Anda di halaman 1dari 25

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

LAPORAN KASUS INDIVIDU

SKABIES

Oleh

NURFATHANAH

H1A 006 033

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/PUSKESMAS KEDIRI

2012

0
1
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit berbasis lingkungan masih merupakan masalah kesehatan terbesar


masayarakat Indonesia. Hal ini tercermin dari tingginya kunjungan penderita Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA), diare, malaria, demam berdarah dengue (DBD), kecacingan, infeksi
kulit, dan lainnya (Depkes RI, 2004).
Skabies merupakan salah satu penyakit kulit yang endemik pada banyak masyarakat.
Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit skabies
banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, insidennya sama terjadi pada pria dan
wanita (Harahap, 2000).
Insiden skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat
ini belum dapat dijelaskan. Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di
Puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6%-12,95%, dan skabies menduduki
urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Di Bagian Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM
pada tahun 1988, dijumpai 734 kasus skabies yang merupakan 5,77% dari seluruh kasus baru.
Pada tahun 1989 dan 1990 prevalensi skabies adalah 6% dan 3,9%. Di berbagai belahan
dunia, laporan kasus skabies masih sering ditemukan pada keadaan lingkungan yang padat
penduduk, status ekonomi rendah, tingkat pendidikan yang rendah dan kualitas higienis
pribadi yang kurang baik atau cenderung jelek (Depkes RI, 2010).
Dari data 10 penyakit terbanyak tahun 2011 di Puskesmas Kediri, penyakit kulit
infeksi (termasuk skabies) menduduki peringkat ke-empat terbanyak dengan jumlah 1430
kasus (Tim penyusun, 2011). Dengan tingginya angka kejadian penyakit kulit infeksi
(termasuk skabies) tersebut, maka dapat menurunkan derajat kesehatan masyarakat di
wilayah Kediri. Untuk itu, laporan ini akan membahas tentang pemberantasan dan
pencegahan penyakit kulit infeksi, khususnya skabies pada masyarakat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. GAMBARAN PENYAKIT KULIT INFEKSI DI PUSKESMAS KEDIRI


Pada tahun 2009 didapatkan penyakit kulit infeksi menempati urutan kedua setelah
ISPA pada data sepuluh penyakit terbanyak tahun 2009 di Puskesmas Kediri dengan jumlah
kasus sebanyak 1628 kasus. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1. Daftar 10 Penyakit Terbanyak Puskesmas Kediri Tahun 2009


No Kasus Jumlah Kasus

1 Infeksi akut pernafasan atas 3595

2 Penyakit.pulpa dan jaringan periapikal 1992

3 Penyakit kulit infeksi 1628

4 Pnemonia 1198

5 Gingivitis dan penyakit periodontal 1172

6 Penyakit lain pada sal pernafasan atas 1169

7 Penyakit pada sistim otot dan jar. pengikat 926

8 Disentri 891

9 Penyakit kulit alergi 837

10 Penyakit darah tinggi 835

Dilihat dari tabel sepuluh penyakit terbanyak tahun 2010 di bawah ini, penyakit kulit
infeksi menempati urutan ketiga setelah ISPA serta penyakit pada pulpa dan jaringan apikal
dengan jumlah kasus sebanyak 1689 kasus. Hal ini menunjukkan adanya sedikit peningkatan
dibanding tahun 2009 dengan 1628 kasus.

TABEL 2.2. DAFTAR 10 PENYAKIT TERBANYAK PUSKESMAS KEDIRI TAHUN 2010

No Kasus Jumlah Kasus

1 Infeksi akut pernafasan atas 3850

2 Penyakit.pulpa dan jaringan periapikal 2164

3 Penyakit kulit infeksi 1689


3
4 Penyakit lain pada sal pernafasan atas 1196

5 Gastritis 1152

6 Gingivitis dan penyakit periodontal 1100

7 Demam oleh sebab lain 983

8 Hipertensi 896

9 Penyakit pada sistim otot dan jar. pengikat 873

10 Penyakit kulit alergi 826

Pada tahun 2011, penyakit kulit infeksi turun pada urutan ke-empat dari daftar 10
penyakit terbanyak di Puskesmas Kediri. Pada bulan Januari sampai dengan Desember 2011,
terdapat 1430 kasus penyakit kulit infeksi termasuk skabies.

Tabel 2.3. Daftar 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Kediri Tahun 2011

No Kasus Jumlah Kasus

1 Infeksi akut pernafasan atas 3631

2 Penyakit.pulpa dan jaringan periapikal 2273

3 Gingivitis dan penyakit periodontal 1630

4 Penyakit kulit infeksi 1430

5 Penyakit pada sistim otot dan jar. pengikat 1289

6 Gastritis 1166

7 Hipertensi 1110

8 Penyakit odontofasial termasuk maloklusi 1001

9 Asma bronchial 941

10 Penyakit kulit alergi 885

Jika jumlah kasus penyakit kulit infeksi tahun 2009, 2010 dan 2011 dibandingkan maka
tampak peningkatan kasus dari tahun 2009 ke tahun 2010 yaitu dari 1628 kasus menjadi 1689

4
kasus, kemudian menurun pada tahun 2011 menjadi 1430 kasus, seperti yang tertera pada
grafik di bawah ini.

1700 1689
1650 1628
1600
1550
1500
1450 1430
1400
1350
1300
2009 2010 2011

2.2. KONSEP PENYAKIT SKABIES


A. Definisi Skabies
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap
Sarcoptes scabiei var hominins dan produknya. Ada beberapa sinonim yang dikenal
masyarakat untuk skabies ini yaitu, the itch, gudik, budukan dan gatal agogo (Djuanda dkk,
2007).

B. Epidemiologi
Skabies banyak menyerang anak-anak, walaupun orang dewasa dapat pula terkena.
Frekuensi antara laki-laki dan perempuan sama. Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun
terjadi epidemik skabies. Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara
lain: sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual yang bersifat
promiskuitas, kesalahan diagnosis dan perkembangan demografik serta ekologi (Djuanda
dkk, 2007).
Cara penularan scabies yaitu melalui (Djuanda dkk, 2007) :
1. Kontak langsung (kontak kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama dan
hubungan seksual.
2. Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, seprei, bantal dan lain-
lain.

C. Etiologi

5
Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima,
super family Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var hominins. Secara
morfologi merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian
perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukuran betina
berkisar antara 330-450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil. Bentuk
dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2
pasang kaki dibelakang sedangkan pada yang jantan memiliki 3 pasangan kaki (Djuanda dkk,
2007).

Gambar 1 : Sacrcoptes scabiei (Gandahusa, 2004)

D. Siklus Hidup
Untuk siklus hidupnya Sarcoptes scabiei adalah Setelah kopulasi (perkawinan ) yang
terjadi diatas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari
dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali
terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil
meletakkan telurnya 2-4 butir sehari sampai mencapai 40 atau 50. Bentuk betina yang dibuahi
ini dapat hidup sebulan lamanya, kemudian telur akan menetas dalam waktu 3-5 hari, dan
menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan,
tetapi dapat juga keluar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai dua
bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya dari telur sampai
bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari (Djuanda, 2007).

E. Patogenesis
Tungau hidup didalam terowongan ditempat predileksi, yaitu sela jari, pergelangan
tangan bagian ventral, siku bagian luar, lipatan ketiak depan, umbilikus, daerah gluteus,
ekstremitas, genital eksterna pada laki-laki dan areola mammae pada perempuan. Pada bayi

6
dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki. Pada tempat predileksi dapat ditemukan
terowongan berwarna putih abu-abu dengan panjang yang bervariasi, rata-rata 1 mm,
berbentuk lurus atau berkelok-kelok. Terowongan ini ditemukan bila belum terdapat infeksi
sekunder. Diujung terowongan dapat ditemukan vesikel atau papul kecil. Terowongan yang
berkelok-kelok umumnya ditemukan pada penderita kulit putih dan sangat jarang ditemukan
pada penderita indonesia (Gandahusa, 2004).
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: penderita selalu
mengeluh gatal, terutama pada malam hari. Rasa gatal disebabkan oleh sensitasi terhadap
sekreta dan ekskreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada
saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ukuran papul, vesikel, urtika dan lain-
lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi dan infeksi sekunder (pustul) (Djuanda
dkk, 2007).

F. Diagnosis
Diagnosis dapat dibuat bila menemukan minimal 2 dari 4 tanda kardinal sebagai
berikut (Djuanda dkk, 2007) :
1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau
ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga
biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah
perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan
diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota
keluarganya terkena. Walaupun mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan
gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau
keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung
terowongan ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya
menjadi polimorf (pustule, ekskoriasi dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya
merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu: sela-sela jari tangan,
pergelangan tangan bagian volar, siku bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian
depan, areola mamae (wanita), umbilikus, bokong, genetalia eksterna (pria), dan perut
bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.

7
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan salah satu
atau lebih stadium hidup tungau ini.

G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari skabies antara lain (Djuanda, 2007):
1. Prurigo Hebra: biasanya berupa papula-papula yang gatal, predileksi pada bagian
ekstensor ekstremitas
2. Gigitan serangga; biasanya jelas timbul sesudah gigitan, efloresensinya urtikaria
popular
3. Folikulitis: nyeri, eflorensensi berupa pustul miliar di kelilingi daerah eritema

H. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dibutuhkan pemeriksaan penunjang khusus untuk membantu menegakkan
diagnosis scabies. Sarcoptes scabiei didapatkan dengan membuka atau menggali terowongan
atau vesikula atau pustule dengan jarum, kemudian diletakkan pada kaca obyek dan tetesi
dengan minyak imerson, lalu tutup dengan kaca penutup. Lihat di bawah mikroskop dengan
pembesaran 10x dan 40x. hasil positif jika didapatkan Sarcoptes scabiei atau telurnya (Tim
Peyusun RSU Soetomo, 2004).

I. Penatalaksanaan
Syarat obat yang ideal ialah: Harus efektif terhadap semua stadium tungau, harus
tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik, tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau
mewarnai pakaian, mudah diperoleh dan harganya murah. Obat yang banyak digunakan
untuk scabies yaitu obat jenis topikal seperti (Djuanda dkk, 2007):
1. Salep yang mengandung asam salisilat 2% dan sulfur presitatum 4% dioleskan di seluruh
tubuh sesudah mandi dan dipakai 3-4 hari berturut-turut. Kekurangannya adalah
pemakaiannya tidak kurang dari 3 hari karena tidak efektif terhadap stadium telur, berbau,
mengotori pakaian dan dapat menimbulkan iritasi.
2. Emulsi benzyl benzoate 20-25% efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam
selama 3 hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberikan reaksi iritasi dan kadang-
kadang semakin gatal setelah dipakai.
3. Gama benzene heksaklorida (gameksan) 0,5-1% dalam salep atau krim. Obat ini termasuk
obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan dan jarang

8
memberi reaksi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak di bawah 6 tahun dan wanita
hamil karena toksik terhadap susunan saraf pusat. Pemberiannya cukup sekali 8 jam. Jika
masih ada gejala ulangi satu minggu kemudian.
4. Krotamiton 10% dalam bentuk salep atau krim. Obat ini mempunyai 2 efek, yaitu sebagai
antiskabies dan antigatal. Harus dijauhkan dari mata, mulut dan uretra. Digunakan selama
2 malam berturut-turut dan dibersihkan setelah 24 jam pemakaian teraktir.
5. Krim permetrin 5% dapat memberi hasil yang baik dan merupakan obat yang paling
efektif dan aman karena sangat mematikan untuk parasit Sarcoptes scabiei dan memiliki
toksisitas rendah terhadap manusia.
KIE : semua baju dan alat-alat tidur yang dipakai penderita dicuci dengan air panas;
menjemur kasur dibawah sinar matahari; jangan memakai pakaian/handuk bersama-sama;
dan seluruh anggota keluarga atau seisi rumah yang berkontak dengan penderita harus
diperiksa dan segera diobati jika menderita scabies agar tidak terjadi penularan kembali.
Selain itu diberikan konseling untuk meningkatkan kebersihan perorangan dan lingkungan.

J. Cara-cara pemberantasan (Kandun, 2000)


1. Cara-cara pencegahan
Lakukan penyuluhan kepada masyarakat dan komunitas kesehatan tentang cara
penularan, diagnosis dini dan cara pengobatan penderita scabies dan orang-orang
yang kontak dengan penderita.
2. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat.
2) Isolasi: Siswa sekolah atau pekerja yang terinfeksi dilarang masuk ke sekolah dan
pekerja sampai dilakukan pengobatan. Penderita yang dirawat di Rumah Sakit
diisolasi sampai dengan 24 jam setelah dilakukan pengobatan yang efektif.
3) Disinfeksi serentak: Pakaian dalam dan sprei yang digunakan oleh penderita
dalam 48 jam pertama sebelum pengobatan dicuci dengan menggunakan sistem
pemanasan pada proses pencucian dan pengeringan, hal ini membunuh kutu dan
telur. Tindakan ini tidak dibutuhkan pada infestasi yang berat. Mencuci sprei,
sarung bantal dan pakaian pada penderita Norwegian scabies sangat penting
karena potensi untuk menularkan sangat tinggi
4) Penyelidikan terhadap penderita kontak dan sumber penularan: Temukan
penderita yang tidak dilaporkan dan tidak terdeteksi diantara teman dan anggota

9
keluarga; penderita tunggal dalam satu keluarga jarang ditemukan. Berikan
pengobatan profilaktik kepada mereka yang kontak kulit ke kulit dengan penderita
(anggota keluarga dan kontak seksual)
5) Pengobatan spesifik: Pengobatan pada anak-anak adalah dengan permetrin 5%.
Alternatif pengobatan menggunakan gamma benzena hexachloride 1% (obat ini
kontra indikasi untuk bayi yang lahir premature dan pemberiannya harus hati-hati
kepada bayi yang berumur < 1 tahun serta ibu yang sedang hamil); Crotamiton;
Tetraethylthiuram monosulfide dalam 5% larutan diberikan 2 kali sehari; atau
menggunakan emulsi benzyl benzoate untuk seluruh badan kecuali kepala dan
leher. (Rincian pengobatan bervariasi tergantung dari jenis obat yang digunakan).
Pada hari berikutnya setelah pengobatan mandi berendam untuk membersihkan
badan, baju dan sprei diganti dengan yang bersih. Rasa gatal mungkin akan tetap
ada selama 1 sampai 2 minggu; hal ini jangan dianggap bahwa pengobatan
tersebut gagal atau telah terjadi reinfeksi. Pengobatan berlebihan sering terjadi,
untuk itu harus dihindari karena dapat menyebabkan keracunan terhadap obat
tersebut terutama gamma benzena hexachloride. Sekitar 5% kasus, perlu
pengobatan ulang dengan interval 7 – 10 hari jika telur bertahan dengan
pengobatan pertama. Lakukkan supervisi ketat terhadap pengobatan, begitu juga
mandi yang bersih adalah penting.
3. Penanggulangan wabah
1) Berikan pengobatan dan penyuluhan kepada penderita dan orang yang berisiko.
2) Pengobatan dilakukan secara massal.
3) Penemuan kasus dilakukan secara serentak didalam keluarga, lingkungan padat
penduduk, pondok pesantren, dll
4) Sediakan sabun, sarana pemandian, dan pencucian umum.

10
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : An. D
Umur : 19 bulan
Jenis kelamin : laki - laki
Alamat : Sedayu Selatan RT 2
Kunjungan ke PKM : 15 Maret 2012
Identitas keluarga : Anak kandung ketiga

Identitas Ibu Ayah


Nama Ny. S Tn. S
Umur 29 Th 32 Th
Pendidikan/Berapa SD SMA
tahun
Pekerjaan IRT Dagang

II. ANAMNESIS (tanggal 15 Maret 2012, kepada orang tua pasien)


Keluhan utama : Gatal-gatal

Riwayat Penyakit Sekarang :


Orang tua pasien mengeluhkan An. D sering gatal-gatal sejak 2 bulan yang lalu. Gatal-
gatal terutama dikeluhkan pada malam hari sehingga pasien tidak bisa tidur dan rewel.
Pada awalnya muncul bentol-bentol berwarna merah pada kedua tangan termasuk sela-
sela jari tangan dan serta telapak tangan, kemudian muncul pada kedua kaki. Selanjutnya
muncul pada bagian pantat dan sekitar kemaluan, ketiak bagian depan dan punggung.
Bentol-bentol berisi cairan yang gatal tersebut seringkali luka karena garukan oleh kuku
tangan pasien sendiri. Selain itu beberapa bentolan berisi cairan kekuningan. Saat ini ibu
dan saudara-saudara pasien mengalami keluhan serupa, muncul bentol berukuran kecil
pada sela-sela jari tangan sejak 1 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Sebelumnya pasien pernah mengalami penyakit serupa.

11
Riwayat Penyakit Keluarga :
ibu dan saudara-saudara pasien menderita keluhan serupa sejak 1 minggu yang lalu.

Riwayat Sosial, ekonomi dan Lingkungan :


Kondisi sosial ekonomi keluarga menengah kebawah, dimana ayah pasien bekerja
sebagai penjual gorden dengan penghasilan Rp. 400.000 sebulan. Keluarga pasien tinggal
di lingkungan padat penduduk di wilayah pondok pesantren Nurul Hakim, dimana banyak
tetangga pasien yang menderita penyakit serupa.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan :


 Ibu pasien 6 kali ANC di posyandu
 Riwayat sakit berat selama hamil (-) dan minum obat-obatan tertentu (-)
 Pasien lahir normal di Puskesmas Kediri dengan BBL 3.000 gr

Riwayat Nutrisi
Menurut pengakuan ibu pasien, pasien diberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, saat
ini pasien sudah diberikan makanan pendamping ASI.

Status Imunisasi
Menurut pengakuan orang tua pasien dan berdasarkan buku KIA, pasien mendapatkan
imunisasi sesuai jadwal di posyandu.

Riwayat Tumbuh Kembang


Riwayat tumbuh kembang pasien sesuai dengan anak – anak seusianya.

Ikhtisar Keluarga

= Laki-Laki
Ayah Ibu

= Perempuan

Anak I Anak II Anak III (pasien)

12
III.PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
BB : 9,1 kg
Status Gizi : Gizi baik
Nadi : 108 x/menit
Respirasi : 28 x/menit
Suhu : 36,80 C
Kepala:
Bentuk : Normocephali
Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-), Edema palpebra (-/-)
Mulut : Lidah kotor (-), bibir sianosis (-)
Leher : Pemb. KGB (-)
Thorax :
Inspeksi : Bentuk simetris, gerakan simetris
Auskultasi : Suara jantung 1 dan 2 tunggal, reguler, Murmur (-), Gallop (-), Suara
nafas bronchovesicular (+/+), Ronchi (-/-), wheezing (-/-), stridor (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : BU (+) N
Ekstermitas : akral hangat (+/+)
Urogenital : papula dan vesikel
Anal perianal : papula dan vesikel serta pustul
Kulit : papula dan vesikel serta pustul pada inter digiti dextra et sinistra serta
palmar dan plantar serta pada daerah sekitar aksila anterior dextra et
sinistra.

V. DIAGNOSIS KERJA
Skabies + Infeksi Sekunder

VI. DIAGNOSIS BANDING


 Prurigo Hebra
 Folikulitis

13
VII. RENCANA KERJA
Rencana Terapi
 topikal salep yang mengandung asam salisilat 2% dan sulfur presitatum 4%
dioleskan di seluruh tubuh sesudah mandi dan dipakai 3 hari berturut-turut.
 CTM 3 x 1/4 tab
 Amoxicillin 3 x 1 cth

Tujuan Terapi
 Mengeradikasi parasit dan meringankan gejala

Edukasi kepada orang tua pasien


1) Eliminasi reservoar (sumber penyakit), sebagai sumber penyebaran penyakit
dilakukan dengan mengurangi kontak antara penderita dengan orang lain.
2) Memutus rantai penularan dengan meningkatkan sanitasi dan higiene
perorangan. Upaya yang dapat dilakukan antara lain: masing-masing anggota
keluarga memiliki handuk mandi tersendiri, memisahkan pakaian penderita
dengan anggota keluarga lainnya yang tidak menderita skabies, mencuci seprai
dan handuk sekali seminggu, menyetrika pakaian, handuk dan seprai sebelum
digunakan, dll.
3) Melindungi orang-orang (kelompok) yang rentan.
4) Mengobati seluruh penderita agar tidak terjadi penularan kembali.

14
BAB IV
PENELUSURAN (HOME VISIT)

4.1. Dasar Pemilihan Kasus


Skabies merupakan salah satu jenis penyakit kulit infeksi, dimana penyakit kulit
infeksi masuk dalam 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Kediri dan merupakan penyakit
berbasis lingkungan yang masih merupakan masalah kesehatan terbesar masyarakat
Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, perlu dicari tahu mengapa kasus penyakit kulit infeksi
ini banyak terdapat di masyarakat, walaupun tidak ada pendataan secara rinci mengenai
jumlah dan lokasi kasus skabies di wilayah Kediri.

4.2. Tujuan
Mengetahui faktor penyebab utama terjadinya skabies pada pasien An. D

4.3. Metodologi
Metodologi yang dipakai : wawancara dan pengamatan lingkungan tempat tinggal
pasien. Variabel yang dipakai adalah faktor risiko skabies, tanda dan gejala skabies.

4.4. Hasil Penelusuran


 Pasien adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Pasien tinggal dirumah berlima dengan
ayah, ibu, dan kedua saudaranya.
 Pasien tinggal dilingkungan padat penduduk di wilayah Ponpes NH, dimana banyak
tetangga pasien yang menderita penyakit serupa.
 Rumah yang dihuni saat ini terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, dan 1 dapur. Luas
rumah pasien ± 8 x 5 meter, jarak rumah pasien dengan rumah tetangga di depan
(utara) ± 2 meter, samping kiri (barat) ± 1 meter, samping kanan (timur) tembok
rumah menyatu dengan rumah tetangga, serta belakang rumah (selatan) ± 3 meter dari
rumah tetangga. Dapur berada di depan rumah dekat teras, sedangkan kamar mandi
umum terletak ± 10 meter dari rumah pasien.
 Satu kamar dihuni oleh 2 orang, dimana penderita dan ibunya berada pada satu kamar
I, kedua saudaranya pada kamar II, sedangkan ayahnya tidur di ruang tamu. Ventilasi
pada kamar I kurang baik karena terdapat satu jendela yang jarang dibuka, sedangkan
pada kamar II tidak memiliki ventilasi karena tembok kamar menyatu dengan rumah

15
tetangga. Dari kedua kamar ditemukan banyak baju yang telah dipakai digantung dan
ditumpuk. Lantai rumah terbuat dari semen, dinding rumah berupa tembok, plafon
terbuat dari triplek, dan atap rumah terbuat dari genteng.
 Sumber air minum berasal dari air sumur bersama dan PAM, berjarak ± 9 meter dari
rumah. Air sumur digunakan untuk kebutuhan mandi dan cuci, sedangkan air PAM
digunakan untuk kebutuhan air minum dan mengolah masakan.
 Keluarga pasien menggunakan fasilitas jamban umum dengan sebuah kamar mandi
umum yang terletak ± 10 meter di samping rumah.
 Pendapatan keluarga dari penghasilan ayah pasien yang bekerja sebagai penjual
gorden. Kira-kira penghasilan ayah pasien mencapai Rp.400.000 per bulan.
 Menurut ibu pasien, anak-anak tetangga banyak yang memiliki keluhan yang sama
dengan pasien, serta mereka sering bermain ke rumah pasien. Pasien telah berobat ke
puskesmas 1 bulan yang lalu namun keluhan muncul kembali.
 Ibu pasien mengakui seluruh anggota keluarga mandi 2x sehari, namun satu keluarga
hanya memiliki 2 handuk yang digunakan secara bergantian. Pakaian, handuk dan
seprai yang akan dipakai tidak disetrika terlebih dahulu. Kasur jarang dijemur.

Sketsa Denah Rumah

utara Keterangan:

barat timur - - : Pintu

teras : Jendela

: Dapur
: Kamar tidur
Ruang

Tamu

16
BAB V

PEMBAHASAN

A. Aspek Klinik
Dari hasil anamnesis didapatkan keluhan gatal-gatal di kulit terutama dirasakan pada
malam hari, hal ini disebabkan karena skabies beraktivitas saat udara dingin (malam hari).
Selain itu, hampir seluruh anggota keluarga serta tetangga pasien mengalami keluhan serupa,
hal ini disebabkan karena skabies menyerang manusia secara berkelompok (pada anggota
keluarga lain dalam satu rumah dan juga pada perkampungan padat penduduk). Dari hasil
pemeriksaan fisik ditemuka lokasi lesi yaitu disela jari, telapak tangan, pergelangan tangan,
ketiak bagian depan, paha bagian dalam, kedua kaki, genetalia pria dan sekitar bokong, yang
merupakan tempat predileksi dari skabies. Efloresensi skabies yang ditemukan pada pasien
ini berupa papul dan vesikel multipel, disertai ekskoriasi dan pustul yang menandai adanya
infeksi sekunder pada lesiakibat garukan.
Dari anamnesis didapatkan 2 dari 4 tanda kardinal dari skabies, yaitu gatal-gatal
terutama pada malam hari (pruritus nokturna) serta menyerang manusia secara berkelompok
dalam suatu rumah atau pemukiman padat penduduk. Pemeriksaan penunjang yang
sebenarnya dapat dilakukan adalah dengan menemukan terowongan (kunikulus) dan tungau
pada ujung terowongan, namun diagnosis skabies sudah cukup ditegakkan dengan penemuan
2 dari 4 tanda kardinal tersebut.
Terapi yang diberikan untuk pasien ini adalah salep 2-4, hal ini disesuaikan dengan
ketersediaan obat yang dimiliki oleh puskesmas Kediri. Penggunaan salep ini dilakukan
dengan mengoleskannya pada daerah lesi sebanyak 3-4 kali perhari sesudah mandi.
Kandungan dari salep 2-4 ini salah satunya adalah sulfur presipitatum. Kekurangan obat dari
jenis ini adalah tidak efektif terhadap stadium telur, sehingga tidak boleh digunakan kurang
dari 3 hari. Kekurangan yang lain adalah berbau dan mengotori pakaian dan kadang-kadang
menimbulkan iritasi. Namun, pengobatan skabies yang tersedia di puskesmas hanyalah obat
jenis ini sehingga terapi yang diberikan sesuai dengan obat yang tersedia.
Selain pemberian salep 2-4, obat lain yang dapat diberikan adalah antibiotik
amoxicillin 3 x 1 cth untuk mengobati infeksi sekunder yang terjadi akibat infestasi tungau
serta garukan kuku pasien. CTM 3 x 1/4 tablet juga dapat diberikan untuk mengurangi gatal-
gatal yang dikeluhkan pasien.

17
B. Aspek Ilmu Kesehatan Masyarakat
Penyakit berbasis lingkungan masih merupakan masalah kesehatan terbesar
masyarakat Indonesia. Hal ini tercermin dari tingginya angka kejadian penyakit berbasis
lingkungan seperti ISPA dan penyakit kulit infeksi. Pada data sepuluh penyakit terbanyak
tahun 2009-2011, penyakit kulit infeksi (termasuk skabies) selalu masuk dalam 10 penyakit
terbanyak di Puskesmas Kediri. Salah satu upaya penting untuk memutuskan hubungan atau
mata rantai penularan penyakit yaitu dengan meningkatkan sanitasi dan higiene perorangan.
Secara umum kasus skabies dapat meluas secara cepat, baik jumlah kasus maupun
daerah terjangkit. Penularan penyakit skabies terutama di daerah yang padat penghuninya
seperti asrama, panti asuhan dan pondok pesantren, hal ini disebabkan oleh kurangnya
higiene perorangan dan buruknya sanitasi lingkungan.
Suatu penyakit dapat terjadi oleh karena adanya ketidakseimbangan faktor-faktor
utama yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Paradigma hidup sehat yang
diperkenalkan oleh H. L. Blum mencakup 4 faktor yaitu faktor genetik (keturunan), perilaku
(gaya hidup) individu atau masyarakat, faktor lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik) dan
faktor pelayanan kesehatan (jenis, cakupan dan kualitasnya). Skabies juga menjadi masalah
di mayarakat disebabkan oleh karena faktor-faktor berikut :

1. Faktor perilaku
Faktor perilaku manusia sangat berperan dalam penyebaran dan perkembangan
penyakit, terutama penyakit menular. Penerapan pola hidup yang bersih dan sehat merupakan
suatu kebiasaan baik, bersih dan berdaya guna serta berhasil guna. Penerapan pola hidup
seperti ini sedapat mungkin diterapkan di rumah tempat tinggal, institusi-institusi maupun
tempat-tempat umum.
Masyarakat awam secara luas menganggap bahwa skabies merupakan penyakit gatal-
gatal biasa bahkan karena tidak menyebabkan kematian skabies tidak dianggap bermasalah
hingga akhirnya si pasien yang terkena skabies mengeluh kurang istirahat karena gatal-gatal
yang sudah menyebar luas di badannya. Perilaku yang terkesan kurang memperhatikan
penyakit yang sedang dideritanya ini terkait dengan kurangnya pengetahuan tentang skabies
itu sendiri.

18
Perilaku hidup bersih sangat ditekankan untuk menghentikan penyebaran dan
perkembangan penyakit ini, terutama kebersihan diri (personal hygiene). Pencegahan skabies
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Mandi secara teratur menggunakan sabun sebanyak 2 kali sehari
2) Mencuci tangan dengan sabun. Berikut ini merupakan lima waktu penting cuci tangan
pakai sabun, yaitu : sebelum makan, sesudah buang air besar, sebelum memegang bayi,
sesudah menceboki anak, dan sebelum menyiapkan makanan.
3) Mencuci pakaian, seprei, sarung, bantal, selimut dan lainnya secara teratur minimal 2 kali
seminggu
4) Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali
5) Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain
6) Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai terinfeksi
tungau skabies
7) Menjaga kebersihan rumah dan ventilasi yang baik.
Perlu penyuluhan oleh petugas kesehatan untuk memberi pengetahuan tentang
berbagai hal tentang skabies seperti penyebab, cara penularan dan pencegahan penularan.
Cara-cara tersebut perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar mereka dapat mencegah
berkembangan skabies di lingkungan tempat tinggal mereka. Peran aktif masyarakat dalam
hal ini sangat diperlukan untuk mencegah berkembangan skabies sebab tanpa peran aktif
masyarakat skabies sulit diberantas.

2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan menjadi hal yang sangat erat kaitannya dengan penyebaran skabies
di berbagai tempat, karena skabies dapat menular melalui kontak langsung serta kontak tidak
langsung. Kontak langsung (kontak kulit dengan kulit) dapat terjadi saat bermain bersama
bahkan sering tidur bersama. Hubungan erat tersebut dimulai sejak lama, bahkan sebelum
keduanya menderita skabies. Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian,
handuk, seprei, bantal dan lain-lain digunakan secara bersama-sama.
Pemukiman padat penduduk merupakan salah satu faktor lingkungan yang menunjang
perkembangan penyakit menular seperti skabies. Jarak antar rumah yang berdempetan
berperan penting dalam mudahnya transmisi parasit skabies. Jarak yang demikian
memungkinkan para penghuni dalam suatu kompleks untuk berinteraksi lebih erat sehingga
menyebabkan transmisi parasit skabies semakin mudah.

19
Pada kasus ini pasien tinggal di lingkungan padat penduduk yang letaknya di wilayah
dekat pondok pesantren, dimana kebanyakan tetangga yang berinteraksi erat dengan pasien
memiliki keluhan yang serupa. Faktor kedekatan inilah yang membuat pasien dapat terkena
skabies dengan mudah. Penyebaran juga terjadi dalam keluarga pasien, dimana Ibu pasien
yang selalu tidur bersama pasien serta masih menyusuinya ikut terinfeksi oleh skabies,
begitupula dengan kedua saudaranya yang tinggal serumah dan menggunakan handuk yang
sama dengan pasien. Keadaan ini diperparah dengan kondisi lingkungan di dalam rumah,
dimana ventilasi kurang baik, banyak ditemukan pakaian digantung dalam kamar, dll.
Untuk mengurangi risiko penyebaran dan penularan skabies dapat dilakukan dengan
menciptakan pemukiman yang sehat dengan jarak antar rumah yang tidak terlalu dekat.
Selain mengatur jarak antar rumah, ventilasi yang baik serta pengaturan intensitas cahaya
yang masuk ke dalam rumah juga dapat menekan risiko penyebaran dan penularan skabies.

3. Faktor Sosial, Ekonomi, dan Budaya


Faktor sosial ekonomi mempunyai peran yang sangat penting untuk penularan dan
penyebaran skabies. Keluarga pasien harus secara rutin dan berkala mengganti seprei, sarung
bantal, handuk, pakaian serta menjemur kasur untuk memperkecil risiko perkembangan dan
penyebaran skabies. Semua itu memerlukan dana yang tidak sedikit untuk pengadaan barang-
barang tersebut sedangkan pada keluarga ini termasuk dalam golongan ekonomi menengah
kebawah, dimana penghasilan dari kepala keluarga tidak menentu namun harus membiayai
seluruh anggota keluarganya (5 orang).
Obat-obatan untuk pasien diperoleh secara gratis dari puskesmas Kediri dengan
menyertakan kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang di harus dibawa ke
puskesmas untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan tanpa dipungut biaya. Adanya
program Jamkesmas ini mereka nilai cukup membantu dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan dengan gratis.
Skabies merupakan penyakit kulit infeksi yang sangat menular bila dikaitkan dengan
kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat di kecamatan Kediri seperti demikian.
Peningkatan kasus dari tahun ke tahun belum meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
penyakit ini. Mereka menganggap bahwa skabies merupakan penyakit gatal biasa dan tidak
berbahaya. Masyarakat perlu mengetahui bahwa rasa gatal yang ditimbulkannya terutama
waktu malam hari, secara tidak langsung juga ikut mengganggu kelangsungan hidupnya
karena waktu untuk istirahat tidur tersita karena gatal, sehingga kegiatan yang akan

20
dilakukannya disiang hari juga ikut terganggu. Jika hal ini dibiarkan berlangsung lama, maka
efisiensi dan efektifitas kerja menjadi menurun dan pada akhirnya mengakibatkan
menurunnya kualitas hidup masyarakat.
Skabies merupakan penyakit yang dapat disembuhkan secara total jika diobati dengan
baik. Namun dalam pelaksanaan pengobatan, kadang-kadang penderita tidak melakukan
dengan benar dan juga tidak memperhatikan lingkungannya. Hal ini karena beberapa orang
menganggap hanya dirinya saja yang sakit, tanpa melihat bahwa tanpa memperhatikan
keadaan lingkungan sekitarnya, penyakit ini dapat menyerangnya kembali dan bahkan dapat
juga menyerang orang lain di lingkungan sekitarnya.

4. Faktor Pelayanan Kesehatan


Pelayanan Kesehatan yang belum terpenuhi pada pasien ini adalah informasi yang
belum memadai mengenai skabies serta peran kader dalam penemuan kasus skabies dan
penanganannya yang belum maksimal. Pelayanan kesehatan sangat berperan penting terhadap
pencegahan penularan ataupun penyebaran berbagai penyakit menular, termasuk skabies.
Untuk kasus skabies pelayanan kesehatan yang dimaksud meliputi KIE tentang penyebab,
cara penularan dan cara pencegahan skabies. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan
penyuluhan-penyuluhan di lokasi-lokasi target seperti kompleks perumahan padat penduduk
asrama serta pondok pesantren. Di tempat-tempat semacam inilah penularan dan penyebaran
skabies dapat terjadi dengan mudah.
Selain mengadakan penyuluhan, pengadaan obat-obatan di tempat-tempat pelayanan
kesehatan merupakan hal mutlak yang harus diadakan dalam jumlah yang cukup. Pengobatan
simtomatis dan kausatif dapat diberikan kepada penderita. Pengobatan kausatif dapat berupa
pemberian salep 2-4 yang hingga kini dapat memberikan angka kesembuhan yang cukup baik
untuk pasien skabies. Selain itu jenis obat inilah yang tersedia di puskesmas serta harga yang
terjangkau bagi pasien ekonomi rendah dan menengah. Antibiotik dapat juga diberikan
karena infestasi parasit ini seringkali disertai dengan infeksi sekunder. Gatal-gatal yang
sering dialami oleh penderita skabies sebagian besar disebabkan oleh sekret yang dikeluarkan
oleh tungau skabies yang memicu reaksi inflamasi yang bermanifestasi sebagai rasa gatal.
Untuk mengurangi rasa gatal tersebut terutama pada malam hari dapat diberikan antihistamin
yang tersedia di puskesmas, yaitu CTM. Efek lain yang diharapkan dari CTM adalah efek
mengantuk sehingga dapat membantu pasien untuk mengurangi masalah kurang tidur yang
dialaminya.

21
Penyuluhan dan pengadaan obat-obatan lengkap tidak efektif bila tidak disertai
dengan pengadaan tenaga kesehatan yang ahli dalam mendiagnosis penyakit ini. Terdapat
beberapa penyakit kulit yang mirip dengan lesi yang ada pada skabies serta menimbulkan
gejala gatal yang mirip dengan yang ada pada skabies. Dengan pengetahuan dan pengalaman
yang cukup seorang tenaga kesehatan, terutama dokter dan perawat akan dapat menegakkan
diagnosis skabies yang selanjutnya akan berpengaruh pada tata laksana serta upaya
pemberantasan skabies.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak puskesmas Kediri terhadap penderita yang telah
didiagnosis dengan skabies antara lain: memberikan terapi yang sesuai di balai pengobatan,
kemudian mengarahkan pasien ke klinik sanitasi untuk mendapatkan penjelasan mengenai
skabies, termasuk faktor resiko, cara penularan, gejala, pengobatan serta pencegahannya.
Selain itu, petugas sanitasi juga melakukan kunjungan rumah untuk mengetahui secara
langsung kondisi lingkungan ditempat tinggal pasien.

22
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
 Pada data sepuluh penyakit terbanyak tahun 2009-2011, penyakit kulit infeksi
(termasuk skabies) selalu masuk dalam 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Kediri.
 Belum ada laporan khusus mengenai jumlah kasus skabies dan tingkat penyebarannya
di tiap-tiap desa di Kediri.
 Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi kejadian penyakit skabies pada pasien
ini, yaitu: perilaku, lingkungan, dan pelayanan kesehatan.

B. Saran
 Meskipun skabies merupakan penyakit menular yang tidak wajib dilaporkan tetapi
perlu adanya pelaporan, pengamatan dan pencatatan mengenai jumlah kasus serta
distribusi penyebaran penyakit skabies.
 Untuk memutus mata rantai penularan dapat dilakukan dengan meningkatkan sistem
penemuan penyakit di tingkat masyarakat agar anggota masyarakat mau
melaporkannya ke pelayanan kesehatan (penemuan kasus secara pasif), sehingga
dapat dilakukan pengobatan secara masal pada seluruh penderita skabies.
 Memberikan edukasi tentang skabies termasuk cara penularan, pengobatan serta
pengendaliannya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, A. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Depkes RI. 2004. Standar Pelayanan Operasional Klinik Sanitasi. Jakarta

Depkes RI. 2010. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

Gandahusa, Srisasi. dkk. 2004. Parasitologi Kedokteran edisi ketiga. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Harahap, 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates.

Kandun, I. Nyoman. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular edisi 17. Bakti Husada;
Jakarta.

Tim Penyusun. 2004. Pedoman Diagnostik dan Terapi Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
RSU Dokter Soetomo : Surabaya.

Tim Penyusun. 2009. Data Puskesmas Kediri 2009. Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok
Barat.

Tim Penyusun. 2010. Data Puskesmas Kediri 2010. Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok
Barat.

Tim Penyusun. 2011. Data Puskesmas Kediri 2011. Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok
Barat

24

Anda mungkin juga menyukai