Pengertian Pemuda
Princeton mendefinisikan kata pemuda (youth) dalam kamus Webstersnya sebagai “the time of life
between childhood and maturity; early maturity; the state of being young or immature or inexperienced;
the freshness and vitality characteristic of a young person”.
Sedangkan dalam kerangka usia, WHO menggolongkan usia 10 – 24 tahun sebagai young people, sedangkan
remaja atau adolescence dalam golongan usia 10 -19 tahun. Jadi pemuda identik sebagai sosok individu
yang berusia produktif dan mempunyai karakter khas yang spesifik yaitu revolusioner, optimis, berpikiran
maju, memiliki moralitas, dsb.
Kelemahan mecolok dari seorang pemuda adalah kontrol diri dalam artian mudah emosional, sedangkan
kelebihan pemuda yang paling menonjol adalah mau menghadapi perubahan, baik berupa perubahan sosial
maupun kultural dengan menjadi pelopor perubahan itu sendiri.
Secara hukum pemuda adalah manusia yang berusia 15 – 30 tahun, secara biologis yaitu manusia yang
sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kedewasaan seperti adanya perubahan fisik, dan secara agama
adalah manusia yang sudah memasuki fase aqil baligh yang ditandai dengan mimpi basah bagi pria biasanya
pada usia 11 – 15 tahun dan keluarnya darah haid bagi wanita biasanya saat usia 9 – 13 tahun.
Pemuda adalah suatu generasi yang dipundaknya terbebani berbagai macam – macam harapan, terutama
dari generasi lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena pemuda diharapkan sebagai generasi penerus,
generasi yang akan melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya, generasi yang mengisi dan melanjutkan
estafet pembangunan.
Di dalam masyarakat, pemuda merupakan satu identitas yang potensial. Kedudukannya yang strategis
sebagai penerus cita – cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsanya.
2. Pengertian Sosialisasi
Pengertian sosialisasi mengacu pada suatu proses belajar seorang individu yang akan mengubah dari
seseorang yang tidak tahu menahu tentang diri dan lingkungannya menjadi lebih tahu dan memahami.
Sosialisasi merupakan suatu proses di mana seseorang menghayati (mendarahdagingkan – internalize)
norma-norma kelompok di mana ia hidup sehingga timbullah diri yang unik, karena pada awal kehidupan
tidak ditemukan apa yang disebut dengan “diri”.
Dan sosialisasi juga merupakan proses yang membantu individu melalui media pembelajaran dan
penyesuaian diri, bagaimana bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi, baik sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Selain itu Sosialisasi diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup bagaimana seorang individu
mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang meliputi cara-cara hidup, nilai-nilai, dan norma-norma sosial yang
terdapat dalam masyarakat agar dapat diterima oleh masyarakatnya. Berikut pengertian sosialisasi menurut
para ahli:
• Charlotte Buhler
Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara
hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.
• Peter Berger
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam
masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
• Paul B. Horton
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam
masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
• Soerjono Soekanto
Sosialisasi adalah proses mengkomunikasikan kebudayaan kepada warga masyarakat yang baru.
3. Proses Sosialisasi
Ada 2 teori proses sosialisasi yang paling umum digunakan, yaitu teori Charles H. Cooley dan teori George
Herbert Mead.
Teori Charles H. Cooley lebih menekankan pada peran interaksi antar manusia yang akan menghasilkan
konsep diri (self concept). Proses pembentukan konsep diri ini yang kemudian disebut Cooley sebagai
looking-glass self terbagi menjadi tiga tahapan sebagai berikut.
Muhammad (Kaligrafi)
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ilyas Ismail
Hijrah tak hanya bermakna berpindah secara fisik (jasadiyah), tetapi lebih penting dari itu, yakni berpindah
secara mental (hijrah qalbiyah).
Baik dalam arti fisik maupun mental, hijrah pada intinya mengandung makna perubahan, yaitu berpindah
dan bergerak menuju kemuliaan dan keadaban.
Perubahan sebagai inti hijrah sungguh penting, paling tidak karena tiga alasan. Pertama, perubahan
merupakan watak dari alam ini atau dengan perkataan lain, perubahan adalah sunnatullah.
Kedua, perubahan merupakan tanda dari kehidupan (min ‘alamat al-hayah). Kalau sesuatu tidak bergerak
dan tidak bergeser dari posisinya yang semula, ia sama dengan mati atau adanya, sama dengan tidak
adanya (wujuduhu ka’adamih).
Ketiga, perubahan selalu membawa harapan pada keadaan yang lebih baik. Pergantian hari, bulan, dan
tahun baru menimbulkan harapan baru.
Begitu juga dengan pergantian pimpinan baru. Seluruh rakyat dan bangsa pasti berharap semoga kehidupan
membaik, lebih makmur, dan sejahtera.
Dakwah Nabi SAW dan hijrah yang dilakukannya, sesungguhnya merupakan bagian dari proses perubahan
ini, perubahan mental: dari kufur kepada iman, dari jahliah kepada Islam.
Sebagaimana firman Allah, “Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan
manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka.” (QS Ibrahim [14]:
1).
Rauf Syalabi, dalam Usus al-Takwin al-Mujatama’ al-Muslim, mencatat beberapa perubahan mental dan
kultural yang secara fundamental berhasil dilakukan Nabi SAW sebagai berikut.
Pertama, Nabi SAW mengubah bangsa Arab dari budaya pedang (kekerasan) kepada budaya perdamaian
(min al-sayf ila al-musalamah). Pedang merupakan simbol dari kekerasan yang menjadi watak kehidupan
bangsa Arab pra Islam.
Orang Madinah dari suku al-Aus dan al-Khazraj terus bertikai dan berperang satu dengan yang lain tanpa
kesudahan, sampai datang Islam (Nabi Muhammad SAW) mendamaikan mereka. (Baca QS Ali Imran [3]:
103).
Kedua, Nabi SAW mengubah cara penyelesaian masalah dengan kekuatan pada penyelesaian dengan
hukum atau undang-undang (min al-quwwah ila al-qanun).
Seperti diketahui, pada masa jahiliah, semua persoalan diselesaikan dengan otot alias adu kuat (hukum
rimba). Pasa masa Islam, setiap persoalan dibawa ke ranah hukum, diputuskan sesuai syariat dan hukum-
hukum Allah.
Ketiga, Nabi SAW mengubah budaya paganisme, syirik (politeisme) kepada paham Ketuhanan Yang Maha
Esa (min al-watsaniyah ila al-tauhid).
Bangsa Arab pra-Islam merupakan penyembah berhala. Di sekitar Ka’bah saja pada waktu itu terdapat tak
kurang dari 200-an patung, besar dan kecil.
Belum lagi di setiap rumah juga ada berhala yang mereka sembah. Nabi SAW berhasil mengubah mereka
menjadi muwahhid sejati, yaitu orang-orang yang menyembah hanya kepada Allah SWT semata.
Nabi SAW juga berhasil membangun keadilan dan kesetaraan gender, juga mengajarkan kepada mereka
adanya tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab sosial, bukan tanggung jawab kesukuan.
Apa yang dilakukan Nabi SAW di atas dapat disebut sebagai revolusi mental dan kultural dalam arti yang
sebenarnya. Revolusi yang dilakukan Nabi bersifat transformasional bukan transaksional dan universal
bukan partikular. Wallahu a’lam.