Anda di halaman 1dari 31

SISTEM MUSKULOSKELETAL

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III

dosen pengampu Nina Gartika S.Kep.,Ners.,M.Kep

disusun oleh :
Kelompok 1

Elvina (302017044)
M. Ramlan (302017046)
Putri Nur Habibah (302017056)
Putri Pramitha N.F (302017057)
Sania Suci Defrianti (302017064)
Sekar Ayu Atresia (302017065)
Sylvi Nurdiyanti (302017073)
Teguh Tresna Nuralam (302017074)
Winy Anggraeni (302017082)
Wulan Dari Febrianti (302017083)

PROGRAM STUDI SARJANI KEPERAWATAN TINGKAT 3-B


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan kasih dan sayangnya
kepada kita semua khususnya kepada penulis serta selalu memberikan hidayah dan
inayahnya sehingga penulis dapat membuat makalah ini dengan penuh suka cita dan dapat
mengumpulkan makalah ini tepat pada waktunya. Sholawat dan salam semoga selalu
tercurah limpahkan kepada nabi besar kita,nabi Muhammad SAW.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah III. Dalam penyusunannya pun penulis mendapatkan bantuan dari dosen
mata kuliah yang bersangkutan, dari teman-teman dan dari referensi buku serta artikel
media massa.
Penyusunan makalah ini belum mencapai kata sempurna, sehingga penulis dengan
lapang dada menerima kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun sehingga
di kemudian hari penulis dapat membuat makalah jauh lebih baik dari makalah ini. Penulis
berharap dengan dibuatnya makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca serta
menjadi inspirasi bagi pembaca.

Bandung, September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................................................ 2
1. Tujuan Umum ............................................................................................................ 2
2. Tujuan Khusus ........................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN TEORITIS ......................................................................................... 3
A. Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal ................................................................. 3
B. Pengkajian sistem muskuloskeletal ............................................................................. 7
C. Modalitas Penatalaksanaan Gangguan Sistem Muskuloskeletal .................................. 9
D. Gangguan Pada Sistem Muskuloseletal ..................................................................... 10
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sistem muskuloskeletal meliputi tulang, persendian, otot, tendon, dan bursa.
Struktur tulang dan jaringan ikat menyususn kurang lebih 25 % berat badan. Struktur
tulang memberikan perlindungan terhadap organ-organ penting dalam tubuh seperti
jantung, paru, otak. Tulang berfungsi juga memberikan bentuk serta tempat melekatnya
otot sehingga tubuh kita dapat bergerak, disamping itu tulang berfungsi sebagai
penghasil sel darah merah dan sel darah putih (tepatnya di sumsum tulang) dalam proses
yang disebut hamatopoesis.
Tubuh kita tersusun dari kurang lebih 206 macam tulang, dalam tubuh kita ada
4 kategori yaitu tulang panjang, tulang pipih, tulang pendek, dan tulang tidak baraturan.
Masing-masing tulang dihubungkan oleh jaringan yang disebut sendi. Menurut
pergerakan yang ditimbulkan sendi dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
1. Sendi fibrous/sinatrosis/sendi tidak bergerak
2. Sendi tulang rawan / amfiartrose/sendi gerak
3. Sendi sinovial/diartrose.
Bentuk sendi diartrose ada beberapa macam : sendi putar, sendi engsel, sendi
kondiloid, sendi berporos serta sendi pelana. Bentuk-bentuk sendi beserta contohnya :
1. Sendi putar : sendi bahu dan sendi panggul
2. Sendi engsel : sendi siku, sendi antara ruas-ruas jari
3. Sendi kondiloid : hampir sama dengan sendi engsel tapi dapat bergerak dalam 2
bidang seperti pada pergelangan tangan.
4. Sendi berporos: sendi antara kepala dengan tulang leher pertama
5. Sendi pelana : sendi metacarpal pertama, yang memungkinkan ibu jari ergerak
bebas.

1
2

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini akan diuraikan dalam bab pembahasan.
Rumusan masalah makalah ini terdiri dari :
1. Bagaimana anatomi fisiologi sistem muskuloskeletal?
2. Bagaimana pengkajian sistem muskuloskeletal?
3. Bagaimana modalitas penatalaksanaan gangguan sistem muskuloskeletal?
4. Jelaskan gangguan-gangguan pada sistem muskuloskeletal!
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dari tujuan pembuatan makalah ini diharapkan pembaca mengetahui dan
memahami tentang sistem muskuloskeletal.
2. Tujuan Khusus
Tujuan pembuatan makalah ini dapat disebut juga jawaban dalam setiap rumusan
masalah. Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui anatomi fisiologi sistem muskuloskeletal.
2. Untuk mengetahui pengkajian sistem muskuloskeletal.
3. Untuk mengetahui modalitas penatalaksanaan gangguan sistem muskuloskeletal.
4. Untuk mengetahui gangguan-gangguan pada sistem muskuloskeletal.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal


1. Struktur Tulang
Tulang adalah struktur hidup yang tersusun oleh protein dan mineral. Penyusun
utama tulang adalah protein yang disebut kolagen serta mineral tulang (kalsium fosfat).
Lebih dari 99% kalsium tubuh terdapat dalam tulang dan gigi, dan 1% terdapat dalam
darah. Terdapat dua tipe tulang dalam tubuh, yaitu cortical dan trabecular. Tulang
korteks adalah tulang yang padat/rapat dan merupakan bagian terluar dari tulang.
Tulang trabekular merupakan bagian dalam tulang yang berongga. Tulang merupakan
organ dinamis yang selalu berubah dan mengalami pembaruan. Sel-sel utama yang
berperan dalam tulang, yaitu:
a. Osteoblas
Osteoblas adalah sel pembentuk tulang. Osteoblas bekerja membentuk dan
mensekresikan kolagen dan nonkolagen organik (komponen matrik tulang). Jadi,
osteoblas berperan dalam mineralisasi matrik organik.
b. Osteoklas
Osteoklas (sel pemecah tulang) adalah sel terpenting pada resorpsi tulang yang
berasal dari sel induk sumsum tulang (penghasil makrofag-monosit).
2. Jenis Persendian
Persendian memiliki bermacam-macam tipe, yang dapat dikelompokan
berdasarkan besar dan kecilnya gerakan yang terjadi. Tipe persendian tersebut adalah
sebagai berikut.(Koes Irianto, 2014)
a. Amfiartrosis
Amfiartrosis adalah pesendian yang masih memungkinkan adanya sedikit
gerakan antara dua tulang yang bersendi dan permukaan persendiannya dibatasi oleh
jaringan antara. Jaringan antara itu dapat berupa jaringan tulang rawan fibrosa atau
tulang rawan hialin.
1) Simfisis
Simfisis adalah sendi yang kedua tulangnya dihubungkan dengan diskus kartilago
yang menjadi bantalan sendi dan memungkinkan terjadinya sedikit gerakan.

3
4

2) Sindesmosis
Sindesmosis terbentuk saat tulang-tulang yang berdekatan dihubungkan dengan
serat-serat jaringan ikat kolagen.
b. Diartrosis
Diartrosis adalah persendian yang memungkinkan adanya gerak bebas antara
tulang-tulang yang bersendi. Diartrosis juga disebut sebagai persendian sinovial
dengan ciri-ciri truktural sebagai berikut: persendian diselubungi oleh kapsul dan dari
jaringan ikat fibrosa dan disebelah dalam kapsul ini dibatasi oleh jaringan ikat halus,
yang disebut membran sinovial yang berfungsi menghasilkan cairan pelumas untuk
mengurangi gesekan antar tulang.
1) Sendi peluru, pada sendi ini permukaan sendi pertama brbentuk seperti bola
masuk kepermukaan cekung
2) Sendi putar
3) Sendi pelana
4) Sendi engsel
5) Sendi elipsoid, pada sendi ini ujung tulang yang berbentuk oval masuk
kecekungan tulang lain yang berbentuk elips. Persendian ini memungkinkan
gerak kiri-kanan dan muka-belakang, sehingga termasuk persendian biaksial
6) Sendi luncur, permukaan sendi biasanya datar, hanya mungkin melakukan gerkan
kiri kanan dan muka belakang,persendian yang memungkinkan gerakan pada dua
bidang dasar seperti disebut persendian dua sudut (biaksial).
c. Sinartrosis
Sinartrosis adalah persendian yang tidak memungkinkan adanya gerak sama
sekali antara dua tulang yang bersambungan. Oleh karena itu sendi ini disebut juga
dengan sendi mati .
1) Sinartrosis sinkondrosis merupakan sinartrosis yang dihubungkan oeleh tulang
rawan kartilago.
2) Sinartrosis sinfibrosis meruapakan sinartrosis yang tulangnya dihubungkan oelh
jaringan ikat serabut (fibrosa).
5

3. Gerak Persendian
a. Fleksi
Fleksi adalah gerakan yang memperkecil sudut antara dua tulang atau dua
bagian tubuh, seperti menekuk siku
b. Ekstensi
Ekstensi adalah gerakan yang memperbesar sudut anatara dua tulang atau dua
bagian tubuh
c. Abduksi
Abduksi adalah gerakan bagian tubuh menjauhi garis tengah tubuh seperti saat
lengan berabduksi atau mnjauhi aksis longitudinal tungkai, seperti grakan
abduksi jari tangan dan jari kaki
d. Aduksi
Aduksi adalah gerakan bagian tubuh saat kembali ke aksis utama tubuh atau akis
longitudinal tungkai, merupakan kebalikan dari abduksi.
e. Depresi
Depresi adalah menggerakan suatu truktur kearah inferior seperti saat membuka
mulut.
f. Elevasi
Elevasi adalah pergerakan struktur kearah superior seperti saat mengatup mulut
(mengelevasi mandibula).
g. Rotasi
Rotasi adalah gerakan tulang yang berputar disekitar aksis pusat tulang itu
sendiri tanpa mengalami dislokasi lateral seperi saat menggelengkan kepala
untuk menyatakan tidak.

4. Mekanisme Kerja Otot dan Rangka


Kontraksi otot rangka dirangsang oleh adanya pelepasan asetilkolin (ACh) di
neuromuscular junction antara terminal neuron motorik dan serat otot. Pengikatan ACh
dengan end-plate motoric suatu serat otot menyebabkan perubahan permeabilitas di
serat otot dan menghasilkan potensial aksi yang dihantarkan ke seluruh permukaan
membran sel otot. Terdapat dua struktur dalam serat otot yang berperan penting dalam
proses eksitasi dan kontraksi, yaitu tubulus transversus (tubulus T) dan retikulum
sarkoplasma.
6

Di setiap pertemuan antara pita A dan pita I, membran permukaan masuk ke


dalam serat otot membentuk tubulus T. Tubulus ini berjalan tegak lurus dari permukaan
membran sel otot ke dalam bagian tengah serat otot. Potensial aksi di membran
permukaan menyebar turun menelusuri tubulus T, menyalurkan aktivitas listrik
permukaan ke bagian tengah serat dengan cepat. Potensial aksi lokal di tubulus T
memicu perubahan permeabilitas di retikulum endoplasma.
Retikulum endoplasma yang sudah dimodifikasi disebut dengan retikulum
sarkoplasma. Retikulum sarkoplasma mengelilingi miofibril di seluruh panjangnya
namun tidak kontinu. Otot rangka memiliki tiga jenis serat yang berbeda berdasarkan
kemampuan dalam hidrolisis dan sintesis ATP yaitu serat oksidatif lambat (tipe I), serat
oksidatif cepat (tipe IIa), dan serat glikolitik cepat (tipe IIx). Serat cepat memiliki
aktivitas miosin ATP-ase (pengurai ATP) yang lebih cepat daripada yang dimiliki serat
lambat. Semakin tinggi aktivitas ATP-ase maka semakin cepat ATP terurai dan
terbentuk menjadi energi untuk siklus jembatan silang.
Tipe serat oksidatif dan glikolisis dibedakan berdasarkan kemampuannya untuk
membentuk ATP. Pembentukan ATP bisa terjadi melalui fosforilasi oksidatif dan
glikolisis anaerob. Serat yang melakukan fosforilasi oksidatif menghasilkan lebih
banyak ATP sehingga lebih resisten terhadap kelelahan dibanding serat glikolitik. Serat
oksidatif kaya akan kapiler dan mioglobin sehingga menimbulkan warna merah.
Serat oksidatif disebut juga serat merah. Serat glikolitik disebut serat putih
karena mengandung sedikit mioglobin. Persentase tiap-tiap tipe terutama ditentukan
oleh jenis aktivitas yang khusus dilakukan untuk otot yang bersangkutan. Selain itu,
persentasi tipe serat otot juga berbeda tiap individu.
5. Proses Pembentukan Tulang
Komposisi kimia tulang
Elemen Tulang keras, tulang paha

H 3,4

G 15,5

N 4,0

O 44,0

Mg 0,2
7

P 10,2

S 0,3

Ca 22,2

Campuran 0,2

6. Proses Penyembuhan Tulang


Sel dan matriks tulang tidak mampu memperbaiki diri sendiri secara langsung
tanpa bantuan dari jaringan yang berhubungan. Perbaikan hampir dimulai bersamaan
dengan saat terjadinya cedera. Jika tulang mengalami fraktur, reaksi pertama adalah
pembentukan hematoma (gumpalan darah yang besar). Pembuluh darah pada area
cedera mengalami hemoragi dan pembekuan.
Hematoma kemudian diinvasi dengan cara meregenerasi pembuluh darah,
osteoblas dan osteoklas dari periosteum dan endosteum. Makrofag dalam darah
mengeluarkan bekuan dan fragmen jaringa mati (debris). Osteoblas mengeluarkan
matriks tulang yang rusak .Pembelahan sel yang cepat dari periosteum dan endosteum
mengisi dan mengelilingi fraktur serta membentuk kalus eksternal (melingkari cedera)
dan kalus internal (dalam rongga sumsum tulang) kartilago hialin.
Fraktur kemudian diperbaiki melalui proses oksifikasi endokondrial dan
osifikasi ibtramembranosa yang berlangsung pada fragen kartilago kecil dalam kalus
eksternal dan internal.Kalus tulang yang terbentuk kemudian mengalami reprganisasi
dan diganti dengan tulang lamela kompak. Dengan demikian tulang sembuh dan
kembali ke struktur tulang aslinya.

B. Pengkajian sistem muskuloskeletal


1. Pengkajian klinis
a. Anamnesis
1) Keluhan utama
2) Riwayat klinis
3) Psikososial spiritual
b. Pengkajian fisik muskuloskeletal
1) Pengkajian fisik secara umum
2) Pengkajian fisik lokalis
8

a) Inspeksi jaringan lunak, kulit, tulang dan sendi, jaringan parut, benjolan,
pembengkakan, posisi dan bentuk dari eksremitas.
b) Palpasi suhu kulit, jaringan lunak, tulang, penilaian deformitas yang
menetap, nyeri tekan, pengukuran panjang anggota gerak.
c) Pergerakan sendi (move) evaluasi gerakan sendi secara akif dan pasif,
stabilitas sendi, pengkajian ROM.
3) Pengkajian sendi
a) Palpasi pada sendi
b) Range of motion (ROM)
4) Pengkajian Otot
a) Kekuatan otot dan kemampuan mengubah posisi otot
b) Fasikulasi (kedutan kelompok otot secara involunter)
c) Lingkar ekstremitas
5) Pengkajian saraf
6) Pengkajian pembuluh darah
c. Pengkajian diagnostik radiologis
1) Rontgen foto
2) MRI (magnetic resonance imaging)
3) Computed Tomography Scan
4) Angiografi
5) Venogram
6) Mielografi
7) Artografi
d. Pengkajian diagnostik artroskopi
Merupakan prosedur endoskopis yang memungkinkan pandangan langsung
ke dalam sendi. Prosedur ini dilakukan dikamar operasi dalam kondisi steril,
perlu dilakukan injeksi anetesi lokal ataupun anestesi umum. Secara umum
sendi tetap diekstensikan dan dielevasikan untuk mengurangi pembengkakakn.
Pasien dianjurkan untuk membatasi aktivitasnya. Komplikasi jarang tapi dapat
mencakup infeksi, hemartrosis, tromboflebitis, kaku sendi dan penyembuhan
luka yang lama.
e. Pengkajian diagnostik artrosentesis
Artrosentesis (aspirasi sendi) dilakukan untuk memperoleh cairan sinovia
untuk keperluan pengkajian atau untuk menghilangkan nyeri akibat
9

efusi.dengan menggunakan teknik asepsis. Pengkajian sinovia berguna untuk


mendiagnosis artritis rematoid dan atrofiinflamasi lainnya dan dapat
memperlihatkan adanya hemartrosis (pendarahan didalam rongga sendi) yang
mengarahkan ke trauma atau kecenderungan pedarahan.
f. Pengkajian diagnostik biopsi
g. Pengkajia laboratorium

C. Modalitas Penatalaksanaan Gangguan Sistem Muskuloskeletal


Penatalaksanaan pada pasien dengan gangguan muskuloskeletal dilakukan
dengan kondisi dan pilihan berbagai pertimbangan. Penatalaksanaan ini meliputi hl-hal
berikut ibi.
1. Pertimbangan psikologis
2. Terapi obat-obatan
a. Analgesik
b. Antiinflamasi Nonsteroid (AINS)
c. Agen kemoterapi
d. Kortikosteroid
e. Vitamin
f. Obat khusus
3. Penatalaksanaan ortopedi
a. Istirahat
b. Support
c. Pencegahan dan koreksi
4. Terapi fisik dan okupasi
5. Manipulasi bedah
a. Pembedahan pada sendi
b. Pembedahan pada otot
c. Pembedahan pada sendi
d. Pembedahan pada tulang
6. Terapi bedah
7. Terapi radiasi
8. Rehabilitasi muskuloskeletal
10

D. Gangguan Pada Sistem Muskuloseletal


1. Fraktur
a. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. (Smeltzer & Brenda, 2001: 2357). Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga
tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. (Price & Lorraine,
2005: 1365).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda
Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Dari tiga definisi di atas kelompok dapat menyimpulkan bahwa fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan oleh adanya trauma, tekanan
fisik/tekanan eksternal yang besar dan tidak dapat diserap oleh tulang.
b. Etiologi
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gaya punter
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. . (Smeltzer & Brenda, 2001: 2357)
Fraktur disebabkan oleh sejumlah hal, yaitu trauma (kekerasan langsung dan
kekerasan tidak langsung). (asikin, 2018)
Ada beberapa etiologi menurut zairin Noor (2016: 25) sebagai berikut.
1) Fraktur traumatic
Disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan kekuatan
yang besar. Tulang tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi
fraktur.
2) Fraktur patologis
Disebabkan oleh kelemahan tulang sebeumnya akiba kelainan patologis di
dalam tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah
11

menjadi lemah karena tumor atau proses patologis lainnya. Tulang sering kali
menunjukkan penurunan densitas. Penyebab yang paling sering dari fraktur-
fraktur semacam ini adalah tumor , baik primer maupun metastasis.

3) Fraktur stress
Disebabkan oleh trauma yag terus-menerus pada satu tempat tertentu.
c. Klasifikasi Fraktur
Berikut beberapa fraktur yang dinyatakan pleh Price & Lorraine (2005: 1365).
1) Fraktur Multipel Pada Satu Tulang
Fraktur segmental adalah fraktur berdekatan dengan satu tulang yang
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya. Biasanya satu
ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh, da
kondisi seperti ini membutuhkan pengobatan secara bedah. Fraktur kominuta
adalah serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari
dua fragmen tulang.
2) Fraktur Impaksi
Fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk (akibat tubrukan)
tulang ketiga yang berada diantaranya, seperti satu vertebra denga dua vertebra
lainnya. Fraktur pada korpus vertebra ini dapat terdiagnosis dengan radiogram.
Pandangan lateral dai tulang punggung menunjukkan pengurangan tinggi
vertical dan sedikit membentuk sudut pada satu atau beberapa vertebra. Pada
orang muda, fraktur kompresi dapat disertai perdarahan retroperitoneal yang
cukup berat. Seperti pada fraktur pelvis, pasien dapat secara cepat mengalami
syok hipovolemik dan meninggal jika tidak dilakukan pemeriksan denyut nadi,
tekanan darah dan pernafasan secara akurat dan berulang dalam 24 jam sampai
48 jam pertama setelah cidera. Ileus dan retensio urin dapat terjadi pada cidera
ini.
3) Fraktur Patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjdai
lemah oleh karena tumor atau penyakit patologik lainnya. Tulang sering sekali
menunjukkan penurunan densitas. Penyebab paling sering fraktur- semacam
ini adalah tumor primer atau tumor metastasis.
4) Fraktur Beban (Kelelahan) Lainnya
12

Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang baru
saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru diterima untuk berlatih
dalam angkatan bersenjata atau orang-orang yang baru memulai latihan lari.
Pada saat awitan timbul, radiogram mungkin tidak menunjukkan adanya
fraktur. Tetapi, biasanya setalah 2 minggu, timbul garis-garis radiopak linear
tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur semacam ini akan sembuh
dengan baik jika tulang itu dimobilisasikan selama beberapa minggu.
Tetapi, jika tidak terdiagnosis, tulang-tulang itu dapat bergeser dari tempat
asalnya dan tidak menyembuh dengan seharusnya. Jadi, setiap pasien yang
mengalami nyeri berat setelah meningkatkan aktivitas kerja tubuh, mungkin
mengalami fraktur dan seharusnya diproteksi dengan memakai tingkat, atau
bidai gips yang tepat. Setelah 2 minggu, harus dilakukan pemeriksaan
radiografi.
5) Fraktur Greenstick
Adalah fraktur tidak sempuurna dan sering terjadi pada anak-anak. Korteks
tulangnya sebagian masih utuh, demikian juga periosteum. Fraktur-fraktur ini
akan segera sembuh dan segera mengalami remodeling ke bentuk dan fungsi
normal.
6) Fraktur Avulsi
Fraktur avulsi memisahkan suatu fragmen tulang pada tempat insersi
tendon ataupun ligamen. Biasanya tidak ada pengobatan yang spesifik yang
diperluka. Namun, bila diduga akan terjadi ketidakstabilan sendi atau hal-hal
lain yang menyebabkan kecacatan, maka perlu dilakukan pembedahan untuk
membuang atau meletakan kembali fragmen tulang tersebut pada banyak
kasus.
7) Fraktur Sendi
Catatan khusus perlu diuat untuk yang mengalami kecacatan sendi,
terutama apabila geometri sendi terganggu secara bermakna.jka tidak
ditangani secara tepat, cedera semacam ini akan menyebabkan osteoarthritis
pasca trauma yang progresif [ada sendi yang cedera tersebut.
d. Manifestasi Klinis Fraktur
Smeltzer & Brenda (2001: 2358) menyatkan bahwa manifestasi klinis pada
fraktur adalah nyer, hilangnya fungus, deformitas, pemendekan ektremitas,
krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
13

1. Nyeri, terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tualng


diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas
tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya keran
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2
inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya. (uji krepitus dapat menyebabkan kerusakan karingan lunak yang
lebih berat)
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
e. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh, namun cukup memiliki kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah, serta
saraf dalam korteks, sumsum tulang, dan jaringan lunak yang membungkus
tulang menjadi rusak. Akibatnya, terjadilah perdarahan dan membentuk
hematoma dirongga medulla tulang. Jaringan tulang akan langsung berdekatan
kebagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi
terjadinya respons inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma
dan leukosit, serta infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar
dari proses penyembuhan tulang nantinya. (asikin, 2018)
f. Penatalaksanaan
1) Fraktur terbuka
14

Fraktur terbuka merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi


kontaminasi oleh bakteri dan disertai dengan perdarahan yang hebat.
Sebelum kuman meresap terlalu jauh, sebaiknya dilakukan.
a) Pembersihan luka.
b) Eksisi (pengangkatan jaringan)
c) Hecting situasi (jahitan situasi)
d) antibiotik
2) Perawatan klen fraktur tertutup
a) Klien dengan fraktur tertutup (sederhana) harus diusahakan untuk
dapat kembali ke aktivitas sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur
dan pengembalian kekuatan penuh, serta mobilitas dibutuhkan waktu
sampai berbulan bulan.
b) Klien diajarkan bagaimana mengontrol pembengkakan dan nyeri
sehubungan dengan fraktur, serta trauma jaringan lunak.
c) Klien di dorong untuk aktif dalam batas imobilisasi fraktur. Tirah
baring diusahakan seminimal mungkin.
d) Latihan segera dimulai untuk mempertahankan kesehatan otot yang
tidak cidera serta meningkatkan kekuatan otot yang dibutuhkan untuk
pemindahan dan menggunakan alat bantu.
e) Klien diajarkan bagaimana menggunakan alat tersebut dengan aman.
f) Perencanaan dilakukan untuk membantu klien menyesuaikan
lingkungan rumahnya sesuai kebutuhan dan bantuan keamanan
pribadi, jika diperlukan.
3) Perawatan klien fraktur terbuka
Pada fraktur terbuka (yang berhubungan dengan lika terbuka memanjang
sampai permukaan kulit dan area cedera tulang) terdapat resiko
infeksi,misalnya osteomyelitis, gasgangren, dan tetanus. Tujuan
penanganan pada klien yang mengalami fraktur terbuka yaitu
meminimalkan kemungkinan infeksi luka pada jaringan lunak dan tulang
untuk mempercepat penyembuhan. (asikin, 2018)
4) Terapi farmakologi
Terputusnya ujung-ujung syaraf sensoris akibat terjadinya patah tulang
dapat menyebabkan nyeri sehingga untuk mengurangi rasa nyeri
diperlukan penatalaksanaan secara farmakologi dengan pemberian obat
15

anti nyeri. Penggunaan opioid merupakan gold standar untuk pengelolaan


nyeri berat, namun dihubungkan dengan efek samping maka penggunaan
analgesik NSAID banyak digunakan. Penanganan nyeri pada fraktur dapat
diberikan terapi obat seperti non-steroid anti inflamasi (NSAID) dan
golongan opioid.
Obat anti inflamasi non steroid (AINS) umumnya digunakan untuk
mengatasi nyeri dan meredakan inflamasi yang disebabkan oleh fraktur.
AINS menghambat biosintesis prostaglandin yang terbentuk akibat
kerusakan jaringan, serta menghambat enzim siklooksigenase (COX)
yang dikenal dalam dua bentuk yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1
ditemukan di semua jaringan yang berperan dalam proses hemostatik,
sitoprotektif dan pengaturan regulasi mukosa saluran pencernaan dan
tidak banyak berperan dalam proses inflamasi. COX-2 memproduksi PG
(prostaglandin) yang merangsang sitokin dan terlibat dalam proses
inflamasi jaringan dan nyeri. AINS non selektif telah banyak digunakan
untuk mengurangi nyeri pasca operasi patah tulang atau cedera otot.
AINS non selektif seperti ketorolac merupakan analgesik poten dengan
efek anti-inflamasi sedang. Ketorolac adalah OAINS yang digunakan
secara sistemik, terutama sebagai analgesik bukan sebagai obat
antiinflamasi. Obat ini merupakan analgesik yang efektif dan dapat
digunakan untuk menggantikan morfin dalam beberapa situasi yang
melibatkan nyeri pasca operasi ringan dan sedang. Obat ini paling sering
diberikan secara intramuscular atau intravena, tetapi juga tersedia bentuk
dosis 4 oral. Ketorolac IM sebagai analgesik pasca bedah memberikan
efek sebanding morfin atau meperidin pada dosis umum, masa kerjanya
lebih panjang dan efek sampingnya lebih ringan. Untuk pemberian pada
pasien usia dibawah 65 tahun diberikan dosis 30 mg IM atau IV setiap 6
jam (dosis maksimum adalah 120 mg per hari) selama 5 hari. Untuk pasien
dengan usia > 65 tahun, atau dengan gangguan fungsi ginjal dosis yang
digunakan adalah 15 mg IV atau 30 mg IM, diikuti dengan 15 mg IM atau
IV setiap 6 jam (dosis maksimum adalah 60 mg per hari). (zairin, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Dewo et al tentang terapi kombinasi pada
proses imobilisasi dengan diberikan terapi injeksi ketorolac memberikan
hasil pada 61 subyek closed fracture dengan tingkat keparahan nyeri
16

diekstermitas. Hasil penelitian menyebutkan bahwa imobilisasi yang


diberikan dengan terapi injeksi ketorolac dapat digunkan sebagai
manajemen pada kasus fraktur tertutup (Closed fracture). Penelitian yang
dilakukan dengan judul “perioperative single dose ketorolac to prevent
postoperative pain” memberikan hasil pada subjek yang mendapatkan
terapi ketorolac secara sistemik dengan dosis tunggal ketorolac
menunjukkan efektiftas untuk mengurangi rasa nyeri pasca pembedahan.
Ketorolac sebagai analgesik yang efektif pasca operasi juga disertai
dengan pengurangan mual dan muntah pasca operasi. Pemberian
ketorolac dengan dosis 60 mg memberikan efektifitas yang lebih
signifikan dibandingkan pemberian ketorolac dengan dosis 30 mg pada
tingkat nyeri yang dirasakan pasien pasca operasi.
5) Terapi diet
Kecukupan kedua asupan nutrisi ini didukung oleh makanan yang dibeli
dari luar rumah sakit yang dikonsumsi oleh pasien. Dari observasi peneliti,
pasien kerap mengkonsumsi buah-buahan yang dibelikan oleh
keluarganya saat menunggu waktu makan tiba. Buah-buahan merupakan
sumber vitamin A yang baik untuk tulang. Demikian halnya juga terhadap
makanan yang mengandung fosfor. Fosfor memang ada di semua makhluk
hidup, fosfor terdapat di dalam semua makanan terutama makanan kaya
protein seperti daging, ayam, ikan, telur, susu, dan hasilnya, kacang-
kacangan dan hasilnya, serta serealia. Karena fosfor banyak terdapat di
dalam makanan, jarang terjadi kekurangan. (Elviana, 2015)
2. Dislokasi Sendi
a. Definisi

Dislokasi adalah kondisi ketika tulang-tulang terlepas dari sendi, dan


merupakan keadaan darurat yang memerlukan pertolongan medis sesegera
mungkin. Terlepasnya jaringan tilang dari kesatuan sendi ini bisa terjadi karena
bergesernya beberapa komponen tulang atau terlepasnya seluruh komponen tulang
dari mangkuk sendi. Ligamen-ligamen sendi yang pernah mengalami dislokasi,
biasanya menjadi kendur sehingga bagian sendi tersebut rentan mengalami dislokasi
kembali. Jika dislokasi disertai dengan patah tulang kondisinya lebih jauh sulit
ditangani (Istianah).
17

Dislokasi adalah keadaan terpisahnya dua permukaan sendi secara keseluruhan.


Apabila permukaan sendi hanya terpisah sebagian maka kondisi tersebut disebut
dengan sublukasi. Kondisi terlpasnya permukaan sendi yang hanya terjadi apabila
sendi tersebut mendapatkan tekanan konidisi itu disebut occult joint insability
(Chris Tanto, 2014).

Dislokasi adalah pindahnya permukaan sentuh tulang yang menyusunsendi.


Cedera ini dihasilkan oleh gaya yang menyebabkan sendi melampaui batas normal
anatomisnya. Pindahnya ujung tulang yang incomplete disebut dislokasi tidak
sempurna atau subluxation. Oleh karena fungsi ligumen adalah untu mencegah
perpindahan atau pergerakan sedi yang abnormal, semua sprains menghasilkan
beberapa derajat subluxation. Dislokasi yang komplet atau luxation, terjadi saat ada
pemisahan yang komplet dari ujung tulang.
b. Jenis-jenis Dislokasi
1. Dislokasi HIP
Dislokasi hip adalah suatu keadaan lepasnya sendi pinggul oleh berbagai
keadaan seperti trauma ( paling sering akibat kecelakaan bermotor dengan
kecepatan tinggi), kelainan kongenital, atritis piogenik dan
ketidakseimbangan otot-otot pinggul.

Pada osteomiltis akut yang menginasi metafisis, intrakapsular sendi


panggul juga ikut mengalami infeksi. Selanjutntya kaput dan kepal femur
mengalami kerusakan dan mengalami perubahan letak akibat lepasnya
kepala femur dari mangkok asetabulum. Pasien yang pernah mengalami
serebral palsi, poliomielitis, dan mieolomeningokel akan menciptakan suatu
kondisi paralisis yang memberikan ketidakseimbangan pada otot sehingga
terjadi abduksi pinggul. Pada kondisi selanjutnya trokhanter mayor gagal
berkembang dan leher femur bengkok kemudian keluar dari pinggul dan
terjadilah dislokasi/sublukasi panggul.
2. Dislokasi Lutut
Dislokasi lutut adalah merupakan suatu kondisi lepasnya sendi lutut
yang disebabkan oleh benturan keras seperti kecelakaan lalu lintas. Dislokasi
lutut bisa berupa hal-hal berikut ini.
a) Dislokasi anterior, yang disebabkan oleh trauma hiperekstansi berat pada
lutut.
18

b) Dislokasi posterior, sering disebabkan injuri dashboard dengan


mekanisme fleksi pada lutut.
c) Dislokasi medial, lateral, atau rotasi, merupakan kondisi trauma yang
bersifat varus,valgus, atau rotasi.
Sekitar 50% kasus dislokasi lutut anterior-posterior akan memberikan
penekanan dari arteri popliteus dan kompresi pada saraf poplitea, dimana
sekitar 12-13% kasus dislokasi lutut merupakan kondisi cedera sendi terbuka.
3. Dislokasi Patela
Dislokasi patela merupakan suatu kondisi lepasnya sendi pada patela
yang berupa kondisi dislokasi traumatik dan dislokasi berulang. Dislokasi
traumatik sering disebabkan oleh suatu trauma dengan ketidakmampuan
sendi lutu dalam menerima perubahan posisi pada sendi lutut secara lateral.
Faktor predisposisi lain dislokasi nontraumatik atau berulang, misalnya: (a)
kekenduran ligamentum generalisata; (b) kurang berkembangnya kondilus
lateral femur dan meratanya alur interkondilus; (c) gangguan perkembangan
patela, yang mungkin terlalu tinggi atau terlalu kecil; (d) deformitas valgus
pada lutut; dan (e) defek otot primer.
4. Dislokasi Pergelangan Kaki
Dislokasi pergelangan kaki (ankle) tanpa disertai fraktur sering terjadi
dan menghasilkan hilangnya posisi dari permukaan artikular. Kondisi ini
sering disebabkan oleh trauma, hipoplasia maleolus internal, lemahnya otot
paroneus, dan adanya riwayat sprain pada pergelangan sendi yang berulang.
5. Dislokasi Bahu
Dislokasi sendi bahu adalah lepasnya hubungan sendi pada bahu yang
sering disebabkan oleh suatu cedera akut karena lengan dipaksa berabduksi,
beritasi luar, dan ekstensi du luar kemampuan dari kaput humerus yang
dipertahankan pada sendi glenoid yang dangkal oleh labrum glenoid,
ligamentum glenohumerus, ligamentum korakohumerus, kanopi arkus
korakoakromial, dan otot di sekeliling.
6. Dislokasi Siku
Disklokasi siku adalah lepasnya hubungan sendi pada siku yang sering
disebabkan oleh suatu cedera akibat trauma tidak langsung ataut trauma
langsung pada siku. Dislokasi pada siku akibat cedera lebih sering terjadi
pada orang dewasa dibandingkan ana-anak. Pada dislokasi posterior,
19

kompleks radioulna bergeser ke posterior atau ke posterolateral, sering


bersama-sama dengan fraktur pada prosesus tulang yang menahan.
Pada dislokasi posterior bisa terjadi pada dua kejadian, yaitu jatuh pada
yang anyang terentang dengan posisi siku fleksi atau siku dengan posisi
hiperekstensi. Begitu terjadi dislokasi posterior, pergeseran lateral juga dapat
terjadi. Terjadi kerusakan jaringan lunak yaitu kapsul anterior dan otot
brakialis robek, ligamen kolateral tentang untuk mengalami ruptur, serta
saraf dan pembuluh sekelilingnya mungkin rusak. Dislokasi siku anterior
terjadi karena hantaman atau trauma langsung pada belakang siku. Sering
terjadi bila siku pengemudi mobil yang keluar dari jendela kemudia dihantam
oleh mobil lain. Kondisi dislokasi anterior ini sering disebut fraktur
olekranon.
Cedera pembuluh darah arteri brakialis dan cedera saraf medianus atau
ulnaris pada kondisi dislokasi memberikan manifestasi pembengkakan dan
nyeri hebat. Tidak adanya denyut nadi radial dan tanda-tanda iskemia pada
bagia distal (CRT > 3 detik, pucat, paralis, akral dingin) bisa terjadi apabila
dislokasi tidak direduksi secepatnua sehingga kaan meningkatkan risiko
sindrom kompartemen.
c. Etiologi
Menurut (Suddarth, 2002) dislokasi umumnya disebabkan oleh beberapa faktor
seperti :
1) Cedera olahraga, misalnya sepakbola, basketball, ski, senam dan lain-lain.
2) Trauma, seperti benturan keras pada sendi saar kecelakaan kendaraan dapat
menyebabkan dislokasi.
3) Terjatuh, bisa terjatuh dari tangga atau ketika berjalan diatas lantai yang licin
4) Ligamen robek
d. Patofisiologi
Sendi sinovial yang ada pada tubuh manusia memiliki mekanisme struktural
untuk menjaga lingkup gerak sendi yang normal. Stabilitas sendi merupakan hasil
dari kerja sama dari tiga aspek sebagai berikut:
1) Bentuk dan jenis sendi
2) Integritas kapsula fibrosa dan ligamen
3) Perlindungan dari otot yang menggerakkan sendi tersebut
20

Gangguan pada salah satu faktor diatas dapat mengakibatkan ketidakstabilan


suatu sendi. Peran faktor diatas dapat berubah pada masing-masingsendi. Kontur
sendi merupaka faktor yang terpenting pada sendi jenis ball-and-socket (misalnya
sendi pinggul). Sementara ligamen memegang peranan pening pada sendi emgsel
(misalnya siku). Pada sendi yang bergerak bebas (misalnya sendi bahu), integritas
kapsula fibrosa dan otot-otot di sekitarnya memegang peran lebih pnting dalam
menjaga kestabilan sendi (Chris Tanto, 2014).

e. Manifestasi Klinis
1) Nyeri pada sendi.
2) Deformitas pada persedian.
3) Gangguan gerakan sendi.
4) Pembengkakan sendi.
f. Penatalaksaan Medis
Menurut (Istianah) penatalaksaan medis pada dislokasi ada beberapa seperti:
1) Nonmedis
a) Dislokasi reduksi dilakukan dengan mengembalikan tulang dan sendi ke
tempat semula tanpa anastesi, atau dengan anastesi jika dislokasi termasuk
berat.
b) Istirahat
c) Kompres dengan es
d) Kompresi/pemasangan pembalut tekan
e) Elevasi, yaitu dengan meninggikan bagian dislokasi
2) Medis
a) Pemeriksaan penunjang
1. Sinar-X (rontgen)
2. CT scan
3. MRI adalah pemeriksaan yang menggunakan gelombang magnet dan
frekuensi radio tanpa menggunakan sinar-X atau bahan radio aktif,
dengan pemeriksaan MRI dapat ditemukan bagian pergerseran sendi
dari mangkuk sendi dengan tepat
4. Pemberian obar-obatan analgesik nonnarkotik, fungsinya adalah
untuk mengatasi nyeri pada otot dan sendi
b) Pembedahan
21

1. Operasi ortopedi
Prosedur pembedahan yang sering dilakukan adalah reduksi terbuka
dengan fiksasi interna (open reduction and fixation)
2. Graft tulang
Penggantian jaringan tulang (graft autolog maipun heterolog) untuk
memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti
tulang yang berpenyakit
3. Amputasi
4. Artroplasti
Memperbaiki masalah sendi dengan melalui pembedahan sendi terbuka
atau dengan menggunakan artroskop. Artorskop adalah suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanaoa irisan
besar
5. Penggantian sendi
Penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis
3. Osteomielitis
a. Definisi
Osteomielitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan
daripada infeksi jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan
terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum
(pembentukan tulang baru di sekeliling jaringan tulang mati). Osteomielitis dapat
menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau
mengakibatkan kehilangan ekstremitas (Suzzane dan Brenda, 2001).
b. Etiologi
Infeksi bisa disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui darah) dari fokus
infeksi di tempat lain (mis. Tonsil yang terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi
saluran nafas ata). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi di
tempat di mana terdapat trauma atau di mana terdapat resistensi rendah,
kemungkinan akibat trauma subklinis (tak jelas).
Osteomielitis dapat berhubungan dengan penyebaran infeksi jaringan lunak
(mis. Uluks dekubitus yang terinfeksi atau ulkus vaskuler) atau kontaminasi
langsung tulang (mis. Fraktur terbuka, cedera traumatik seperti luka tembak,
pembedahan tulang).
22

Pasien yang berisiko tinggi mengalami osteomielitis adalah mereka yang


nutrisinya buruk, lansia, kegemukan, atau penderita diabetes. Selain itu, pasien yang
menderita artritis reumatoid, telah di rawat lama di rumah sakit, mendapat terapi
kortikostreroid jangka panjang, menjalani pembedahan sendi sebelum operasi
sekarang, atau sedang mengalami sepsis rentan, begitu pula yang menjalani
pembedahan ortopedi lama, mengalami infeksi luka mengeluarkan pus, mengalami
nekrosis insisi marginal atau dehisensi luka, atau memerlukan evakuasi hertoma
pascaoperasi (Suzzane dan Brenda, 2001).
c. Patofisiologi
Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang.
Organisme patogenik lainnya yang sering dijumpai pada osteomielitis meliputi
Proteus, Pseudomonas, dan Escerichia coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi
resisten penisilin, nosokomial, gram negatif dan anaerobik.
Awitan osteomielitis setelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan
pertama (akut fulminan stadium 1) dan sering berhubungan dengan penumpukan
hematoma atau infeksi superfisial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi
antara 4 sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama
(stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih
setelah pembedahan.
Respons inisial terhadap adalah salah satu dari inflamasi, peningkatan
vaskularisasi, dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombosis pada pembuluh darah
terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dengan nekrosis tulang
sehubungan dengan peningkatan tekanan jaringan dan medula. Infeksi kemudian
berkembang ke kavitas medularis dan ke bawah periosteum dan dapat menyebar
ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya. Kecuali bila proses infeksi dapat
dikontrol awal, kemudian akan bentuk abses tulang.
Pada perjalanan ilmiahnya, abses dapat keluar spontan; namun yang lebih sering
harus dilkaukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam
dindingnya terbentuk daerah jaringan mati, namun seperti pada rongga abses pada
umumnya, jaringan tulang mati (sequestrum) tidak mudah mencair dan mengalir
ke luar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang terjadi pada
jaringan lunak. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan mengelilingi
sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun
sequestrum infeksius kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan abses kambuhan
23

sepanjang hidup pasien. Dinamakan osteomielitis tipe kronik (Suzzane dan


Brenda, 2001).

d. Manifestasi Klinis

Jika infeksi dibawa oleh darah, biasanya awitannya mendadak, sering terjadi
dengan manifestasi klinis septikemia (mis. Menggigil, demam tinggi, denyut nadi
cepat, dan malaise umum). Gejala sistemik pada awalnya dapat menutupi gejala
lokal secara lengkap. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks
tulang, akan mengenai periosteum dan jaringan lunak, dengan bagian yang
terinfeksi menjadi nyeri, bengkak, dan sangat nyeri tekan. Pasien menggambarkan
nyeri konstan berdenyut yang semakin memberat dengan gerakan dan berhubungan
dengan tekanan pus yang terkumpul.

Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya atau


kontaminasi langsung, tidak akan ada gejala septikemia. Daerah infeksi
membengkak, hangat, nyeri dan nyeri tekan.

Pasien dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus yang terlalu mengalir
keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi,
pembengkakan, dan pengeluaran pus. Infeksi derajat rendah dapat terjadi pada
jaringan parut akibat kurangnya asupan darah (Suzzane dan Brenda, 2001).

e. Penatalaksanaan Medis
1) Istirahat dan pemberian analgetik untuk menghilangkan nyeri. Sesuai
kepekaan penderita dan reaksi alergi penderita
2) Pemberian cairan intravena dan kalau perlu tranfusi darah.
3) Drainase bedah apabila tidak ada perubahan setelah 24 jam pengobatan
antibiotic tidak menunjukkan perubahan yang berarti, mengeluarkan nanah,
dan menstabilkan tulang serta ruang kosong yang ditinggalkan dengan cara
mengisinya menggunakan tulang, otot, atau kulit sehat.
4) Istirahat di tempat tidur untuk menghemat energy dan mengrangi hambatan
aliran pembuluh baik.
5) Asupan nutrisi tinggi, vit A,B,C,D dan K.
24

Terapi farmakologi

NAMA DOSIS RUTE INDIKASI KONTRAINDIKASI


OBAT
Penicillin 500.000 IV Membunuh jenis bakteri Kekurangan karnitin,
milion/ 4 jam Mengatasi infeksi disfungsi hati dan
bakteri riwayat jaundice

Erithromisin 1-2gr/6 jam IV Mengobati infeksi Hypersensitif


bakteri pada beberapa terhadap kandungan
bagian tubuh erithromisi,gangguan
fungsi hati,

Cephazolin 2 gr/6 jam IV Mengobati infeksi Memiliki riwayat


bakteri atau mencegah alergi terhadap
infeksi bakteri sebelum, antibiotik, riwayat
selama atau setelah kejang, gangguan
pembedahan tertentu ginjal

Gentamicin 5 mg/kg BB IV Mengobati dan Wanita hamil, ibu


mencegah infeksi akibat menyusui
bakteri

Terapi diet osteomyelitis


Untuk memenuhi kebutuhan kalori dan protein berguna mencegah dan mengurangi
kerusakan jaringan tubuh
1) Tinggi Kalori
Bahan makanan yang dapat menghasilkan energy/tenaga. Contoh : nasi, bubur
beras, jagung, kentang, singkong,ubi, roti, tepung, mie
2) Tinggi protein
Bahan makanan untuk tumbuh kembang, pertumbuhan jaringan, sumber panas dan
energy baik protein hewani maupun nabati. Contoh : daging, hati, babat, telur, ikan
,udang, kacang-kacangan, oncom, tahu tempe.
3) Vitamin C
25

Bahan makanan untuk membantu kesembuhan luka, mencegah infeksi, dan


perbaikan tulang. Contoh bayam, cabe rawit,daun singkong, daun papaya, jeruk,
papaya, rambutan, jambu mete, jambu biji.

4. Osteosarkoma

a. Definisi

Osteosarkoma adalah suatu tumor ganas yang berada pada tulang, periosteum
dan jaringan ikat di luarnya. Osteosarkoma ini cukup fatal serta pertumbuhan
sangat cepat, osteosarkoma ini tumbuh karena mutasi dari sel osteoblastik.
Osteosarkoma biasanya terdapat pada metafisis tulang panjang dimana lempeng
pertumbuhannya sangat aktif, yaitu pada distal femur, froksimal tibia dan fibula,
froksimal humerus dan pelvis (Zairin, 2016).

b. Etiologi
Osteosarkoma untuk saat ini masih belum diketahui secara jelas penyebabnya,
tetapi diduga ada beberapa faktor yang menjadi pemicu yaitu trauma, infeksi virus,
radiasi dan paparan zat kimia. Osteosarkoma juga dapat di jumpai pada kelainan
genetik seperti penyakit paget dan retinoblastoma herediter.
c. Patofisiologi
Osteosarkoma ini memang belum diketahui secara pasti apa itu penyebabnya
tetapi para peneliti berpendapat bahwa osteosarkoma di sebabkan karena radiasi,
gentik dan mutasi gen. Sehingga terbentuklah tumor, tumor ini akan terus
menyerang jaringan karena tumor ini bersifat ganas dan cenderung pertumbuhanya
lebih cepat dan terganggunya osteoblastik yang fungsinya terganggu sehingga
tidak dapat membentuk tulang yang baru melainkan tumbuh tulang abortif (kanker)
dan tumbuh 2x lebih cepat dan adanya perubahan bentuk tulang yang dapat
menimbulkan komplikasi lain seperti kerusakan kulit karena adanya benjolan dan
lesi.
d. Manifestasi Klinis
Osteosarkoma sering menyerang daerah lutut pada anak-anak atau pun orang
dewasa, osteosarkoma ini paling sering di jumpai pada daerah femur bagian
distalnya, sangat jarang di temukan osteosarkoma ini pada tulang-tulang kecil di
kaki maupun di tangan.
26

Pada anamnesa awal keluhan yang paling sering muncul yaitu nyeri disertai juga
hambatan mobilitas fisik. Kondisi yang dirasakan secara perlahan-pahan nyeri
dirasakan dan adanya kesulitan menggerakan ektremitas. Nyeri makin lama makin
terasa berat, biasanya terdapat benjolan dekat sendi dan sering kali sangat besar
(Zairin, 2016).
BAB III

PENUTUP

Tulang adalah struktur hidup yang tersusun oleh protein dan mineral. Penyusun
utama tulang adalah protein yang disebut kolagen serta mineral tulang (kalsium fosfat).
Lebih dari 99% kalsium tubuh terdapat dalam tulang dan gigi, dan 1% terdapat dalam
darah. Terdapat dua tipe tulang dalam tubuh, yaitu cortical dan trabecular. Ada
beberapa gangguan pada system musculoskeletal diantaranya; 1) Fraktur, adalah patah
tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari
tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. 2) Dilokasi, adalah kondisi
ketika tulang-tulang terlepas dari sendi, dan merupakan keadaan darurat yang
memerlukan pertolongan medis sesegera mungkin. 3) Osteomielitis, adalah infeksi
tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan daripada infeksi jaringan lunak karena
terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan
jaringan dan pembentukan involukrum. 4) Osteosarkoma adalah suatu tumor ganas
yang berada pada tulang, periosteum dan jaringan ikat di luarnya.

27
DAFTAR PUSTAKA

Arifianato. Tanpa tahun. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Fraktur[online].


Tersedia: http://stikeswh.ac.id/psik/files/Askep_Fraktur.pdf. (11 September
2019)
Asikin, dkk. (2018). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Musculoskeletal. Jakarta:
Erlangga
Chris Tanto, F. L. (2014). Kapita Selekta Kedokteran . Jakaarta Pusat: Media
Aesculaptus.
Istianah, N. U. (n.d.). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Katarina, Elvina. (2015). Kecukupan Asupan Nutrisi Untuk Penyembuhan Tulang pada
Pasien Fraktur Di RSUP H.Adam Malik Medan
Noor, Zainur. (2016). Buku Ajar Gangguan Musculoskeletal Edisi 2. Jakarta: Salemba
Medika
Price, Sylvia A.. (2005). Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Sari padiartik. 2009 . Osteosarkoma pada anak di Rs. Dr cipto mangunkusumo
jakarta .[Online] Tersedia:
file:///C:/Users/acer/Downloads/Osteosarkoma_pada_Anak_di_RS_Dr_Cipto_
Mangunkusumo.pdf
Smeltzer, Suzanne & Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Zairin, N. 2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai