Demokrasi di Indonesia
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
-TIA NABILAH
-DINI ADLINA
Ketika menjelaskan keterkaitan antara status sosial dan demokrasi dalam konteks
demokratisasi di Amerika Serikat, Seymor Martin Lipset (1959), seorang pemikir politik, di
dalam bukunya berjudul Political Man membuat pernyataan provokatif: “The more well-to-do a
nation, the greater the chances that it will sustain democracy” (Semakin sejahtera suatu bangsa,
semakin besar kemungkinan bangsa itu untuk mengembangkan Demokrasi) (Lipset
1959:50).bagi Lipset, konsep “well-to-do” dipahami dalam konteks yang luas meliputi
modernisasi, pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, urbanisasi, dan tingkat pendidikan yang
memadai.
Di antara semua aspek tersebut, Lipset menganggap tingkat pendidikan adalah faktor
penggerak demokrasi yang paling penting karena pendidikan yang memadai akan mendorong
manusia untuk berpikir rasional sehingga tidak mudah dibujuk oleh ekstremitas yang
dikembangkan oleh para demagog. Dengan kata lain, mereka yang memiliki latar belakang
pendidikan memadai cenderung menentukan pilihannya secara rasional dalam memilih partai
politik maupun pemimpin politik (Lipset 1959: 56-57).
Sejak munculnya karya Lipset pada tahun 1959, banyak para pakar memperdebatkan
keterkaitan antara status sosial (kekayaan dan tingkat pendidikan) dengan perkembangan
demokrasi. Salah seorang murid Lipset,Amy Gutmann (1987) di dalam bukunya Democratic
Education menawarkan konsep “Democracy Treshold” (Ambang Batas Demokrasi), yakni
demokrasi akan tumbuh subur bila suatu bangsa memiliki tingkat pendidikan yang memadai dan
merata. Syarat ini menjadi penting karena melalui pendidikan yang memadai masyarakat mampu
berperan dalam beberapa hal penting dalam memperkuat demokrasi.
Ancaman pertama adalah primordialisme (sentimen etnis, agama, dan kedaerahan) yang
dapat menggerogoti demokrasi karena pengingkaran terhadap pluralisme dan toleransi. Dalam
politik nasional pun, para pengamat sering menyebut politik di Indonesia diwarnai oleh “politik
aliran” (political streams). Menulis tentang konstelasi politik di Indonesia pada dekade 1950-an,
Herbert Feith dan Lance Castles (1970) dalam Indonesian Political Thinking, 1945-
1965 menyatakan bahwa pemikiran politik di Indonesia diwarnai oleh lima macam aliran, yakni:
(1) Nasionalisme Radikal
(2) Demokrasi Sosial
(3)Komunisme
(4) Tradisionalisme Jawa dan
(5) Islamisme.
Sebagai negara demokrasi baru, Indonesia perlu melakukan upaya terus-menerus untuk
mendewasakan demokrasi yang sudah kita bangun dengan bersusah-payah. Tampak jelas bahwa
negara ini perlu memperjuangkan Democratic Threshold (syarat minimal pendidikan) dengan
mengembangkan pendidikan yang mencerahkan untuk mencetak masyarakat yang memiliki
kesadaran politik, rasional, bebas dari kontaminasi primordialisme, dan bebas dari ikatan budaya
klientilisme.