Anda di halaman 1dari 21

Manajemen Zakat Sejarah dan Perkembangannya

OLEH :

Dr. SUHENDI, SE.,MA

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


STEBIS AL ULUM TERPADU
MEDAN
2021
A. PENDAHULUAN

Zakat adalah salah satu sektor penting dalam filantropi Islam. Sebagai rukun Islam
ketiga, zakat wajib dibayarkan oleh setiap Muslim yang memenuhi syarat (muzakki) untuk
menyucikan hartanya dengan cara menyalurkan zakatnya kepada mustahik (penerima zakat).
Zakat ini tidak hanya berfungsi untuk menolong perekonomian mustahik, tetapi juga dapat
menjadi instrumen penyeimbang dalam sektor ekonomi nasional. Dalam jangka panjang,
tujuan utama zakat adalah mentransformasi para mustahik menjadi muzakki. Hal ini
menunjukkan bahwa zakat sangat berpotensi untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan
kemiskinan di suatu negara.
Zakat merupakan salah satu ibadah kepada Allah SWT setelah manusia dikaruniai
keberhasilan dalam bekerja dengan melimpahnya harta benda. Bagi orang muslim, pelunasan
zakat semata-mata sebagai cermin kualitas imannya kepada Allah SWT. Kepentingan zakat
merupakan kewajiban agama seperti halnya shalat dan menunaikan ibadah haji. Islam
memandang bahwa harta kekayaan adalah mutlak milik Allah SWT, sedangkan manusia
dalam hal ini hanya sebatas pengurusan dan pemanfaatannya saja. Harta adalah amanah yang
harus dipertanggungjawabkan setiap pembelanjaannya di akhirat kelak. Dengan demikian
setiap muslim yang harta kekayaannya telah mencapai niṣ āb dan ḥ aul (satu tahun
kepemilikan) berkewajiban untuk mengeluarkan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat maal.
Zakat menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2011 pada pasal 1 ayat 2 dijelaskan
bahwa zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha
untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Kedudukan dan kewajiban zakat dalam Islam sangat mendasar. Begitu mendasarnya
sehingga perintah zakat dalam Al-Quran sering disertai dengan ancaman yang tegas. Zakat
menempati rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Dalam Al-Quran seringkali kata
zakat dipakai bersamaan dengan kata shalat, yang menegaskan adanya kaitan komplementer
antara ibadah shalat dan zakat. Jika shalat berdimensi vertical-ketuhanan. Maka zakat
merupakan ibadah yang berdimensi horizontal-kemanusiaan.
Indonesia merupakan penduduk yang mayoritasnya adalah umat Islam. Banyaknya
umat Islam yang berada di Indonesia membuat semakin banyaknya peluang untuk
masyarakat maupun pemerintah membuat lembaga atau perusahaan yang berbasis syariah
untuk mempermudah umat Islam dalam menjalankan syariat-Nya, salah satunya seperti
Lembaga Amil Zakat.
Zakat itu sendiri adalah salah satu rukun Islam yang hukumnya wajib bagi setiap
muslim yang merdeka dan memiliki harta kekayaan sampai dengan jumlah tertentu yang
telah mencapai nisab. Sebagaimana dinyatakan secara tegas dan jelas dalam Al-Qur’an, As
Sunnah, dan konsensus (ijmak) ulama. Secara umum, fungsi zakat meliputi bidang moral,
sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati si
kaya, sedangkan dalam bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan dari
masyarakat. Di bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan ditengah sebagian
kecil manusia dan merupakan sumbangan wajib kaum muslim untuk perbendaharaan Negara
(Nurhayati, 2015).
Zakat merupakan pokok agama yang penting dan strategis dalam Islam, ia bukan saja
berfungsi membentuk kasalehan pribadi tetapi juga membentuk kesalehan sosial. Oleh karena
itu zakat sering disebut sebagai ibadah maliyah ijtima’iyah, maksudnya adalah ibadah yang
dilaksanakan dengan sesama manusia sehingga zakat harus diaktualisasikan dan diterapkan
dalam kehidupan ekonomi 2 umat sebagai rahmat bagi manusia. Pembentukan kepribadian
yang memiliki kesalehan pribadi dan sosial ini menjadi salah satu tujuan diturunkannya
risalah Islam kepada manusia.
Ajaran Islam secara normatif telah mengatur persoalan zakat dari aspek makna,
hikmah tujuan zakat itu sendiri juga dari aspek pengelolaan pemungutan dan penyalurannya.
Demikian juga secara historis sejak zaman Nabi dan pemerintah Islam zakat merupakan
persoalan yang urgen untuk diatur. Sejalan dengan perkembangan pemikiran dikalangan umat
Islam dan perjuangannya untuk membumikan Islam kedalam kehidupan masyarakat masalah
ini kemudian dibakukan dengan lahirnya UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
Lembaga Amil Zakat kini telah banyak di buka diberbagai wilayah Indonesia, baik
Lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh pemerintah maupun Lembaga Amil Zakat swasta
yang telah diakui oleh pemerintah. Lembaga Amil Zakat dan infak/sedekah bertujuan untuk
mempermudah umat Islam yang ingin membayarkan atau menjalankan syariat Islam.
Menjamurnya lembaga-lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah menandakan bahwa
kesadaran masyarakat mengenai kewajiban zakat, kesadaran untuk berinfak dan bersedekah
mulai tumbuh.
Lembaga zakat pada dasarnya memiliki dua peran utama, yaitu: (1) memobilisasi
zakat dari masyarakat (ummat) dan, (2) melakukan pendistribusian zakat kepada mereka yang
berhak menerima.
Kedudukan lembaga zakat dalam lingkungan yang semakin maju dan kompleks
sangat penting, karena kelemahan yang dijumpai selama ini adalah tidak adannya manajemen
zakat yang baik. Dengan semakin majunya ummat baik dari segi ekonomi, ilmu pengetahuan
maupun keyakinan beragama, maka jumlah Muzakki (pembayar zakat) akan bertambah dan
juga kuantitas zakat akan meningkat. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut perlu dibuat
lembaga-lembaga zakat yang dikelola dengan manajemen yang maju. Manajemen zakat pada
dasarnya bukan masalah yang sederhana. Manajemen zakat membutuhkan dukungan politik
(political will) dari umara (pemerintah). Selain itu manajemen zakat juga membutuhkan
dukungan sistem informasi akuntansi dan sistem informasi manajemen yang baik. Tanpa
dukungan tersebut pengelolaan zakat tidak akan efektif dan efisien.
Potensi zakat di Indonesia merupakan nilai paling besar di seluruh Asia. Tim
Penyusun Outlook Zakat Indonesia 2017 telah merangkum perkembangan pertumbuhan zakat
dari tahun 2010 hingga sekarang. Pada tahun 2016 total dana ZIS (Zakat, Infak dan Sedekah)
yaitu sebesar Rp 164,38 miliar meningkat 155,35 persen dari tahun 2015. Sedangkan pada
tahun 2017 diprediksikan bahwa 3 penyaluran dana ZIS (Zakat, Infak, Sedekah) dapat
mencapai lebih dari Rp 213,69 miliar pada skenario optimisnya menurut Tim Penyusun
Outlook Zakat tersebut.
Potensi perkembangan ekonomi pada lingkungan zakat yang telah dijelaskan
menunjukkan bahwa potensi zakat sangat besar di Indonesia. Perkambangan ini tentu saja
sangat menggembirakan, karena ini merupakan cerminan dari meningkatnya kesadaran umat
Islam menjalankan syariat Islam. Dengan tumbuhnya perekonomian syariah, berbagai
transaksi syariah bermunculan baik yang dilakukan oleh lembaga syariah, maupun non-
syariah. Tercapainya perkembangan seperti ini, maka perlu dilakukan pengaturan atau standar
untuk penulisan, pengukuran, maupun penyajian, sehingga para pengguna keuangan memiliki
standar yang sama dalam pencatatan akuntansi.
Pengelolaan dana zakat dapat dilakukan individu ataupun kelompok. Namun
mayoritas ulama sepakat, lebih baik pengelolaan zakat diatur dan dilakukan oleh Pemerintah.
Pemerintah juga sudah lama menyadari sudah saatnya dibentuk regulasi zakat. Pada awal
Agustus 1999, Menteri Agama membentuk RUU tentang pengelolaan zakat, pada tanggal 23
September 1999 dibentuk Undang-undang No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat, yang
terdiri dari 10 bab dan 25 Pasal. Dalam pasal ini membahas tentang tujuan dan menajemen
pengelolaan zakat, dibentuknya lembaga amil zakat pemerintah, diakuinya lembaga amil
zakat non-pemerintah, dapat dibentuknya unit Pengelolaan Zakat di dalam negeri maupun di
luar negeri dalam pengumpulan zakat, dapat dijadikan pengurang pajak, serta perlunya
pengawasan terhadap kinerja badan amil zakat.
Laporan keuangan organisasi pengelola zakat menjadi salah satu media untuk
pertanggungjawaban kepada muzakki yang menyalurkan dana zakat, infak dan sedekah.
Untuk itu agar pelaporan keuangan akuntabel dan transparan maka dibutuhkan standar
akuntansi yang mengaturnya. Tujuan laporan keuangan menurut Kasmir (2012: 7) laporan
keuangan terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan modal, laporan catatan atas
laporan keuangan, dan laporan arus kas.
Ikatan Akuntansi Indonesia telah mengesahkan pengaturan standar akuntansi zakat,
infak dan sedekah yaitu pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 109 (PSAK 109).
Pernyataan ini disusun bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan
pengungkapan transaksi zakat dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam
pengelolaan zakatnya. Disahkannya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan tersebut
menjadi jawaban atas standarisasi akuntansi syariah untuk zakat, infak dan sedekah.
Dalam Islam, zakat diwajibkan untuk menghindari akumulasi harta kekayaan yang
dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu. Islam tidak melarang manusia untuk
berusaha menjadi kaya, namun menghendaki tegaknya keadilan atas kekayaan yang dimiliki
setiap individu. Ketidakadilan menunjukkan adanya kesenjangan antara yang kaya dan
miskin. Kondisi ini merupakan suatu ketimpangan yang dapat menyebabkan kemunduran
umat, baik secara ekonomis, sosial, maupun spiritual. Dalam hal ini, zakat dinilai sebagai
sebuah mekanisme yang akan mampu mewujudkan kondisi kehidupan yang sejahtera secara
adil dan merata.

B. Pengertian Zakat

Menurut bahasa (lughat), pengertian zakat berarti tumbuh, berkembang, subur atau
bertambah (HR. At-Tirmidzi).
Menurut hukum islam (istilah Syara’), pengertian zakat adalah nama bagi suatu
pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk
diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy).
Selain itu, kata infaq dan sedekah sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa infaq adalah
segala macam bentuk pengeluaran (pembelanjaan), baik untuk kepentingan pribadi,
keluarga, maupun yang lainnya. Sementara kata sedekah adalah segala bentuk
pembelanjaan (infaq) di jalan Allah.
Ada pula sebagian ulama fiqih mengatakan shadaqah wajib dinamakan zakat,
sedengkan shadaqah sunnah dinamakan infaq. Sedangkan lainnya mengatakan infaq
wajib bernama zakat, sedangkan infaq sunnah bernama shadaqah.
Menurut Yusuf Qardhawi (Qardhawi, 1996: 35), zakat dalam istilah fiqih berarti
sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT diserahkan kepada orang-orang
yang berhak. Hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai zakat, yaitu Undang-
Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, mengartikan zakat sebagai harta
yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada
yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Secara terminologis (syara), zakat berarti hak yang wajib dikeluarkan dari harta
(Zuhayliy, 2000:83). Sementara menurut Hafidhuddin dalam Beik (Beik, 2009:3), secara
terminologis zakat mempunyai arti mengeluarkan sebagian harta dengan persyaratan
tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu (Mustahik) dengan persyaratan
tertentu pula. Adapun secara umum, menurut Al Arif (Al Arif, 2010: 4) zakat bisa
dirumuskan sebagai bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang
memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu adalah nishab (jumlah minimum harta
kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya), haul (jangka waktu yang ditentukan bila
seorang wajib mengeluarkan zakat), dan kadarnya (ukuran besarnya zakat yang harus
dikeluarkan).
Berdasarkan pengertian zakat secara terminologis di atas tersirat adanya kehendak
dalam ajaran Islam untuk menciptakan keharmonisan antara orang-orang yang kaya
dengan orang-orang yang belum beruntung. Mengeluarkan sebagian harta kemudian
diserahkan kepada orang-orang yang tidak mampu adalah unsur terpenting dalam
regulasi zakat itu sendiri. di dalam harta orang-orang kaya terdapat hak milik orang-
orang miskin. Dengan zakat pula, distribusi kekayaan menjadi lebih merata. Zakat dapat
pula dijadikan simbolisasi keharmonisan hubungan horizontal antar sesama manusia,
dimana orang yang kaya peduli kepada nasib orang miskin. Dengan kata lain, zakat
adalah media untuk mengentaskan kemiskinan dan menghapus penderitaan yang selalu
ada dalam pentas sejarah hidup manusia (Faisal, 2011:244).

C. Macam – Macam Zakat

Zakat terbagi menjadi 2 yaitu :zakat maal (harta) diantaranya: Emas, perak, binatang,
tumbuh-tumbuhan ( buah-buahan dan biji-bijian) dan barang perniagaan, dan zakat nafs
(zakat jiwa) yang disebut juga “zakatut fitrah”.

a) Zakat Mall (harta)


Zakat mall merupakan bagian dari zakat harta kekayaan seseorang yang wajib di
keluarkan untuk golongan tertentu, setelah di miliki dalam jangka waktu tertentu, dan
jumlah minimal tertentu. Dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat. Pada pasal 4 ayat 2 menyebutkan bahwa harta yang di kenai zakat
mall berupa emas, perak, uang, hasil pertanian dan perusahaan, hasil pertambangan,
hasil peternakan, hasil pendapatan dan jasa, serta rikaz.
Kadar zakat dalam ukuran masyarakat Indonesia disepakati setara dengan 2,5 kg.
beras atau makanan pokok yang berlaku di daerah tertentu, juga dapat disetarakan
dengan uang. Jika setiap umat Islam mengeluarkan zakat fitrah semua maka zakat fitrah
ini berbanding lurus dengan jumlah umat Islam di Indonesia.

b) Zakat Nafs (Fitrah)


Zakat fitrah adalah zakat yang wajib di keluarkan oleh seseorang berkenaan dengan
selesainya mengerjakan siyam fardu (puasa wajib) menjelang hari raya Idzul fitri.
Zakat ini di keluarkan sebagai tanda rasa syukur kepada Allah karena telah
menyelesaikan ibadah puasa. Zakat fitrah juga di maksudkan untuk membersihkan
dosa yang mungkin ada ketika seseorang melakukan puasa ramadan.

D. Tujuan Zakat

Menurut Qardhawi dalam Hasrullah (Hasrullah, 2012:16), tujuan zakat itu sendiri
dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tujuan dari pihak yang memberi zakat (muzakki)
antara lain untuk menyucikan dari sifat bakhil, rakus egoistis dan sebagainya; melatih
jiwa untuk bersikap terpuji seperti bersyukur atas nikmat Allah; mengobati batin dari
sikap berlebihan mencintai harta sehingga dapat diperbudak oleh harta itu sendiri;
menumbuhkan sikap kasih saying kepada sesama; membersihkan nilai harta itu sendiri
dari unsur noda dan cacat; dan melatih diri agar menjadi pemurah dan berakhlak baik
serta menumbuhkembangkan harta itu sehingga sehingga member keberkahan bagi
pemiliknya. Sedangkan bagi penerima (mustahiq) antara lain: memenuhi kebutuhan
hidup, terutama kebutuhan primer sehari-hari; menyucikan hati mereka dari rasa dengki
dan kebencian 33 yang sering menyelimuti hati mereka melihat orang kaya yang bakhil;
akan muncul dalam jiwa mereka rasa simpatik, hormat, serta rasa tanggung jawab untuk
ikut mengamankan dan mendoakan keselamatan harta orang-orang kaya yang pemurah.
Lebih luas lagi, menurut Wahbah dalam Hasrullah (2012: 17), menguraikan tujuan
zakat bagi kepentingan masyarakat sebagai berikut:
1. Menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas sosial dikalangan
masyarakat islam.
2. Merapatkan dan mendekatkan jarak dan kesenjangan sosial ekonomi dalam
masyarakat.
3. Menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai bencana seperti
bencana alam dan sebagainya
4. Menutupi biaya – biaya yang timbul akibat terjadinya konflik, persengketaan dan
berbagai bentuk kekacauan dalam masyarakat.
5. Menyediakan suatu dana taktis dan khusus untuk penanggulangan biaya hidup bagi
para gelandangan, pengangguran dan para tuna sosial lainnya.

Sebagaimana telah kita ketahui, zakat juga merupakan salah satu sebagian dari ibadah
yang memiliki tujuan sebagaimana dikemukakan sebagai berikut:

1. Membantu, mengurangi dan mengangkat kaum fakir miskin dari kesulitan hidup dan
penderitaan mereka;
2. Membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh al ghrimin, ibnu sabil dan
para mustahiq lainnya;
3. Membina dan merentangkan tali solidaritas (persaudaraan) sesama umat manusia;
4. Mengimbangi idiologi kapitalisme dan komunisme;
5. Menghilangkan sifat bakhil dari pemilik kekayaan dan penguasa modal;
6. Menghindarkan penumpukan kekayaan perorangan yang dikumpulkan diatas
penderitaan orang lain;
7. Mencegah semakin dalamnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin;
8. Mengembangkan tanggung jawab perorangan terhadap kepentingan masyarakat;
9. Mendidik kedisiplinan dan loyalitas seorang muslim untuk menjalankan
kewajibannya dan menyerahkan hak orang lain.

E. Dasar Hukum Zakat

Zakat sebagai salah satu rukun Islam yang lima memiliki rujukan atau landasan kuat
berdasar Al-Quran dan al-Sunnah. Berikut ini adalah diantara dalil-dalil yang
memperkuat kedudukannya.

1. Al-Quran
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
(QS. At Taubah, 9 : 60)
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
(QS. At-Taubah, 9 : 71)

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui."
(QS. At-Taubah, 9 : 103)

2. Dalil Sunah
“Dari Abdullah bin Musa ia berkata, Khanzalah bin Abi Sofyan menceritakan
kepada kami dari Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar r.a, ia berkata : Rasulullah SAW
bersabda: Islam didirikan atas lima dasar yaitu:
a. Persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah
b. Menegakkan shalat
c. Membayar zakat
d. Menjalankan puasa ramadhan dan
e. Melaksanakan ibadah haji bagi yang berkemampuan.
"Dari Ibnu Abbas r.a, bahwa Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman
beliau berpesan: "Hai Muadz, engkau hendak mendatangi sekelompok kaum dari
kalangan Ahli Kitab (di Yaman), maka mula-mula yang harus engkau lakukan adalah:
Ajak mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku Muhammad
adalah utusan-Nya;
a. Apabila mereka mentaati dan mengikuti engkau, maka beritahu kepada mereka
bahwa Allah SWT telah mewajibkan atas mereka shalat lima kali sehari semalam;
b. Setelah itu jika mereka mengikuti perintahmu mendirikan shalat, beritahukan
kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka untuk membayar zakat
yang diambil dan dihimpun dari orang-orang kaya diantara mereka lalu diserahkan
atau didistribusikan kepada orang-orang miskin mereka;
c. Apabila mereka telah mentaati engkau, maka hendaklah engkau melindungi harta
mereka;
d. Hendaklah engkau takut dan berhati-hati terhadap doa orang yang teraniaya,
karena tidak ada penghalang antara doa orang yang teraniaya dengan Allah.

F. Harta yang Wajib di Zakati

Pada pasal 4 ayat 2 Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, harta
yang di kenai zakat antara lain :
a. Emas, perak, dan logam mulia
b. Uang dan surat berharga lainnya.
c. Perniagaan dan perindustrian
d. Hasil Pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
e. Peternakan dan perikanan
f. Pertambangan
g. Pendapatan dan jasa;
h. Rikaz.
Didin Hafidhuddin mengemukakan jenis harta yang wajib dizakati sesuai dengan
perkembangan perekonomian modern meliputi zakat profesi, zakat perusahaan, zakat
surat-surat berharga, perdagangan mata uang, zakat hewan ternak yang diperdagangkan,
zakat madu dan produk hewani, zakat investasi property, zakat asuransi syari`ah, zakat
usaha tanaman anggrek, usaha burung walet, ikan hias dan lainnya, dan zakat sektor
rumah tangga modern.

1) Zakat Profesi
Fatwa Ulama` pada mu`tamar Internasional pertama di Kuwait pada tangal 30
April 1984, dengan hasil bahwa salah satu kegiatan yang menghasilkan kekuatan bagi
manusia berupa pekerjaan yang bermanfaat, baik dilakukan sendiri seperti dokter,
arsitek dan lainnya, atau bersama-sama seperti para karyawan, pegawai dan lainnya.
Semua itu menghasilkan gaji atau pendapatan, dan setiap pendapatan harus dizakati.
Pendapatan atau penghasilan yang diperoleh dalam figh dikenal dengan istilah al-
maal almustafad, yaitu wajib mengeluarkan zakat begitu penghasilannya diterima,
meskipun kepemilikannya belum sampai setahun, dan tidak wajib mengeluarkan zakat
lagi pada akhir tahun, hal ini disamakan dengan nisab dan kadar zakat uang yaitu
rubu`ul usyri atau 2,5 persen.
Adapun landasan hukumnya yaitu al- Qur`an surat adzDzaariyaat ayat 19 : “Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian”. (adzDzaariyaat: 19).

2) Zakat Perusahaan
Zakat perusahaan sebagaimana termaktub dalam UU No 23 Tahun 2011 Tentang
Zakat pasal 4 ayat 3 yaitu “Zakat maal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan harta yang dimiliki oleh muzaki perseorangan atau badan usaha”.
Perusahaan adalah termasuk badan usaha, karena memiliki izin usaha termasuk
Koperasi. Adapun landasan hukum kewajiban zakat perusahaan adalah nas-nas yang
bersifat umum seperti al-Baqarah: 267, dan at-Taubah: 103, juga terdapat dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari “…. Dan janganlah disatukan
(dikumpulkan) harta yang mulamula terpisah, sebaliknya jangan pula dipisahkan
harta yang pada mulanya barsatu, karena takut mengeluarkan zakat”.
Zakat perusahaan dianalogikan dengan zakat perdagangan, yang wajib dizakati
adalah harta yang dimiliki atau modal perusahaan ditambah keuntungan, dan pendapat
lain mengatakan bahwa yang wajib dizakati adalah keuntungannya saja. Perhitungan
nisab dan kadar zakatnya sama dengan zakat perdagangan, yaitu ada haul (satu tahun),
nisabnya 85 gram emas dan kadar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 persen.

3) Zakat Surat-Surat Berharga


Termasuk surat-surat berharga adalah Saham dan Obligasi, Saham dan obligasi
merupakan harta yang dapat diperjualbelikan, dan pemiliknya mendapat keuntungan,
maka saham wajib dizakati senagaimana zakatnya perdagangan. yaitu ada haul (satu
tahun), nisabnya 85 gram emas dan kadar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 persen.

G. Penerima Zakat (Mustahiq)

Pada pasal 1 ayat 6 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan
zakat, bahwa Mustahiq adalah orang yang berhak menerima zakat. Mustahiq di sebutkan
dalam Al Qur`an surat At-Taubah ayat 60 : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mu'allaf),
untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajibkan dari
Allah, dan Allah Maha mengetahui,Maha Bijaksana”. (Qs. At-Taubah : 60).

1) Fakir;
Fakir adalah orang yang mempunyai harta dan atau pekerjaan dengan
penghasilannya tidak ada separo dari kebutuhan hidup diri dan orang-orang yang
wajib dinafkahinya. Adapun kebutuhan hidup adalah sandang, pangan, papan dan
lainnya yang sesuai standar kelayakan.

2) Miskin;
Miskin adalah orang yang mempunyai harta dan atau pekerjaan yang hasilnya
mampu memenuhi separo atau lebih dari kebutuhan hidup diri dan orang yang wajib
dinafkahi. Tidak termasuk fakir atau miskin apabila seseorang yang kehidupannya
telah dicukupi oleh anak, orang tua, atau suami, namun seseorang tersebut sebenarnya
dalam kondisi fakir atau miskin, hal itu dianggap seperti halnya orang yang bekerja
setiap hari dan mendapat penghasilan untuk kebutuhan hidupnya.

3) Amil;
Amil Atau pengumpul zakat adalah mereka yang diangkat oleh pihak yang
berwenang yang akan melaksanakan kegiatan urusan zakat, baik dari mengumpulkan
memberikan kepada bendahara dan penjaganya, dari pencatat sampai pada penghitung
sampai membagi kepada Mustahiqnya. Adapun kepanitiaan zakat atas swakarsa
masyarakat, wakil individu dan lembaga zakat yang belum disahkan pemerintah itu
tidak termasuk amil sehingga tidak mempunyai kewenangan dan hak seperti amil
yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

4) Muallaf;
Muallaf secara bahasa adalah orang yang ditundukan hatinya, sedangkan dalam
fiqh bahwa muallaf itu mencakup muallaf muslim dan muallaf non muslim, dan yang
berhak mendapat zakat adalah muallaf muslim. Muallaf adalah mereka yang
diharapkan kecenderungan dalam hatinya atau keyakinannya makin bertambah akan
Islam atau terhalang niat jahatnya terhadap kaum muslimin, dan atau diharapkannya
mereka untuk membela dan menolong kaum muslimin dari musuh.

5) Riqab;
Riqab adalah budak mukatab, yaitu budak yang melakukan akad kitabah (cicilan
memerdekakan diri) dengan sayyid (pemiliknya) menggunakan akad kitabah yang
sah. Budak mukatab diberi zakat sebesar biaya untuk memerdekakannya, mungkin
saat ini riqab sudah tidak ada lagi.

6) Gharim;
Gharim adalah orang yang mempunyai utang atau orang yang berhutang. Menurut
mazhab Abu Hanifah bahwa gharim adalah orang yang mempunyai hutang dan dia
tidak mempunyai bagian yang lebih dari hutangnya. Sedangkan menurut Imam Malik,
Safi`i dan Ahmad bahwa orang yang mempunyai utang untuk kemaslahatan dirinya
sendiri dan untuk kemaslahatan masyarakat.
7) Sabilillah;

Sabilillah berasal dari kata ath-thariq al-mushilah ilallah (jalan yang mengantarkan
pada ridha Alah SWT). Dengan arti tersebut bahwa sabilillah mencakup segala bentuk
ketaatan kepada Allah. Dilihat dari bentuknya mutlak kata sabilillah dalam surat at-
Taubah ayat 60 berarti jihad, seperti halnya pendapat ulama` madzhab safi`i.
Sementara menurut golongan ulama` lain bahwa sabilillah tidak hanya jihad (pasukan
perang) saja, tetapi mencakup segala bentuk ibadah maupun kegiatankegiatan sosial.

8) Ibnu Sabil.
Ibnu Sabil adalah seserang yang melakukan perjalanan melewati daerah zakat
sementara ia bekalnya tidak cukup dan membutuhkan akan zakat, serta perjalanannya
tidak perjalanan maksiat. Menurut jumhur ulama` ibnu sabil adalah kiasan dari
musyafir yaitu seseorang yang melintas dari suatu daerah ke daerah lain. As-Sabil
berarti ath-thariq/jalan, seseorang yang berjalan di atasnya (ibnu sabil) karena
tetapnya dijalan itu.

H. Sejarah Awal Zakat Masuk ke Indonesia

Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, zakat merupakan salah satu sumber dana
untuk pengembangan ajaran Islam serta sebagai pendanaan dalam perjuangan bangsa
Indonesia melawan penjajahan Belanda. Di Sumatra misalnya, Belanda terlibat dalam
perang besar berkepanjangan melawan orang-orang Aceh yang fanatisme[1], dan juga di
tempat-tempat lain yang penduduknya mayoritas beragama Islam, umumnya mereka kuat
dan gigih dalam melawan penjajahan Belanda, karena mereka memiliki sumber dana
yang kuat berupa hasil zakat. Tempat yang dijadikan pengelolaan sumber-sumber tersebut
adalah masjid, surau atau langgar.
Sebelum datang penjajah di Indonesia, terdapat beberapa Kesultanan yang mencapai
kejayaan berkat dukungan dana intern dari umat Islam sendiri. Misalnya, Kesultanan di
Aceh, Sumatera Barat, Banten, Mataram, Demak, Goa dan ternate. Kesultanan-
kesultanan tersebut tercatat telah berhasil mendayagunakan potensi ekonomi umat dengan
memperbaiki kualitas ekonomi rakyat, antara lain dengan mengatur sumber-sumber
keuangan Islam seperti pendayagunaan zakat, pemeliharaan harta wakaf, wasiat, infak
dan sedekah. Dana yang bersumber dari umat cukup memadai untuk memadai untuk
membiayai kepentingan Islam.

I. Sejarah Pengelolaan Zakat di Indonesia

Zakat sebagai satu bentuk peribadatan yang lebih mengedepankan nilai-nilai sosial di
samping pesan-pesan ritual, tampak memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Menurut
Didin Hafhifuddin (t.t: 1), bisa diduga hampir sepanjang umat manusia itu sendiri
(generasi Adam As.) atau paling sedikit mulai generasi beberapa nabi Allah SWT dan
sebelum Nabi Muhammad SAW. Apa yang lazim dikenal dengan sebutan lima arkan
alIslam (lima rukun Islam) yakni syahadat,shalat,zakat, puasa, dan haji pada dasarnya
sudah disyari’atkan sejak zaman Nabi Adam As, Kalaupun terdapat perbedaan antara
generasi nabi yang satu dengan yang lainnya, maka ketidaksamaanya lebih terfokus pada
hal-hal yang bersifat formal simbolik dan tata caranya yang disesuaikan dengan bahasa
umat nabi yang bersangkutan, daripada perbedaan hal-hal yang mendasar substansial.
Menurut Mashudi (Mashudi, t.t: 2), pengelolaan zakat dapat dilakukan oleh individu
maupun kelompok. Namun mayoritas ulama berpendapat, lebih baik pengelolaan zakat di
Indonesia dilakukan dan diatur oleh pemerintah. Perkembangan pengelolaan zakat di
Indonesia, sangat dipengaruhi oleh pemerintah pada masing-masing periode sebagaimana
dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Pengelolaan Zakat Masa Kolonial Belanda


Menurut Suratno (Suratno, t.t:3), sejarah pengelolaan zakat di Indonesia dimulai
sebagai berikut: Sejak Islam memasuki Indonesia, zakat, infak dan sedekah
merupakan sumber-sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam dan perjuangan
bangsa Indonesia melawan penjajah. Pemerintah Kolonial Belanda khawatir dana
tersebut akan digunakan untuk melawan mereka jika masalah zakat tidak diatur.
Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus
1893 untuk mengawasi pelaksanaan zakat dan fitrah yang dilakukan oleh penghulu
atau naib sepanjang tidak terjadi penyelewengan keuangan.
Pada era kolonial Belanda, dapat diartikan bahwa pengelolaan zakat cenderung
dihalangi oleh Pemerintah Kolonial karena diduga untuk membiayai perjuangan
melawan Pemerintah Belanda (Mashudi: t.t: 2). setelah mengetahui fungsi dan
kegunaan zakat yang semacam itu, Pemerintah Hindia Belanda akhirnya melemahkan
sumber keuangan dan dana perjuangan rakyat dengan cara melarang semua pegawai
pemerintah dan priyayi pribumi mengeluarkan zakat harta mereka (Faisal, 2011: 258).
Namun kemudian, akhirnya pada awal abad XX, diterbitkanlah peraturan yang
tercantum dalam Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal 28
Februari 1905. Dalam peraturan ini Pemerintah Hindia Belanda tidak akan lagi
mencampuri urusan pengelolaan zakat, dan sepenuhnya pengelolaan akat diserahkan
kepada umat Islam (Ibid: 259).

b. Pengelolaan Zakat Masa Orde Lama


Setelah kemerdekaan Indonesia, perkembangan zakat menjadi lebih maju.
Meskipun Negara Republik Indonesia tidak berdasarkan pada salah satu falsafah
tertentu, namun falsafah negara kita dan UndangUndang Dasar (UUD) 1945
memberikan kemungkinan bagi pejabat-pejabat negara untuk membantu pelaksanaan
pengelolaan zakat. Hal tersebut menurut Faisal (Faisal, 2011: 258) dapat dilihat dari:
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaanya, zakat kembali menjadi perhatian
para ekonom dan ahli fiqih bersama pemerintah dalam menyusun ekonomi
Indonesia. Hal tersebut dapat kita lihat pada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang
berkaitan dengan kebebasan menjalankan syariat agama (pasal 29) dan pasal 34
UUD 1945 yang menegaskan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
negara. Kata-kata fakir miskin yang dipergunakan dalam pasal tersebut jelas
menunjukkan kepada mustahiq zakat (golongan yang berhak menerima zakat).
Kemudian tahun 1951 Departemen Negara mengeluarkan Surat Edaran Nomor
A/VII/17367 tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah. Pada tahun
1964, Departemen Agama menyusun rancangan undang-undang tentang pelaksanaan
zakat dan rencana peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang
pelaksanaan pengumpulan dan pembagian zakat serta pembentukan Baitul Maal,
tetapi kedua perangkat peraturan tersebut belum sempat diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat maupun Presiden.

c. Pengelolaan Zakat Masa Orde Baru


Kepemimpinan Presiden Soeharto memberikan sedikit angin segar bagi umat
Islam dalam konteks penerapanzakat ini. Sesuai anjuran Presiden dalam pidatonya
saat memperingati Isra’ Mi’raj di Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968 maka
dibentuklah Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS) yang dipelopori oleh
Pemerintah Daerah DKI Jaya. Sejak itulah, secara beruntun badan amil zakat
terbentuk di berbagai wilayah dan daerah seperti di Kalimantan Timur (1972),
Sumatra Barat (1973), Jawa Barat (1974), Aceh (1975), Sumatra Selatan dan
Lampung (1975), Kalimantan Selatan (1977), dan Sulawesi Selatan dan Nusa
tenggara Barat (1985) (Faisal, 2011: 260).
Pada masa Orde Baru ini pula, pada tahun 1967 Menteri Agama menyiapkan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Zakat yang akan diajukan kepada DPR dengan
surat Nomor: MA/095/1967 untuk disahkan menjadi undang-undang. RUU tersebut
disampaikan juga kepada Menteri Sosial selaku penanggung jawab atas masalah-
masalah sosial dan Menteri Keuangan sebagai pihak yang mempunyai kewenangan
dan wewenang dalam bidang pemungutan. Namun gagasan tersebut ditolak oleh
Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa peraturan mengenai zakat tidak perlu
diatur oleh undang-undang namun cukup dengan Peraturan Menteri Agama (PMA).
Kemudian pada tahun 1968 dikeluarkanlah Peraturan Menteri Agama Nomor 4
Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama
Nomor 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Maal. Kedua PMA ini dianggap
berkaitan di mana Baitul Maal sebagai penerima dan penamupung zakat, dan
kemudian disetorkan kepada Badan Amil Zakat untuk disalurkan kepada yang berhak.

d. Pengelolaan Zakat Berdasarkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang


Pengelolaan Zakat

Pada era reformasi tahun 1998, setelah menyusul runtuhnya kepemimpinan


nasional Orde Baru, terjadi kemajuan signifikan di bidang politik dan sosial
kemasyarakatan. Setahun setelah reformasi tersebut, yakni 1999 terbitlah Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Di era reformasi,
pemerintah berupaya untuk menyempurnakan sistem pengelolaan zakat di tanah air
agar potensi zakat dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi
bangsa yang terpuruk akibat resesi ekonomi dunia dan krisis multi dimensi yang
melanda Indonesia .
Untuk itulah pada tahun 1999, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
pengelolaan Zakat, yang kemudian diikuti dengan dikeleluarkannya Keputusan
Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
38 Tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji
Nomor D291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 ini, pengelolaan zakat
dilakukan oleh badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah yang terdiri
dari masyarakat dan unsur pemerintah untuk tingkat kewilayahan dan lembaga amil
zakat (LAZ) yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat yang terhimpun dalam
berbagai ORMAS (organisasi masyarakat) Islam, yayasan dan institusi lainnya.
Menurut Fakhruddin (2013: 262), undang-undang inilah yang menjadi landasan legal
formal pelaksanaan zakat di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, pemerintah (mulai
dari pusat sampai daerah) wajib memfasilitasi terbentuknya lembaga pengelola zakat,
yakni Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) untuk tingkat pusat, dan Badan Amil
Zakat Daerah (BAZDA) untuk tingkat daerah.
Secara garis besar undang-undang zakat di atas memuat aturan tentang
pengelolaan dana zakat yang terorganisir dengan baik, transparan dan profesional,
serta dilakukan oleh amil resmi yang ditunjuk oleh pemerintah. Secara periodik akan
dikeluarkan jurnal, sedangkan pengawasannya akan dilakukan oleh ulama, tokoh
masyarakat dan pemerintah. Apabila terjadi kelalaian dan kesalahan dalam pencatatan
harta zakat, bisa dikenakan sanksi bahkan dinilai sebagai tindakan pidana. Dengan
demikian, pengelolaan harta zakat dimungkinkan terhindar dari bentuk-bentuk
penyelewengan yang tidak bertanggungjawab.
Di dalam undang-undang zakat tersebut juga disebutkan jenis harta yang dikenai
zakat yang belum pernah ada pada zaman Rasulullah saw., yakni hasil pendapatan dan
jasa. Jenis harta ini merupakan harta yang wajib dizakati sebagai sebuah penghasilan
yang baru dikenal di zaman modern. Zakat untuk hasil pendapat ini juga dikenal
dengan sebutan zakat profesi. Dengan kata lain, undang-undang tersebut merupakan
sebuah terobosan baru. Hadirnya undang-undang di atas memberikan spirit baru.
Pengelolaan zakat sudah harus ditangani oleh Negara seperti yang pernah
dipraktekkan pada masa awal Islam. Menurut ajaran Islam, zakat sebaiknya dipungut
oleh negara, dan pemerintah bertindak sebagai wakil dari golongan fakir miskin untuk
memperoleh hak mereka yang ada pada harta orang-orang kaya. Hal ini didasarkan
pada sabda Nabi saw. yang menyatakan bahwa penguasalah yang berwenang
mengelola zakat. Baik secara langsung maupun melalui perwakilannya, pemerintah
bertugas mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat (Fakhruddin, 2013: 263-264).

e. Pengelolaan Zakat Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang


Pengelolaan Zakat
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
menyatakan pengelolaan zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan dan kepastian
hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sementara Pasal 2
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, mengartikan
pengelolaan zakat berasaskan:
a. Syariat Islam;
b. Amanah;
c. Kemanfaatan;
d. Keadilan;
e. Kepastian Hukum;
f. Terintegrasi;
g. Akuntabilitas.
Untuk tujuan dari pengelolaan zakat menurut Pasal 3 UndangUndang Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pelayanan dalam pengelolaan zakat dan meningkatkan manfaat zakat untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Pasal
tersebut menggantikan ketentuan di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat di mana tujuan pengelolaan zakat adalah
meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan
tuntunan agama, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial serta meningkatnya hasil
guna dan daya guna zakat.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 7, 8, 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
organisasi pengelolaan zakat dapat dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Unit Pengelola Zakat (UPZ). BAZNAS,
LAZ dan UPZ mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
J. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Pengelolaannya

BAZNAS merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dan berwenang


melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional dan berkedudukan di ibu kota
negara. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat
mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. Badan Amil
Zakat Nasional meliputi juga BAZNAS Propinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota.
Tanggung jawab, wewenang dan tata kerja BAZ meliputi:
a. Ketua badan pelaksanaan BAZ bertindak dan bertanggung jawab untuk dan
atas nama Badan Amil Zakat baik ke dalam maupun keluar;
b. Dalam melaksanakan tugasnya masing-masing BAZ menerapkan prinsip
koordinasi, integrasi dan sinkronisasi di lingkungan masingmasing, serta
melakukan konsultasi dan memberikan informasi antar BAZ di semua
tingkatan;
c. Setiap pimpinan satuan organisasi di lingkungan BAZ bertanggung jawab
mengkoordinasikan bawahannya masing-masing dan memberikan bimbingan
serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan;
d. Setiap pimpinan satuan organisasi di lingkungan BAZ wajib mengikuti dan
mematuhi ketentuan serta bertanggung jawab kepada atasan masing-masing
dan menyampaikan berkala tepat pada waktunya;
e. Setiap kepala divisi/bidang/seksi/urusan BAZ menyampaikan laporan kepada
kepala BAZ melalui sekretaris, dan sekertaris menampung laporan-laporan
tersebut serta menyusun laporanlaporan berkala BAZ;
f. Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan BAZ wajib diolah dan digunakan
sebagai bahan untuk penyusunan lebih lanjut dan untuk memberikan arahan
kepada bawahannya;
g. Dalam melaksanakan tugasnya setiap pimpinan satuan organisasi BAZ dibantu
oleh kepala satuan organisasi di bawahnya dan dalam rangka pemberian
bimbingan kepada bawahan masing-masing wajib mengadakan rapat berkala;
h. Dalam melaksanakan tugasnya BAZ memberikan laporan tahunan kepada
pemerintah sesuai dengan tingkatannya.
Selain tanggung jawab dan wewenangnya, menurut Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat BAZ juga memiliki tugas
sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan tugas administratif dan teknis pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat;
b. Mengumpulkan dan mengolah data yang diperlukan untuk penyusunan rencana
pengelolaan zakat;
c. Menyelenggarakan bimbingan di bidang pengelolaan, pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama
dengan pihak terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAZNAS
dapat melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden
melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan RakyatRepublik Indonesia paling
sedikit 1 (satu kali) dalam 1 (satu) tahun.
Sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat disebutkan Badan Amil Zakat memiliki susunan
hierarki yang terdiri dari BAZNAS nasional yang berkedudukan di ibu kota
negara, BAZNAS Propinsi yang berkedudukan di ibukota propinsi dan BAZNAS
Daerah yang berkedudukan di kabupaten.
K. Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Pengelolaannya

Lembaga Amil Zakat atau LAZ menurut Pasal 1 Angka 8 UndangUndang


Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah lembaga yang dibentuk
masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian dan
pendayagunaan zakat. LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS
secara berkala.
Dicantumkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat syarat-syarat untuk membentuk suatu LAZ yaitu:
a. Pembentukan LAZ wajib mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri;
b. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi
persyaratan paling sedikit:
(1) terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang
pendidikan, dakwah dan sosial;
(2) berbentuk lembaga berbadan hukum;
(3) mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
(4) memiliki pengawas syariat;
(5) memiliki kemampuan teknis, administratif dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya;
(6) bersifat nirlaba;
(7) memiliki progam untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat;
dan
(8) bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.

L. Maksud dan Tujuan Pengelolaan Zakat

Pada dasarnya zakat selain sebagai wujud ketaatan kepada Allah namun juga sebagai
kepedulian sosial. Zakat awalnya hanya didayagunakan untuk kepentingan konsumtif
yaitu, untuk memenuhi kebutuhan dasar mustahiq sehingga lembaga amil zakat
menyalurkan zakat sesuai dengan kebutuhan mustahiq yang ada didaerahnya. Zakat
konsumtif yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar mustahiq seperti kebutuhan
konsumsi sehari-hari yaitu, kebutuhan sandang, pangan, dan papan, serta gaji untuk para
guru mengaji dan bantuan biaya kesehatan (Rosyidah dan Manzilati, 2012).
Zakat merupakan satu-satunya ibadah yang dalam syariat islam secara eksplisit
dinyatakan ada petugasnya. Ada dua model pengelolaan zakat. Pertama, zakat dikelola
oleh negara dalam sebuah lembaga atau departemen khusus yang dibentuk oleh
pemerintah. Kedua, zakat yang dikelola oleh lembaga non-pemerintah (masyarakat) atau
semi pemerintah dengan mengacuh pada aturan yang telah ditentukan oleh negara. Zakat
dikelola oleh negara maksudnya, bukan untuk memenuhi keperluan negara, seperti
membiayai pembangunan dan biaya-biaya rutinitas lainya. Zakat dikelola oleh negara
untuk dikumpulkan dan dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Jadi negara hanya
sebagai fasilitator, untuk memudahkan dalam pengelolaan zakat tersebut. Karena zakat
berhubungan dengan masyarakat, maka pengelolaan zakat, juga membutuhkan
konsepkonsep manajemen agar supaya pengelolaan zakat itu bisa efektif dan tepat sasaran
(Hasrullah, 2012: 1).
Menurut Ridwan dalam Rosyidah dan Manzilati (Rosyidah dan Manzilati, 2012),
organisasi pengelola zakat apapun bentuk dan posisinya secara umum mempunyai dua
fungsi yakni:
a. Sebagai perantara keuangan Amil berperan menghubungkan antara pihak Muzakki
dengan Mustahiq. Sebagai perantara keuangan, amil dituntut menerapkan azas trust
(kepercayaan). Sebagai layaknya lembaga keuangan yang lain, azas kepercayaan
menjadi syarat mutlak yang harus dibangun.
b. Pemberdayaan Fungsi ini, sesungguhnya upaya mewujudkan misi pembentukan amil,
yakni sebagaimana muzakki menjadi lebih berkah rezekinya dan ketentraman
kehidupannya menjadi terjamin di satu sisi masyarakat Mustahiq tidak selamanya
tergantung dengan pemberian bahkan dalam jangka panjang diharapkan dapat
berubah menjadi Muzakki baru.
Adapun tujuan dari pengelolaan zakat berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah:
1. Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat;
2. Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan.
Pasal tersebut menggantikan ketentuan di dalam Pasal 5 UndangUndang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang menyebutkan bahwa tujuan pengelolaan
zakat adalah meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai
dengan tuntunan agama, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam
upaya 37 mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial serta meningkatnya
hasil guna dan daya guna zakat.

M. Manajemen Zakat
Manajemen sebagai kata yang diturunkan dari kata to manage mengandung arti
mengatur, menata dan mengelola unsur-unsur manajemen. Unsur-unsur manajemen ini
diatur dan dikelola dengan tujuan agar roda organisasi berjalan maksimal dan kinerja
organisasi dapat tercapai dengan baik dan optimal. Komponen organisasi bisa saling
berkoordinasi satu sama lain secara baik dan terintegritas dalam mewujudkan pencapaian
tujuan organisasi. Manajemen dipahami sebagai ilmu dan seni mengatur proses
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan organisasi. Manajemen juga diartikan
sebagai fungsi untuk mencapai sesuatu melalui orang lain dan mengawasi usaha-usaha
individu untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pengertian lain menjelaskan bahwa
proses mendapatkan dan mengkoordinasikan berbagai masukan dalam suatu satuan usaha
guna menghasilkan suatu keluaran yang relevan dengan lingkungan sistem juga disebut
dengan manajemen. Inti pandangan tersebut menekankan bagaimana sebuah organisasi
yang dikendalikan seorang manajer dapat mencapai tujuan yang ditetapkan bersama
melalui orang lain.
Manajemen merupakan instrument penting bagi seseorang atau sebuah organisasi.
Begitu pula bagi organisasi pengelola zakat, manajemen juga sangat diperlukan. Semua
aktifitas pengelolaan zakat didasarkan prinsip-prinsip manajemen akan membantu
memudahkan organisasi mencapai tujuan dengan baik dan maksimal. Semakin baik dan
professional kerja manajemen organisasi zakat, maka peluang tujuan zakat tercapai secara
maksimal terbuka.
Dalam sejarah perkembangan zakat telah menjadi instrument yang mampu menggeser
status sosial umat dari mustahiq menjadi muzakki dan mampu memberdayakan ekonomi
umat tidak lepas dari mekanisme dan prinsip pengelolaan zakat yang dilakukan secara
professional, akuntabel dan amanah.
Sebagai dana keagamaan yang mengandung potensi ekonomi, zakat dapat menjadi
sumber dana dan asset yang memiliki potensi dalam memberdayakan masyarakat. Potensi
zakat sebagai sumber dana asset dapattubuh dan berkembang secara baik dan tepat
sasaran apabila dikelola dengan baik dan optimal.
Oleh karena itu, pekerjaan mengelola zakat perlu dijadikan sebuah seni yang
berdimensi agama berdimensi humanis. Manajer organisasi zakat perlu mendasarkan
pekerjaan manajemennya dalam rangka mewujudkan dan mengharapkan ridha dan
karunia Allah swt serta memperbaiki tatanan social ekonomi masyarakat.
Tanpa seni manajemen zakat sebagai modal pengembangan tidak akan memberikan
dampak signifikan bagi pemecahan masalah sosial ekonomi. Kesan yang terjadi selama
ini, lembaga zakat yang dibentuk tanpa disertai dengan manajemen melahirkan masalah
baru.
Implementasi zakat profesi dapat dilakukan dengan baik, efektif dan efisien, jika
dilengkapi dengan manajemen. Definisi mengenai manajemen menurut Qodri Azizi
adalah suatu proses atau bentuk kerja yang meliputi arahan terhadap suatu kelompok
orang menuju tujuan organisasi. Setidaknya ada empat unsur penting dalam manajemen
ini yaitu: Pertama, badan atau lembaga. Kedua, proses kerja. Ketiga, orang yang
melakukan proses kerja (staff). Keempat, tujuan badan atau lembaga.
Penerapan manajemen dalam lingkup kerja organisasi zakat tidak dapat dilepaskan
dari pemahaman karakter dan prinsip manajemen Islami. Pemahaman terhadap prinsip
manajemen zakat ini membantu manajemen zakat agar tidak terjebak secara terus
menerus pada prinsip tradisional dalam mengelola organisasi.
Fungsi-fungsi manajemen yang lazim dikenal dalam literatur ilmu manajemen cukup
banyak. Berikut ini beberapa fungsi manajemen yang dapat diterapkan dalam manajemen
zakat.:
1) Perencanaan (Planning)
Perencanaan ditekankan pada kerangka kerja operasional organisasi zakat untuk
mencapai tujuan yang telah ditargetkan baik dalam jangka pendek, jangka menengah
dan jangka panjang. Perencanaan-perencanaan merupakan fungsi utama daripada
manajemen dari segala bidang dan tingkat manapun. Aspek perencanaan misalnya
mencakup SDM yang dibutuhkan dalam pengumpulan zakat, pendekatan dan metode
yang digunakan dalam pengumpulan, peralatan, pembukuan, koneksi, lokasi, waktu
dan sebagainya.

2) Pengorganisasian ( Organizing)
Perngorganisasian sebuah organisasi merujuk pada pembagian tugas dan tanggung
jawab masing-masing pihak yang terlibat dalam organisasi zakat dengan
memanfaatkan sarana dan prasarana yang dimiliki organisasi zakat. Pengorganisasian
kelembagaan organisasi zakat memiliki posisi strategis untuk mengoptimalkan
pengumpulan dan pendistribusian atau pendayagunaan zakat. Penataan organisasi
diperlukan dalam meningkatkan potensi zakat sebagai instrumen pemberdayaan
ekonomi umat. Aspek pengorganisasian mencakup pembagian tugas, pengelolaan
SDM, pengelola sarana, pelolaan waktu dan sebagainya.

3) Pengarahan (Actuating)
Pemberian perintah, komunikasi dan koordinasi dalam proses pelaksanaan tugas
organisasi. Jaringan kerja (networking) dalam organisasi zakat mesti dipahami dan
diterapkan sehingga sistem pelayanan terpadu, terarah dan terintegritas antar organisasi
zakat menjadi terbuka. Sistem ini juga membantu muzakki dalam mengakses informasi
secara bebas, mengontrol dan mengikuti perkembangan dana zakat yang mereka
tunaikan. Demikian halnya dengan database mustahik yang telah mendapat santunan
dan pembinaan dari suatu organisasi zakat dapat diakses dan diketahui oleh organisasi
zakat lainnya.

4) Pengawasan (Controlling)
Pengawasan memiliki peran penting dalam mengella sebuah organisasi. Penekanan
pada pengawasan dalam sebuah organisasi terletak pada sistem operasional,
pengawasan standart kerja, target-target dan kerangka kerja organisasi. Selain itu,
aspek pengawasan dalam organisasi mencakup pengawasana pembukuan, penggunaan
sarana, penggunaan waktu, penggunaan pendekatan, metode dan pendekatan dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. Pengawasan juga mencakup aspek evaluasi
kinerja organisasi zakat. Pengawasan memudahkan organisasi zakat mengidentifikasi
berbagai peluang, kemudahan dan tantangan yang dianggap sebagai kekuatan yang
pendukung dan kelemahan yang menghambat peningkatan kinerja dan pencapaian
tujuan organisasi.

N. Perkembangan Zakat di Indonesia

Perzakatan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat dinamis seiring


dengan perkembangan zaman. Hal tersebut dapat dilihat setidaknya dari tiga aspek.
Pertama, Indonesia telah memiliki regulasi mengenai pengelolaan zakat dalam UU No.
23/2011 dan regulasi turunannya yang terangkum dalam PP No. 14/2014 dan Inpres No.
3/2014. Regulasi-regulasi ini menandakan keseriusan pemerintah dalam upaya
memajukan perzakatan nasional ke arah pembangunan ekonomi yang lebih merata.
Kedua, adanya peningkatan jumlah ZIS di Indonesia dari tahun ke tahun. Secara
umum, hal ini menandakan bahwa populasi Muslim Indonesia semakin sadar untuk
berzakat dan menyalurkan zakatnya melalui lembaga amil zakat. Selain itu, peningkatan
jumlah data ZIS ini juga menjadi salah satu tanda bahwa semakin banyak pegiat zakat di
Indonesia. Ketiga, potensi zakat di Indonesia menunjukkan angka yang cukup besar yaitu
3,4 persen dari total PDB Indonesia atau sebesar Rp 217 triliun pada tahun 2010.
Walaupun potensi ini belum didukung dengan realita penghimpunan zakatnya, hal ini
dapat dijadikan tanda bahwa perzakatan Indonesia dapat berkembang lebih besar lagi ke
depannya, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.

P. Kesimpulan

a) Zakat merupakan salah satu ibadah kepada Allah SWT setelah manusia dikaruniai
keberhasilan dalam bekerja dengan melimpahnya harta benda. Bagi orang muslim,
pelunasan zakat semata-mata sebagai cermin kualitas imannya kepada Allah SWT.
Kepentingan zakat merupakan kewajiban agama seperti halnya shalat dan
menunaikan ibadah haji. Islam memandang bahwa harta kekayaan adalah mutlak
milik Allah SWT, sedangkan manusia dalam hal ini hanya sebatas pengurusan dan
pemanfaatannya saja. Harta adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan
setiap pembelanjaannya di akhirat kelak. Dengan demikian setiap muslim yang harta
kekayaannya telah mencapai niṣ āb dan ḥ aul (satu tahun kepemilikan) berkewajiban
untuk mengeluarkan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat maal.

b) Keluarnya UU tentang Zakat ini telah menjadi suatu gebrakan dan terobosan yang
cukup baik bagi pengembangan pengelolaan zakat di Indonesia, meskipun pada
terdapatnya kekurangan pada Undang-undang tersebut yaitu tidak terdapatnya sanksi
bagi warga negara yang tidak melaksanakan pembayaran zakat, dan masih kurangnya
insentif bagi warga negara yang membayar zakat, meskipun saat ini zakat telah
mampu menjadi salah satu faktor pengurang pajak. Namun dengan lahirnya Undang-
undang khusus yang mengatur tentang zakat ini merupakan terobosan berarti dalam
pengelolaan zakat di Indonesia, dan hal ini selanjutnya diikuti dengan lahirnya
Undang-undang yang khusus mengatur mengenai wakaf. Diharapkan pengelolaan
dan pendayagunaan zakat di Indonesia dapat semakin berkembang dan terasa
pengaruhnya dalam membantu masalah pengentasan kemiskinan di Indonesia.

c) Sumber dana zakat yang dikumpulkan oleh badan dan lembaga amil zakat saat ini
tidak berbeda dengan sumber- sumber zakat yang ada yakni tanam- tanaman dan
buah- buahan, hewan ternak, emas dan perak, serta harta perdagangan yang
disalurkan dalam bentuk zakat maal, zakat fitrah dan infak, wakaf dan shadaqah
tetapi ada tambahan seperti seperti zakat pencarian dan profesi serta zakat saham dan
obligasi yang berdasarkan dari pendapat para ulama yang menyatakan bahwa
kegiatan - kegiatan tersebut ditetapkan sebagai hasil pencarian sebagai sumber zakat
karena terdapatnya illat (penyebab) yang menurut ulama- ulama fiqih sah.

d) Pengumpulan dana zakat oleh badan dan lembaga amil zakat nasional di Indonesia
semakin bervariasi sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi. Selain
menggunakan metode sederhana seperti muzaki menyetor langsung ke badan dan
lembaga zakat yang ada, masing-masing BAZ dan LAZ mengembangkan cara-cara
alternatif lain seperti layanan jemput zakat, online payment, via ATM, maupun via
payroll system yang akan semakin memudahkan muzaki dalam memenuhi
kewajibannya untuk membayar zakat.

e) Bentuk pendayagunaan dana zakat di Indonesia saat ini telah semakin berkembang ke
arah bentuk pendayagunaan zakat yang produktif. BAZ dan LAZ tidak lagi hanya
menyalurkan dana zakat dalam bentuk santunan saja. Selain menyalurkan dana zakat
dalam bentuk bantuan ekonomi dan kesehatan, BAZ dan LAS juga menyalurkan
dana zakat dalam bentuk bantuan pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dakwah
agama, serta pelestarian lingkungan dimana penggunaan dana zakat ini tidak hanya
bermanfaat bagi mustahik pada saat itu saja tetapi dapat bermanfaat juga untuk masa
yang akan datang sehingga menjadikan kaum muslimin khususnya dan masyarakat
Indonesia pada umumnya menjadi sejahterah.

f) Proses penyaluran dana zakat yang ada di Indonesia yang dilakukan BAZ dan LAZ
Nasional saat ini telah semakin bervariasi. Masing-masing BAZ dan LAZ telah
secara kreatif mengembangkan program-program untuk menyalurkan dana zakat.
Program-program ini telah disesuaikan dan dikembangkan untuk menjadikan dana
zakat yang disalurkan agar menjadi zakat yang produktif sehingga menjadikan
mustahik secara positif menjadi sejahterah dalam artian bermanfaat untuk saat ini
dan masa yang akan datang.

g) Secara umum perkembangan pengelolaan dana zakat oleh BAZ dan LAZ nasional
telah mengalami perkembangan yang cukup pesat selama 5 tahun terakhir ini. Hal ini
dapat dilihat dengan meningkatnya pendapatan serta penggunaan dana zakat
terutama penggunaan dana zakat secara produktif untuk menghasilkan masyarakat
yang sejahterah yang dikelola oleh lembaga-lembaga zakat nasional. Peningkatan ini
membuktikan bahwa masyarakat Indonesia khususnya masyarakat muslim semakin
meningkat kesadarannya mengenai kewajiban berzakat serta membuktikan bahwa
zakat berperan sangat penting sebagai jaminan sosial untuk kesejahteraan masyarakat
di Indonesia.

Q. Saran

Berdasarkan permasalah yang dihadapi dalam pengelolaan dana zakat oleh badan dan
lembaga amil zakat nasional ada beberapa hal yang dapat dijadikan masukkan untuk
meningkatkan produktifitas pengelolaan dan zakat oleh BAZ dan LAZ Nasional :

a) Mengingat kurangnya sumber daya manusia (amil) dalam hal pemahaman tentang
fiqih zakat maka, perlu diperbanyak program – program pelatihan yang dapat
membantu meningkatkan pemahaman para amil tentang fiqih zakat.

b) Mengenai belum adanya aturan baku mengenai siapa yang dimaksud atau termasuk ke
dalam kategori asnaf oleh pemerintah, perlu diadakannya kesepakatan mengenai
kategori asnaf oleh seluruh BAZ dan LAZ nasional dengan berkonsultasi dengan
dewan syariah nasional sehingga penyaluran dana zakat dapat menjad lebih tertib dan
dapat dipertanggungjawabkan.

Demikianlah pokok pembahasan makalah ini yang dapat saya paparkan, besar
harapan saya makalah ini dapat bermanfaat untuk kalangan banyak. Karena keterbatasan
pengetahuan dan referensi, saya selaku penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua
pembaca, agar kedepannya makalah ini dapat disusun kembali dengan lebih baik dimasa
yang akan datang.

Di harapkan kepada para pembaca khususnya dapat memaknai bahwa sebagai mana
pentingnya untuk selalu mengeluarkan sebagian harta yang bernilai nisab, agar sebagian
harta yang telah di keluarkan menjadi berkah. Sebagai mana printah allah yang telah
menerangkan di dalam rukun islam, hal ini berkenaan dengan hubungan sang kholik dan
hubungan baik dengan sesama makhluknya khusunya para makhluk allah yang di
berikan akal untuk berpikir yaitu umat manusia yang beragama islam agak 8 golongan
tersebut dapat berkembang, itu hal yang penting dalam agama islam.
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.uin-suska.ac.id/14988/6/6.%20BAB%20I_201870AKT.pdf
http://eprints.ums.ac.id/45839/2/BAB%20I.pdf
http://eprints.ums.ac.id/25505/4/3.BAB_I.pdf
http://eprints.walisongo.ac.id/7498/3/115112016_Bab2.pdf
https://kabsemarang.baznas.org/laman-29-dasar-hukum-dan-syarat-wajib-zakat.html
http://eprints.stainkudus.ac.id/1053/5/05%20BAB%20II.pdf
http://wawai.id/pendidikan/makalah/sejarah-perkembangan-zakat/
https://ngada.org/uu23-2011.htm
https://kepri.kemenag.go.id/public/files/180920171118481465474050.pdf
https://www.puskasbaznas.com/images/outlook/OUTLOOK_ZAKAT_2017_PUSKASB
AZNAS.pdf
http://etheses.iainkediri.ac.id/39/3/BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai