Anda di halaman 1dari 118

-::::;:;;; ....

LOGIKA DASAR
tradisional, simbolik, dan induktif

R.G. Soekadijo

-
Gii
P enerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1999
LOGIKA DASAR
tradisional, simbolik, dan induktif
oleh R.G. Soekadijo
GM 204 83.143
Hak cipta dilindungi undang-undang.
All rights reserved
Disain sampul dan peiwajahan oleh !pong Pumama Sidhi
Diterbitkan pertama .k ali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Desember 1983·

Cetakan kedua: Oktober 1997


Cetakan ketiga: September 1988
Cetakan keempat: Mei 1991
Cetakan kelima: Februari 1994
Cetakan. kee:nam: September 1997
Cetakan ketujuh: Oktober 1999

Dicetak oleh Percetakan PT SUN, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab percetakail
DAFTAR ISi
KATA PENGANTAR Xl

BAGIAN PERTAMA: PENDAHULUAN 1

I. LOGIKA 3
A. Pengertian 3
B. Proposisi 4
c. Penalaran 6
D. Logika Formal 7
E. Hukum Penyimpulan 9
IL KESESATAN 11
A. Pengertian 11,
B. Kesesatan karena Bahasa 12
c. Kesesatan Relevansi 14
D. Rasionalitas Kesesatan 21

BAGIAN KEDUA: LOGIKA TRADISIONAL 23

III. PENALARAN LANGSUNG 25


A. Proposisi Kategorik Standar 25
B. Kualitas,, Kuantitas, dan Distribusi 26
C. Lambang Boole dan Diagram Venn 28
D. Bujur Sangkar Perlaw.anan (Opposition) 30
E. Konversi 34
F. Obversi 36
G. Kontraposisi 37
IV. SILOGISME KATEGORIK 40
A. Silogisme Standar 40
B. Prinsip-prinsip Silogisme 41
c. Bentuk Silogisme Menyimpang 42
D. Hukum Silogisme 44
1. Hukum Silogisme mengenai Term 44
2. Hukum Silogisme mengenai Proposisi 45

Vll
· E. Bentuk, Susunan, dan Modus Silogisme 47
F. Bentuk Silogisme yang Sahih 49
G. Teknik Diagram Venn 51
H. Silogisme dalam Komunikasi Sehari-hari 55
1. Entimema 55
2. Polisilogisme dan Sorites 57
3. Epikirema 59

BAGIAN KETIGA: LOGIKA SIMBOLIK 63

V. LOGIKA PROPOSISIONAL 65
A. Logika Kelas dan Logika Proposisional 65
B. Sis tern Lamoang Logika Proposisional 66
C. Perakit 68
1. Negasi 68
2. Konyungsi 69
3. Disyungsi 69
4. Perakit Kondisional 70
5. Perakit Bi-kondisional 71
D. Tabel Kebenaran 72
1. Negasi 72
2. Konyungsi 73
3. Disyungsi 73
4. Implikasi 74
5. Bi-implikasi 75
E. Kegunaan T abel Kebenaran 76
F. Penalaran Sederhana 79
1. Konyungsi 79
2. Disyungsi 80
3. lmplikasi 80
G. Ekuivalensi 85
H. T autologi 86
I. Metode Deduksi 88
J. Penalaran Tidak Sahih 93
K. Kontradiksi 96
VI. LOGIKA KUANTIFIKASIONAL 99
A. Fungsi Proposisional dan Instansiasi 99
B. Kuantifikasi dan Generalisasi 101
C. Membatasi Lingkup Pembicaraan (Universe of Discourse)" 106
D. Kuantifikasi Ganda 107
E. Prinsip-prinsip "Kuantifikasi 110
1. Ekuivalensi Kuantifikasional 110
2. Instansiasi 111
3. Generalisasi 112

Vlll
Deduksi Kuantifikasional 114
G. Pembuktian dengan Menggunakan Anti-argumen 117
H. Menentukan Penalaran Tidak Sahih 120
I. Penalaran A-silogistik 124

BAGIAN KEEMPAT: LOGIKA INDUKTIF 129

VIL LOGIKA INDUKTIF 131


A. Induksi 131
B. Logika dalam Metode Ilmu Pengetahuan 133
C. Generalisasi Induktif 134
1. Syarat Generalisasi 134
2. Bentuk Generalisasi Induktif 135
D. Analogi Induktif 139
1. Analogi sebagai Dasar Induksi 139
2. Bentuk Analogi Induktif 140
3. Kesesatan Generalisasi/Analogi 141
Sebab-akibat 144
1. Sebab-akibat sebagai Dasar Induksi 144
2. Metode Persamaan 146
3. Metode Perbedaan 148
4. Metode Gabungan 149
5. Metode Residu 151
6. Metode Variasi 152
7. Hubungan Sebab-akibat (In;plikasi Empirik) 153
F. Hipotesis 158
1. Hipotesa Ilmiah dan Non-ilmiah 158
2. Hipotesa sebagai Konklusi 161
3. Hipotesa sebagai Eksplanasi 163
G. Probabilitas 169
1. Teori Probabilitas 169
2. Kalkulus Probabilitas 172

LAMPIRAN I : Jawaban Sebagian Soal-soal 181

LAMPIRAN II: Prinsip clan Kaidah-kaidah Logika 199

INDEKS 207

RIWAYAT SINGKAT PENGARANG 211

lX
I
J
KATA PENGANTAR

BUKU INI dimaksudkan sebagai buku teks sederhana bagi mahasiswa, tidak hanya
untuk mahasiswa filsafat, akan tetapi untuk semua mahasiswa, juga untuk mahasiswa
ilmu-ilmu empirik dan eksakta. Isinya tidak ada yang baru, dapat dijumpai dalam
buku-buku logika lain yang semacam. Boleh dikatakan isinya sudah menjadi milik
umum atau sudah menjadi batang tubuh logika.
Meskipun demikian, buku logika seperti ini, kalau tidak salah, adalah yang pertama
dalam bahasa Indonesia. Logika yang diajarkan kepada mahasiswa di Indonesia
terbatas kepada logika tradisional. Ini agaknya peninggalan dari zaman ketika logika
hanya diajarkan sebagai bagian dari metode filsafat. Dengan segala akibatnya:
dirasa sukar, kurang menarik, tidak membekas dalam praktek berpikir mahasiswa
yang tidak mengambil jurusan filsafat.
Bagaimanapun juga pentingnya logika tradisional, pengajaran logika yang terbatas
kepada logika tradisional saja, kurang memadai untuk memupuk ketrampilan
penalaran ilmiah. Ilmu pengetahuan empirik bertolak dari data empirik dan untuk
mengolah data empirik diperlukan logika induktif. Dengan penalaran induktif itu ilmu
pengetahuan berusaha menemukan sifat-sifat dan hukum-hukum alam empirik.
Hukum dan sifat-sifat itu digunakan untuk memahami keadaan yang nyata. Penerapan
itu dikerjakan melalui pemikiran deduktif Kecuali itu, di mana mungkin, ilmu
pengetahuan empirik berusaha merumuskan hasilnya secara kuantitatif. Untuk itu
diperlukan logika yang sesuai: logika simbolik.
Berdasarkan pertimbangan inilah, maka kami membagi buku ini atas empat bagian.
Bagian pertama, Pendahuluan, terdiri dari dua bah. Bab pertama membahas penalaran
pada umumnya serta maksud logika. Bab dua membicarakan masalah kesesatan atau
fallacia. Dua bah pendahuluan ini memberi gambaran ruang lingkup pembahasan
logika. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan logika deduktif - baik dalam
bentuk logika tradisional maupun logika simbolik- dan disusul oleh logika induktif.
Adapun pembagian bab-babnya didasarkan atas perbedaan sistem. Dengan
demikian setiap bah merupakan sebuah sistem logika tersendiri, sehingga di mana
perlu, bah-bah tertentu dapat dilewati tanpa banyak menimbulkan kesulitan untuk
memahami bah yang lain.
Kami merasa, konsepsi pengajaran logika seperti ini akan lebih relevan untuk
praktek pekerjaan ilmiah, khususnya untuk pekerjaan penelitian, meskipun buku ini
bukan buku logika penelitian.

Xl
Meskipun buku logika seperti ini baru yang pertama kali dalam bahasa Indonesia,
kami yakin bahwa gagasan yang melandasinya juga terdapat pada rekan-rekan lain
pengajar logika. Dari mereka dan dari siapa saja yang menaruh perhatian, kami
mengharapkan kritik.

Surakarta, Juni 1982

R.G. Soekadijo
Universitas Sebelas Maret

XU
BAGIAN PERTAMA
PENDAHULUAN

"God has not been so sparing


to men to make them barely
two-legged creatures and left
it to Aristoteles to make
them rational".

John Locke

"An Essay Concerning


Human Understanding"

1
l

BAB I : LOGIKA

KATA "logika" sering terdengar dalam percakapan sehari-hari, biasanya dalam arti
"menurut akal", seperti kalau orang berkata: "Langkah yang diambilnya itu logis'',
atau: "Menurut logikanya ia harus marah". Akan tetapi logika sebagai istilah berarti
suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Maka
untuk memahami apakah logika itu, orang harus mempunyai pengertian yang jelas
tentang penalaran. Penalaran adalah suatu bentuk pemikiran. Adapun bentuk-bentuk
pemikiran yang lain, mulai dari yang paling sederhana ialah: pengertian atau konsep
(conceptus; concept), proposisi atau pernyataan (propositio; statement), clan
penalaran (ratiocinium; reasoning). Tidak ada proposisi tanpa pengertian clan tidak
ada penalaran tanpa proposisi. Maka untuk memahami penalaran, ketiga bentuk
pemikiran harus dipahami bersama-sama.

A. PEN,GERTIAN
Kita mulai, misalnya, dengan pengalaman indera atau observasi empirik: mata
melihat anjing, melihat warna hitam, telinga mendengar suara menggonggong.
Bersamaan dengan aktivitas indera itu terjadilah aktivitas pikiran, yaitu pembentukan
pengertian. Dalam hal ini yang terbentuk ialah pengertian "anjing'', "hi tam", clan
"menggonggong". T epat ticlaknya pengertian itu tergantung clari tepat ticlaknya cara
melakukan observasi clan ini adalah masalah fisik, masalah indera, bukan masalah
pikiran. Sekali inclera mengobservasi, terbentuklah pengertian yang bagi pikiran.
merupakan data dalam proses berfikir lebih lanjut. Karena berasal clari pengalaman
empirik, pengertian itu juga clisebut data empirik. Juga disebut data psikologik, karena
terbentuk melalui proses psikologik, yaitu pengamatan inclera.

Pengertian aclalah sesuatu yang abstrak. Kalau kita hendak menunjuknya,


pengertian itu harus cliganti clengan lambang. Lambangnya yang paling lazim ialah
bahasa. Lambang, di sini bahasa, memiliki sifat-sifat sendiri yang lain claripacla
sifat-sifat clari apa yang dilambangkan, yaitu pengertian. Haros cliperhatikan agar
jangan sampai sifat lambang clianggap sebagai sifat clari apa yang dilambangkan.
Kekurangan perhatian dalam hal ini akan menyesatkan jalannya pikiran. Di clalam.
bahasa, pengertian itu lambangnya berupa kata. Kata sebagai fungsi clari pengertian
disebut term. Berhubung dengan perbeclaan sifat lambang clan yang clilambangkan,
yang terutama harus diperhatikan ialah perbandingan jumlah kata clengan jumlah
pengertian". Perbanclingan itu adalah sebagai berikut:

3
Perbandingan jumlah pengertian dengan jumlah kata.

Penger- Kata Nama term Contoh


~ian

1 1 tunggal gunung; manusia; keadilan


1 2 dst. majemuk Kereta api; Lapangan sepak bola

Perbandingan jumlah term dengan jumlah pengertian.

Term Penger- Nama term Contoh


ti an

1 1 univok guru; sendok makan


1 2 dst. ekuivok bu Ian ( = sate lit bumi) dan bu Ian (= waktu
30 hari)
1 ya 1,
ya 2 analog (orang) sehat, (obat) sehat, (udara) sehat.
dst. ' Semua term 'sehat' mempunyai arti yang sekaligus sama
dari berbeda.

B. PROPOSISI
Bersamaan dengan terjadinya observasi empirik, di dala_m pikiran tidak hanya
terbentuk pengertian, akan tetapi juga terjadj perangkaian dari term-term itu. Tidak
pernah ada pengertian yang berdiri sendiri di dalam pikiran. Rangkaian p~gertian
itulah yang disebut proposisi dan pengertian hanya terdapat dalam proposisi. Dalam
proses pembentukan proposisi itu terjadi dua hal. . !
Per~ama: :-· proses pembent.ukan proposisi terjadi begitu rupa, sehingga ~da
pet;igertian' yang menerangkan tentang pengertian yang lain, atau ada pengertian yang
diingkari tentang pengertian yang lain. Dengan menggunakan contoh tentang anjing di
atas, proses perangkaian itu menghasilkan, misalnya, proposisi sebagai berilrnt:
· "Anjing hitarn' itu menggonggong". · · ... . ,
"Menggonggong" menerangkan tentang '~anj{ng hitam,". Pengerti.an yang
me~erangkan itu disebut predikat, sedang pengertian yang diterangkan disebut
subyek. Kalau predikai itu disingkat menjadi P dan subyek menjadi S,.sedang k:aJa '1~u'
atau fungsi menerangkan itu diberi ianda =, maka pola proposisi itu dapat ditulis: S =
R .
Kalau dalam. proses perangkaian itu terjadi pengingkaran, imika p~oposisi yang
terbentuk menjadi:
. "Anjing hitam itu -tidak menggonggong".
Kalau fungsi pengingi¥tran itu diganti dengan tanda =/:. ., m.aka pola proposisi ingkar
itu menjadi: S # P. · •
Kedua: dalam proses pemhentuka~ proposisi itu sekaligus.terjadi pengakuM b:¥iwa
anjing hit<lm itu memang menggonggong, atau bahwa anjing hitam itu memang tidak
menggonggong. Ar.tinya, proposisi itu me.q..yatak<ln bahwa memahg benar anjing
hitam itu menggonggong atau tidak menggonggong, kebalikannya adalah salah. Dari

4
sini jelaslah, bahwa proposisi itu mengandung sifat benar atau salah. Sebaliknya
pengertian tidak ada hubungannya dengan benar atau salah, pengertian tidak benar
l
tidak salah.
Apa yang dinyatakan di dalam proposisi seperti diatas adalah fakta, yaitu observasi
yang dapat diverifikasi atau diuji kecocokannya secara empirik, dengan menggunakan
indera (an empirically verifiable observation). Bagi pikiran fakta merupakan data
empirik yang tinggal untuk diterima. Betul-tidaknya fakta tergantung kepada
tepat-tidaknya cara dan alat untuk mengadakan observasi. Dan seperti dikatakan di
atas dalam hal pengertian, ini semua bukan masalah untuk pikiran. Karena proposisi
seperti contoh di atas itu didasarkan atas observasi empirik, maka disebut proposisi
empirik. Semua proposisi empirik secara langsung atau tidak langsung kembali kepada
dasar empirik. Proposisi yang langsung kembali kepada observasi empirik disebut
proposisi dasar (basic statement). Tidak semua proposisi merupakan proposisi
empirik. Jadi tidak dapat dicocokkan dengan observasi indera. Akan tetapi sifat
kebenaran atau kesalahannya langsung nampak kepada pikiran dan oleh karenanya
harus diterima. Proposisi yang demikian itu disebut proposisi mutlak (necessary
statement). Proposisi mutlak itu jelas dengan sendirinya (self evident). Misalnya:
"Janda adalah wanita yang pernah kawin". Setiap orang tahu bahwa proposisi ini
benar, meskipun mungkin belum pernah dan juga tidak akan perna:h ada janda. Tanpa
dasar observasi, orang tahu bahwa "Segala sesuatu itu mempunyai sebab", bahwa
"Bagian itu lebih kecil dari yang dibagi".
Proposisi lain yang juga dengan sendirinya jelas benar, misalnya: kesatuan itu sama
dengan jumlah bagian-bagiannya. Berdasarkan azas ini dapatlah, misalnya, diketahui
bahwa 10.000.000 (bagian) + 9. 999. 999 (bagian) = 19.999. 999 (kesatuan), tanpa harus
sungguh-sungguh menghitung terlebih dahulu, suatu pekerjaan yang juga tidak akan
dapat dilaksanakan dengan baik. Tetapi verifikasi empirik secara demikian itu juga
tidak diperlukan.
Dalarn proposisi, predikat dihubungkan dengan subyek. Kalau hubungan itu
bergantung kepada syarat yang harus dipenuhi, proposisinya disebut proposisi
hipotetik. Kalau kaitan di antara subyek dan predikat itu tanpa syarat, proposisinya
disebut proposisi kfltegorik.
Proposisi itu lambangnya dalam bahasa berupa kalimat berita. Hanya kalimat
beritalah merupakan suatu pernyataan yang dapat benar atau salah. Kalimat tanya dan
kalimat perintah bukan lambang proposisi. Kalimat tanya masih mencari apakah ada
hubungan di antara subyek dan predikat. Kalimat perintah justru menuntut adanya
hubungan di antara subyek dan predikat, yang belum ada. Kedua macam kalimat itu
tidak menyatakan adanya suatu kaitan di antara subyek dan predikat, padahal itulah
yang merupakan inti dari proposisi.

Latihan
Proposisi-proposisi di bawah ini empirik atau mutlak?
1. J umlah sudut sebuah segitiga ialah 180°.
':·2. Air mendidih pada suhu 100° C.
3. Setiap benda bertahan dalam keadaan diam atau bergerak teratur, selama tidak ada gaya yang
sanggup mengubah keadaan itu. (Hukum inersia Newton).

5
4. Kualitas tembakau Deli lebih baik daripada tembakau Vorstenlanden.
*5. Meskipun ia seorang sarjana keguruan, belum tentu ia mengajar lebih baik daripada seorang
yang bukan lulusan IKIP.
6. Dua garis yang sejajar tidak pernah bertemu.
7. Semua manusia dapat mati.
•:-g, Semua potret tentu serupa dengan _yang dipotret.
'
Keterangan: Nomor soal yang diberi tanda •< jawabannya dapat dilihat dalam Lampiran 1.

C. PENALARAN
Kita mulai pembahasan proses berfikir dengan bertolak dari pengamatan i_n dera atau
observasi empirik. Proses itu di dalam pikiran menghasilkan sejumlah pengertian dan
proposisi sekaligus. Berdasarkan pengamatan-penganiatan indera yang sejenis,
pikiran menyusun proposisi-proposisi yang sejenis pula. Misalnya: logam 1 dipanasi
dan memuai, logam 2 dipanasi dan memuai, logam 3 dipanasi dan inemuai, dan
seterusnya, katakan, sampai 10 logam. Kalau orang yang mengamati itu 'Sadar akan
kes~maa"n di antara kesepuluh proposisi itu, ia akan mengharapkan, bahwa
logam-logam lain pun kalau · dipanasi juga akan memuai.
Apa yang terjadi dalam proses di atas ialah, bahwa berdasarkan sejumlah proposisi
yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang
sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut pe11alaran. Kalau disusun
secara formal bentuk penalaran itu menjadi sebagai berikut:
Logam 1 dipanasi dan memuai.
Logam 2 dipanasi dan memuai.
Logam 3 ...
Logam 10 dipanasi dan memuai.
Jadi: Logam-logam lain/semua logam yang dipanasi memuai.
Dalam penalaran itu proposisi-proposisi yang menjadi dasar penyimp-uJ,an disebut
antesedens atau premis, sedang kesimpulannya disebut konklusi sering juga
, konsekuens. Di antara premis dan konklusi ada hubungan tertentu. Hubungan. itu
disebut konsekuensi. ·
Kalau penalaran di atas kita perhatikan, jelaslah bahwa konklusinya lebih luas dari
premisny<!. Yang diketahui di dalam premis hanya 10 logatn yang memuai, sedang
konklusinya mengenai semua logam. Di sini terjadilah suatu generalisasi; konklusinya
itu suatu proposisi umum, suatu proposisi universal, yang berlaku secara umum untuk
segala benda. · .
Penalaran yang konklusinya lebih luas daripada premisnya itu disebut penalaran
induktif atau induksi. "Tidak semua induksi konklusinya mesti suatu generalisasi, akan
tetapi mesti lebih luas daripada premisnya.
Di samping induksi ada penalaran deduktif atau deduksi. Di sini konklusinya tidak
lebih luas daripada premisnya. Di dalam dedulisi. dalam premisnya mesti harus ada
proposisi universal. Proposisi universal itu misalnya proposisi: "Semua benda yang
dipanasi memuai" di atas. Kalau kemudian saya mengetahui ban mobil sesuda4
perjalanan itu panas; maka saya tahu atau menyimpulkan bahwa ban tnobil itu telah
memuai. lni suatu penalaran deduk.tif, yang kalau disusun dalam bentuk formal
menjad1 sebagai berikut:

l
Semua benda yang dipanasi memuai.
Ban mobil itu dipanasi (dalam perjalanan).
]adi: Ban mobil itu memuai.

Dalam penalaran-penalaran di atas premisnya terdiri atas lebih dari satu proposisi.
Ada pula penalaran yang premisnya hanya sebuah proposisi clan langsung disusul
dengan proposisi lain sebagai kesimpulannya. Penalaran ini ialah penalaran langsung.
Semua bintang film memakai sabun Lux .
.Tadi: Sebagian pemakai sabun Lux adalah bintang film.

Penalaran itu erat dan dekat sekali artinya dengan penyimpulan, argumen, dan
bukti.
Proses penalaran meliputi aktivitas mencari proposisi-proposisi untuk disusun
menjadi premis, menilai hubungan proposisi-proposisi di dalam premis itu clan
menentukan konklusinya.
Penyimpulan dalam arti yang sebenarnya tidak meliputi aktivitas menemukan
proposisi-proposisi yang disusun dalam premis, akan tetapi hanya menilai hubungan
proposisi-proposisi di dalam premis dan menentukan konklusinya.
Kalau penalaran itu aktivitas pikiran yang abstrak, maka argumen ialah lambangnya
yang berbentuk bahasa atau bentuk-bentuk lambang lainnya. Jadi kalau kata itu
lambang pengertian, kalimat itu lambang proposisi, maka argumen adalah lambang
penalaran.
Akhirnya yang disebut bukti itu ialah argumen yang berhasil menentukan
kebenaran konklusi dari premis.

D. LOGIKA FORMAL
Kalau orang mengadakan penalaran, maksudnya ialah untuk menemukan
kebenaran, artinya konklusinya harus berupa proposisi yang benar. Untuk mencapai
maksud itu, penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki, artinya b~rtolak
dari apa yang diketahui benar, yaitu memang benar, atau benar-benar salah. Dalam
bentuk penalaran, pengetahuan yang menjadi dasar konklusi itu ialah premis. Jadi
semua proposisi di dalam premis itu harus benar. Ini adalah syarat pertama untuk
mencapai konklusi yang benar dan berhubungan dengan pemilihan proposisi dalam
aktivitas penalaran.
Aktivitas penalaran juga meliputi penyusunan proposisi-proposisi itu menjadi
premis yang dijadikan dasar penyimpulan. Kalau susunan premis tidak tepat, tidak
dapat dijadikan pangkal untuk menarik kesimpulan yang benar, seperti terbukti dari
contoh berikut:
Semua pegawai negeri adalah penerima gaji. (BENAR)
Semua pegawai swasta adalah penerima gaji. (BENAR)
]adi: Pegawai negeri adalah pegawai swasta. (SALAH)
Contoh susunan penalaran yang tepat adalah sebagai berikut:
Semua pencuri adalah penjahat. {BENAR)

7
Gatotkaca adalah pencuri. (BENAR)
]adi: Gatotkaca adalah penjahat. (BENAR)
Bahwa susunan di atas tepat, dapat diketahui berdasarkan konklusinya yang benar,
sedang premisnya juga benar. Kalau penalaran yang tepat di atas dikosongkan dari isi
atau , maknanya dengan menghapus pengertian-peng_ertian di dalamnya dan
menggantinya dengan tanda-tanda huruf terdapatlah pola penyusunan it'-! sebagai
berikut:
Semua a adalah c
b adalah a
Jadi: b adalah c·
Pola susunan penalaran itu disebut bentuk penalaran. Penalaran dengan bentuk yang
tepat disebut penalaran yang tepat, yang sahib (valid).
Semua penalaran, apapun isi atau maknanya 1 asal bentuknya tepat, dapat dipastikan
konklusinya tentu benar. J adi tanda-tanda a, b, c itu dapat diganti dengan pengertian
apa saja, asal premisnya benar kesimpulannya juga tentu benar. Misalnya, bentuk di
atas dapat dijadikan penalaran berikut:
Semua puteri Sala itu wanita yang luwes.
R.S. Ani itu puteri Sala.
]adi: R.S. Ani itu wanita yang luwes.
Menentukan bentuk-bentuk penalaran yang bagaimanakah yang tepat dan
syarat-syarat apakah yang 1iarus dipenuhi, itulah yang menjadi tugas logika.
Bentuk penalaran itll_a tidak hanya mengenai soal susun-menyusun proposisi menjadi
premis, akan tetapi jutfa mengenai bentuk atau struktur proposisinya. Meskipun pola
susunannya sama, akan tetapi kalau struktur proposisinya didalam premi.s berubah,
mungkin penalarannya menjadi tidak tepat, bentuknya tidak sahih. Kalau dalam
contoh terakhir di atas, 'Semua puteri Sala' diganti dengan 'Ada puteri Sala', maka
struktur proposisi pertama berubah clan penalarannya merijadi:
Ada puteri Sala yang wanita luwes.
R.S. Ani adalah puteri Sala.
Jadi : R. S. Ani adaiah wanita luwes.
Jelaslah bahwa kesimpulan di atas tidak dapat diturunkan dari premisnya. Jadi bentuk
penalaran itu tidak tepat dan penalarannya tidak sahih. Penalaran di atas kedua
proposisi premisnya benar, akan tetapi konklusinya salah. Kesesatan penalaran yang
menarik konklusi yang salah dari premis yang b.enar itu disebut kesesatan .n on
sequitur, lengkapnya: 'Non sequitur conciusio premissos', konklusinya tidak
menurut premis-premisnya.
Dari uraian-uraian di atas jelaslah agaknya apa yang ditulis dalam Encyclopedia
Britannica (1972, s. v.) mengenai logika:
"Logika ialah studi sistematik. tentang struktur proposisi dan syarat-syarat umum
mengenai penalaran yang sahib dengan menggunakan metode yang mengesampingkan
isi atau bahan proposisi dan hanya /membahas bentuk logisnya saja. Perbedaanantara
benwk dan ·bahan ini diadakan apabila kita membedakan ketepat:m logik (LOGICAL

8
SOUNDNESS) atau kesahihan (VALIDITY) sebuah penalaran dengan kebenaran
premis-premisnya, yang menjadi pangkal tolaknya, .......... "
Logika seperti diuraikan di atas hanya membahas bentuk penalaran dan oleh
karenanya dahulu disebut logika formal, untuk membedakannya dengan logika
material, yaitu logika yang membahas penalaran dari segi isi atau bahannya. Dalam
konsensus sekarang, yang disebut logika itu ialah logika formal, kecuali kalau
jelas-jelas yang dimaksud lain.
Sebagai penutup bab tentang penalaran dapatlah secara eksplisit dicatat apa yang
secara implisit telah dijelaskan di atas, bahwa 'benar' itu tidak sama dengan 'logis'.
Yang benar adalah proposisi clan berarti ada kesesuaian antara subyek clan predikat:
proposisi itu konsisten. Yang logis adalah penalaran clan berarti p~ran itu
mempunyai bentuk yang tepat: penalaran itu sahih. /

E. HUKUM PENYIMPULAN
Penalaran adalah proses berfikir, yang berdasarkan premis yang benar menarik
konklusi yang benar pula. Dan ini dicapai kalau bentuk penalarannya sahih.
Berdasarkan asumsi bahwa bentuk penalaran itu sahih, maka hubungan kebenaran
antara premis clan konklusi itu dapat dirumuskan sebagai hukum-hukurri berikut:
1. Apabila premisnya benar, konklusi penalaran adalah benar.
Hukum ini cukup jelas, sebab konklusi itu terkandung di dalam premis. Maka
kalau premisnya benar, konklusinya tentu juga harus benar.
Sebaliknya apabila konklusinya salah, maka kesalahan itu tentu disebabkan karena
premisnya sudah salah. Kesalahan konklusi sudah terkandung dalam premis yang
salah. Maka hukum penyimpulan yang kedua dapat dirumuskan:
2. Apabila konklusi penalaran salah, maka premisnya juga salah.
Akan tetapi apabila premis penalaran salah, belum tentu konklusinya salah,
seperti terlihat pada contoh berikut:
Premis salah Malaikat itu benda fisik Premis dapat salah.
t Batu itu malaikat. i
Konklusi dapat Jadi: Batu itu benda fisik. Konklusi benar.
benar.
Maka hukum penyimpulan ketiga .ialah:
3. Apabila premisnya salah, konklusi penalaran dapat benar dapat salah.
Akan tetapi apabila konklusinya benar, belum tentu premisnya benar. lni jelas
dari contoh di atas. Apabila kita bertolak dari konklusinya yang benar, terbukti
premisnya salah. Maka hukum yang keempat dapat berbunyi demikian:
4. Apabila konklusinya benar, premis penalaran dapat benar dapat salah.

Latihan
I. Isilah titik di bawah ini dengan kata 'benar', 'salah' atau 'salah/benar'!
1. Maior benar; minor benar; Konklus.i .... .
•:·2. Maior benar; minor salah; Konklusi .... .

9
3. Maior salah; mm or benar; Konklusi .. ...
*4. Maior salah; mmor salah; Konklusi .....
5. Mai or ....., mmor benar; Konklusi salah.
6. Maior benar; mm or .... . ; Konklusi benar.
*7. Mai or ..... , mmor salah; Konklusi salah.
8. Maior salah; mm or ... .. ; Konklusi benar.
':·9. Maior ..... , mmor ..... ; Konklusi salah.
10. Maior ..... , mmor .. ... ; Konklusi benar.
II. Benar atau salahkah konklusi di bawah ini?
1. Maior benar; mm or benar; Konklusi benar.
~-2. Maior benar; mm or benar; Konklusi salah.
3. Maior benar; mmor salah; Konklusi benar.
~'4. Maio~r"'-...benar; mmor salah; Konklusi salah.
5. Mai or salah; mmor salah; Konklusi salah.

10
BAB II KESESATAN

The logic-in-use is embedded


in a matrix of an a-logic-in
use, even an il-logic-in-use.
Abraham Kaplan
"The Conduct of Inquiry"

A. PENGERTIAN
LOGIKA lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat barat di Yunani. Dalam usaha
untuk 'memasarkan' pikiran-pikirannya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang yang
satu mencoba membantah pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan
penalarannya. Maka sejak semula logika telah menaruh perhatian atas kesesatan
penalaran dan telah ditemukan sejumlah tipe kesesatan penalaran. Tipe kesesatan
penalaran inilah yang di sini ·dengan singkat disebut kesesatan (fallacia/ fallacy).
Kalau disebut adanya tipe kesesatan, ini tidak berarti bahwa semua tipe kesesatan
telah diketahui, sehingga dapat disusun suatu klasifikasi kesesatan. Tidak ada
klasifikasi kesesatan yang memadai yang diterima oleh umum. Dan kiranya sulit
diharapkan akan ad~nya klasifikasi kesesatan yang memadai itu. Cara bagaimana
penalaran manusia dapat tersesat, tiada batasnya. Aris'°teles sendiri hanya
menyebutkan tiga belas tipe, sedang ahli-ahli logika modern dewasa ini mengenal lebih
dari seratus tipe. Banyak tipe kesesatan itu diwariskan dengan membawa nama Laiin,
yang juga akan digm~akan di sini.
Kesesatan dalam penalaran itu dapat terjadi karena yang sesat itu, karena sesuatu
hal, kelihatan masuk akal. Kalau orang mengemukakan sebuah penalaran yang sesat
dan ia sendiri tidak melihat kesesatannya, penalaran itu disebut paralogis. Kalau
penalaran yang sesat itu dengan sengaja digunakan untuk menyesatkan orang lain,
maka ini disebut sofisme.
Kalau di sini diadakan pengelompokan kesesatan, hal ini tidak dimaksudkan sebagai
suatu klasifikasi, akan tetapi sekedar sebagai suatu cara untuk mempermudah
pem bahasannya.
Penalaran dapat sesat karena bentuknya tidak tepat, tidak sahih. Kesesatan
demikian itu adalah kesesatan formal. Kesesatan formal terjadi karena pelanggaran
terhadap kaidah-kaidah logika. · Dalam membahas kaidah-kaidah logika, juga
disinggung tentang pelanggarannya. Latihan-latihan mengenai kaidah logika tid~
hanya mengenai penerapannya yang tepat akan tetapi juga mengenai kesesatannya.

11
Penalaran juga dapat sesat karena tidak ada hubungan logis antara premis clan
konklusi. Kesesatan demikian itu adalah kesesatan relevansi mengenai materi
penalaran.
Banyak kesesatan terjadi karena sifat bahasa. Di bawah ini terlebih dahulu akan
dibahas kesesatan yang terjadi karena bahasa sebelum membicarakan kesesatan
relevansi.

B. KESESATAN KARENA BAHASA


Kata-kata dalam bahasa dapat memiliki arti yang berbeda-beda, clan setiap kata
dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang sesuai dengan arti kalimat yang
bersangkutan. Maka meskipun kata-nya sama, dalam kalimat yang berbeda, kata
dapat bervariasi artinya.
Hal yang sama kita jumpai sehubungan dengan kalimat. Sebuah kalimat dengan
struktur tertentu dapat mempunyai arti lebih dari satu, clan arti kalimat juga
tergantung dari konteksnya, sehingga arti kalimat yang sama dapat bervariasi dalam
konteks yang berbeda. _
Ketidakseksamaan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat itu dapat
menimbulkan kesesatan penalaran. Kesesatan karena oahasa itu biasanya hilang atau
berubah kalau penalaran dari satu bahasa disalin ke dalam bahasa yang lain. Kalau
penalaran itu diberi bentuk lambang, kesesatan itu akan hilang sama sekali. Justru
lambang-larribang dalam logika diciptakan untuk menghindari adanya ketidakpastian
arti dalam bahasa. .
Berikut ini beberapa kesesatan karena bahasa.
1. Kesesatan karena aksen atau tekanan
Dalam ucapan tiap-tiap kata ada sukukata yang diberi tekanan. Perubahan tekanan
dapat membawa perubahan arti. Maka kurang perhatian terhadap tekanan ucapan
dapat mengakibatkan perbedaan arti clan kesesatan penalaran. Contoh:
Tiap pagi pasukan mengadakan apel.
Apel itu buah.
]adi: Tiap pagi pasukan mengadakan buah.
2. Kesesatan karena term ekuivok
Term ekuivok itu term yang mempunyai lebih dari satu arti. Kalau dalam satu
penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah term yang sama, terjadilah kesesatan
penalaran. Contoh: .
Sifat abadi adalah sifat ilahi.
Adam adalah mahasiswa abadi.
]adi: Adam adalah mahasiswa yang bersifat ilahi.
3. Kesesatan karena arti kiasan (metaphora)
Ada analogi antara arti kiasan clan arti sebenarnya, artinya: ada persamaan clan ada
perbedaannya (lihat paragiaf VII.D.1.). Kalau dalam suatu penalaran sebuah arti kiasan
disamakan dengan arti sebenamya atau sebaliknya, terjadilah kesesatan karena arti
kiasan. ·

12
-,
Rupanya agak luar biasa apabila orang mencampuradukkan arti sebenarnya clan arti
kiasan dari suatu kata atau ungkapan. Kesesatan itu sering disengaja dalam lawak.

4. Kesesatan karena amfiboli (amphibolia)


Amfiboli terjadi kalau konstruksi sebuah kalimat itu demikian rupa, sehingga artinya
menjadi bercabang. Misalnya:
Mahasiswa yang duduk di atas meja yang paling depan ...
Apa yang paling depan, mahasiswanya atau mejanya?
"The duke yet lives that Henry shall depose". (Shakespeare: King Henry Vl)
Apakah the duke akan menjatuhkan raja Henry ataukah raja Henry yang akan
menjatuhkan the duke. Kalau dalam sebuah penalaran kalimat amfibol itu didalam
premis digunakan dalam arti yang satu, sedang di dalam konklusi artinya berbeda,
maka terjadilah kesesatan karena amfiboli itu.
Di atas sudah diingatkan, bahwa pengelompokan pembahasan di sini tidak
dimaksud sebagai klasifikasi. Bahwa kesesatan itu tidak dapat dibagi atas: kesesatan
; karena bahasa, kesesatan formal, clan kesesatan relevansi; antara lain terbukti kalau
kita memperhatikan kesesatan karena aksen, karena term ekuivok, clan karena arti
kiasan. Kesesatan mengenai aksen, arti kiasan clan term ekuivok itu sebenarnya telah
menimbulkan penalaran dengan empat term, yang melanggar kaidah logika. Jadi
kesesatan-kesesatan itu dapat dikembalikan menjadi kesesatan formal. Dalam bahasa
Latin nama kesesatan karena empat term itu disebut quaterna terminorum.

Latihan
Telitilah penalaran di bawah ini. Kalau sesat, karena apa penalaran itu sesat?
1. Empu pembuat keris boleh dikatakan sekarang telah hilang dalam masyarakat.
Raden Projocurigo itu empu pembuat keris.
Jadi: Raden Projocurigo itu boleh dikatakan telah hilang dalam masyarakat.
2. Alkisah, Croesus, raja Lydia, ingin menaklukkan Cyrus raja Persia. Untuk mengetahui nasib
yang dihadapinya kalau ia melawan Cyrus, ia mengunjungi ahli nujum tersohor Di Delphi. Sang
ahli nujum meramalkan: "Kalau Croesus melawan Cyrus, sebuah tentara besar akan
dihancurkan!". Croesus mengangkat senjata melawan Cyrus clan tentaranya binasa. Terbukti ia
menarik kesimpulan yang salah.
3. Yang dimaksud dengan pepatah "mereka yang hendak mengatur kehidupan nasional, harus
mulai dengan mengatur kehidupan rumahtangganya", ialah demikian: Tidak ada orang yang
gagal mengajar anggota-anggota keluarganya sendiri, akan tetapi mampu mengajar orang lain di
luar keluarganya. Oleh karena itu orang besar menyebarkan kebudayaannya pada seluruh bangsa
dengan hanya tinggal di rumahnya sendiri. Mengajar kealiman pada anak adalah persiapan untuk
mengabdi pada penguasa negara; ajaran untuk menghormati saudara tua adalah persiapan untuk
mengabdi pada semua orang tua di seluruh negara; dan mengajarkan keramahtamahan pada
orang tua adalah latihan untuk memerintah suatu bangsa. (Confucius).

13
. 4. Sebuah iklan di surat kabar:

BERHADIAH!

Dengan Uang
Rp 90.000,-
Anda sudah memiliki
dan bergaya bersama

SINTER GT 0

Hadiah

0 Jaket
0 Kalender
0 Gantungan kunci.
Untuk keterangan lebil') lanjut hubungi

".................. Motor Company"


dst.

5. Kebebasan adalah hak azasi manusia.


Hukum adalah peraturan yang membatasi kebebasan manusia.
Yang membatasi kebebasan manu~ia itu bertentangan dengan hak azasi manusia.
·" Hukum itu bertentangan dengan hak azasi manusia.

·c. KESESATAN RELEVANSI


Kesesatan relevansi timbul kalau orang menur'unkan suatu konklusi yang tidak
. relevan dengan premisnya, artinya: secara logis konklusi tidak terkandu:ng atau tidak
merupakan implikasi dari premisnya. Di bawah ini sejumlah kesesatan relevansi yang
banyak _terjadi. Yang lazim digunakan, nama Latinnya kita pertahankan.

1. Argumcntum ad homincm
Kesesatan ini terjadi kalau kita berusaha agar orang menerima atau menolak sesuatu
usul, tidak berdasarkan alasan penalaran, akan tetapi karena alasan yang berhubungan
dengan kepentingan atau keadaan orang yang mengusulkan atau yang diusuli.
Misalnya, orang menolak land reform, karena pembagian tanah itu sesuatu yang selalu
dituntut oleh orang komunis. Jadi alasannya: usul land reform itu perbuatan orang
komunis clan perbuatan orang komunis itu jahat.
Contoh lain: Seorang terdakwa berusaha mendapat hukuman seringan mungkin
dengan mengatakan bahwa penderitaan yang ditimpakan oleh hakim kepadanya
dengan hukuman yang diputuskannya, tentu akan berbalik menimpa sang hakim atau
keluarganya.
2. Argumentum ad verecundiam atau argumentum auctoritatis
Kesesatan ini juga menerima atau menolak sesuatu tidak berdasarkan nilai
penalarannya, akan tetapi karena orang yang mengemukakannya adalah orang yang
berwibawa, dapat dipercaya, seorang ahli. Secara logis seharusnya orang tidak
menggantungkan diri kepada pendapat orang lain yang dianggap ahli itu. Keahlian,
kepandaian, atau kebaikan justru harus dibuktikan dengan penalarannya yang tepat,
tidak sebaliknya. Pepatah Latin berbunyi: Tantum valet auctoritas, quantum valet
argumentatio; Nilai wibawa itu hanya setinggi nilai argumentasinya.

3. Argumentum ad baculum
Baculum artinya tongkat. Kesesatan ini timbul kalau penerimaan atau penolakan suatu
penalaran didasarkan atas adanya ancaman hukuman. Kalau tidak menyetujui, akan
dihukum: dipenj arakan, dipukuli, dipersulit hid upnya. T eror pad a hakekatnya adalah
paksaan untuk menerima sesuatu gagasan atau penalaran karena ketakutan. Ini
argumentum ad baculum.

4. Argumentum ad misericordiam
Penalaran yang ditujukan untuk menimbulkan belas kasihan agar dapat di terima
disebut argumentum ad misericordiam. Argumen yang demikian itu biasanya
berhubungan dengan usaha agar sesuatu perbuatan dimaafkan. Sering dalam sebuah
pengadilan seorang terdakwa mengajukan argumen ini untuk menimbulkan belas
kasihan kepada hakim. Misalnya dengan mengingatkan hakim bahwa ia mempunyai
isteri dan anak-anak yang hidupnya tergantung kepadanya, bahwa isterinya sedang
sakit keras, dan sebagainya.

5. Argumentum ad populum
Argumentum ad populum ditujukan kepada 'rakyat', kepada suatu massa, kepada
pendengar orang banyak. Pembuktian sesuatu secara logis tidak dipentingkan. Yang
diutamakan ialah menggugah perasaan massa pendengar, membangkitkan semangat
atau membakar emosi pendengar agar menerima suatu konklusi tertentu. Suatu
pembaharuan yang tidak disetujui mungkin disebut 'petualangan yang tidak
bertanggungjawab', sedang keadaan lama yang hendak dipertahankan disebut 'suatu
pembangunan yang mantap'. Sebaliknya pembaharuan yang disetujui menjadi
'kemajuan tehnik yang membuka sejarah baru' sedang keadaan lama yang tidak
disetujui menjadi 'sesuatu yang sudah usang dan ketinggalan jaman'. Argumentum ad
populum itu banyak kita jumpai dalam kampanye politik, pidato-pidato, demonstrasi,
dan propaganda.

6. Kesesatan non causa pro causa


Kesesatan ini terjadi apabila kita menganggap sesuatu sebagai sebab, padahal
sebenarnya bukan sebab, atau bukan sebab yang lengkap. Anggaplah telah terjadi
peristiwa berikut. Adam ditodong dan dalam pergumulan yang terjadi, Adam kena
sabet clurit si penodong dan Adam meninggal. Orang banyak yang datang menolong,
semua mengatakan bahwa Adam meninggal disebabkan oleh sabetan clurit penodong.
Akan tetapi visum et repertum dokter menyatakan: Adam mempunyai penyakit
jantung, dan kemungkinan besar ia meninggal karena serangan jantung. Luka sabetan

15
clurit tidak mungkin menimbulkan kematian, akan tetapi agaknya pergumulan dengan
penodong itu menaikkan emosinya, sehingga mengakibatkan serangan jantung. Di
sini serangan jantung adalah kondisi memadai (sufficient condition), penyakit jantung
Adam adalah kondisi mutlak (necessary condition) clan kondisi-kondisi inilah yang
menyebabkan Adam. meninggal. Pergumulan dengan penodong, luka sabetan clurit
clan kenaikan emosi Adam bukan yang menyebabkannya meninggal. Kalau orang lain
yang mengalaminya, ia tidak akan meninggal. Jadi orang banyak telah sesat dalam
menarik konklusi: bukan sebab dikiranya sebab. Sering juga apa yang terjadi sesudah
suatu kejadian lain dianggap sebagai akibat dari kejadian lain itu, sedang kejadian lain
itu dianggap sebagai sebabnya. Misalnya seorang pasien meninggal sesudah disuntik
oleh seorang dokter. Ini suatu kesesatan penalaran. Urutan waktu saja tidak
menunjukkan hubungan sebab-akibat. Kesesatan ini memiliki nama sendiri: post hoc
ergo propter hoc, sesudah itu, jadi karena itu. ·

7. Kesesatan aksidensi
Kesesatan karena aksidensi terjadi kalau kita menerapkan prinsip atau pernyataan
um um kepada peristiwa ataU: .peristiwa-peristiwa tertentu yang karena keadaannya
yang bersifat aksidental menyebabkan penerapan itu tidak cocok. Sifat atau kondisi
yang aksidental ialah sifat atau kondisi yang kebetulan, yang tidak harus ada, yang
tidak mutlak. Bahwa Adam mengalami kecelakaan, itu suatu kondisi yang aksidental
bagi Adam; Adam tidak harus mengalami kecelakaan. Kalau seorang memberi susu
dan buah-buahan, kepada bayinya meskipun bayi itu sakit, dengan pengertian bahwa
susu clan buah-buahan itu baik bagi bayi, maka si ibu tersebut telah melakukan
penalaran yang sesat karena aksidensi. Kondisi aksidental dari bayinya yang.sedang
sakit mencret menyebabkan prinsip umum itu dalam hal ini tidak berlaku. Makan
adalah suatu perbuatan yang baik. Akan tetapi kalau kita makan pada waktu harus
berpuasa, maka penalaran kita sesat karena aksidensi.

8. Kesesatan karena komposisi dan divisi


Ada predikat-predikat yang hanya mengenai individu-individu suatu kelompok
kolektif. Kalau kita menyimpulkan bahwa predikat itu juga berlaku untuk kelompok
kolektif selutuhnya, penalaran kita sesat karena komposisi. Misalnya, dari adanya
anggota-anggota polisi yang menggunakan senjatanya untuk menodong, kita
simpulkan bahwa korps kepolisian itu terdiri atas penjahat. Sebaliknya kalau ada
predikat yang berlaku untuk suatu kelompok kolektif dan berdasarkan hal itu
disimpulkan bahwa setiap anggota dari kelompok kolektif itu tentu juga menyandang
predikat itu, maka penalaran itu sesat karena divisi. Kesesatan komposisi dan divisi itu
tidak hanya mengenai kelompok kolektif dengan anggotanya, akan tetapi juga
mengenai sebuah kesatuan dengan bagian-bagiannya. Misalnya, kalau sebuah rumah
itu besar, 'itu tidak berarti bahwa kamar-kamar didalamnya tentu juga besar. Kalau
film itu bagus belum tentu semua pemerannya .bermain bagus.

9. Petitio principii
Dalam usaha untuk membuktikan sesuatu, dapat terjadi bahwa dalam penalaran yang
kita susun, kita menggunakan konklusinya atau apa yang hendak kjta buktikan itu
sebagai premi~. Sudah tentu dengan kata-kata atau ungkapan yang berbeda dengan

16
bunyi konklusinya. Kalau sama tentu kesesatannya sudah nampak seketika clan dapat
diperbaiki. Kesesatan penalaran seperti itu disebut petitio principii. Penalaran berikut
adalah sebuah petitio principii.
Orang harus berlaku adil, karena itu adalah perintah Tuhan, yang tercantum dalam
Kitab Suci.
Sebagai alasan atau premis dikemukakan bahwa: Kitab Suci itu berisi perintah
Tuhan.
Di sini dibuktikan bahwa perintah Tuhan itu tercantum dalam Kitab Suci karena
Kitab Suci itu berisi perintah Tuhan.
Kalau secara ilmiah orang menyimpulkan bahwa teori evolusi tentang asal-usul
manusia dari makhluk purba semacam kera itu benar clan sebagai buktinya
dikemukakan bahwa fosil-fosil purba menunjukkan adanya makhluk yang
menyerupai manusia yang memiliki sejumlah ciri-ciri kera, maka kesimpulan itu
adalah suatu petitio principii. Fosil-fosil itu hanya dapat dianggap sebagai bukti
kebenaran teori evolusi kalau fosil-fosil itu diterangkan menurut teori evolusi. Yang
tepat ialah mengatakan bahwa fosil-fosil itu tidak bertentangan dengan teori evolusi,
sehingga dapat dianggap memperkuat teori itu.
Sering petitio principii itu berlingkar: A dibuktikan dengan B, B dibuktikan dengan
C, C dibuktikan dengan D, clan D dibuktikan dengan A. Bentuk petitio principii yang
demikian itu disebut circulus vitiosus.

10. Ignoratio elenchi


Kesesatan ignoratio elenchi terjadi apabila konklusi yang diturunkan dari premis tidak
relevan dengan premis itu. Sebenarnya argumentum ad hominem, ad verecundiam, ad
baculum, clan ad populum semuanya termasuk kesesatan ignoratio elenchi, karena di
antara konklusi clan premisnya tidak ada relevansinya. Akan tetapi yang disebut
ignoratio elenchi itu biasanya kesesatan penalaran yang tidak disebabkan karena
bahasa. ,Kalau misalnya dalam suatu pengadilan seorang pembela dengan panjang le bar
berhasil membuktikan bahwa pembunuhan itu suatu perbuatan yang sangat keji dan
terkutuk, dan kemudian menarik kesimpulan bahwa terdakwa yang dibelanya tidak
mungkin melakukan perbuatan sejahat itu, maka penalarannya sesat karena ignoratio
elen chi. Yang diperlukan premis yang dapat membuktikan bahwa terdakwa tidak
melakukan pembunuhan, bukan bahwa pembunuhan suatu perbuatan yang jahat.
Kesalahan yang sama dilakukan oleh anggota DPRD yang menyetujui dan dengan
sangat mendesak agar peraturan daerah mengenai retribusi sampah disahkan, karena
tumpukan sampah merusak keindahan dan kebersihan kota serta berbahaya untuk
kesehatan. Yang harus dibuktikan ialah bahwa peraturan retribusi seperti yang
dibicarakan itu harus. diterima, bukan bahwa sampah itu begini atau begitu.

11. Kesesatan karena pertanyaan yang kompleks


Sebuah pertanyaan atau perintah, sering kali bukan pertanyaan tunggal, yang dapat
dijawab dengan tepat dengan satu jawaban, meskipun pertanyaannya berbentuk
kalimat tunggal. Rumah itu terdiri atas bagian-bagian apa? Dapat dijawab: atap,
dinding, langit-langit, clan sebagainya; atau ruang makan, ruang tamu, dan
sebagainya; dan dapat diberi jawaban-jawaban lain. Pertanyaan itu sebetulnya terdiri
atas sejumlah pertanyaan. Demikian juga perintah untuk menyebutkan jenis-jenis

17
kalimat dapat dijawab: kalimat tanya dan kalimat berita, atau kalimat pasif dan aktif,
atau biasa saja kalimat panjang dan kalimat pendek. Kalau kita bertanya: Jam berapa
kamu bangun?, maka pertanyaan itu tidak kompleks karena terdiri atas lebih dari satu
pertanyaan, akan tetapi karena pertanyaan itu mengandung sebuah pernyataan di
dalamnya, yaitu: bahwa kamu tadinya tidur. Kalau ASEAN menuntut supaya Viet
Nam menarik mundur tentaranya dari Kampuchea, di dalamnya terkandung
pernyataan, bahwa tentara Viet Nam telah memasuki Kampuchea dengan tidak sah.
Kalau perjanjian Camp David mengenai otonomi Palestina ditafsirkan berbeda oleh
Mesir dan Israel, itu disebabkan karena bunyi kalimat-kalimat yang bersangkutan
mengandung makna yang kompleks, sehingga negara yang satu da.Pat menunjuk
makna yang lain daripada yang ditunjuk oleh negara lainnya. Biasanya suatu
persetujuan diplomatik memang mengandung makna majemuk, yang kelak dapat
ditafsirkan menurut situasi.

J2. Argumentum ad ignorantiam . .


Argumentum ad ignorantiam adalah J?enalaran yang menyimJ?ulkan suatu konklusi
atas dasar bahwa negasinya tidak terbukti salah, atau yang menyimpulkan bahwa
sesuatu konklusi itu salah karena negasinya tidak terbukti benar. Menyimpulkan
bahwa tidak ada makhluk 'badan halus' karena adanya makhluk yang demikian itu
tidak dapat kita lihat, sama saja dengan mengatakan bahwa dikepulauan Paskah tidak
ada piramida karena kita tidak mengetahui adanya piramida di sana. Kedua-duanya
adalah kesesatan argumentum ad ignorantiam. Dalam peristiwa melemparkan dadu
ada. ekuiposibilitas mengenai hasil lemparannya. Ini disimpulkan kalau tidak ada
sesuatu yang dapat diketahui yang menyebabkan ekuiposibilitas.itu tidak ada, artinya:
sesuatu yang membuat lemparan itu cenderung mencapai hasil tertentu. Inipl!n suatu
argumentum ad ignorantiam.

Latihan
Socrates, filsuf besar Yunani guru Plato, dihukum mati minum tacun atas tuduhan' telah metusak
moral kaum remaja, sehingga mereka menjadi ateis. Plato mengarang 'Apologia' yang berisi
·pembelaan Socrates di peng~ilan. Pemeriksaan perkara dilakukan di tempat umum di depan
umum. (Kutipan-kutipan di bawah ini diterjemahkan dari: Saxe Commins and Robert N. Linscott
"The Social Philosophers", Modem Pocket Library). Kutipan-kutipan di bawah ini diangkat dari
pidato Socrates tersebut dan masing-masing berupa penalaran. Telitilah apakah penalaran-penalaran
itu mengandi.mg kesesatan atau tidak. Kalau terdapat kesesatan, kesesatan apa atau karena apa?
1. Socrates berkata bahwa ia, menjadi filsuf atas perintah Dewa melalui seorang ahli nujum.
"Orang-orang Athena, atas perintah jenderal-jenderal yang saudara pilih sebagai pemimpin
1

saya di Potidaea dan Amphiplis dan Delium, seperti orang-orang lain saya tetap berada di
tempat, di mana mereka menempatkan saya., menghadapi bahaya maut. Akan sungguh ganjil,
kalau sekatang saya akan meninggalkan tempat karena takut mati atau karena ketakutan lain,
sedang saya mengetahui dan menganggap bahwa De"(l;"a me.merintahkan kepada saya untuk
melak,sanakan tugas seorang filsuf, yaitu meneliti diri~ya sendiri dan diri orang lain. ltu akan
sungguh ganjil dan tepatlah kalau saya akan dituntut di pengadilan karena mengingkari adanya
dewa-dewa, apabila saya karena takut mati tidak mentaati kata-kata sang ahli nujum, dengan
menganggap diriku pandai sedang saya tidak pandai."
*2. "Dan inil.ih yang benar, orang-orang Athena, yang sungguh-sungguh benar; tidak ada yang
saya sembunyikan, tidak .ada yang saya kurangi. Akan tetapi saya tahu bahwa keterusterangan

18
kata-kata saya menyebabkan saya dibenci oleh mereka dan apa kebencian mereka itu kalau
bukan bukti bahwa apa yang saya katakan itu benar?"
3. "Saya ingin saudara ketahui bahwa kalau saudara membunuh seorang seperti saya ini, saudara
akan lebih banyak merugikan saudara sendiri daripada diri saya. Tidak ada orang yang akan
merugikan saya, Meletus tidak dan Anytus pun (dua orang yang menuntut Socrates) tidak,
sebab tidak boleh jadi bahwa orang yang lebih jelek akan merugikan orang yang lebih baik
daripadanya. Saya tidak berkata bahwa Anytus barangkali tidak akan membunuhnya atau akan
mengasingkannya atau mencabut haknya sebagai warganegara, dan boleh jadi ia mengira dan
orang-orang lain pun mengira bahwa ia telah menimpakan kerugian besar di atasnya, akan tetapi
dalam hal ini saya tidak setuju. Sebab kejahatan seperti yang dilakukannya, kejahatan mencabut
nyawa orang lain secara tidak adil, adalah sesuatu yang lebih merugikan bagi dirinya sendiri."
':"4. "Orang-orang Athena, sekarang saya tidak berbicara untuk kepentingan saya sendiri, seperti
dugaan saudara, akan tetapi untuk kepentingan saudara, agar saudara tidak berdosa terhadap
Dewa karena menghukum saya, karena saya ini anugerah-Nya kepada saudara-saudara. Sebab
kalau saudara membunuh saya, saudara tidak akan mudah mencari pengganti saya. Kalau saya
boleh menggunakan ungkapan yang menggelikan, saya ini serangga pengganggu,
dianugerahkan oleh Dewa kepada negara; dan negara itu seekor kuda yang besar dan bagus,
yang karena besarnya lamban gerakan-gerakannya dan harus dirangsang untuk bergerak.
Sayalah serangga pengganggu yang dicampakkan kepada negara oleh Dewa dan sepanjang hari
dan di mana-mana saya selalu mengganggu saudara, merangsang, membujuk, dan mencela
saudara. Tidak mudah saudara akan menemukan orang seperti saya, dan oleh karena itu saya
nasehatkan kepada saudara untuk tidak membunuh saya."
5. "Kalau saya berkata bahwa saya ini anugerah Dewa kepada saudara-saudara, buktinya adalah
sebagai berikut: Kalau saya seperti orang-orang lain, saya tidak akan menelantarkan semua
keinginan saya atau dengan tenang-tenang menyaksikan semua itu terlantar selama
bertahun-tahun 1 dan malah;in memperhatikan kepentingan saudara-saudara; datang kepada
saudara-saudara secara perorangan seperti seorang ayah atau saudara tua dan menasehati
saudara agar mengutamakan kebijakan. Sikap seperti itu, menurut saya, tidak sesuai dengan
kodrat manusia. Andaikata saya mendapat keuntungan atau andaikata nasehat say a itu dibayar,
akan sedikit masuk akal bahwa saya. berbuat demikian. Akan tetapi sekarang, seperti saudara
lihat, bahkan pendakwa-pendakwa saya yang lancang itu tidak berani mengatakan bahwa saya
pernah menarik atau meminta bayaran dari seseorang. Mereka tidak mempunyai saksi untuk
itu. Dan saya punya bukti cukup mengenai kebenaran dari apa yang saya katakan: kemelaratan
saya."
6. "Barangkali ada orang yang bertanya-tanya mengapa saya sebagai orang swasta terus saja
memberi nasehat dan mengurusi kepentingan orang lain, akan tetapi tidak berani. tampil di
depan umum dan memberi nasehat kepada negara. Akan saya beritahu mengapa,
saudara-saudara. Pada berbagai waktu dan di bermacam-macam tempat saudara telah
mendengar saya berbicara tentang ahli nujum atau isyarat yang telah saya terima, yaitu Dewa
yang dicemoohkan oleh Meletus dalam tuduhannya. Isyarat itu, yang berupa semacam suara,
pertama-tama saya dengar ketika saya masih kanak-kanak. lsyarat itu selalu melarang, akan
tetapi tidak pernah memerintahkan apa saja yang hendak saya kerjakan. ltulah yang merintangi
say a untuk. menjadi seorang politikus."
''7. "Tentang apa yang saya katakan itu saya dapat memberi bukti yang meyakinkan kepada
saudara, tidak hanya berupa kata-kata, akan tetapi yang jauh lebih berharga bagi
saudara-saudara: perbuatan. Perkenankanlah saya menceritakan sekelumit riwayat saya
sendiri, yang akan membuktikan kepada saudara-saudara bahwa saya tidak pernah menyerah
kepada ketidakadilan karena takut mati, dan bahwa karena saya harus menolak untuk menyerah
maka saya harus mati seketika. Akan saya ceritakan kepada saudara-saudara sebuah peristiwa di
pengadilan, barangkali bagi saudara-saudara tidak begitu menarik, akan tetapi meskipun
demikian sungguh-sungguh terjadi. Satu-satunya jabatan pemerintahan yang pernah saya
duduki, ya orang-orang Athena, ialah jabatan senator. Suku Antiochis, yaitu suku saya,
menjabat ketua dalam pengadilan jenderal-jenderal yang tidak mengurusi mayat-mayat
perajurit yang terbunuh seusai pertempuran di Arginusae. Dan saudara-saudara (orang Athena)

19
mengusulkan agar mereka diadili secara bersama-sama, bertentangan dengan peraturan hukum,
seperti pendapat saudara-saudara kemudian. Akan tetapi pada waktu itu saya satu-satunya
orang di antara para Prytanes yang menentang ilegalitas itu, dan saya memberikan suara saya
menentang saudara-saudara. Dan ketika orang-orang yang angkat bicara kemudian mengancam
akan menuntut dan menangkap saya dan ketika saudara mencacimaki dan berteriak-teriak, saya
mengambil keputusan bahwa saya harus menerima risiko itu karena didukung oleh
undang-undang dan keadilan, daripada ikut serta dalam ketidakadilan karena takut
dipenjarakan dan takut mati."
8. "Kalau saya masih atau pernah merusak moral kaum remaja, mereka yang sekarang telah
dewasa dan sadar bahwa saya telah memberi nasehat yang jahat pada waktu mereka masih
remaja, seharusnya tampil ke depan sebagai penuntut dan menggunakan kesempatan untuk
membalas dendam; .. . Banyak di amara mereka saya lihat di pengadilan ini ... . (Socrates
menyebut sederetan nama-nama)... Saya dapat menyebut banyak nama-nama lain dan di
antaranya ada yang sebetulnya oleh Meletus dapat diajukan sebagai saksi selama ia berpidato.
Dan kalau ia tadi lupa, biarlah ia sekarang memanggil mereka itu, - saya akan memberi
kesempatan kepadanya. Dan biarlah ia memberitahu, kalau ada saksi seperti itu yang dapat
ditampilkannya. Nah, orang-orang Athena, ·justru kebalikannya yang benar. Sebab semua
mereka itu siap untuk menjadi saksi dari perusak moral mereka, dari orang yang merugikan
keluarga mereka, sebutan yang diberikan oleh Meletus dan Anytus kepada saya; bukan hanya
kaum remaja yang bejat moralnya - barangkali itu ada sebabnya - akan tetapi juga keluarga
mereka yang lebih tua. Mengapa merekapun akan menyokong saya dengan kesaksian mereka?
Sungguh, mengapa, kalau tidak demi kebenaran dan keadilan dan karena mereka tahu bahwa
perkataan saya benar, dan bahwa Meletus adalah pembohong."
''9. "Tetapi sepatah kata lagi. Barangkali ada orang yang merasa tersinggung, kalau ia mengingat
bagaimana ia sendiri dalam situasi yang semacam atau yang bahkan tidak begitu serius, dengan
mencucurkan air mata mohon belas kasihan para hakim dan bagaimana ia membawa-bawa
anak-anaknya ke pengadilan, yang menimbulkan pemandangan yang memilukan,
bersama-sama dengan rombongan kenalan dan kawan-kawan, sedang saya, yang barangkali
dapat kehilangan nyawa, tidak mau berbuat hal-hal semacam itu. Perbedaannya barangkali
akan menyolok baginya dan barangkali ia akan membenci saya dan karena amarahnya ikut
memberikan suara karena hal itu menyebabkannya tidak senang kepada saya. Kalau ada yang
demikian di antara saudara-saudara - ingat saya tidak berkata bahwa ada saudara yang
demikian - kepadanya dengan terus terang saya menjawab: Sahabat, saya ini manusia, dan
seperti manusia-manusia lain, saya terdiri atas daging dan darah dan tidak atas 'kayu dan batu'
seperti kata Homerus. Dan saya memiliki keluarga, memang, anak lelaki, hai orang Athena.
Tiga orang jumlahnya, yang seorang hampir dewasa dan yang dua lainnya masih muda.
Meskipun demikian, saya tidak akan membawa mereka kemari untuk mo hon ·kepada
saudara-saudara agar membebaskan saya."
10. "Apakah saya takut menghadapi maut atau tidak, adalah soal lain yang pada waktu ini tidak
hendak saya bicarakan. Akan tetapi karena mengingat pendapat umum, saya kira sikap yang
demikian itu akan hina bagi saya dan bagi saudara-saudara serta bagi seluruh negara. Orang
yang sudah setua saya clan yang terkenal karena kepandaiannya, seharusnya tidak merendahkan
diri. Apakah anggapan tentang saya itu pada tempatnya atau tidak, bagaimanapun juga umum
telah mencap bahwa dalam beberapa hal Socrates itu melebihi orang lain. Kalau di antara
saudara-saudara yang dikatakan berlebih dalam hal kepandaian dan keberanian ada yang .
merendahkan diri seperti itu, betapa memalukan sikapnya itu. Saya telah menyaksikan
orang-orang terkenal, yang setelah dijatuhi hukuman, tingkahlakunya menjadi sangat aneh.
Agaknya mereka itu berfikir bahwa mereka akan mengalami sesuatu yang mengerikan kalau
mereka mati dan bahwa inereka akan hidup selama-lamanya, asal saja mereka dibiarkan hidup.
Dan saya berpendapat bahwa ha! seperti itu menjatuhkan nama negara clan bahwa setiap orang
asing yang datang akan berkata bahwa orang Athena yang paling hebat, yang oleh orang Athena
sendiri diberi kedudukan clan kekuasaan, tidak lebih daripada orang pererilpuan. Dan saya
berkata bahwa ~ta-kita yang mempunyai nama seharusnya tidak berbuat seperti itu clan kalau

20
l
ada yang berbuat demikian, saudara harus melarangnya. Sebaiknya saudara menunjukkan
bahwa saudara jauh lebih cenderung untuk menghukum orang yang menimbulkan adegan yang
memalukan dan membuat kota kita menjadi bahan tertawaan, daripada menghukum orang yang
tetap bersikap tenang."

D. RASIONALITAS KESESATAN
lstilah 'fallacy' yang kita Indonesiakan dengan 'kesesatan' adalah istilah yang sudah
mapan dalam logika, akan tetapi sebenarnya dapat menyesatkan. Tidak semua
'kesesatan' mesti dan selalu penalaran yang sesat, seperti terbukti dari soal-soal latihan
yang kita turunkan dari pidato pembelaan Socrates. Kesesatan-kesesatan di dalam
pidato itu semuanya mempunyai kekuatan untuk meyakinkan dan dapat diterima oleh
akal, memiliki nilai rasionalitas dan merupakan penalaran yang tepat. Kesesatan yang
mana yang tidak pernah tepat dan yang mana dapat tepat dan dapat tidak tepat?
Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa ada implikasi logis, implikasi definisional,
kausal atau empirik, dan intensional (hlm. 70-71). Penalaran yang berdasarkan
implikasi logis tidak sahih, mungkin dapat disusun demikian rupa sehingga
m~ngandung implikasi kausal, misalnya. Dan berdasarkan implikasi kausal ini
mungkin penalaran itu sahih.
Masalah kesesatan seperti dibicarakan di sini adalah masalah yang diwariskan oleh
Aristoteles clan oleh karenanya hanya mengenai penalaran decluktif. Perbedaan
tafsiran mengenai implikasi dalam penalaran yang dianggap sesat dapat terjacli karena
kesesatan itu biasanya tidak tersusun sebagai silogisme formal, kebanyakan berbentuk
entimema. Kesesatan bertolak dari konklusi yang seharusnya atau yang telah ditarik,
- clan dikatakan bahwa untuk mencapai konklusi itu premisnya tidak tepat. Ini
berarti bahwa dalam entimema itu orang harus menemukan atau memilih sendiri
premis yang tidak ditegaskan itu. Kalau premis yang satu yang clipilih, penalarannya
sesat, akan tetapi kalau premis lain yang clipilih, mungkin penalarannya sahih.
Misalnya: berkali-kali clalam peristiwa penoclongan atau perampokan ada oknum
baju hijau yang terlibat. Ini faktanya. Dari pihak Pemerintah terdengar himbauan agar
orang jangan menyimpulkan bahwa tentara itu terdiri atas perarnpok dan penodong.
Di sini clitegaskan, bahwa penalaran seperti itu sesat, tidak sahih. Bentuknya
entimema. Bahwa penalaran itu tidak sahih, dasarnya ialah premisnya, di sini
maiornya, yang dipilih. Penalaran pihak Pemerintah itu kalau disusun sebagai
silogisme formal menjadi demikian:
Apa yang berlaku untuk anggota sesuatu kelompok, ticlak dapat diterapkan
untuk kelornpok seluruhnya.
Oknum-okm1m baju hijau yang ikut menodong clan merampok itu adalah
anggota sesuatu kelornpok.
]adi: menodong clan merampok ticlak clapat diterapkan untuk kelornpok
seluruhnya, di sini tentara.
Maior penalaran di atas adalah hukum logika mengenai term kolektif. Jadi
penalarannya berdasarkan implikasi logis. Kesesatannya adalah kesesatan karena
komposisi clan divisi.
Akan tetapi juga clapat dipilih maior. yang berbeda sebagai berikut:

21
Apa yang terjadi sejumlah kali (dapat diharapkan) akan selalu terjadi.
Sejumlah kali terjadi oknum baju hijau menodong dan merampok. Jadi (dapat
diharapkan) oknum baju hijau akan selalu menodong dan merampok.
Meskipun konklusinya berlawanan dengan penalaran yang pertama, penalaran ini pun
adalah sahih. Akan tetapi maiornya bukan hukum logika. Maiornya, diketahui
berdasarkan pengalaman empirik, seperti kalau dikatakan bahwa semua logam yang
dipanasi itu memuai. Dasarnya ialah karena sejumlah kali terbukti bahwa logam yang
dipanasi itu memuai. Jadi dasar pen.alaran ini ialah implikasi empirik atau kausaL
Penalaran deduktif yang berdasarkan implikasi kausal juga dapat disusun sebagai
induksi. Penalaran di atas dalam bentuk induksi menjadi demikian:
Oknum baju hijau A menodong dan merampok.
Oknum baju hijau B menodong dan merampok.
Oknum baju hijau C, D, E, F, G .... menodpng dan merampok.
Jadi: Semua oknum baju hijau menodong dan merampok.
Penalaran di atas adalah generalisasi induktif biasa. Konklusi kedua penalaran di atas
berbeda nilai rasionalitasnya. Kesimpulan suatu deduksi adalah kepastian, sedang
kesimpulan suatu induksi suatu probabilitas atau peluang.
Contoh lain: dalam suatu pemilihan umum orang memilih partai politik tertentu atas
dasar persetujuan dengan prinsip dan program partai yang bersangkutan. Ini suatu
konsensus politik. Jadi di antara pilihan saya dan dasamya ada implikasi definisional.
Kalau saya memilih suatu partai karena takut dipecat, maka ini suatu penalaran yang
sesat, suatu ignoratio elenchi.
Kesesatan itu dapat menjadi penalaran yang sahih kalau kita lihat atas dasar implikasi
intensional. Silogismenya menjadi:
Barang siapa tidak memilih partai ·x, tentu dipecat dari pekerjaan. (implikasi
intensional).
Saya tidak ingin dipecat dari pekerjaan.
]adi: saya tidak tidak memilih partai X =:= saya memilih partai X.
Dari contoh-contoh di atas jelaslah bahwa penalaran yang sesat itu dapat sekaligus
sahih atas dasar implikasi yang berlainan, kalau bentuknya suatu entimema.
· Jadi kalau bentuknya suatu silogisme lengkap tidak mungkin ada perbedaan tafsiran
mengenai implikasi dalam penalaran. Perbedaan juga tidak mungkin terjadi apabila
dalam entimema itu yang tidak dinyatakan adalah konklusinya. Dalam susunan premis
yang lengkap dasar implikasi penalaran sudah ditegaskan.
Kesesatan yang terjadi atas dasar bahasa selalu sesat. Salah arti mengenai kata atau
kalimat menyebabkan sebuah kalimat atau kata berubah maknanya. Dengan demikian
tidak ada implikasi antara premis dan konklusinya.

22
BAGIAN KEDUA

LOGIKA TRADISIONAL

The jaws of logic must be known


a priori or not at all.

Alfred Cyril Ewing


"The fundamental questions
of Philosophy"

23
BAB Ill : PENALARAN LANGSUNG
A. PROPOSISI KATEGORIK STANDAR
lstilah 'penalaran langsung' berasal dari Aristoteles untuk menunjuk penalaran,
yang premisnya hanya terdiri dari sebuah proposisi saja. Konklusinya ditarik langsung
dari proposisi yang satu itu dengan memhandingkan subyek dan predikatnya.
Sistem logika yang mengenai penalaran langsung itu didasarkan atas proposisi
kategorik bentuk S = P seperti dijelaskan di atas. Dalam bentuk proposisi kategorik
yang demikian itu baik term untuk subyek maupun untuk predikatnya menunjuk
kepada suatu substantif, dan dalam bahasa herupa kata benda. Kaitan antara subyek
dan predikat herdiri sendiri dan disebut kopula. Contohnya: "Kerbau (kata benda) itu
(kopula) binatang (kata benda)." Bentuk ini adalah bentuk proposisi kategorik yang
dipakai sehagai standar dalam sistem Aristoteles. Proposisi-proposisi kategorik yang
?e.rbeda bentuknya, harus dikembalikan kepada bentuk proposisi kategorik standar
llll.

Banyak proposisi kategori~, yang predikatnya tidak menunjuk suatu .substantif,


akan tetapi suatu sifat. Misalnya: "Burung bangau itu putih. ", "Lukisan itu bagus."
Untuk mengubah proposisi kategorik yang demikian itu menjadi berhentuk standar, .
substansi yang memiliki sifat itu harus disebutkan. Dengan perubahan itu proposisi di
'atas menjadi proposisi kategorik standar sebagai berikut:."Burung bangau itu burung
putih"; "Lukisan itu sesuatu yang bagus".
Dalam proposisi ·kategorik standar kopula itu lambangnya dalam bahasa herupa
kata-kata 'adalah', 'itu', 'ialah', 'sama dengan' dan sebagainya. Ada kalimat-kalimat
yang tidak memakal kopula, akan tetapi menggunakan term yang menunjuk suatu
aktivitas. Misalnya: "Tidak semua burung berkicau"; ula sedang makan". Aktivitas
. itF mesti ada yang melakukan dan karena yang melakukannya itu sama dengan subyek
proposisi, maka tanpa · menimbulkan kesalahpahaman subyek yang melakukan
aktivitas itu tidak diulangi. Untuk mengembalikan proposisi semacam itu menjadi
berbentuk standar, subyek yang melakukan aktivitas itu harus dinyatakan secara
eksplisit. Proposisinya yang standar menjadi: "Tidak semua burung adalah bunmg
yang berkicau" dan "Ia adalah orang .yang sedang inakan".
Kemungkinan penyimpangan dari bentuk standar juga dapat terjadi karena susunan
proposisi tidak mengiKuti pola S = P. Misalnya: ''.Yang berseragam itu semuariya
anggota KORPRI". Bentuknya yang standar adalah "Sernua yang berseragam adalah
anggota KORPRI".

2S
Proposisi berikut ini menyimpang karena susunannya dan predikat yang menunjuk
sifat: "Masih ada gajah liar". Bentuknya yang standar menjadi: "Sebagian gajah adalah
binatang yang masih liar".
Proposisi "Anjing itu semuanya dapat menggonggong" menyimpang karena
susunannya dan predikatnya yang berupa aktivitas. Bentuknya yang standar adalah:
"Semua anjing adalah binatang yang dapat menggonggong".
Kemungkinan penyimpangan proposisi kategorik dari bentuk standar juga dapat
terjadi karena proposisinya tidak lengkap. Proposisi yang tidak lengkap harm.
dipahami berdasarkan konteksnya. Misalnya: "Siapa yang mengembalikan buku
tadi ?" - "Sardi." J awaban yang hanya satu kata itu adalah sebuah proposisi tidak
lengkap. Bentuknya yang lengkap dan standar ialah: "Sardi adalah orang yang
mengembalikan buku tadi".

Latihan
. Kenibalikanlah proposisi-proposisi di bawah ini ke dalam bentuk yang standar. Ingatlah bahwa
lambang subyek dan predikat dapat terdiri atas lebih dari satu kata.
Dari sebuah berita suratkabar:
1. Enam mobil berhasil disita dari seorang pedagang krupuk di Cengkareng.
''2. Satgas 25 Ranmor sudah lama mencurigai AF pengusaha krupuk di Tegal Alur itu.
3. Di rumah/pabrik itu tersimpan beberapa mobil yang diduga berasal dari kejahatan.
*4. Nomor-nomor pada kendaraan itu ada yang tidak dari Kodak, akan tetapi buatan sendiri.
5. Kemudian ada pula nomor B 12220 K pada sebuah sedan Toyota Corona berwarna hijau
militer. ·
6. Temyata nomor itu adalah nomor mobil Morris yang sudah 'mati'.
· *7. Nomor itu ternyata dihidupkan ke~bali pada mobil Toyota tersebut.
8. Ber_dasarkan kenyataan-kenyataan itulah polisi bergerak.
*9. Polisi memeriksa sejumlah mobil di tempat AF tersebut.
10. Ha~ilnya, enam mobil diduga keras berasal dari kejahatan.

B. KUALITAS, KUANTITAS, DIS1RIBUSI


Aristoteles membe_dakan proposisi kategorik berdasarkan kualitas dan kuantitas-
nya. Yang dimaksud dengan kualitas proposisi ialah ada-tidaknya hubung_an di antara
subyek dan predikat. Kalau hubungan itu ada, maka proposisi itu. afirmatif: S = P.
Kalau hubungan itu tidak ada, maka itulah proposisi negatif: S =I:- P.
Konsep kuantitas itu mer'upakan salah satu konsep inti dalam sistem logika dan
digunakan untuk menemukan bermacam-macam syarat penalaran. Maka perlu ada
pengertian yang jelas tentang hal-hal yang berhubungan dengan kuantitas proposisi.
Setiap term di dalam proposisi itu menunjuk kepada sebuah konsep, misalnya konsep
'manusia'. Konsep 'manusia' itu dikenakan kepada setiap individu yang manusia: si
Sarta, si Sarti, si Dani, J antje, Mary, dan seterusnya. 'Manusia' itu bukan si Dani atau
John, akan tetapi kumpulan semua individu yang memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu:
ciri-ciri manusia. Kumpulan dari apa yang memiliki ciri-ciri yang sama itu disebut
kelas. Individu-individu yang termasuk kumpulan itu disebut anggota kelas. Si Mary,
si John, si Sarti adalah anggota-anggota dari kelas 'manusia'. Si Dani, si Mary, si Sarti
semuanya adalah wanita dan merupakan anggota-anggota dari kelas 'wanita'. Yang

26
penting dari konsep kelas ini ialah, bahwa ciri-ciri tertentu dari kelas itu hams jelas,
tegas, sehingga dapat ditentukan apa saja yang termasuk kelas itu apa saja yang tidak.
Sudah kita ketahui, bahwa konsep itu selalu terdapat di dalam proposisi, jadi selalu
l
sebagai konsep yang memiliki fungsi, baik sebagai subyek maupun predikat. Konsep
yang berfungsi itu tidak selalu digunakan untuk menunjuk semua anggotanya.
Misalnya dalam proposisi "Parta adalah mahasiswa", konsep 'mahasiswa' itu tidak
menunjuk kepada semua mahasiswa, akan tetapi hanya kepada seorang saja, yaitu
mahasiswa Parta, atau jelasnya: Parta adalah seorang mahasiswa. Dalam hubungan ini
Aristoteles menurunkan konsep distribusi.
Yang disebut distribusi dari sebuah term ialah sebaran atau penggunaan term yang
meliputi semua anggotanya secara individual, satu demi satu, jadi tidak scbagai
kelompok. Term yang berdistribusi itu disebut term universal. Term yang tidak
berdistribusi hanya meliputi sebagian dari semua anggotanya, yaitu satu atau lebih.
Term yang hanya meliputi satu anggotanya saj a atau lebih, akan tetapi tidak semuanya,
disebut term partikulir.
Konsep-konsep 'distribusi', 'universal' clan 'partikulir' itu konsep-konsep yang
mengenai jumlah atau kuantitas term, baik term sebagai subyek atau sebagai predikat.
Kuantitas subyek itu menentukan kuantitas proposisi: proposisi yang subyeknya
universal adalah proposisi universal, yang subyeknya partikulir adalah proposisi
partikulir.
Semua proposisi tentu universal atau partikulir clan sekaligus tentu juga negatif
atau afirmatif. Jadi semua proposisi tentu memiliki ciri kuantitatif dan kualitatif
sekaligus. Berdasarkan ciri ganda ini ada empat macam proposisi yang sejak abad
pertengahan diberi nama proposisi A, E, I clan 0.
Proposisi A = proposisi afirmatif universal: Semua S adalah P.
Proposisi E = proposisi negatif universal: Semua S bukan P.
Proposisi I = proposisi afirmatif partikulir: Sebagian S adalah P.
Proposisi 0 = proposisi negatif partikulir: Sebagian S bukan P.
Distribusi term di dalam proposisi A, E, I, dan 0 tersebut adalah sebagai berikut:
Dalam proposisi universal (A clan E) term subyeknya berdistribusi.
Dalam proposisi partikulir (I dan 0) term subyeknya tidak berdistribusi.
Hal di atas adalah jelas dari penggunaan term-term seperti: semua .... atau sebagian ....
dan sebagainya, yang juga dapat diketahui dari konteksnya.
Dalam proposisi afirmatif, term predikatnya tidak berdistribusi. Misalnya dalam
proposisi "Anjing adalah binatang menyusui". Term predikat 'binatang menyusui' di
sini artinya: sebagian dari binatang menyusui. Dalam proposisi negatif, term
predikatnya berdistribusi. Misalnya: "Apollo itu bukan pencuri". Term predikat
'pencuri' di sini berarti 'Semua pencuri'. Di antara semua pencuri, Apollo tidak ada.

.
Dalam diagram distribusi term-term dalam proposisi itu sebagai berikut:
ITerm subyek berdistribusi I
~
• Term predikat t- A: Semua S = P E: Semua S *' P -+ Term predikat
· tidak
berdistribusi f- I: Sebagian S = P 0: Sebagian S -:/= P ~ berdistribusi
i '--~~~~~

T_e_r_m-su_b_y_e_k_ti_d-ak-b-er-d-is-tr-ib-u-si....,
r-1

27
Latihan
Ambillah proposisi dari Latihan A dan katakan p;oposisi-proposisi tersebut termasuk proposisi
jeni~ yang J"?ana: A, E, I, atau 0. Berdistribusi atau tidakkah subyek dan predikat proposisi itu
masmg-masmg?

C. LAMBANG BOOLE DAN DIAGRAM VENN


Perkembangan logika selalu melalui garis yang sudah ditarik oleh Ar.lstoteles dan
baru s.ej_ak akhir abad ke-18 mulai ada pemikiran-pemikiran baru. Mulailah kelahiran
logika modem yang menggunakan fambang-lambang non bahasa. Sistem lambang
yang berhubungan dengan proposisi kategorik pokok-pokoknya adalah s~bagai
berikut: .
George Boole, seorang ahli matematika Inggris (1815-1864), menggarap Logika
Aristoteles sebagai aljabar. Dalam sistemnya setiap kelas dilambangkan dengan huruf.
Misalnya P melambangkan suatu kelas yang berfungsi sebagai predikat dalam
proposisi. Kalau diberi coret di atasnya: P, berartinon-P. Konsep sentral dalam sistem
Boole ialah konsep 'kelas kosc;mg', artinya suatu kelas yang tidak mempunyai anggota.
Kelas kosong dilambangkan sebagai 0. Dua huruf berturut-turut melambangkan
suatu kelas yang memiliki ciri-ciri kedua kelas itu bersama-sama. SP adalah kelas yang
memiliki ciri-ciri kelas S clan l{elas P bersama-sama. Ditambah dengan penggunaan
tanda-tanda =clan -:/:-, proposisi A, E, I, dan 0 dalam sistem Boole lambangnya
menjadi demikian:
A Semua S adalah P. Ini semakna dengan proposisi:
S yang bukan P adalah kelas kosong. Lambangnya: Sf = 0.
E Semua S adalah bukan P. Ini semakna dengan proposisi:
S yang P adalah kelas kosong. Lambangnya: SP= 0.
I Sebagian S adalah P. Ini semakna dengan ·proposisi:
S yang P adalah bukan kelas kosong. Lambangnya: SP -:/:- 0.
0 Sebagian S adalah bukan P. Ini semakna dengan proposisi:
S. yang bukan P adalah bukan kelas kosong. SP :I: 0.
Seorang ahli matematika lain, John Venn (l 834-1923) menggunakan diagram untuk
. menjelaskan lambang-lambang dalam sistem Boole. Kelas digambarkan sebagai
lingkaran dengan tanda huruf untuk menyatakan kelas apakah yang dimaksud. Kalau
kelas itu kosong, lingkaran ~tu disaput hitam, kalau kelas itu mempunyai anggota di
dalam lingkaran diberi tanda ·~

Gambar 1.

s= 0.

Kelas S = kosong Kelas S tidak kosong

28
Dalam sebuah proposisi kate_gorik ada dua kelas, yang satu berhubungan dengan yang
lain dengan cara tertentu. Ini digambarkan sebagai dua lingkaran yang saling
memotong (Gambar 2). Ada bagian lingkaran Syang tidak masuk dalam lingkaran P; ·
ini menggambarkan anggota-anggota kelas S yang tidak sekaligus menjadi anggota
kelas P, jadi: SP..Di samping itu ada anggota kelas P yang tidak sekaligus menjadi
anggota kelas S. Ini adalah: SP..Sebaliknya ada bagian dari lingkaran Syang sekaligus
merupakan bagian dari lingk.iran P. Ini menggambarkan anggota-anggota yang
sekaligus termasuk kelas S dan kelas P, jadi: SP.

Gambar 2.

Dengan dasar s'eperti itu, semua jenis proposisi, A, E, I, dan 0 dapat dengan mudah
diwujudkan sebagai diagram.

Proposisi A : Semua S adalah P, atau SP = 0. Gambar 3.


Dalam diagram bagian ~P disaput
hitam, berarti kruong (Gambar 3).

Proposisi E Semua S a_d alah bukan P; SP = 0. Gambar 4


Dalam diagram bagian SP disaput'
hitam, berarti kosong (Gambar ~ ).

Proposisi I Sebagian S adalah P: SP =/=. 0. Gambar 5.


Bagian SP pada diagram diberi tanda
\ yang berarti tidak kosong (Gambar
5).

Proposisi_0 Sebagian S adalah bukan P: SP-:/:. 0. . Gambar 6.


Bagian SP diberi tanda ·~, berarti .
tidak kosong (Gambar 6).

29
\
Latihan
Tulislah proposisi di bawah ini dengan lambang-lambang Boole!
1. Gangguan keamanan belakangan ini sangat memprihatinkan.
*2. Para penodong tidak segan-segan beraksi di siang hari bolong.
3. Mereka tidak jarang menembak mati korbannya.
*4. Tidak semua penjahat dapat dibekuk batang lehemya.
5. Penjahat yang tertangkap menghadapi hukuman berat, biasanya.
6. Kerbau itu binatang bertanduk.
*7. Beberapa jenis anjing itu sangat ganas.
8. Tidak ada binatang yang tidak takut kepada manusia.
*9. Semua binatang hanya dapat hidup di lingkungan tertentu.
10. Banyak pemuda kini kecanduan ganja.

Latihan
Buatlah diagram Venn dari proposisi-proposisi di bawah ini!

1. Beberapa filsuf sebelum Aristoteles sudah mulai membahas inasalah-masalah logika.


*2. Logika tradisional adalah sistem ciptaan Aristoteles.
3. lstilah Logika tidak berasal dari Aristoteles.
*4. Tujuan logika ialah untuk meningkatkan kemampuan berfikir tepat.
5. Setiap mahasiswa harus mengerti logika.
6. Belajar logika memerlukan ketekunan berlatih.
*7. Secara operasional, logika menganalisa bahasa.
8. Proposisi ialah rakitan beberapa pengertian.
*~. Alam semesta hanya dapat dipahami dengan penalaran yang tepat.
10. Pikiran manusia tidak diciptakan untuk bedikir tidak tepat.

D. BUJUR SANGKAR PERLAWANAN (Opposition)


Dalam penalaran langsung premisnya hanya terdiri atas satu proposm, yang
langsung digunakan untuk menarik konklusi. Ini berarti bahwa proposisi yang satu
diikuti oleh proposisi yang lain demikian rupa, sehingga kalau proposisi yang satu
benar, yang lain juga benar. Karena proposisi kategorik yang standar itu hanya empat
bentuknya: A, E, I, dan 0, maka salah satu dari keempat bentuk itulah yang menjadi
premis dan salah satu di antaranya pula yang menjadi konklusinya, dengan catatan
bahwa konklusi dan premisnya tidak boleh identik. Maka kemungkinan
bentuk-bentuk penalaran langsung itu ialah:

Premis AAA.EEE I I I 000


Konklusi EIO AIO AEO A E I

Tidak sem.ua bentuk ini sahih. Yang mana sahih dan bagaimana konklusinya,
tergantung kepada cara penyimpulannya. Salah satu di antara cara-cara itu
memanfaatkan adanya perlawanan di antara proposisi-proposisi A, E, I, 0. Kalau
proposisi-proposisi tersebut dibandingkan yang satu dengan yang lain, terbukti
hubungan di antaranya merupakan hubungan perlawanan.
Proposisi A dan E berlawanan menurut kualitasnya. Semua termnya adalah sama,
akan tetapi Proposisi A afirmatif, sedang E negatif. Perlawanan ini disebut perlawanan

30
kontrarik. Proposisi yang saling berlawanan secara kontrarik, tidak dapat
kedua-duanya benar, akan tetapi dapat kedua-duanya salah. Jadi kalau yang satu
salah, yang lain mungkin benar mungkin salah. Untuk jelasnya lihat contoh proposisi
A dan E dalam diagram di bawah.
Proposisi I dan 0 seluruhnya sama, kecuali bahwa yang satu itu proposisi
afirmatif, yang lainnya negatif. Perlawanan yang terdapat di antara dua proposisi
partikulir mengenai kualitasnya itu disebut perlawanan subkontrarik. Dua proposisi
yang berlawanan secara demikian itu tidak dapat kedua-duanya salah, akan tetapi
dapat kedua-duanya benar. Untuk jelasnya, bandingkan proposisi I dan 0 dalam
diagram di bawah.
Proposisi A dan I berlawan menurut kuantitasnya. Proposi.si A adalah universal,
sedang proposisi I partikulir. Perlawanan yang demikian itu disebut perlawanan
subalternasi. Subalternasi juga terdapat di antara proposisi E dan O. Dalam
perlawanan subalternasi, kalau proposisi yang universal benar, yang partikulir juga ·
benar, akan tetapi tidak sebaliknya.
Kalau proposisi yang partikulir salah, yang universal juga salah, akan tetapi tidak
sebaliknya. Untuk jelasnya bandingkan proposisi Adan I dalam diagram di bawah dan
proposisi E dan 0.
Proposisi A dan 0 berlawanan baik mengenai kualitas maupun kuantitasnya.,
Hubungan yang sama juga terdapat di antara proposisi E dan I. Perlawanan ini
perlawanan pertentangan dan disebut perlawanan kontradiktorik. Di sini kalau
proposisi yang satu benar lainnya pasti salah dan sebaliknya. Bandingkan contoh
proposisi-proposisi yang bersangkutan pada diagram di bawah. ·
Kalau semua perlawanan di atas didiagramkan, dengan hubungan horisontal
menyatakan perlawanan kualitas dan yang vertikal menyatakan perlawanan kuantitas,
maka terdapatlah yang disebut bujur sangkar perlawanan sebagai berikut:

Perlawanan Kualitas - - - - - - -

~A Contoh: Semua sar-



E------....,

Contoh: Semua sar-


jana adalah orang (
Kontrarik jana adalah bukan
pandai.
' orang pandai.

r
Subaltemasi
~
Kontradiktorik
T
Subalternasi

1 /~
0
l
Contoh: Tidak semua Contoh: Tidak semua
sarjana adalah orang ( Subkontrarik ) sarjana bukan orang
pandai. pandai

31
Berdasarkan benar/salahnya dua proposisi yang saling berlawanan seperti tertera di
atas, dapatlah penyimpulan berdasarkan perlawanan itu disimpulkan sebagai berikut:

Premis Konklusi

A benar E salah I benar 0 salah


E benar A salah I salah 0 benar
I benar E salah A benar/salah 0 benar/salah
0 benar A salah I benar/salah E benar/salah

A salah 0 benar I benar/salah E benar/salah


E salah I benar A benar/salah 0 benar/salah
I salah A salah E benar 0 benar
0 salah A benar I benar E salah

Dalam logika tradisional semua proposisi itu dianggap menunjuk kepada sesuatu
yang sungguh-sungguh ada. J?roposisi yang demikian itu mempunyai nilai eksistensial
(existensial import). Dalam proposisi yang demikian itu kelas-kelas di dalamnya
semua mempunyai anggota. Dalam hal nilai eksistensial ini ada perbedaan pandangan
antara logika tradisional dan logika modern. ·
Bahwa proposisi I dan 0 itu mempunyai nilai eksistential, itu jelas, dan di sini logika
tradisional dan logika modern sependapat. Ptoposisi I "Tidak semua sarjana adalah
orang pandai" dan proposisi 0 "Tidak semua sarjana bukan orang pandai" berarti
"Setidak-tidaknya ada seorang sarjana yang pandai" dan "Setidak-tidaknya ada
seorang sarjana yang bukan orang pandai".
Lain halnya mengenai proposisi A dan E. Tidak serriua proposisi A dan E
mempunyai nilai eksistensial. Proposisi "Semua kuntilanak sangat ditakuti" tidak
bernilai eksistensial, karena tidak ada kuntilanak. Kalau sebuah peraturan menentukan
bahwa "Semua pelanggar peraturan narkotika dihukum berat", maka proposisi itu
tidak mengatakan bahwa pelanggar peraturan itu ada, atau akan ada, bahkan menurut
si pembuat peraturan mudah-mudahan tidak pernah ada. Jadi proposisi inipun tidak
bernilai eksistensial.
Banyak proposisi universal yang nilai eksistensialnya tidak diketahui atau
. setidak-tidaknya dapat dipersoalkan. Maka dalam logika modern, proposisi universal,
A dan E selalu diartikan tidak mempunyai nilai eksistensial. Akibatnya, hubungan
perlawanan antara proposisi A, E, I, dan 0 mengalami perubahan yang cukup radikal.
Ambillah contoh proposisi A di atas "Semua kuntilanak sangat ditakuti". Kita yakin
kuntilanak tidak ada.
Hubungan antara proposisi A dan E yang bersangkutan menjadi demikian:
Proposisi A tersebut berarti bahwa kuntilanak yang tidak ditakuti tidak ada: SP= 0 .
Akan tetapi karena tidak ada kuntilanak, juga berarti bahwa Kuntilanak yang sangat
ditakuti itu tidak ada: SP = 0. Dan ini adalah proposisi E.

Jadi: kalau proposisi universal tidak bemilai eksistensial, tidak ada petlawanan antara
proposisi A dan E. A semakna dengan E.

32
Selanjutnya hubungan antara proposisi A clan I sebagai berikut:
Kalau proposisi A tidak bernilai eksistensial, maka proposisi I harus salah. Sebab
proposisi I selalu bernilai eksistensial. Proposisi I yang bersangkutan di sini ialah:
Setidak-tidaknya ada satu kuntilanak yang ditakuti. Padahal kuntilanak itu tidak ada.
Jadi: kalau proposisi universal tidak bernilai eksistensial, tidak ada perlawanan
subalternasi antara proposisi A clan I. Menurut perlawanan subalternasi, kalau
proposisi A benar, I harus benar, sedang di sini proposisi I salah. Kalau
proposisi I salah, A harus salah sedang di sini A benar.
Hubungan yang sama terdapat antara proposisi E clan 0. Jadi di sinipun tidak ada
perlawanan subalternasi.
Adapun hubungan antara I clan 0 menjadi sebagai berikut:
Di atas kita ketahui, bahwa kalau A benar, I harus salah. Demikianpula 0 harus salah.
Dan ini bertentangan dengan perlawanan subkontraris, di mana kedua proposisi itu
tidak mungkin kedua-duanya salah. ' ·
Jadi: kalau proposisi universal tidak bernilai eksistensial, proposisi I clan 0 yang
bersangkutan tidak berlawan:an.
Akan tetapi proposisi A tetap berlawanan secara kontradiktorik dengan proposisi 0
karena kalau A benar, 0 pasti salah. Demikian juga proposisi E berlawanan secara
kontradiktorik dengan proposisi I. Kalau E benar, I pasti salah.
Maka bujur sangkar logika modern menjadi sebagai berikut:

SP =I= 0 SP =I= 0

lnterpretasi perlawanan dalam logika tradisional yang didasarkan atas adanya nilai
eksistensial .itu juga sering disebut interpretasi eksistensial, sedang interpretasi modern
juga disebut interpretasi hipotetik. Baik interpretasi eksistensial maupi.m interpretasi
hipotetik mempunyai arti dalam penalaran. Kalau dalam suatu penalaran kita tidak
mengetahui apakah yang dibicarakan itu memiliki nilai eksistensional atau tidak,
interpretasi hipotetiklah yang harus digunakan. Akan tetapi kalau jelas yang ·

33
dibicarakan itu memiliki nilai eksistensial, maka dapat digunakan interpretasi
eksistensial.

Latihan
I. Berdasarkan interpretasi eksistensial, kalau proposisi-proposisi (a) di bawah ini benar, benar
atau salahkah proposisi: (b), (c), clan (d)?
II. Idem I, berdasarkan interpretasi hipotetik.
III. Idem I, akan tetapi proposisi-proposisi (a) salah.
IV. Idem III, berdasarkan interpretasi hipotetik.
*1. (a) Biduan bukan orang yang pandai bergaya.
(b) Ada biduan yang pandai bergaya.
(c) Ada biduan yang tidak pandai bergaya.
(d) Semua biduan pandai bergaya.
2. (a) Semua jalan menuju ke Roma.
(b) Ada jalan yang tidak menuju ke Roma.
(c) Tidak ada jalan yang menuju ke Roma.
(d) Ada jalan yang menuju ke Roma.
~-3. (a) Semua kerbau bertanduk.
(b) 5 ekor kerbau tidak bertanduk.
(c) Setidak-tidaknya seekor kerbau bertanduk.
(d) Tidak ada kerbau bertanduk.
4. (a) Tidak ada gading yang tidak retak.
(b) Mesti ada gading retak.
(c) Tidak semua gading tidak retak.
(d) Semua gading tidak retak.
E. KONVERSI
Cara lain untuk menarik konklusi dari sebuah proposisi ialah dengan konversi atau
pembalikan. Prosedumya: term predikat dijadikan term subyek dan term subyek
dijadikan term predikat. Prinsip konversi itu sederhana sekali: kalau A = B, maka B =
A. Kalau S=P, maka P = S. Dalam konversi proposisi yang dikonversikan dan hasil
konversinya sama kualitasnya.
Agar konklusi dari konversi itu benar, maka kuantitas term S dalam konklusi harus
tetap sama dengan kuantitas term P dalam premis. Dan ini akan terdapat, apabila
dalam proposisi premisnya kuantitas term S dan P sama, kedua-duanya berdistribusi
atau kedua-duanya tidak berdistribusi. Term S dan · P yang kedua-duanya
berdistribusi terdapat pada proposisi E. (lihat diagram distribusi term hal. 27).
Jadi proposisi E kalau dikonversikan tetap proposisi E.
Contoh: Premis : Semua mahasiswa bukan anak kecil. (E)
Konklusi : Semua anak kecil bukan mahasiswa. (E)
Premis <:tan konklusi di atas semakna dan kedua-duanya sama-sama benar atau
sama-sama salah. Kedua proposisi itu adalah ekuivalen. Hal ini jelas kalau kedua
proposisi tersebut diwujudkan dalam bentuk diagram Venn:

mahasiswa Cl) anak kecil anak kecil Cl) mahasiswa

34
Persamaan kuantitas antara term subyek dan term predikat juga terdapat pada
proposisi I. (lihat hal. 14.)
Jadi Proposisi I kalau dikonversikan tetap proposisi I.
Contoh: Premis : Beberapa mahasiswa adalah anggota Menwa. (I)
Konklusi : Beberapa anggota Menwa adalah mahasiswa. (I)
Di sini pun proposisi konklusi ekuivalen dengan proposisi premis. Hal ini juga jelas
dari diagram Venn:

mahasiswa @ anggota Menwa anggota Menwa ® mahasiswa

Karena prosedur konversi untuk proposisi E dan I itu hanya berupa penukaran
kedudukan term S dan P, maka disebut konversi biasa (simple conversion).
Dengan penukaran kedudukan term S dan P begitu saja, sering kuantitas P dari
premis berubah kalau P menjadi S dalam konklusi, term P yang tidak berdistribusi
menjadi berdistribusi sebagai S. Ini terjadi kalau premisnya berupa proposisi A.

Contoh: Semua buku logika adalah buku penting. {Ptidak berdistribusi. Lihat hal. 14)
]adi: Semua buku penting adalah buku logika. (S berdistribusi)
Jelaslah bahwa konklusi di atas adalah salah. Tidak semua buku penting adalah buku
logika. Konklusi yang benar ialah:
]adi: Sebagian buku penting adalah buku logika. (I)
Jadi proposisi A kalau dikonversikan menjadi proposisi I. Di sini terjadi pembatasan
kuantitas. Term S yang menurut konversi biasa seharusnya berdistribusi, dibatasi
sehingga menjadi tidak berdistribusi. Ini dilakukan agar kuantitas P dalam premis
sama dengan kuantitas S dalam konklusi. Konversi yang demikian itu disebut konversi
terbatas (conversion by limitation) atau konversi kebetulan (conversion per accidens).
Dalam konversi terbatas, proposisi konklusi dan proposisi premis tidak ekuivalen.
Proposisi konklusi, meskipun benar, berbeda makna dengan proposisi premis. Hal ini
jelas nampak dalam diagi;am Venn.
Semua buku logika itu buku Sebagian buku penting itu
pentmg. buku logika.

s P .SP = 0 PS# 0

Dalam konversi terbatas ini, dari kebenaran proposisi A disimpulkan kebenaran


proposisi I yang bersangkutan. lni berarti bahwa antara A dan I ada hubungan
subalternasi. Dan hubun.gan subalternasi itu hanya ada menurut interpretasi
eksistensial. Jadi konversi terbatas itu konversi menurut interpretasi eksistensial.
Mengenai proposisi 0, secara umum harus dikatakan bahwa proposisi 0 tidak
dapat dikonvers*an. Kalau dikonversikan, misalnya akan terdapat penalaran

35
langsung sebagai berikut:
Contoh: Premis : Sebagian mahasiswa bukan anggota Menwa. (0)
Konklusi : Sebagian anggota Menwa bukan mahasiswa. (0)
atau:
Premis : Semua manusia b_ukari mahasiswa. (E)
Konklusi : Semua mahasiswa bukan manusia .. (E)
Jelaslah bahwa konklusi-konklusi di atas adalah salah.

Latihan
Konversikan proposisi-proposisi di bawah ini:
1. Baju-baju itu buatan luar negeri.
*2. Semua barang:-barang luar negeri mahal harganya.
3. Tidak ada barang impor yang murah harganya.
*4. Baju-baju murahan itu bukan buatan luar negeri.
5. Barang-barang impor dianggap menaikkan gengsi.

F. OBVERSI
Cara lain untuk menarik konklusi dari sebuah proposisi ialah dengan cara obversi.
Prosedur obversi itu sebagai berikut:
a) Kualitas proposisi premis diganti, dari proposisi afirmatif dijadikan negatif atau
sebaliknya. ,
b) Term predikat diganti dengan komplemennya. Term iti.i menunjuk suatu kelas.
Apa yang tidak termasuk anggota kelas itu semuanya merupakan komplemen-nya
atau kelas komplementer-nya. Jadi komplemen dari kelas 'anjing' ialah 'non
anjing', 'kucing hitam' komplemennya ialah 'non kucing hitam'.
Prins)p yang menjadi dasar penyimpulan obversi itu ialah: A =non non-A, A itu
ekuivalen dengan non non-A. Prinsip ini juga disebut prinsip negasi ganda (double
negation).
Contoh obversi:
Premis : Manusia adalah makhluk berfikir:
Konklusi : Manusia bukan non makhluk berfikir.
Kedua proposisi itu, premis clan. konklusinya adalah ekuivalen. Hal ini jelas dalam
bentuk diagram Venn.
Manusia adalah Manusia bukan nonmakhluk
makhluk berfikir: SP = 0. berfikir: SP = 0.

M B .

Jelaslah kiranya bahwa dalam prosedur obversi ini kuantitas proposisi premis maupun
konklusinya adalah sama. Proposisi A sesudah diobversikan tetap proposisi A clan
seterusnya. ... .. -·

36
Latihan
· Gunakanlah prosedur obversi untuk menarik kesimpulan dari proposisi-proposisi yang terdapat
pada Latihan E di atas.

G. KONTRAPOSISI
Kontraposisi adalah suatu bentuk penalaran langsung, yang tersusun melalui
prosedur berikut:
(a) Term subyek maupun term predikat diganti dengan komplemen masing-masing.
(b)· Proposisi yang sudah berubah term-termnya itu kemudian dikonversikan: term
subyek dan term predikat bertukar tempat.

Contoh kontraposisi:
Semua pejuang kemerdekaan adalah pembela bangsa.
Jadi: Semua non pembela bangsa adalah non pejuang kemerdekaan.
Konklusi penyimpulan melalui kontraposisi disebut suatu kontraposit:if. Suatu
proposisi kontrapositif itu ekuivalen dengan proposisi aslinya. lni jelas nampak dalam
diagram Venn. · ·
Semua pejuang kemerdekaan Semua nonpembela bangsa
adalah pembela bangsa. adalah nonpejuang kemerdekaan

SP= o s PS= o s p

Prosedur kontraposisi itu juga dapat dijabarkan secara lain. Kita gunakan sebagai
contoh proposisi di atas.
Premis: Semua pejuang kemerdekaan adalah pembela bangs a. SP = 0.
(a) Diobversikan menjadi: Semua pejuang kemerdc::kaan bukan non pembela bangsa.
SP= 0.
(b) Oikonversikan menjadi: Semua non pembela bangsa bukan pejuang kemerdekaan.
SP= 0.
(c) Diobversikan menjadi: Semua non pembela bangsa adalah non pejuang
kemerdekaan. SP = 0.
Dari penjabaran prosedur kontraposisi di atas nam,pak dengan jelas bahwa dalam
prosedur itu proposisi premis tidak pernah mengalami perubahan makna, sehingga
kontrapositif dengan proposisi aslinya tetap ekuivalen.
Apakah semua proposisi A, E, I, 0 itu memiliki suatu kontrapositif?
Proposisi A memiliki kontrapositif. (Contoh di atas)
Proposisi 0 memiliki kontrapositif.
Proposisi E tidak memiliki kontrapositif.
Proposisi I tidak memiliki kontrapositif.
Bahwa 0 memiliki kontrapositif nampak da.lam contoh berikut:
Sebagian anggota ABRI bukan pembela bangsa . .

37
Kontrapositifnya: Sebagian nonpembela bangsa bukan non anggota ABRI.
Ekuivalensi kontrapositif dengan proposisi aslinya jelas menurut diagram Venn.

Sebagian anggota ABRI bukan Sebagian nonpembela bangsa bukan .non-


pembela bangsa. anggota ABRI.

SP =I= 0 SP#O S ®p
Contoh bahwa E tidak memiliki kontrapositif.
Semua anggota ABRI bukan pembela korupsi.
Kontrapositifnya seharusnya demikian:
Semua non pembela korupsi bukan non anggota ABRI.
Akan tetapi proposisi kedua itu bukan kontrapositif dari yang pertama, sebab tidak
ekuivalen dengan yang pertama. Semua S =I= P atau SP = 0 (proposisi asli) jelas tidak
ekuivalen dengan semua P =I= S atau PS = 0 (proposisi hasil perubahan melalui
prosedur kontraposisi). Bahwa kedua proposisi itu tidak ekuivalen jelas dalam bentuk
diagram Venn. Untuk menggambarkan SP, kedua lingkaran y ang masing-masing
melambangkan kelas S clan kelas P ditaruh didalam sebuah bujur sangkar. Bujur
sangkar itu melambangkan kelas yang anggo.ta-anggotanya meliputi semua individu
yang tidak termasuk kelas S maupun P, jadi kelas SP. Dengan tambahan ini kedua
proposisi di atas diagramnya menjadi:

SP= 0 s p PS= o.

Bahwa proposisi I tidak ada kontrapositifnya, contohnya sebagai berikut:


Beberapa pembela bangsa adalah mahasiswa.
Kontrapositifny a akan berupa proposisi berikut:
Beberapa nonmahasiswa adalah nonpembela bangsa.
Beberapa S = P atau SP =I= 0 (proposisi asli) tidak ekuivalen dengan
Beberapa P = S atau PS =I= 0 (proposisi kontrapositif). Hal ini nampak jelas dalam
bentuk diagram Venn.

38
La.tiha.n
Buatlah kontrapositif dari proposisi-proposisi di bawah ini:
1. Dukun yang berhasil mengelabui penduduk di Ciasem, Subang, menyebabkan kerugian jutaan
rupiah.
l
':·2. Tersangkanya bernama Aki.
3. Ia dibantu oleh penduduk desa Purwadadi, Subang, bernama At.
':·4. Terbongkarnya kasus penipuan itu atas laporan masyarakat Kerawang.
5. Para korban tergiur oleh pengakuan dukun bahwa ia dapat menyulap tanah menjadi gumpalan
em as.
6. Sang dukun mendapa_t perhatian penduduk, yang beramai-ramai membeli tanah yang
terbungkus rapi dengan kain putih.
''7. Setelah seratus hari simpanan tanah itu akan berubah menjadi emas.
8. Penduduk Subang banyak yang tertipu.
''9. Penduduk yang merasa tertipu, oleh polisi diminta melapor.
10. Laporan itu akan membantu memudahkan pengusutan.

Latihan
I. Konklusi (b) disimpulkan dengan menggunakan prosedur apa? (konversi, obversi, kontraposisi;
perlawanan?). Kalau penyimpulannya didasarkan atas interpretasi eksistensial, jelaskan.
1. (a) Beberapa penodong yang tertangkap adalah pelajar SLTA.
(b) J adi tidak benarlah, bahwa penodong itu mesti bukan pelajar SLT A.
>:·2. (a) Tidak benar bahwa beberapa penodong yang tertangkap 1tu pelajar SLT A.
(b) J adi: beberapa penodong yang tertangkap itu bukan pelajar SLTA.
3. (a) Tidak ada mahasiswa yang tidak belajar.
(b) Memang, sebagian orang yang belajar itu adalah mahasiswa.
*4. (a) Ketika terjadi G-30-S, rakyat bangkit mengganyang PKI.
(b) Rakyat tidak bangkit mengganyang yang bukan PKI.
5. (a) Anggota tentara yang tidak berasal dari daerah tidak melarikan diri.
(b) J adi: yang melarikan diri itu anggota tentara yang berasal dari daerah.
6. (a) Kalau tidak benar bahwa beberapa pelajar itu mencuri,
(b) maka tentu tidak benar kalau dikatakan, bahwa semua pelajar itu pencuri.
''7. (a) Karena tidak ada gading yang tidak retak,
(b) maka tidak dapat dipercaya bahwa ada gading yang tidak retak.
8. (a) Orang yang materialis tidak percaya kepada takhayul.
(b) Orang yang percaya kepada takhayul bukan materialis.
''9. (a) Pahlawan itu bukan orang yang tidak berani menghadapi risiko.
(b) ] adi: pahlawan itu berani inenghadapi risiko.
10. (a) J elaslah bahwa semua .ahli ekonomi itu berusaha meningkatkan taraf hid up bangsa.
(b) Jadi: tidak benar, bahwa ahli ekonomi itu tidak meningkatkan taraf hidup bangsa.
IL Jelaskan mengapa penalaran di bawah ini salah.
1. Semua mahasiswa suka belajar, jadi tidak semua orang yang bukan mahasiswa suka belajar.
i<2. Semua penjahat telah ditangkap, jadi semua yang telah ditangkap adalah penjahat.
3. Semua yang membela bangsa itu bukan anggota ABRI, maka semua yang membela bangsa itu
adalah anggota ABRI.
*4. Tidak semua buku di perpustakaan itu buku baik, jadi semua buku di perpustakaan baik.
5. Beberapa orang yang rnernberi pertolongan adalah tukang becak. Jadi: ada yang bukan tukang
becak itu bukan orang yang memberi pertolongan.

39
BAB IV: SILOGISME KATEGORIK

A. SILOGISME STANDAR
Silogisme kategorik atau dengan singkat silogisme saja adalah suatu bentuk. formal
dari deduksi yang terdiri atas proposisi-proposisi kategorik.
Deduksi menggunakan proposisi. universal sebagai premis, misalnya: "Semua
pahlawan adalah orang yang berjasa." Dari premis itu, misalnya, disimpulkan bahwa:
"Kartini adalah orang yang berjasa." Untuk dapat sampai kepada konklusi itu harus
diketahui, bahwa "Kartini adalah pahlawan." J adi konklusi harus diturunkan dari
proposisi pertama dengan bantuan proposisi kedua. Tanpa adanya proposisi kedua,
tidak ada konklusi. Proposisi pertama clan kedua itulah, yang bersama-sama
merupakan premis. Jadi deduksi yang bersangkutan lengkapnya adalah sebagai
berikut:
Semua pahlawan adalah orang berjasa.
Kartini adalah pahlawan.
]adi: Kartini adalah orang yang berjasa.
Bentuk deduksi seperti inilah yang disebut silogisme clan silogisme ini dalam logika
tradisional digunakan sebagai bentuk standar dari penalaran deduktif. Han ya deduksi
yang dapat dikembalikan menjadi bentuk standar seperti inilah, yang dapat dibahas
dalam logika tradisional. Silogisme itu terdiri atas tiga proposisi kategorik. Dua
proposisi yang pertama berfungsi sebagai premis, sedang yang ketiga sebagai konklusi.
J umlah termnya ada tiga: 'pahlawan', 'orang berjasa' clan 'Kartini', masing-masing
digunakan dua kali. 'Kartini' digunakan dua kali sebagai subyek (S), sekali di premis,
sekali dikonklusi. 'Orang berjasa' dua kali berfungsi sebagai predikat (P}, sekali di
premis, sekali di konklusi.
Proposisi premis yang mengandung term predikat, di sini 'orang berjasa', disebut
maior. Sedang yang mengandung term subyek disebut minor.
Dalam silogisme standar, premis maior selalu ditempatkan sebagai proposisi
pertama pada baris pertama.
Term 'pahlawan' terdapat dua kali di premis, akan tetapi tidak terdapat di konklusi.
Termini disebut term tengah (M, singkatan dari: terminus medius). Dengan bantuan
term tengah inilah konklusi penalaran ditemukan. Karena M sama dengan P, sedang S
sama dengan M, maka S-P:
M-P
S-M
.·.S

40-
Penalaran yang menggunakan perantaraan term tengah untuk menarik konklusi itu
oleh Aristoteles disebut penalaran tidak langsung.

B. PRINSIP-PRINSIP SILOGISME
Silogisme sebagai prosedur penalaran menurunkan konklusi yang benar atas dasar
premis-premis yang benar. Mengapa didalam silogisme itu kalau premisnya benar,
konklusinya juga harus benar? Sebabnya ialah karena prosedur silogistik itu
mempunyai dasar yang berupa proposisi-proposisi azasi yang jelas dengan sendirinya
(self evident) sehingga tidak dapat dibantah. Dasar-dasar itu disebut azas-azas atau
prinsip-prinsip silogisme. Jumlahnya hanya dua, yaitu:
1) Prinsip persamaan (principium convenientiae; the principle of convenience).
Prinsip ini mengatakan, bahwa dua hal adalah sama, kalau kedua-duanya sama
dengan hal yang ketiga.
S = M = P, jadi: S = P.
2) Prinsip perbedaan (principium discrepantiae; the principle of discrepancy). Prinsip
ini mengatakan bahwa dua hal itu berbeda yang satu dengan yang lain, kalau yang
s~tu sama dengan hal yang ketiga, sedang yang lain tidak sama.
S = M :F P, jadi: S ::/: P.
Kedua prinsip'silogisme itu penerapannya dalam silogisme memerhikan dua prinsip
lagi, artinya: kalau silogisme tidak memenuhi kedua prinsip penerapan itu, kebenaran
konklusi silogisme tidak dapat dipastikan. Kedua prinsip penerapan itu ialah:
1) Prinsip distribusi (dictum de omni). Prinsip ini mengatakan, bahwa apa yang
berlaku secara distributif untuk sesuatu kelas, yaitu berlaku untuk semua dan
masing-masing anggotanya, berlaku untuk tiap-tiap anggotanya masing-masing.
Contoh:
"Semua pahlawan adalah orang berjasa." ('Orang berjasa' berlaku untuk 'semua
pahlawan' secara distributif.)
"Kartini adalah pahlawan." ('Kartini' adalah anggota kelas 'pahlawan').
]adi: "Kartini adalah orang berjasa." ('Orang berjasa' juga berlaku untuk
Kartini.)
2) Prinsip distribusi negatif (dictum de nullo). Prinsip ini menyatakan, bahwa apa
yang diingkari tentang sesuatu kelas secara distributif, juga diingkari pad a tiap-tiap
anggotanya masing-masing.
Misalnya: .
"Toyota itu bukan sedan bermesin disel". (Term, sedan bermesin disel' diingkari
tentang Toyota secara distributif).
"Mobil Adam itu adalah sebuah Toyota", ('Mobil Adam' adalah anggota kelas
Toyota.)
Jadi: "Mobil Adam itu bukan sedan hermesin disel.,, ('Sedan bermesin disel' juga
diingkari pada mobil Adam).
MenurutAristoteles kebenaran prinsip-prinsip di atas bertumpu kepada kebenaran
prinsip-prinsip yang lebih dalam lagi, yaitu: Azas-azas penalaran (first principles;
prima principia) yang jumlahnya tiga.

41
1) Azas identitas (the principle of identity; principium identitatis): segala sesuatu itu
identik dengan dirinya sendiri. A = A.
2) Azas kon tradiksi (the principle ofcontradiction; principi um contradictionis): tidak
ada sesuatu yang sekaligus memiliki dan tidak memiliki sesuatu sifat tertentu. Tidak
mungkin A = B dan sekaligus A :;I: B.
3) Azas tiada jalan tengah (the principle of excluded middle; pincipium exclusi tertii):
sesuatu itu pasti memiliki atau tidak memiliki sifat tertentu. A = B atau A :;I: B,
tidak ada kemungkinan lain.

C. BENTUK SILOGISME MENYIMPANG


Dalam praktek penalaran tidak semua silogisme menggunakan bentuk standar,
bahkan kiranya lebih banyak bentuk yang menyimpang. Dalam logika bentuk-bentuk
yang menyimpang itu resminya harus dikembalikan menjadi bentuk standar,
setidak-tidaknya apabila penalarannya menjadi tidak jelas. Pada hakekatnya
penyimpangan itu tidak terbatas caranya, tidak ada sesuatu yang memaksa orang
untuk bemalar dalam bentuk silogisme standar.
Pertama, penyimpangan dari silogisme standar dapat terjadi karena orang tidak
menggunakan proposisi kategorik standar. Proposisi-proposisi itu harus dikembali-
kan kepada bentuknya yang standar (lihat paragraf III.A.) untuk memperoleh bentuk
silogisme standar. Contoh:
Mereka tidak lulus semuanya, karena tidak belajar.
Kamu kan tekun belajar,
mengapa kamu mesti takut tidak lulus!
dalam bentuk standar:
Semua orang yang tidak belajar adalah orang yang tidak lulus.
Kamu bukan orang yang tidak belajar.
]adi: Kamu bukan orang yang tidak lulus.
Konklusi penalaran ini dinyatakan dalam bentuk pertanyaan retorik.
Contoh lain:
Adam mengigau, - ia sakit, - dan demamnra tinggi sek~li.
Pengembalian penalaran dalam contoh ini menjadi silogisme standM. ~ak koinpleks.
Pertama, susunan premis dan konklusinya terbalik. :Adam ,me11gigau' adalah
konklusi. Kedua, proposisi-proposisi premisnya 'ia sakit' dan 'demamnya tinggi
sekali' kedua-duanya bukan proposisi lengkap, jadi harus dilengkapkan.,
Bahwa Adam mengigau, adalah akibat dari demamnya yang tinggl-~ Makaproposisi
'demamnya tinggi sekali' lengkapnya menjadi: 'Orang yang sakit demain . tinggi itu
adalah orang yang sakit mengigau'. Proposisi ini adalah premis maior, karena
mengandung term predikat: 'orang mengigau'.
Proposisi premis yang lainnya mengatakan bahwa Adam sakit. Sudah tentu
penyakit Adam itu bukan wasir atau terkilir jarinya. Dalam konteks- jetas yang
dimaksud itu ialah sakit demam tinggi. Maka proposisinya yang lengkap ialah 'Adam
(ia) adalah orang yang sakit demam tinggi'.

42
Dalam bentuk silogisme standar penalarannya menjadi:
Orang yang sakit demam tinggi adalah orang yang sakit mengigau.
Adam adalah orang yang sakit demam tinggi.
Jadi: Adam adalah orang yang sakit mengigau.
Penyimpangan dari bentuk silogisme standar juga dapat terjadi karena term yang
sama dilambangkan dengan kata-kata yang berbeda, sehingga penalarannya kelihatan
memiliki lebih dari tiga term.
Misalnya:
Setiap prajurit harus selalu siap bergerak.
Adam itu· anggota TNI Angkatan Darat.
Maka di manapun ia ditempatkan, ia tidak pernah merasa menetap.
Bahwa 'Adam' dalam minor penalaran di atas identik dengan 'ia' dalam konklusi
sudah jelas. Akan tetapi 'prajurit' itu sinonim dengan ,anggota TNI Angkatan Darat',
sedang 'selalu siap bergerak' adalah semakna dengan 'tidak pernah merasa menetap'.
Jadi dengan hanya menggunakan salah satu ungkapan diantara yang sinonim dan
mengembalikan proposisi-proposisinya menjadi proposisi kategorik yang standar
terdapatlah silogisme standar sebagai berikut:
Semua prajurit adalah orang yang selalu siap bergerak.
Adam adalah prajurit.
]adi: (Di manapun ditempatkan) Adam adalah orang yang selalu siap bergerak.
Juga dapat terjadi bahwa ungkapan yang sama menunjuk dua term yang berbeda. lni
terjadi apabila digunakan term ekuivok. Term yang ekuivok meskipun menggunakan
ungkapan yang sama, menunjuk kelas-kelas atau subkelas-subkelas yang
berbeda-beda. Kalau sebuah penalaran menggunakan term ekuivok, maka jumlah
termnya sebenarnya lebih dari tiga. Ini kesesatan dalam penalaran, karena dalam
penalaran hanya digunakan tiga term, dan disebut kesesatan dengan menggunakan
empat term.
Conroh:
Semua warganegara harus membayar pajak. (adalah pembayar pajak)
Gelandangan itu warganegara.
]adi : Gelandangan itu harus membayar pajak.
Di sini term 'warganegara' digunakan dua kali dengan makna yang berbeda. Term
'warganegara' yang pertania menunjuk subkelas warganegara yang mampu, sedang
term 'warganegara' yang kedua menunjuk subkelas warganegara yang tidak mampu.
Maka penalaran di atas adalah penalaran yang sesat, tidak sahih.
Pengembalian menjadi bentuk silogisme yang standar ini akan menjaga keketatan
dan kebersihan prosedur penalaran.

Latihan
Kembalikanlah penalaran-penalaran di bawah ini menjadi bentuk silogisme standar!
1. Aku ini orang penting! Saya kan seorang pejabat, padahal pejabat itu semuanya orang penting.
*2. Barang siapa mencuri itu maling. Bagaimanapun juga, karena kamu mengambil milik orang lain

43
,.

tanpa ijin, maka kamu mencuri. Jadi sudah tentu kamu termasuk yang disebut maling. •
3. Mengapa saya mesti memakai jalur lambat? Saya ini orang bebas, semua manusia bebas!
*4. Dalam ilmu pengetahuan apa yang sesuai dengan pengalaman indera adalah benar. Maka dalam
ilmu pengetahuan kebenaran sering ditemukan secara kebetulan, sebab kesesuaian itu sering
nampak tanpa dicari secara sengaja.
5. Dari bentuknya tidak kelihatan itu gedung apa. Banyak orang menanyakan kegunaannya.
Biasanya bentuk gedung itu sesuai dengan keperluannya.
6. Mengapa Adam selalu berkunjung ke rumah Hawa? ltu biasa, Hawa kan ·pacarnya.
*7. Berilah anakmu Calci-limo secara teratur. Calci-limo merupakan pendukung utama usaha
meningkatkan tenaga dan pertumbuhan tulang serta gigi pada anak-anak, karena setiap tetc:s
Calci-limo mengandung kalsium, multivitamin, dan bahan-bahan lain yang dibutuhkan oleh
tubuh.
8. "Tidak ada sesuatu yang tidak dipersoalkan, sehingga tidak meragukan". Hal ini sangat
mengesankan kepada Descartes, sehingga ia ·berkesimpulan bahwa segala · sesuatu harus
diragukan.
*9. Kebiasaan menuntut adanya surat keterangan dokter untuk bermacam-macam keperluan
menunjukkan anggapan bahwa semua anggota masyarakat itu pada hakekatnya sakit; suatu
anggapan yang sangat ganjil dan tidak sehat. Sebab apa yang biasa tidak perlu diberi keterangan:
bahwa daun pohon itu hijau tidak membutuhkan keterangan, semua orang mengetahuinya,
batu kalau daun itu tidak hijau keterangan itu mempunyai arti. Jelaslah bahwa pada umumnya
anggota masyarakat itu sehat. .
10. Susunan 'silogisme' Nyayasutra, India:
"Ada api didalam gunung itu.
Sebab di situ ada asap.
Di mana ada asap, di situ ada api, seperti didalam tungku.
Jadi di gunung itu ada asap.
Oleh karena itQ digunung itu ada api."

D. HUKUM SILOGISME
Dari ciri-ciri silogisme standar dan prinsip-prinsip silogisme serta prinsip-prinsip
penerapannya, dapatlah disusun ketentuan-ketentuan operasional, yang disebut
hukum silogisme. Dengan menggunakan hukum silogisme itu dapatlah diketahui
apakah sesuatu silogisme itu bentuknya tepat atau tidak, apakah silogisme itu sahib
atau tidak. Hukum silogisme itu juga harus ditaati, kalau kita hendak menyusun
suatu silogisme yang sahib.
Hukum silogisme itu sebagian mengenai unsur term dan sebagian lagi m~ngenai
unsur proposisi dalam silogisme.

1. Hukum silogisme mengenai term.


Sudah diketahui bahwa yang disebut silogisme itu mempunyai tiga term: S, M, dan
P. Maka hukum silogisme yang pertama dapat dirumuskan:
a. Jumlah term dalam silogisme tidak boleh lebih dari tiga: S-M-P
Hukum ini tidak lain daripada rumusan operasional dari prinsip persamaan.
Dalam silogisme, term tengah, M, adalah term pembanding, yang digunakan untuk
mengetahui apakah subyek S sama dengan predikat P atau tida~. Hasil dari
perbandingan itu ialah: 5 = P atau S =I= P. Inilah konklusi silogism~. Hal ini secara
operasional dapat dirumuskan sebagai hukum kedua:

44
b. Term tengah, M, tidak boleh terdapat dalam konklusi
Hubungan antara term S clan term Pdi dalam konk.lusi diketahui berdasarkanterm
M, yang dua kali terdapat dalam premis. Kalau kedua term M itu dua kali tidak
berdistribusi, tidak dapat diketahui apakah kedua term itu meliputi anggota yang
sama. Belum tentu 'beberapa mahasiswa yang pandai' itu sama orangnya dengan
'beberapa mahasiswa yang rajin'. Maka hukum silogisme yang ketiga ialah:

c. Term tengah M setidak-tidaknya satu kali harus berdistribusi


Hukum ini tidak lain dari rumusan lain dari prinsip distribusi (dictum de omni.)
Silogisme itu suatu bentuk penalaran, clan seperti semua penalaran, menyimpulkan
suatu konk.lusi dari premis, yang berarti bahwa konk.lusi itu sudah terkandung atau
terdapat di dalam premisnya. Tidak mungkin konklusi mengatakan sesuatu yang
secara implisit belum terdapat di dalam premis. Kesesatan berfikir (dengan singkat:
kesesatan) seperti itu akan terjadi apabila term S dan/atau P di dalam konklusi lebih
luas daripada term S dan/atau P dalam premis, artinya: di dalam konk.lusi term S
d~atau P meliputi anggota-anggota yang tidak ditunjuk oleh term S dan/atau P
dalam premis. Sebagai hukum ini dapat dirumuskan:
,
d. Term S dan P dalam konklusi tidak boleh lebih luas daripada dalam premis
Kesesatan yang melanggar hukum ini banyak terjadi clan telah mendapat nama Latin:
Latius hos.

2. Hukum silogisme mengenai proposisi


Hµkum pertama mengenai proposisi dalam silogisme adalah rumus operasional dari
prinsip persamaan (principium convenientiae). Prinsip ini terdiri atas tiga anggota,
berupa tiga proposisi. Dua proposisi afirmatif sebagai premis, yaitu: S = M clan M =
P, clan yang ketiga sebagai konk.lusinya, yaitu S = P, yang juga sebuah proposisi
afinnatif. Maka hukumnya dapat dirumuskan demikian:
a. Apabila proposisi-proposisi di dalam premis afirmatif,
maka konklusinya harus afirmatif
Menurut prinsip perbedaan (principium discrepantiae), tidak mungkin proposisi-
proposisi di dalam premis itu semuanya negatif, salah satu pasti harus afirmatif: S = M
dan M :/=. P atau sebaliknya. Kalau kedua proposisi dalam premis itu negatif, tidak ada
term yang berfungsi sebagai term tengah, tidak ada term yang menghubungkan term S
dengan term P. Kalau S ::/: M clan M ::/: P, ·maka term M tidak berfungsi sebagai term:
tengah, artinya tidak menghubungkan term S dengan term P. Ini dapat dirumuskan
sebagai hukum berikut:

b. Proposisi di dalam premis tidak boleh kedua-duanya negatif


Menurut prinsip perbedaan pula, kecuali proposisi dalam premis itu harus yang satu
afirmatif clan yang lain negatif, maka konklusinya pasti negatif. Proposisi afirmatif itu
dipandang sebagai proposisi kuat, sedang proposisi negatif itu proposisi lemah.
Berdasarkan penilaian ini, prinsip perbedaan itu dapat juga dirumuskan menjadi
hukum berikut:

45
c. Konklusi mengikuti proposisi yang lemah dalam premis
Akan tetapi hukum di atas juga harus diartikan bahwa kalau di dalam premis ada
proposisi partikulir, maka konklusinya juga harus partikulir. Sebab penilaian kuat dan
lemah itu juga mengenai kuantitas proposisi. Dalam hal ini proposisi universal adalah
proposisi kuat, sedang proposisi partikulir adalah proposisi lemah. Bahwa konklusi
harus mengikuti bentuk proposisi partikulir yang terdapat didalam premis adalah
jelas. Kalau tidak demikian akan terjadi kesesatan latius hos, Term S di dalam konklusi
akan lebih luas daripada didalam premis.
Hukum keempat dan yang terakhir mengenai proposisi dalam silogisme dapat
dirumuskan sebagai berikut:
d. Proposisi di dalam premis tidak boleh kedua-duanya partikulir, setidak-
tidaknya salah satu harus universal
Hukum ini sebetulnya hanya merupakan pelaksanaan hukum 3 dan 4 di atas
mengenai term. Pelanggaran terhadap hukum ini akan merupakan pelanggaran
terhadap hukum 3 atau 4, tergantung dari bentuk silogismenya. Dua proposisi yang
partikulir dalam premis itu kedua-duanya proposisi afirmatif atau salah satu .di
antaranya adalah proposisi negatif. Kalau disusun sebagai premis, ada tiga
kemungkinan sebagai berikut:

Bentuk I Bentuk II Bentuk III


Maior : Beberapa M = P Beberapa M = P Beberapa M # P
Minor : Beberapa S = M Beberapa S # M Beberapa S = M

Bentuk I melanggar hukum 3 mengenai term, karena term M dua kali tidak
berdistribusi.
Bentuk II akan menghasilkan konklusi S # P, di mana P akan berdistribusi, sedang
didalam maiornya term Ptidak berdistribusi. Jadi melanggar hukum 4 mengenai term.
Dalam bentuk III sekali lagi term M dua kali tidak berdistribusi.

Latihan
Hukum silogisme yang mana yang dilanggar oleh 'penalaran-penalaran' di bawah ini. Apabila
menghadapi kesulitan, carilah lebih dahulu bentuk silogismenya yang standar.
1. Bakul kain itu adalah pedagang. Penjual makanan itu juga pedagang. Jadi penjual makanan itu
adalah bakul kain.
~-2. Banyak pembaca KOMPAS merasa puas. Kamu semua pembaca KOMPAS. Jadi tentufilya
kamu semua merasa puas. .
3. Semua orang PKI menentang Pemerintah Orba. Golongan oposisi itu menentang Pemerintah
Orba. Jadi golongan oposisi itu PKI.
4. Anjing itu berekor. Nab, burung itu bukan anjing. Jadi burung itu berekor.
*5. Ada manusia yang bijaksana. Ada mahasiswa yang tidak bijaksana. Jadi ada mahasiswa yang
bukan manusia.
6. Semua batu itu berat. Logam itu berat. J adi ada logam yang bukan batu.
7. Ada orang yang bukan jenderal. Semua jenderal itu tentu bijaksana. Pada hal ada orang yang
tidak bijaksana.
*8. Ada sarjana yang tidak menguasai masalah-masalah di bidangnya. J adi ada sarjana yang bukan
ahli, sebab semua ahli menguasai niasalah-masalah di bidangnya.

46
9. Tujuh kali rujuh adalab empatpuluh sembilan. Empatpulub sembilan itu angka. J adi tujub kali
tujub itu angka.
10. Saya bukan kamu. Saya ini manusia. Jadi kamu bukan manusia.
';11. Kitab lnjil menulis: "Si buta akan melihat, si lumpub akan bangkit dan berjalan". Nab, orang
buta iru tidak dapat melibat dan lumpub tidak dapat berjalan. J adi isi Kitab lnjil itu salah.
12. "Semua manusia itu bukan Tuban".
Nab; kalau Isa seperti Adam, Isa adalah manusia.
Jadi: "Isa adalah bukan Tuban."
13. Time is money. Uang itu alat pembayaran. J adi kalau begitu waktu itu juga alat pembayaran!
*14. "Tuban bersabda ..... ". Bobong! Tuhan itu roh, jadi tidak bermulut, jadi tidak dapat
bersabda.
15. Bekerja tanpa pamrih itu sama dengan bekerja tanpa sasaran. Akan tetapi semua pekerjaan itu
tentu mengandung pamrih, sebab pamrih itu sasaran, tujuan yang hendak dicapai. J adi:
bekerja tanpa pamrih, "sepi ing pamrih, rame ing gawe" itu omong kosong.

E. BENTUK, SUSUNAN, DAN MODUS SILOGISME


Dalam membahas silogisme di atas secara eksplisit, kita selalu menggunakan bentuk
M = P, S = M, jadi S = P; tanpa mengingat apakah proposisi maior dan minor itu
proposisi A, E, I, atau 0. Sebenarnya bentuk silogisme itu ditentukan oleh dua hal:
susunan dan modus-nya.
Berbicara tentang susunan (figura) silogisme berani berbicara tentang kedudukan
term M dalam kedua proposisi premis silogisme. Susunan yang selalu secara eksplisit
ditonjolkan di atas adalah sebagai berikut:
Susunan I : M - P
S -M
.·. S -P

Susunan ini disebut susunan penama, karena di samping itu masih ada tiga
kemungkinan susunan lain lagi, yang masing-masing disebut susunan kedua, ketiga,
dan keempat. Susunan-susunan itu sebagai berikut:
Susunan II : P - M
S -M
.·.S -P

Contoh: Sirkel adalah bentuk bundar.


Segitiga itu bukan bentuk bundar.
Jadi: Segitiga itu bukan sirkel.

Susunan III: M - P
M -S
.·.S - P

Contoh: Mahasiswa itu orang dengan tugas belajar.


Ada mahasiswa yang orang bodoh.
Jadi: Sebagian orang bodoh itu orang de-
ngan tu gas belajar.

47
Susunan IV: P - M
M-S
.·.S - P

Contoh: Influenza itu penyakit.


Semua penyakit itu pengganggu kesehatan.
Jadi: Sebagian pengganggu kesehatan itu influenza.
Apa yang disebut modus silogisme itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kedua proposisi premis dalam silogisme itu tentu masing-masing berupa proposisi A,
E, I, atau 0, yaitu bentuk-bentuk proposisi menurut kuantitas dan kualitasnya.
Fungsi proposisi A, E, I, 0 sebagai maior dan minor premis silogisme itulah yang
disebut modus silogisme. Jadi premis maior itu dapat berupa proposisi A, E, I, atau 0,
d~mikian juga premis minornya. Dengan demikian ada 16 modus silogisme yang
berupa rakitan maior dan minor menurut kualitas dan kuantitas proposisinya. Ke-16
modus silogisme itu sebagai berikut:
maior: A A A A EEEE I I I I 0000
minor: A EI 0 A EI 0 A EI 0 AEIO

Modus dan susunan silogisme itu bersama-sama menentukan bentuk silogisme.


Misalnya: silogisme susunan I modus AA, susunan II modus IA dan seterusnya.
Karena ada 16 modus dan 4 susunan silogisme, maka secara teori bentuk silogisme ada
64. Bentuk itu misalnya:
Susunan I, modus AA sebagai berikut: Semua M = p (A)
Semua s = M {A)
Semua s = p (A)
Susunan II, modus AO sebagai berikut: Semua p = M (A)
Beberapa S =I M {O)
Beberapa S =I p (0)
Dalam kenyataannya kebanyakan di antara ke-64 bentuk silogisme yang dapat
disusun itu melanggar satu atau lebih dari hukum silogisme, jadi penalarannya tidak
sahih, tidak dapat menghasilkan konklusi yang benar. Misalnya:
Modus AI dalam susunan I menjadi: Semua M = P (A)
Beberapa S = M (I)
Beberapa S = p' (I)

Bentuk penalaran ini adalah sahih, akan tetapi yang berikut ini tidak:
Modus AI dalam susunan II menjadi: Semua P = M (A)
Beberapa S = M (I)
Non sequitur.

Sebabnya bentuk penalaran ini tidak sahih karena melanggar hukum 3 mengenai term
dalam silogisme. Di sini term M dua kali tidak berdistribusi.

48

L....
Latihan
Sebutkanlah susunan dan modus penalaran-penalaran di bawah ini.
1. Tidak benar bahwa tidak ada pejabat yang penjahat. Pejabat 'kan juga manusia dan semua
manusia dapat berb~at jahat.
*2. Di mana ada asap ada api. Di gunung itu tidak ada asap. Maka gunung itu bukan gunung berapi.
3. Di gunung yang gundul tidak mungkin ada tumbuh-tumbuhan. Sebab tumbuh-tumbuhan
membutuhkan air, sedang gunung yang gundul tidak mengandung air.
*4. Tidak ada penalaran sahib yang proposisi premisnya kedua-duanya partikulir. Penalaran ini
sahib, sebab proposisi premisnya yang satu adalah universal.
5. Di masa resesi ekonomi banyak orang tidak bekerja. Ini suatu beban berat bagi masyarakat,
sebab masyarakat harus menghidupi orang yang cidak berproduksi.
6. Logika bermaksud menyusun suatu sistem yang sederhana untuk mengevaluasi penalaran.
Maka peraturan-peraturan logika yang berbelit-belit dan tidak perlu harus dihindari, karena
membuat sistem logika menjadi tidak sederhana.
*7. Sikap dogmatik untuk bertahan selama mungkin pada sebuah teori adalah sangat penting.
Tanpa itu kita tidak akan pemah mengetahui nilai sesuatu teori; kita akan melepaskan sesuatu,
teori sebelum sungguh-sungguh mendapat kesempatan untuk mengetahui kekuatannya.
8. " ....... sementara saya hendak menganggap, bahwa segala sesuatu itu salah, jelaslah bagi saya,
bahwa saya yang memikirkan itu tidak boleh tidak harus ada (cogito ergo sum). Dan karena
melihat bahwa kebenaran dari cogito ergo sum itu begitu jelas, sehingga segala pendapat yang
paling luar biasa dari para skeptisi tidak mampu menggoyahkannya, maka saya mengambil
kesimpulan bahwa tanpa ragu saya dapat menerimanya sebagai (kebenaran) ... "
*9. Menurut Joedo Soembono, cakrawala energi Indonesia khususnya di bidang minyak dan gas
bumi cukup cerah. Dengan bekerja lebih keras dan sungguh-sungguh kita membuktikan bahwa
cadangan minyak dan gas bumi kita masih cukup banyak untuk generasi mendatang.
10. Di Pasar Inpres Cijantung yang baru, banyak pedagang lama tidak mendapat bagian kios. Kini
mayoritas pedagang adalah pendatang baru. .
Sedang pedagang lama yang berusaha di pasar darurat ham.pie separohtidak tertarnpung karena
tidak mampu membeli kios dengan harga tinggi, ujar seorang pedagang. •

F. BENTUK SILOGISME YANG SAHIH


Di atas sudah dikatakan bahwa kebanyakan dari 64 _bentuk silogisme yang dapat
disusun itu tidak sahih. Sebagai contoh bentuk silogisme yang sahih diberikan bentuk
susunan I, All, artinya: Maior A, minor I dan konklusi I. Bentuk-bentuk silogisme
yang sahih itu diberi nama dengan menggunakan ketiga huruf yang melambangkan
bentuk proposisi maior, minor dan konklusi tersebut. Bentuk silogisme All itu,
misalnya, diberi nama Darii. Di bawah ini kita cantu.mkan semua bentuk silogisme
yang sahih dengan nama-namanya.

Susunan I : Bentuk A-A-A nama Barbara


Bentuk E-A-E nama Celarent
Bentuk A-1-1 nama Darii
Bentuk E-1-0 nama Ferio

Susunan II Bentuk A-E-E nama Camestres


Bentuk E-A-E nama Cesare
Bentuk A-0-0 nama Baroco
Bentuk E-1-0 nama Festino

49
Susunan III Bentuk A-A-I nama Dar.apti
Bentuk E-A-0 nama F clapton
Bentuk A-1-1 nama Datisi
Bentuk E-1-0 nama Fresison
Bentuk I-A-I nama Disamis
Bentuk 0-A-O nama Boc.ardo
Susunan IV : Bentuk A-A-I nama Br.am.antis
Bentuk A-E-E nama Cam en es
Bentuk E-A-0 nama Fes.apo
Bentuk E-1-0 nama Ferison
Bentuk I-A-I nama Dim.ads
Nama-nama silogisme yang sahih di atas diciptakan terutama sebagai petunjuk
mengenai caranya mengubah silogisme dari susunan II, III, clan IV menjadi silogisme
susunan I, karena susunan I itu dianggap paling jelas mewujudkan proses penalaran.
Akan tetapi yang paling penting ialah mengetahui silogisme-silogisme mana yang
sahih, clan kalau ini diketahui baik-baik, pengembalian menjadi silogisme susunan I
menjadi kurang penting, sehingga juga mengingat-ingat nama bentuk silogisme
menjadi kurang penting.
Yang lebih penting ialah untuk memp"erhatikan, bahwa silogisme yang sahih itu
menunjukkan ciri-ciri tertentu menurut susunan I, II, clan III mengenai maior, minor
clan konklusinya. Inilah ciri-ciri tersebut:

Susunan I Susunan II Susunan III


Maior berdistribusi (A/E) berdistribusi (A/E)
Minor afirmatif (A/I) afirmatif (A/I)
Konklusi negatif partikulir

Bentuk silogisme yang sahih dalam susunan I konklusinya dapat berupa proposisi
A, E, I, atau O. Ini berarti, bahwa semua modus yang sahih dalam susunan I dapat
digunakan dalam setiap argumentasi tanpa mengingat apakah konkll;lsi yang dicari itu
suatu afirmasi, suatu negasi, suatu pernyataan yang sifatnya universal, ataupun
partikulir. Dengan lain perkataan: bentuk silogisme susunan I dengan modus apa saja
selalu dapat digunakan, asal bentuknya sahih.
Dalam susunan II bentuk silogisme yang sahih hanya dapat digunakan dalam
argumentasi untuk mengingkari sesuatu, sebab konklusinya selalu negatif.
Bentuk silogisme yang sahih dalam susunan III hanya dapat digunakan untuk
menarik konklusi yang sifatnya panikulir, baik afirmatif maupun negatif. Tidak dapat
digunakan untuk menyimpulkan suatu proposisi yang universal.
Seperti yang dikatakan pada bagian akhir paragraf tentang bujur sangkar perlawanan
(III.D), logika tradisional berpegang pada interpretasi eksistensial. Maka
bentuk-bentuk silogisme yang sahih di atas juga sahih menurut interpretasi
eksistensial. Kalau digunakan interpretasi hipotetik seperti dalam logika modern,

50
beberapa bentuk di antaranya tidak sahih, yaitu: bentuk AAI dan EAO baik dalam
susunan III maupun IV.
Latihan
I. Dalam susunan I bentuk silogisme yang sahih ada 4, yang tidak sahih ada 12.
Bagaimana bentuk-bentuk yang tidak sahih itu?
Bentuk-bentuk yang tidak sahih itu masing-masing melanggar hukum atau hukum-hukum
silogisme yang mana?
II. Idem mengenai bentuk-bentuk silogisme yang tidak sahih dalam susunan II.
III. Idem dalam susunan III.
IV. Idem dalam susunan IV.
V. Bagaimana bentuk silogisme dari penalaran-penalaran di bawah ini. Sahih atau tio.akkah
bentuk-bentuk itu masing-masing? Kalau tidak sahih, hukum silogisme yang mana yang
dilanggarnya?

*1. Karena berharga, pikiran itu dapat diperdagangkan.


2. "Saya memang berpendapat bahwa lebih baik keburu nafsu daripada ragu-ragu, sebab nasib itu
perempuan dan mutlak harus ditundukkan dengan kekerasan." (Machiavelli)
3. "Manusia itu begitu bodoh dan begitu mudah menyerah kepada kebutuhan sesaat, sehingga
selalu ada orang yang membiarkan dirinya ditipu oleh penipu." (Machiavelli)
*4. "Sekarang ada hotel luks di Singapura. Dengari lebih banyak kamar tamu dan ruang pertemuan
daripada hotel-hotel lain di kota. Dengan 108 kamar utama yang mewah, yang sangat ideal
untuk mengadakan pertunjukan dan konperensi. Dan dengan Businessmen's Centre, yang
menyediakan kantor efisien di rantau, lengkap dengan perpustakaan, penterjemah, dan
sekretaris-sekretaris.... Apakah tuan tidak akan menikmati kemewahannya yang khas itu?"
5. Diantara mahasiswa U.S. Merchant Marine Academy di Kings Point N. Y., terdapat sejumlah
kecil wanita. Semuanya intern. Hubungan sanggama dilarang keras dan barangsiapa melanggar
larangan itu dikeluarkan dari akademi.
Nancy Connelly, 20 tahun, tertangkap basah di tempat tidur dengan Mark Lewis, 22 tahun,
tunangannya. Nancy dikeluarkan, Lewis tidak, Argumen pimpinan akademi ialah:
pasangannya tidak diketahui karena bersernbunyi di bawah selimut dan Nancy tidak mau
menyebutkan namanya.

G. TEKNIK DIAGRAM VENN

Hukum-hukum silogisme tidak hanya dapat digunakan untuk'menyusun bentuk


silogisme yang sahih, akan tetapi juga untuk meneliti apakah bentuk sesuatu silogisme
itu sahih atau tidak. Penelitian seperti itu juga dapat dilakukan secara visual dengan
menggunakan diagram . Venn. Sudah diketahui bahwa dalam diagram Venn term
diwujudkan sebagai sirkel. Hubungan antara dua term dalam sebuah proposisi
diwujudkan sebagai dua sirkel yang beririsan. Dalam silogisme ada tiga term yang
saling berhubungan S-M-P. Ada delapan macam hubungan di antara ketiga term itu,
yaitu: t. SMP; 2. SMP; 3. SMP; 4. SMP; 5. SMP; 6. SMP; 7. SMP; clan 8. SMP.
Hubungan antar ketiga term tersebut diwujudkan sebagai tiga sirkel yang saling
memotong demikian rupa sehingga menghasilkan 8 bagian, yang masing-masing
mewujudkan salah satu dari kedelapan bentuk hubungan tersebut. Bentuk tiga sirkel
yang saling memotong, yang melambangkan silogisme itu demikian:

51
s

Tiap bagian dari ketiga sirkel yang saling memotong itu merupakan wujud dari
suatu kelas. Kalau kelas itu kosong atau tidak beranggota, bagian itu disaput hitam,
kalau mempunyai anggota diberi tanda'~. Cara meneliti apakah sesuatu silogisme itu
sahih atau tidak adalah sebagai berikut. Mula-mula hubungan kedua term dari premis
universal diwujudkan dalam bentuk diagram tiga sirkel yang saling memotong itu
dengan memberi saputan hitam atau tanda * pada bagian-bagian yang bersangkutan.
Hal yang sama dikerjakan untuk mewujudkan premis yang kedua. Kalau dengan
demikian tanpa tambahan atau perubahan lain proposisi konklusinya juga sudah ikut
terwujudkan, maka silogisme itu adalah sahih. Kalau untuk mewujudkan proposisi
konklusinya masih diperlukan tambahan atau perubahan lain, maka silogisme itu tidak
sahih. lni akan menjadi lebih jelas kalau kita menggunakan contoh-contoh.
Misalnya, silogisme berikut jelas sahih:
Semua sirkel itu bundar.
Tidak ada segitiga yang bundar .
.·. Tidak ada segitiga yang sirkel.
Proposisi maiornya: 'Semua sirkel (S) itu bundar (B) 'berarti: 'Sirkel yang tidak bundar
tidak mempunyai anggota': SB = 0. Kalau diwujudkan dalam diagram tiga sirkel di
atas, hasilnya terlihat pada gambar_ I di bawah.
Proposisi minor: 'Tidak ada segitiga (T) yang bundar (BJ berarti: 'Segitiga yang
bundar tidak mempunyai anggota': TB = 0. Dalam diagram tiga sirkel wujudnya
seperti pada gambar II di bawah:
Gambar I Gambar II Gambar III
s s s

B B B
Kedua premis itu kalau bersama-sama diwujudkan dalam diagram tiga sirkel, hasilnya
seperti pada Gambar Ill. Dan gambar ini sekaligus sudah mewujudkan proposisi
konklusi dari silogisme: 'Tidak ada segitiga yang sirkel' atau: 'Segitiga yang sirkel tidak
mempunyai anggota': TS = 0.
lni membuktikan bahwa silogisme itu sahih.

52
Kita teliti sekarang sebuah silogisme lain:
Semua mahasiswa gayanya hebat.
Ada mahasiswa yang bodoh.
.·. Ada orang bod oh yang gayanya he bat.
Kalau proposisi maior dari silogisme ini diwujudkan dalam diagram tiga sirkel,
gambarnya seperti pada Gambar I.
Proposisi minor kalau diwujudkan sebenarnya harus seperti pada gambar TI. Akan
I
tetapi karena menurut diagram gambar I ada bagian yang terbukti tidak mempunyai
anggota, maka bagian itu tidak dapat diberi tanda >:·. Dengan demikian diagram
I
silogisme selengkapnya menjadi seperti pada gambar III. Diagram ini sekaligus sudah
mewujudkan proposisi konklusinya. Jadi menurut diagram ini silogisme di atas adalah
i!
sahih. Dan memang tanpa diagrampun juga sudah jelas bahwa silogisme itu sahih.

I II III IV

Akan tetapi andaikata yang didahulukan itu wujud dari proposisi minor, maka ada
bagian yang tidak dapat disaput hitam, karena terbukti bagian itu mempunyai anggota.
Diagram silogisme seluruhnya akan menjadi seperti pada gambar IV. Menurut
diagram ini, silogisme di atas tidak sahih, karena diagram itu tidak sekaligus ·
mewujudkan proposisi konklusinya. Akan tetapi silogisme di atas jelas-jelas sahih.
Jadi cara pembuatan diagramnyalah yang salah. ltulah sebabnya maka di atas
dikatakan, bahwa yang didahulukan itu harus mewujudkan proposisi yang universal,
di sini maior.
Contoh silogisme lain adalah yang berikut:
Semua bola adalah benda bulat.
Balon itu bukan bola.
.·. Balon itu bukan benda bulat. ·
Meskipun konklusi silogisme di atas jelas salah, akan tetapi sepintas lalu
kelihatannya silogisme itu sahih.
Kalau maior dan minor silogisme itu didiagramkan, bentuk diagramnya sebagai
berikut:

A u A= halon
U = benda bulat.
O=bola -

0
53
Diagram itu tidak mewujudkan proposisi konklusi silogisme di atas, jadi silogismenya
tidak sahih. Kalau diteliti dengan menggunakan hukum silogisme, penalaran di atas
mengandung kesesatan latius hos, artinya di dalam konklusi terdapat term yang
berdistribusi, yang di dalam premisnya tidak berdistribusi, di sini term 'benda bulat'.
Ada baiknya kalau di sini diberikan sebuah contoh lagi mengenai silogisme yang
bentuk diagramnya sedikit memerlukan pertimbangan. Silogismenya demikian
bentuknya:
Semua P=M Misalnya: Semua perwira adalah ahli perang.
Ada S=M Beberapa mahasiswa itu ahli perang,
.·.ada S =P ]adi: Beberapa mahasiswa adalah perwira.

Silogisme ini tidak sahih. Dengan mencocokkannya dengan hukum-hukum


silogisme, jelaslah bahwa dalam silogisme ini term M dua kali tidak berdistribusi. Di
sinilah kesesatannya.
Bagaimana mendiagramkan silogisme tersebut? Kalau ketiga sirkel dari diagram itu
kita sebut A(= ahli perang), P (= perwira) dan M (= mahasiswa), maka proposisi
maior dari silogisme itu diwujudkan dengan menyaput hitam bagian sirkel Pyang di
luar sirkel A. Untuk mewujudkan proposisi minor bagian sirkel M yang termasuk
sirkel A harus diberi tanda ·~. Akan tetapi bagian itu terbagi dua yang masing-masing
mewujudkan kelas yang berbeda, yang satu kelas MAP, yang lainnya kelas MAP. Di
bagian yang mana tanda * itu harus ditempatkan? Kalau kita memilih salah satu di
antara dua bagian itu, berarti kita memberi makna kepada proposisi minor itu, yang
tidak terdapat di dalamnya. Proposisi J:Einor itu tidak memberi petunjuk apakah
bagian itu meliputi kelas MAP atau MAP. Tanda * juga tidak dapat ditempatkan di
0

kedua bagian itu~ karena juga tidak ada petunjuk mengenai ini. Apa yang dikatakan
dalam pro2osisi minor itu hanya bahwa ada anggota entah mengenai kelas MAP atau
kelas MAP. Makna ini diwujudkan dengan menempatkan tanda * pada garis pemisah
kedua bagian yang bersangkutan. Maka diagram silogisme di atas menjadi demikian:
p

Dengan diagram yang demikian itu proposisi konklusi belum ikut terwujudkan.
Konklusi akan terwujudkan kalau tanda * itu ditempatkan dalam MAP, yaitu bagian
yang termasuk lingkaran sirkel P. Jadi menurut diagram Venn, silogisme di atas tidak
sahih. Dengan contoh-contoh di atas agaknya jelaslah sudah cara penggunaan tehnik
diagram Venn untuk meneliti sahih-tidaknya sesuatu silogisme.

Latihan
I. Telicilah sahih-tidaknya bentuk-bentuk silogisme di bawah ini dengan menggunakan teknik
diagram Venn.

54
Susunan I. Susunan II. Susunan III.
E-A-E A-1-0 E-1-0 ·
* A-E-0 "' l-E-0 "' A-1-1
1-0-0 E-1-0 0-A-I
* E-A-A • A-0-A "' 0-A-O
E-1-0 0-E-O A-A-A

IL T~ntukanlah bentuk silogisme penalaran-penalaran di bawah ini dan selidiki sahib dan tidaknya
dengan menggunakan teknik diagram Venn.
1. Orang beragama itu mudab ditipu, sebab ia orang yang percaya dan orang yang mudah
percaya mudah ditipu.
*2. Juga binatang ada yang setia. Anjing itu binatang atau bukan? Setia atau tidak? .
3. Rakyat tidak dapat memilih, karena rakyat takut; dan orang takut tidak bebas untuk
memilih.
''4. Semua pejuang itu idealis. Orang fanatikpun idealis. Kalau begitu pejuang itu orang fanatik.
5. Ada orang kristen yang bukan orang Katolik. Orang Katolik iru bukan orang Protestan,
sebab. ada orang kristen yang bukan orang Protestan.
6. Ada berita: wartawan menggigit anjing. ltu luar biasa; dan yang luar biasa adalah berita.
''7. Penjahat itu parasit masyarakat, sebab hidupnya dari basil produksi orang lain; dan itu
parasit.
8. Ada pemburu menembak. mati gajah. Ada gajah mengamuk. J adi pemburu menembak mati
gajah yang mengamuk.
*9. Puntung rokok Roro Mendut itu penuh kenangan: pernah disentuh-senruh oleh jari halus
Roro Mendut, pemah terjepit oleh bibirnya yang merah. ltu semua kenangan yang
menyenangkan dan iru mahal. Maka puntung rokok Roro Mendut itu mahal.
10. Tidak mungkin orang lulus ujian. Sebab orang yang seharusnya lulus itu tentu orang yang
tidak lulus. Pada hal orang yang tidak lulus itu tidak lulus, jadi tidak dapat menjadi lulus
sekaligus.

H. SILOGISME DALAM KOMUNIKASI SEHARI-HARI


Dalam paragraf IV.A sudah kita lihat bahwa dalam kehidupan sehari-hari tidak
begitu sering kita berjumpa dengan silogisme yang berbentuk standar. Susunan unsur
proposisinya banyak yang terbQlak-balik, sedang proposisi-proposisi itu sendiri
sering tidak berbentuk standar. Dalam penyimpangan-penyimpangan dari bentuk
silogisme seperti itu unsur-unsur silogisme lengkap.
Dalam komunikasi sehari-hari juga banyak terjadi penyimpangan karena unsur
proposisinya hiperlengkap, lebih dari tiga. Silogisme yang demikian itu adalah
silogisme tersusun clan dapat berbentuk polisilogisme, sorites, dan epikirema
(epchirema).
Di samping itu juga banyak silogisme menyimpang karena unsur proposisinya tidak
lengkap. Bentuk silogisme yang demikian itu disebut entimema (enthymeme).

1. Entimema
Dalam komunikasi sehari-:hari orang biasanya tidak bersusah-susah memberi
bentuk silogisme standar kepada argumentasinya. Banyak penalaran yang tidak semua
unsur prqposis~nya dinyatakan secara eksplisit. Ini begitu biasa dalam komunikasi
sehari-hari, sehingga argumentasi semacam itu sudah mendapat nama sejak jaman
Yunani purba, yaitu: entimema.

55
Entimema itu sebagai argumentasi hanya mempunyai arti kalau proposisi yang tidak
dinyatakan secara eksplisit itu sudah jelas. Jelas karena memang sudah jelas dengan
sendirinya (self evident) atau jelas karena merupakan pengetahuan umum atau jelas
dalam konteks komunikasi. Untuk meneliti apakah entimema itu sahih atau tidak,
diperlukan dua tahap. Mula-mula entimema itu dilengkapi dengan proposisi yang
tidak dinyatakan secara eksplisit, sehingga menjadi silogisme biasa. Kemudian
sahih-tidaknya silogisme ini diteliti dengan menggunakan hukum-hukum silogisme
atau dengan menggunakan tehnik diagram Venn.
· Untuk melengkapi entimema sehingga menjadi silogisme standar, harus diingat
bahwa:
a) premis di dalam penalaran adalah alasan atau sebab dari konklusi. Dalam bahasa,
premis itu akan nampak dari penggunaan kata-kata seperti: karena, sebab, dengan
alasan, berdasarkan, dan sebagainya.
b) konklusi adalah akibat atau berdasarkan premis dan dalam bahasa sering didahului
dengan kata-kata: jadi, oleh karena itu, maka dari itu, dengan alasan itu, dan
sebagainya.
c) term konklusi adalah: S - P.
d) term yang bukan S atau P adalah M dan hanya terdapat di dalam premis.
Karena silogisme itu terdiri atas tiga proposisi, maior, minor, dan konklusi, maka
bentuk-bentuk entimema itu ialah:
1) entimema tanpa maior,
2) entimema tanpa minor,
3) entimema tanpa konklusi, dan
4) entimema tanpa konklusi dan maior atau minor.
Contoh entimema tanpa maior misalnya sebagai berikut:
"Tentu saja saya dapat khilaf, saya kan manusia biasa!"
Kata 'kan' menunjukkan, bahwa bagian dari Ralimat itu menyatakan alasan atau dasar
penalaran. J ad.i bagian sisanya menyatakan konklusi penalaran. Karena term di dalam
konklusi itu S (say a) dan P (makhluk yang dapat khilaf), maka tetm yang bukan S dan P
adalah M (manusia biasa).
Di tambah dengan maiornya, dan distandarisasikan, silogismenya menjadi demikian:

Maior: Semua manusia bi'lsa adalah makhluk yang dapat khilaf.


Minor: Saya adalah manusia biasa.
Konklusi: Saya adalah makhluk yang dapat khilaf.

Silogisme yang sama juga dapat dinyatakan sebagai entimema tanpa mmor.
Bentuknya, misalnya, menjadi sebagai berikut:
"Tentu saja saya dapat khilaf, semua manusia biasa kan dapat khilaf!"
Baik minor ataupun maior dalam silogisme itu dapat dihilangkan, karena
kedua-duanya mengandung pengetahuan ·umum yang diterima kebenarannya oleh
setiap orang. Dengan demikian setiap orang dengan mudah dapat menambah sendiri
bagian yang tidak dinyatakan dalam silogisme'.

56
Akan tetapi di dalam silogisme di atas konklusinyapun dapat dihilangkan dan
penalarannya menjadi, misalnya, demikian:

"Saya kan manusia biasa dan semua manusia biasa dapat khilaf!"

Di sini orang-orang yang saling berkomunikasi itu sudah sama-sama mengetahui


konklusinya. Bahkan dalam contoh tersebut sudah cukup apabila orang hanya
menyatakan maiornya atau minornya saja secara eksplisit. Lainnya dapat dianggap
sudah diketahui oleh umum. Jadi cukuplah untuk mengatakan:

"Saya kan manusia biasa!" atau


"Semua manusia biasa dapat khilaf!"

Entimema yang hanya terdiri atas maior atau minor saja itu dalam komunikasi
sehari-hari dapat terjadi, apabila dua orang sama-sama mempersoalkan hal yang sama.
Misalnya: Pak guru Adam menanyakan mengapa murid Hawa tidak masuk sekolah.
Pertanyaan itu mengharapkan jawaban semacain: "Hawa tidak masuk sekolah karena
...... ". Inilah konklusi yang sarna diterima oleh pak Guru dan murid yang ditanyai.
Sudah cukup jelas kalau si murid menjawab: ''la sakit, Pak." Maior yang bersangkutan
dapat diharap sudah diketahui oleh si penanya; Bunyinya, misalnya: "Semua orang
sakit tidak dapat masuk sekolah".
Akan tetapi konklusi yang belum diketahui sebelumnya juga dapat dihilangkan
dengan dua syarat: pertama, premis-premisnya harus jelas-jelas benar dan kedua,
susunan premisnya harus tepat, sahih. Entimema semacam itu dapat besar sekali
dampaknya kepada lawan berkomunikasi. Susunan premis yang demikian itu
memaksa orang untuk menarik kesimpulan tertentu dan konklusi yang bersangkutan
adalah hasil penyimpulannya sendiri. Misalnya:
"Cara bermusyawarah adalah cara yang dikehendaki Pancasila.
Mementingkan golongan sendiri itu bukan cara bermusyawarah."

Di sini lawan berkomunikasi terpaksa menarik kesimpulan:


"J adi mementingkan golongan sendiri itu bukan cara yang dikehendaki
Pancasila."

2. Polisilogisme dan sorites


Dalam entimema jumlah proposisi dalam silogisme kurang dari tiga. Ada pula
silogisme, yang jumlah premisnya lebih dari dua proposisi. Silogisme demikian itu
ialah silogisme tersusun, yaitu rangkaian dari dua silogisme atau lebih.
Bentuk silogisme tersusun yang boleh dibilang standar ialah polisilogisme. Dalam
polisilogisme, silogisme yang pertama lengkap. Konklusinya kemudian langsung
digunakan sebagai premis silogisme berikutnya. Konklusi silogisme kedua ini
dijadikan lagi premis silogisme berikutnya, dan seterusnya.

57
Partai yang fanatik mementingkan golongan sendiri itu bukan partai yang
mau mengalah.
Partai yang mau mengalah adalah partai yang mau bermusyawarah.

Partai yang fanatik mementingkan golongan sendiri itu bukan partai yang
mau bermusyawarah.
Partai yang mau bermusyawarah adalah partai seperti dituntut oleh
Pancasila. .

Partai yang fanatik mementingkan golongan sendiri itu bukan partai seperti
dituntut oleh Pancasila.
Partai seperti dituntut oleh Pancasila adalah partai yang sesuai dengan
konsensus bangsa Indonesia.

Partai yang fanatik mementingkan golongan sendiri itu bukan partai yang
sesuai dengan konsensus bangsa Indonesia.

Contoh polisilogisme di atas terdiri atas rangkaian tiga silogisme. Dalam


polisilogisme, seperti halnya dengan semua silogisme, konklusinya harus sesuai
dengan proposisi yang paling lemah, di sini proposisi negatif. Kebetulan semua
proposisinya berdistribusi. Andaikata ada proposisi yang tidak berdistribusi, maka
konklusinyapun harus tidak berdistribusi. .
Dalam komunikasi sehari-hari orang lebih banyak menggunakan bentuk entimema
dari polisilogisme, namanya sorites. Dalam sorites semua konklusi dalam silogisme
dihilangkan, kecuali konklusi terakhir. Dalam bentuk sorites, polisilogisme di atas
menjadi sebagai berikut:

Partai yang fanatik mementingkan golongan sendiri itu bukan partai yang
mau mengalah.
Partai yang mau mengalah adalah partai yang mau bermusyawarah.
Partai yang mau bermusyawarah adalah partai seperti dituntut oleh
Pancasila.
Partai seperti dituntut oleh Pancasila adalah partai yang sesuai dengan
konsensus bangsa Indonesia.

Partai yang fanatik mementingkan golongan sendiri itu bukan partai yang
sesuai dengan konsensus bangsa Indonesia.
Menurut bentuknya, sorites itu silogisme yang premisnya lebih dari dua proposisi.
Susunannya ialah susunan I clan dalam premis yang berturut-turut itu term predikat
dari premis yang sebelumnya menjadi term subyek dari premis berikutnya.
Perbandingan bentuk · sorites dengan bentuk polisilogisme biasa adalah sebagai
berikut:

58
Polisilogisme biasa Sorites

S -M S -M
M p M -P
.·.S P p - Q
p Q Q -R
.·.S Q .·. S - R
Q R
.·.S R

Untuk meneliti sahih-tidaknya sebuah sorites, cara yang paling mudah ialah dengan
melengkapi sorites sehingga menjadi polisilogisme biasa dan kemudian meneliti
apakah tiap-tiap silogisme didalamnya itu sahih atau tidak dengan mencocokkannya
dengan hukum-hukum silogisme atau dengan menggunakan teknik diagram Venn.

3. Epikirema
Sebuah bentuk polisilogisme lain yang juga biasa digunakan dalam komunikasi ialah
epikirema, yaitu silogisme yang salah satu atau kedua premisnya disertai dengan
sebab, keterangan, atau alasan. Contoh di bawah ini kedua premisnya diberi alasan:
Semua arloji baik adalah arloji mahal, karena sukar pembuatannya.
Arloji quartz itu arloji baik, karena selalu tepat dan awet.
]adi: Arloji quartz itu arloji mahal.

Seperti sudah kita ketahui, sebuah silogisme dalam komunikasi sehari-hari dapat
berupa sebuah kalimat bersusun di mana premis silogisme dinyatakan sebagai alasan
atau sebab. Jadi kedua premis dalam contoh silogisme di atas sebenamya adalah dua
silogisme, kedua-duanya dalam bentuk entimema, karena premisnya tidak dinyatakan
secara lengkap. Kalau contoh silogisme di atas dijabarkan, menjadi tiga silogisme
sebagai berikut:

Premis maiornya menjadi demikian:


Barang yang sukar pembuatannya adalah barang mahal.
Arloji baik itu barang yang sukar pembuatannya.
]adi: Arloji baik itu barang mahal.

Premis minornya menjadi sebagai berikut:


Arloji yang selalu tepat dan awet adalah arloji baik.
Arloji quartz itu selalu tepat dan awet.
]adi: Arloji quartz itu arloji baik.

Kesimpulan dari silogisme contoh tersebut diturunkan dari kedua konklusi di atas
sebagai premis:

59
Arloji baik itu barang mahal.
Arloji quartz itu arloji baik.
]adi: Arloji quartz itu barang mahal.
Untuk meneliti apakah epikirema itu sahih, setiap silogisme yang dapat dijabarkan dari
epikirema itu harus dicocokkan dengan hukum-hukum silogisme atau diwujudkan
sebagai diagram Venn.

Latihan
I. Dalam buku Tantri Kamandaka ada cerita tentang kecerd.ikan seekor kambing, yang berhasil
mengalahkan seekor harimau. Permulaan cerita itu tertera di bawah ini. J abarkan entimema, yang
.tercetak miring, menjadi silogisme standar.
Seekor harimau, bernama Sarani, berkeliaran di pegunungan mencari binatang liar untuk
dijadikan mangsanya ... Yang dilihatnya ialah seekor induk kambing dengan anaknya. Berkatalah si
Harimau: "Apa itu?"
1. Kelihatannya persis seperti binatang, belang dan benanduk, sehingga keiihatannya menarik.
Saya ke sana! la menghampiri kambing sambil berkata: "He, kemana engkau, berkeliaran di
gunung? Apa kamu tidak tahu bahwa ini daerahku? Hutan ini?
~·2. Akan kuantar kau ke alam dewa maut, karena kamu telah menginjak daerahku."
Si kambing menjawab ..... "Harimau, engkau tidak tahu apa yang pemah kukatakan, akan
tetapi akan kuberitahu kau.
3. Harimau-harimau kubunuh dan kumakan sepuluh sekaligus. Sebab aku dapat mengeluarkan
api setinggi menara, sehingga membakar matahari!"
Dan kamu hanya harimau seekor! Tetapi tunggu saja, apa ini? lni namanya]ahni. lni keluar dari
tanah dan menembus sampai ke angkasa. Meskipun Sang Hyang Tripurusa hendak mencabutnya,
mereka tidak mampu.
*4. Agar kamu dapat mengetahui kekuatan gaibku, lihatlah ini, ini lain lagi. lni tiang besi, buatan
dewa-dewa. Kalau kupukul patah ia!
Awas kau harimau!"
Pada tangga1 6 Oktober 1980 Presiden Mesir, Anwar Sadat, ditembak mati oleh pembunuh. .
Majalah TIME memuat beberapa tulisan pembaca. J abarkan entimema di dalamnya menjadi
silogisme standar.
5. Saya seorangJ ahudi Amerika, yang mengandung kebencian 'buta' terhadap semua orang Arab.
Saya semula mengira bahwa tidak akan pernah ada sesuatu yang dapat mengubah peras,aan saya,
akan tetapi Sadat mengajarkan kepada saya dengan keberanian dan kebijakannya bahwa tidak
ada yang lebih pen ting daripada mendatangkan perdamaian - bukan tradisi, bukan harga diri,
bahkan bukan hidup itu sendiri. Dunia kehilangan seorang, yang mungkin akan dapat
mengubah ani hidup bagi kita semua.
6. Anwar Sadat menjadi bahan tertawaan di banyak negara. Hanya jarang sekali orang dapat
mengatasi purbasangka, kebanggaan dan harga diri yang palsu sena memeluk bekas musuhnya
demi kepentingan perdamaian dan persaudaraan di antara umat manusia. Nama Presiden Mesir
itu harus diperingati dan diabadikan dan ia harus diberi bintang perdamaian yang abadi.
*7. Orang Amerika berkabung karena Anwar Sadat, sebab ia baik untuk Amerika. Akan tetapi ia
akhirnya Presiden Mesir, sebuah negara Arab. Ciri seorang pemimpin sejati ialah apakah
rakyatnya sendiri berkabung karena dia atau tidak.
8. Akhir tahun 1981 Eropa Barat dilanda ketakutan terhadap perang nuklir. Di mana-mana timbul
demonstrasi protes. Seorang pembaca TIME menulis: "Kaum demonstran Eropa mempunyai
cukup alasan untuk prihatin. Kami semua prihatin. Kami sering dibuat percaya bahwa orang
yang menentang peningkatan kekuatan militer itu paling baik adalah naif, paling jelek komunis.
Orang Eropa yang memahami bahaya perang begitu jelas seharusnya dimasukkan golongan
orang realis. " ·

60
~·9."TIME berkata bahwa USA perlu berbicara lebih berhati-hati tentang masalah penyebaran
senjata nuklir. Saya kira tidak. Makin banyak kami, orang Eropa, tahu apa yang paling mudah
keluar dari bibir Presiden Reagan, makin mudah kami dapat menerka tindakan-tindakannya
yang pertama dalam keadaan yang menegangkan.
10. "Saya ingat kepada Mohammad Ali Jinnah almarhum,' pendiri Pakistan dan kepala negaranya
yang pertama. Pada tahun 1942 Universitas Aligarh yang terkenal itu memutuskan untuk
memberinya gelar kehormatan sebagai doktor dalam ilmu hukum. Meskipun Jinnah
menghargainya sesuai dengan semangat pemberinya, ia menjawab:
"Meskipun amat segan, saya terpaksa berkata bahwa dalam waktu yang lalu saya selalu hidup
sebagai Ali Jinnah biasa dan saya berharap akan mati sebagai Ali Jinnah biasa. Saya sangat
menolak untuk menerima sesuatu gelar atau kehonnatan, dan saya akan lebih senang kalau di
depan nama saya tidak ada tambahan apa-apa."
II. Carilah silogisme dan polisilogisme dalam kutipan di bawah ini. Adakah polisilogisme itu dalam
bentuk polisilogisme biasa, sorites atau epikirema? Silogisme-silogisme tersebut mulai di belakang
angka 1), 2) dst.

Kutipan
PENDAHULUAN
1) Dalam tradisi antropologi/sosiologi di Indonesia, sebelum perang dunia kedua, masalah
bagaimana mempertanggungjawabkan data-data penelitian tidak atau jarang dipersoalkan. Hal ini
telah mengakibatkan bahwa kepustakaan mengenai Indonesia memiliki sejumlah besar deskripsi,
monografi, dan karangan etnografi yang jarang sekali mempersoalkan atas dasar metode dan teknik
apa data-data dikumpulkan dan kesimpulan ditarik.
Keadaan ini sesungguhnya tidak merupakan keadaan yang khas bagi Indonesia sebelum perang
dunia kedua, melainkan dapat disinyalir di mana pun juga. Perhatian besar yang sekarang diberikan
kepada metode dan teknik penelitian masyarakat adalah suatu gejala yang timbul setelah perang!
Makin banyak sosiolog dan antropolog meren,ungkan pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana
data diperoleh? Apakah sumber-sumber yang dipakai mewakili realitas sosial yang disinyalir?
Apakah data-data yang dikumpulkan dipengaruhi oleh teknik penelitian yang dipakai? Dan
sebagainya.
2) Adalah terutama studi-studi dari sosiolog-sosiolog di Amerika Serikat seperti Samuel Stouffer
dan Robert K. Merton yang sangat mendorong dan memperluaskan metode dan teknik penelitian
yang dipakai. Dengan kata lain ilmu sosiologilah yang mengha5ilkan perkembangan ini.
*3) Mungkin kenyataan ini juga ikut serta bertanggung jawab atas keseganan antropolog-
antropolog tertentu untuk memanfaatkan metod~ dan teknik yang baru, biasanya dengari alasan
bahwa lapangan antropologi menuntut suatu pendekatan khusus. Dan dengaii "pendekatan
khusus" ini dimaksudkan suatu cara kerja seperti dikemukakan di atas tadi.
4) Apa pun juga alasan yang dipakai maka menjadi kenyataan bahwa masyarakat sekarang yang
kompleks yang mengenal proses-proses perubahan yang sangai- dinamis, menuntut dipakainya
metode dan teknik penelitian yang mampu menganalisa kompleksitas dari gejala-gejala
kemasyarakatan. Zaman dari the simple, isolated tribe (kataupun pernah ada!) sudah lewat untuk
selama-lamanya.
Dalam buku ini, yang juga dipengaruhi oleh p.engalaman kami selama delapan tahun sebagai
dosen-tamu pada Universitas Indonesia, kami telah berusaha untuk seanalitis mungkin
mempersoalkan metode-metode dan teknik-teknik penelitian. Dalam rangka ini kami mendasarkan
diri atas kepustakaan yang kami anggap relevan dan di mana ternyata perlu kami selalu
mengemukakan pandangan: kami sendiri.
Kami menyadari bahwa ada pembaca yang beranggapan bahwa usaha penelitian di lap:uigan tidak
memerlukan teore~is, malahm menganggapnya sebagai usaha petualangan romantik.
*5) Bagi mereka buku ini pasti akan membosankan oleh karena mengadaltan penelitian ilmiah
menuntut bahwa calon peneliti harus melewati sejumlah tahap mulai dari merenungkan ·dan

61

l
merumuskan pennasalahannya, memberi perhatian pada implikasi metodologis, memilih teknik
penelitian yang tepat, mencoba meramalkan hambatan-hambatan yang mungkin dijumpai dalam
pengumpulan data, mengadakan pengolahan data baik kualitatif maupun kuantitatif dan akhirnya
merumuskan laporan ilmiah di mana kesimpulan yang ditarik dapat dipertanggungjawabkan.
6) Sebaliknya bagi mereka yang bersedia untuk membekali dirinya dengan metode dan teknik
yang merupakan dasar bagi setiap penelitian di bidang ilmu-ilmu sosial, maka tahap-tahap yang
disebut di atas ini adalah syarat mutlak. J elaslah bahwa buku ini ditujukan kepada kelompok kedua.
"

CT. Vredenbregt: Metode dan teknik penelitian masyarakat, Cet. III,


1980, Gramedia, Jakarta)

62
BAGIAN KEEMPAT

LOGIKA INDUKTIF

I had only a very vague idea who


Bishop Berkeley was, but was very
thankful to him for having defended
us from an incontrovertible
prem1s.

Samuel Butler
"The Way of All Flesh"

129
BAB VII: LOGIKA INDUKTIF

A. INDUKSI·
Dalam karangan singkat yang terkenal, karena jelasnya clan sederhananya, berjudul
"The Method of Science", Thomas Henry Huxley (1825-1895) menerangkan induksi
dengan contoh sebagai berikut: *)
"Anggaplah kita mengunjungi warung buah-buahan karena ingin membeli apel. Kita
ambil sebuah, dan ketika mencicipinya, terbukti itu masam. Kita perhatikan apel itu
dan terbukti bahwa apel itu keras dan hijau. Kita ambil sebuah yang lain. ltu pun keras,
hijau, dan masam. Si pedagang menawarkan apel ketiga. Akan tetapi sebelum
mencicipinya, kita memperhatikannya dan terbukti yang itu pun adalah keras.dan
hijau, dan seketika itu kita beritahukan, bahwa kita tidak menghendakinya, karena
yang itu pun pasti masam, seperti lain-lainnya yang sudah kita cicipi. "
]alan fikiran si calon pembeli sehingga ia sampai pada kesimpulan untuk tidak
membeli apel, ialah sebuah induksi. Huxley menjelaskan proses induksi itu sebagai
berikut:
"Pertama-tama, kita telah melakukan kegiatan yang disebut induksi. Kita telah
menemukan bahwa dalam dua kali pengalaman sifat keras dan hijau pada apel itu selalu
bersama-sama dengan sifat masam. Demikianlah pada peristiwa yang pertama, dan itu
diperkuat dalam peristiwa yang kedua. Memang itu dasar yang amat sempit, akan
tetapi sudah cukup untuk dijadikan dasar induksi: kedua fakta itu kita generalisasikan
dan kita percaya akan berjumpa. dengan rasa masam pada apel, bila kita temui sifat
keras dan hijau. Dan ini suatu induksi yang tepat. ,,
Menurut Huxley untuk sampai kepada kesimpulan penolakan apel ketiga, penalaran
induktif itu diikuti oleh penalaran deduktif:
"Nah, sesudah dengan demikian kita menemukan hukum alam, ketika kita ditawari
apel lain yang terbukti keras dan hijau, kita berkata: 'Semua apel yang keras dan llljau
itu masam; ~pel ini keras dan hijau, jadi apel ini masam ".]alan fikiran inilah yangoleh
ahli logika disebut silogisme... "
Kalau dirumuskan secara fonnal, penalaran diatas menurut Huxley adalah demikian:
lnduksi:
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
·. · Semua apel keras dan hijau adalah masam.
,.) Dicetak ulang secara lengkap dalam Alssid, Michael W., dan William Kenney: The World ofIdeas, New York t 966,
533 $qq.

131
Deduksi:
Semua apel keras dan hijau adalah masam.
Apel 3 adalah keras dan hijau .
.·. Apel 3 adalah masam.
Induksi seperti di atas sesuai dengan definisi Aristoteles, yaitu proses peningkatan
dari hal-hal yang bersifat individual kepada yang bersifat universal (a passage from
individuals to universals). Di situ premisnya berupa proposisi-proposisi singular,
sedang konklusinya sebuah proposisi universal, yang berlaku secara umum. Maka
induksi dalam bentuk ini disebut generalisasi.
Akan tetapi penalaran calon pembeli itu juga dapat dirumuskan dalam bentuk lain
sebagai berikut:
Induksi:
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Apel 3 adalah keras dan hijau.
·. · Apel 3 adalah masam.
Bentuk penalaran di atas juga suatu induksi, namanya analogi induktif. Untuk
analogi induktif ini mungkin batasan Aristoteles kurang mengena. Meskipun benar
bahwa tidak mungkin apel 3 itu masam kalau tidak semua apel keras dan hijau itu
masam, akan tetapi konklusi penalaran di atas bukan suatu proposisi universal,
melainkan suatu proposisi singular. John Stuart Mill (1806-1873) salah seorang tokoh
terpenting yang mengembangkan logika induktif, mendefinisikan induksi sebagai:
"Kegiatan budi, di mana kita menyimpulkan bahwa apa yang kita ketahui benar
untuk kasus atau kasus-kasus khusus, juga akan benar untuk semua kasus yang
serupa dengan yang tersebut tadi dalam hal..hal tertentq." (".. that operation of
the m1!Jd, by which we infer that what we know to be true in partikula.r case or
cases, will be true in all cases which resemble the former in certain assignable
respects")
Dari contoh dua jenis induksi di atas dapat diketahui ciri-ciri dari induksi.
Pertama, premis-premis dari induksi ialah.proposisi empirik yang langsung kembali
kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar (basic statement). Seperti sudah
diterangkan di depan (paragraf 1.2), proposisi dasar menunjuk kepada fakta, yaitu
observasi yang dapat diuji kecocokannya dengan tangkapan indera. Pikiran tidak
dapat mempersoalkan benar-tidaknya fakta, akan tetapi hanya dapat menerimanya.
Bahwa apel 1 itu keras, hijau, dan masam, hanya inderalah yang dapat menangkapnya.
Sekali indera mengatakan demikian, pikiran tinggal menerimanya.
Kedua, konklusi penalaran induktif itu lebih luas daripada apa yang dinyatakan
didalam premis-premisnya. Premis-premisnya hanya mengatakan bahwa apel yang
keras, hijau dan masam itu hanya dua, apel 1 dan 2. Itulah yang diobservasi dan itulah
yang dirumuskan di dalam premis-premis itu. Kalau dikatakan, bahwa juga apel 3 itu
masam, hal itu tidak didukung oleh premis-premis penalaran. Menurut kaidah-kaidah
logika, penalaran itu tidak sahih; pikiran tidak terikat untuk menerima kebenaran
konklusinya.

132
Ketiga: meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang
normal akan menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk menolaknya. Jadi konklusi
penalaran induktif itu oleh pikiran dapat dipercaya kebenarannya atau dengan
perkataan lain: konklusi induksi itu memiliki kredibilitas rasional. Kredibilitas
rasional disehut probabilitas. Probabilitas itu didukung oleh pengalaman, artinya
konklusi induksi itu menurut pengalaman biasanya cocok dengan observasi indera,
tidak mesti harus cocok.
Kecuali kedua jenis di atas masih ada induksi-induksi jenis lain, yang akan dibahas
dalam bah ini. Mengingat pentingnya induksi dalam metode keilmuan dewasa ini,
terlebih dahulu kita sisipkan sedikit penjelasan tentang kedudukan logika dalam
metode keilmuan.

B. LOGIKA DALAM METODE ILMU PENGETAHUAN


Dalam "The method of Science", Th. H. Huxley menulis tentang hal ini:
"Metode penelitian ilmu pengetahuan tidak lain daripada rumusan cara kerja yang mutlak dari budi
manusia. Metode itu hanya cara yang biasa untuk menelaah semua fenomena, yang telah
ditingkatkan, sehingga menjadi tepat dan tegas. Perbedaannya tidak 1ebih dari itu, akan tetapi justru
di situ ada perbedaan semacam yang terdapat di antara apa yang dikerjakan oleh seorang ilmuwan
dan orang biasa, seperti diantara pekerjaan dan cara-cara tukang roti atau seorang jagal, yang
menimbang bahan-bahannya dengan menggunakan timbangan biasa dan pekerjaan seorang ahli
kimia, yang mengadakan analisa yang sukar dan kompleks dengan menggunakan balans dan
bobot-bobot yang terperinci dengan sangat teliti. Soalnya bukan karena cara kerjanya timbangan
dan balans itu berbeda prinsip konstruksi dan prinsip kerjanya, akan tetapi yang satu bahunya
dipasang di atas as yang jauh lebih halus daripada yang lain, dan dengan sendirinya bergerak kalau
ditambah bobot yang jauh lebih kecil".
Mengingat bahwa penalaran ilmiah itu seben~I'Jlya juga penalaran hiasa yang
disempumakan, maka penalaran si calon pembeli apel di warung buah-buahah itupun
dasar-dasamya sama dengan penalaran ilmiah. Menurut rekonstruksi formal Huxley,
penalaran itu terdiri atas dua tahap: tahap induksi berdasarkan observasi dua apel
keras, hijau, dan masam dengan kesimpulan bahwa semua apel keras dan hijau itu
masam. Hal yang sama .terjadi dalam proses ilmu pengetahuan, tetapi observasinya
dengan teliti sekali. Dalam ilmu pengetahuan alam, misalnya, dengan mengguna,kan
alat seperti mikroskop, timbangan dan takaran yang teliti, dalam ilmu sosial.deng_.an
menggunakan daftar pertanyaan, menentukan kondisi setiap orang yang ditanyai
(responden): umumya, pekerjaannya, agamanya, dan sebagainya. Melalui induksi.,
kesirnpulannya dapat berupa hukum, kalau diperkirak.an tidak akan pemah terbantah
oleh observasi lain; atau teori kalau kiranya berlakunya harus memenuhi syarat-syarat
iertent;\l. Kalau dasar pbservasi dianggap masih kurang kuat, konklusinya dapat
d'isebut hipotesa.
_Tahap kedua dalam rekonstruksi penalaran calon pembeli apel menurut Huxley
ialah, penerapan hukum alam (bahwa semua apel keras dan hijau itu masam) pada
suatu keadaan tertentu, yaitu apel 3 yang keras dan hijau. Penalaran ini suatu deduksi.
Hal yang sama terjadi dalam proses ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
meramalkan atau membuat prediksi, bahwa hukum, teori, atau hipot.esa itu akan
berlaku untuk semua kondisi yang sama seperti yang diobservasi terlebih dahulu dan
menghasilkan hukum, teori atau hipotesa itu. Ini penalaran deduktif.

tll
Konldusi dari deduksi itu dalam ilmu pengetahuan diteliti lagi. Melalui observasi
yang cermat dikumpulkan fakta-fakta seperti yang dimaksudkan. Berdasarkan
fakta-fakta itu ditarik kesimpulannya melalui induksi lagi, seperti pada tahap pertama.
Konklusinya tidak boleh bertentangan dengan konklusi tahap pertama. Dalam ilmu
pengetahuan ini disebut verifikasi atau lebih tepat koroborasi.
Karena ilmu pengetahuan (empirik) bermaksud mengumpulkan pengetahuan
tentang fakta atau observasi yang dapat dibenarkan dengan pengamatan indera
(empirically verifiable observation), maka jelaslah bahwa, sekali observasinya tepat,
benar-tidaknya hasil pengetahuan ilmiah itu tergantung dari tepat-tidaknya penalaran
yang disusun berdasarkan fakta itu. Meskipun baik induksi maupun deduksi itu
mutlak diperlukan dalam proses ilmu pengetahuan, peranan induksi kelihatan lebih
menonjol, karena dalam ilmu pengetahuan akhirnya faktalah yang menentukan benar
tidaknya pengetahuan. Usaha mengumpulkan pengetahuan inilah yang disebut
penelitian (ilmiah).

C. GENERALISASI INDUKTIF
1. Syarat-syarat generalisasi
Sudah diketahui bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat
umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik itu disebut generalisasi.
Prinsip yang menjadi dasar penalaran genera.lisasi itu dapat dirumuskan demikian:
Apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan
selalu terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi.
Dua kali kita jumpai apel yang masam dalam kondisi keras dan hijau. Maka ketika
melihat apel ketiga memertuhi kondisi keras dan hijau, kita menyimpulkan, bahwa
dapat diharapkan apel itu pun akan masam rasanya. Kesimpulan itu hanya suatu
harapan, suatu kepercayaan, karena seperti dikatakan di atas, konklusi penalaran
induktif tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya berupa suatu
probabilitas, suatu peluang.
Hasil penalaran generalisasi induktif itu sendiri juga disebut generalisasi.
Generalisasi dalam arti ini berupa suatu proposisi universal, seperti: 'Semua apel yang
keras dan hijau, rasanya masam'; 'Semua logam yang dipanasi memuai'.
Generalisasi yang sebenarnya harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
1. Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik.
Artinya,,generalisasi tidak b~leh terikat kepada jumlah tertentu. Kalau dikatakan
bahwa "Semua A adalah B", maka proposisi itu harus benar, berapa pun jumlah A.
Proposisi itu berlaku untuk setiap dan semua subyek yang memenuhi kondisi A.
2. Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio-temporal, artinya, tidak boleh
terbatas dalam ruang dan waktu. Jadi harus berlaku di mana saja dan kapan saja.
3. Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian ..
Yang dimaksud dengan 'dasar pengandaian' di sini ialah: dasar dari yang disebut
'contrary-to-facts conditionals' atau 'unfulfilled conditionals'. Contohnya yang
jelas sebagai berikut:
Faktanya: x, y, dan z itu masing-masing bukan B.
Ada generalisasi: Semua A adalah B.

134
Pengandaiannya: Andaikata x, y, dan z itu masing-masing sarna dengan A atau
dengan kata-kata lain: Andaikata x, y, dan z itu masing-masing memenuhi kondisi
A, maka pastilah x, y, dan z itu masing-masing sama dengan B.
Generalisasi yang dapat dijadikan dasar untuk pengandaian seperti itulah kondisi
yang memenuhi syarat.

2. Bentuk generalisasi induktif

Logika menganalisa dan merekonstruksikan penalaran. Dalam logika deduktif hasil


usaha itu berupa ketentuan-ketentuan mengenai deduksi yang sahih, yaitu bentuk
deduksi, yang kalau premis-premisnya benar, konklusinya tentu juga benar.
Dalam logika induktif, tidak ada konklusi yang mempunyai nilai kebenaran yang
pasti. Yang, ada hanya konklusi dengan probabilitas rendah atau tinggi. Maka hasil
usaha analisa dan rekonstruksi penalaran induktif itu hanya berupa ketentuan-
ketentuan mengenai bentuk induksi yang menjamin konklusi dengan probabilitas
setinggi-tingginya.
Tinggi-rendahnya probabilitas konklusi itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang
disebut faktor-faktor probabilitas.
Untuk jelasnya, kita lihat faktor-faktor probabilitas yang berhubungan dengan
generalisasi induktif. Kita bandingkan bentuk-bentuk generalisasi induktif di bawah
m1:
1 Apel ini keras, hijau dan rasanya masam .
.·. Semua apel yang keras dan hijau rasanya masam.
2 Apel 1 keras, hijau, dan rasanya masam.
Apel 2 idem
Apel 3 idem
.·. Semua apel keras dan hijau, rasanya masam.
3 Apel 1 keras, hijau, dan rasanya masam.
Apel 2) idem
s/d 15
.·. Semual apel yang keras dan hijau, rasanya masam.
4 Apel 1 keras, hijau, kecil, benjol, dan masam.
Apel 2 idem '
Apel 3 idem
.·. Semua apel keras dan hijau, rasanya masam.
5 Apel 1 keras, hijau, kecil, benjol, dan masam.
Apel 2 keras, hijau, dari Batu, baru saja dipetik, dan masam.
Apel 3 keras, hijau, besar, dari Korea, sudah disimpan sebulan, dan masam.
. . Semua apel keras dan hijau, rasanya masam.
6 Apel 1 keras, hijau, benjol, rasanya masam.
Apel 2 keras, hijau, besar, rasanya masam.
Apel 3 keras, hijau, kecil, rasanya masam .
.·. Sem,µa apel keras dan hijau rasanya masam.

135
Konldusi dari deduksi itu dalam ilmu pengetahuan diteliti lagi. Melalui observasi
yang cennat dikumpulkan fakta-fakta seperti yang dimaksudkan. Berdasarkan
fakta-fakta itu ditarik kesimpulannya melalui induksi lagi, seperti pada tahap pertama.
Konklusinya tidak boleh bertentangan dengan konklusi tahap pertama. Dalam ilmu
pengetahuan ini disebut verifikasi atau lebih tepat koroborasi.
Karena ilmu pengetahuan (empirik) bermaksud mengumpulkan pengetahuan
tentang fakta atau observasi yang dapat dibenarkan dengan pengamatan indera
(empirically verifiable observation), maka jelaslah bahwa, sekali observasinya tepat,
benar-tidaknya hasil pengetahuan ilmiah itu tergantung dari tepat-tidaknya pellcalaran
y~ng disusun berdasarkan fakta itu. Meskipun baik induksi maupun deduksi itu
mutlak diperlukan dalam proses ilmu pengetahuan, peranan induksi kelihatan lebih
menonjol, karena dalam ilmu pengetahuan akhimya faktalah yang menentukan benar
tidaknya pengetahuan. U saha mengumpulkan pengetahuan inilah yang disebut
penelitian. (ilmiah).

C. GENERALISASI INDUKTIF
1. Syarat-syarat generalisasi
Sud ah diketahui bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat
umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik itu disebut generalisasi.
Prinsip yang menjadi dasar penalaran gener~isasi itu dapat dirumuskan demikian:
Apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan
selalu terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi.
Dua kali kita jumpai apel yang masam dalam kondisi keras dan hijau. Maka ketika
melihat apel ketiga memenuhi kondisi keras dan hijau, kita menyimpulkan, bahwa
dapat diharapkan apel itu pun akan masam rasanya. Kesimpulan itu hanya suatu
harapan, suatu kepercayaan, karena seperti dikatakan di atas, konl<lusi penalaran
induktif tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya berupa suatu
probabilitas, suatu peluang.
Hasil penalaran generalisasi induktif itu sendiri juga disebut generalisasi.
Generalisasi dalam arti ini berupa suatu proposisi universal, seperti: 'Semu:a apel yang
keras dan hijau, rasanya masam'; 'Semua logam yang dipanasi memuai'.
Generalisasi yang sebenarnya harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
1. Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik.
Artinya, generalisasi tidak bQleh terikat kepada jumlah tertentu. Kalau dikatakan
bahwa "Semua A adalah B", maka proposisi itu harus benar, berapa pun jumlah A.
Proposisi itu berlaku untuk setiap dan semua subyek yang memenuhi kondisi A.
2. Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio-temporal, artinya, tidak boleh
terbatas dalam ruang dan waktu. Jadi harus berlaku di mana saja dan kapan saja.
3. Generalisasi ha.rus dapat dijadikan dasar pengandaian ..
Yang dimaksud dengan 'dasar pengandaian' di sini ialah: dasar dari yang disebut
'contrary-to-facts conditionals' atau 'unfulfilled conditionals'. Contohnya yang
jelas sebagai berikut:
Faktanya: x, y, clan z itu masing-masing bukan B.
Ada generalisasi: · Semua A adalah B.

134
Pengandaiannya: Andaikata x, y, clan z itu masing-masing sama dengan A atau
dengan kata-kata lain: Andaikata x, y, clan z itu masing-masing memenuhi kondisi
A, maka pastilah x, y, clan z itu masing-masing sama dengan B.
Generalisasi yang dapat dijadikan dasar untuk pengandaian seperti itulah kondisi
yang memenuhi syarat.

2. Bemuk generalisasi induktif

Logika menganalisa dan merekonstruksikan penalaran. Dalam logika deduktif hasil


usaha itu berupa ketentuan-ketentuan mengenai deduksi yang sahih, yaitu bentuk
deduksi, yang kalau premis-premisnya benar, konklusinya tentu juga benar.
Dalam logika induktif, tidak ada konklusi yang mempunyai nilai kebenaran yang
pasti. Yang_ ada hanya konklusi dengan probabilitas rendah atau tinggi. Maka hasil
usaha analisa dan rekonstruksi penalaran induktif itu hanya berupa ketentuan-
ketentuan mengenai bentuk induksi yang menjamin konklusi dengan probabilitas
setinggi-tingginya.
Tinggi-rendahnya probabilitas konklusi itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang
disebut faktor-faktor probabilitas.
Untuk jelasnya, kita lihat faktor-faktor probabilitas yang berhubungan dengan
generalisasi induktif. Kita bandingkan bentuk-bentuk generalisasi induktif di bawah
m1:
1 Apel ini keras, hijau clan rasanya masam .
.·. Semua apel yang keras dan hijau rasanya masam.
2Apel 1 keras, hijau, clan rasanya masam.
Apel 2 idem
Apel 3 idem
.·. Semua apel keras clan hijau, rasanya masam.
3 Apel 1 keras, hijau, dan ra.Sanya masam.
Apel 2) idem
s/d 15
.·. Semual apel yang keras clan hijau, rasanya masam.
4 Apel 1 keras, hijau, kecil, benjol, dan masam.
Apel 2 idem ·
Apel 3 idem
>. Semua apel keras clan hijau, rasanya masam.
5 Apel 1 keras, hijau, kecil, benjol, clan masam.
Apel 2 keras, hijau, dari Batu, baru saja dipetik, clan masam.
Apel 3 keras,.hijau, besar, dari Korea, sudah disimpan sebulan, clan masam .
.·. Semua apel keras dan hijau, rasanya masam.
6 Apel 1 keras, hijau, benjol, rasanya masam.
Apel 2 keras, hijau, besar, rasanya masam.
Apel 3 keras, hijau, ·kecil, rasanya masam .
.·. SeIIUla apel keras clan hijau rasanya masam.

135
Semua enam penalaran generalisasi induktif di atas konklusinya sama, yaitu: semua
apel keras dan hijau itu rasanya masam. Akan tetapi jelaslah bahwa pikiran kita lebih
mudah mengakui kebenaran konklusi penalaran yang satu daripada kebenaran
konklusi penalaran yang lain. Dengan lain perkataan: konklusi-konklusi itu
berbeda-beda kredibilitas rasionalnya atau probabilitasnya. Apa yang menyebabkan
perbedaan probabilitas itu ialah faktor-faktor probabilitasnya.
Kalau konklusi dari induksi (3) dibandingkan dengan konklusi (2), maka jelas
konklusi induksi (3) lebih tinggi probabilitasnya. Kita lebih dapat menerima
kebenarannya daripada kebenaran konklusi induksi (2) Kalau kita cari sebabnya
mengapa pikiran kita lebih dapat menerima konklusi induksi (3) sebab yang dapat
ditunjuk ialah: karena induksi (3) premis-premisnya menunjuk 15 fakta, sedang
induksi (2) hanya 3 fakta. Induksi (1) premisnya hanya mengenai satu fakta saja dan
kita cenderung untuk meragukan kebenaran konklusinya, artinya: probabilitasnya
amat rendah.
Dari perbandingan-perbandingan di atas kita menemukan:
faktor probabilitas yang pertama, yaitu: jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran
induktif dan kaidahnya yang dapat dirumuskan demikian: makin besar jumlah fakta
yang dijadikan dasar penalaran induktif, makin tinggi probabilitas konklusinya, dan
sebaliknya.
Kaidah inilah yang menjadi dasar maka dalam usaha untuk menambah pengetahuan
ilmiah, yaitu dalam penelitian, harus digunakan sebanyak mungkin fakta sebagai dasar
penalarannya. Yang ideal ialah kalau semua fakta dapat dirumuskan sebagai premis.
Jumlah dari semua subyek yang ditunjuk oleh konklusi yang berupa generalisasi dan
berbentuk proposisi universal itu dalam rangka penelitian disebut populasi. Penelitian
yang menggunakan penalaran yang jumlah fakta yang dijadikan dasar premis-
premisnya sama besarnya dengan populasi subyek yang diteliti ialah penelitian metode
sensus, berlainan dengan metode sampling, yang menggunak3.11 penalaran yang
premis-premisnya menunjuk kepada sebagian saja dari populasi yang bersangkutan.
Konklusi metode sampling ialah suatu probabilitas atau peluang, karena penalarannya
ialah penalaran induktif. Akan tetapi konklusi metode sensus adalah suatu kepastian.
Kalau jumlah fakta yang disebut oleh premis-premis sama besamya dengan jumlah
subyek yang dimaksud oleh generalisasi konklusinya, itu berarti bahwa generalisasi
konklusi itu tidak memenuhi syarat 'secara numerik tidak terbatas', di sini generalisasi
itu berarti jumlah tertentu. Penalaran yang demikian itU juga disebut induksi sumatif
atau induksi lengkap (sumative atau complete induction). Yang dimaksud dengan
'induksi' dalam logika bukan induksi lengkap, akan tetapi induksi tak lengkap atau
induksi ampliatif (ampliative atau incomplete induction), yang konklusinya suatu
probabilitas. Meskipun dikatakan bahwa induksi lengkap yang digunakan dalam
metode sensus itu menghasilkan suatu konklusi yang pasti, akan tet~pi kalau metode
sensus itu diterapkan untuk populasi yang besar, mudah sekali terjadi ketidaktelitian:
ada anggota populasi yang tercecer, atau ada anggota yang dihitung dua kali dan karena
sensus memerlukan banyak petugas, mudah terjadi bahwa data yang dihasilkan oleh
petugas yang satu tidak sama nilainya dengan yang dikumpulkan oleh petugas yang
lain. Karena ketidaktelitian ini, maka basil sensus pun biasanya juga suatu
probabilitas.

136
Kita teruskan dengan membandingkan penalaran (2) dan (4) yang konklusinya juga
sama. Kai.au premis-premis kedua penalaran itu dibandingkan, maka diantara premis
penalaran (2) ada faktor yang sama diantara apel 1, 2, dan 3, yaitu: keras dan hijau.
Pada penalaran (4) faktor persamaan itu ada empat: keras, hijau, kecil, dan benjol.
Faktor persamaan seperti itu disebut faktor a.nalogi.
Kalau probabilitas konklusi kedua penalaran itu dibandingkan, terbukti konklusi
penalaran 4 lebih lemah atau lebih rendah probabilitasnya. Premis penalaran
mengatakan bahwa yang masam itu ialah apel yang keras, hijau, kecil dan benjol,
bukan asal apel keras dan hijau. Jadi jelas konklusi itu menunjuk kepada suatu populasi
yang lebih besar daripada yang ditunjuk oleh premis-premisnya. Dengan adanya
tambahan dua faktor analogi itu probabilitas menurun. Jadi jumlah faktor analogi itu
adalah faktor probabilitas (yang kedua). Kaidahnya dapat dirumuskan demikian:
Makin besar jumlab faktor analogi didalam premis, makin rendab probabilitas
konklusinya dan sebaliknya.
Ja~i setiap .generalisasi induktif hanya berlaku untuk populasi yang dimaksud oleh
prem1s-prem1snya.
Faktor probabilitas ketiga ialah jumlah faktor disanalogi. Kaidahnya: Makin besar
jumlab faktor disa.naloginya didalam premis, makin tinggi probabilitas konklusinya
dan sebaliknya. Ini terbukti kalau kita membandingkan penalaran (4) dan (6)
Premis-premis penalaran (6) masing-masing mengandung sebuah faktor yang berbeda
di antara premis yang satu dengan yang lain, yaitu: benjol, besar, dan kecil. Faktor
yang menyebabkan perbedaan ini disehut faktor disanalogi. Karena adanya faktor
disanalogi ini konklusi penalaran (6) lebih tinggi probabilitasnya daripada konklusi
penalaran (4). Sebaliknya konklusi penalaran (5) lebih tinggi probabilitasnya daripada
penalaran (6), karena jumlah faktor disanaloginya lebih besar. Konklusi (4) belum
tentu akan benar kalau diterapkan kepada apel keras, hijau, clan berasal dari Korea,
serta .sudah disimpan sebulan, sedang konklusi penalaran (5) akan tetap saja
probabilitasnya. Meskipun konklusi penalaran (6) dapat diterapkan untuk semua apel
keras, hijau, benjol, besar, dan kecil, akan tetapi premis-premisnya tidak mengatakan
apa-apa andaikata apel itu dari Korea clan sudah disimpan satu bulan.
Hubungan antara faktor analogi dan disanalogi itu secara umum dapat dikatakan
demikian: populasi yang ditunjuk oleh generalisasi tidak boleh memiliki anggota yang
tidak sesuai dengan adanya faktor analogi dan disanalogi di dalam premis. Dari sini
dapat disimpulkan faktor probabilitas keempat, yaitu: luasnya konklusi. Kaidahnya:
Semakin luas konklusinya semakin rendab probabilita.snya dan sebaliknya.
Sebuah generalisasi atau proposisi pada umumnya itu semakin luas semakin besar
populasi yang ditunjuknya. Dan semakin sedikit faktor analogi yang terdapat dalam
generalisasi atau proposisi pada umumnya semakin besar populasi yang ditunjuknya.
Semakin sedikit faktor analogi didalam generalisasi atau proposisi, semakin besar
kemungkinannya generalisasi atau proposisi itu tidak sesuai lagi kalau anggotanya ada
yang memiliki faktor analogi lebih daripada yang disebut di dalam generalisasi atau
proposisi itu.
Memahami fungsi faktor-faktor analogi ·dalam penalaran itu penting sekali dalam
usaha untuk menambah pengetahuan atau dalam penelitian. Tiap-tiap penelitian tentu
mempunyai tujuan tertentu yang rumusannya diharap akan berlaku untuk setiap dan

137
semua anggota populasi yang ditunjuk oleh rumusan itu. Untuk membuktikan bahwa
rumusan itu memiliki probabilitas yang diharapkan, harus dicari fakta-fakta yang
mengandung faktor-faktor analogi yang sesuai dengan faktor-faktor yang terdapat
didalam rumusan tujuan. Kalau usaha mencari clan mengumpulkan fakta itu
dikerjakan dengan menggunakan angket, maka dalam angket itu harus disebutkan
faktor-faktor analogi yang dicari itu. Tanpa memahami fungsi faktor analogi ini,
pengumpulan data mengenai ketentuan dari fakta yang dicari merupakan suatu usaha
yang tidak rp.engarah.
Fakto'r analogi itu jumlahnya tidak terbatas. Yang harus dicari tentu saja yang
terpenting atau yang penting-penting; yang relevan. Kumpulan fakta tidak selalu
dapat digunakan untuk menyimpulkan suatu generalisasi. Kalau diantaranya ada satu
fakta saja yang tidak sesuai, misalnya dalam contoh di atas: ada apel keras clan hijau
tetapi manis, maka generalisasi yang disimpulkan pasti salah. Jadi berapa pun
banyaknya fakta yang cocok yang terkumpul, karena penalarannya itu suatu induksi,
maka kesimpulannya hanya mengandung probabilitas, sebaliknya kalau satu fakta saja
yang tidak cocok, kesimpulannya pasti salah. Inilah yang disebut asimetri dalam
induksi.
Kalau diantara fakta yang terkumpul itu ada yang tidak cocok, misalnya diantara 10
apel ada dua yang keras clan hijau tetapi manis, kesimpulannya harus berbunyi:
Sebagian apel keras clan hijau rasanya masam. Dalam penelitian, jumlah fakta yang
terkumpul itu disingkat menjadi n (numerus = angka, jumlah). n = 10 berarti jumlah
fakta yang terkumpul ada 10. 'Sebagian' dalam konklusi, misalnya 8, dapat dinyatakan
dalam persentase. Kalau n = 10, maka kesimpulannya menjadi 80% apel keras clan
hijau rasanya masam. Konklusi itu dapat divisualisasikan menjadi grafik.

Latihan
I. Dalam rangka penelitian KB di kecamatan Candirejo, dari desa Nganten diambil 15 pasang
suami-isteri, yang umur isterinya 25 tahun ke bawah. Semua pasangan itu masing-masing jumlah
anaknya tidak lebih dari tiga. Maka disimpulkan bahwa di kecamatan Candirejo semua pasangan
muda (isteri berumur 25 th. ke bawah) be.ranak inaksimum tiga orang. Metodenya sampling
(penarikan contoh).
Kalau diadakan perubahan-perubahan sebagai berikut, probabilitas konklusinya naik atau turun?
Mengapa demikian?
1. Yang diambil tidak 15 akan tetapi 25 pasang.
*2. Pasangan yang diambil itu semua pasangan yang pemah bersekolah, tetapi tidak melebihi S.D.
3. Yang diambil itu semua pasangan pernah bersekolah tidak le!:?ih dari S.D dan petani kecil.
*4. Pasangan yang diambil itu semua pemah bersekolah tidak lebih dari S.D., suami petani, isteri
pedagang. ·
5. 15 pasang yang diambil itu<S pasang dari desa Nganten, 5 dari desaJamben,dan 5 dari desa
Ram bi.
6. 15 pasang yang isterinya di bawah umur 25 tahun itu:
yang 5 dari desa Nganten, keluarga petani;
yang 5 dari desa J amben, suami pegawai negeri, isteri pedagang;
yang 5 dari desa Rambi tanpa keterangan lebih lanjut.
*7. 15 pasang itu kecuali isterinya, yang di bawah 25 tahun, semua keterangannya yang lain berbeda
yang satu dari yang lain ..
8. Semua pasangan di desa Nganten, tidak hanya 15 pasang saja, yang isterinya di bawah 25 tahun,
semua beranak maksimum tiga orang.

138
*9. Sebagian pasangan dari desa Nganten dan Jatp.ben dengan isteri dibawah 25 tahun beranak.
mak.simum tiga orang.
10. Semua pasangan di desa Nganten, J amben dan Ram bi, yang isterinya di bawah 25 tahun sudah
mempunyai anak..
II. Kita mengadakan angket untuk mengumpulka~ fak.ta guna menguji apakah sesuatu
pendapat/hipotesa itu benar. Fak.tor-faktor analogi apa sajakah yang harus ditanyak.an didalam
angket itu, kalau pendapat/hipotesa itu seperti tercantum di bawah. Harus diusahak.an untuk
menyusun pertanyaan-pertanyaan angket itu demikian rupa dan apa yang ditanyakan sendiri itu
tidak mengarahkan jawaban orang yang ditanyai. Kalau pertanyaan di dalam angket itu
membimbing yang ditanyai untuk memberikan jawaban tertentu, pertanyaan itu ialah
pertanyaan yang mengandung purbasangka, istilahnya dalam penelitian: pertanyaan itu bias.
Pendapat/hipotesa:
1. Orang ber-KB tidak karena keyakinan, ak.an tetapi karena tak.ut.
*2. Mahasiswa yang putus studinya disebabkan karena kurang tekun dalam studinya.
3. Perceraian terjadi kalau suami-isteri telah bosan hidup bersama sebagai suami-isteri.
*4. Orang-kaya-baru yang kawin lagi, bukan untuk menaikkan gengsi sosialnya seperti anggapan
orang kuno, ak.an tetapi memang untuk mengejar seks.
5. Percekcokan intra-partai disebabkan karena perebutan kursi.

D. ANALOG! INDUKTIF
1. Analogi sebagai dasar induksi
'Analogi' dalam bahasa Indonesia ialah 'kias' (Arab: qa.sa = mengukur,
membandingkan). Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang
berlainan, yang satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan
yang satu dengan yang lain, Dalam mengadakan perbandingan, orang mencari
persamaan clan perbedaan di antara hal-hal yang diperbandingkan. Kalau lembu
dibandingkan dengan kerbau, maka kedua-duanya adalah binatang, akan tetapi yang
satu berbeda dengan yang lain mengenai besamya, warnanya clan sebagainya. Sarno
clan Sarni kedua-duanya adalah anak pak Sastro, akan tetapi Sarno laki-laki, Sarni
perempuan, Sarno '.berumur 15 tahun, Sarni 10 tahun dan seterusnya.. Kalau dalam
perbandingan itu orang hanya memperhatikan persamaannya saja, tanpa melihat
perbedaannya, timbullah a.nalogi, persamaan di antara dua hal yang berbeda.
Sehat adalah kondisi badan yang bai.k. Jamu adalah sarana untuk memelihara
kondisi badan yang baik atau kesehatan. Maka jamupun disebut sehat, karena adanya
persamaan dengan kondisi badan yang baik, meskipun sehatnya badan lain daripada
sehatnya jamu. Di sini 'sehat' pada jamu mempunyai arti kiasan. Dikatakan: 'sehat'
pada jamu analog dengan 'sehat' badan, atau diantara 'sehatnya' jamu dan 'sehatnya'
badan ada analogi.
Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran.
Sebagai penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau persamaan.
Tumbuh-tumbuhan berbunga dan bunga itu merupakan perhiasan baginya.
B~gsa itu bukan tumbuh-tumbuhan dan juga tidak berbunga, akan tetapi
pe1uang yang gugur dalam membela bangsanya, menjadi perhiasan bagi
bangsanya, sehingga secara analogi dikatakan bahwa pejuang itu 'gugur sebagai
kusuma bangsa'.

139
Dalam Meghaduta, karangan pujangga India Kalidasa, seorang Yaksa dalam
pengasingan di tengah hutan teringat kepada kekasihnya clan melihat analogi diantara
berbagai sifat kekasihnya dengan keadaan alam di sekitarnya:
"Sulur-sulur hijau membangkitkan kenanganku kepada tubuhmu,
pada mata kijang terkejut kulihat main matamu,
melihat bulan kuingat kepada sinar pipimu,
rambutmu kulihat pada ekor merak
pada riak sungai yang tenang kulihat permainan keningmu".
Sebaliknya apa yang ditulis oleh Chairil Anwar dalam sajaknya:
"Aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang .... "
bukan sekedar perumpamaan, akan tetapi suatu penalaran yang didasarkan atas
analogi. Di sini Chairil tidak hanya membuat perbandingan di antara dirinya sendiri
dengan binatang jalang, akan tetapi juga menarik kesimpulan atas dasar analogi itu,
yaitu: (aku ini) dari kumpulannya terbuang. Prinsip yang menjadi dasar penalaran
analogi induktif itu dapat dirumuskan demikian:
Karena d itu analog dengan a, b, dan c, maka apa yang berlaku untuk a, b, dan c
dapat diharapkan juga akan berlaku untuk d.
Dengan sebuah contoh, prinsip di atas akan mendapat bentuk sebagai berikut:
a. Sarno anak Pak Sastro adalah anak yang rajin clan jujur.
· b. Sarni anak Pak Sastro adalah anak yang rajin clan jujur.
c. Sardi anak Pak Sastro adalah anak yang rajin clan jujur.
d. Sarto adalah anak Pak Sastro .
.·. Sarto anak Pak Sastro adalah anak yang rajin clan jujur.
Jadi analogi induktif tidak hanya menunjukkan persamaan di antara dua hal yang
berbeda, akan tetapi menarik kesimpulan atas dasar persamaan itu. Chairil tidak hanya
membandingkan dirinya dengan binatang jalang. Akan tetapi karena binatang jalang
itu selalu diasingkan oleh kumpulannya, maka disimpulkannya: aku pun terbuang dari
kumpulanku. '
Berbeda dengan generalisasi induktif, yang konklusinya berupa proposisi universal,
konklusi analogi induktif tidak selalu: berupa proposisi universal, akan tetapi
tergantung dari subyek-subyek yang diperbandingkan dalam analogi. Dan subyek itu
dapat individual, partikular ataupun universal. Akan tetapi sebagai penalaran induksi
di sini pun konklusinya lebih luas daripada premis-premisnya. Bahwa tiga anak Pak
Sastro itu raj in clan jujur tidak menjamin secara pasti clan mutlak, bahwa anaknya yang
keempat juga rajin clan jujur.

2. Bentuk analogi induktif


Seperti dalam hal generalisasi induktif, bentuk penalaran analogi induktif itu
ditentukan oleh jumlah fakta yang dijadikan dasar dari konklusinya clan dinyatakan
sebagai premis. Seperti dalam hal generalisasi pula, jumlah fakta terseb~t merupakan

140
faktor probabilitas yang pertama. Semakin besar jumlah fakta tersebut semakin tinggi
probabilitasnya dan sebaliknya.
Selain oleh jumlah fakta yang dijadikan dasar penyimpulan, bentuk analogi juga
tergantung kepada jumlah faktor-faktor analogi. J adi lagi-lagi seperti pada generalisasi
induktif. Jumlah faktor analogi itu juga merupakan faktor probabilitas. Makin besar
jumlah faktor analoginya, makin rendah probabilitasnya.
Bentuk penalaran analogi induktif selanjutnya ditentukan oleh jumlah faktor
disanalogi. Dan sepeni pada generalisasi induktif pula, faktor disanalogi itu juga
merupakan faktor probabilitasnya. Semakin besar jumlahnya, semakin tinggi
probabilitasnya dan sebaliknya.
Akhirnya bentuk analogi induktif juga tergantung kepada bentuk proposisi yang
menjadi konklusinya. Makin luas konklusinya, makin rendah probabilitasnya dan
sebaliknya. J adi luasnya konklusi juga di sini merupakan faktor probabilitas.
Jadi untuk generalisasi induktif dan analogi induktif itu baik faktor-faktor
probabilitasnya maupun kaidah-kaidahnya adalah sama. Hal ini sebetulnya tidak luar
biasa, kalau kita ingat apa yang telah dikatakan pada permulaan bab ini (paragraf 6.1 ).
Di situ jalan fikiran si calon pembeli apel dirumuskan menjadi dua bentuk penalaran.
Yang pertama dari dua fakta disimpulkan sebuah generalisasi induktif (kemudian
dideduksikan suatu konklusi khusus ). Yang kedua, dari dua fakta langsung
disimpulkan sebuah konklusi khusus. Bentuk kedua ini adalah suatu analogi induktif,
sedang bentuk yang pertama adalah suatu generalisasi induktif.
Dalam metode keilmuan, analogi induktif itu dapat digunakan untuk
mendeterminasikan apakah sesuatu obyek atau fakta itu, dan sifat-sifat apakah yang
dapat diharapkan padanya; sedang generalisasi, induktif terutama digunakan untuk
menemukan hukum, menyusun teori, atau hipotesa.

3. Kesesatan generalisasi/analogi
Di samping faktor-faktor tersebut di atas, yang boleh disebut faktor-faktor
obyektif, juga ada faktor-faktor subyektif, yang mempengaruhi tinggi rendahnya
probabilitas konklusi induksi. Faktor subyektif itu terletak pada diri manusia yang
berfikir dan berupa kondisi-kondisi tertentu, yang bersifat pribadi dan tidak disadari.
Kalau disadarkan bahwa kondisi dirinya mewarnai konklusi penalarannya, biasanya ia
akan segera menerima bahwa penyimpulannya tidak sesuai dengan kaidah-:kaidah
penalaran. Ia akan mengakui kekeliruan atau kesesatannya. Maka penyimpulan yang
tidak sesuai dengan kaidah penalaran itu juga disebut kesesatan (fallacylfallacia).
Kesesatan yang berhubungan dengan penalaran induktif, yang terpenting ialah:
Kesesatan karena tergeaa-gesa, yaitu terlalu cepat menarik konklusi, sedang
fakta-fakta yang dijadikan dasarnya tidak cukup mendukung konklusi itu. J adi jumlah
fakta sebagai dasar konklusinya terlalu sedikit. Misalnya: Seorang jejaka berjumpa
dengan seorang gadis Solo pertama kali di suatu pesta, kemudian berjumpa dengan
seorang gadis Solo lain di sebuah toko dan untuk ketiga kalinya ia melihat seorang
gadis Solo lagi diatas pentas. Ketiga gadis itu semua sama-sama luwes. Maka tidak
dapat ditawar lagi, si jejaka ingin mempersunting seorang gadis Solo. Didalam
anggapannya: semua gadis Solo itu tentu luwes. lni suatu kesimpulan yang
tergesa-gesa. Tiga fakta rasanya tidak cukup untuk dijadikan dasar konklusinya.

141
Kesesatan lain terjadi karena kecerobohan. Misalnya: Jejaka lain, teman dari jejaka
di atas, sepeadapat. Katanya: "Saya pernah di keraton Surakarta, ketika Sri Susuhunan
berulang tahun. Saya melihat kira-kira limabelas gadis di sana, semua berkebaya,
cantik-cantik. Memang semua puteri Solo 'itu luwes".
lni suatu kesimpulan yang ceroboh, karena mengabaikan adanya faktor-faktor
analogi yang penting. Lima belas gadis itu semua adalah gadis bangsawan, berdandan
secara khas untuk keperluan perayaan, berada di lingkungan yang mengesa~kan,
mereka bergerak di lingkungan khusus dengan disaksikan oleh para tamu dan oleh Sri
Susuhunan sendiri. Seharusnya kesimpulan itu tidak mengenai semua puteri Solo,
akan tetapi hanya mengenai lima belas puteri yang pada waktu itu sedang di keraton.
Contoh-contoh di atas mengenai kesesatan generalisasi. Kesesatan generalisasi
semacam itulah, yang menyebabkan istilah 'generalisasi' sering mendapat arti
peioratif.
Kita teruskan contoh tentang puteri Solo. Jejaka di atas jadi memperisteri seorang
gadis Solo. la yakin bahwa isterinya pun luwes. Kesimpulan bahwa gadis Solo,
isterinya itu luwes, adalah konklusi suatu analogi induktif.
Kesesatan lain sering timbul karena prasangka. Jejaka yang mempersunting puteri
Solo itu berasal dari luar Jawa dan sebelumnya sudah memuji-muji isterinya sebagai
gadis yang halus dan luwes, karena ia puteri Solo. Ketika isterinya dibawa pulang ke
kampung, ibunya berkata: "lsterimu kalau berbicara kok suaranya seperti pedagang
ayam di pasar?" - Jawabnya: 'Ah, itu karena ibu kalau berbicara mesti keras-keras,
sehingga ia mengira bahwa ibu kurang pendengarannya'. Lain kali ibunya berkata:
"lsterimu jalannya kok seperti dikejar maling." - •Ah, itu karena ibu selalu membuat
ia terkejut dan ketakutan'. Pada kesempatan lain lagi: "lsterimu kalau duduk kok
seperti penjual lombok di pasar?" - 'Ah, ia tidak biasa duduk di tempat yang keras'.
Prasangka membuat orang tidak mengindahkan fakta-fakta yang tidak cocok
dengan konklusi. ·
Kesesatan di atas adalah yang dapat dianggap yang terpenting, yang sering terjadi.
Tidak mungkin diduga karena apa saja orang menarik konklusi yang tidak sesuai
dengan premis-premis yang ad.a.

Latihan
I. Pak Sastro seorang pegawai negeri yang dipindah-pindahkan dari tempat yang satu ke tempat
yang lain. Ia baru saja dipindahkan ke Bogor dan ingin menyekolahkan anaknya yang keempat di
SMA Katolik di kota itu. Ditanya mengapa ia memilih sekolah Katolik, jawabannya:
"Anak saya yang pertama di SMA Katolik Surabaya dan ia dapat meneruskan ke universitaS tanpa
ke~ulitan. Anak saya yang kedua di SMA Katolik Bandung dan yang ketiga di SMA Katolik
Serparang, kedua-duanya dapat meneruskan ke universitas tanpa kesulitan. Jadi yang keempat
juga akan saya sekolahkan di SMA katolik supaya dapat menerusk.an ke universitas dengan
Ianear."
Konklusi penalaran di atas probabilitasnya akan naik atau turun (salah satu), kalau diadakan
perubahan-perubahan berikut? Apa sebabnya?

1. Ketiga anak pak Sastro yang terdahulu itu semuanya di SMA katolik Surabaya .
.*2. ~etiga anak pak Sastro yang·terdahulu itu semua di SMA katolik yang sama di Surabaya, yani:,
keempat juga bendak dimasukkan di SMA itu.

142
3. Anak pak Sastro tidak empat akan tetapi sepuluh orang, yang ·sembilan sudah di universitas,
semuanya dari SMA katolik di berbagai tempat. Yang kesepuluh hendak dimasukkan SMA
Katolik di Bogor.
*4. SMA katolik di Surabaya itu hanya untuk murid laki-laki saja dan diasuh oleh biarawan, yang di
Bandung hanya untuk murid perempuan saja dan diasuh oleh biarawan. Yang di Semarang itu
untuk murid campuran, laki-laki dan perempuan, diasuh oleh awam, bukan biarawan. Yang di
Bogor untuk murid campuran dan diasuh oleh biarawan.
5. SMA katolik di Surabaya, Bandung, dan Semarang itu gedungnya mentereng, peralatannya
lengkap, murid-muridnya dari golongan orang kaya atau dari masyarakat golongan atas. Yang
di Bogor gedungnya sederhana, peralatannya lengkap, guru-gurunya berpengalaman, akan
tetapi karena Bogor itu kota kecil, maka murid-murid yang kaya atau yang dari kelas atasan
masyarakat tidak banyak. Kebanyakan muridnya dari masyarakat kelas menengah.

II. Fakta dengan faktor-faktor analogi yang bagaimanakah yang harus dikumpulkan kalau kita
hendak menguji pendapat/hipotesa di bawah ini? Haros diusahakan probabilitas setinggi-
tingginya.
1. Meskipun banyak orang-kaya-baru yang kawin lagi, akan tetapi kita yakin Hadam tidak akan
kawin lagi, meskipun ia telah memperoleh kedudukan dan sudah menjadi kaya.
*2. Terjadi pembunuhan yang kejam, mayatnya dipotong-potong, harta bendanya ludes. Hadam
ditangkap karena diduga keras dialah pembunuhnya. Fakta-fakta yang bagaimanakah yang
harus dikumpulkan untuk dapat menarik konklusi bahwa Hadam itu pembunuhnya?
3. Seorang pegawai yang disuruh mengambil uang di bank melaporkan kepada polisi bahwa
uangnya dirampok di jalan. Polisi malahan menahannya, karena ia dicurigai memberi laporan
palsu. Fakta-fakta semacam apakah yang kiranya dijadikan dasar oleh polisi untuk menarik
konk.lusi itu?
*4. Waktu masih di universitaS, dosen-dosennya sudah meramalkan bahwa mahasiswa Hadam
kelak akan menjadi orang yang berpengaruh. Fakta-fakta yang bagaimanakah, dengan
faktor-faktor analogis/disanologi apa sajakah, yang dijadikan dasar pendapat dosen-dosen itu?
5. Ada kepala baru di sebuah kantor. Baru satu minggu, pegawai-pegawai bawahannya sudah
ban yak yang mengemukakan pendapat, bahwa tidak ada gunanya untuk mengajukan usul-usul
perbaikan kepadanya, karena toh tidak akan didengar. Fakta-fakta yang bagaimanakah kiranya
yang sudah diketahui oleh mereka yang berpendapat demikian itu?
III. Analogi yang terdapat di bawah ini sekedar sebagai penjelasan ataukah merupakan penalaran.
Kalau merupakan penalaran, bagaimana bentuknya?
1. Dalam sholat ldul Fitri tahun 1400 H. di beberapa tempat di Jakarta, atas desakan pihak
Pemerintah, beberapa calon khotib oleh panitia penyelenggara diganti oleh orang lain.
Akibatnya timbul sedikit keonaran sebagai reaksi. Dalam pertemuan dengan Majelis Ulama
Indonesia, ten tang khotib yang diganti itu Menteri Agama antara lain berkata: "Ya ibarat saya
punya mangga sekarang ada lima yang busuk. Lebih .baik saya keluarkan saja yang lima itu, ya
buk.an?!" (Kompas, Sabtu 16 Agustus 1980).
*2. Di dalam buku Pancatantra India yang berisi dongeng-dongeng sato-hewan dan berisi
wejangan, antara lain terdapat cerita tentang kera yang pada musim dingin meniup-niup
kunang-kunang yang dikiranya api, untuk memanasi tubuhnya. Seekor burung yang berusaha
menyadarkannya akan kekeliruannya, akhirnya malahan dibunuhnya. Cerita ditutup dengan
baris-baris sebagai berikut:
'Tak ada_pisau yang berdaya terhadap batu;
]uga pohon yang tegak rak dapat dibengkokkan;
Nasehat bailc si Mukajarum (nama burung itu)
Tidak dapat menolong si bebal".
3. Mengapa simpanse (chimpanzee) akhimya tidak akan. dapat berbicara kalau dilatih
sungguh-sungguh. Di ·antara simpanse dan manusia ada analogi fisik yang besar sekali.
Organ-organnya, baik organ dalam maupun organ luar, begitu. menyolok persamaannya

143
dengan organ manusia. Akan sangat mengherankan apabila simpanse itu akhirnya tidak dapat
dilatih untuk menirukan gerakan-gerakan orang bisu-tuli, yang melalui latihan akhirnya dapat
berbicara.
*4. Didalam filsafat India ada pengertian yang cidak begitu mudah dipahami, yaitu pengercian
'Atman'. Dalam kitab Chandogya Upanisad pengertian itu diterangkan dalam bentuk
tanya-jawab antara seorang ayah dan anaknya. Anaknya disuruh memasukkan garam ke dalam
air sehingga hancur. Anaknya disuruh mencari garam itu, yang sudah tentu tidak dapat
ditemukannya. Akan tetapi air itu rasanya asin. Jadi ada garam. Kemudian air itu dibuang diatas
tanah. Anak itu disuruh mencicipi tanahnya. Rasanya asin, jadi ada garam. Si ayah berkata:
"Demikian juga di dalam tubuh ini. Memang, kamu tidak dapat menemukan Yang Ada, nak,
tetapi sebenamya itu ada di situ. Yang berupa zat yang sehalus-halusnya, dari zat itulah segala
sesuatu yang ada mendapatkan adanya. ltulah Yang Ada. ltulah Atman dan ... ltu adalah kamu
(tat tvam asi)."
5. "Dalam kondisi normal, di tempat kehidupannya yang alami, binatang liar tidak merusak
dirinya sendiri, tidak melakukan masturbasi, menyergap keturunannya sendiri. Tidak cimbul
radang perut pada mereka, mereka tidak menjadi tergantung kepada sesuatu, cidak menjadi
kegemukan, tidak berpasangan secara homoseks ata:u melakukan pembunuhan. Kiranya cidak
perlu dikatakan bahwa hal-hal semacam itu semua terjadi pada makhluk manusia yang tinggal di
kota-kota . .. . . . .. Ouga) binatang didalam kandang di kebun binatang menunjukkan semua
gejala yang tidak normal, yang begitu terkenal kepada sesama makhluk manusia kami.
Perbandingan yang harus kita adakan bukan antara penduduk kota dan binatang liar, akan
tetapi antara penduduk kota dan binatang yang disekap. Makhluk manusia modern tidak lagi
hidup didalam kondisi yang alami bagi jenisnya.Terjebak, tidak oleh penyusun koleksi kebun
binatang, akan tetapi olt;h kecemerlangan otaknya sendiri, ia telah menempatkan dirinya sendiri
di dalam kandang yang besar dan hiruk-pikuk, di mana ia terus-menerus menghadapi bahaya
akan hancur dibawah tekanan-tekanan yang ada". (Morris, Desmond: "The Human Zoo", A
Dell Book New York, 1974, p. 11)

E. SEBAB-AKIBAT
1. Sebab-akibat sebagai dasar induksi
Pada umumnya kalau orang berbicara tentang sebab dan akibat, yang dimaksud
ialah bahwa keadaan atau kejadian yang satu menimbulkan atau menjadikan keadaan
atau kejadian yang lain. Yang satu itu disebut sebab, sedang yang lain akibat.
Dalam pengertian sebab-akibat itu penama-tama terkandung makna bahwa yang
satu (sebab) itu mendahului yang lain (akibat), setidak-tidaknya secara logika atau
dalam jalan pikiran kita. Akan tetapi tidak semua yang mendahului sesuatu yang lain
itu tentu sebab dari yang lain itu. Kalau seorang pasien meninggal sesudah disuntik,
belum tentu kematiannya disebabkan oleh suntikan itu. Hubungan antara sebab dan
akibat itu bukan hubungan urutan biasa atau hubungan yang kebetulan. Hubungan
sebab-akibat itu suatu hubungan yang intrinsik, suatu hubungan azasi, hubungan
yang begitu rupa, sehingga kalau yang satu (sebab) ada/tidak ada, maka yang lain
(akibat) juga pasti ada/tidak ada. Kecuali itu hubungan sebab-akibat itu adalah sesuatu
yang mengandung keseragaman, memiliki sifat kaidah, aninya: apabila sebabnya
sama, maka akibatnya juga sama. Jadi dalam keadaan yang serupa ada hubungan
sebab-akibat yang serupa.
Di atas dikatakan bahwa hubungan sebab-akibat itu mempunyai sifat intrinsik, akan
tetapi juga.dikatakan di atas bahwa tidak selalu sesuatu yang timbul sesudah yang lain
itu merupakan akibat dari yang lain itu. Agar hubungan antara sebab dan akibat

144
menjadi jelas, dalam logika 'sebab' itu dipandang sebagai suatu syarat atau suatu
kondisi yang merupakan dasar adanya atau terjadinya sesuatu yang lain, yaitu 'akibat'.
Dibedakan antara dua macam kondisi, yaitu: kondisi mutlak (necessary condition)
dan kondisi memadai (suHicient condition).
Yang disebut kondisi mudak ialah sebab yang kalau tidak ada, ak.ibatnya juga tidak
ada. lni berarti bahwa akibat A hanya ada kalau ada sebab S: A hanya ka/au S. Jadi dari
adany:i akibat A dapat disimpulkan adanya sebab S. Hal ini akan jelas apabila disalin
dalam bentuk lambang. Kalau sebab S tidak ada, maka akibat A tidak ada:
...... S=>- A
A
Ada akibat A:
Jadi ada sebab S: .. S

Jelas ini bentuk modus tollens biasa.


Adapun yang disebut kondisi memadai ialah sebab yang kalau ada, akibatnya tentu
ada: Kalau S maka A. Jadi dari adanya sebab di sini dapat disimpulkan adanya akibat.
Disalin dalam bentuk lambang, ini menjadi bentuk modus ponens biasa:
So A
s
A
Contoh: Sebuah pabrik petasan terbakar, karena bahan petasan terkena percikan api
rokok, sehingga meledak dan menimbulkan kebakaran.
Dalam peristiwa itu bahan petasan itu merupakan kondisi mutlak dari ledakan yang
menimbulkan kebakaran itu. Tanpa adanya bahan peledak, tidak mungkin ada
ledakan. Sebaliknya kalau sesuatu meledak, mesti ada bahan peledak.- Dari adanya
ledakan dapat disimpulkan adanya bahan peledak.
Demikian juga percikan api di sini merupakan kondisi mutlak. Tanpa percikan api,
yaitu suatu zat yang bersuhu tinggi, tidak mungkin terjadi ledakan.
Baik bahan peledak maupun percikan api, secara sendiri-sendiri tidak cukup Ul'ld
menimbulkan ledakan. Baro kalau percikan api itu menyentuh bahan peledak,
terjadilah suatu ledakan. Jadi peristiwa tersentuhnya bahan peledak oleh api, itulah
kondisi yang memadai dari peristiwa ledakan.
D;iri adanya ledakan, kita dapat menyimpulkan adanya bahan peledak dan adanya
zat yang bersuhu tinggi (api), sebaliknya dari peristiwa tersentuhnya bahan peledak
oleh api, kita dapat menyimpulkan adanya ledakan.
Di samping sebab yang merupakan kondisi mudak dan kondisi memadai, ada sebab
yang sekaligus merupakan kondisi mutlak dan memadai.
Misalnya: Lulus ujian penyaringan adalah syarat untuk diterima di universitas. Ini
mengandung dua arti: ·
1. Lulus ujian adalah kondisi mutlak. Kalau diterima di universitas (akibat A), orang
tentu lulus ujian penyaringan (sebab S). Jadi: A ::J S.
2. Lulus ujian adalah kondisi memadai. Kalau orang lulus ujian (S), maka ia tentu
diterima di universitas. Jadi: S :::> A.

145
J adi hubungan sebab-akibat dalam proposisi di atas adalah:
(A ::::> S) v (S ::::> A) atau S = A. J adi di sini sebab dan akibat adalah ekuivalen.
Dengan melihat sebab sebagai suatu kondisi adanya atau terjadinya sesuatu, maka
hubungan intrinsik antara sebab dan akibat itu terjabar menjadi tiga macam:
1. Dari adanya akibat dapat disimpulkan adanya sebab: A ::::> S.
2. Dari adanya sebab dapat disimpulkan adanya akibat: S =>A.
3. Dari adanya sebab dapat disimpulkan akibatnya dan sebaliknya: S A. =
Bentuk-bentuk penalaran untuk menyimpulkan sebab dari akibat atau sebaliknya,
yang sekarang pada umumnya digunakan ialah bentuk-bentuk menurut metode yang
diciptakan oleh John Stuan Mill (1806 - 1873).
Metode Stuan Mill adalah metode yang diciptakan khusus untuk menarik
kesimpulan dalam hubungan sebab-akibat. Jumlahnya ada lima. Benurut-turut
dibahas di bagian berikut.

2. Metode Persamaan (The Method of Agreement)


Prinsip metode persamaan itu oleh Stuan Mill sendiri dirumuskan demikian:
"Apabila dua peristiwa atau lebih dari suatu gejala yang diteliti hanya
mempunyai satu faktor yang sama, maka satu-satunya faktor yang sama untuk
semua peristiwa itu ialah sebab (a tau akibat) dari gejala tersebut". (If two or more
instances of the phenomenon under investigation have only one circumstande in
common, the circumstance in which alone all the instances agree, is the cause (or
effect) of the given phenomenon.)*
Sebagai contoh dapat kita ambil gejala: 'sakit perut'. Peristiwanya: 'makan di
warung'. J umlah peristiwa tiga. Karena di sini jelas bahwa makan di warung itu
mendahului sakit perut, maka gejala 'sakit perut' adalah akibat. J adi yang dicari adalah
sebabnya. Untuk keperluan itu harus ditemukan faktor-faktor yang berhubungan
dengan peristiwa itu, yang berhubungan dengan makan di warung. Tiga peristiwa
makan di warung itu, misalnya, faktor-faktomya untuk masing-masing peristiwa
adalah sebagai berikut: ·
A makan nasi gudeg, makan telur, minum teh, dan sakit perut.
B makan pisang, makan jeruk, minum teh, dan sakit perut.
C makan kacang, makan emping, makan jeruk, minum teh, dan sakit perut.
Satu-satunya faktor yang sama dalam ketiga peristiwa di atas ialah 'minum teh'.
Maka 'minum teh' itulah sebab dari sakit perut.
Kesimpulan itu berdasarkan pengenian sebab sebagai kondisi mutlak: apabila
akibatnya ada, maka sebabnya harus ada. Terbukti yang memenuhi syarat ini di antara
semua fuktor-faktor itu hanya 'minum teh'. J adi 'minum teh' itulah yang
menyebabkan sakit perut.
Seperti konklusi penalaran induksi lainnya, konklusi metode persamaan ini juga
tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya mengandung
* Semua rumusan Stuan Mill dikutip dari Copi, Irving M., 19n: "Introduction to Logic", The MacMillan Co., New
York.

146
probabilitas. Untuk memperoleh kepastian, seharusnya semua faktor yang mungkin
relevan dengan akibatnya disebutkan dan ini suatu hal yang tidak mungkin dikerjakan.
Bahwa konklusi penalaran dengan metode persamaan ini bukan kepastian, dapat
menjadi jelas, kalau kita bertanya: "Apakah tidak mungkin yang menjadi sebab dari
sakit perut itu 'minum teh' bersama-sama dengan faktor lain, yang ada, tetapi tidak
diketahui dan tidak disebut?" "Apakah tidak mungkin yang menyebabkan sakit perut
itu sebuah faktor yang tidak disebutkan dan bahwa kebersamaan 'minum teh' dan
'sakit perut' itu hanya suatu kebetulan saja, yang kalau jumlah peristiwa yang
dikumpulkan didalam premis itu ditambah, mungkin akan terbukti bahwa 'minum
teh' teh itu tidak selalu diikuti oleh 'sakit perut'?"
Jelaslah bahwa dalam metode persamaan ini orang menarik konklusi berdasarkan
asumsi bahwa sebab yang dicari itu tentu terdapat di antara faktor-faktor yang disebut
di dalam premis.
Contoh penerapan metode persamaan ini misalnya sebagai berikut: Pada
bulan-bulan pertama tahun 1982, secara relatif banyak terjadi pembajakan bis untuk
merampas harta~benda penumpang atau penggedoran toko. Dari laporan dan
keterangan penjahat yang tertangkap, terbukti mereka itu relatif masih muda, umur
antara 20 dan 35 tahun dan selalu menggunakan kendaraan bermotor, yang berarti
bahwa penjahat itu dari golongan kelas menengah, setidak-tidaknya bukan dari
lingkungan orang miskin. Kecuali itu, mengingat pengetahuan mereka tentang ilmu
bumi dan perhitungan-perhitungannya, mereka itu tentu termasuk orang terpelajar.
Mengapa orang dari golongan yang secara relatif dapat hidup dengan kecukupan itu
toh melakukan kejahatan? Dapat diduga tentu ada sesuatu yang merangsang. Salah
satu faktor yang sama untuk semua orang dari kelas itu berasal dari acara TV. Maka
dari penjahat-penjahat yang telah tertangkap dikumpulkan fakta mengenai kegemaran
mereka untuk menonton film seri TV. Hasilnya disusun dalam sebuah tabel seperti
berikut:

Film Seri
g
3i:: ...
:ti
,!! JI?
:9 -~
.s -~ ~~
E~ -~ 1 :§~ § ~·- ~ .5
'8 ~§
i al
lti ~
CD CD
Cl. Cl. 6
:9
(!)
~-- ~ ct Cd~
1 2 3 4 5 6 7 8
1 - - v v v
- -
2
3
-
-
-- - -- vv -v
v v
-
4 v - - - v v v
5 - - v v v ....- -
6 - v - - v - v
7 - - - - v - --
8 - - v - v v
9 - v - - v - v
10 - - v - v - v
147
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa penjahat muda yang cukup terpelajar dan
cukup berada itu disebabkan mendapat rangsangan untuk berbuat jahat dari tokoh
petualang yang menentang orde yang mapan dan mempunyai glamour atau mendapat
pujian masyarakat, yaitu: Robin Hood.

3. Metode Perbedaan (The Method of Difference)


Prinsip metode perbedaan itu oleh Stuart Mill dirumuskan demikian:
"Kalau sebuah peristiwa yang mengandung gejala yang diselidiki dan sebuah peristiwa
lain yang tidak mengandungnya, semua faktor-faktornya sama kecuali satu, sedang
yang satu itu terdapat pada peristiwa pertama, maka faktor satu-satunya yang
menyebabkan kedua peristiwa itu berbeda adalah akibat atau sebab atau bagian yang
tak terpisahkan dari sebab gejala tersebut". .
(If an instance in which the phenomenon under investigation occurs, and an instance
in which it does not occur, have every circumstance in common save one, that one
occuuring only in theformer; the circumstance in which alone the two instances differ,
is the effect, or the cause, or an indispensable part of the cause, of the phenomenon.)
Kalau kita sebagai contoh menggunakan lagi 'makan di warung' sebagai
peristiwanya dan 'sakit perut' sebagai gejala yang dicari sebabnya, maka contoh
metode perbedaan itu menjadi seperti berikut:

A makan nasi gudeg, makan telur, minum teh, dan sakit perut.
B makan na~i gudeg, makan telur, - dan tidak sakit perut.

Metode ini penerapannya dalam penelitian berupa eksperimen atau penelitian


eksperimental atau eksperimen terkendali (controlled experiment). Dalam eksperimen
terkendali ada dua peristiwa yang diperbandingkan, yang semua faktor-faktornya
yang relevan sama kecuali satu, yaitu faktor yang dianggap merupakan sebab dari
gejala yang dipandang sebagai akibatnya. Faktor yang terakhir ini disebut faktor
eksperimental dan subyek dari peristiwa yang mengandung faktor eksperimental
disebut kelompok eksperimental. Subyek dari peristiwa yang tidak mengandung
faktor eksperimental disebut kelompok pengendali (experimental dan control group).
Metode penelitian mengenal beberapa cara untuk mencapai persamaan yang dapat
dipertanggungjawabkan antara kelompok eksperimental dan kelompok pengendali.
Kalau dalam logika kita berbicara tentang faktor atau faktor analogi dan disanalogi
yang menunjuk dasar penyimpulan, dalam penelitian orang berbicara tentang variable,
yaitu faktor atau ciri yang memiliki nilai yang dapat bervariasi. Faktor penyebab
disebut variabel tak terikat (independent variable), sedang gejala atau akibatnya
disebut variabel terikat (dependent variable). Faktor eksperimental disebut variabel
eksperimental. Dalam metode penelitian juga dikembangkan cara-cara untuk
menggunakan kelompok pengendali: eksperimen dengan kelompok pengendali satu
atau lebih, atau kelompok pengendali itu juga sekaligus kelompok eksperimental.
Dalam harian Kompas tanggal 18 Maret 1982, permulaan sebuah berita berbunyi
sebagai berikut:

148
Yogya. Kompas
(Demikian) pendapat Dr. Masri Singarimbun, Direktur Pusat Penelitian dan
Studi Kependudukan Universitas Gajah Mada, Rabu kemarin. Masri
menyambut baik usu} Lembaga Kepeloporan Transmigrasi Indonesia (LKTI),
yang menganjurkan agar dalam melaksanakan program nasional transmigrasi,
pemerintah tidak melandaskan diri pada pengertian •sempit, yang bahkan sulit
dibedakan dengan kolonisasi. (Kompas, 17 Maret 1981)
Menurut Masri, penduduk yang bermukim di J awa lebih dari 90 ju ta jiwa,
dengan pertambahan penduduk sekitar dua persen per tahun. Dengan demikian
pertambahan penduduk di Jawa sekitar 1,8 juta jiwa per tahun. Padahal
perpindahan keluar Jawa paling banyak 100 ribu kepala keluarga (KK).
Maka program transmigrasi untuk meratakan penduduk itu serasa mitos,
sebab daya serap transmigrasi terbukti sangat kecil. Bagaimanapun banyak
penduduk akan tetap tinggal di Jawa. Artinya, Jawa tetap padat.

Menurut Dr. Masri Singariinbun, transmigrasi itu semacam eksperimen terkendali,


yang variabel eksperimentalnya adalah transmigrasi itu. Metode perbedaan yang
menjadi dasarnya dapat dirumuskan demikian:

Penduduk Jawa tanpa transmigrasi adalah padat.


Penduduk Jawa dengan transmigrasi adalah padat.

Terbukti transmigrasi tidak terdapat bersama-sama dengan ketidakpadatan


penduduK..

4. Metode Gabungan
(antara metode persamaan dan metode perbedaan: the joint method of agreement
and difference).
Stuart Mill merumuskan prinsip metode gabungan itu sebagai berikut:
"Kalau pada dua peristiwa atau lebih dengan sebuah gejala, hanya terdapat sebuah
faktor yang sama; sedang pada dua peristiwa atau lebih yang tidak memiliki gejala itu,
tidak ada persamaannya yang satu dengan yang lain, kecuali tidak adanya faktor
tersebut, maka faktor yang merupakan satu-satunya perbedaan di antara kedua
· kelompok peristiwa itu, adalah akibat, atau sebab, atau bagian tak terpisahkan dari
sebab dari gejala itu. "
(If two or more instances in which the phenomenon occurs have only one
circumstance in common, while two or more instances in whioh it does not occur have
nothing in common save the absence of that circumstance, the circumstance in which
alone the t\Vo sets ofinstances differ, is the effect, or the cause, or an indispensable part
of the cause, of the phenomenon.)
Rumus yang agak gelap maknanya itu paling mudah kalau diartikan sebagai rumus
mengenai metode yang sekaligus dalam satu penalaran menggunakan metode
persamaan dan metode perbedaan. bersama-sama seperti dalam coptoh berikut.
Kita ambil sebagai peristiwa: 'makan di warung' lagi, gejalanya: 'sakit perut'. Ada
tiga peristiwa dengan faktor-faktor sebagai berikut:

149
A makan nasi gudeg, makan telur, minum teh, clan sakit perut.
B makan pisang, makan jeruk, minum teh, clan sakit perut.
C makan nasi gudeg, makan telur, ... clan tidak sakit perut.
Ketiga peristiwa ini tidak dapat digunakan dalam metode persamaan, karena tidak
ada faktor yang sama untuk semua peristiwa itu. J uga metode perbedaan tidak dapat
diterapkan di sini, karena tidak 'semua faktor-faktornya sama kecuali satu'. Akan
tet:lpi dengan menggunakan kedua metode itu bersama-sama dalam satu penalaran,
kita dapat memperoleh konklusi. Bentuk penalarannya menjadi demikian:
A makan nasi gudeg, makan A makan nasi gudeg, makan
telur, minum teh . . . . . sakit perut. telur, minum teh ... sakit perut.
B makan pisang, makan C makan na;;i gudeg, makan
jeruk, min um teh . . . . sakit perut. telur, ..... tidak sakit perut .
.·. Min um teh . . . . . sakit perut.
Susunan peristiwa di sebelah kiri adalah menurut metode persamaan, yang di
sebelah kanan menurut metode perbedaan.
Karena dengan menggunakan kedua metode itu secara terpisah sudah dapat dicapai
konklusinya, maka konklusi itu dapat dianggap lebih kuat apabila kedua-duanya
digunakan bersama-sama.
Pola penalaran di atas adalah sebagai berikut:
ABCD---+d ABCD---+d
EFD---+d ABC ---+-
D---+d
J alan Kimia di Jakarta dahulu bernama Eijkmanstraat. Di laboratorium di situlah
dahulu Eijkman mengadakan eksperimen sebagai berikut:
la mengambil dua kelompok ayam. Yang sekelompok diberinya makan melulu
beras putih bersih, yang lainnya beras yang tidak dislep: masih banyak katulnya.
Kelompok yang pertama segera menunjukkan penyakit radang urat saraf
(polyneuritis; beri-beri), bengkak-bengkak, clan kemudian mati, sedang kelompok
kedua tak seekorpun yang kena penyakit itu. Kemudian kepada sekelompok ayam
yang sudah kena penyakit polyneuritis diberinya makanan katul melulu. Dalam waktu
singkat ayam itu sembuh semuanya. Eijkman telah membuktikan adanya penyakit
yang ditimbulkan oleh kesalahan gizi.
Eksperimen Eijkman itu terdiri atas dua bagian. Di bagian yang pertama digunakan
metode perbedaan. Kelompok ayam yang diberinya makan beras putih adalah
kelompok pengendali, yang diberinya makanan katul adalah kelompok eksperimen,
katul faktor eksperimentalnya. Bagian kedua menggunakan metode persamaan.
Bentuk penalarannya sebagai berikut:
Eksperimen I Eksperimen II
Ayam + beras ---+ beri-beri. Ayam + katul ---+ non-beri-beri
Ayam + beras ---+ beri-beri. Ayam + katul ---+ non-beri-beri
Ayam + beras + katul ---+ non-beri-beri Ayam + katul ---+ non-beri-beri
Ayam + katul ---+ .non-beri-beri

150
.·. Katul --+ non-beri-beri
Ata_u: non-katul --+ non non-beri-beri = non katul --+ beri-beri.

5. Metode Residu (The Method of Residues)

Stuart Mill merumuskan metode residu itu dengan kata-kata berikut:


"Hapuslah dari suatu gejala' bagian apa saja yang berdasarkan induksi-induksi
terdahulu sudah diketahui merupakan akibat dari anteseden-anteseden tertentu, dan
residu (sisa) gejala itu ialah akibat dari sisa antesedennya".
(Subduct from any phenomenon such part as is known by previous inductions to be
the effect of certain antecedents, and the residue of the phenomenon is the effect of the
remaining antecedents.)
Bentuknya dapat disusun demikian:

A B C mengakibatkan a b c
A mengakibatkan a
B mengakibatkan b

C mengakibatkan c
Ada contoh baik dan peristiwanya amat terkenal, sehingga banyak digunakan dalam
buku-buku populer, yaitu mengenai ditemukannya planet Neptunus.
Pada tahun 1821, Bouvard di Paris menerbitkan sebuah daftar mengenai orbit dari
sejumlah planet, termasuk di antaranya planet Uranus. Sudah diketahui bahwa orbit
planet-planet itu ditentukan oleh pengaruh gravitasi matahari dan planet-planet di
sekitarnya. Akan tetapi data baru yang. digunakan oleh Bouvard menunjukkan, orbit
Uranus yang berbeda dengan orbit yang dibuat berdasarkan data yang diperoleh tidak
lama sesudah planet itu ditemukan. Bouvard melaporkan perbedaan itu, akan tetapi ia
berpegang kepada data yang diperolehnya sendiri.
Akan tetapi perhitungan Bouvard itu beberapa tahun kemudian sudah terbukti tidak
cocok dengan observasi orbit Uranus pada waktu itu. Pada tahun 1844 selisihnya
dengan orbit yang nyata sudah begitu besar, sehingga menjadi masalah yang
didiskusikan di antara para ahli. Pada tahun 1845 Leverrier menggeluti masalahnya
dan sesudah mendapat keyakinan bahwa semua perhitungan Bouvard itu tepat, ia ·
menarik konklusi bahwa penyelewengan dalam orbit Uranus itu disebabkan oleh
gravitasi sebuah planet yang belum dikenal.
Penalaran Leverrier itu menggunakan metode residu. Orbit Uranus itu
selengkapnya dipengaruhi oleh gravitasi planet-planet di sekitarnya. Planet-planet di
sekitarnya itu gravitasinya hanya dapat menerangkan sebagian dari orbit Uranus.
Maka bagian dari orbit Uranus yang tidak dapat diterangkanoleh gravitasi itu, yaitu
penyelewengannya dari orbit yang diharapkan, harus disebabkan oleh sesuatu planet
yang belum diketahui.
Leverrier menghitung besarnya pengaruh gravitasi planet yang belum dikenal itu
dan arah datangnya. Pada tahun 1846 ia selesai dengan perhitungannya dan pada bulan
September tahun itu juga ia menuli~ kepadaGalle di Berlin untuk mengamati tempat

151
tertentu di angkasa, karena di situ harus ada planet yang sampai pada saat itu belum
dikenal. Pada tanggal 25 September 1846, kurang dari satu jam sesudah ia mulai
mengamati tempat yang ditunjuk oleh Leverrier, ditemukannya planet baru itu. Planet
itu diberi nama Neptunus.

6. Metode Variasi (The Method of Concomitant Variation)

Yang dimaksud dengan variasi di sini ialah perbedaan tanpa pergantian identitas.
Jadi bukan perbedaan seperti antara anjing dan pohon, akan tetapi seperti antara anjing
kecil dan anjing besar, antara Adam yang demamnya 37' dan Adam yang demamnya
40°. Jadi variasi dalam arti perbedaan gradual.
Metode variasi didasarkan atas adanya sesuatu f aktor yang bervariasi dalam suatu
peristiwa, dan adanya dalam peristiwa yang sama itu gejala yang juga bervariasi. Kalau
variasi dari faktor itu sejalan dengan variasi gejala, maka faktor itu adalah sebab dari
gejala yang bersangkutan. Dalam kata-kata Stuart Mill sendiri:
"Gejala. apa. sa.ja. yang denga.n sesua.tu cara. beruba.h apabila geja.la lain berubah dengan
ca.ra tertentu, maka gejala itu ada.lah sebab a.tau akibat da.ri gejala yang la.in itu, atau
berhubungan seca.ra. sebab-a.kibat"
(Whatever phenomenon varies in any manner whenever another phenomenon varies
in some particular manner, is either a. ca.use or an effect of that phenomenon, or is
connected with it through some fa.ct of causation.)
Bentuk penalaran menurut metode ini sebagai berikut:
A B C- d ef atau A B C- def
A+ B C - d e f+ A+ B C - d e E-
A- B C--+ d e f- A- B C--+ d e E+

.-.A--+ f .. A - f
Kalau kita mengambil lagi contoh: mak~an di waning dan sakit perut, dan
menyusunnya menurut metode ini, maka penalarannya dapat dijadikan demikian:
A makan nasi gudeg, makan telur,
minum teh setengah gelas, dan sakit perut dengan panas 38°.
B makan pisang, makan jeruk,
minum teh satu gelas, dan sakit perut dengan panas 39°.
C makan kacang, makan emping, makan jeruk,
minum teh dua gelas, dan sakit perut dengan panas 40° .
.·. Minum teh adalah sebab dari sakit perut dengan panas.
Metode penalaran ini dalam hidup sehari-hari sering diterapkan tanpa disadari.
Kaum tani mengetahui hubungan sebab-akibat antara pupuk dan panennya, karena
menurut obsep,rasi mereka, kalau pupuk ditambah, hasil panennya lebih besar dan
sebaliknya. Orang rela mengelu;trkan biaya yang besar untuk membuat iklan, karena
tahu, bahwa makin baik iklannya, makin laku dagangannya. Ini diketahui dari
pengalaman.

152.
Hukum ekonomi mengenai hubungan antara permintaan dan penawaran adalah
kesimpulan atas dasar metode variasi ini.
Metode variasi ini berdasarkan asumsi, bahwa adanya variasi, yang seperti
dikatakan di atas adalah perbedaan gradual, itu dapat disaksikan. lni berarti bahwa
harus ada kemungkinan untuk mengukur perbedaan itu. J adi metode variasi itu
metode kuantitatif.
rl
!

7. Hubungan sebab-akibat = implikasi empirik

Metode-metode Stuart Mill itu berdasarkan hubungan sebab-akibat atau hubungan


kausal. Hubungan itu dapat dirumuskan: kalau sebabnya/akibatnya ada, maka
akibatnya/sebabnya ada. Jadi hubungan itu hubungan 'Kalau ... , maka ... ', yaitu i
I:,
hubungan implikasi. Karena itu hubungan sebab-akibat juga disebut implikasi kausal. \,

Dan seperti dijelaskan di paragraf 4.3.4; implikasi kausal itu juga disebut implikasi
empirik, karena seperti jelas dari contoh-contoh di atas, metode-metode Stuart Mill
itu mengenai hubungan sebab-akibat yang hanya dapat diketahui berdasarkan
pengamatan indera, atau pengamatan empirik. Bahwa makan nasi gudeg, makan telur,
minum teh itu dapat menyebabkan sakit perut hanya dapat diketahui berdasarkan
pengamatan empirik. Konsep minum teh tidak mengandung unsur yang dapat
diartikan sebagai sebab dari sakit perut.
Semua jenis implikasi juga dapat disebut hubungan sebab-akibat dan juga dapat
dijadikan dasar penalaran. Akan tetapi penalarannya bukan menurut metode Stuart
Mill.
Kalau dasar penalaran itu implikasi logis, maka penalarannya berbentuk deduksi
seperti diuraikan pada Bab 3, 4, dan 5. Kalau dasarnya implikasi definisional,
penalarannya berupa penalaran langsung seperti dibahas dalam Bab 2.
Lain lagi halnya kalau yang menjadi dasar penalaran itu implikasi intensional atau
desisional. Adanya implikasi intensional itu juga diketahui secara empirik, yaitu
dengan menanyakannya kepada yang bersangkutan atau berdasarkan pernyataan yang
bersangkutan. Sekali pemyataan kita dengar, maka ini merupakan data yang harus
diterima kebenarannya. Jadi adanya implikasi intensional dapat secara langsung
diketahui, tanpa harus diadakan penalaran untuk menyimpulkannya. Dalam hal
implikasi empirik, adanya implikasi atau hubungan antara minum teh dan sakit perut
harus dicari. dengan menggunakan penalaran. Kecuali itu, hubungan sebab-akibat
dalam implikasi empirik itu dapat disebut hubungan alamiah, dan sifatnya mutlak
sepanjang kondisi alam tidak berubah (bypothetico-necessary). Sebaliknya hubungan
' sebab-akibat dalam implikasi intensional tidak mutlak sifatnya. Hubungan itu
tergantung kepada keputusan orang yang bersangkutan. Maka dalam hal orang
berpindah rumah, misalnya, tentu ada yang menghubungkannya dengan kesehatan
rumah, ada yang tidak; ada yang menghubungkannya dengan jaraknya dari sekolah
anak, ada yang tidak; ada pedagang yang menaikkan harga dagangannya karena
besarnya pennintaan, ada yang tid.ak.
Berhubung dengan pcrbedaan-perbedaan ini, maka konklusi yang dapat ditarik dari
sejurnlah peristiwa berdasarkan implikasi kausal berbeda dengan yang .dapat ditarik

153
kalau dasarnya adalah implikasi intensional. Misalnya kita ingin menyelidiki mengapa
orang-orang yang habis makan·di warung tertentu sakit clan mengapa orang pindah ke
Jakarta. Untuk kedua penelitian itu kita sama-'sama menggunakan enam variabel clan
mengumpulkan duapuluh lima peristiwa: n = 25. Hasilnya kita susun menjadi dua
tabel sebagai berikut:

Tabel 1. Makanan Warung X yang


Dimakan Orang yang ke- Tabel 2. Alasan Orang Pindah ke
mudian sakit. Jakarta. ·
Jumlah yang Jumlah yang
Makanan Alasan
makan menggunakan
nasi gudeg 20 sekolah anak 20
· nasi gulai 5 keluarga 5
minum teh 25 pekerjaan 25
makan telur 4 lingkungan 4
pi sang 3 hubungan dengan
luar negeri 3
jambu - gengsi -
Kesimpulan dari data tabel 1 ialah: minum tehlah yang menyebabkan orang yang habis
makan di warung itu sakit.
Dari tabel 2 harus disimpulkan: ada bermacam-macam alasan bagi orang untuk
pindah ke Jakarta, yang terpenting ialah: alasan pekerjaan. Alasan lain ialah:
kepentingan keluarga, sekolah anak, lingkungan clan hubungan derigan luar negeri.
Pentingnya alasan yang satu juga dapat dibandingkan dengan pentingnya alasan yang
lain.

Latlhan
I. Metode Stuart Mill yang mana yang digunakan dalam penelitian di bawah ini? Bagaimana
bentuknya secara formal?

1. Diduga ada hubungan antara peri laku yang sembrono dalaril mengemudikan kendaraan di
jalanan dan acara kekerasan di TV. Seorang peneliti pengaruh media massa di Universitas
Hawaii pernah mewawancarai 293 orang pengemudi yang pernah dihukum karena pelanggaran
lalu-lintas. Kegemaran mereka dalam menonton televisi dibandingkan dengan kegemaran !Y4
orang pengemudi yang tidak pernah melanggar peraturan lalu-lintas. Kebanyakan dari
pengendara yang sembrono gemar melihat film detektif dan kejahatan. Pengemudi yang
berhati-hati biasanya tidak gemar film kekerasan.
(cl Barker, Stephen F., "The Elements of Logic", McGraw-Hill, N.Y., 1974, p. 245)
*2. Di sebuah kecamatan ingi~ dimulai gerakan KB. Sekaligus ingin diteliti sampai berapa jauh
pengaruh film gerakan KB atas calon akseptor. Dikumpulkanlah sejumlah orang dan diteliti
berdasarkan sejumlah faktor yang diharapkan akan berpengaruh terhadap sikap orang tentang
KB, yaitu: agama/kepercayaannya, umurnya, lamanya kawin, pendidikan, mata pencaharian,
dan sebagainya. Setiap orang yang kondisi faktor-faktornya sama, misalnya: sama-sama umur
antara 15 dan 20 tahun, baru kawin 2 tahun, lulusan S.D, dan seterusnya dimasukkan kelompok
yang berbeda (precision control), sehingga terbentuk dua kelompok yang kondisinya sama.
Kepada kelompok yang satu dipertunjukkan film propaganda KB seminggu dua kali selama dua
bulan, kepada kelompok yang lain tidak. Hasilnya tidak menunjukkan perbedaan yang
menyolok, jumlah akseptor dari kedua kelompok itu masing-masing ·sekitar 75%.

154
3. Parke Davis & Co., produsen obat chloromycetin yang sangat ampuh untuk menyembuhkan
batuk rejan, mengumumkan basil studinya sebagai berikut:
Di Cochabamba, Bolivia, 62 anak sakit keras kareJ1a batuk rejan, penyakit yang untuk
anak-anak di bawah dua tahun sangat berbahaya, sesudah diberi pengobatan dengan
chloromycetin selama satu sampai tiga hari, kelihatan ada kemajuan yang menyolok. Panasnya
hilang. Sesudah diberi pengobatan tiga setengah sampai enam hari, semua gejala penyakit itu
hilang, dan seminggu sesudah pengobatan itu, semua jejak infeksi penyakit itu hilang.
Sebuah studi lain mengenai lima anak berumur 8 sampai 26 minggu yang sakit keras karena
batuk rejan. Sesudah diobati dengan chloromycetin, mereka itu langsung ada kemajuan,
keadaan umumnya menjadi baik disusul dengan kesembuhan yang cepat. Empat dari lima anak
yang sakit itu mengalami kemajuan dalam waktu 12 jam, yang kelima dalam waktu 24 jam.

*4. Diketahui bahwa pertumbuhan tubuh manusia itu tergantung kepada gizi makanannya. Dua
orang bayi lahir bersama-sama di sebuah rumah sakit, kemudian dibesarkan bersama-sama
dalam kondisi yang sama di sebuah rumah yatim piatu. Terbukti pertumbuhan kedua bayi itu
tidak seimbang. Pada umur enam bulan, yang satu masih berbobot lima kilogram, sedang yang
lain sudah lebih dari tujuh kilogram. Disimpulkan bahwa ini akibat dari perbedaan gizi
makanan pada waktu prenatal.
5. Di Washington D.C. pernah diadakan uji kemampuan membaca bahasa Inggris diantara
anak-anak kelas enam. Uji yang sama diberikan kepada:
2 kelas yang pernah mendapat pelajaran bahasa Spanyol selama tiga tahun;
8 kelas yang pernah mendapat pelajaran bahasa Prancis selama tiga tahun;
10 kelas yang pernah mendapat pelajaran bahasa Latin selama satu tahun dan
25 kelas yang tidak pernah diberi pelajaran bahasa asing.
Hasilnya menunjuk.kan bahwa dalam kemampuan membaca bahasa Inggris, murid yang belajar
bahasa Latin itu rata-rata lima bulan lebih cepat daripada murid yang tidak belajar bahasa asing,
sedang yang belajar bahasa Spanyol atau Prancis rata-rata hampir empat bulan lebih cepat.
Kesimpulannya ialah bahwa belajar bahasa asing itu mempunyai pengaruh positif terhadap
kemampuan membaca bahasa Inggris.
(cf. Barker ibid.)
6. 'Suami-isteri .Kellog mengadakan percobaan (1ebih) menarik dan instruktif (lagi). Untuk
mengungkapkan perbedaan-perbedaan (dan persamaan) hakiki (esensial) antara tata kelakuan
belajar manusia dan binatang. Mereka menangkap simpanse yang masih sangat muda, yang
usianya sama dengan usia anak mereka dan keduanya diasuh bersama. Sebanyak mungkin
keduanya diperlakukan secara sama: mereka bermain bersama, makan bersama, mereka diberi
makanan sama, pakaian, dan pendidikan yang sama. Gua, si simpanse, belajar dengan amat
lancar seperti anak mereka. Dalam beberapa hal, karena fisiknya lebih cepat dewasa, ia belajar
lebih cepat, seperti misalnya dalam hal permainan yang mernerlukan kekuatan, ket~
dan koordinasi otot. Suara yang dikeluarkan oleh keduanya juga sama; kedua-duanya
menggunakan suara yang pada dasarnya sama untuk menyatakan lapar, haus, badan kmang
enak, dan untuk minta mainan, alat dan lain-lain barang. Akan tetapi ketika si anak Jliulai
mengerti bahasa, si simpanse segera ketinggalan. Dengan penguasaan bahasa, si anak mulai
berpartisipasi dalam lingkungan manusia dengan suatu cara yang selama-lamanya 1*tbtup
untuk simpanse.'
(Beals, Ralph L., and Harry Hoijer, 1959: "An Introduction to Anthropology", The
MacMillan Co., N.Y., p. 240/1) ·
*7. Sejarah tidak mencatat berapa kali Lavoisier pada tahun 1785 mengadakan pet:oobaan, akan
tetapi berkali-kali ia mengulang prosedur yang sama. Merkuri, yang kuantitasnya diketahui,
dipanasi dalam tabung yang mengandung udara yang kuantitasnya juga qiketahui. Prosedur itu
diulanginya berkali-kali, tiap kali dengan kuantitas yang berbeda. Hasilnya selalu sama.
Sesudah pembakaran, kuantitas udara berkurang dan pada merkuri terdapat karat
k~ralHnerahan. Karat itu ketika dipanasi dengan suhu yang tinggi, menghasilkan merkuri

155
--
dan gas. Kuantitas gas itu sama dengan kuantitas kekurangan udara dari pemanasan pertama.
Sisa udara dari pemanasan yang pertama tidak memberi kemungkinan untuk mengadakan
pembakaran atau untuk hidup di dalamnya, sebaliknya dalam gas hasil pemanasan yang kedua
kemungkinan itu naik secara luar biasa. Lavoisier menyimpulkan: Jadi udara di atmosfir itu
terdiri atas dua zat yang elastis, yang sifatnya berbeda dan dapat dikatakan berlawanan.
8. " ... Kemungkinan timbulnya pertentangan sosial terbawa oleh cara orang mengidentifikasikan
diri dengan kelompok-kelompok, dengan demikian menciptakan batas-batas konsensus dan
menimbulkan jurang pemisah dalam masyarakat". Kemungkinan terbesar akan terjadinya
pertentangan di antara pengikut-pengikut agama yang berlainan itu timbul apabila
perbedaan-perbedaan agama itu diperkuat oleh perbedaan-perbedaan lain: latar belakang
kesukuan, pendidikan, daerah tempat tinggal, golongan sosial. Sebaliknya kecil sekali
kemungkinannya perbedaan agama akan menimbulkan pertentangan, apabila orang yang
termasuk agama yang berbeda-beda itu dipersatukan oleh ikatan-ikatan lain. Professor
Coleman berbicara tentang: 'manusia yang mengalami tekanan-silang (cross-pressure) ... yang
ikatannya menariknya sekaligus ke dua jurusan.. .'. . .. Coleman beranggapan (=
berkesimpulan) bahwa perubahan-perubahan dalam masyarakat Amerika pada waktu-waktu
belakangan ini menambah luasnya tekanan-silang yang mengurangi dan menghilangkan
pertentangan keagamaan. ' ..... Orang-orang Katolik merembes ke atas dalam struktur
perekonomian dan meluas i;ecara geografis masuk ke dalam pinggiran kota (suburbs); demikian
juga peranan orang Yahudi tidak lagi begitu terpusat pada bidang khusus dalam perekonomian
seperti sebelumnya dan di tempat tinggalnya dengan lingkungan terpisah; orang-orang
Protestan yang dibesarkan dalam sebuah madzab di sebuah lingkungan telah berpencar dan
berkelompok kembali dalam lingkungan-lingkungan di mana madzab-madzab harus
bergahung untuk dapat mempertahankan kelangsungannya. Pendek kata, mobilitas ekonomik
dan geografik telah menciptakan kondisi-kondisi baru untuk pengelompokan dan identifikasi
kelompok bagi orang-orang dari kelompok agama yang berbeda-beda."
(Jam es S. Coleman, "Social Cleavage and Religious Conflict",]oumal ofSocial Issues, Vol. 12,
No. 3, 1956, pp. 44-56. Singkatan dikutip dari Toby, Jackson, "Contemporary Society", John
Wiley & Sons, New York, 1964)

*9. "Meskipun kasus-kasus di pengadilan mengenai kejahatan kanak-kanak dan kejahatan (pada
umumnya) dengan jelas menunjukkan bahwa di kota-kota besar ada konsentrasi kejahatan di
daerah perkampungan yang tingkat sosioekonominya rendah, tetapi ada ahli-ahli kriminologi
yang mencurigai bahwa polisi bersikap lebih lunak terhadap orang-orang yang dicurigai yang
berasal dari lingkungan kelas menengah, dan dengan demikian memperbesar perbedaan
sosioekonomik dalam angka-angka kejahatan dan pelanggaran. Dalam membuat analisa tentang
kontak polisi dengan anak-anak yang dicurigai telah melakukan pelanggaran di Madison,
Wisconsin, antara tahun 1950 dan 1955, Profesor Shannon telah membawa kejelasan dalam
masalah ini. J umlah kontak polisi dengan anak-anak yang melakukan pelanggaran di tengah
kota (tingkat sosioekonominya rendah) kira-kira tiga kali lipat jumlah di daerah timur kota
(tingkat sosioekonominya tertinggi). Meskipun polisi Madison dapat diharapkan tidak akan
begitu mudah membuat laporan resmi tentang kontak dengan anak yang melakukan
pelanggaran di daer.ah timur kota, ini hampir seluruhnya karena pelanggaran di daerah itu tidak
begitu serius. ' ..... Anak-anak yang melakukan tindak pelanggaran dari jenis yang sebanding,
boleh dikatakan mendapat perlakuan yang sama dari polisi Madison" ........ .
Studi ini suatu bukti mengenai perbedaan kelas dalam hal P._erbuatan pelanggaran yang nyata,
tidak hanya dalam hal pelanggaran yang dilaporkan, kecuali kalau kita beranggapan bahwa
polisi dalam kontaknya mengadakan diskriminasi akan tetapi tidak melaporkannya. Dan ini
kemungkinannya kecil."
(Lyle W. Shannon, "Types of Delinquency Referral in a Middle-Sized City" British]ourn'al of
Criminology, Vol. 4, July 1963, pp. 24 - 36. Singkatan dari Toby o.c. p.- 310).
10. "Orang-orang yang ditelitt dalam eksperimen ini hanya menyadari bahwa mereka itu tenaga
sementara wituk mengisi daftar kode sebuah organisasi penelitian yang tidak mencari

156
keuntungan. Sekelompok tenaga diawasi oleh seorang yang keahliannya nampak melebihi
pengetahuan mereka, sekelompok lagi diawasi oleh seorang yang pengetahuannya kelihatannya
sama dengan pengetahuan mereka, sekelompok lain oleh orang yang kelihatan tidak becus.
Meskipun semua tenaga itu mengakui bahwa perintah yang diberikan oleh para pengawas itu
sah, akan tetapi dasar untuk mengatakan bahwa kekuasaan itu sah, cenderung berbeda.
Orang-orang yang diawasi oleh pengawas yang pengetahuannya sama atau lebih rendah
daripada pengetahuan mereka, menganggap kekuasaan mereka itu sah dalam hubungan dengan
kantor. Orang-orang yang diawasi oleh pengawas dengan pengetahuan yang tinggi
membenarkan adanya kekuasaan itu dalam hubungan dengan kemampuan teknik. Demikianlah
Profesor Evan dan Zelditch secara eksperimental memisahkan akibat dari kekuasaan rasional
dan kekuasaan legal. Idealnya pemegang kekuasaan legal dalam sebuah organisasi juga harus
memiliki pengetahuan yang dibutuhkan."
(William M. Evan and Morris Zeld.itch, Jr. "A Laboratory Experiment on Bureaucratic
Authority", American Sociological Review, Vol..26, December 1961, pp. 883-893. Singkatan
dari Toby o.c. p. 508).
II. Dengan metode atau metode-metode Stuart Mill yang manakah pendapat/hipotesa di bawah ini
dapat diuji? Bagaimana bentuk formal penalarannya?
1. Kemantapan keluarga menjalankan KB dipengaruhi oleh: 1. jumlah anak yang sudah dimiliki,
2. tingkat pend.idikan, 3. tingkat ekonominya, 4. tersedianya fasilitas kesehatan (puskesmas).
(cf. Masri Singarimbun, "Pedoman Prak.tis membuat Usul Proyek Penelitian", Lembaga
Kependudukan Universitas Gajah Mada, 1979, p. 65)
*2. Kemampuan menyerap tenaga kerja pada usahatani dengan sistem Bimas adalah lebih besar
daripada usahatani Inmas.
(Ibid. p. 25).
3. Sudahkah revolusi hijau memberi keuntungan menyeluruh kepada semua petani ataukah hanya
menguntungkan orang-orang kaya dan segelintir orang-orang tertentu yang berpeagaruh dan
yang karena keadaannya berani mengambil risiko?
(Ibid. p. 11)
*4. Pola orang-orang yang mendapat keuntungan dari korupsi menurut kelompok sosial dan tipe
sistem politik.
Penerimaan keuntungan

.lie:
0 !II
.
u
"'Cl i::
Q.-0
~ 0
e"'Q.
0 i:i -;;
""il ~ ·s f ~ t.1

Tipe sistem
politik
.lie: ...
;~
0
i::
0
1
.J:I
"'Cl
.sQ. !ii
"'Cl

--
.... !II
.Ji: :-9 :-9
"'Cl ;
bObO&b
:; u
u
e8
:I·-
.§ ·;;
ee
· - •.-!

; i:: i::
... u u -~
u ~] 5 ti
i:i.. Q.
u u
13-. Q.
0-0 Q.

1. Sistem birokrasi/militer x xx xx -
{mis. Muangthai sampai
1971 dan Indonesia sesu-
dab 1965)
2. Sistem partai tunggal x x x xx -
(mis. Guinea sampai 1966 dan
<1hana 1960-1965)
3. Sistem mu\tipanai x xx x xx xx
{mis. Filipina sampai 1971
dan India sampai 1971)

157
--
X = mendapat keuntungan sedikit.
XX = mendapat keuntungan banyak.
(Dr. J.W. Schoorl: "Modernisasi", Gramedia, 1981, p. 178/9)
Catatan: Keuntungan = 1. mendapat rumah, 2. mendapat kendaraan dll., 3. mendapat fasilitas
usaha, 4. mendapat jabatan.
5. Masyarakat Batak Toba di desa dan di kota bersama-sama merupakan sebuah sistem sosial dan
keupacaraan. Di dalam jaringan hubungan yang luas itu terjadi tukar-menukar barang, jasa, dan
gagasan. Dari kota datang barang-barang dan gagasan-gagasan modern, sedang dari desa berasal
dukungan moral dan semangat 'adat', yaitu tata kehidupan tradisional. (Schoorl, o.c. p. 281)

F. HIPOTESA
t. Hipotesa ilmiah dan non-ilmiah
'Hipotesa' adalah sebuah istilah ilmiah yang digunakan dalam rangka kegiatan
ilmiah. Akan tetapi kegiatan ilmiah itu tidak lain daripada kegiatan yang mengikuti
kaidah-kaidah berfiklr biasa, bedanya hanya bahwa kegiatan ilmiah itu dilakukan
secara sadar, teliti, dan terarah. Maka kalau dalam kegiatan ilmiah orang membuat
hipotesa, dalam berfikir sehari-hari pun orang juga biasa membuat hipotesa, hanya
biasanya tidak disebut hipotesa, akan tetapi: anggapan, perkiraan, dugaan, ·dan
sebagainya.
Dalam The Method of Science, kar!lllgan Thomas Henry Huxley tersebut di atas
(paragraf 6.2), pembentukan hipotesa itu dijelaskan dengan menggunakan kejadian
sehari-hari, bukan suatu peristiwa ilmiah.
"Saya ambil saja, salah seorang dari kami ini, pada waktu pagi-pagi turun dari ruang
atas ke ruang keluarga, melihat bahwa poci teh dan beberapa sendok yang pada malam
sebelumnya ditinggalkan di situ telah hilang. ] endela terbuka dan kami melihat bekas
telapak tangan kotor di bingkai jendela dan barangkali ditambah lagi: di kerikilan di
luar ada bekas sepatu yang solnya diberi paku. Semua itu seketika menarik perhatian
kami dan tidak sampai dua detik, kami berkata: 'Ah, ada orang mencungkil jendela,
masuk kamar dan pergi dengan membawa sendok dan poci teh'. Kata-kata itu keluar
dari mulut seketika. Dan barangkali kami akan menambahkan: 'Memang ada orang
masuk, saya yakin sekali mesti begitu!' "
Dalam contoh kejaclian di atas si pemilik rumah mengemukakan bahwa hilangnya
poci teh clan senclok itu karena dicuri orang. Meskipun ia merasa tahu clan yakin
betul-betul bahwa telah terjacli pencurian, akan tetapi sebenarnya tidak dapat
dipastikan apakah pencurian itu benar-benar telah terjadi. Mengapa poci dan sendok
itu mesti diambil orang? Mengapa tidak diambil binatang atau lenyap dengan
sendirinya? Kalau dikatakan bahwa itu clihubungkan dengan orang yang masuk
kamar, maka harus dipertanyakan lagi, mengapa jendela yang terbuka itu mesti dibuka
oleh orang, mengapa bekas telapak tangan itu mesti berarti, bahwa ada orang yang
telah memegang bingkai jenclela. Mengapa jenclela tidak terbuka karena angin atau
membuka dengan senclirinya? Kalau dikatakan itu semua berdasarkan hukum alam,
tidakkah mungkin bahwa pada waktu kami tidur hukum alam untuk beberapa waktu
tidak berlaku? Mengapa telapak tangan itu tidak mungkin lukisan tiruan? Mengapa
sepatu itu mesti clipakai orang? Mengapa simpanse tidak dapat memakainya?

158
Itu semua adalah kemungkinan-kemungkinan yang tidak dapat diketahui
kepastiannya. Dan masih banyak kemungkinan lain yang dapat dicari. Oleh karena
itu, meskipun si pemilik rumah merasa tahu clan yakin akan kebenarannya, akan tetapi
apa yang dikemukakannya itu bukan sesuatu yang benar-benar pasti. Itu adalah
sesuatu yang kurang dari kepastian, sesuatu di bawah kepastian: itu adalah suatu
hipotesa (Yunani: hypo= dibawah; thesis= pendirian, pendapat yang ditegakkan,
kepastian). Jadi si pemilik rumah telah membuat sebuah hipotesa.
Proses pembentukan hipotesa pencurian di atas adalah proses penalaran, yang
sebenarnya melalui tahap-tahap tertentu. Itu semua oleh si pemilik rum ah dilalui tan pa
pengertian yang jelas, seolah-olah terjadi dengan sendirinya. Proses penalaran clan
tahap-tahap yang sama juga terjadi dalam pembuatan hipotesa ilmiah, tetapi semuanya
dengan sadar, teliti, clan terarah. Tahap-tahap dalam pembentukan clan penggunaan
hipotesa itu pada umumnya garis besarnya sebagai berikut:
1. Penentuan masalah. Ketika si pemilik rumah turun ke ruang keluarga, ia melihat
suatu masalah, yaitu sesuatu yang tidak cocok dengan kekayaan pengetahuannya:
sesuatu yang sebelumnya ada, sekarang tidak ada. Poci teh clan sendok itu seharusnya
tetap ada di tempatnya. Mengapa demikian? Ini menuntut keterangan.
Juga penalaran ilmiah bertolak dari adanya masalah. Hanya dasarnya ialah kekayaan
pengetahuan ilmiah. Masalah ilmiah biasanya timbul karena sesuatu keadaan atau
peristiwa kelihatan tidak cocok atau tidak dapat diterangkan berdasarkan hukum atau
teori atau dalil-dalil ilmu yang sudah diketahui. Ini semua harus dikerjakan dengan
sadar clan teliti. Untuk memperoleh ketelitian itu masalah harus dirumuskan dengan
tepat. Jadi dalam proses penalaran ilmiah, penentuan masalah itu mendapat bentuk
perumusan masalah.
2. Hipotesa pendahuluan atau hipotesa preliminer (preliminary hypothesis), yaitu
dugaan atau anggapan sementara yang manjadi pangkal benolak dari semua kegiatan.
Sesudah melihat bahwa poci teh clan sendok tidak ada di tempatnya, si pemilik rumah
dengan tidak sadar apa yang dikerjakannya, melihat jendela terbuka, ada telapak
tangan di bingkai jendela, ada bekas sepatu di kerikilan di luar. Tanpa menyadarinya,
si pemilik rumah mengadakan observasi clan mengumpulkan fakta. Akan tetapi
keadaan yang dapat diobservasi bermacam-macam dan jumlahnya tidak terbatas:
pagi itu hawanya dingin, lukisan di dinding miring, anginnya kencang, ada sedikit cat
yang rontok dari langit-langit clan seterusnya. Akan tetapi itu semua tidak menarik
perhatiannya. Yang dilihatnya hanya jendela terbuka, bekas telapak tangan clan bekas
sepatu. Ini berarti bahwa dalam mengadakan observasi itu, perhatian si pemilik rumah
sudah diarahkan oleh sesuatu gambaran atau dugaan tentang apa yang menyebabkan
poci teh clan sendok itu tidak di tempatnya lagi. Dugaan sementara itu tidak
mempunyai bentuk yang jelas clan tegas, tidak eksplisit.
Juga dalam penalaran ilmiah ada dugaan sementara yang sering disebut hipotesa
preliminer. Tanpa adanya hipotesa preliminer itu observasi tidak akan terarah. Fakta
yang terkumpul mungkin tidak akan dapat digunakan untuk menyimpulkan suaiu
konklusi, karena tidak relevan dengan masalah yang dihadapi. Karen,a tidak
dirumuskan secara eksplisit, dalam penelitian, hipotesa priliminer itu biasanya
dianggap bukan hipotesa.

159
3. Pengumpulan fakta. Seperti kita lihat di atas, berdasarkan hipotesa preliminer itu
si pemilik rumah telah mengumpulkan fakta. Fakta yang dikumpulkan itu fakta yang
relevan dengan hipotesa preliminer itu.
Proses itu juga terjadi dalam penalaran ilmiah. Di antara jumlah fakta yang besamya
tak terbatas itu hanya dipilih fakta-fakta yang relevan dengan hipotesa preliminer.
Ketelitian clan ketetapan memilih fakta itu akan menentukan hipotesa yang akan
dirumuskan.
4. Formulasi hipotesa. Sesudah melihat bahwa poci teh serta sendok tidak di
tempatnya lagi clan jendela terbuka clan seterusnya, berkatalah si pemilik rumah: "Ada
orang mencungkil jendela, masuk kamar, clan pergi dengan membawa poci teh clan
sendok". ltulah formulasi hipotesa yang dibuat oleh pemilik rumah: hipotesa
pencunan.
Hipotesa itu sebuah pemyataan atau proposisi yang mengatakan bahwa diantara
sejumlah fakta itu ada hubungan tertentu.
Formulasi hipotesa itu suatu proses penciptaan, seperti apabila seorang seniman
menciptakan karya seninya. Pada suatu saat dalam pengumpulan fakta, si ilmuwan
melihat adanya hubungan tertentu diantara sejumlah fakta. Si ilmuwan telah
menemukan sebuah hipotesa. Mengenai penemuan itu sendiri, mengapa pikiran
tiba-tiba melihat hubungan diantara fakta-fakta itu, ini terletak di luar bidang logika.
Terbentuknya hipotesa adalah suatu proses yang boleh dikatakan didasarkan atas
ilham atau intuisi. Logika tidak dapat berkata apa-apa tentang hal ini. Psikologi lebih
mampu untuk membahasnya. Mengingat hal ini, tidak mustahil bahwa ilmuwan yang
satu dengan segala susah payah clan keuletan tidak dapat menemukan suatu hipotesa
ter-tentu, sedang ilmuwan lain seolah-olah tanpa disengaja sekonyong-konyong
menemukannya. Diceritakan bahwa sebuah apel jatuh dari pohon ketika Newton
tidur di bawahnya. Seketika itu teringat olehnya bahwa semua benda mesti jatuh clan
seketika itu pula dilihatnya hipotesanya, yang sekarang dikenal dengan nama 'hukum
gravitasi'. Ini hanya sebuah cerita anekdot, akan tetapi dengan jelas menggambarkan
sifat penemuan dari hipotesa.
5. Pengujian hipotesa, artinya mencocokkan hipotesa dengan keadaan yang dapat
diobservasi. Contoh cerita pencurian di atas oleh Huxley tidak diteruskan sampai
meliputi pengujian hipotesa. Pengujian itu misalnya dapat dikerjakan demikian. Kalau
memang sungguh terjadi pencurian, maka pencuri itu tentu tidak hanya tangannya
yang sebelah memegang bingkai jendela, akan tetapi juga tangan yang sebelahnya. Di
tempat di mana poci teh clan sendok itu terletak, tentu juga ada sidik jari si pencuri.
Demikian juga di lantai tentu ada bekas-bekas goresan dengan logam, karena sepatu si
pencuri solnya diberi paku. J uga dapat diharapkan tanah di luar jendela ada yang
terbawa masuk ke kamar. Kalau fakta yang diharapkan itu semua terbukti dapat
diobservasi, hipotesa menjadi lebih kuat, lebih mantap.
Pengujian hipotesa itu dalam istilah ilmiah disebut verifikasi (pembenaran). Kalau
hipotesa itu terbukti cocok dengan fakta, itu disebut konfirmasi (penguatan,
pemantapan). Menurut teori yang lebih baru pengujian hipotesa itu berarti usaha
menemuk:rn fakta yang tidak sesuai dengan hipotesa. Ini disebut falsifikasi
(penyalahan) clan kalau usaha itu tidak berhasil, maka hipotesa itu tidak terbantah ol~h
fakta. Ini disebut koroborasi (corroboration).

160
Dengan pengujian hipotesa itu lengkaplah lingkaran proses ilmiah. Masalah
diangkat dari fakta, - dengan menggunakan hipotesa preliminer dikumpulkan fakta
untuk menyusun hipotesa, yang kemudian diuji dengan mencocokkannya dengan
fakta lagi.
Sering sebuah hipotesa kalau diuji terbukti tidak cocok dengan fakta. ;Meskipun
demikian hipotesa tersebut bukan tidak berguna. Setidak-tidaknya terbukti bahwa
dirinya sendiri (hipotesa itu) tidak benar. Akan tetapi biasanya ketidakbenaran
hipotesa itu sekaligus menunjukkan, bagaimana hipotesa itu harus diperbaiki. Dengan
demikian hipotesa yang tidak tepat merupakan sarana untuk menemukan hipotesa
yang tepat, sehingga dapat dipandang sebagai hipotesa preliminer.
Hipotesa yang sudah begitu sering mendapat konfirmasi atau koroborasi sehingga
mantap sekali dapat disebut teori, dan kalau lebih mantap lagi menjadi hukum. Akan
tetapi penggunaan istilah hipotesa, teori, dan hukum dalam ilmu pengetahuan tidak
mantap. Sering ilmuwan yang satu masih menggunakan istilah hipotesa, sedang
ilmuwan yang lain menyebutnya teori atau sebaliknya. Hukurn gravitasi Newton
disebut hukum, sedang teori relativitas disebut teori, rneskipun teori relativitas itu
menggantikan hukurn gravitasi.
6. Aplikasi/penerapan. Auguste Comte (1798-1857), tokoh filsafat positif Prancis
berkata bahwa ilrnu pengetahuan itu bertujuan untuk dapat mengetahui sesuatu
sebelum terjadi atau untuk merarnalkan kejadian agar dapat mengatasi keadaan (savoir
pour prevo~ pour pouvoir). Meramalkan itu dalam istilah ilmiah disebut prediksi
(Latin: predictio).
Hipotesa itu tidak hanya sekedar merupakan konklusi penalaran, akan tetapi juga
menerangkan masalah yang menyebabkan rnengapa hipotesa itu disusun. Hipotesa
pencurian menerangkan rnengapa sendok dan poci teh tidak di tempatnya lagi. Dengan
hipotesa itu kita rnengetahui atau mendapat pengetahuan mengapa sendok dan poci itu
hilang. Pengetahuan itu dapat diterapkan, artinya: atas dasar anggapan bahwa hipotesa
itu benar dapat diadakan rarnalan, dan ramalan itu harus terbukti cocok dengan fakta.
Berkenaan dengan hipotesa pencurian di atas, si pemilik rumah, rnisalnya,
kemudian lapor kepada polisi. Dengan menggunakan laporan pencurian itu sebagai
hipotesa preliminer, polisi akan mengumpulkan fakta secara lebih cerrnat dan berhasil
mengetahui bahwa: sepatu yang bersangkutan rnerk-nya 'FANTASY' dan nomemya
40, sidik jarinya dipastikan bentuknya, jendela terbuka antara jam 11 dan 4 rnalam.
Maka hipotesa pencurian dari polisi lebih cerrnat daripada hipotesa pencurian menurut
laporan. Berdasarkan hipotesa itu polisi dapat rnerarnalkan bahwa pencuri itu orang
yang antara jam 11 dan 4 rnalam tidak dirurnahnya sendiri, ukuran sepatunya .if.O, ia
memiliki sepatu rnerk 'FANTASY', dan sidik jarinya seperti bentuk yang
ditemukannya. Dan ini harus dapat diverifikasikan/koroborasikan dengan fakta.
Demikianlah tahap-tahap penyusunan hipotesa yang dilalui oleh si pemilik rumah
tanpa disadarinya. Dalam proses ilmiah tahap-tahap itu harus dikerjakan secara sadar
dan cerrnat, akan tetapi tahap-tahapnya sarna saja.

2. Hipotesa sebagai konklusi


Dari uraian di atas jelaslah bahwa hipotesa itu disusun berdasarkan atas atau
disimpulkan dari sejumlah fakta. Hipotesa itu konklusi dari sebuah penalaran.

161
Penalaran yang menghasilkan hipotesa itu sangat kompleks, melibatkan deduksi
maupun induksi, dan bahkan ada unsur intuisi dan ilham. Kalau penalaran yang
menghasilkan hipotesa pencurian itu dijabarkan, didalamnya terdapat unsur-unsur
sebagai berikut:
Catatan: * = generalisasi induktif.
** = proposisi mutlak/jelas dengan sendirinya (self evident).
# = observasi baru. ·
{l) * Di mana ada bekas sepatu, di situ (pernah) ada sepatu.
# Di depan jendela ada bekas sepatu .

.·.Di depan jendela (pernah) ada sepatu.


(2) * Sepatu di depan jendela itu sepatu yang tidak di tempat penyimpanannya.
* Sepatu yang tidak di tempat penyimpanannya adalah sepatu yang dipakai
orang .

.·. Sepatu di depan jendela adalah sepatu yang dipakai orang.


Atau dengan perkataan lain: Ada orang bersepatu di depan jendela.
Penalaran (1) dan (2) di atas juga dapat diberi bentuk polisilogisme atau sorites,
bahkan bentuk-bentuk itu agaknya lebih sesuai dengan penalaran yang
sungguh-sungguh terjadi dalam benak si pemilik rumah. Di sini penalaran itu
dijabarkan demi kejelasannya.
(.3) * Tempat di mana terdapat bekas telapak tangan adalah tempat yang pernah
dipegang tangan orang.
# Di bingkai jendela ada bekas telapak tangan .

.·. Bingkai jendela itu pernah dipegang tangan orang.


(4) * Jendela yang tertutup dan kemudian terbuka, tentu dibuka orang.
# Jendela kamar itu tadinya tertutup, kemudian terbuka .

.·. Jendela kamar itu tentu dibuka orang.

Dari tiga konklusi yang terakhir di atas, yaitu bahwa:


- ada orang bersepatu di depan jendela;
- bingkai jendela itu pernah dipegang tangan orang; dan
- jendela kamar itu tentu dibuka orang,
disimpulkan kejadian berikut: ada orang bersepatu berdiri di depan jendela,
memegang bingkainya, dan kemudian membukanya.
Kesimpulan ini bukan kesimpulan penalaran. Logika tidak dapat memastikan
bahwa orang bersepatu di depan jendela itu tentu sama dengan orang yang memegang
bingkai jendela, dan juga tidak dapat memastikan bahwa orang itu pulalah yang
membuka jendela. Di antara ketiga peristiwa itu tidak ada implikasi logis. Kesimpulan
itu adalah hasil intuisi.

162
(5) * Barang yang tidak di tempatnya lagi tentu diambil orang.
# Poci teh dan sendok itu tidak di tempatnya lagi .

.·. Poci teh dan sendok itu ten tu diambil orang.


(6) ••Semua perbuatan tentu mempunyai maksud.
Ada orang membuka jendela. (Kesimpulan dari konklusi (2), (3), dan (4) di
atas)

.·. Orang yang membuka jendela itu mempunyai maksud tertentu.

Konklusi terakhir dihubungkan dengan konklusi (5) bahwa poci teh dan sendok itu
diambil otang, melahirkan kesimpulan bahwa poci teh dan sendok itu diambil oleh
orang yang membuka jendela itu.
Kesimpulan inilah yang oleh si pemilik rumah dikemukakan sebagai hipotesa.
Kesimpulan itu adalah hasil intuisi atau ilham. Di lihat dari sudut logika, antara
hilangnya poci teh serta sendok dan orang yang membuka jendela tidak ada implikasi
logis. Pikiran tidak dapat memas.tikan adanya hubungan tertentu antara orang
membuka jendela dan barang yang hilang. .
Dari penjabaran penyusunan hipotesa seperti di atas, jelaslah bahwa hipotesa itu
suatu konklusi dari sejumlah penalaran deduktif [penalaran (1) s/d (6)].
Penalaran-penalaran itu sebagian [no. (1) s/d (5)] didasarkan atas proposisi empirik
sebagai maiornya dan oleh karenanya konklusinya mempunyai nilai probabilitas.
Penalaran no. (6) maiornya berupa proposisi mutlak, non-empirik, sehingga
konklusinya mempunyai nilai kepastian. Karena maior yang empirik itulah maka
hipotesa itu tidak mempunyai nilai kebenaran yang pasti. Hubungan antara
konklusi-konklusi itu sendiri hanya dapat diketahui melalui intuisi.
Hipotesa adalah suatu konklusi yang memiliki nilai probabilitas. Dalam hal ini
hipotesa sama dengan konklusi penalaran induktif biasa. Bahkan persamaannya lebih
dari itu. Kedua-duanya didasarkan atas pengumpulan fakta, nilai probabilitasnya
dapat ditingkatkan dengan mengujinya, yaitu dengan mencocokkannya dengan fakta.
Dengan menerapkan hipotesa maupun konklusi induktif orang dapat mengadakan
prediksi. Karena persamaan-persamaan itu maka konklusi induktif pun dapat
dipandang dan diperlakukan sebagai · hipotesa.

3. Hipotesa· sebagai eksplanasi


Seperti dikatakan di atas, hipotesa pencurian menerangkan mengapa poci teh dan
sendok tidak di tempatnya lagi. Huxley dalam karangannya yang sama mengatakan,
bahwa si pemilik rumah dengan mengemukakan hipotesa pencurian itu telah
menemukan vera causa dari hilangnya poci dan sendok itu. Vera causa, bahasa Latin,
artinya tidak lain daripada 'sebab yang sebenarnya'. Ini berdasarkan anggapan yang
berlaku pada waktu itu, bahwa konklusi penalaran induktif itu memiliki nilai
kebenaran yang pasti, jadi benar atau salah. Dengan diakuinya bahwa konklusi
penalaran ilmiah itu suatu probabilitas, istilah vera causa sekarang telah berganti
menjadi eksplanasi atau keterangan, penjelasan.

163
Mengenai keterangan atau penjelasan itu harus diingat bahwa sebuah fakta tidak
hanya dapat diterangkan dengan satu cara saja. Setiap keterangan sebenarnya hanya
salah satu keterangan yang dapat diberikan. Bahwa poci dan sendok tidak di
tempatnya lagi, misalnya, juga dapat diterangkan demikian. Pagi-pagi sekali
pembantu rumah tangga telah bangun dan membuka jendela. Tukang kebun dari
rumah sebelahnya datang dan bercakap-cakap melalui jendela yang terbuka sambil
memegangi bingkai jendela dengan tangannya yang kotor. Sehabis bercakap-cakap
pembantu rumah tangga mengambil poci dan sendok untuk dicuci. Ketika si pemilik
rumah datang, barang-barang tersebut tidak di tempatnya lagi.
Hipotesa-hipotesa lain sudah tentu dapat disusun. Hal itu tergantung kepada
imajinasi orang yang menciptakannya.
Tidak semua hipotesa yang dapat diciptakan mengenai sesuatu masalah menyajikan
eksplanasi yang baik. Menjelang akhir abad ke-18 teori phlogiston mengenai
pembakaran ditinggalkan oleh para ahli fisika. Menjelang pertengahan abad ke-20 ini
teori ether sebagai z.at pengantar gelombang suara dan getaran cahaya mengalami nasib
yang sama. Di bidang ilmu antropologi budaya tidak terdengar lagi tentang teori
animisme dan dinamisme sebagai teori yang masih hidup. Apa kriterianya untuk
mengatakan bahwa suatu hipotesa itu baik atau tidak baik?
Di bawah ini tercantum kriteria yang dapat digunakan untuk keperluan itu:

1. Sebuah hipotesa harus sekomprehensif mungkin, artinya: semua fakta yang


berhubungan dengan masalahnya dan semua aplikasi/penerapan dari hipotesa itu
harus dapat diterangkan oleh hipotesa yang bersangkutan.
Hipotesa tentang pembantu rumah tangga yang bercakap-cakap dengan tukang
kebun untuk menjelaskan bahwa poci dan sendok tidak di tempatnya lagi kalah
komprehensif dengan hipotesa pencurian. Ada fakta yang bersangkutan dengan
masalah itu yang tidak dapat diterangkan dengan hipotesa percakapan itu: kalau
mencuci poci dan sendok itu pekerjaan rutin, mengapa si pemilik rumah tidak
mengetahuinya? Untuk menerangkan hal ini harus dibuat hipotesa tambahan,
misalnya: si pemilik rumah kebetulan tidak ingat akan hal itu, atau: si pembantu
sedang ke pasar, sehingga tidak dapat ditanyai.
Ketika Leverrier menemukan planet Neptunus .dengan menggunakan hukum
gravitasi Newton karena kelihatannya orbit planet Uranus tidak sesuai dengan hukum
itu, itu menunjukkan bahwa hukum gravitasi itu cukup komprehensif. Akan tetapi
penyelewengan planet Mercurius dari orbit yang diharapkan, yang tidak dapat
dijelaskan berdasarkan hukum gravitasi, menunjukkan bahwa hukum itu kurang
komprehensif.

2. Sebuah hipotesa harus memiliki nilai prediktif (predictive power), hipotesa harus
dapat digunakan untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Itulah tujuan ilmu
pengetahuan. Itulah kegunaan ilmu. Oleh karena itu, kriterium ini juga disebut
kriterium utilitas.
Nilai prediktif itu hanya terdapat pada hipotesa, kalau hipotesa berupa suatu
generalisasi, sehingga dapat diterapkan untuk semua fakta yang sama. Berdasarkan ini
kriterium ini juga disehut kriterium generalisasi.

164
3. Sebuah hipotesa harus dapat diuji (testability), yaitu dicocokkan dengan observasi
empirik. Pengujian itu menurut teori ilmu pengetahuan untuk membenarkan hipotesa
dengan menunjukkan kesesuaiannya dengan fakta. Menurut teori yang lebih baru,
pengujian itu untuk menaikkan probabilitas hipotesa karena ketidakberhasilan usaha
untuk membuktikan ketidakcocokkannya dengan fakta. Pengujian yang pertama itu
suatu verifikasi, pengujian yang kedua suatu falsifikasi.

4. Simplisitas atau kesederhanaan. Kriterium ini berdasarkan kecenderungan umum


pikiran manusia bahwa apa yang lebih sederhana itu lebih dapat dipahami dan diterima
oleh pikiran, jadi lebih rasional. Dan hipotesa sebagai eksplanasi harus rasional. Pada
umumnya makin sedikit pengertian, makin sedikit asumsi, dan makin sedikit
hubungan antar fakta yang terdapat didalam hipotesa, makin sederhana hipotesanya.

5. Hipotesa tidak boleh mengandung inkonsistensi. Sesuatu yang tidak konsisten


tidak dapat diterima oleh pikiran, jadi tidak rasional. Pada hal keterangan atau
penjelasan harus dapat diterima oleh pikiran.

Kalau kita perhatikan kriteria di atas, terbukti ada yang mutlak ada yang tidak. Yang
mutlak ialah:
- harus memiliki nilai prediktif. Tanpa ini pengetahuan yang didasarkan atas
hipotesa itu tidak ada gunanya;
- harus dapat diuji atas dasar observasi empirik. Semua pengetahuan ilmiah akhirnya
harus dibuktikan probabilitasnya dengan ujian itu;
- harus konsisten. Yang tidak konsisten tidak rasional.
Sebaliknya kriteria konprehensivitas dan kesederhanaan bukan kriteria yang mutlak,
artinya: meskipun kurang komprehensif atau kurang sederhana, hipotesa masih dapat
diterima oleh pikiran, asal tidak melanggar kriteria yang mutlak.

Latihan
I. Dalam soal-soal di bawah ini:
a. apa masalahnya? b. bagaimana hipotesanya; c. berilah evaluasi dari hipotesanya.
1. Setiap orang yang waras di kepulauan Paskah memiliki aku-aku. Saya pun di sana
memperolehnya, akan tetapi pada saat saya menyiapkan perjalanan ke tempat yang satu itu,
saya tidak memilikinya. Barangkali itulah sebabnya maka begitu sulit untuk mengatur
perjalanap. itu. Perjalanan pulang lagi jauh lebih mudah.
(Thor Heyerdahl: "Aku-Aku')
*2. Diantara sifat Hannibal yang patut dicatat termasuk yang berikut. Meskipun ia memimpin
sebuah tentara yang besar, terdiri atas orang-orang dari segala bangsa dan berperang di negeri
orang, tidak pernah terjadi cekcok di antara mereka sendiri atau di antara mereka dengan
pemimpinnya, baik dalam menghadapi nasib yang baik maupun yang buruk. lni tidak mungkin
terjadi, kecuali karena kekejamannya yang luar biasa ditambah dengan kebaikan-kebaikannya
yang tak terhingga, yang membuatnya menjadi orang yang dipuji dan ditakuti di mata
prajurit-prajuritnya. Tanpa (kekejaman) itu, semua kebaikannya tidak akan mampu
menghasilkan akibat itu.
(N. Machiavelli; "Il Principe')
3. Kalau sebuah substansi terbakar, kelihatannya ada sesuatu yang terbebas, dan sepeni kita
ketahui, ahli alkemi kuno menyebutnya belerang (sulfur). Pada awal abad ke-18 belerang itu

165
diberi nama baru: phlogiston dan phlogisron ini diberi sifat yang sangat mengherankan, yaitu:
bobot negatif. Kalau ditambahkan kepada sebuah benda, benda itu menjadi lebih ringan. Ini
harus demikian, sebab Boyle dan ahli-ahli lain telah membuktikan bahwa apabila sebuah logam
dibakar, maka benda keras yang dihasilkannya lebih berat daripada logam aslinya. Oleh ka.rena
itu, karena hilangnya phlogiston itu membuat logam menjadi lebih berat, maka bobot
phlogiston itu harus lebih·kecil daripada kalau tidak ada apa-apa.
0 .W.N. Sullivan; "Limitations of Science")
''4. Sebuah sebab yang penting mengapa ilmu pengetahuan sosial tidak lebih berkembang dari
keadaannya sekarang boleh jadi ialah karena penerapan metode ilmiah atas situasi sosial itu lebih
sukar daripada penerapannya atas situasi fisik. Pertama-tama, ilmu pengetahuan sosial itu
mengenai manusia sendiri dan sering manusia tidak ingin diteliti atau diubah tata kelakuannya.
Sesuai dengan bentuk kebudayaan kita, terang orang tidak dapat secara paksa diisolasikan secara
fisik dalam sebuah laboratorium dan digunakan sebagai satuan terkendali untuk dipelajari.
Kalau mereka terisolasikan, itu harus merupakan perbuatan suka rela. Bahkan dalam keadaan
yang demikian itu adalah sulit, mungkin mustahil, untuk mencapai kondisi yang terkendali
seperti di laboratorium fisika.
(Wileden, Arthur F.; "Community Development")

5. Setiap anak sekolah kelihatannya 'mengerti' bahwa lingkungan alam sedang mengalami
kerusakan dan bahwa ada kekurangan bahan makanan. Menurut buku kanak-kanak tidak ada
keragu-raguan bahwa penyebabnya ialah besarnya jumlah penduduk dan pertambahannya.
'Kalau ledakan penduduk berjalan terus, banyak orang akan kelaparan,' ........ Semua masalah
yang besar mengenai lingkungan dapat dikembalikan kepada jumlah penduduk yang terlalu
besar'.
(Simon, Julian L.; "The Ultimate Resource", Reader's Digest)
II. Penelitian di bawah ini:
a. masalahnya apa? b. hipotesanya bagaimana? c. metode Stuart Mill yang mana yang
diterapkan?
Hasilnya dapat disebut suatu hipotesa. Bandingkan hipotesa hasil penelitian itu dengan hipotesa
penelitiannya, menurut kriteria yang ada.
1. The Cambridge-Sommerville (Massachusetts) Youth Study:*
Menurut anggapan umurn kenakalan rernaja dapat dikurangi atau dicegah, apabila kepada anak
nakal diberikan bimbingan yang baik. Studi itu bermaksud menguji anggapan urnum tersebut,
yang sebelumnya tidak pernah diuji, meskipun dalam kegiatan pekerjaan sosial sudah dijadikan
dasar pemberian bimbingan.
Maka disusunlah sebuah hipotesa, dan berdasarkan hipotesa itu dibentuklah dua kelompok
remaja. Prosedur pembentukannya sebagai berikut: guru dan pekerja sosial di berbagai lembaga
dirninta untuk mengirimkan nama anak yang tergolong 'anak nakal', 'anak yang sukar dididik',
dan 'anak biasa' (tergolong rata-rata). Ada harnpir 2000 nama yang masuk. Kemudian
dikumpulkan informasi tentang anak-anak itu rnengenai: riwayat pertumbuhannya, riwayat
kesehatannya, sikap sosialnya, sikapnya dalam keluarga, kegiatannya di bidang agama,
rekreasi, wataknya, ketrampilannya, dan bakatnya.
Semua informasi itu diteliti oleh dua orang pekerja sosial dan seorang ahli psikiatri. Mengenai
800 orang anak pendapat ketiga ahli itu sama. Kemudian dibuat pasangan-pasangan terdiri atas
dua orang anak yang informasinya sama. Hasilnya ada 325 pasang. Dari tiap pasang itu anak
yang satu dimasukkan kedalam kelompok yang satu, sedang anak yang lainnya dimasukkan
kelompok yang lain. Dengan dernikian terdapat dua kelompok dengan informasi yang sama,
rnasing-rnasing terdiri atas 325 orang.

* Didasarkan atas resume dalarn "The Foundations of Sociological Inquiry", Part I, dari George A, Lundberg e.a:
Yociology, p.50 sqq.

166
Kelompok yang satu dijadikan kelompok stimulus atau kelompok eksperimental dan
anak-anak dari kelompok ini diberi segala macam bimbingan. Kelompok yang lain dijadikan
kelompok pengendali dan kepada anak-anak dari kelompok ini tidak diberikan bimbingan sama
sekali.
Di sini digunakan asumsi bahwa hasil bimbingan itu hanya akan nampak dengan jelas, apabila
bimbingan itu diberikan dalam waktu yang cukup lama. Maka direncanakan bimbingan itu akan
diberikan selama sepuluh tahun. Berhubung dengan pecahnya Perang Dunia II, rencana itu
meleset. Banyak anak dan pekerja sosial yang terpaksa masuk dinas militer. Anak yang
mendapat bimbingan paling lama ialah selama delapan tahun. Rata-rata seorang anak mendapat
bimbingan selama kira-kira lima tahun.
Pencatatan hasil dilakukan dengan bantuan sekolah, lembaga sosial dan lingkungan gereja ternpat
anak yang menjadi obyek studi tinggal, sedang pegawai pembimbing sendiri juga mengadakan
catatan mengenai kemajuan anak yang dibimbingnya. Hasil terakhir dilihat di berkas kepolisian.
Berkas kepolisian itu antara lain menunjukkan angka-angka berikut:

Macam kenakalan Kelompo~ Kelompok Jumlah


eksperimental pengendali perkara

Dilaporkan kepada polisi 282 orang 256 orang 264 perkara


Diteruskan ke pengadilan 96 orang 92 orang 218 perkara

Dihukum masuk lembaga pen-


didikan/kemasyarakatan 8 orang 15 orang

Hasil mengenai beratnya kenakalafi adalah sebagai berikut:

Persen Kelompok Kelompok Kenakalan anak


stimulus pengendali

100 ----------
---- ---
80 29%
-- Agak serius
--- ---
60 20%
40 33%
33% Seri us
20 --- 17% Serius sekali
18%
0 ----------
Melihat perbandingan jumlah pelanggaran dan anggota dari masing-masing kelompok yang
terlibat dalam pelanggaran itu, timbul gambaran bahwa memberi bimbingan kepada anak nakal itu
cidak besar efektivitasnya, karena perbedaannya hanya kecil saja, sedang waktu dan ·biaya yang
diperlukan am at ban yak. Maka perlu menguji cara-cara lain yang mungkin lebih efektif, seperti
pemberian hukuman, mengadakan pendidikan khusus, dan sebagainya.
Melihat perbandingan seriusnya kenakalan yang dilakukan oleh anggota dari kedua kelompok itu
masing-masing, kesimpulannya ialah bahwa pemberian bimbingan itu lebih tepat untuk mencegah
k~nakalan yang serius dan residivisme (angka untuk residivisme di atas tidak dicantumkan) daripada
untuk mencegah anak menjadi anak nakal.

167
Kesimpulan ini jelas tidak dapat dipandang sebagai kesimpulan yang mantap, yang akan diterima
begitu saja oleh kebanyakan orang. Agaknya orang perlu mengujinya lagi sebelum kesimpulan ini
diterima secara umum.

*2. "The Brave New World", novel karangan Aldous Huxley menggambarkan dunia di kemudian
hari berdasarkan hipotesa bahwa keadaan manusia itu sepenuhnya dapat dikendalikan. Dapat
diprogramkan, bayi yang lahir itu akan menjadi bayi laki-laki atau perempuan, bayi yang kelak
akan menjadi tentara, ilmuwan, petani, dan sebagainya. Yang harus menjadi tentara dibuat
supaya tubuhnya kekar dan ulet, yang akan menjadi ilmuwan supaya otaknya cerdas, dan
seterusnya.
Di bawah ini cerita tentang salah satu cara pengendalian itu. Di dalam sebuah ruangan
dipasang gambar-gambar binatang, burung, ikan, dan lain-lain; dan jtiga tempat-tempat bunga
dengan bunga mawar, semuanya dengan warna yang cerah. Sejumlah bayi dilepas di ruangan
itu.
Seketika bayi-bayi itu diam dan merangkak menuju warna-wami yang menarik itu,
me?dekati bentuk-bentuk yang menyenangkan dan cerah di atas halaman yang putih itu. Ketika
mereka mendekati benda-benda itu, matahari keluar dari belakang awan. Bunga mawar menjadi
gemerlapan seolah-olah mengeluarkan gaya dari dalam. Suatu kehidupan baru yang mendalam ·
seperti meliputi halaman buku yang putih itu. Dari kelompok bayi itu terdengar suara pekik
terpesona, deguk, clan kicauan kesenangan.
Sang direktur bergosok tangan clan berkata: "Bagus, ini hampir-hampir seperti disengaja".
Yang merangkak tercepat sudah mencapai tujuannya. T angan-tangan mungil menggapai tak
menentu, menyentuh, meraih, mawar kusut patah dari tangkainya, halaman buku yang
diterangi menjadi kusut. Dan, "Perhatikan dengan baik," katanya. Dan sambil mengangkat
tangan ia memberi isyarat.
Juru raw at kepala, yang berdiri didekat weselbor di ujung ruangan, menekan sebuah tombol
kecil.
Terjadi leclakan hebat. Dengan semakin melengking sebuah sirene mengaung-ngaung.
Lonceng bahaya berbunyi seperti gila.
Anak-anak terperanjat, berteriak-teriak, mukanya ketakutan.
"Dan sekarang" teriak sang Direktur (sebab kegacluhannya memekakkan telinga), "kita
teruskan, kita tanamkan pelajarannya dengan seclikit sengatan listrik".
Ia melambaikan tangannya lagi clan juru rawat kepala menekan tombol lain. Teriakan bayi
seketika berubah nadanya. Dengking megap-megap yang sekarang mereka keluarkan
mengandung nacla putus asa, hampir gila. Tubuh yang kecil itu meliuk-liuk dan kejang,
anggotanya bergerak kaku seperti ditarik-tarik dengan benang yang tidak kelihatan.
"Kita dapat mengalirkan arus listrik ke seluruh lantai", teriak sang Direktur clalam
keterangannya. ''Tapi cukuplah," Ia memberi isyarat kepada juru rawat.
Ledakan berhenti, lonceng berhenti berdentang, ·tengkingan sirene menurun dan tercliam.
Tubuh kaku yang tersentak-sentak menjadi lemas dan isak serta dengking anak-anak yang
keranjingan itu menclatar lagi menjadi raung biasa dari orang yang ketakutan.
"Berilah mereka buku dan bunga lagi".
Para juru rawat mengetjakannya. Akan tetapi ketika bunga mawar itu mendekat, ketika
mereka sekedar melihat gambar yang berwama cerah dari kucing, ayam, dan domba, mereka
mundur ketakutan. Raung mereka sekonyong-konyong bertambah keras.
"Lihat", kata sang Direktur dengan bangga. "Lihat".
Buku dan suara keras, bunga dan sengatan listrik - dalam benak anak-anak telah
berpasangan menjadi sesuatu yang mencurigakan. Dan sesudah pelajaran yang sama atau yang
semacam diulangi dua ratus kali, itu semua akan menjadi satu tak terpisahkan. Apa yang telah
dipateri oleh manusia, alam tidak mampu memisahkannya.
"Mereka akan menjacli besar dengan menyandang kebencian terhadap buku dan bunga yang
oleh ahli psikologi disebut 'instingtif'. Gerakan refleks selalu menemukan. Mereka akan
terhinclar dari buku dan botani selama hidup."

168
G. PROBABILITAS
1. Teori probabiHtas
Sudah kita ketahui bahwa konklusi dari segala penalaran induktif memiliki sifat
probabilitas, sifat peluang, yang menyebabkan pikiran dapat percaya akan
kebenarannya (rational credibility/rational belief). Banyak hal-hal yang kebenarannya
tidak dapat diketahui oleh manusia dengan pasti. Akan tetapi berdasarkan
pengalaman, manusia tahu bahwa probabilitas itu biasanya benar atau setidak-
tidaknya ada kemungkinan benar. Tanpa percaya kepada probabilitas hidup manusia
akan mengalami kesulitan-kesulitan yang tidak dapat diatasi. Kata seorang filsuf
Inggris: "Probability is the guide to life". Didalam kehidupannya, manusia sering
(mungkin yang tersering) bertindak atas dasar probabilitas. Ini berarti bahwa waktu
melakukan tindakan itu, manusia mempunyai harapan, bahwa apa yang dipercayainya
secara rasional itu akan benar-benar terjadi atau akan benar-benar ada. Jadi peristiwa
atau keadaan itu mengandung kredibilitas rasional. Inilah probabilitas peristiwa (the
probability of events/facts). Dan manusia memilih tindakan yang satu atas tindakan
yang lain berdasarkan tinggi-rendahnya probabilitas. Dalam praktek keilmuan orang
berusaha mengukur tinggi-rendahnya probabilitas itu dengan menggunakan
angka-angka. Probabilitas yang berbentuk angka itu dapat disebut probabilitas
numerik.
Bagaimana caranya menentukan angka atau nilai probabilitas itu? Ada beberapa cara
yang masing-masing didukung oleh sebuah teori, semuanya ada kelebihan dan ada
kekurangannya.
Ada baiknya untuk menguasai beberapa istilah terlebih dahulu yang perlu untuk
membicarakan teori-teori yang berhubungan dengan cara untuk menentukan nilai
probabilitas.
Eksperimen ialah setiap prosedur yang jelas dan tetap yang harus dikerjakan atau
setiap cara yang tertentu dan tetap yang dapat dikerjakan. 'Dikerjakan' di sini harus
dipandang secara luas. Tidak hanya manusia yang dapat mengerjakan sesuatu, akan
tetapi juga alam. Kejadian alam juga dapat disebut eksperimen, asal cara atau
prosedurnya jelas dan tetap, atau juga dapat dikatakan: kalau kondisi yang diperlukan
jelas dan tetap. Eksperimen yang sungguh-sungguh terjadi atau dikerjakan adalah
percobaan (trial). Hasil percobaan yang sesuai dengan harapan disebut sukses. Setiap
hasil percobaan, baik yang sukses maupun yang tidak disebut peristiwa (event).

Teori klasik
Teori yang tertua ialah teori klasikyang disusun dalam hubungan dengan permainan
judi dat\ juga dikenal dengan nama teori perjudian (game theory). Ambillah misal
sebagai berikut:
Sebuah percobaan (trial) dapat menghasilkan sebanyak n peristiwa dengan syarat: (1)
jumlah peristiwa (event) yang dapat terjadi itu harus diketahui secara a priori, tanpa
mengadakan observasi terlebih dahulu; (2) tidak mungkin dua peristiwa terjadi
bersama-sama dan ini juga harus diketahui secara a priori; (3) harus tidak ada alasan
untuk mengharap bahwa di antara peristiwa-peristiwaitu yang satu akan.lebih mudah
terjadi daripada yang lain. Ini berarti bahwa di antara semua peristiwa itu ada

169
persamaan kemungkinan akan terjadi atau dengan lain perkataan: di antara semua
peristiwa itu ada ekuiposibilitas.
Nilai probabilitas dari masing-masing peristiwa itu ialah 1/n.

Dalam definisi klasik: nilai probabilitas ialah hasilbagi atau kosien dari jumlah
sukses dibagi jumlah peristiwa yang memiliki ekuiposibilitas.
Kalau kita melemparkan sebuah dadu, maka percobaan itu memenuhi syarat (1) dan
(2) di atas. Dan kalau pembuatannya dan cara melemparkannya demikian rupa
sehingga memenuhi syarat ekuiposibilitas, maka masing-masing muka itu mempunyai
nilai probabilitas 1/6 untuk menghadap ke atas. Kalau dadu itu semua mukanya
bermata satu, maka peristiwa lemparan dengan hasil mata satu memiliki nilai
probabilitas o/6 atau 1. Kalau mukanya tidak ada yang bermata satu, maka peristiwa itu
akan mempunyai probabilitas % atau 0. Angka 1 dan 0 itu adalah probabilitas
maksimum dan minimum, yang sebenarnya bukan probabilitas lagi tetapi kepa~tian.
Probabilitas yang ditetapkan secara demikian itu juga disebut probabilitas .
matematik.

Teori frekuensi reiatif


Teori ini memandang probabilitas sebagai frekuensi relatif, yaitu seringnya atau
banyaknya hasil sukses dalam sejumlah percobaan. Jadi:
jumlah s (sukses)
frekuensi relatif = jumlah t (trial/percobaan)
Menurut teori klasik, secara a priori dapat ditentukan bahwa nilai probabilitas untuk
memperoleh sukses berupa gambar rumah dalam lemparan mata uang seratus rupiah
ialah V2. Untuk menghitung frekuensi relatif, kita harus mengadakan lemparan
sungguh-sungguh (percobaan) sejumlah kali dan hasilnya, misalnya sebagai berikut
(1 = gambar rumah atau sukses):
--11---11-1111.
Deretan di atas adalah deretan peristiwa (sequence of events) hasil dari 14 kali
lemparan, diantaranya yang sukses ada 8. Berdasarkan 14 kali percobaan itu terdapat
. jumlah s
deretan frekuens1 (frequency sequence): ·. lah , sebagai berikut:
JUm t
0 0 1 2 2 2 2 3 4 4 5 6 7 8
T 2 3 4 5 6 7 8 9 iO fi i2 i3 14·
Dari deretan frekuensi yang berbeda-beda itu, yang mana yang harus ,.dipandang
sebagai frekuensi relatif atau probabilitas? Sebenarnya tidak ada. Di sini t:eori ini
menurunkan sebuah prinsip atau aksioma, yang disebut aksioma limit (the limit
axiom), yang mengatakan bahwa makin banyak diadakan percobaan dan makin
panjang deretan frekuensinya, maka angka frekuensi itu akan makin mendekati angka
'akhir' kalau percobaan itu diteruskan sampai tak terbatas. Angka 'akhir' atau nilai
. · m1
I1m1t · 'lah nila1· pro bab'l' · Jad'I jumlah
i 1tas seb enarnya. . · hanya d"1seb. ut m·1a1· fre-
I h s 1tu
. 1um a t ·

170
kuensi relatif dalam arti: nilai ini adalah nilai untuk jumlah sekian percobaan, yang
kalau percobaan itu diteruskan sampai ta~ terbatas akan mencapai angka limit.
Teori i?i sifatnya a posteriori dan probabilitasnya juga disebut probabilitas statistik,
karena didasarkan atas pencatatan data.
Kalau d~ri 1?OO orang yang berumur 25 tahun setahun ya!'.1-g lalu, kini ada 963 orang
yang mas1h h1dup, maka ada 1000 percobaan dan ada 963 sukses, sehingga nilai
frekuensi relatifnya ialah 963/1000.
Juga · dalam teori ini nilai maksimum dan minimum probabilitas ialah t dan 0.
Sekali sebuah nilai probabilitas diketemukan, maka nilai itu dapat digunakan untuk
menghitung probabilitas-probabilitas lain. Hitung-menghitung probabilitas itu
merupakan bagian dari matematika yang disebut kalkulus probabilitas. Kedua teori di
ataslah yang biasanya diuraikan dalam hubungan dengan kalkulus probabilitas.
T eori klasik, karena berdasarkan pengetahuan a priori yang dengan sendirinya jelas
(self evident), kelihatan sangat mantap, akan tetapi sulit diterapkan di luar praktek
perjudian. Pengetahuan a priori yang disyaratkan tidak selalu dapat diperoleh dan juga
syarat ekuiposibilitas praktis hanya dapat diketahui secara negatif. Akan tetapi
mengatakan bahwa tidak diketahui adanya alasan untuk menduga tidak adanya
ekuiposibilitas itu tidak sama dengan mengatakan bahwa ada ekuiposibilitas. T eori
frekuensi relatif sangat menarik karena sifatnya a posteriori, jadi sesuai dengan ilmu
pengetahuan empirik. T etapi tidak selalu tersedia data empirik. Ini antara lain terdapat
pada peristiwa tunggal. Berapa nilai probabilitas akan terjadinya perang nuklir? Tidak
ada data empirik, karena belum pernah ada perang nuklir.
Ada teori lain yang kurang disenangi, karena sifatnya subyektif, akan tetapi toh juga
. sering digunakan karena tidak dapat dihindarkan. Teori fogiko-subyektif, demikian
nama yang sering diberikan Urituk teori subyektif itu. Di sini probabilitas dilihat
sebagai kepercayaan rasional (rational belief), tidak hanya asal kepercayaan, akan
tetapi kepercayaan yang masuk akal.
Proposisi-proposisi itu yang satu ada hubungan tertentu dengan yang lain,
misalnya: kalau yang satu benar, yang lain tentu salah dan sebaliknya (kontradiksi);
kedua-duanya tidak dapat bersama-sama (incompatibility); yang satu tidak ada
hubungan dengan yang lain (mutual independence). Menurut hubungannya,
dikatakan bahwa proposisi yang satu, p, memberi nilai probabilitas tertentu kepada
proposisi yang lain, q.
Nilai maksimum probabilitas, t, diberikan oleh proposisi p kepada proposisi q, kalau
di antara p dan q ada hubungan penyimpulan (derivability): q adalah konklusi dari p.
Nilai minimum probabilitas, O, diberikan oleh proposisi p kepada proposisi q, ka1au
diantara p dan q ada hubungan kontradiktorik. .
Nilai-nilai probabilitas untuk hubungan-hubunganyang lain terletak diantara 0 dan t.
Makin banyak faktor dalam proposisi q yang berbeda atau tidak terdapat dalam
proposisi p, makin kecil nilai probabilitasnya. Meskipun penentuan nilai itu pada
dasarnya dilakukan secara subyektif, dalam prakteknya cukup banyak faktor-faktor
obyektif yang diperhitungkan, sehingga pelaksanaannya tidak begitu sederhana
seperti prinsipnya.

171

I:
·IL
2. Kalkulus probabilitas
Bukan maksudnya di sini untuk memberi uraian matematika, akan tetapi untuk
memberikan gambaran sekedamya ten tang kalkulus probabilitas, dengan menjelaskan
beberapa hukumnya yang pokok. .
Hukum konyungsi aoint occurence)
Kalau kita ambil P sebagai lambang frekuensi relatif atau probabilitas dan p sebagai
lambang peristiwa (event) berupa mata uang seratus rupiah dengan sukses gambar
rumah, maka P(p) berarti probabilitas pelemparan mata uang seratus rupiah dengan
sukses gambar rumah. Kalau q lambang sukses yang sama dalam pelemparan mata
uang kedua, maka P( q) berarti probabilitas pelemparan mata uang kedua dengan
sukses gambar rumah. Selanjutnya P(p A q) berarti probabilitas dua mata uang seratus
rupiah dengan sukses berupa dua gambar rumah. Beaya nilai: P(p A q)?
P(p A q) = P(p) x P(q)

Kita ketahui bahwa probabilitas dalam pelemparan mata uang seratus rupiah dengan
sukses gambar rumah = 1/i. Maka probabilitas sukses yang sama dengan menggunakan
dua mata uang seratus rupiah ialah: V2x V2 = 1/4. Nilai probabilitas ini dapat dicocokkan
demikian: kalau kita melemparkan dua mata uang seratus rupiah bersama-sama, basil
peristiwa itu yang mungkin dicapai ialah sebagai berikut:
(R gambar rumah; A = angka): R - A
A-R
A-A
R-R
J elaslah bahwa basil lemparan berupa dua rumah adalah salah satu dari em pat basil
yang mµngkin diperoleh, jadi nilai probabilitasnya: 114. Sebuah contoh lain: kita dalam
empat kali tarik dari seperangkat kartu bridge ingin mendapat sebuah kartu ruit,
sebuah kartu hart, sebuah kartu klaver, dan sebuah kartu sekop. Berapa besar
probabilitasnya keinginan kita akan terpenuhi? Rumusnya ialah:
P (r A h A k A s) = P (r) x P (h) x P (k) x P (s)
Kartu bridge itu berjumlah 52 helai seperangkat dan kartu yang bergambar ruit,
hart, klaver, dan sekop itu masing-masing ada 13. Jadi P (r) atau probabilitas untuk
menarik ruit adalah 13/s2 = V4. Demikian juga P (h), P (k) dan P (s), masing-masing
probabilitasnya ialah 114. Maka probabilitasnya bahwa keinginan kita untuk
berturut-turut menarik kartu ruit, hart, klaver, dan sekop itu ialah: 1/4 x 114 X l/4 X 1/4
= 1/is6.
Andaikata kita hanya menarik tiga kali, maka misalnya P (h Ak As) = 1/4 x l/4 x 1/4 =
l/64.
Terbukti bahwa probabilitas dari dua, tiga, dan empat kejadian bersama-sama
seperti dalam contoh di atas ialah (1/2) 2; (l/4) 3; (1/4)4• Hitungan seperti itu berlaku untuk
setiap jumlah kejadian, asal kejadian yang bersangkutan tidak saling mempengaruhi
(mutually independent). Yang dimaksud dengan peristiwa yang tidak saling
mempengaruhi di sini ialah peristiwa yang meskipun yang satu terjadi atau t.idak, yang
lain tidak terpengaruh.

172
Dalam menarik kartu bridge dalam contoh di atas, setiap peristiwa dianggap tidak
berpengaruh atas peristiwa yang lain. lni berarti bahwa sesudah menarik sehelai kartu,
kartu itu dikembalikan lagi pada tumpukannya. Sebab kalau tidak demikian peristiwa
berikutnya akan terpengaruh oleh terjadinya peristiwa sebelumnya: jumlah kartu akan
tinggal 51, 50, dan seterusnya. .. '
Kalau kita menarik kartu bridge dengan maksud mendapatkan kartu dua ruit,
probabilitas peristiwa ini dapat ditulis: P (2r) dan nilainya ialah 1/s2. Kita menarik lagi
dan ingin mendapat kartu dua sekop, akan tetapi kartu yang telah ditarik tidak
dikembalikan ke tumpukannya. Di sini probabilitas peristiwa kedua, yaitu: P (2s),
bukan 1/s2, akan tetapi probabilitas itu harus dihitung seoagai probabilitas peristiwa 2s
sesudah atau jika sudah terjadi peristiwa 2r = P (2s jika 2r), clan besarnya ialah 1/st.
Ja'Cli:
P (2r A =
P (2r) x P (2s jika 2r).
2s)
Nilai P (2r) x P (2s jika 2r) = 1/s2 x 1/s1 = 1/2652.

Andaikata dua orang pencuri lari masuk ke rumah teman mereka, yang
penghuninya tiga orang. Polisi tidak mengenal ciri-ciri si pencuri. Si pencuri tidak
mengaku iian ketiga orang temannya juga tidak mengaku, karena mereka tidak tahu
bahwa teman mereka itu pencuri. Berapa nilai probabilitasnya bahwa polisi
berturut-turut akan menangkap orang yang dicarinya? Dalam penangkapan yang
pertama, probabilitas ketepatannya ialah : 1/s. Dalam penangkapan berikutnya nilai
probabilitas ketepatannya ialah 1/4. Jadi nilai probabilitas bahwa polisi berturut-turut
akan menangkap orang y.ang tepat ialah Vs X 1/4 = 1/20.
Latihan
1. Kita melemparkan sebuah dadu tiga kali. Berapa nilai probabilitasnya untuk mendapatkan mata
satu, dua, dan tiga berturut-turut?
*2 Polisi mencurigai lima orang sebagai pembunuh. Mereka ditangkap berturut-turut. Salah satu di
antara mereka pasti adalah pembunuh yang dicari, ini diketahui oleh polisi. Berapa nilai
probabilitasnya bahwa polisi menangkap pembunuh yang dicarinya, sesudah penangkapan yang
pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima berturut-turut?
3. Di dalam sebuah stoples ada 100 buah kembang gula, 60 di antaranya adalah coklat. Berapa nilai
ptobabilitasnya kalau kita ambil tiga buah di antaranya tanpa memilih (secara random} dan ingio
mendapat semua coklat? a) Tanpa mengembalikan gula-gula yang sudah'diambil; b) setlap k.ali
sebelum mengambil lagi, gula-gula yang sudah diambil itu dikembalikan lagi.
*4. Berdasarkan basil tes masuk yang sudah-sudah, perbandingan yang lulus dan tidak lulus untuk
mata ujian: IPA adalah 1:2; IPS adalah 2:3; Bahasa Inggris 1:1. .·
Berapa nilai probabilitas untuk lulus dalam semua tiga mata ujian tersebut?
5. Dalam pemilihan umum di Indonesia ada tiga kontestan, P3, Golkar, dan PDI. Kalau untuk
menang dalam pemilihan itu untuk P3, Golkar, dan PDI ada ekuiposibilitas, berapa ni1ai
probabilitas untuk menang di daerah pemilihan Jakarta Raya bagi Golkar? Dan untuk 6 daerah
pemilihan?

Hukum disyungsi
Ada disyungsi eksklusif dan ada disyungsi inklusif. Di antaranya yang lebib
sederhana untuk dihitung probabilitasnya ialah disyungsi eksklusif. Kita mulai dengan
disyungsi eksklusif.

173
a. Disyungsi eksklusif
Kalau kita melemparkan sebuah dadu, kita tahu bahwa hasilnya pasti mata-satu atau
bukan-mata-satu. Bukan-mata-satu adalah komplemen dari mata-satu. Selain
mata-satu tidak ada sesuatu yang lain kecuali bukan-mata-satu. Tidak mungkin
mata-satu dan bukan-mata-satu terdapat bersama-sama sebagai hasil sebuah lemparan
dadu. Kalau probabilitas hasil lemparan mata-satu itu ditulis P (p) dan komplemennya ·
ditulis (P), maka kita mendapat: P(p+ p) = 0.
Sebaliknya kalau kita melemparkan sebuah .dadu, hasilnya pasti mata-satu atau
bukan-mata-satu. Jadi: P(p v ft)= 1. Dari rumus terakhir ini dapat disimpulkan: P(p)
= 1 - P (p) dan P(p) = 1 - P(fi). lni disebut Hukum komplemen atau hukum negasi.
Kedua rumus itu menghasilkan: 1 (p) + (ft). Dari sini nampaklah bahwa P(p v ft)= 1 =
P(p) + P(ft). Jadi: P(p v p) = P(p) + P(fi), yaitu: probabilitas suatu disyungsi adalah
jumlah dari probabilitas masing-masing anggotanya. lni disebut hukum disyungsi
eksklusif. Rumus itu dapat dicocokkan demikian: P(p), yaitu probabiltas peristiwa
pelemparan dadu dengan sukses mata-satu, bernilai 1/6. P(ft) atau komplemennya,
yaitu peristiwa yang sama dengan sukses bukan-mata-satu, bernilai %.
Jadi P(p) + P(ft) = 1 = P(p v p).
Mesk.ipun dalam contoh-contoh di atas anggota dari disyungsi eksklusif itu yang
satu merupakan komplemen dari yang lain, akan tetapi hukum disyungsi itu berlaku
untuk setiap disyungsi eksklusif.
Kalau dalam melempar dadu itu sukses mata-satu sampai dengan mata-enam
masing-masing dilambangkan dengan angka 1 sampai dengan 6, maka probabilitas
masing-masing sukses itu ditulis (1), (2), dan seterusnya. Kalau kita melemparkan
sebuah dadu, maka di antara keenam sukses itu ada ekuiposibilitas dan hasilnya tentu
1, atau 2, atau 3, atau 4, atau 5, atau 6; dan pasti hasilnya tentu salah satu di antaranya.
Ini harus ditulis: P( 1 v 2 v 3 v 4 v 5 v 6) = V6 + V6 + 1/6 + 1/6 + 1/6 + V6 = 1.
Dari sini jelaslah bahwa P(1v2) = 1/6 + 1/6 = ¥6; P(1v2 v J) = V6 + V6 + % = %; dan
seterusnya.
Jelaslah bahwa hukum disyungsi eksklusif tidak hanya berlaku untuk disyungsi
yang anggota-anggotanya komplementer, bahkan berlaku juga apabila disyungsi
memiliki lebih dari dua anggota.
Contoh: Seorang polisi melihat seorang pemuda memukul orang di jalanan sampai
pingsan. Ketika pemuda itu hendak ditangkap, ia lari masuk halaman sebuah sekolah
dan terus masuk sebuah kelas. Ada 30 orang murid di situ, tidak ada yang menga~u
orang yang dikejar oleh polisi itu dan juga tidak ada orang yang memberitahukannya.
Polisi merasa melihat bahwa perouda yang dikejarnya itu berbaju hijau, maka
ditangkapnyalah seorang murid berbaju hijau. Akan tetapi tubuhnya kecil, sedang ia
merasa pemuda yang dicarinya itu berbadan tegap. Maka ditangkapnya seorang murid
lain yang berbadan tegap akan tetapi berbaju biru. Akan tetapi yang ini rambutnya
pendek, sedang ia merasa pemuda yang dicarinya itu berrambut panjang. Maka
ditangkapnya seorang lagi yang berrambut panjang, tetapi berbaju abu-abu. Berapa
nilai probabilitasnya bahwa di antara ketiga pemuda yang ditangkap itu terdapat
pemuda yang dicari?· Kalau peristiwa penangkapan pemuda berbaj'1 hijau, biru, dan
abu-abu kita lambangkan dengan huruf h, b, dan a, maka nilai probabilitasnya yang

174
dicari itu adalah sebagai berikut: P(b vb v.a) = 1/30 + %9 + 1/28 = 81 2/24360 + 840/24360 +
87o/zo60 = 2522/24360.
Contoh berikut ini adalah contoh yang sederhana tetapi kompleks.
Berapa nilai probabilitasnya kalau kita melemparkan dua mata uang seratus rupiah dan
ingin mendapatkan hasil dua gambar rumah atau dua angka seratus? Probabilitasnya
ini mengenai disyungsi eksklusif, yang anggota-anggotanya masing-masing adalah
sebuah konyungsi, yaitu: probabilitas untuk mendapatkan dua gambar rumah dan
probabilitasnya untuk mendapatkan dua angka seratus. Maka perhitungannya
menjadi demikian:
P[P(r A r) v P(a v a)] = P((l/2 x V2) v (V2 x V2)] = 1/4 + l/4 = V2.

b. Disyungsi inklusif
Kita melemparkan mata uang seratus rupiah dua kali. Berapa nilai probabilitasnya
untuk mendapatkan sukses gambar rumah pada lemparan pertama atau kedua?
Disyungsi ini adalah disyungsi inklusif, karena suksesnya dapat dicapai pada lemparan
pertama atau kedua atau pada lemparan pertama dan kedua. Kalau nilai probabilitas itu
dihitung dengan rumus probabilitas disyungsi eksklusif, ·akan menjadi 112 + Vi = 1,
atau kepastian. Ini jelas tidak cocok dengan fakta. Kalau disyungsinya diperluas dan
lemparannya dijadikan tiga kali dan probabilitasnya dihitung secara sarna, maka akan
menja,di 112 + V2 + V2 = 1V2, atau melebihi kepastian. Jelas tidak mungkin. Justru hasil
yang melebihi angka 1 atau probabilitas maksimum itu adalah salah satu ciri
perhitungan probabilitas yang salah. Kalau kita melemparkan mata uang seratus
rupiah dua kali, sukses yang dapat dicapai ialah: R- R; A - R; R A; dan A - A.
Dari sini jelas bahwa nilai probabilitas itu ialah %. Apa yang kita kerjakan di sini ialah
rnengembalikan suatu disyungsi inklusif menjadi disyungsi eksklusif dengan
menjabarkan suatu sukses menjadi sejumlah peristiwa yang eksklusif yang satu
terhadap yang lain, yaitu sebuah sukses berupa hasil lemparan gambar rumah menjadi:
R- R; R-A; dan A-R. Tanpa membuat penjabaranitu hasil perhitungan tersebut
dapat diperoleh dengan menggunakan rum us;

P(p v q) = [P(p) + P(q)] - P(p A q).


Dengan menerapkan rumus itu dalam hal melemparkan mata uang di atas, hasilnya
dapat dihitung demikian: 1/2 + 1/2 - (1/2 X 1/2) = 314. Sukses dari lemparan mata uang
dalam contoh di atas yang satu tidak berpengaruh atas yang lain (mutually
independent) artinya apakah sukses itu sudah terdapat atau belum pada lemparan yang
pertama, hal itu tidak berpengaruh atas sukses tidaknya lemparan yang kedua. Lain
halnya dengan contoh yang berikut. Berapa besarnya nilai probabilitas untu~
mendapat sukses yang berupa dua bidang dengan jumlah mata yang sama atau yang
jumlahnya kurang dari sepuluh, kalau kita melemparkan dua buah dadu?
Nilai probabilitas sukses berupa dua bidang dengan jumlah mata yang sama ialah
o/36. Kalau kita melemparkan dua dadu, jumlah peristiwa dengan ekuiposibilitas ialah
36, sedang sukses yang betupa dua bidang dengan jumlah mata yang ~ama ada 6.
Periksa tabel berikut:

175
Tabel peristiwa dengan ekuiposibilitas dalam melemparkan dua dadu:
1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6
2 1 2 2 2 3 2 4 2 5 2 - 6
3 1 3 2 3 3 3 4 3 5 3 - 6
4 1 4 2 4 3 4 4 4 5 ,4---;,
5 1 5 2 5 3 5 4 {5-:_-5- 5 - 6
6 1 6 2 6 3r6-_:-4-6 - s 6 - 6

Jumlah sukses dengan dua bidang yang jumlah matanya kurang dari sepuluh ada 30
(periksa tabel). Jadi nilai probabilitasnya 30/36. Kedua angka probabilitas itu dapat
digunakan untuk menghitung P(p) + P(q) akan tetapi tidak dapat digunakan untuk
menghitung P(p I\ q), sebab kedua sukses itu saling pengaruh-mempengaruhi. Jumlah
sukses dengan dua bidang bermata sama dan sekaligus jumlah matanya kurang dari
sepuluh hanya ada empat, yaitu: 1 - 1; 2 - 2; 3 - 3 dn 4 - 4 (periksa tabel). Jadi P(p I\ q)
ialah 4/36. Maka nilai probabilitas yang dicari !tu ialah: 6/36 + 30/36 - 4/36 = 3¥36 = %.·

Latihan
Hitunglah nilai probabilitas peristiwa-peristiwa di bawah ini.
1. Polis1 mengetahui penjahat yang bemama Adam berasal dari desa A. Akan tetapi desa A terdiri
atas tujuh dukuh dan di empat dukuh ada orang yang bernama Adam. Polisi menangkap,tiga
orang Adam berturut-turut dari tiga dukuh. Berapa nihi probabilitasnya bahwa di antaranya
terdapat si pencuri, Adam?
*2. Adam diajak bertaruh, bahwa dalam melemparkan dua dadu lima kali, ia tidak akan pemah
mendapat hasil duabelas mata satu kali pun. Uang taruhan dari Adam dan penantangnya sarna
besarnya. Haruskah Adam menerima tantangan itu atau tidak?
3. Setiap kantong berisi duapuluh lima kembang gula, di antaranya ada dua biji yang coklat-mint.
Seluruhnya ada lima kantong. Secara tak teratur kita• memilih sebuah kantong d~ dua kali
berturut-turut kita mengambil kembang gula, setiap kali selJiji. Berapa nilai probabilitas bahwa
kita akan mendapat dua coklat-mint?
*4. Dalam sebuah kamar ada 20 gelas teh. Dua di antaranya sudah diisi kembali. Lainnya belum
pernah diminum. Orang pertama masuk dan minum teh segelas, kebetulan gelas yang sudah
diisi kembali. Masuklah empat orang lagi dan masing-masing berganti-ganti minum teh. Berapa
nilai probabilitasnya bahwa gelas yang sudah diisi kembali juga akan ikut tenninum isinya?
5. Dari tiga doos/karton, yang pertama berisi: 3 kaleng susu, 3 kaleng bir, dan 4 kaleng
buah-buahan. Yang kedua berisi: 3 kaleng buah-buahan, 4 kaleng daging, dan 5 kaleng bir.
Yang ketiga berisi 4 kaleng susu, 2 kaleng biskuit, dan 4 kaleng bir. Waktu diangkat salah satu
diantaranya terjatuh, dooslkarton tersobek dan dua kaleng jatuh keluar. Berapa nilai
probabilitasnya bahwa kaleng yang keluar itu kebetulan kedua-duanya kaleng daging?

Nilai harapan
Kalau kita berbicara tentang nilai harapan (expected value) atau harapan matematik,
maka kita berbicara tentang taruhan. Dalam taruhan, kita dapat menang, dapat kalah.
Kalau menang, biasartya kita mendapat lebih daripada apa yang dipertaruhkan, kalau
kalah apa yang dipertaruhkan itu hilang. Kalau mempertaruhkan Rp. 1.000,- maka
uang seribu rupiah itu tidak bernilai seribu rupiah, sebab dalam taruhan itu saya dapat
kalah dan uang Rp.1.000,- itu dapat hilang, tidak kembali. Uang Rp. 1.000,- dalam
taruhan itu nilainya harus diperhitungkan berdasarkan kemungkinannya saya akan
menang dan akan kalah. Caranya menghitung ialah nilai probabilitas sukse.s (menang)

176
kali jumlah uang yang diterimanya kalau memang (uang taruhan ditambah
kemenangannya) ditambah dengan nilai probabilitas bukan sukses (kalah) kali jumlah
uang yang diterimanya kalau kalah. Hasil perhitungan inilah yang disebut nilai
harapan atau harapan matematik. Berikut ini beberapa contoh.
Di atas sudah kita ketahui bahwa kalau kita melemparkan dua buah dadu, maka nilai
probabilitasnya untuk mendapat sukses yang berupa dua bidang dengan jumlah mata
yang sama atau yang jumlahnya kurang dari sepuluh ialah 8/9. Kita mengadakan
. taruhan dan berpegang pada sukses ini, tiga lawan satu: kita menyediakan Rp. 3.000,-
sedang lawan kita Rp. 1.000,-. Kalau kita menang mendapat Rp. 1.000,- disamping
uang taruhan kita, sedang kalau kita kalah, uang Rp. 3.000,- menjadi milik lawan kita.
Nilai harapan dari Rp. 3.000,- dalam taruhan ini ialah: (% X Rp. 4.000,-) + (V9 x
Rp. 0) = Rp. 3.555,56. Jadi dalam taruhan itu uang Rp. 3.000,- bernilai lebih dari
Rp. 3.000,- Ini disebabkan karena nilai probabilitas untuk menang lebih besar
daripada nilai probabilitas untuk kalah. Meskipun taruhan kita lebih besar daripada
taruhan lawan, akan tetapi perbedaannya masih belum sebanding dengan perbedaan
nilai probabilitasnya.
Lain halnya.kalau taruhan itu tidak tiga banding satu, akan tetapi delapan banding
satu: Kita menyediakan Rp. 8.000,- dan lawan kita Rp. 1.000,-. Dalam hal ini nilai
harapan dari Rp. 8.000,- yang kita pertaruhkan ialah: (% x Rp. 9.000,-) + (V9 x
Rp. 0) = Rp. 8.000,-. Disini Rp. 8.000,- nilai harapannya tetap Rp. 8.000,-.
· Contoh berikut ini lebih kompleks. Di sebuah pasar malam di mana diadakan
permainan judi, kita ikut bermain di sebuah stand. Permainan menggunakan dua
dadu. Taruhan diletakkan di atas meja di mana terdapat enam petak yang diisi dengan
angka 1 sampai dengan 6. Kita menaruh Rp. 1.000,- atas angka 3. Ini berarti bahwa
kalau kedua dadu itu masing-masing menunjukkan mata tiga, maka kita akan
memenangkan 4 kali lipat dari taruhan kita, sehingga kita menerima Rp. 1.000,- +
Rp. 4.000,- = Rp. 5.000,-. Kalauhanyasatudadu yangmenunjukkanmata tiga, maka
kita akan menerima Rp. 1.000,- + Rp. 2.000,- (dua kali lipat jumlah taruhan) =
Rp. 3.000,-. Kalau tidak ada yang menunjukkan angka tiga, maka uang Rp. 1.000,-
hilang. Di sini basil peristiwa pelemparan dua dadu itu tidak hanya sukses dan tidak
sukses, akan tetapi sukses I, sukses II, dan tidak sukses. Kecuali itu probabilitas setiap
sukses dan tidak sukses itu adalah probabilitas suatu konyungsi, yaitu: probabilitas'
basil lemparan dadu yang pertama dan probabilitas basil lemparan dadu yang kedua.
Nilai harapan dari Rp. 1.000,- yang dipertaruhkan itu perhitungannya menjadi
sebagai berikut:
Nilai probabilitas sukses I, (dua mata tiga) ialah 116 X 116 = V36.
Nilai probabilitas sukses II adalah suatu disyungsi eksklusif; yang menunjukkan mata
tiga pada dadu yang pertama atau dadu yang kedua. Maka nilainya i:dah (% x %) +
(% x V6) = 1%6.
Nilai probabilitas non-sukses ialah % x % = 2 Y36.
Jadi nilai harapan Rp. 1.000,- dalam taruhan ini ialah:
(1136 x Rp. 5.000) + (1%6 x Rp. 3.000) + (2Y36 x Rp. 0) = Rp 3s.ooo;36 = Rp. 972,70. Ini
berarti bahwa setiap pemain judi di situ untuk setiap Rp. 1.000,.- menyumbangkan
Rp. 27,30.kepada bandarnya.

177
Anggaplah babwa pemain judi di atas sebetulnya tidak suka bermain judi. Akan
tetapi ketika menonton, ia melibat babwa 36 kali dadu tidak pernah menunjukkan dua
mata tiga, ditambah 35 kali lagi dengan basil non-mata tiga. Karena ia tahu bahwa nilai
probabilitas sukses dua mata tiga itu 1/J6, maka tertariklab ia untuk bertarub atas !J.asil
dua mat~ tiga, dengan pikiran babwa kini sudah waktunya untuk mendapatkan basil
dua mata tiga itu. Di sini ia melakukan kesalaban yang sering terjadi dalam perjudian,
· yang oleb karenanya disebut falasia (kesesatan) Monte Carlo. Nilai probabilitas tidak
menentukan apa-apa tentang peristiwa yang berikut, akan tetapi menunjukkan angka
limit: perbandingan jumlah sukses dengan jumlah peristiwa, kalau peristiwanya
diulang terus-menerus tak terbatas, makin lama akan makin kecil selisibnya dengan
angka limit. Asal jumlah peristiwanya cukup besar, selisib itu dapat samp.li jaub di
bawab 1%. Ini juga disebut bukum jumlah yang besar (the law of large numbers).

Latihan
1. Dalain permainan judi seperti contoh di atas, berapa nilai harapannya kalau ia bertaruh
Rp. 1.000,- atas angka 1, 2, dan 3 masing-masing sekaligus?
*2. Dalam permainan judi dengan tiga dadu, kalau ketiga dadu itu menunjukkan jumlah mata yang
sama, maka si penebak yang tepat mendapat 3 kali jumlah uang taruhannya plus uang
taruhannya sendiri. Kalau hanya dua dadu yang menunjukkan jumlah mata yang saina, maka si
penebak mendapat 2 kali jumlah uang yang dipertaruhkannya plus uang taruhannya sendiri.
Kalau hanya satu dadu yang menunjukkan jumlah mata yang ditebak, si penebak mendapat
hanya 1 kali jumlah uang taruhannya, sedang uang taruhannya kembali kepadanya. Berapa nilai
harapan dari Rp. 1.000,- yang dipertaruhkan?
3. Di suatu bazar ainal ada permainan pancingan, setiap kali memancing orang harus membayar
Rp. 1-00,-. Yang dipancing adalah ainplop. Ada 100 ainplop. Lima diantaranya berisi bon
seharga Rp. 500,- untuk dibelanjakan di bazar itu. 10 amplop lagi berisi bon seharga Rp.200,-
dan masih ada 20 ainplop yang berisi bon seharga Rp. 100,-. Berapa nilai harapan dari uang
Rp. 100,- yang dikeluarkan untuk sekali memancing?
*4. Dalam permainan judi dengan tiga dadu seperti di atas, seorang pemain judi membawa uang
Rp. 15.000,-. Diperhitungkannya bahwa kalau ia mulai bertaruh dengan Rp. 1.000,- dan
taruhannya itu setiap kali dilipatkannya, maka kalau ia kalah terus, ia dapat bermain empat kali.
Diputuskannya untuk bermain empat kali saja, entah menang entah kalah. Berapa nilai harapan
dari uangnya yang Rp. 15.000,- itu?
5. Rp. 15.000,- di atas juga dapat dipertaruhkan 15 kali, setiap kali taruhannya Rp. 1.000,-. Kalau
si pemain judi itu menang atau kalah pasti berhenti sesudah menebak 15 kali, berapa nilai
harapan dari Rp. 15.000,- itu? Jadi lebih mengunrungkan cara yang pertama, dengan perlipatan
atau cara yang kedua? (bagi si pemain!).

178

Anda mungkin juga menyukai