PENDAHULUAN
2. Ketentuan-ketentuan
Ketentuan-ketentuan dalam perencanaan teknik jalan yang berlaku di
Indonesia harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Bina Marga – Departemen Pekerjaan Umum.Kecuali hal-
hal khusus yang belum ada ketentuan dari Direktorat jenderal Bina Marga –
Departemen Pekerjaan Umum, maka dapat di pakai ketentuan AASHTO dan
lainnya.
B. PEKERJAAN LAPANGAN
Untuk menghasilkan dokumen pembangunan jalan baru apapun
klasifikasinya (local, kolektor, arteri) yang diperlukan secara teknik adalah
rencana alinemen dan kondisi tanah dasar (rencana subgrade) yang memenuhi
syarat/ketentuan yang berlaku, maka dalam perencanaan teknik jalan baru
diperlukan pekerjaan lapangan survey.
Pekerjaan lapangan ini mencakup keseluruhan kegiatan survey dan
investigasi di lapangan untuk memperoleh data-data akurat yang diperlukan dalam
proses perencanaan teknik jalan, yaitu :
1. Sehubungan dengan alinemen jalan (road alignment), yang berperan adalah :
ahli teknik jalan, ahli teknik geodesi, dan ahli teknik lingkungan.
2. Sehubungan dengan sarana drainase jalan (Highway Drainage), yang
berperan adalah ahli teknik drainase.
3. Sehubungan dengan tanah dasar dan bahan konstruksi jalan (Subgrade and
Highway materials), yang berperan adalah ahli geoteknik.
Beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian bagi perencanaan
sebelum melakukan kegiatan lapangan adalah aspek sosial, ekonomi dan budaya
penduduk setempat sehingga pembangunan jalan raya yang baru akan
memberikan dampak positif bagi penduduk sekitarnya. Selain itu, juga perlu
diperhatikan aspek lingkungan setempat sehingga pembangunan jalan tidak akan
merusak ekosistem daerah sekitarnya, disamping semua itu harus
dipertimbangkan masalah efisiensi. Jadi pada perencanaan teknik jalan baru,
pekerjaan lapangan harus dapat menggabungkan berbagai aspek, terutama aspek
teknik dan aspek ekonomi (ketersediaan dana).
Kegiatan lapangan yang perlu dilakukan meliputi : Data Penunjang, Survey
Pendahuluan, Survey AMDAL, Survey Topografi, Survey Lalu lintas dan Survey
Geoteknik. Kegiatan-kegiatan ini dilakukan oleh masing-masing team survey
yang paling menunjang.
1. Data Penunjang
Data pada tahap ini adalah data penunjang dan data dasar yang tersedia,
yang diperlukan sebagai referensi pada saat pelaksanaan survey.Selain data-
data tersebut, informasi dari berbagai narasumber juga diperlukan.Kegiatan
penumpulan data penunjang dan analisis atau studi data awal (desk study)
sangat diperlukan agar team survey mendapatkan gambaran tentang kondisi
lokasi serta gambaran route reconnaissance.
a. Pengumpulan Data Penunjang
Data-data yang perlu dikumpulkan termasuk peta-peta dasar
mencakup area lokasi dan sekitarnya.
Peta-peta: Peta Jaringan Jalan, Peta Topografi, Peta Geologi regional,
Photo Udara, Peta Rupa Bumi Indonesia.
b. Studi Data
Data maupun peta yang terkumpul, dipilih-pilih dan dipelajari agar
data dan peta yang benar-benar diperlukan saja yang digunakan
sebagai dasar.Rute rencana diplotkan pada peta dasar untuk pedoman
awal.Rute yang kita plotkan pada peta dasar terdiri beberapa rute
sebagai alternatif.
2. Survei Pendahuluan
Survei pedahuluan adalah survey yang harus dilakukan sebelum survey
detail lainnya, karena survey detail lainnya akan mengacu pada hasil survey ini,
terutama hasil Reconnaissance. Survey pendahuluan mencakup 2 macam
kegiatan, yaitu : Survey Reconnaissance dan pengumpulan data. Maksud dari
Survey Reconnaissance yaitu untuk menetapkan rute (sumbu jalan rencana)
yang ideal sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku agar hasil
desain dapat memenuhi unsur kenyamanan dan keamanan pengguna jalan.
Kegiatan Survey Rute ini meliputi pengumpulan data lapangan berdasarkan
pengamatan visual dan pengukuran, juga masukan dari berbagai sumber
sehingga tujuan survey dapat dicapai yaitu gambaran kondisi lapangan pada
trace jalan rencana (sepanjang rute terpilih).
a. Perintisan dan Penandaan
Umumnya lokasi rencana trace jalan yang akan di survey berupa
semak dan hutan, sehingga perlu dilakukan perintisan agar titik-titik
bantu yang akan dipasang mudah terlihat. Dalam melakukan perintisan
ini sekaligus melakukan penandaan jarak dengan patok kayu sesuai
kebutuhan. Jarak antar patok maksimal 50 m. Penandaan dilakukan agar
pada waktu survey, semua data dapat diketahui lokasinya (Sta..+..).
b. Survei Teknik
Gambar 1.2.
Tahap dalam menentukan trase jalan rencana.
b.2 Terrain
c. Survei Umum
G a m b a r 1 . 4 . P
3. Survey AMDAL
Survey dan study AMDAL dilakukan untuk memperkecil dampak
negatif yang mungkin timbul akibat adanya ruas jalan (yang sedang
direncanakan) baik saat pembangunan atau setelah digunakan. Survey ini
sebaiknya dilakukan bersama dengan survey pendahuluan, karena sebagai
masukan yang peting untuk menetapkan trace diprediksi denagan mengevaluasi
rencana kegiatan (selama pembangunan) dan menginventarisasi zona
lingkungan sepanjang jalan rencana.
4. Survei Topografi
Maksud Survey Topografi dalam perencanaan teknik jalan raya adalah
pengukuran rute yang dilakukan dengan tujuan memindahkan permukaan bumi
dari lokasi yang di ukur pada kertas yang berupa peta planimetri.Peta ini akan
digunakan sebagai peta dasar untuk plotting perencanaan geometric jalan raya,
dalam hal ini perencanaan alinemen horizontal. Kegiatan pengukuran rute ini
juga mencakup pengukuran penampang.
5. Survey Hidrologi
Survey Hidrology dalam perencanaan teknik jalan raya diperlukan
untuk perencanaan sistem dan sarana drainase agar konstruksi jalan aman
terhadap pengaruh air selama umur rencana karena kerusakan yang terjadi pada
konstruksi jalan raya umumnya disebabkan oleh air.
7. Survey Geoteknik
Survey geoteknik untuk rencana jalan, mencakup kegiatan sebagai
berikut: Survey Geologi, Survey Material dan Survey Investigasi tanah. Tujuan
Survey Geologi dan investigasi tanah yaitu untuk memetakan penyebaran
tanah/batuan dasar yang meliputi kondisi tanah pada daerah sepanjang trace
jalan rencana sehingga dapat memberikan informasi mengenai stabilitas lereng,
prediksi penurunan dan kuat dukung setelah dipadukan dengan hasil pengujian
laboratorium. Survey material dilakukan untuk mengetahui lokasi dan kuantitas
pada quarry (sumber material).
C. KRITERIA PERENCANAAN
Untuk melakukan perencanaan teknik jalan perlu beberapa kriteria sebagai
pertimbanagan untuk mengoptimalkan hasil perencanaan. Dampak lingkungan
dan tata guna lahan di sepanjang jalan juga merupakan pertimbangan dalam
perencanaan, untuk mengantisipasi masalah yang akan timbul dengan adanya
jalan baik masalah sosial maupun teknis.
1. Klasifikasi Jalan
Klasifikasi jalan di Indonesia menurut Bina Marga dalam Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) No. 038/T/BM/1997
dapat dilihat pada Tabel dibawah
Tabel 1.1. Ketentuan Klasifikasi : fungsi, kelas beban, medan.
(TPGJAK, 1997)
3. Karakteristik Geometrik
a. Tipe jalan
Tipe jalan menentukan jumlah lajur dan arahpada suatu segmen
jalan, untuk jalan luar kota sebagai berikut :
1) 2 lajur 1 arah (2/1)
2) 2 lajur 2 arah tak terbagi (2/2 TB)
3) 4 lajur 2 arah tak terbagi (4/2 TB)
4) 4 lajur 2 arah terbagi (4/2 B)
5) 6 lajur 2 arah terbagi (6/2 B)
b. Bagian-bagian jalan
1) Lebar jalur (Wc), adalah lebar jalur jalan yang dilewati lalu lintas,
tidak termasuk bahu jalan.
2) Lebar bahu (Ws), adalah lebar bahu di samping jalur lalu lintas
direncanakan sebagai ruang untuk kendaraan yang sekali-kali
berhenti, pejalan kaki dan kendaraan lambat.
3) Median (M), adalah daerah yang memisahkan arah lalu lintas pada
suatu segmen jalan yang terletak pada bagian tengah
(direndahkan/ditinggikan).
Gambar
1.5. Tipikal
potongan melintang normal dan denah untuk 2/2 TB
Tabel 1.5. Penentuan lebar lajur dan bahu jalan (TPGJAK, 1997)
VLHR Arteri Kolektor Lokal
ideal Minimum Ideal minimum ideal Minimum
jalur bahu jalur bahu Jalur bahu jalur bahu jalur bahu jalur Bahu
<3000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0
3000 – 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0
10000
10001 – 7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 Mengacu pada Tidak ditentukan
25000 persyaratan ideal
c. Tipe alinemen
Adalah gambaran kemiringan daerah yang dilalui jalan dan
ditentukan oleh jumlah naik dan turun (m/km) dan jumlah
lengkung horizontal (rad/km) sepanjang segmen jalan.
4. Kondisi Lingkungan
Emisi gas buangan kendaraan dan kebisingan berhubungan erat dengan
volume lalu lintas dan kecepatan. Pada volume lalu lintas yang tetap, emisi ini
berkurang dengan berkurangnya kecepatan sepanjang jalan tersebut tidak
macet. Saat volume lalu lintas mendekati kapasitas (DS > 0,8), kondisi arus
tersendat “berhenti dan berjalan” yang disebabkan oleh kemacetan
menyebabkan bertambahnya emisi gas buangan dan juga kebisingan jika
dibandingkan dengan kinerja lalu lintas yang stabil.
Alinemen yang tidak baik, seperti tikungan tajam dan kelandaian curam,
menambah emisi gas buang dan kebisingan. Pengembangan (tata guna) lahan
di samping jalan, untuk perhitungan, guna lahan dinyatakan dalam presentase
dari segmen jalan dengan pengembangan tetap dalam bentuk bangunan
(terhadap panjang total).
5. Pertimbangan Ekonomi
Dalam proses pemilihan tipe jalan dan penampang melintang untuk jalan
baru, yang paling ekonomis berdasarkan analisis Biaya Siklus Hidup (BSH)
yaitu menghitung biaya total yang diproyeksikan ke tahun 1 (nilai bersih
sekarang) untuk setiap perencanaan yang di pelajari sebagai fungsi arus lalu
lintas. BSH diperoleh dari berbagai anggapan yang di gunakan oleh Bina
Marga, yaitu : umur, laju pertumbuhan lalu lintas, suku bunga dan tujuan dari
Pembina jalan. Seluruh biaya yang juga sudah diperhitungkan yaitu :
a. Biaya pemakaian jalan yang relevan : operasi kendaraan, kecelakaan,
polusi.
b. Biaya pembuatan jalan : pembebasan lahan, pembangunan jalan dan
operasional.
6. Pertimbangan Keselamatan Lalu lintas
Pengaruh umum rencana geometric terhadap tingkat kecelakaan :
a. Pelebaran lajur akan mengurangi tingkat kecelakaan antara 2 – 15 % per
meter pelebaran (nilai yang besar mengacu ke jalan sempit)
b. Pelebaran/peningkatan kondisi permukaan bahu meningkatkan
keselamatan lalu lintas
c. Lajur pendakian pada kelandaian curam mengurangi tingkat kecelakaan
sebesar 25 – 30 %
d. Meluruskan tikungan tajam setempat mengurangi tingkat kecelakaan
sebesar 25 – 60 %
e. Pemisah tengah mengurangi tingkat kecelakaan sebesar 30 %
f. dll
D. PERENCANAAN GEOMETRIK
Perencanaan Geometrik Jalan adalah bagian dari perencanaan jalan yang
dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik jalan, yaitu merencanakan dimensi
yang nyata dari suatu jalan beserta bagian-bagiannya disesuaikan dengan tuntutan
serta sifat-sifat lalu lintasnya. Perencanaan geometric jalan merupakan
perencanaan rute suatu ruas jalan secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang
disesuaikan dengan kelengkapan dan data dasar yang ada atau tersedia dari hasil
survey lapangan dan telah dianalisis serta mengacu pada ketentuan yang berlaku.
Kelengkapan dan data dasar yang harus disiapkan sebelum mulai melakukan
perhitungan/perencanaan adalah : peta-peta lainnya (geologi dan tata guna lahan),
kriteria perencanaan.
Ketentuan jarak pandang dan beberapa pertimbangan yang diperlukan
sebelum memulai perencanaan, selain didasarkan pada teoritis juga untuk
praktisnya. Elemen dalam perencanaan geometric jalan adalah alinemen
horizontal (situasi/plan), alinemen vertical (potongan memanjang/profil),
penampang melintang (cross section), penggambaran.
1. Jarak Pandang
Adalah jarak yang diperlukan oleh pengemudi pada saat mengemudi
sedemikian rupa sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang
membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu (antisipasi) untuk
menghindari bahaya tersebut dengan aman.Jarak pandang terdiri dari Jarak
Pandang Henti (JPH) dan Jarak Pandang Menyiap (JPM).
a) Jarak Pandang Henti (JPH)/Jh
Adalah jarak minimum yang diperlukan setiap pengemudi untuk
menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya
halangan di depan. Setiap titik di sepanjang jalan harus memenuhi
ketentuan JPH. JPH diukur berdasar asumsi bahwa tinggi matapengemudi
adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm, yang diukur dari permukaan
jalan. JPH terdiri dari 2 elemen jarak, yaitu jarak tanggap (d1= jarak yang
ditempuh kendaraan sejak pengemudi melihat halangan sampai saat
pengemudi menginjak rem) dan jarak pengereman (d2 = jarak yang
dibutuhkan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti).
V2
d = d1 + d2 = 0,278 V x t + (untuk jalan datar)…….. (1.2)
254 fm
dimana :
V = Kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap (ditetapkan 2,5 detik)
dimana :
(+) = pendakian
(-) = penurunan
d = d1 + d2 + d3 + d4………………………………………… (1.4)
dimana :
d = JPM standar
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kendaraan yang
hendak menyiap dan membawa kendaraannya yang hendak
membelok ke lajur kanan
d1 = 0,2872 t1 (V- m + (a.t1)/2)
t1 = waktu reaksi yang besarnya tergantung kecepatan yang dapat
ditentukan dengan korelasi t1 = 2,12 + 0,026 V
V = kecepatan rata-rata kendaraan menyiap (dalam perhitungan dapat
dianggap sama dengan VR ), km/jam
m = Perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan di siap
= 15 km/jam
a = Percepatan rata-rata yang besarnya tergantung VR kendaraan
yang menyiap dapat ditentukan dengan korelasi a = 2,052+0,0036V
d2 = jarak yang ditempuh selama kendaraan yang menyiap berada
pada jalur kanan
d2 = 0,287 V. t2
t2 = waktu dimana kendaraan yang menyiap berada pada lajur kanan
yang dapat ditentukan dengan korelasi t2 = 6,56 + 0,048
d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kendaraan yang menyiap
dengan kendaraan berlawanan arah setelah gerakan menyiap
dilakukan, di ambil d3 = 30 – 100m
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang berlawanan arah selam
2/3 dari waktu yang diperlukan olek kendaraan yang menyiap
berada pada lajur sebelah kanan, d4 = 2/3 d2
Tabel 1.8. Panjang JPM berdasarkan VR (TPGJAK, 1997)
2. Alinemen Horisontal
Alinemen horizontal/trase jalan/situasi jalan adalah proyeksi sumbu
jalan pada bidang horizontal.Alinemen horizontal disebut juga sebagai situasi
jalan atau trace jalan. Alinemen horizontal terdiri dari garis-garis lurus yang
dihubungkan dengan garis-garis lengkung (lengkung horizontal/tikungan).
a) Bagian Lurus
Panjang maksimum bagian lurus harus dapat ditempuh dalam waktu ≤ 2,5
menit (sesuai VR) dengan pertimbangan keselamatan pengemudi akibat
kelelahan.
25
D= x 360 ° ………………………………………………(1.6)
2 πR
Dimana :
VR 2
Rmin= ……………………………… (1.7)
127(e mak+ f mak)
Dimana :
D = derajat lengkung
10
VR (km/jam) 120 90 80 60 50 40 30 20
0
37 21 11
R minimum 600 280 80 50 30 15
0 0 5
2. Jenis tikungan
1. Lingkaran (full circle = FC)
Adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu
lingkaran saja.Tikungan FC hanya digunakan untuk jari-jari
tikungan yang besar agar tidak terjadi patahan karena dengan R
kecil maka diperlukan superelevasi yang besar.
Tabel 1.11.jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkung
peralihan
∆ 2 πR
Lc = Panjang busur lingkaran = = 0,01745∆ Rc (∆ dalam
360°
derajat)
= ∆ Rc (dalam radian)
CT = Circle of Tangen
2. Spiral-Circle-Spiral (S-C-S)
Lengkung peralihan dibuat untuk menghindari terjadinya
perubahan alinemen tiba-tiba dari bentuk lurus ke bentuk
lingkaran (R = ∞ R = Rc), jadi lengkung peralihan ini
diletakkan antara bagian lurus dan bagian lingkaran (circle), yaitu
pada sebelum dan sesudah tikungan berbentuk busur lingkaran.
Digunakan untuk tikungan dengan Lc ≤20m dan θc< 0. Lengkung
spiral merupakan lengkung peralihan dari bagian lurus (tangent )
ke bagian circle dan dari bagian circle ke tangent.
Gambar 1.11. Komponen S-C-S
Dimana :
Ts = ( Rc + p) tan ½ ∆ +k
Es = ( Rc + p) sec ½ ∆ - Rc
90 Ls
θs=
πRc
= 28,648 Ls/Rc
θc = ∆ - 2θs
p = pergeseran tangent terhadap spiral
= p* x Ls = Ys – Rc (1 – cos θs)
Ys = ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangent, jarak
tegak lurus ke titik SC pada lengkung.
k = absis dari p pada garis tangent spiral
= k* . Ls = Xs – Rc Sin θs
VR
Ls = t
3,6
Dimana : t = waktu tempuh = 3 detik
2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan
rumus Modifikasi Shortt :
VR 3 VR . e
Ls = 0,022 −2,727
Rc . C C
Dimana :
Rc = jari-jari busur lingkaran (m)
C = perubahan percepatan = 0,3 – 0,1 (disarankan 0,4
m/dt3)
e = superelevasi
3. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian :
(em−en)
Ls = . VR
3,6 ℜ
Dimana :
em = superelevasi maksimum
en = super elevasi normal
re = tingkat pencapaian perubahan kelandaian
melintang jalan
= untuk VR≤70 km/jam re maks = 0,035 m/m/dt
Dimana :
θs = ∆ / 2
Ls = θs π R/90 (tidak boleh dicari di tabel, tabel hanya untuk
mencari e)
T = (R + p) tg ½ ∆ + k
E = (R+p) sec ½ ∆ - R
p = p*.Ls = Ys – R (1 – cos θs)………Ys = Ls2/6R
k = k*.Ls = Xs – R sin θs……………. Xs = Ls – Ls3 / 40R2
c) Pencapaian Superelevasi
Dimana :
e = superelevasi (m/m’)
Tabel 1.14. Landai relative maksimum (untuk 2/2 TB), SSPGJLK 1990
VR (km/jam) 20 30 40 50 60 80
Kemiringan maksimum 1/50 1/75 1/100 1/11 1/125 1/150
5
e) Diagram Superelevasi
Diagram superelevasi menggambarkan pencapaian superelevasi
dari lereng normal ke superelevasi penuh, sehingga dengan menggunakan
diagram superelevasi dapat ditentukan bentuk penampang melintang pada
setiap titik di suatu lengkung horizontal yang direncakan. Diagram
superelevasi di gambar berdasar elevasi sumbu jalan sebagai garis nol.
Elevasi tepi perkerasan diberi tanda (+) atau ( - ) ditinjau dari ketinggian
sumbu jalan.
1. Tanda (+) :elevasi tepi perkerasan terletak lebih tinggi dari sumbu
jalan.
2. Tanda ( - ) : elevasi tepi perkerasan terletak lebih rendah dari sumbu
jalan.
Gambar 1.14. Diagram superelevasi untuk tikungan Full Circle
Gambar 1.15. Diagram superelevasi untuk tikungan S-C-S
f) Pelebaran di tikungan
Pelebaran perkerasan di tikungan dilakukan untuk mempertahankan
kendaraan tetap pada lintasannya (lajurnya) sebagaimana pada bagian
lurus. Hal ini terjadi karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada
tikungan cenderung untuk keluar lajur akibat posisi roda depan dan roda
belakang yang tidak sama, yang tergantung dari ukuran kendaraan.
Penentuan lebar pelebaran perkerasan di tikungan ditinjau dari elemen-
elemen : keluar lajur (off tracking) dan kesukaran dalam mengemudi di
tikungan. Untuk praktis, besaran lebar untuk pelebaran di tikungan dapat
digunakan Tabel.
Tabel 1.15 pelebaran di tikungan per lajur (m) untuk lebar jalur
2x(B)m, 2 arah atau 1 arah
g) Daerah bebas samping di tikungan
Jarak pandang pengemudi pada lengkung horizontal (di tikungan)
harus bebas dari halangan benda-benda di sisi jalan (daerah bebas
samping).
1. Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin
kebebasan pandang di tikungan sehingga Jh di penuhi.
2. Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberi kemudahan
pandangan di tikungan dengan membebaskan obyek-obyek
penghalang sejauh E (m), diukur dari garis tengah lajur dalam sampai
obyek penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh dipenuhi.
3. Daerah bebas samping di tikungan dihitung berdasarkan rumus :
a) Jika JPH (Jh) < Lt
Gambar 1.17. Daerah bebas samping di tikungan untuk Jh <Lt
28,65. J h
E = R’ (1 – Cos ) …………………………......(1.10)
R'
Dimana :
R = jari-jari tikungan (m)
R’ = jari-jari sumbu lajur dalam (m)
Jh = jarak pandangan henti (m)
Lt = panjang tikungan (m)
Gambar 1.22.
Tikungan gabungan berbalik R1> 1,5R2
Gambar 1.23. Tikungan gabungan berbalik dengan sisipan garis lurus
k) Kontrol Overlapping
Pada setiap tikungan yang sudah direncanakan jangan sampai terjadi
overlapping karena menyebabkan tikungan tersebut tidak aman untuk
digunakan sesuai dengan kecepatan rencana. Syarat agar tidak terjadi
overlappingadalah :
a > a minimum ………………………………………………… (1.12)
Dimana :
a minimum = V. 3 detik
V = kecepatan rencana (m/dt)
a. Kelandaian
Untuk menghitung dan merencanakan lengkung vertikal
ada beberapa hal yang harus di perhatikan, yaitu :
1. Karakteristik kendaraan pada kelandaian
Hampir seluruh kendaraan penumpang dapat berjalan baik dengan
kelandaian 7% - 8% tanpa ada perbedaan pada bagian
datar.Pengamatan menunjukkan bahwa mobil penumpang pada
kelandaian 3% hanya sedikit sekali pengaruhnya dibandingkan dengan
jalan datar. Sedangkan untuk truk, kelandaian akan lebih besar
pengaruhnya.
a. Kelandaian maksimum
Kelandaian maksimum yang ditentukan untuk berbagai
variasi kecepatan rencana dimaksudkan agar kendaraan dapat
terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti.Kelandaian
maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan
penuh mampu bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari
separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi
rendah.
Tabel 1. 18. Kelandaian maksimum yang diijinkan
(TPGJAK, 1997)
VR(km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Kelandaian
Maksimum 3 3 4 5 8 9 10 10
(%)
b. Kelandaian minimum
Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi
perkerasannya perlu dibuat kelandaian minimum 0,5% untuk
keperluan kemiringan saluran samping karena kemiringan
melintang jalan dengan kerb hanya cukup untuk mengalirkan
air ke samping.
80 63 36 23
60 0 460 0 270 0 230 200
32 210 16 120 11 90 80
0 0 0
Kelandaian
Panjan
g
3% 5% 7%
dimana : x = jarak dari titik A ke titik yang ditinjau pada Sta (Sta),
untuk persamaan lengkung di kiri PPV : x dihitung dari
titik A (PLV), untuk persamaan lengkung dikanan
PPV : x dihitung dari titik B (PTV) karena kelandaian
tidak menerus tapi berubah di titik PPV.
y = perbedaan elevasi antara titik A dan titik yang ditinjau
pada Sta(Sta).
L = panjang lengkung vertikal parabola, yang merupakan
jarak proyeksi dari titik A dan titik B (Sta).
g1 = kelandaian tangen dari titik A (%).
g2 = kelandaian tangen dari titik B (%).
A = perbedaan aljabar untuk kelandaian (%) = g1 ± g2
(+) untuk kelandaian menaik (pendakian)
(-) untuk kelandaian menurun (penurunan)
Ev = pergeseran vertikal dari PPV kebagian lengkung.
1
Untuk x = . L maka y = Ev diperoleh :
2
A .L
Ev = ...........................................................................(1.14)
200
A . JPH ²
JPH >L : maka L =
120+3,5 JPH
120+3,5 JPH
JPH <L : maka L =2.JPH -
A
Gambar 1.37. Grafik Panjang Lengkung vertical cekung berdasarkan
JPH
a) Alinemen horizontal dan alinemen vertikal terletak pada satu phase, dimana
alinemen horizontal sedikit lebih panjang dari alinemen vertikal, demikian
pula tikungan horizontal harus satu phase dengan tanjakan vertical.