Volume 2 No 2 (2020)
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro
Jln. Prof. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah - 50275, Telp/fax: +6224 7474698
Email : hilmanaramadhan19@gmail.com
ABSTRAK
Pewarna sintetis dapat menimbulkan beberapa masalah lingkungan terutama pada limbah cair yang dihasilkan
selama proses pembuatan batik. Salah satu alternatif yang dapat digunakan sebagai pewarna kain batik adalah
rumput laut (Sargassum sp.). Ekstraksi zat warna dari rumput laut (Sargassum sp.) diberikan tiga macam perlakuan
ektraksi dengan konsentrasi rumput laut : air yaitu 1:15, 1:10, dan 1:5. Bahan pewarna untuk kontrol yaitu
menggunakan ekstrak pewarna dari mangrove (Rhizophora sp.). Konsentrasi yang digunakan pada kontrol yaitu
1:10 sesuai standar dalam pembuatan batik pewarna alam. Hasil pengujian beda warna kain menunjukkan bahwa
perbedaan konsentrasi zat pewarna Sargassum sp. berpengaruh terhadap nilai kecerahan dan arah warna kain.
Perbedaan konsentrasi zat warna berpengaruh terhadap tingkat ketuaan kain namun pada konsentrasi lebih tinggi,
kain mengalami kejenuhan untuk menyerap zat warna sehingga perubahan warna perlakuan B dengan C tidak
berbeda nyata. Hasil pengujian tahan luntur warna terhadap gosokan kering menunjukkan pada semua perlakuan
memberikan hasil nilai Staining Scale (SS) 4-5 dan pada gosokan basah menunjukkan nilai A yaitu 4-5, B dan C
yaitu 4 yang artinya semua perlakuan dalam kategori baik. Hasil pengujian tahan luntur warna terhadap sinar
matahari menunjukkan nilai nilai Grey Scale (GS) A yaitu 3-4 yang artinya cukup baik, sedangkan B, dan C yaitu
4 yang artinya nilai tersebut dalam kategori baik.
ABSTRACT
Synthetic dyes can cause several environmental problems, particularly the liquid waste produced during the batik
making process. Seaweed (Sargassum sp.) can be used as alternative dyes. Three treatments of dyes extract from
seaweed (Sargassum sp.) which follows: water with ratio 1:15, 1:10, and 1:5. The control used was dyes extract
from mangrove (Rhizophora sp.) with ratio 1:10 according to the standard of the natural dyes of batik. The dyeing
test results showed that the different dye concentrations of Sargassum sp. affected the brightness value and the
fabric’s color. The difference in the concentration of the dye affects the darkness level color of the fabric, but at
higher concentrations, the fabric is saturated to absorb the dye. Hence the color change in treatment B and C
were not significantly different. The results of the colorfastness test against dry rubbing showed that all treatments
give a Staining Scale (SS) value of 4-5 and on wet rubbing shows the A value which is 4-5, the B and the C Values
are 4, which means that all treatments are in a good category. The results of the colorfastness test to sunlight
showed the value of the Gray Scale (GS) A is 3-4, while B and C are 4, which means that they were in good
category.
42
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)
lingkungan atau ke badan air. Menurut Haji dan Sampel dicuci bersih menggunakan air tawar
Maryam (2020), semua tahapan pengolahan tekstil guna untuk menghilangkan kotoran dan sisa-sisa
mengonsumsi berbagai jenis bahan kimia, air dan garam yang masih melekat pada rumput laut. setelah
energi dalam jumlah besar sehingga menghasilkan rumput laut dicuci, selajutnya dilakukan proses
air limbah yang mengandung bahan kimia yang tidak penjemuran selama 48 jam hingga rumput laut
diinginkan dalam jumlah banyak. Hal ini didukung kering. Bagian yang digunakan untuk ekstraksi yaitu
oleh Berradi et al., (2019), bahwa kehadiran daun dan batang dari Sargassum sp.
pewarna tekstil dalam limbah cair yang dibuang oleh
industri tekstil ke dalam lingkungan akuatik dengan Pembuatan Ekstrak Pewarna Sargassum sp.
rendahnya tingkat biodegradabilitas dapat Metode ekstraksi warna dari (Sargassum sp.)
mengkibatkan konsekuensi ekologis seperti dilakukan berdasarkan Haerudin et al., (2017),
mengubah sifat lingkungan perairan karena dengan tiga macam perlakuan yaitu ektraksi zat
menghasilkan masalah yaitu estetika dan kesehatan warna dengan konsentrasi 1:15 (A), 1:10 (B), dan
seperti perubahan kualitas air, membuatnya beracun 1:5 (C) dengan perbandingan rumput laut : air adalah
karena menyebabkan alergi, dermatitis, iritasi kulit, 1:15 = 334 gram : 5 liter; 1 : 10 = 500 gram : 5 liter;
kanker dan mutasi pada manusia. Sekitar 60-70% dan 1:5 = 1 Kg : 5 liter.
pewarna azo bersifat toksik, karsinogenik, dan Rumput laut (Sargassum sp.) yang sudah
refraktori karena ketahanannya terhadap kerusakan dikeringkan kemudian digiling hingga menjadi
fisikokimia konvensional dan nonbiodegradabilitas. potongan-potongan kecil yang bertujuan
Penggunaan kembali pewarna alami mengoptimalkan proses ekstraksi. Setelah dilakukan
merupakan salah satu cara untuk meminimalisir penggilingan, Sargassum sp. ditimbang dengan berat
dampak pencemaran lingkungan. Banyak bahan sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan
yang berasal dari perairan yang memiliki potensi kemudian direbus ke dalam panci stainless yang
sebagai zat warna alam seperti contoh alga jenis sudah diisi air sebanyak 5 liter pada masing-masing
(Sargassum sp.). Menurut Rohim et al., (2019), jenis perlakuan dengan suhu 90-100ºC selama 2 jam.
senyawa-senyawa bioaktif yang dominan pada Hasil perebusan didinginkan kemudian disaring
Sargassum sp. yaitu florotanin, fukosantin, hingga didapatkan hasil ekstrak warna rumput laut
fukoidan, alginat, fukosterol, meroditerpenoid dan (Sargassum sp.) dan disimpan pada wadah yang
asam-asam fenolat. Hal ini diperkuat oleh Mansour telah diberi label masing-masing perlakuan.
(2018), bahwa pewarna alami organik yang dapat
digunakan sebagai pewarna tekstil yaitu Proses Mordanting Awal kain (Haerudin et al.,
mengandung struktur kimia indigoid, karotenoid, 2017)
flavonoid dan tannin. Larutan mordanting dibuat dengan melarutkan
Haerudin et al., (2017), telah melakukan 10 g tawas (Al2(SO4)3 ke dalam air (H2O) sebanyak
penelitian terhadap kain katun, menggunakan zat 1 liter dengan cara dipanaskan pada suhu 100º C
warna dari rumput laut (Gracillaria sp.). Pembatikan hingga tawas larut sempurna kemudian pemanasan
diawali dengan proses ekstraksi menggunakan air dihentikan. Kain katun dengan ukuran 100×200 cm
dengan cara bahan direbus, kemudian hasil ekstraksi selanjutnya direndam pada larutan tawas dan
diaplikasikan pada kain katun yang sebelumnya didiamkan selama 1 jam. Kain katun yang sudah
telah dilakukan proses mordanting. Proses direndam kemudian dijemur hingga kering.
pewarnaan kain dilakukan sebanyak 6 kali
pencelupan. Proses fiksasi dilakukan dengan cara Proses Pembatikan Kain (Haerudin et al., 2017)
memasukkan kain yang telah diwarna dengan tawas, Kain yang sudah dilakukan mordanting
kapur dan tunjung. kemudian dipotong masing-masing sampel dengan
ukuran 50x50 cm dan selanjutnya dilakukan
MATERI DAN METODE PENELITIAN pembatikan motif menggunakan bahan lilin dengan
Bahan dan Alat proses cap.
Bahan yang digunakan dalam pembuatan batik
dengan pewarna alami adalah rumput laut Proses Pewarnaan Kain
Sargassum sp. yang diperoleh dari UD. Rumput Laut Proses pewarnaan kain menurut Hasanudin et
Mandiri, pantai Gunung Kidul, Yogyakarta, buah al., (2011) yaitu kain dicelupkan ke dalam zat warna
mangrove Rhizophora sp. diperoleh dari Hutan kemudian dikeringkan sampai berkali-kali.
Mangrove Pantai Alam Indah Kota Tegal, kain katun Selanjutnya bahan dikeringkan tanpa dicuci.
primissima, air, tawas (Al2(SO4)3), tunjung (FeSO4) Langkah proses pewarnaan yaitu kain yang
dan lilin. Peralatan yang digunakan dalam penelitian sudah melalui proses mordanting dan pengecapan
adalah timbangan digital, Ember, panci, kompor, dilakukan pencelupan bolak-balik di kedua sisi kain
pengaduk, thermometer, dan gelas ukur. pada masing-masing konsentrasi zat warna. kain
yang sudah dilakukan pencelupan kemudian
Metode Penelitian ditiriskan dan dijemur dengan diangin-anginkan
Preparasi Sampel tanpa paparan sinar matahari. Prosedur pencelupan
tersebut dilakukan sebanyak 10 kali pengulangan.
43
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)
44
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)
45
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)
40 35,57±0,61d
70
59,09±0,64c
35 60
dengan larutan fiksasi. Selain itu, kandungan nilai tersebut masuk dalam kategori baik. Pada
alginate pada zat warna Sargassum sp. pengujian tahan luntur warna terhadap gosokan
mempengaruhi tingkat kejenuhan kain untuk basah menunjukkan nilai tertinggi pada perlakuan A
menyerap zat warna tersebut. Menurut penelitian dengan nilai Staining Scale (SS) 4-5 atau jika
Paryanto et al., (2017), bahwa kadar tannin dari buah dikonversi ke dalam nilai Color Difference (CD)
mangrove (Rhizophora stylosa) yang diektraksi memiliki rata-rata nilai 2,0 yang mana nilai tersebut
dengan pelarut air dengan perbandingan 1:10 yaitu dalam kategori baik. Hasil dari perlakuan Kontrol,
0,495%. Hal ini ditambahkan dengan pernyataan B, dan C memberikan hasil yang sama yaitu nilai
Pangestuti et al., (2017), bahwa rumput laut Staining Scale (SS) 4 jika dikonversi dalam nilai
Sargassum sp. yang diekstrak menggunakan pelarut Color Difference (CD) memiliki rata-rata nilai 4 di
polar menghasilkan kadar tannin 0,25%. mana nilai tersebut termasuk kategori baik. Semakin
rendah nilai Color Difference (CD) maka tingkat
Pengujian Tahan Luntur Warna Terhadap kekontrasan kain yang ternodai semakin kecil
Gosokan menunjukkan ketahanan luntur kain yang baik.
Hasil yang didapat dari pengujian tahan luntur Analisis yang dapat diberikan yaitu setelah
warna terhadap gosokan pada kain batik tersaji pada dilakukan penggosokan basah, pada perlakuan A
Tabel 1 dan 2. menghasilkan tingkat penodaan lebih baik yaitu
Tabel 1. Hasil Pengujian Tahan Luntur Warna tidak ada perubahan nilai antara gosokan kering
Terhadap Gosokan Kering dengan gosokan basah. Pada perlakuan Kontrol, B,
Gosokan Kering dan C mengalami penurunan nilai setelah dilakukan
Nilai gosokan basah. Menurut Chintya dan Budi (2017),
Perlakuan Staining Color ketahanan luntur zat warna terhadap gosokan basah
Keterangan mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan
scale Difference
(SS) (CD) dengan gosokan kering. Hal ini dikarenakan jika
K1 4-5 2,0 Baik serat kain terkena air akan menyebabkan
K2 4-5 2,0 Baik penggembungan pada serat sehingga molekul zat
K3 4-5 2,0 Baik warna akan mudah keluar saat penggosokan
A1 4-5 2,0 Baik sehingga ketahanan lunturnya lebih rendah.
A2 4-5 2,0 Baik Perlakuan A tidak mengalami perubahan nilai
A3 4-5 2,0 Baik disebabkan karena perbandingan antara jumlah zat
B1 4-5 2,0 Baik warna lebih rendah dibandingkan dengan zat fiksasi.
B2 4-5 2,0 Baik Perbedaan tersebut menyebabkan zat fiksasi lebih
B3 4-5 2,0 Baik optimal mengikat zat warna sehingga ketika proses
C1 4-5 2,0 Baik penggosokan, migrasi zat warna yang keluar dari
C2 4-5 2,0 Baik kain lebih sedikit.
C3 4-5 2,0 Baik
Tabel 2. Hasil Pengujian Tahan Luntur Warna Pengujian Tahan Luntur Warna Terhadap Sinar
Terhadap Gosokan Basah Matahari
Gosokan Basah Hasil yang didapat dari pengujian tahan luntur
Nilai warna terhadap sinar matahari pada kain batik tersaji
Perlakuan Staining Color pada Tabel 3.
Keterangan
scale Difference
(SS) (CD) Tabel 3. Hasil Pengujian Tahan Luntur Warna
K1 4 4,0 Baik Terhadap Sinar Matahari
K2 4 4,0 Baik Sinar Matahari
K3 4 4,0 Baik Nilai
A1 4-5 2,0 Baik Perlakuan Staining Color
Keterangan
A2 4-5 2,0 Baik scale Difference
A3 4-5 2,0 Baik (SS) (CD)
B1 4 4,0 Baik K1 4 1,5 Baik
B2 4 4,0 Baik K2 4 1,5 Baik
B3 4 4,0 Baik K3 4 1,5 Baik
C1 4 4,0 Baik A1 3-4 2,1 Cukup Baik
C2 4 4,0 Baik A2 3-4 2,1 Cukup Baik
C3 4 4,0 Baik A3 3-4 2,1 Cukup Baik
B1 4 1,5 Baik
Hasil pengujian tahan luntur warna terhadap B2 4 1,5 Baik
gosokan kering menunjukkan pada semua perlakuan B3 4 1,5 Baik
memberikan hasil nilai Staining Scale (SS) 4-5 atau C1 4 1,5 Baik
jika dikonversi ke dalam nilai Color Difference (CD) C2 4 1,5 Baik
memiliki rata-rata nilai yang sama yaitu 2,0 di mana C3 4 1,5 Baik
47
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)
Hasil pengujian tahan luntur warna terhadap Analisis yang dapat diberikan yaitu pada
sinar matahari menunjukkan pada perlakuan A pengujian ketuaan warna setelah dilakukan
memberikan nilai Grey Scale (GS) yaitu 3-4 atau penyinaran matahari mengalami kenaikan nilai jika
jika dikonversi ke dalam Color Difference (CD) nilai dibandingkan dengan nilai ketuaan sebelum
rata-rata yaitu 2,1 di mana nilai tersebut dalam dilakukan penyinaran. Kenaikan nilai tersebut
kategori cukup baik. Pada perlakuan Kontrol, B, dan membuktikan bahwa kain mengalami penurunan
C menunjukkan nilai Grey Scale (GS) yang sama ketuaan warna akibat dari sinar matahari. Namun
yaitu 4 atau jika dikonversi ke dalam Color penurunan ketuaan warna tersebut masih dalam
Difference (CD) nilai rata-rata yaitu 1,5 di mana nilai kategori kualitas yang baik. Hal ini dijelaskan oleh
tersebut dalam kategoti baik. Hal ini menunjukkan Nursid dan Dedi (2017), bahwa fukosantin termasuk
bahwa tingkat ketahanan luntur terhadap sinar dalam karotenoid yang sensitif terhadap cahaya.
matahari pada perlakuan A lebih rendah Karotenoid akan mengalami fotodegradasi dan
dibandingkan dengan perlakuan Kontrol, B, dan C. isomeriasi ketika terekspos oleh cahaya matahari
Ketahanan luntur terhadap sinar matahari pada sehingga menyebabkan terbentuknya singlet
perlakuan A lebih rendah dikarenakan pada oksigen. Cahaya juga dapat menyebabkan
konsentrasi zat warna yang rendah kadar tannin juga perubahan fukosantin menjadi senyawa lain yang
rendah, yang mengakibatkan sedikitnya tanin yang disebabkan oleh terjadinya oksidasi. Oksidasi ini
terserap ke dalam kain. Jumlah tanin yang sedikit sering menyebabkan pudarnya warna pigmen dan
pada kain akan mudah terdegradasi oleh kenaikan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
suhu dan paparan sinar matahari. Menurut Failisnur terbentuknya senyawa-senyawa aromatik tertentu.
dan Sofyan (2016), hampir 50% dari pewarna alami
untuk tekstil adalah senyawa flavonoid. Senyawa KESIMPULAN
flavonoid seperti tannin memiliki ketahanan luntur Hasil pengujian beda warna kain menunjukkan
warna terhadap sinar yang rendah. bahwa perbedaan konsentrasi zat pewarna
Sargassum sp. berpengaruh terhadap nilai kecerahan
Uji Ketuaan Warna Setelah Proses Uji TLW dan arah warna kain. Semakin tinggi konsentrasi zat
Sinar Matahari warna yang digunakan maka tingkat ketuaan kain
Hasil pengujian nilai ketuaan warna setelah semakin tinggi, namun pada perlakuan C dengan
proses uji Tahan Luntur Warna terhadap Sinar konsentrasi 1:5 akan mempengaruhi tingkat
Matahari tersaji pada Gambar 5. kejenuhan kain untuk menyerap zat warna sehingga
70 perubahan warna yang terjadi tidak signifikan.
d 60,25±0,15 Berdasarkan hasil pengujian tahan luntur warna
60 51,94±0,52c terhadap gosokan kering pada semua perlakuan
Nilai ketuaan (R%)
49,94±0,98b
50 menunjukkan nilai Staining Scale (SS) 4-5 (baik).
Nilai pengujian gosokan basah menunjukkan nilai
40
Staining Scale (SS) perlakuan A yaitu 4-5 (baik),
30 sedangkan perlakuan B dan C yaitu 4 (baik). Hasil
20 pengujian tahan luntur warna terhadap sinar
9,83±0,53a matahari menunjukkan pada perlakuan A
10 memberikan nilai Grey Scale (GS) yaitu 3-4 (cukup
0 baik), sedangkan B, dan C menunjukkan nilai yang
Kontrol A B C sama yaitu 4 (baik).
keterangan :
Kontrol : zat warna mangrove; A : konsentrasi DAFTAR PUSTAKA
1:15; B : konsentrasi 1:10; C : konsentrasi 1:5
Amalia, R dan Akhtamimi, I. 2016. Studi Pengaruh
Jenis Dan Konsentrasi Zat Fiksasi Terhadap
Gambar 5. Nilai Ketuaan Warna Kain Batik Setelah Kualitas Warna Kain Batik Dengan
Uji TLW Matahari Pewarna Alam Limbah Kulit Buah
Rambutan (Nephelium lappaceum).
Hasil yang didapat dari pengujian ketuaan Dinamika Kerajinan dan Batik, 33(2):85-
warna setelah proses uji tahan luntur warna terhadap 92.
sinar matahari menunjukkan pada perlakuan A Atika, V., Farida dan Pujilestari, T. 2016. Kualitas
menunjukkan hasil nilai ketuaan 60.25±0,15 yang Pewarnaan Ekstrak Gambir pada Batik
menunjukkan tingkat ketuaan warna paling rendah. Sutera. Dinamika Kerajinan dan Batik,
Perlakuan B menunjukkan hasil nilai 51.94±0,52 33(1):25-32
dan perlakuan C dengan hasil nilai 49.94±0,98 yang Badan Standarisasi Nasional. 2010. Standar
mana perlakuan C sedikit lebih tua dibandingkan Nasional Indonesia No. 105 B01:2010.
dengan perlakuan B. Pada perlakuan Kontrol Tekstil - Cara Uji Tahan Luntur Warna -
menunjukkan nilai 9.83±0,53 yang menunjukkan Bagian B01: Tahan Luntur Warna terhadap
tingkat ketuaan warna kain tertinggi dari semua Sinar: Sinar Terang Hari. Jakarta.
perlakuan.
48
Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Volume 2 No 2 (2020)
Badan Standarisasi Nasional. 2008. Standar Dikeringkan Dengan Sinar Matahari. JPB
Nasional Indonesia 0288:2008. Uji Kelautan dan Perikanan, 12(2):117-124.
ketahanan luntur warna terhadap gosokan Pangestuti, I. E., Sumardianto., dan Amalia, U.
(nilai penodaan warna). Badan 2017. Skrining Senyawa Fitokimia Rumput
Standardisasi Nasional. Jakarta. Laut Sargassum sp. dan Aktivitasnya
Berradi, M., Hsissou, R., Khudhair, M., Assouag, Sebagai Antibakteri Terhadap
M., Cherkaoui, O., El Bachiri, A., dan El Staphylococcus aureus dan Eschericia coli.
Harfi, A. 2019. Textile Finishing Dyes and Saintek Perikanan, 12(2): 98-102.
Their Impact on Aquatic Environs. Heliyon, Paryanto., Suri, A. K., dan Saputro, I. R. 2017.
5:1-11. Difusi dan Transfer Massa pada Ekstraksi
Chintya, N., dan Utami, B. 2017. Ekstraksi Tannin Tanin dari Buah Mangrove (Rhizophora
dari Daun Sirsak (Annona muricata L.) Stylosa). Jurnal Rekayasa Bahan Alam dan
sebagai Pewarna Alami Tekstil. Journal Energi Berkelanjutan, 1(2):42-48.
Cis-Trans (JC-T), 1(1):2549-6573. Pratista, I. M. I., Suhendra, L., dan Wrasiati, L. P.
Failisnur dan Sofyan. 2016. Pengaruh Suhu Dan 2017. Karakteristik Pewarna Alami Pada
Lama Pencelupan Benang Katun pada Ekstrak Sargassum polycystum dengan
Pewarnaan Alami Dengan Ekstrak Gambir Konsentrasi Pelarut Etanol dan Lama
(Uncaria gambir Roxb). Jurnal Litbang Maserasi Yang Berbeda. Jurnal Rekayasa
Industri, 6(1):25-37. Dan Manajemen Agroindustri, 5(4):51-60.
Haerudin, A., Pujilestari, T., dan Atika, V. 2017. Pujilestari, T. 2014. Pengaruh Ekstraksi Zat Warna
Pengaruh Jenis Pelarut Terhadap Hasil Alam dan Fiksasi Terhadap Ketahanan
Ekstraksi Rumput Laut Gracilaria sp. Luntur Warna pada Kain Batik Katun.
Sebagai Zat Warna Alam Pada Kain Batik Dinamika Kerajinan dan Batik, 31(1): 31-
Katun dan Sutera. Dinamika Kerajinan dan 40.
Batik, 34(2):83-92. Pujilestari, T., Farida., Pristiwati, E., Atika, V., dan
Hasanudin, M., Widjiyanti., Sumardi., Mudjini., Haerudin, A. 2016. Pemanfaatan Zat Warna
Setioleksono, H., dan Pamungkas, W. 2011. Alam Dari Limbah Perkebunan Kelapa
Penelitian Penerapan Zat Warna Alam dan Sawit Dan Kakao Sebagai Bahan Pewarna
Kombinasinya pada Produk Batik dan Kain Batik. Dinamika Kerajinan dan Batik,
Kerajinan. Balai Besar Kerajinan dan Batik. 33(1):1-8.
Yogyakarta. Punrattanasin, N., Nakpathom, M., Somboon, B.,
Haji, A., dan Naebe, M. 2020. Cleaner Dyeing of Narumol, N., Rungruangkitkrai, N., dan
Textiles Using Plasma Treatment and Mongkholrattanasit, R. 2013. Silk fabric
Natural Dyes: A Review. Journal of dyeing with natural dye from mangrove
Cleaner Production, 265:1-13. bark (Rhizophoraapiculata blume) extract.
Kadir, A. M. I., Ahmad, M. R., Ismail, A., dan Industrial Crops and Products, 49:122–
Jabbar, H. A. 2016. Investigations on the 129.
Cytotoxicity, Neurotoxicity and Dyeing Rohim, A., Yunianta., dan Estiasih, T. 2019.
Performances of Natural Dye Extracted Senyawa-Senyawa Bioaktif pada Rumput
from Caulerpa lentillifera and Sargassum Laut Cokelat Sargassum sp.: Ulasan Ilmiah.
sp. Seaweeds. Advances in Applied Jurnal Teknologi Pertanian, 20(2):115-
Sciences, 1(3):46-52. 126.
Kartikasari, E. dan Susiati, Y. T. 2016. Pengaruh Sari, L. O. 2013. Penerapan CIELab dan Chaos
Fiksator pada Ekstrak Daun Mangga Dalam sebagai Cipher pada Aplikasi Kriptograi
Pewarnaan Tekstil Batik Ditinjau dari Citra Digital. Jurnal Rekayasa Elektrika,
Ketahanan Luntur Warna Terhadap 10(3):131-137.
Keringat. Jurnal Sciencetech, 2(1): 136- Suhendra, L., Raharjo, S., Hastuti, P., dan Hidayat,
143. C. 2014. Stabilitas Mikroemulsi
Nursid, M., dan Noviendri, D. 2017. Kandungan Fucoxanthin dan Efektifitasnya dalam
Fukosantin dan Fenolik Total pada Rumput Menghambat Foto Oksidasi Vitamin C
Laut Coklat Padina australis yang Pada Model Minuman. Agritech,
34(2):138-145.
49