Anda di halaman 1dari 36

HARGA DIRI RENDAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

Keperawatan Jiwa 1

Dosen Pengampu : Ns.Duma Lumban Tobing, M. Kep, Sp. Kep. J

Disusun Oleh :

Heni Lestari – 011 Desiana – 038 Dinda – 089 Salbila Safa A - 018

Defina Ramandhani - 012 Hillalia – 046 Shintya - 092 Sarah Nurul I.M -132

Ariyana Pramitha – 013 Fenny A - 077 Sherin – 095 Febby Fereza - 135

Jesy Milanti – 021 Refiana G - 083 Jesica – 098 Anggi Dwi P -136

Isfia – 031 Siti Luthfia A – 084 Arlia – 099 Refany S - 146

Dwi Arini – 034 Annisa H – 087 Rismayanti - 100

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

2019
1. Pengertian
Konsep diri adalah penilaian subjektif individu terhadap dirinya, perasaan sadar
atau perasaan tidak sadar dan persepsi terhadap fungsi, peran, dan tubuh(Kusumawati,
2011). Konsep diri terdiri dari semua nilai-nilai, keyakinan dan ide-ide yang
berkontribusi terhadap pengetahuan diri dan memengaruhi hubungan seseorang dengan
orang lain, termasuk persepsi seseorang tentang karakteristik dan kemampuan pribadi
serta tujuan dan cita-cita seseorang. Konsep diri terbentuk dari pengalaman internal
seseorang, hubungan dengan orang lain, dan interaksi dengan dunia luar.
Harga diri adalah penilaian harga diri seseorang, berdasarkan seberapa baik
perilakunya cocok dengan ideal diri (Stuart dan Sudeen). Harga diri adalah menerima diri
apa adanya, yang berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya layak, mampu dan
berguna dalam segala hal yang telah,sedang dan yang akan terjadi dalam
hidupya(Bencht,2009). Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan perasaan tentang
diri atau kemampuan diri yang negative terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan
harga diri, merasa gagal dalam mencapai keinginan(Herman, 2011). Harga diri rendah
dapat juga digambarkan sebagai perasaan negative terhadap diri sendiri termasuk
hilangnya percaya diri dan harga diri.
Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicintai
dan menerima penghargaan dari orang lain, selain juga dipengaruhi oleh seberapa sering
seseorang mencapai tujuan secara langsung memengaruhi perasaan kompeten (harga diri
tinggi) atau rendah diri (harga diri rendah). Harga diri rendah dapat terjadi secara :
1. Situasional (trauma)
Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus dioperasi, kecelakaan, dicerai
oleh suami, putus sekolah,PHK, perasaan malu karena sesuatu(korban perkosaan,
dituduh KKN,dipenjara tiba-tiba).
2. Kronik
Perasaan negative terhadap diri telah berlangsung lama sebelum penyakit
dirawat. Klien mempunyai car berpikir yang negative, sehingga kejadian sakit dan
dirawat akan menambah persepsi negative pada dirinya. Kondisi ini dapat
ditemukan pada klie gangguan fisik yang kronis atau pada klien gangguan jiwa.
2. Etiologi

a. Perkembangan individu yang meliputi

1. Adanya penolakan dari orang tua, sehingga anak merasa tidak dicintai


kemudian dampaknya anak gagal mencintai dirinya dan akan gagal pula untuk
mencintai orang lain.
2. Kurangnya pujian dan kurangnya pengakuan dari orang- orangtuanya atau orang tua
yang penting dekat dengan individu yang bersangkutan.
3. Sikap orangtua over protecting, anak merasa tidak berguna, orang tua atau orang
terdekat sering mengkritik serta merevidasikan individu.
4. Anak menjadi frustasi, putus asa merasa tidak berguna dan merasa rendah diri. 

b. Ideal diri
1. Individu selalu dituntut untuk berhasil.
2. Tidak mempunyai hak untuk gagal dan berbuat salah.
3. Anak dapat menghakimi dirinya sendiri dan hilangnya rasa percaya diri.

c. Gangguan Fisik dan mental salah satu anggota keluarga sehingga keluarga merasa malu


dan rendah diri.

d. Pengalaman traumatic berulang seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau


menyaksiakan kejadian yang mengancam kehidupan, aniaya fisik, kecelakaan, bencana
alam dan perampokan

3. Rentang Respon Harga Diri Rendah

Konsep diri terdiri atas lima komponen yaitu perubahan dalam citra tubuh, ideal diri,
harga diri, peran dan identitas. Rentang individu terdapat konsep diri berfluktuasi sepanjang
rentang respons konsep diri yaitu adaptif sampai maladaptif.
1. Aktualisasi diri : Pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar belakang
pengalaman nyata dan sukses diterima.
2. Konsep diri positif : Apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dalam
perwujudan dirinya atau beraktualisasi diri.
3. Harga diri rendah : Transisi antara respon konsep diri adaptif dengan konsep diri
maladaptif. Harga diri rendah dapat berupa perasaan negatif terhadap diri sendiri,
termasuk kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga, tidak berdaya, pesimis.
4. Kerancuan identitas : Kegagalan individu untuk mengintegrasikan berbagai aspek
identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikososial kepribadian dewasa
yang harmonis.
5. Dipersonalisasi : Perasaan tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri yang
berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan dirinya
dengan orang lain.

4. Pengkajian
1. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia (2005) faktor predisposisi adalah faktor resiko yang
dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sumber resiko yang dapat menyebabkan individu
mengalami stres. Faktor ini meliputi biologis, psikologis dan sosial budaya.
a. Faktor Biologis
Faktor predisposisi biologis meliputi riwayat genetik, status nutrisi, status
kesehatan secara umum, sensitivitas biologi, dan terpapar racun (Stuart & Laraia, 2005).
Faktor biologis berupa riwayat genetik (keturunan) di dalam keluarga, seperti
kelainan/cacat fisik bawaan, ukuran tubuh, penampilan, dan sebagainya (Driever, 1976
dalam Townsend, 2009). Riwayat cedera/trauma yang menyebabkan kerusakan jaringan
otak khususnya di daerah frontal, temporal dan limbik dapat menjadi faktor prediposisi
terjadinya harga diri rendah.
Faktor biologis terjadinya harga diri rendah situasional dapat berasal penyakit
fisik yang menahun, riwayat perilaku kesehatan yang buruk, riwayat masuk rumah sakit
berulang dan riwayat putus obat (Stuart, 2009). Semua hal tersebut dapat menyebabkan
gangguan metabolisme dalam tingkat jaringan bahkan sampai ke dalam tingkatan sel
tubuh manusia termasuk sel-sel saraf (Smeltzer dkk, 2008; Townsend, 2009). Hal ini
dapat mengakibatkan kerusakan pada lobus frontal dan sistem limbik.
Kerusakan pada lobus frontal akan dapat menyebabkan gangguan berfikir dan
ketidakmampuan dalam mengontrol emosi sehingga respon kognitif pasien yaitu menilai
secara negatif tentang diri, orang lain dan lingkungan serta berperilaku yang maladaptif
sebagai akibat cara berpikir yang negatif (Townsend, 2009). Semua hal tersebut
merupakan tanda dan gejala dari harga diri rendah situasional.
Kerusakan sistem limbik juga dapat terjadi akibat penyakit fisik yang dialami pasien.
Kerusakan sistem limbik menimbulkan beberapa gejala klinik seperti hambatan emosi
dan perubahan kepribadian (Kaplan, dkk., 2005). Selain itu adanya ketidakseimbangan
zat kimiawi dalam otak (neurotransmiter) seperti serotonin, norepineprin, dopamin dan
asetilkolin juga dapat menyebabkan terjadinya perilaku harga diri rendah (Copel, 2007).
Perilaku ini tampak jelas pada pasien harga diri rendah, dimana pada otak terjadi
ketidakseimbangan neurotransmiter yaitu penurunan kadar serotonin yang akan
menyebabkan gangguan kognitif yang dapat memunculkan distorsi kognitif atau pikiran
negatif tentang diri sendiri. Selain itu, dapat juga terjadi penurunan semangat untuk
melakukan aktivitas dimana kedua hal tersebut dapat terlihat pada pasien dengan harga
diri rendah situasional.
b. Faktor psikologis
Harga diri seseorang dapat berkembang kearah positif maupun negatif yang
dipengaruhi oleh respon orang lain terhadap individu dan bagaimana individu tersebut
mempersepsikan respon-respon tersebut (Driever, 1976 dalam Townsend, 2009).
Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi konsep diri menurut Teguh Purwanto
(2015) adalah sebagai berikut :
1) Faktor yang memengaruhi harga diri
Meliputi penolakan orangtua, harapan orangtua tidak realistis, kegagalan yang
berulang, kurang mempunyai tanggung javab personal, ketegantungan pada orang
lain, dan ideal diri yang tidak realistis.
2) Faktor yang memengaruhi peran
Di masyarakat umumnya peran seseorang sesuai dengan jenis kelaminnya. Misalnya,
seorang wanita dianggap kurang mampu, kurang mandiri, kurang objektif dan
rasional, sedangkan pria dianggap kurang sensitif, kurang hangat, kurang ekspresif
dibanding wanita. Sesuai dengan standar tersebut, jika wanita atau pria berperan
tidak sesuai lazimnya, maka dapat menimbulkan konflik diri maupun hubungan
sosial. Misal: seorang istri yang berperan sebagai kepala rumah tangga atau seorang
suami yang mengerjakan pekerjaan rumah, akan menimbulkan masalah. Konflik
peran dan peran tidak sesuai muncul dari faktor biologis dan harapan masyarakat
terhadap wanita atau pria. Peran yang berlebihan muncul pada wanita mempunyai
sejumlah peran.
3) Faktor yang memengaruhi identitas diri
Meliputi ketidakpercayaan, tekanan dari teman sebaya dan perubahan struktural
sosial. Orangtua yang selalu curiga pada per anak akan menyebabkan anak menjadi
kurang percaya diri, ragu daam mengambil keputusan dan dihantui rasa bersalah
ketika akan melakukan sesuatu. Kontrol orangtua yang berat pada anak remaja akan
menimbulkan perasaan benci pada orangtua. Teman sebaya merupakan faktor lain
yang berpengaruh pada identitas. Remaja ingin diterima, dibutuhkan, dan diakui oleh
kelompoknya.

Selain hal di atas, kehilangan juga dapat mempengaruhi harga diri. Kehilangan
adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
kemungkinan menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert &
Lambert, 1985 dalam Viedebeck, 2008). Respon kehilangan dipengaruhi oleh respon
individu terhadap kehilangan sebelumnya.
Pasien dengan penyakit fisik biasanya mengalami kehilangan terkait dengan
kehilangan aspek diri (biopsikososial) yang disebabkan karena kehilangan fungsi tubuh
(biologis) yang berakibat pada kehilangan peran sosial (pekerjaan, kedudukan). Sehingga
jika pasien tidak mampu beradaptasi terhadap proses kehilangan ini akan mengakibatkan
munculnya masalah psikososial yaitu depresi. Dimana salah satu diagnosa keperawatan
dari diagnosa medis depresi ini adalah harga diri rendah situasional maupun kronis,
tergantung dari waktu dan lamanya individu tersebut mengalaminya.
Respon individu yang sedang mengalami kehilangan akan mengalami proses
berduka. Dengan memahami fenomena kehilangan yang pasien alami, perawat dapat
meningkatkan ekspresi dan bersimpati atas masalah emosional dan masalah penyakit fisik
sehingga dapat mendukung proses berduka tersebut.
c. Faktor sosial budaya
Faktor predisposisi sosial budaya meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan,
pendapatan, pekerjaan, status sosial, pengalaman sosial, latar belakang budaya, agama
dan keyakinan, serta kondisi politik (Stuart & Laraia, 2005). Stuart (2009) menyatakan
faktor lingkungan sosial dan budaya juga memegang peran dalam perkembangan harga
diri seseorang.
Individu yang mengalami harga diri rendah disebabkan karena ketidaksesuaian atau
gangguan dalam penampilan peran, seperti tuntutan peran dalam pekerjaan, konflik
peran, kondisi ekonomi dan sebagainya.
Menurut Townsend (2009) harapan peran budaya, tekanan dari kelompok sebaya dan
perubahan dalam struktur sosial juga merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
harga diri. Pendidikan dapat dijadikan tolak ukur kemampuan seseorang berinteraksi
dengan orang lain secara efektif (Stuart & Laraia, 2005). Faktor pendidikan
mempengaruhi kemampuan seseorang menyelesaikan masalah yang dihadapi.

2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi adalah stimulus (sressor) yang merubah atau menekan sehingga
memunculkan gejala saat ini (Stuart & Laraia, 2005). Faktor ini meliputi empat hal yaitu sifat
stresor, asal stresor, waktu stresor yang dialami, dan banyaknya stresor yang dihadapi oleh
seseorang. Stresor pada orang yang dirawat didapat dari proses penyakit dan hospitalisasi
(Cohen, 2000 dalam Stuart, 2009). Stresor presipitasi ini bisa saja telah dialami dalam waktu
yang lama oleh pasien sehingga pasien kehilangan kemampuan untuk mengatasi faktor
pencetus tersebut.
Stuart (2009) menyatakan bahwa stresor presipitasi atau faktor pencetus terjadinya
harga diri rendah adalah trauma, seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau
menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupan, dan ketegangan peran berhubungan
dengan atau posisi yang diharapkan, dimana individu mengalaminya sebagai frustasi
Faktor pencetus terjadinya harga diri rendah pada pasien dengan penyakit fisik adalah
karena ketegangan peran, yaitu transisi peran sehat sakit yang diakibatkan pergeseran dari
keadaan sehat ke keadaan sakit yang dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh, perubahan
ukuran, bentuk, penampilan dan fungsi tubuh serta perubahan fisik berhubungan dengan
tumbuh kembang normal, prosedur medis dan keperawatan, sehingga pasien merasakan
adanya kehilangan fungsi tubuh.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan faktor presipitasi munculnya harga diri
rendah situasional pada pasien dengan penyakit fisik dapat perubahan kondisi tubuh akibat
penyakit yang diderita dan prosedur medis yang dialami pasien sehubungan dengan
penyakitnya yang ini merupakan bagian dari stresor biologis. Untuk stresor sosial yaitu
karena hospitalisasi yang dapat mengakibatkan hubungan pasien dengan lingkungan menjadi
terganggu selain itu biaya yang harus ditanggung pasien selama dirawat di rumah sakit,
gangguan peran sedangkan stresor psikologis yang dapat muncul yaitu kesedihan ataupun
kecemasan pasien menghadapi proses penyakit dan hubungan sosial yang terganggu. Stresor-
stresor tersebut membuat pasien merespon yang akhirnya memunculkan masalah
keperawatan harga diri rendah.
Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi yang dhadapi individu
dan ia tidak mampu menyesuaikan. Situasi atas stresor dapat memengaruhi komponen.
Stresor yang dapat memengaruhi gambaran dirl adalah hilangnya bagian tubuh, tindakan
operasi, proses patologi penyakit, perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses tumbuh
kembang, prosedur tindakan dan pengobatan. Sedangkan stresor yang dapat memengaruhi
harga diri dan ideal diri adalah penolakan dan kurang penghargaan diri dari orangtua yang
berarti, pola asuh yang tidak tepat, misalnya terlalu dituntut, dituruti, persaingan dengan
saudara, kesalahan dan kegagalan berulang, cita-cita tidak terpenuhi dan kegagalan
bertanggung jawab terhadap diri.
Sepanjang hidup individu sering menghadapi transisi peran. Ada 3 jenis transisi peran
yang dapat menyebabkan ketegangan peran (Stuart, 2009), yaitu:

a. Transisi perkembangan
Setiap perkembangan dapat menimbulkan ancaman pada identitas. Tiap tahap
harus dilalui dengan menyelesaikan tugas perkembangan yang berbeda-beda. Hal ini
dapat merupakan stresor bagi konsep diri.
b. Transisi situasi
Terjadi sepanjang kehidupan, bertambah atau berkurang orang yang berarti karena
kelahiran atau kematian, misalnya status sendiri menjadi berdua atau menjadi orangtua.
Perubahan status menyebabkan perubahan peran yang dapat menimbulkan ketegangan
peran yaitu konflik peran, peran yang tidak jelas atau peran yang berlebihan.
c. Transisi sehat-sakit
Stresor pada tubuh dapat menyebabkan gangguan gambaran diri dan berakibat
perubahan konsep diri. Perubahan tubuh dapat memengaruhi semua komponen konsep
diri yaitu gambaran diri, identitas diri, peran dan harga diri.

3. Penilaian stressor atau tanda dan gejala


Tanda dan gejala yang muncul pada klien dengan harga diri rendah meliputi:

1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan terhadap
penyakit.
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri.
3. Merendahkan martabat.
4. Gangguan hubungan sosial
5. Percaya diri kurang.
6. Mencederai diri.
APLIKASI PENGKAJIAN TERHADAP KASUS 1

Kasus: Harga Diri Rendah

Seorang perempuan usia 35 tahun dirawat di ruang bedah dengan diagnosa medis Ca.servix
stadium 3b. Perawat melakukan pengkajian 2 hari setelah operasi dan hasilnya pasien sedih,
lebih banyak diam, merasa putus asa, kadang menghindar kontak mata dan mengatakan karena
dirinya tidak berguna lagi sebagai perempuan dan tidak bisa mempunyai keturunan, tidak punya
harapan untuk bisa menikah, merasa tidak ada seorang laki-laki yang bersedia menjadi suaminya.

A. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari
pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan
melalui data biologis , psikologis, social dan spiritual. (Keliat, Budi Ana, 1998 : 3 )
Adapun isi dari pengkajian tersebut adalah :
1. Identitas klien
Nama : Nn. Y
No. rekam medic : 26.27.28
Usia : 35 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Status marital : belum menikah
Pekerjaan : tidak bekerja
Suku : Sunda
Alamat : Gang Mushola RT.01/12 Gunung Batu - Bogor barat
Tanggal masuk RS : 27 April 2019
Tanggal pengkajian : 1 Mei 2019
Diagnosa Medis : Ca. Serviks stadium 3b

2. Alasan masuk RS
Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 27 April dengan diagnosa medis Ca. Servik
stadium 3b dan dijadwalkan melakukan operasi pada tanggal 28 April.

3. Faktor predisposisi
a. Faktor Biologis
 Riwayat penyakit fisik : Pasien menderita Ca. Serviks stadium 3b, didiagnosa
terkena penyakit tersebut sejak satu tahun yang lalu.
 Riwayat penyakit keturunan di keluarga : tidak ada
 Terpapar zat kimia/radiasi : tidak ada
 Riwayat merokok : tidak ada
b. Faktor Psikologis
 Faktor yang mempengaruhi harga diri : Pasien sedih dan merasa putus asa,
karena penyakit yang ia derita ia tidak bisa memiliki keturunan dan merasa tidak
akan ada laki-laki yang mau menjadi suaminya nanti.
 Faktor yang mempengaruhi peran : akibat penyakitnya pasien merasa kehilangan
perannya sebagai perempuan, dirinya tidak berguna lagi sebagai perempuan
karena tidak bisa mempunyai keturunan, tidak punya harapan untuk bisa
menikah dan menjadi seorang istri, karena ia merasa tidak ada seorang laki-laki
yang bersedia menjadi suaminya.
 Faktor yang mempengaruh identitas : akibat penyakitnya, identitas pasien
sebagai perempuan terganggu, karena ia merasa tidak bisa memberi keturunan
lagi.
c. Faktor Sosial Budaya
Pasien berasal dari kalangan ekonomi menengah kebawah, belum menikah,
pendidikan terakhir SLTA, berasal dari suku sunda, pasien nampak agak menutup
diri dengan menghidari kontak mata saat berkomunikasi.

4. Factor presipitasi
a. Transisi perkembangan :
 Pasien terlihat sedih
 Pasien lebih banyak diam
 Pasien merasa putus asa
 Pasien terkadang menghindari kontak mata
b. Transisi Situasi
 Pasien mengatakan karena dirinya tidak berguna lagi sebagai perempuan dan
tidak bisa mempunyai keturunan,
c. Transisi sehat - sakit
 Pasien tidak punya harapan untuk bisa menikah, merasa tidak ada seorang laki-
laki yang bersedia menjadi suaminya.

5. Penilaian terhadap stressor

a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan terhadap
penyakit.
 Pasien menghindar kontak mata dan mengatakan dirinya tidak berguna lagi
sebagai perempuan dan tidak bisa mempunyai keturunan.
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri.
 Pasien mengatakan tidak bisa mempunyai keturunan
c. Merendahkan martabat.
 Pasien mengatakan tidak bisa mempunyai keturunan, tidak punya harapan untuk
bisa menikah, merasa tidak ada seorang laki-laki yang bersedia menjadi
suaminya.
d. Gangguan hubungan sosial.
 Pasien merasa sedih, lebih banyak diam, merasa putus asa.
e. Percaya diri kurang.
 Pasien sukar mengambil keputusan, misalnya tentang memilih alternatif tindakan.
f. Mencederai diri.
 Akibat harga diri rendah disertai harapan yang suram, seperti tidak bisa
mempunyai keturunan, tidak punya harapan bisa menikah. Pasien merasa putus
asa.

3. Sumber koping

Sumber koping

Sumber koping merupakan pilihan atau strategi yang dapat membantu menentukan apa
yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah. Sumber koping meliputi aset ekonomi,
kemampuan dan ketrampilan, teknik pertahanan diri, dukungan sosial, dan motivasi (Stuart &
Laraia, 2005). Pengetahuan dan kemampuan akan memampukan seseorang dalam melihat
masalahnya dari sudut pandang yang berbeda sehingga mampu mencari solusi yang tepat.
1. Kemampuan individu (personal ability)
Kemampuan personal adalah kemampuan yang dimiliki oleh klien dalam mengatasi
masalah (Stuart, 2009). Pengetahuan yang dimiliki akan membuat individu mampu
melihat masalahnya dengan cara yang berbeda pada saat menghadapi sesuatu yang sulit.
Kemampuan klien dapat dilihat dari aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Kemampuan personal yang harus dimiliki oleh pasien untuk mengatasi harga diri
rendah situasionalnya adalah kemampuan mengidentifikasi aspek positif yang dimiliki
dan memilih aspek positif yang bisa dilatih, mampu melatih aspek positif tersebut.
Selain itu, pasien juga harus mampu mengidentifikasi pikiran negatif yang muncul dan
pasien mampu melawan pikiran negatif dengan pikiran rasional. Kemampuan tersebut
dapat digunakan oleh pasien untuk mengatasi rasa rendah dirinya sehubungan dengan
penyakit fisik yang diderita. Sumber koping yang terakhir adalah keyakinan diri yang
positif sehingga dapat meningkatkan harapan dan mempertahankan usaha seseorang
untuk melakukan koping atau pemecahan masalah (Stuart, 2009)
2. Dukungan sosial ( Social Support)
Dukungan dapat berupa dari individu lain yanh berasal dari keluarga, dari kelompok
atau masyarakat, termasuk para perawat ruangan yang ada (Stuart,2009). Dukungan
keluarga akan membuat klien tidak merasa sendiri. Bila dukungan sosial tidak adekuat,
klien dapat merasa sendiri dan sulit menghadapi stressor ( Friedman, 2010).
3. Ketersediaan materi ( Material Asset)
Pada aspek material terbagi menjadi dua, yaitu finansial dan ketersediaan pelayanan
kesehatan. Dukungan finansial merupakan ketersediaan dana yang dimiliki oleh klien
untuk membantu dalam perawatan sehari-hari. Status ekonomi yang adekuat merupakan
sumber koping dalam menghadapi situasi yang penuh dengan stress (Townsend, 2009).
Pelayanan kesehatan baik primee maupun sekunder sangat dibutuhkan oleh klien yang
sakit.
Aset ekonomi terkait dengan uang dan pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh
seeorang untuk mengatasi masalahnya, sedangkan dukungan sosial memfasilitasi
pemecahan masalah dengan melibatkan orang terdekatnya. Dukungan sosial yang harus
dimiliki oleh pasien adalah memiliki care giver utama, care giver merupakan salah satu
anggota keluarga inti pasien, care giver mengetahui cara merawat pasien, care giver
mampu melakukan cara perawatan pasien. Aset materi yang bisa digunakan sumber
koping oleh pasien harga diri rendah situasional.
4. Keyakinan positif ( Positive Belief)
Keyakinnan positif adalah keyakinan terhadap tenaga kesehatan, keyakinan tentang
kemampuan menghadapi masalah, keyakinan bahwa perilaku dapat diubah dan
keyakinan terhadap pelayanan kesehatan . Keyakinan harus dikuatkan untuk
membentuk keyakinan positif (Stuart, 2009).
Sumber koping yang ada pada kasus
1. Kempampuan individu
Pada kasus, sumpBer koping daari kemampuan individu pasien tidak ada karena
pasien merasa putus asa dan merasa tidak berguna lagi sebagai perempuan dan tidak
bisa mempunyai keturunan, tidak punya harapan untuk bisa menikah, merasa tidak
ada seorang laki-laki yang mau menikahi dirinya karena penyakit Ca cerviks yang
dihadapinya. Klien tidak mampu melihat sisi positif dari apa yang dihadapinya.
Serta komsep diri klien sudah buruk mengenai dirinya. Maka peran perawat adalah
membantu klien memingkatkan harga diri klien.
2. Dukungan sosial
Tidak ada sukungan sosial pada klien di kasus. Maka peran perawat adalah menjadi
sumber koping pasien dengan selalu berada di sisi pasien serta memberikan
perawatan dan dukungan pada pasien.
3. Ketersediaan materi
Ketersediaan materi pada kasus di atas tidak disebutkan.
4. Keyakinan positif
Bantu pasien meeasa yakin bahwa hidupnya berharga dan dirinya pun berharga.
Yakinkan pasien dengan memberikan asuhan keeperawatan dengan sebaik-baiknya
agar pasien mampu mengubah konsep dirinya menjadi lebih berharga. Bahwa
hidupnya masih akan terus berjalan dan penyakitnya tersebut tidak bisa membuat
hidpnya berhenti sampai saat ini saja.
4. Mekanisme Koping
1. Pertahanan Jangka Pendek
Mekanisme koping ini digunakan untuk menghadapi ansietas dan ketidakpastian
kebingungan identitas. Empat kategori pertahanan jangka pendek:
1) Memberikan pelarian sementara dari krisis identitas.
Kategori pertama dari pelarian sementara meliputi kegiatan yang sepertinya
memberikan pengalaman langsung yang kuat. Contohnya pengalaman berobat,
konser musik rock yang keras, olahraga, dan menonton televisi.
2) Memberikan identitas pengganti sementara.
Kategori identitas pengganti sementara berasal dari menjadi “joiner”; identitas
klub, tim, gerakan, atau kelompok mungkin berfungsi sebagai dasar untuk definisi
diri.
3) Sementara memperkuat atau meningkatkan rasa membaur dengan diri.
Kategori ketiga pertahanan meliuti konfrontasi atau menantang sesuatu untuk
merasa lebih hidup. Kegiatan kompetitif, seperti olahraga, prestasi akademik
masuk ke dalam kategori ini.
4) Mewakili upaya jangka pendek untuk membuat identitas diri berarti dan
pembauran identitas untuk menegaskan bahwa makna hidup itu sendiri tidak
berarti.
Kategori terakhir mencoba untuk merancang sebuah identitas dari hidup yang
tidak bermakna. Hal ini membantu menjelaskan mengapa orang memanjakan diri
dengan kegairahan akan mode yang tampak tidak berarti bagi orang lain.
Kekuatan komitmen belaka yang merupakan upaya untuk mengubahnya menjadi
sesuatu yang berarti.
2. Pertahanan Jangka Panjang
Salah satu pertahanan jangka pedek mungkin dikembangkan menjadi pertahanan
jangka panjang yang menghasilkan perilaku maladaptif. Pertahanan maladaptif adalah
pembentukkan identitas negatif yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat.
Dalam hal ini orang mencoba untuk mendefinisikan diri dengan cara antisosial.
Pilhan identitas negatif adalah upaya untuk memperahankan beberapa penguasaan
situasi dimana identitas positif tampaknya tidak mungkin.
3. Mekanisme Pertahanan Ego
Mekanisme ini untuk melindungi diri dari kekurangan sendirinya. Mekanisme yang
khas termasuk fantasi, disosiasi, mengubah kemarahan terhadap diri, dan acting out.

Mekanisme koping sesuai dengan kasus :

1. Memberikan pelarian sementara dari krisis identitas.


Disini perawat bisa mengalhkan klien ke aktivitas aktivitas positif seperti olahraga,
melakukan hal – hal yang disukai klien
2. Mekanisme Pertahanan Ego
Karena pasien merasa dirinya banyak kekurangan seperti tidak berguna sebagai
perempuan, tidak bisa hamil, tidak punya harapan untuk menikah, serta merasa tidak ada
laki – laki yang mau jadi pendampingnya. Perawat harus meyakinkan pasien untuk
memkirkan / melindungi dirinya dari kekurangan tersebut seperti mengubah pemikiran
tersebut menjadi lebih positif, seperti mencari laki – laki yang menerima apa adanya, bisa
mengadopsi anak

5. Diagnosa Keperawatan
 Ca Serviks Stadium 3b.
Pasien sedih,lebih banyak diam, merasa putus asa, kadang menghindar kontak mata. Mengatakan
dirinya tidak berguna lagi sebagai perempuan, tidak bisa mempunyai lagi keturunan, tidak punya
harapan untuk bisa menikah, tidak ada seorang lelaki yang bersedia menjadi suaminya.

 Respon Psikologis pada wanita penderita Ca Serviks : kesedihan,harga diri rendah,


kepasrahan
 Dari hasil pengkajian psikologis :
- Tingkat emosi : sedih, menarik diri/mengindar kontak mata
- Pola koping : pendiam
- Pengkajian sosial : isolasi sosial, perubahan fungsi dan peran/mengatakan dirinya tidak
berguna lagi sebagai perempuan, koping tidak efektif
- Pengkajian spiritual : merasa putus asa, tidak punya harapan untuk bisa menikah.

 Pohon Masalah
Risiko isolasi sosial : Risiko perilaku kekerasan
Menarik diri

Gangguan koping diri :

1. Harga diri rendah : kronis


2. Gangguan citra tubuh
3. Penampilan peran

Koping keluarga tidak efektif

 DIAGNOSA
- DX: PSIKOLOGIS
a) Koping individu tidak efektif b/d Harga diri rendah
kanker dapat menyebabkan harga diri rendah karena perubahan dalam pengalaman
tubuh, konsep diri, hub.pribadi (Barroces et al,2009)
b) Isolasi sosial : menarik diri b/d harga diri rendah
c) Risiko perilaku kekerasan b/d harga diri rendah
d) Gangguan konsep diri : citra tubuh b/d koping keluarga inefektif
e) Gangguan konsep diri : identitas personal b/d perubahan penampilan peran
f) Harga diri rendah situasional b/d berduka yang tidak terselesaikan
g) Ketidak berdayaan b/d perasaan rendahnya nilai diri.

DX : NANDA untuk Perubahan Kesehatan Seksual


a) Disungsi seksual b/d penyakit kronis ( Ca Seviks)

6. Intervensi Keperawatan

a) Individu
Tindakan Keperawatan pada Pasien
1. Tujuan
a. Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
b. Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
c. Pasien dapat menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai kemampuan.
d. Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan.
e. Pasien dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya.
2. Tindakan keperawatan
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki pasien.
1) Mendiskusikan bahwa pasien masih memiliki sejumlah kemampuan dan
aspek positif seperti kegiatan pasien di rumah, serta adanya keluarga dan
lingkungan terdekat pasien.
2) Beri pujian yang realistik/nyata dan hindarkan setiap kali bertemu dengan
pasien penilaian yang negatif.
b. Membantu pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
1) Mendiskusikan dengan pasien kemampuan yang masih dapat digunakan
saat ini setelah mengalami bencana.
2) Bantu pasien menyebutkannya dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan pasien.
3) Perlihatkan respons yang kondusif dan menjadi pendengar yang aktif.
c. Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan sesuai dengan
kemampuan.
1) Mendiskusikan dengan pasien beberapa aktivitas yang dapat dilakukan
dan dipilih sebagai kegiatan yang akan pasien lakukan sehari-hari.
2) Bantu pasien menetapkan aktivitas yang dapat pasien lakukan secara
mandiri, aktivitas yang memerlukan bantuan minimal dari keluarga, dan
aktivitas yang perlu bantuan penuh dari keluarga atau lingkungan terdekat
pasien. Berikan contoh cara pelaksanaan aktivitas yang dapat dilakukan
pasien. Susun bersama pasien dan buat daftar aktivitas atau kegiatan
sehari-hari pasien.
d. Melatih kegiatan pasien yang sudah dipilih sesuai kemampuan.
1) Mendiskusikan dengan pasien untuk menetapkan urutan kegiatan (yang
sudah dipilih pasien) yang akan dilatihkan.
2) Bersama pasien dan keluarga memperagakan beberapa kegiatan yang
akan dilakukan pasien.
3) Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan yang
diperlihatkan pasien.
e. Membantu pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuannya.
1) Memberi kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilatihkan.
2) Beri pujian atas aktivitas/kegiatan yang dapat dilakukan pasien setiap
hari.
3) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan setiap
aktivitas.
4) Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama pasien dan
keluarga.
5) Berikan kesempatan mengungkapkan perasaanya setelah pelaksanaan
kegiatan.
6) Yakinkan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang dilakukan
pasien.
b. Keluarga
Tindakan Keperawatan pada Keluarga
1. Tujuan
a. Keluarga dapat membantu pasien mengidentifikasi kemampuan yang
dimiliki.
b. Keluarga memfasilitasi aktivitas pasien yang sesuai kemampuan.
c. Keluarga memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan sesuai dengan latihan
yang dilakukan.
d. Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan pasien.
2. Tindakan keperawatan
a. Diskusi dengan keluarga kemampuan yang dimiliki pasien.
b. Anjurkan memotivasi pasien agar menunjukkan kemampuan yang dimiliki.
c. Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien dalam melakukan kegiatan yang
sudah dilatihkan pasien dengan perawat.
d. Ajarkan keluarga cara mengamati perkembangan perubahan perilaku pasien.

7. Hasil-hasil penelitian askep pada pasien yang mengalami masalah harga diri
rendah
Daftar Pustaka :

Stuart, Gail W.2013.Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart Edisi
Indonesia..Singapore : Elsevier

Muhith, Abdul.2015.Pendidikan Keperawatan Jiwa Teor dan Aplikasi.Yogyakarta : CV Andi


Offset

Stuart, Gail W. 2016. Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart Edisi Indonesia
Buku 1. Singapura: Elsevier.

A. Potter Patricia, Anne Griffin Perry. Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,

dan Praktik Volume 1. Buku Kedokteran : EGC

Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, dkk. 2015. Keperawatan Kesehatan Jiwa.

Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai