Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

A. PERENCANAAN TEKNIK JALAN


Seiring dengan meningkatnya kebutuhan sarana transportasi, jalan raya sangat
diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.Untuk membangun ruas jalan
baru ataupun peningkatan jalan yang diperlukan sehubungan dengan penambahan
kapasitas jalan raya perlu metode efektif dalam perencanaan agar diperoleh hasil
yang terbaik dan ekonomis tapi memenuhi unsure keselamatan pengguna jalan
dan tidak mengganggu ekosistem.
1. Tahapan Perencanaan Teknik
Tahapan kegiatan teknik, meliputi :
a. Pekerjaan Lapangan, meliputi semua survey yang diperlukan.
b. Kriteria Perencanaan, meliputi : klasifikasi lalu lintas, kondisi lapangan,
pertimbangan ekonomi, dll.
c. Penyiapan Peta Planimetri, yaitu peta hasil survey topografi yang
diperlukan sebagai peta dasar perencanaan geometric.
d. Perencanaan Geometric, meliputi jarak pandang, perencanaan alinemen
horizontal dan alinemen vertical.
e. Geoteknik dan Material jalan, menguraikan pengolahan data geoteknik dan
material untul keperluan konstruksi perkerasan dan drainase jalan.
f. Perencanaan perkerasan Jalan.
g. Drainase Jalan, menguraikan analisis hidrology, sistem dan bangunan
drainase, kebutuhan material.
h. Bangunan Pelengkap Jalan, meliputi tembok penahan, rambu lalu lintas,
dll.
i. Perkiraan Biaya, meliputi perhitungan kuantitas, analisis harga satuan dan
dokumen pelelangan.
Gambar 1.1 Bagan Alir Perencanaan Teknik Jalan

2. Ketentuan-ketentuan
Ketentuan-ketentuan dalam perencanaan teknik jalan yang berlaku di
Indonesia harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Bina Marga – Departemen Pekerjaan Umum.Kecuali hal-
hal khusus yang belum ada ketentuan dari Direktorat jenderal Bina Marga –
Departemen Pekerjaan Umum, maka dapat di pakai ketentuan AASHTO dan
lainnya.
B. PEKERJAAN LAPANGAN
Untuk menghasilkan dokumen pembangunan jalan baru apapun
klasifikasinya (local, kolektor, arteri) yang diperlukan secara teknik adalah
rencana alinemen dan kondisi tanah dasar (rencana subgrade) yang memenuhi
syarat/ketentuan yang berlaku, maka dalam perencanaan teknik jalan baru
diperlukan pekerjaan lapangan survey.
Pekerjaan lapangan ini mencakup keseluruhan kegiatan survey dan
investigasi di lapangan untuk memperoleh data-data akurat yang diperlukan dalam
proses perencanaan teknik jalan, yaitu :
1. Sehubungan dengan alinemen jalan (road alignment), yang berperan adalah :
ahli teknik jalan, ahli teknik geodesi, dan ahli teknik lingkungan.
2. Sehubungan dengan sarana drainase jalan (Highway Drainage), yang
berperan adalah ahli teknik drainase.
3. Sehubungan dengan tanah dasar dan bahan konstruksi jalan (Subgrade and
Highway materials), yang berperan adalah ahli geoteknik.
Beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian bagi perencanaan
sebelum melakukan kegiatan lapangan adalah aspek sosial, ekonomi dan budaya
penduduk setempat sehingga pembangunan jalan raya yang baru akan
memberikan dampak positif bagi penduduk sekitarnya. Selain itu, juga perlu
diperhatikan aspek lingkungan setempat sehingga pembangunan jalan tidak akan
merusak ekosistem daerah sekitarnya, disamping semua itu harus
dipertimbangkan masalah efisiensi. Jadi pada perencanaan teknik jalan baru,
pekerjaan lapangan harus dapat menggabungkan berbagai aspek, terutama aspek
teknik dan aspek ekonomi (ketersediaan dana).
Kegiatan lapangan yang perlu dilakukan meliputi : Data Penunjang, Survey
Pendahuluan, Survey AMDAL, Survey Topografi, Survey Lalu lintas dan Survey
Geoteknik. Kegiatan-kegiatan ini dilakukan oleh masing-masing team survey
yang paling menunjang.
1. Data Penunjang
Data pada tahap ini adalah data penunjang dan data dasar yang tersedia,
yang diperlukan sebagai referensi pada saat pelaksanaan survey.Selain data-
data tersebut, informasi dari berbagai narasumber juga diperlukan.Kegiatan
penumpulan data penunjang dan analisis atau studi data awal (desk study)
sangat diperlukan agar team survey mendapatkan gambaran tentang kondisi
lokasi serta gambaran route reconnaissance.
a. Pengumpulan Data Penunjang
Data-data yang perlu dikumpulkan termasuk peta-peta dasar
mencakup area lokasi dan sekitarnya.
Peta-peta: Peta Jaringan Jalan, Peta Topografi, Peta Geologi regional,
Photo Udara, Peta Rupa Bumi Indonesia.
b. Studi Data
Data maupun peta yang terkumpul, dipilih-pilih dan dipelajari agar
data dan peta yang benar-benar diperlukan saja yang digunakan
sebagai dasar.Rute rencana diplotkan pada peta dasar untuk pedoman
awal.Rute yang kita plotkan pada peta dasar terdiri beberapa rute
sebagai alternatif.
2. Survei Pendahuluan
Survei pedahuluan adalah survey yang harus dilakukan sebelum survey
detail lainnya, karena survey detail lainnya akan mengacu pada hasil survey ini,
terutama hasil Reconnaissance. Survey pendahuluan mencakup 2 macam
kegiatan, yaitu : Survey Reconnaissance dan pengumpulan data. Maksud dari
Survey Reconnaissance yaitu untuk menetapkan rute (sumbu jalan rencana)
yang ideal sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku agar hasil
desain dapat memenuhi unsur kenyamanan dan keamanan pengguna jalan.
Kegiatan Survey Rute ini meliputi pengumpulan data lapangan berdasarkan
pengamatan visual dan pengukuran, juga masukan dari berbagai sumber
sehingga tujuan survey dapat dicapai yaitu gambaran kondisi lapangan pada
trace jalan rencana (sepanjang rute terpilih).
a. Perintisan dan Penandaan
Umumnya lokasi rencana trace jalan yang akan di survey berupa
semak dan hutan, sehingga perlu dilakukan perintisan agar titik-titik
bantu yang akan dipasang mudah terlihat. Dalam melakukan perintisan
ini sekaligus melakukan penandaan jarak dengan patok kayu sesuai
kebutuhan. Jarak antar patok maksimal 50 m. Penandaan dilakukan agar
pada waktu survey, semua data dapat diketahui lokasinya (Sta..+..).
b. Survei Teknik

b.1 Pemilihan Rute (Reconnaissance)

Pemilihan rute adalah kegiatan yang paling penting dan menentukan


dalam survey pendahuluan karena berhasil tidaknya suatu
perencanaan teknik jalan ditentukan oleh kelayakan rute yang
dipilih. Pemilihan rute alternatif dilakukan dengan bantuan kompas
(untuk membaca sudut), clinometers (untuk pembacaan kelandaian)
dan pita ukur (untuk pembacaan jarak).Tahapan pemilihan rute untuk
mencari trace jalan rencana dapat dilihat dibawah ini.

Gambar 1.2.
Tahap dalam menentukan trase jalan rencana.
b.2 Terrain

Dalam pemilihan rute, karakteristik terrain akan


mempengaruhi karakteristik pola lokasi rute. Terrain pada
umumnya diklasifikasikan sebagai datar, perbukitan dan
pegunungan.
a. Pada daerah datar
b. Pada daerah bukit
c. Pada daerah gunung

Gambar 1.3. Penampang melintang rute survey (Area


galian dan timbunan)

b.3 Pengumpulan Data

Pendataan yang dilakukan sepanjang trace jalan rencana


meliputi:
a) Lokasi rencana culvert / jembatan.
b) Lokasi rencana bangunan pelengkap lainnya.
c) Pola aliran.
d) Lokasi sumber material (quarry).
e) Lokasi keadaan visual dari satuan tanah dasar ( yang diteliti
secara global).
f) Lokasi daerah rawan longsor atau gerakan tanah dan
kemungkinan daerah patahan yang memang tidak dapat
dihindari sehingga perlu penanganan khusus.
Selain data tersebut, data lain yang diperlukan dapat diperoleh
dari instansi yang terkait dengan proyek tersebut, yaitu :
a) Data curah hujan dari berbagai pos hujan sepanjang dan atau
sekitar trace jalan rencana yang dapat mewakili.
b) Data informasi tentang harga material dan biaya hidup sehari-
hari (upah dan bahan) untuk perkiraan biaya.

c. Survei Umum

Pencatatan kegiatan yang juga dilakukan selain teknis yaitu


pengumpulan data atau keterangan yang diperoleh di lapangan untuk
informasi kepada Team Survey detail berikutmya, mengenai : Pekerja
(Upah, SDM), Logistik, Komunikasi, Akomodasi.

G a m b a r 1 . 4 . P
3. Survey AMDAL
Survey dan study AMDAL dilakukan untuk memperkecil dampak
negatif yang mungkin timbul akibat adanya ruas jalan (yang sedang
direncanakan) baik saat pembangunan atau setelah digunakan. Survey ini
sebaiknya dilakukan bersama dengan survey pendahuluan, karena sebagai
masukan yang peting untuk menetapkan trace diprediksi denagan mengevaluasi
rencana kegiatan (selama pembangunan) dan menginventarisasi zona
lingkungan sepanjang jalan rencana.

4. Survei Topografi
Maksud Survey Topografi dalam perencanaan teknik jalan raya adalah
pengukuran rute yang dilakukan dengan tujuan memindahkan permukaan bumi
dari lokasi yang di ukur pada kertas yang berupa peta planimetri.Peta ini akan
digunakan sebagai peta dasar untuk plotting perencanaan geometric jalan raya,
dalam hal ini perencanaan alinemen horizontal. Kegiatan pengukuran rute ini
juga mencakup pengukuran penampang.

5. Survey Hidrologi
Survey Hidrology dalam perencanaan teknik jalan raya diperlukan
untuk perencanaan sistem dan sarana drainase agar konstruksi jalan aman
terhadap pengaruh air selama umur rencana karena kerusakan yang terjadi pada
konstruksi jalan raya umumnya disebabkan oleh air.

6. Survey Lalu lintas


Untuk perencanaan teknik jalan baru, survey lalu lintas tidak dapat
dilakukan karena belum ada jalan. Tapi untuk menentukan dimensi jalan yang
direncanakan perlu data jumlah kendaraan, untuk itu dapat dilakukan sebagai
berikut :
a) Survey perhitungan lalu lintas (traffic counting) dilakukan pada jalan
yang sudah dipakai, yang diperkiraan sudah mempunyai bentuk,
kondisi dan keadaan komposisi lalu lintas akan serupa dengan jalan
yang direncanakan.
b) Survey asal dan tujuan (origin and destination survey) yang dilakukan
pada lokasi yang dianggap tepat (dapat mewakili) dengan cara
melakukan wawancara kepada pengguna jalan untuk mendapatkan
gambaran rencana jumlah dan komposisi kendaraan pada jalan yang
direncanakan.
c) Pembuatan model dengan program computer (misal : KAJI,dll)
d) Pengambilan data dari analisa BSH (Biaya Siklus Hidup)

7. Survey Geoteknik
Survey geoteknik untuk rencana jalan, mencakup kegiatan sebagai
berikut: Survey Geologi, Survey Material dan Survey Investigasi tanah. Tujuan
Survey Geologi dan investigasi tanah yaitu untuk memetakan penyebaran
tanah/batuan dasar yang meliputi kondisi tanah pada daerah sepanjang trace
jalan rencana sehingga dapat memberikan informasi mengenai stabilitas lereng,
prediksi penurunan dan kuat dukung setelah dipadukan dengan hasil pengujian
laboratorium. Survey material dilakukan untuk mengetahui lokasi dan kuantitas
pada quarry (sumber material).
C. KRITERIA PERENCANAAN
Untuk melakukan perencanaan teknik jalan perlu beberapa kriteria sebagai
pertimbanagan untuk mengoptimalkan hasil perencanaan. Dampak lingkungan
dan tata guna lahan di sepanjang jalan juga merupakan pertimbangan dalam
perencanaan, untuk mengantisipasi masalah yang akan timbul dengan adanya
jalan baik masalah sosial maupun teknis.
1. Klasifikasi Jalan
Klasifikasi jalan di Indonesia menurut Bina Marga dalam Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) No. 038/T/BM/1997
dapat dilihat pada Tabel dibawah
Tabel 1.1. Ketentuan Klasifikasi : fungsi, kelas beban, medan.
(TPGJAK, 1997)

FUNGSI JALAN ARTERI KOLEKTOR LOKAL


KELAS JALAN I II IIIA IIIB IIIC
MUATAN SUMBU >10 10 8 TIDAK
TERBERAT DITENTUKAN
(ton)
TIPE MEDAN D B G D B G D B G
KEMIRINGAN <3 3-25 >25 <3 3-25 >25 <3 3-25 >25
MEDAN (%)
- Keterangan :
 D = datar,
 B = bukit,
 G = pegunungan
- Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan sesuai PP No.
26/1985 : Jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan kabupaten/kotamadya,
Jalan Desa dan Jalan Khusus.
2. Karakteristik Lalu lintas
Data lalu lintas merupakan data utama yang diperlukan untuk perencanaan
teknik jalan, karena kapasitas jalan yang akan direncanakan tergantung
komposisi lalu lintas yang akan menggunakan jalan tersebut. Besarnya volume
atau arus lalu lintas diperlukan untuk menentukan jumlah dan lebar jalur pada
satu jalur jalan dalam penentuan karakteristik geometric, sedangkan jenis
kendaraan akan menentukan kelas beban atau MST (Muatan Sumbu Terberat)
yang berpengaruh pada perencanaan konstruksi perkerasan.
a. Kendaraan Rencana
Tabel 1.2. Dimensi Kendaraan Rencana

Dimensi Kendaraan Tonjolan Radius Radius


Ketegori (cm) (cm) Putar Tonjolan
Kendaraan (cm) (cm)
Rencana Depa
tinggi lebar panjang belakang min maks
n
Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780
Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Besar 410 260 2100 90 90 290 1400 1370
b. Komposisi Lalu lintas
Volume lalu lintas harian rata-rata (VLHR) adalah prakiraan
volume lalu lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas
dinyatakan dalam smp/hari.
Volume Jam Rencana (VJR) adalah prakiraan volume lal lintas
pada jam sibuk tahun rencana lalu lintas. VJR digunakan untuk
menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu lintas lain yang
diperlukan.VJR dinyatakan dalam smp/jam dihitung dengan
rumus:
K
VJR=VLHRx …………………………………………. (1.1)
F
Tabel 1.3. Penentuan Faktor-K dan Faktor-F berdasarkan volume lalu
lintas harian rata-rata (TPGJAK, 1997)

VLHR FAKTOR-K FAKTOR-F


>50.000 4–6 0,9 – 1
30.000 - 50.000 6–8 0,8 – 1
10.000 - 30.000 6–8 0,8 – 1
5.000 – 10.000 8 – 10 0,6 – 0,8
1.000 – 5.000 10 – 12 0,6 – 0,8
< 1.000 12 – 16 < 0,6
Kapasitas (C), adalah volume lalu lintas maksimum (mantap) yang
dapat dipertahankan (tetap) pada suatu bagian jalan dalam kondisi
tertentu (misalnya : rencana geometric, lingkungan, komposisi lalu lintas,
dll). Catatan : biasanya dinyatakan dalam kend/jam atau smp/jam.
Kapasitas harian sebaiknya tidak digunakan sebagai ukura karena akan
bervariasi sesuai dengan Faktor-K.
c. Kecepatan Rencana
Adalah kecepatan rencana pada suatu ruas jalan yang dipilih sebagai
dasar perencanaan geometric jalan yang memungkinkan kendaraan-
kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca cerah,
lalu lintas lenggang dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.

Tabel 1.4. Kecepatan rencana sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi


medan jalan (TPGJAK, 1997)

Kecepatan Rencana, VR (km/jam)


Fungsi Jalan
Datar Bukit Gunung
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30
Catatan : Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat
diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak
lebih dari 20 km/jam.

3. Karakteristik Geometrik
a. Tipe jalan
Tipe jalan menentukan jumlah lajur dan arahpada suatu segmen
jalan, untuk jalan luar kota sebagai berikut :
1) 2 lajur 1 arah (2/1)
2) 2 lajur 2 arah tak terbagi (2/2 TB)
3) 4 lajur 2 arah tak terbagi (4/2 TB)
4) 4 lajur 2 arah terbagi (4/2 B)
5) 6 lajur 2 arah terbagi (6/2 B)
b. Bagian-bagian jalan
1) Lebar jalur (Wc), adalah lebar jalur jalan yang dilewati lalu lintas,
tidak termasuk bahu jalan.
2) Lebar bahu (Ws), adalah lebar bahu di samping jalur lalu lintas
direncanakan sebagai ruang untuk kendaraan yang sekali-kali
berhenti, pejalan kaki dan kendaraan lambat.
3) Median (M), adalah daerah yang memisahkan arah lalu lintas pada
suatu segmen jalan yang terletak pada bagian tengah
(direndahkan/ditinggikan).

Gambar
1.5. Tipikal
potongan melintang normal dan denah untuk 2/2 TB
Tabel 1.5. Penentuan lebar lajur dan bahu jalan (TPGJAK, 1997)
VLHR Arteri Kolektor Lokal
ideal Minimum Ideal minimum ideal Minimum
jalur bahu jalur bahu Jalur bahu jalur bahu jalur bahu jalur Bahu
<3000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0
3000 – 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0
10000
10001 – 7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 Mengacu pada Tidak ditentukan
25000 persyaratan ideal

>25000 2nx3, 2,5 2nx7,0 2,0 2nx3, 2,0


5 5
2nx3,5…2 = 2 jalur, n = jumlah perjalur, n x 3,5 = lebar jalur

c. Tipe alinemen
Adalah gambaran kemiringan daerah yang dilalui jalan dan
ditentukan oleh jumlah naik dan turun (m/km) dan jumlah
lengkung horizontal (rad/km) sepanjang segmen jalan.

Tabel 1.6. Ketentuan Tipe Alinemen (MKJI, 1997)

Lengkung vertical Lengkung Horizontal


Tipe Alinemen
Naik+turun (m/km) (rad/km)
Datar (D) <10 <1,0
Bukit (B) 10 – 30 1,0 – 2,5
Gunung (G) >30 >2,5
Penggolongan tipe medan sehubungan dengan topografi daerah
yang dilewati jalan, berdasarkan kemiringan melintang yang tegak lurus
sumbu jalan bisa dilihat pada table 1.1.

d. Daerah penguasaan jalan


1. RUMAJA (Ruang Manfaat Jalan), adalah ruang yang dibatasi
oleh :
a. Lebar antara batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua
sisi jalan
b. Tinggi 5 meter di atas permukaan perkerasan pada sumbu jalan
c. Kedalaman ruang bebas 1,5 meter dibawah muka jalan
2. RUMIJA (Ruang Milik Jalan),adalah ruang yang dibatasi oleh
lebar yang sama dengan Rumaja ditambah ambang pengaman
konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan kedalaman 1,5 meter.
3. RUWASJA (Ruang Pengawasan Jalan), adalah ruang sepanjang
jalan di luar Rumaja yang di batasi oleh tinggi dan lebar tertentu.
Gambar 1.7. Rumaja, Rumija dan Ruwasja di lingkungan jalan antar kota
(TPGJAK, 1997)

4. Kondisi Lingkungan
Emisi gas buangan kendaraan dan kebisingan berhubungan erat dengan
volume lalu lintas dan kecepatan. Pada volume lalu lintas yang tetap, emisi ini
berkurang dengan berkurangnya kecepatan sepanjang jalan tersebut tidak
macet. Saat volume lalu lintas mendekati kapasitas (DS > 0,8), kondisi arus
tersendat “berhenti dan berjalan” yang disebabkan oleh kemacetan
menyebabkan bertambahnya emisi gas buangan dan juga kebisingan jika
dibandingkan dengan kinerja lalu lintas yang stabil.
Alinemen yang tidak baik, seperti tikungan tajam dan kelandaian curam,
menambah emisi gas buang dan kebisingan. Pengembangan (tata guna) lahan
di samping jalan, untuk perhitungan, guna lahan dinyatakan dalam presentase
dari segmen jalan dengan pengembangan tetap dalam bentuk bangunan
(terhadap panjang total).

5. Pertimbangan Ekonomi
Dalam proses pemilihan tipe jalan dan penampang melintang untuk jalan
baru, yang paling ekonomis berdasarkan analisis Biaya Siklus Hidup (BSH)
yaitu menghitung biaya total yang diproyeksikan ke tahun 1 (nilai bersih
sekarang) untuk setiap perencanaan yang di pelajari sebagai fungsi arus lalu
lintas. BSH diperoleh dari berbagai anggapan yang di gunakan oleh Bina
Marga, yaitu : umur, laju pertumbuhan lalu lintas, suku bunga dan tujuan dari
Pembina jalan. Seluruh biaya yang juga sudah diperhitungkan yaitu :
a. Biaya pemakaian jalan yang relevan : operasi kendaraan, kecelakaan,
polusi.
b. Biaya pembuatan jalan : pembebasan lahan, pembangunan jalan dan
operasional.
6. Pertimbangan Keselamatan Lalu lintas
Pengaruh umum rencana geometric terhadap tingkat kecelakaan :
a. Pelebaran lajur akan mengurangi tingkat kecelakaan antara 2 – 15 % per
meter pelebaran (nilai yang besar mengacu ke jalan sempit)
b. Pelebaran/peningkatan kondisi permukaan bahu meningkatkan
keselamatan lalu lintas
c. Lajur pendakian pada kelandaian curam mengurangi tingkat kecelakaan
sebesar 25 – 30 %
d. Meluruskan tikungan tajam setempat mengurangi tingkat kecelakaan
sebesar 25 – 60 %
e. Pemisah tengah mengurangi tingkat kecelakaan sebesar 30 %
f. dll
D. PERENCANAAN GEOMETRIK
Perencanaan Geometrik Jalan adalah bagian dari perencanaan jalan yang
dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik jalan, yaitu merencanakan dimensi
yang nyata dari suatu jalan beserta bagian-bagiannya disesuaikan dengan tuntutan
serta sifat-sifat lalu lintasnya. Perencanaan geometric jalan merupakan
perencanaan rute suatu ruas jalan secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang
disesuaikan dengan kelengkapan dan data dasar yang ada atau tersedia dari hasil
survey lapangan dan telah dianalisis serta mengacu pada ketentuan yang berlaku.
Kelengkapan dan data dasar yang harus disiapkan sebelum mulai melakukan
perhitungan/perencanaan adalah : peta-peta lainnya (geologi dan tata guna lahan),
kriteria perencanaan.
Ketentuan jarak pandang dan beberapa pertimbangan yang diperlukan
sebelum memulai perencanaan, selain didasarkan pada teoritis juga untuk
praktisnya. Elemen dalam perencanaan geometric jalan adalah alinemen
horizontal (situasi/plan), alinemen vertical (potongan memanjang/profil),
penampang melintang (cross section), penggambaran.
1. Jarak Pandang
Adalah jarak yang diperlukan oleh pengemudi pada saat mengemudi
sedemikian rupa sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang
membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu (antisipasi) untuk
menghindari bahaya tersebut dengan aman.Jarak pandang terdiri dari Jarak
Pandang Henti (JPH) dan Jarak Pandang Menyiap (JPM).
a) Jarak Pandang Henti (JPH)/Jh
Adalah jarak minimum yang diperlukan setiap pengemudi untuk
menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya
halangan di depan. Setiap titik di sepanjang jalan harus memenuhi
ketentuan JPH. JPH diukur berdasar asumsi bahwa tinggi matapengemudi
adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm, yang diukur dari permukaan
jalan. JPH terdiri dari 2 elemen jarak, yaitu jarak tanggap (d1= jarak yang
ditempuh kendaraan sejak pengemudi melihat halangan sampai saat
pengemudi menginjak rem) dan jarak pengereman (d2 = jarak yang
dibutuhkan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti).
V2
d = d1 + d2 = 0,278 V x t + (untuk jalan datar)…….. (1.2)
254 fm
dimana :
V = Kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap (ditetapkan 2,5 detik)

fm = koefisian gesek memanjang antara ban dengan perkerasan jalan


aspal

=0,28 – 0,45 (AASHTO) dan 0,35 – 0,55 (Bina Marga), fm semakin


kecil jika V makin tinggi.

Pengaruh landai jalan terhadap JPH minimum, pada jalan menurun


jarak mengerem akan bertambah panjang, sedang untuk jalan mendaki
jarak mengerem akan bertambah pendek, sehingga untuk jalan dengan
kelandaian tertentu :
V2
d = 0,278 V x t + .................................................. (1.3)
254 ( fm ± L )

dimana :

L = landai jalan (%) dibagi 100

(+) = pendakian

(-) = penurunan

Tabel 1.7.jarak Pandang henti (JPH) Minimum (TPGJAK, 19997)

V (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20


JPH minimum 250 175 120 75 55 40 27 16
b) Jarak Pandang Menyiap (JPM)/Jd
Adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului
kendaraan lain di depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut
kembali ke lajur semula. JPM di ukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi
mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan adalah 105 cm.
Lokasi atau daerah untuk mendahului harus di sebar di sepanjang jalan
dengan jumlah panjang minimum 30% dari panjang total ruas jalan yang
direncanakan.
Gambar 1.8. Proses gerakan menyiap (2/2 TB)

A = kendaraan yang mendahului

B = kendaraan yang berlawanan arah

C = kendaraan yang didahului kendaraan A

d = d1 + d2 + d3 + d4………………………………………… (1.4)

dimana :

d = JPM standar
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kendaraan yang
hendak menyiap dan membawa kendaraannya yang hendak
membelok ke lajur kanan
d1 = 0,2872 t1 (V- m + (a.t1)/2)
t1 = waktu reaksi yang besarnya tergantung kecepatan yang dapat
ditentukan dengan korelasi t1 = 2,12 + 0,026 V
V = kecepatan rata-rata kendaraan menyiap (dalam perhitungan dapat
dianggap sama dengan VR ), km/jam
m = Perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan di siap
= 15 km/jam
a = Percepatan rata-rata yang besarnya tergantung VR kendaraan
yang menyiap dapat ditentukan dengan korelasi a = 2,052+0,0036V
d2 = jarak yang ditempuh selama kendaraan yang menyiap berada
pada jalur kanan
d2 = 0,287 V. t2
t2 = waktu dimana kendaraan yang menyiap berada pada lajur kanan
yang dapat ditentukan dengan korelasi t2 = 6,56 + 0,048
d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kendaraan yang menyiap
dengan kendaraan berlawanan arah setelah gerakan menyiap
dilakukan, di ambil d3 = 30 – 100m
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang berlawanan arah selam
2/3 dari waktu yang diperlukan olek kendaraan yang menyiap
berada pada lajur sebelah kanan, d4 = 2/3 d2
Tabel 1.8. Panjang JPM berdasarkan VR (TPGJAK, 1997)

VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20


JPM (m) 800 670 550 350 250 200 150 100

2. Alinemen Horisontal
Alinemen horizontal/trase jalan/situasi jalan adalah proyeksi sumbu
jalan pada bidang horizontal.Alinemen horizontal disebut juga sebagai situasi
jalan atau trace jalan. Alinemen horizontal terdiri dari garis-garis lurus yang
dihubungkan dengan garis-garis lengkung (lengkung horizontal/tikungan).
a) Bagian Lurus
Panjang maksimum bagian lurus harus dapat ditempuh dalam waktu ≤ 2,5
menit (sesuai VR) dengan pertimbangan keselamatan pengemudi akibat
kelelahan.

Tabel 1.9. Panjang bagian lurus maksimum (TPGJAK, 1997)

Panjang bagian lurus maksimum (m)


fungsi
Datar bukit gunung
Arteri 3000 2500 2000
Kolektor 2000 1750 1500
b) Tikungan
1. Jari-jari minimum
Pada saat melalui tikungan dengan kecepatan V, kendaraan akan
mengalami gaya sentrifugal yang menyebabkan kendaraan tidak
stabil. Untuk mengimbangi gayasentrifugal tersebut perlu dibuat suatu
kemiringan melintang pada tikungan yang disebut superelevasi (e).
Pada saat kendaraan melalui daerah superelevasi akan terjadi gesekan
arah melintang jalan antara ban dengan permukaan jalan yang
menimbulkan gaya gesekan melintang dengan gaya normal disebut
koefisien gesekan melintang (f).

Gambar 1.9.Koefisien Gesekan melintang maksimum desain (AASHTO)

Rumus Umum untuk lengkung horizontal adalah :


V2
R= …………………………………………….. (1.5)
127( e+ f )

25
D= x 360 ° ………………………………………………(1.6)
2 πR

Dimana :

R = jari-jari lengkung (m)

D = derajat lengkung (°)

Untuk menghindari kecelakaan maka untuk kecepatan tertentu dapat


dihitung jari-jari minimum untuk superelevasi maksimum dan
koefisien gesek maksimum.

VR 2
Rmin= ……………………………… (1.7)
127(e mak+ f mak)

181913,53(e mak+ f mak)


D= …………..……………. (1.8)
VR 2

Dimana :

Rmin = jari-jari tikungan minimum (m)

VR = kecepatan rencana (km/jam)

emak = superelevasi maksimum (%)

fmak = koefisien gesek melintang maksimum

D = derajat lengkung

Dmak = derajat lengkung maksimum

Untuk pertimbangan digunakan nilai emak = 10% dan emak =sesuai


grafik nilai (f) yang hasilya dibulatkan, sebagaimana pada Tabel 1.10
Tabel 1.10. Panjang jari-jari minimum

10
VR (km/jam) 120 90 80 60 50 40 30 20
0
37 21 11
R minimum 600 280 80 50 30 15
0 0 5
2. Jenis tikungan
1. Lingkaran (full circle = FC)
Adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu
lingkaran saja.Tikungan FC hanya digunakan untuk jari-jari
tikungan yang besar agar tidak terjadi patahan karena dengan R
kecil maka diperlukan superelevasi yang besar.
Tabel 1.11.jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkung
peralihan

VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20


150 25
R minimum 2500 900 500 350 130 60
0 0

Gambar 1.10. Komponen Full Circle


Dimana :
PI = Point of Intersection (Titik Perpotongan Tangen)
Tc = Rctan ½∆
Ec = jarak luar dari Pi ke busur lingkaran = Tc tan ¼ ∆

∆ 2 πR
Lc = Panjang busur lingkaran = = 0,01745∆ Rc (∆ dalam
360°
derajat)
= ∆ Rc (dalam radian)

TC = tangent of circle( Titik pergantian tangent – circle ) =


panjang tangent jarak dari TC ke PI atau PI ke TC

CT = Circle of Tangen

Karena lengkung hanya berbentuk busur lingkaran saja, maka


pencapaian superelevasi dilakukan sebagian pada jalan lurus dan
sebagian pada jalan bagian lengkung. Karena bagian lengkung
peralihan itu sendiri tidak ada, maka panjang daerah pencapaian
kemiringan di sebut Ls’ (panjang peralihan fiktif)

Bina marga menetapkan :

- ¾ Ls’ di bagian lurus (kiri TC atau kanan CT)


- ¼ Ls’ di bagian lengkung ( kanan TC atau kiri CT)

2. Spiral-Circle-Spiral (S-C-S)
Lengkung peralihan dibuat untuk menghindari terjadinya
perubahan alinemen tiba-tiba dari bentuk lurus ke bentuk
lingkaran (R = ∞ R = Rc), jadi lengkung peralihan ini
diletakkan antara bagian lurus dan bagian lingkaran (circle), yaitu
pada sebelum dan sesudah tikungan berbentuk busur lingkaran.
Digunakan untuk tikungan dengan Lc ≤20m dan θc< 0. Lengkung
spiral merupakan lengkung peralihan dari bagian lurus (tangent )
ke bagian circle dan dari bagian circle ke tangent.
Gambar 1.11. Komponen S-C-S

Dimana :
Ts = ( Rc + p) tan ½ ∆ +k
Es = ( Rc + p) sec ½ ∆ - Rc
90 Ls
θs=
πRc
= 28,648 Ls/Rc
θc = ∆ - 2θs
p = pergeseran tangent terhadap spiral
= p* x Ls = Ys – Rc (1 – cos θs)
Ys = ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangent, jarak
tegak lurus ke titik SC pada lengkung.
k = absis dari p pada garis tangent spiral
= k* . Ls = Xs – Rc Sin θs

Xs = absis titik SC pada garis tangent, jarak dari titik TS ke SC


(jarak lurus lengkung peralihan)
= Ls – Ls3 / 40 Rc2
L = Lc + 2 Ls
(∆−2 θs)
Lc = panjang busur lingkaran = . π . Rc=θc 2 πR /360
180
Ls = panjang lengkung peralihan /panjang spiral, nilainya
dipilih yang terbesar dari :
1. Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik ) yang
melintasi lengkung peralihan, maka panjang lengkung :

VR
Ls = t
3,6
Dimana : t = waktu tempuh = 3 detik
2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan
rumus Modifikasi Shortt :
VR 3 VR . e
Ls = 0,022 −2,727
Rc . C C
Dimana :
Rc = jari-jari busur lingkaran (m)
C = perubahan percepatan = 0,3 – 0,1 (disarankan 0,4
m/dt3)
e = superelevasi
3. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian :
(em−en)
Ls = . VR
3,6 ℜ
Dimana :
em = superelevasi maksimum
en = super elevasi normal
re = tingkat pencapaian perubahan kelandaian
melintang jalan
= untuk VR≤70 km/jam re maks = 0,035 m/m/dt

= untuk VR≥70 km/jam re maks = 0,025 m/m/dt


3. Spiral-Spiral (S-S)
Digunakan pada tikungan tajam, jika pada perhitungan Lc <
20, maka digunakan lengkung horizontal S – S. Rumus yang
digunakan seperti S – C – S, tapi θc = 0, Lc = 0, ∆=2 θs

Gambar 1.12. Komponen S – S

Dimana :
θs = ∆ / 2
Ls = θs π R/90 (tidak boleh dicari di tabel, tabel hanya untuk
mencari e)
T = (R + p) tg ½ ∆ + k
E = (R+p) sec ½ ∆ - R
p = p*.Ls = Ys – R (1 – cos θs)………Ys = Ls2/6R
k = k*.Ls = Xs – R sin θs……………. Xs = Ls – Ls3 / 40R2

c) Pencapaian Superelevasi

Gambar 1.13. Perubahan kemiringan melintang pada tikungan


1) Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang
normal pada bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh
(superelevasi) pada bagian lengkung.
2) Pada tikungan S-C-S, pencapaian superelevasi dilakukan secara
linear, diawali dari
bentuk normal ( ) sampai awal lengkung
peralihan (TS) yang berbentuk ( ) pada bagian
lurus jalan , lalu dilanjutkan sampai superelevasi penuh
( ) pada akhir bagian belakang lengkung
peralihan (SC)
3) Pada tikungan FC pencapaian superelevasi dilakukan secara linear,
diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian
lingkaran penuh 1/3 Ls.
4) Pada tikungan S-S pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan
pada bagian spiral.
5) Superelevasi tidak diperlukan jika radius (R) cukup besar, untuk itu
cukup lereng luar diputar sebesar lereng normal (LP) atau bahkan
tetap lereng normal (LN).
(Contoh : untuk Vr = 60 km/jam)

Tabel 1.13 Panjang lengkung peralihan minimum dan superelevasi yang


diperlukan, untuk emax = 10% dan fmax = 0,153
Catatan :

- Kolom 1 menggunakan rumus Ls (1)


- Kolom 2 menggunakan rumus Ls (2)
- Kolom 3 menggunakan rumus Ls (3)
Atau mencari Ls berdasarkan ketiga rumus tersebut diatas melalui Tabel :
Tabel 1.13(a) Panjang lengkung peralihan minimum dan superelevasi
yang diperlukan, (e maksimum = 10%)
Tabel 1.13 (b) Panjang lengkung peralihan minimum dan superelevasi yang
diperlukan (e maksimum = 8%)
d) Landai Relatif
Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan di
antara tepi perkerasan luar dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan
di sebut landai relatif. Presentase kelandaian ini disesuaikan dengan
kecepatan rencana dan jumlah lajur yang ada. Untuk praktis dapat
digunakan Tabel atau Rumus :
1 ( e+ en ) . B
= ……………………………………………….. (1.9)
m Ls

Dimana :

1/m = landai relative

e = superelevasi (m/m’)

en = kemiringan melintang normal (m/m’)

B = lebar lajur (m)

Tabel 1.14. Landai relative maksimum (untuk 2/2 TB), SSPGJLK 1990

VR (km/jam) 20 30 40 50 60 80
Kemiringan maksimum 1/50 1/75 1/100 1/11 1/125 1/150
5

e) Diagram Superelevasi
Diagram superelevasi menggambarkan pencapaian superelevasi
dari lereng normal ke superelevasi penuh, sehingga dengan menggunakan
diagram superelevasi dapat ditentukan bentuk penampang melintang pada
setiap titik di suatu lengkung horizontal yang direncakan. Diagram
superelevasi di gambar berdasar elevasi sumbu jalan sebagai garis nol.
Elevasi tepi perkerasan diberi tanda (+) atau ( - ) ditinjau dari ketinggian
sumbu jalan.
1. Tanda (+) :elevasi tepi perkerasan terletak lebih tinggi dari sumbu
jalan.
2. Tanda ( - ) : elevasi tepi perkerasan terletak lebih rendah dari sumbu
jalan.
Gambar 1.14. Diagram superelevasi untuk tikungan Full Circle
Gambar 1.15. Diagram superelevasi untuk tikungan S-C-S

Gambar 1.16. Diagram Superelevasi untuk tikungan S-S

f) Pelebaran di tikungan
Pelebaran perkerasan di tikungan dilakukan untuk mempertahankan
kendaraan tetap pada lintasannya (lajurnya) sebagaimana pada bagian
lurus. Hal ini terjadi karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada
tikungan cenderung untuk keluar lajur akibat posisi roda depan dan roda
belakang yang tidak sama, yang tergantung dari ukuran kendaraan.
Penentuan lebar pelebaran perkerasan di tikungan ditinjau dari elemen-
elemen : keluar lajur (off tracking) dan kesukaran dalam mengemudi di
tikungan. Untuk praktis, besaran lebar untuk pelebaran di tikungan dapat
digunakan Tabel.
Tabel 1.15 pelebaran di tikungan per lajur (m) untuk lebar jalur
2x(B)m, 2 arah atau 1 arah
g) Daerah bebas samping di tikungan
Jarak pandang pengemudi pada lengkung horizontal (di tikungan)
harus bebas dari halangan benda-benda di sisi jalan (daerah bebas
samping).
1. Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin
kebebasan pandang di tikungan sehingga Jh di penuhi.
2. Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberi kemudahan
pandangan di tikungan dengan membebaskan obyek-obyek
penghalang sejauh E (m), diukur dari garis tengah lajur dalam sampai
obyek penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh dipenuhi.
3. Daerah bebas samping di tikungan dihitung berdasarkan rumus :
a) Jika JPH (Jh) < Lt
Gambar 1.17. Daerah bebas samping di tikungan untuk Jh <Lt
28,65. J h
E = R’ (1 – Cos ) …………………………......(1.10)
R'
Dimana :
R = jari-jari tikungan (m)
R’ = jari-jari sumbu lajur dalam (m)
Jh = jarak pandangan henti (m)
Lt = panjang tikungan (m)

Tabel 1.16. E (m) untuk Jh < Lt VR (km/jam), Jh (m) (TPGJAK,1997)


b) Jika JPH (Jh) > Lt
Gambar 1.18. Daerah bebas samping di tikungan Jh > Lt
28,65. J h J h−¿ 28,65 . J h
E = R’ (1 – Cos ¿+( . sin )………….(1.11)
R' 2 R'

Tabel 1.17 (a) E (m) untuk Jh>Lt VR (km/jam), (Jh-Lt = 25m)


(TPGJAK, 1997)
Tabel 1.17 (b) E (m) untuk Jh V R (km/jam), (Jh-Lt = 50m),
(TPGJAK, 1997)
h) Tikungan Gabungan
Pada perencanaan alinemen horizontal, kemungkian akan ditemui
perencanaan tikungan gabungan karena kondisi topografi pada rute jalan
yang akan direncanakan sedemikian rupa sehingga terpaksa (tidak bisa
dihindari) harus dilakukan rencana tikungan gabungan searah dan
tikungan gabungan terbalik.

i) Tikungan Gabungan Searah


R1> 1,5R2 adalah tikungan gabungan searah yang harus dihindari,
jika terpaksa dibuat tikungan gabungan dari 2 busur lingkaran (FC)
disarankan seperti gambar di bawah.
Gambar 1.19. Tikungan gabungan searah R1> 1,5R2

Gambar 1.20. Tikungan gabungan serah dengan sisiipan garis


lurus
Gambar 1.21. Tikungan gabungan searah dengan sisipan spiral
j) Tikungan Gabungan Berbalik
Tikungan gabungan yang berbalik secara tiba-tiba harus dihindari
karena dalam kondisi ini pengemudi sangat sulit untuk mempertahankan
kendaraan pada lajurnya.Jika terpaksa dibuat tikungan gabungan dari 2
busur lingkaran (FC) disarankan seperti gambar di bawah.

Gambar 1.22.
Tikungan gabungan berbalik R1> 1,5R2
Gambar 1.23. Tikungan gabungan berbalik dengan sisipan garis lurus

Gambar 1.24. Tikungan gabungan berbalik dengan sisipan spiral

k) Kontrol Overlapping
Pada setiap tikungan yang sudah direncanakan jangan sampai terjadi
overlapping karena menyebabkan tikungan tersebut tidak aman untuk
digunakan sesuai dengan kecepatan rencana. Syarat agar tidak terjadi
overlappingadalah :
a > a minimum ………………………………………………… (1.12)

Dimana :

a = daerah tangent (m)

a minimum = V. 3 detik
V = kecepatan rencana (m/dt)

Gambar 1.25. Kontrol Overlapping

l) Stasioning/Penomoran Panjang Jalan


Stasioning adalah memberikan nomor pada interval-interval tertentu
dari awal pekerjaan.Nomor jalan (Sta jalan) diperlukan sebagai sarana
komunikasi untuk mengenal lokasi yang sedang di bicarakan, selanjutnya
sebagai panduan untuk lokasi suatu tempat.Nomor jalan ini sangat
bermanfaat pada saat pelaksanaan dan perencanaan. Disamping itu dari
stasioning akan diperoleh informasi tentang panjang jalan yang
direncanakan. Setiap Sta jalan dilengkapi dengan gambar potongan
melintangnya.Angka stasioning di mulai dari titik awal proyek menuju
titik akhir proyek.Pada tikungan penomoran dilakukan pada setiap titik
penting.
Gambar 1.26. Sistem Penomoran Jalan (Stasioning)
4. Alinemen Vertikal
Alinemen vertikal/penampang memenjang jalan/
profil memanjang adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang
permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan (gambar proyeksi
tegak lurus bidang gambar). Perencanaan alinemen vertikal
dipengaruhi oleh keadaan topografi yang dilalui rute jalan rencana
sehingga perencanaan alinemen vertikalakan tergantung besarnya
biaya pembangunan yang tersedia. Dari alinemen vertikal dapat
dilihat jalan datar, naik atau turun.Alinemen vertikal terdiri dari garis
lurus dan garis lengkung. Gambar rencana jalan dibaca dari kiri ke
kanan, sehingga : (+) untuk pendakian dan (-) untuk penurunan.

a. Kelandaian
Untuk menghitung dan merencanakan lengkung vertikal
ada beberapa hal yang harus di perhatikan, yaitu :
1. Karakteristik kendaraan pada kelandaian
Hampir seluruh kendaraan penumpang dapat berjalan baik dengan
kelandaian 7% - 8% tanpa ada perbedaan pada bagian
datar.Pengamatan menunjukkan bahwa mobil penumpang pada
kelandaian 3% hanya sedikit sekali pengaruhnya dibandingkan dengan
jalan datar. Sedangkan untuk truk, kelandaian akan lebih besar
pengaruhnya.
a. Kelandaian maksimum
Kelandaian maksimum yang ditentukan untuk berbagai
variasi kecepatan rencana dimaksudkan agar kendaraan dapat
terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti.Kelandaian
maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan
penuh mampu bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari
separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi
rendah.
Tabel 1. 18. Kelandaian maksimum yang diijinkan
(TPGJAK, 1997)
VR(km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Kelandaian
Maksimum 3 3 4 5 8 9 10 10
(%)
b. Kelandaian minimum
Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi
perkerasannya perlu dibuat kelandaian minimum 0,5% untuk
keperluan kemiringan saluran samping karena kemiringan
melintang jalan dengan kerb hanya cukup untuk mengalirkan
air ke samping.

c. Panjang kritis ekonomi


Panjang kritis ini diperlukan sebagai batasan panjang
kelandaian maksimum agar pengurangan kecepatan kendaraan
tidak lebih dari separuh VR.Lama perjalanan pada panjang
kritis tidak lebih dari satu menit.
Tabel 1.19.panjang kritis (m) (TPGJAK,1997)

Kecepatan pada awal Kelandaian


tanjakan
4 5 6 7 8 9 10
(Km/jam)

80 63 36 23
60 0 460 0 270 0 230 200
32 210 16 120 11 90 80
0 0 0

d. Lajur pendakian pada kelandaian khusus


Pada jalur jalan dengan rencana volume lalu lintas yang
tinggi, terutama untuk tipe 2/2 TB maka kendaraan berat akan
berjalan pada lajur pendakian dengan kecepatan dibawah VR,
sedangkan kendaraan lain masih dapat bergerak dengan VR.
Sebaiknya dipertimbangkan untuk dibuat lajur tambahan pada
bagian kiri dengan ketentuan untuk jalan baru menurut MKJI
didasarkan pada BSH (biaya siklus hidup). Penempatan lajur
pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sbb:
a) Berdasarkan MKJI (1997)
Penentuan lokasi lajur pendakian harus dapat dibenarkan
secara ekonomis yang dibuat berdasarkan analisis BSH,
seperti yang bisa dilihat pada tabel.

Tabel 1. 20. Lajur pendakian pada kelandaian khusus, jalan luar


kota (2/2 TB) usia rencana 23 tahun

Ambang arus lalu lintas (kend/jam) tahun 1, jam puncak

Kelandaian
Panjan
g
3% 5% 7%

0,5 km 500 400 300

≥ 1 km 325 300 300


Gambar 1.27. Lajur pendakian tipikal

Gambar 1.28.jarak antara dua lajur pendakian

b) Berdasarkan TPGJAK (1997)


1) Disediakan pada jalan arteri atau kolektor.
2) Jika panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15000
smp/hari dan presentase truk >15%.
3) Lebar lajur pendakian sama dengan lajur rencana.
4) Lajur pendakian dimulai 30 meter dari awal perubahan
kelandaian dengan serongan sepanjang 45 meter dengan
berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan
sepanjang 45 meter.
5) Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1.5 km.
a. Lenkung Vertikal
Pergantian dari satu kelandaian ke kelandaian yang lain dilakukan
dengan menggunakan lengkung vertikal. Lengkung vertikal direncanakan
untuk merubah secara bertahap perubahan dari 2 macam kelandaian arah
memanjang jalan pada setiap lokasi yang diperlukan.Hal ini dimaksudkan
untuk mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian dan
menyediakan jarak pandang henti yang cukup, untuk keamanan dan
kenyamanan. Lengkung vertikal terdiri dari dua jenis, yaitu : lengkung
cembung dan lengkung cekung.

Gambar 1.29.lengkung vertical


1) Persamaan lengkung vertikal
Bentuk lengkung vertikal yang umum dipergunakan adalah
berbentuk lengkung parabola sederhana.Titik A merupakan titik
peralihan dari bagian tangen ke bagian lengkung vertikal biasa diberi
simbol PLV (peralihan lengkung vertikal). Titik B merupakan titik
peralihan dari bagian lengkung vertikal ke bagian tangen (peralihan
tangen vertikal = PTV). Titik perpotongan kedua bagian tangen diberi
nama titik PPV (pusat perpotongan vertikal). Letak titik-titik pada
lengkung vertikal dinyatakan dengan koordinat Y dan X terhadap
sumbu koordinat yang melalui titik A.

Gambar 1.30. Tipikal lengkung vertical bentuk parabola

Rumus yang digunakan :


A .x ²
y= ..............................................................(1.13)
200. L

dimana : x = jarak dari titik A ke titik yang ditinjau pada Sta (Sta),
untuk persamaan lengkung di kiri PPV : x dihitung dari
titik A (PLV), untuk persamaan lengkung dikanan
PPV : x dihitung dari titik B (PTV) karena kelandaian
tidak menerus tapi berubah di titik PPV.
y = perbedaan elevasi antara titik A dan titik yang ditinjau
pada Sta(Sta).
L = panjang lengkung vertikal parabola, yang merupakan
jarak proyeksi dari titik A dan titik B (Sta).
g1 = kelandaian tangen dari titik A (%).
g2 = kelandaian tangen dari titik B (%).
A = perbedaan aljabar untuk kelandaian (%) = g1 ± g2
(+) untuk kelandaian menaik (pendakian)
(-) untuk kelandaian menurun (penurunan)
Ev = pergeseran vertikal dari PPV kebagian lengkung.

Rumus di atas untuk lengkung simetris.

1
Untuk x = . L maka y = Ev diperoleh :
2

A .L
Ev = ...........................................................................(1.14)
200

1) Lengkung vertikal cembung


Adalah jika letak perpotongan antara 2 tangen berada dibawah
permukaan jalan.Ketentuan tinggi menurut bina marga (1997) untuk
lengkung vertikal cembung tercantum dalam tabel 1.21.

Tabel 1.21. Ketentuan tinggi untuk jenis pandang

Jarak pandang Tinggi mata, h1 (m) Tinggi obyek, h2 (m)


JPH 1,05 0,15
JPM 1,05 1,05
(a) Panjang L berdasarkan JPH/Jh :
A . JPH ²
JPH >L : maka L =
399
399
JPH <L : maka L =2.JPH -
A
Gambar 1.31. Panjang Lengkung vertical cembung untuk JPH < L

Gambar 1.32. Panjang Lengkung vertical cembung untuk JPH > L


Gambar 1.33. Grafik Panjang Lengkung vertical cembung berdasarkan
JPH
(b) Panjang L berdasarkan JPM/Jd :
A . JPM ²
JPM >L : maka L =
800
840 ²
JPM <L : maka L =2.JPm -
A
Gambar 1.34. Grafik Panjang Lengkung vertical cembung berdasarkan
JPM

Panjang lengkung vertikal cembung (L) yang diperoleh berdasarkan JPM


akan menghasilkan L lebih panjang daripada jika berdasarkan JPH.
Untuk penghematan biaya, L dapat ditentukan dengan rumus berdasarkan
JPH dengan konsekuensi kendaraan pada daerah lengkung cembung
tidak dapat mendahului kendaraan di depannya, untuk keamanan
dipasang rambu (R9 dan R 25).

2) Lengkung vertikal cekung


Adalah jika letak titik potongan antara 2 tangen berada diatas
permukaan jalan. Tidak ada dasar jalan yang dapat digunakan untuk
menentukan panjang lengkung vertikal cekung (L), tapi ada empat
kriteria sebagai pertimbangan yang dapat digunakan, yaitu :
a. Jarak sinar lampu besar dari kendaraan
b. Kenyamanan pengemudi
c. Ketentuan drainase
d. Penampilan secara umum

Gambar 1.35.untuk JPH < L

Gambar 1.36.untuk JPH > L


Dengan buatan gambar diatas, yaitu tinggi lampu besar
kendaraan = 0,60m (2’) dan sudut bias =1° maka diperoleh hubungan
praktis sbb :

A . JPH ²
JPH >L : maka L =
120+3,5 JPH
120+3,5 JPH
JPH <L : maka L =2.JPH -
A
Gambar 1.37. Grafik Panjang Lengkung vertical cekung berdasarkan
JPH

3) Panjang untuk kenyamanan


AV 2
L=
389

4. Koordinasi Alinemen Horizontal dan Alinemen Vertikal

Koordinasi alinemen pada perencanaan geometrik jalan, diperlukan untuk


menjamin suatu perencanaan teknik jalan raya yang baik dan menghasilkan
keamanan serta kenyamanan bagi pemakai jalan. Maksud koordinasi dalam hal
ini yaitu penggabungan beberapa elemen dalam perencanaan geometrik jalan
yang terdiri dari perencanaan : alinemen horizontal, alinemen vertikal dan
potongan melintang dalam suatu paduan sehingga menghasilkan produk
perencanaan teknik sedemikian yang memenuhi unsur aman, nyaman dan
ekonomis.

Beberapa ketentuan atau syarat sebagai paduan yang dapat digunakan


untuk proses koordinasi alinemensbb :

a) Alinemen horizontal dan alinemen vertikal terletak pada satu phase, dimana
alinemen horizontal sedikit lebih panjang dari alinemen vertikal, demikian
pula tikungan horizontal harus satu phase dengan tanjakan vertical.

Gambar 1.38.Alinemen horizontal dan vertical terletak pada satu phase


b) Tikungan tajam yang terletak diatas lengkung vertical cembung atau
dibawah lengkung vertical cekung harus dihindarkan karena hal ini akan
menghalangi pandangan mata pengemudi pada saat memasuki tikungan
pertama dan jalan akan terkesan putus.

Gambar 1.39. Tikungan terletak di bagian atas lengkung vertical cembung

Anda mungkin juga menyukai