‫تَ َذ َّكرُوْ نَ َو ْاذ ُكرُوا هللاَ ْال َع ِظ ْي َم يَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكرُوْ هُ عَل َى نِ َع ِم ِه يَ ِز ْد ُك ْم َولَ ِذ ْك ُر هللاِ أَ ْكبَر‬

Anda mungkin juga menyukai