Anda di halaman 1dari 2

Ketika Rasulullah SAW wafat, maka terjadilah kesalahpahaman antara golongan

Muhajirin dan anshar, siapa yang selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslimin. Para
sahabat melihat hal ini akan menimbulkan perselisihan antara kaum Muhajirin dan anshar.
Setelah masing-masing mengajukan delegasi untuk menentukan siapa khalifah pengganti
Rasulullah. Akhirnya disepakati oleh kaum muslimin untuk mengangkat Abu bakar sebagai
khalifah.
Pada masa itu mulai terlihat adanya perpecahan antar umat islam yang berlanjut
hingga masa kepemimpinan khulafa’ berakhir yang kemudian dilanjutkan oleh para kholifah
dari berbagai dinasti dan sampailah pada dinasti dimana imam-imam madzhab aliran-aliran
muncul.
Menurut sebagian sejarawan, istilah Ahlussunnah wal-Jama’ah itu digunakan sejak
abad III H. mereka menyebutkan satu bukti yang ditemukan pada lembaran surat Al-Ma’mun
(khalifah dinasti Abbasiyah ke-6). Di sana, tercantum kata-kata, “wa nassaba nafsahum ilaa
as-Sunnah (mereka menisbatkan diri pada sunnah). Abad ini adalah periode tabi’in dan para
imam-imam mujtahid, di kala pemikiran-pemikiran bid’ah sudah mulai menjalar terutama
bid’ah dari kaum mu’tazilah. Sejarah mengatakan bahwa khalifah al-Ma’mun merupakan
khalifah yang mengambil mu’tazilah sebagai akidah resmi negara kemudian memaksakan
doktrin-doktrin Mu’tazilah kepada kaum muslimin.
Munculnya istilah Ahlusunnah wal-Jamaah merupakan perwujudan dari sabda
Rasulullah SAW “Selalu segolongan dari umatku mendapatkan pertolongan” (H.R. Ibnu
Majah). Untuk orang-orang inilah, istilah ahlusunnah wal-jama’ah ditujukan. Dengan kata
lain, ahlu sunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh sunnah Rasulullah
SAW dan ajaran para sahabat, baik dalam masalah akidah, ibadah, maupun etika batiniah
(tasawuf).
Aliran Ahlu sunnah wal Jama’ah tak lepas dari para pendirinya yaitu Imam Abu
Hasan Al-asy’ari dan juga imam Abu Mansur Al-Maturidi. Saat kondisi perpolitikan
Abbasiyah tengah tergoncang dan akidah pada masa itu semakin kabur dengan paham-paham
baru yang muncul, lahirlah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Kelahirannya saat Abbasiyah
berada pada kepemimpinan Al- Mu’tamid ‘ala Allah.
Bersama dengan imam Al-Maturidi, Imam al-Asy’ari berjuangan keras
mempertahankan sunnah dari lawan-lawannya. Mereka bagaikan saudara kembar. Dari
gerakan-gerakan al-Maturidi muncul karya-karya yang memperkuat madzhabnya, seperti
kitab Al-Aqaid an-Nasafiyah karya Najmudin an-Nasafi, sebagaimana muncul dari al-Asy’ari
beberapa karya yang memperkokoh madzhabnya seperti as-Sanusiyah dan al-Jauharoh.
Akidah yang dibawakan oleh imam Asy’ari menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul
Muluk pada dinasti bani Saljuk dan seolah menjadi aqidah resmi negara. Paham As’ariyah
semakin berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah An-Nizhamiyah yang di Baghdad
adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti al-Mahdi
bin tumirat dan Nurudin Mahmud Zanki serta sultan Salahudin al-Ayyubi. Juga didukung
oleh sejumlah besar Ulama, terutama para imam madzhab. Sehingga wajar sekali kalau
akidah asy’ariyah adalah akidah terbesar di dunia.
Begitupun dengan al-Maturidi, aliran ini telah meninggalkan pengaruh dalam dunia
islam. Hal ini bisa dipahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil sikap tengah
antara akal dan dalil naqli, pandangannya yang bersifat universal dalam menghubungkan
masalah yang siifatnya juz’I ke sesuatu yang kulliy.
Selanjutnya para pengikut keduanya lah yang melanjutkan dan menyebarkan aliran-
aliran beliau dengan membukukan kitab-kitab maupun yang lainnya.

Anda mungkin juga menyukai