Anda di halaman 1dari 6

Membangun Kehidupan yang

Demokrasi di Indonesia
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
-TIA NABILAH

-DINI ADLINA

-LIZA NUR FADILLA

SMK NEGERI 1 KARANG BARU


2021
Membangun Demokrasi Melalui Pendidikan

Ketika menjelaskan keterkaitan antara status sosial dan demokrasi dalam konteks
demokratisasi di Amerika Serikat, Seymor Martin Lipset (1959), seorang pemikir politik, di
dalam bukunya berjudul Political Man membuat pernyataan provokatif: “The more well-to-do a
nation, the greater the chances that it will sustain democracy”  (Semakin sejahtera suatu bangsa,
semakin besar kemungkinan bangsa itu untuk mengembangkan Demokrasi) (Lipset
1959:50).bagi Lipset, konsep “well-to-do” dipahami dalam konteks yang luas meliputi
modernisasi, pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, urbanisasi, dan tingkat pendidikan yang
memadai.

Di antara semua aspek tersebut, Lipset menganggap tingkat pendidikan adalah faktor
penggerak demokrasi yang paling penting karena pendidikan yang memadai akan mendorong
manusia untuk berpikir rasional sehingga tidak mudah dibujuk oleh ekstremitas yang
dikembangkan oleh para demagog. Dengan kata lain, mereka yang memiliki latar belakang
pendidikan memadai cenderung menentukan pilihannya secara rasional dalam memilih partai
politik maupun pemimpin politik (Lipset 1959: 56-57).

Sejak munculnya karya Lipset pada tahun 1959, banyak para pakar memperdebatkan
keterkaitan antara status sosial (kekayaan dan tingkat pendidikan) dengan perkembangan
demokrasi. Salah seorang murid Lipset,Amy Gutmann (1987) di dalam bukunya Democratic
Education menawarkan konsep “Democracy Treshold” (Ambang Batas Demokrasi), yakni
demokrasi akan tumbuh subur bila suatu bangsa memiliki tingkat pendidikan yang memadai dan
merata. Syarat ini menjadi penting karena melalui pendidikan yang memadai masyarakat mampu
berperan dalam beberapa hal penting dalam memperkuat demokrasi.

Pertama,pendidikan dapat mengarahkan masyarakat untuk menjadi “pemilih rasional”


(rational voters), yakni pemilih yang menggunakan kalkulasi rasional dalam menentukan pilihan
politik sehingga dapat meredam sentimen-sentimen primordial (etnis, agama, dll.) yang dapat
merusak esensi demokrasi. Pilihan rasional juga dapat menjamin terpilihnya para pemimpin
politik yang kompeten.

Kedua,pendidikan yang merata dapat menentukan terbentuknya masyarakat sipil yang


memiliki kesadaran politik (politically vibrant civil society) yang mampu mengontrol jalannya
pemerintah melalui mekanisme di luar parlemen dengan berbagai tulisan kritis, seminar,
demonstrasi, protes, dll. Di banyak negara demokratis, tingkat kedewasaan demokrasinya
seringkali ditentukan oleh ada-tidaknya masyarakat sipil yang memiliki kesadaran politik untuk
melakukan partisipasi politik.

Ketiga,pendidikan yang memadai cenderung membentuk kelompok berketrampilan


cukup yang menjadi pekerja (salary earners) baik di sektor pemerintahan maupun swasta.
Mereka inilah yang menjadi komponen utama kelas menengah (middle class). Kelompok ini oleh
Lipset disinyalir sebagai kelompok yang mempunyai dorongan partisipasi politik tinggi karena
mereka merasa perlu ikut menentukan arah kebijakan politik pemerintah yang berpengaruh
langsung terhadap kepentingan sosial, ekonomi dan politik mereka.

Tampak bahwa korelasi pentingnya pendidikan bagi perkembangan demokrasi dapat


dilihat pada tiga macam kontribusi pendidikan bagi tumbuhnya demokrasi, yang meliputi:
(1) tumbuhnya perilaku rasional yang menafikan primordialisme
(2) tumbuhnya politically vibrant civil society yang mendorong tingkat partisipasi politik dan
(3) munculnya kelas menengah yang berpretensi ikut mempengaruhi arah kebijakan pemerintah
melalui partisipasi dalam pemilihan umum dan pemilihan daerah.

Dalam konteks demokratisasi di Indonesia, pertanyaan yang relevan untuk dikemukakan


adalah: apakah skenario kontribusi pendidikan bagi perkembangan demokrasi di negara tersebut
dapat ditemukan? Upaya menjawab pertanyaan tersebut dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi berbagai ancaman bagi demokrasi di Indonesia dan melihat bagaimana
pendidikan mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Sebagai negara yang mewarisi tradisi
otoritarianisme dalam jangka waktu cukup lama sejak 1959 ketika Presiden Sukarno memerintah
melalui sistem Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) hingga pemerintahan Orde Baru di
bawah Presiden Suharto (1966-1998), demokrasi di Indonesia menghadapi beberapa macam
ancaman krusial yang dapat diatasi dengan pendidikan yang mencerahkan.

Ancaman pertama adalah primordialisme (sentimen etnis, agama, dan kedaerahan) yang
dapat menggerogoti demokrasi karena pengingkaran terhadap pluralisme dan toleransi. Dalam
politik nasional pun, para pengamat sering menyebut politik di Indonesia diwarnai oleh “politik
aliran” (political streams). Menulis tentang konstelasi politik di Indonesia pada dekade 1950-an,
Herbert Feith dan Lance Castles (1970) dalam Indonesian Political Thinking, 1945-
1965 menyatakan bahwa pemikiran politik di Indonesia diwarnai oleh lima macam aliran, yakni:
(1) Nasionalisme Radikal
(2) Demokrasi Sosial
(3)Komunisme
(4) Tradisionalisme Jawa dan
(5) Islamisme.

Walaupun kelompok-kelompok aliran tersebut belum tentu akurat dalam menggambarkan


aliran pemikiran politik di Indonesia saat ini, tetapi kemunculan berbagai organisasi politik di
Indonesia – termasuk partai politik – sedikit-banyak diinspirasi oleh kelima aliran tersebut.
Bersamaan dengan memudarnya Komunisme dan berkurangnya pengaruh kaum priyayi sebagai
penjunjung Tradisionalisme Jawa, saat ini partai-partai politik di Indonesia  didirikan atas dasar
tiga aliran penting: nasionalisme, demokrasi sosial, dan Islamisme. Ketika partai politik berbasis
Islam masih mengandalkan pada sentimen keagamaan dalam menggalang dukungan dalam
pemilihan, maka demokrasi dapat terancam karena proses rekrutmen politik kemungkinan
terkontaminasi oleh primordialisme. Pendidikan – yang mengutamakan pikiran rasional – akan
mendorong masyarakat untuk membebaskan diri dari belenggu primordialisme. Dalam
demokrasi, kehadiran para pemilih rasional dalam menentukan pilihan kepada para pemimpin
yang kompeten – seperti ditunjukkan oleh para pemilih di Jakarta dalam memilih pasangan
Jokowi-Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI – menunjukkan betapa rasionalitas
telah mengalahkan primordialisme sehingga DKI mendapat pemimpin yang sungguh-sungguh
dianggap kompeten.
Ancaman kedua bagi demokrasi di Indonesia adalah budaya klientilisme (clientilism),
yakni kekuatan politik berada di tangan para “patron” yang menggunakan pengaruh dan harta
kekayaannya untuk menggalang dukungan dan loyalitas para “clients” , sehingga membuka jalan
bagi praktik nepotisme dan politik uang (money politics). Maka, tidaklah mengherankan jika
Indonesia termasuk negara yang menghabiskan dana politik yang paling fenomenal dalam
pemilihan di tingkat nasional maupun lokal. Untuk menghindari agar politik “biaya tinggi” ini
tidak mengakar di negara ini, maka kehadiran tingkat pendidikan yang memadai niscaya dapat
membuat para pemilih menggunakan daya pikir rasionalnya untuk menghindari jebakan praktik
nepotisme, vote-buying, dan money politics. Dengan demikian, dalam konteks ini pendidikan
membawa dua hal penting:
(1) penghematan biaya politik dalam pemilihan pemimpin politik di tingkat pusat dan daerah
dan
(2) proses pemilihan pemimpin politik yang dituntun oleh pertimbangan rasional sehingga
sedikit-banyak memberikan jaminan terpilihnya pemimpin yang dianggap kompeten.
Ancaman ketiga bagi perkembangan demokrasi di Indonesia adalah munculnya ekstremisme
agama yang secara frontal menolak sistem demokrasi yang dianggap bertentangan dengan
doktrin agama tertentu. Kelompok ini – yang oleh Larry Diamond (1990) disebut “the elements
of disloyalty” (elemen yang tidak loyal kepada demokrasi) – dapat mengancam demokrasi karena
metode kekerasan yang mereka pergunakan untuk mengintimidasi lawan, terutama kelompok
yang memiliki haluan politik berbeda dengan mereka. Berbagai peristiwa global dalam dua
dekade terakhir ini seperti penindasan terhadap minoritas Muslim di Bosnia dan Kosovo serta
perang global melawan terorisme (Global War on Terrorism) yang dipelopori oleh Amerika
Serikat pasca serangan teroris 11 September 2000 telah memunculkan apa yang oleh Samuel
Huntington (1996) dengan fenomena “sindrom negara sejawat” (kin country syndrome),
semacam solidaritas primordial untuk membentuk front pembelaan terhadap kaum Muslim yang
tertindas.

Di Indonesia, peristiwa Bosnia dan Kosovo telah mendorong pembentukan berbagai


kelompok Islam radikal yang mengintimidasi kaum minoritas. Dalam keadaan ini, kehadiran
pendidikan sangat diperlukan untuk menghidari jebakan tribalisme dan chauvinisme golongan
yang dapat mengancam demokrasi yang menjunjung tinggi pluralisme dan toleransi.
Kemunculan elemen yang berpotensi merusak demokrasi ini harus diminalisir karena dapat
menafikan keberadaan politically vibrant civil society yang merupakan elemen utama demokrasi.

Sebagai negara demokrasi baru, Indonesia perlu melakukan upaya terus-menerus untuk
mendewasakan demokrasi yang sudah kita bangun dengan bersusah-payah. Tampak jelas bahwa
negara ini perlu memperjuangkan Democratic Threshold (syarat minimal pendidikan) dengan
mengembangkan pendidikan yang mencerahkan untuk mencetak masyarakat yang memiliki
kesadaran politik, rasional, bebas dari kontaminasi primordialisme, dan bebas dari ikatan budaya
klientilisme.

Anda mungkin juga menyukai