Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)

Dokter Pembimbing
Lettkol CKM dr. Sugianto, SpPD

Disusun Oleh:
Vina Dwiningsih
1610221049

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
RST DR SOEDJONO MAGELANG
PERIODE 07 AGUSTUS-14 OKTOBER 2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat,
nikmat, karunia dan hidayah-Nya, referat yang berjudul “Sistemik Lupus
Eritematosus (SLE)” dapat diselesaikan.
Penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada
Lettkol CKM dr. Sugianto, SpPD selaku pembimbing yang dengan penuh
dedikasi, kesabaran dan keikhlasan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam
membimbing penulis sehingga hambatan dalam penulisan referat ini dapat
teratasi.
Penulis menyadari bahwa tulisan dalam referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan
pada laporan kasus. Penulis juga mengharapkan kritik serta saran yang
membangun dari semua pihak agar menjadi lebih baik. Semoga referat ini
bermanfaat bagi para pembaca dan kemajuan ilmu pengetahuan khususnya
kedokteran dikemudian hari.

Magelang, September 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover................................................................................................................. 1
Kata Pengantar................................................................................................. 2
Daftar Isi........................................................................................................... 3
Lembar Pengesahan.......................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………....6
BAB III KESIMPULAN................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 28

3
LEMBAR PENGESAHAN
KOORDINATOR KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

Referat Dengan Judul:

SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS (SLE)

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian


Kepaniteraan Klinik di Dapartemen Ilmu Penyakit Dalam
RST dr Soedjono Magelang

Disusun Oleh :
Vina Dwiningsih
1610221049

Telah Disetujui Oleh Pembimbing:

Lettkol CKM dr. Sugianto, SpPD

4
BAB I
PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic


lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang
belum diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai
perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode
remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan
dengan berbagai organ yang terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks
dan terutama menyerang wanita usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik, dan
hormonal serta lingkungan berperan dalam proses patofisiologi. 1,5,6,7
Prevalensi SLE di Amerika adalah 1:1000 dengan rasio wanita : laki-laki
antara 9-14 : 1. Data tahun 2002 di RSUP Cipto mangunkusumo Jakarta,
didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan pasien poliklinik Reumatologi.
Belum terdapat data epidemiologi yang mencakup semua wilayah Indonesia,
namun insidensi SLE dilaporkan cukup tinggi di Palembang.1,5
Survival rate SLE berkisar antara 85% dalam 10 tahun pertama dan 65%
setelah 20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih
tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE
berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang
berkaitan dengan penyakit vascular aterosklerotik.5,6

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI
.Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun
kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan
penyakit dan prognosis yang sangat beragam.1-9 Penyakit ini terutama menyerang
wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik,
imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi
SLE.1-5,8

II.2 ETIOLOGI
1) Autoimun ( kegagalan toleransi diri)
2) Cahaya matahari ( UV)
3) Stres
4) Agen infeksius seperti virus, bakteri (virus Epstein Barr, Streptokokus,
klebsiella)
5) Obat – obatan : Procainamid, Hidralazin, Antipsikotik, Chlorpromazine,
Isoniazid
6) Zat kimia : merkuri dan silikon
7) Perubahan hormon

II.3 EPIDEMIOLOGI
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk,10 dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.10,11 Belum
terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data
tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4%
kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit
Dalam12, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau
10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun
201013.

6
Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berikut angka
kesembuhan SLE berturut-turut untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun
adalah 93-97%15-17, 84-95%15-16,18-19, 70-85%15-16,18-19, 64-80%15,19, dan 53-64%15,20.
Angka kesembuhan 5 tahun pasien SLE di RSCM adalah 88% dari pengamatan
terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat dari tahun 1990-2002 21. Pada tahun-
tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi
(termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam
jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis14,23-25.

II.4 PATOFISIOLOGI
Tidak diketahui etiologi pasti. Ada faktor keluarga yang kuat terutama pada
keluarga dekat. Resiko meningkat 25–50% pada kembar identik dan 5% pada
kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa
sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya,
menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi
respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem
imun. Faktor lingkungan yang mencetuskan SLE, bisa dilihat pada tabel berikut :
  Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta
faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal.
Respon tersebut terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif
pula, dengan aktivasi poliklonal stimulasi antigenik spesifik pada kedua sel
tersebut. Pada penderita SLE mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti
itu, mengalami gangguan. Hasil dari respon imun abnormal tersebut adalah
produksi autoantibodi dan pembentukan imun kompleks. Subset patogen
autoantibodi dan deposit imun kompleks di jaringan serta kerusakan awal yang
ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE.
Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan
berbagai keadaan seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan
beberapa antigen tubuh tidak dikenal(self antigen) contoh: nucleosomes, U1RP,
Ro/SS-A. Antigen tersebut diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag
dan sel B. Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada
reseptornya sehingga menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh.

7
Antibodi yang dibentuk peptida ini dan antibodi yang terbentuk oleh antigen
external akan merusak target organ (glomerulus, sel endotel, trombosit). Di sisi
lain antibodi juga berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk imun kompleks
yang merusak berbagai organ bila mengendap.
Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan
protein RNA, DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh. Beberapa
autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat
berikatan dengan glikoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Pada
sisi lain antibodi dapat bereaksi dengan antigen cytoplasmic trombosit dan
eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.
Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE dan ini
menyebabkan kerusakan jaringan bila mengendap. Imun kompleks juga berkaitan
dengan komplemen yang akhirnya menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada
receptor C3b pada eritrosit.
Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun
kompleks yang melibatkan berbagai aktivasi komplemen, PMN dan berbagai
mediator inflamasi. Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine pada penderita
SLE adalah ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine. Keadaan ini
dapat meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk antibodi.
Berbagai keadaan pada sel T dan sel B yang terjadi pada SLE :
 Sel T  :
-Lymphopenia
-Penurunan sel T supressor
-Peningkatan sel T helper
-Penurunan memori dan CD4
-Penurunan aktivasi sel T supressor
-Peningkatan aktivasi sel T helper
 Sel B :
-Aktivasi sel B
-Peningkatan respon terhadap cytokine.
Bagian  terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas.

8
 

II.5 GEJALA KLINIK


SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain
misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan
sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi
penting. Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan
mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem
imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10
tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%,

9
ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik
19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai
adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi
subkutaneus akut 6,7%14

II.6 DIAGNOSIS SLE

10
11
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosis SLE memiliki
sensitifitas 85% dan spesifitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan
Monitoring
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, proil lipid)*
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))
6. Foto polos thorax
§ pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring.
* Setiap 3-6 bulan bila stabil
† Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada
SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan
tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai
gambaran klinis menyerupai SLE misalnya 8 infeksi kronis (tuberkulosis),
penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis
rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal.27 Jika hasil tes
ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan
penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah,

12
mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama
jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan
menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak
sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesi ik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai pro il
ANA/ENA. Antibodi antidsDNA merupakan tes spesi ik untuk SLE, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesi itasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang
bukan SLE.27
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30%
pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes
anti-Sm relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE.
Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesi ik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm
yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.

II.7 DIAGNOSIS BANDING


Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan
diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang
serupa, yaitu:26,28
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjögren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat
g. Artritis reumatoid dini
h. Vaskulitis

13
II.8 DERAJAT BERAT RINGANNYA PENYAKIT SLE
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:26
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:26
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,
infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 20.000/mm3 , purpura
trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.

II.9 PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan :
1. Hematologi
Ditemukan anemia, leukopenia, trombocytopenia.
2. Kelainan imunologi

14
Ditemukan ANA, Anti-Ds-DNA, rheumatoid factor, STS false positive,
dan lain-lain. ANA sensitive tapi tidak spesifik untuk SLE. Antibody
double-stranded DNA (Anti-Ds DNA) dan anti-Sm spesifik tapi tidak
sensitive. Depresi pada serum complement (didapatkan pada fase aktif)
dapat berubah menjadi normal pada remisi. Anti-Ds DNA juga
berhubungan dengan aktivitas dari perjalanan penyakit SLE , tetapi
anti-Sm tidak.
Suatu varietas antibody antinuclear lain dan juga anticytoplasmic
(Ro,La,Sm,RNP,Jo-1) berguna secara diagnostik pada penyakit jaringan ikat dan
kadang ditemukan pada SLE dengan negatif ANA.
Serologi Tes Siphillis false positive dapat ditemukan 5-10%
penderita.Mereka disertai antikoagulan lupus,yang manifestasi sebagai
perpanjangan Partial Thrombiplastin (PTT).
Kadar complemen serum menurun pada fase aktif dan paling rendah
kadarnya pada SLE dengan nefritis aktif. Urinalisis dapat normal walaupun telah
terjadi proses pada ginjal. Untuk menilai perjalanan SLE pada ginjal dilakukan
biopsy ginjal dengan ulangan biopsy tiap 4-6 bulan. Adanya silinder eritrosit dan
silinder granuler menandakan adanya nefritis yang aktif.
Berikut tabel dibawah, jenis autoantibody yang berperan dalam SLE dan
prevalensinya.
Tabel 2. Autoantibody pada penderita SLE. 4,5,6

Incidenc Antigen Clinical importance


e% detected
Antinuclear 98 Multiple Substrat sel manusia lebih sensitive dari
antibodies nuclear murine. Pemeriksaan negatif yang
berturut-turut menyingkirkan SLE.
Anti-DNA 70 DNA(ds) Spesifik untuk SLE;Anti-ssDNA
tidak.Titer yang tinggi berkorelasi
dengan nephritis dan tingkat aktivitas
SLE.
Anti-Sm 30 Protein Spesifik untuk SLE.
complexed to
6 species or

15
small nuclear
RNA
Anti-RNP 40 Protein Titer tinggi pada sindrom dengan
complexed tomanifestasi
U1RNA polimyositis,scleroderma,lupus dan
mixed connective tissue disease.Jika +
tanpa anti-DNA,resiko untuk nephritis
rendah.
Anti-Ro(SS-A) 30 Protein Berhubungan dengan Sjorgen’s
complexed toSyndrome,subacute cutaneus
y1-y5 RNA. lupus,inherited C’ deficiencies,ANA-
negative lupus,lupus in eldery,neonatal
lupus,congenital heart block.Dapat
menyebabkan nephritis.
Anti-La(SS-B) 10 Phosphoprotei Selalu berhubungan dengan anti-
n Ro.Resiko nephritis rendah bila
+.Berhubungan dengan Sjorgen’s Synd.
Antihistone 70 Histones Lebih banyak pada drug induced
lupus(95%) daripada spontaneous lupus.
Antiphospholipi 50 Phospholipid 3 tipe- lupus
d anticoagulan(LA),anticardiolipin(aCL),d
an false-positive test for
syphilis(BFP).LA dan aCL berhubungan
dengan clotting,fetal
loss,thrombocytopenia,valvular heart
disease.Antibodi pada β2-glycoprotein I
bagian dari grup ini.
Antierythrocyte 60 Erythrocyte Jumlah sedikit dari antibody ini dapat
mrnnyebabkan hemolisis.
Antiplatelet 30 Platelet Berhubungan dengan thrombocytopenia
surface +pada 15% penderita.
cytoplasma
Antilymphocyte 70 Lymphocyte Kemungkinan berhubungan dengan
surface leukopenia dan abnormal fungsi sel T.

16
Antiribosomal 20 Ribosomal PBerhubungan dengan psikosis atau
protein depresi dengan CNS SLE.
ANA Anti- Rheumatoid Anti- Ani- Anti- Anti Anti Anti-
Native Factor Sm SS-A SS-B SCL- Centromere Jo-1
DNA 70
Rheumatoid Arthritis 30-60 0-5 72-85 0 0-5 0-2 0 0 0
SLE 95-100 60 20 10-25 15-20 5-20 0 0 0
Sjorgen Syndrome 95 0 75 0 60-70 60-70 0 0 0
Diffuse scleroderma 80-95 0 25-33 0 0 0 33 1 0
Limited 80-95 0 33 0 0 0 20 50 0
scleroderma(CREST
syndrome)
Polymiositis 80-95 0 33 0 0 0 0 0 20-30
Wegener’s 0-15 0 50 0 0 0 0 0 0
granulomatosis
ANA = Antinuclear antibody , ANCA = Anticytoplasmic antibody
Semua angka diatas menunjukan frekwansi dalam %.
Frekwensi pemeriksaan abnormal yang didapatkan pada pemeriksaan
laboratorium pada SLE :
1. Anemia 60%
2. Leukopenia 45%
3. Trombocytopenia 30%
4. False test for syphilis 25%
5. Lupus anticoagulant 7%
6. Anti-cardiolipin antibody 25%
7. Direct coomb test positive 30%
8. Proteinuria 30%
9. Hematuria 30%
10. Hypocomplementemia 60%
11. ANA 95-100%
12. Anti-native DNA 50%
13. Anti-Sm 20%
Beberapa obat dapat menyebabkan ANA tes positf dan kadang-kadang
sindroma mirip lupus.Gejala menghilang jika obat dihentikan segera.

17
Obat-obat yang dapat memicu timbulnya SLE  terhadap orang dengan
predisposisi genetik :
 Definite ascociation
Chlorpromazine                     Methyldopa
Hydralazine                            Procainamide
Isoniazid                                 Quinidine
 Possible ascociation
Beta-blocker                          Methimazole
Captopril                                Nitrofurantion
Carbamazepine                    Penicillinamine
Cimetidine                             Phenitoin
Ethosuximide             Propylthiouracil
Hydrazine                              Sulfasalazine
Levodopa                               Sulfonamide
Lithium                                  Trimethadione
 Unlikely ascociation
Allopurinol                              Penicillin
Chlortalidone                         Phenylbutazone
Gold salt                                 Reserpine
Griseofulvin                            Streptomycin
Methysergide             Tetracycline
Oral contraceptive

18
II.7 DIAGNOSIS
Diagnosis SLE harus dipikirkan pada :
1. Wanita muda
2. Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari
3. Manifestasi sendi
4. Depresi dari hemoglobin, sel darah putih, sel darah merah,trombosit
5. Tes serologi yang positif (ANA, anti-native DNA, serum komplemen
yang rendah)
Diagnosis mengacu pada kriteria yang dibuat oleh the American College of
Rheumatology revisi tahun 1997.7,9
Interpretasi:
Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan, diagnosa SLE bisa ditegakkan dengan
spesifitas 98% dan sensitivitas  97%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosa bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan gejala lain tidak ada, maka bukan SLE.

II.9 TATALAKSANA
Tujuan
Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan pengenalan dini dan
pengobatan paripurna. Tujuan khusus : a) mendapatkan masa remisi yang

19
panjang, b) menurunkan aktifitas penyakit seringan mungkin, c) mengurangi rasa
nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktifitas hidup keseharian baik
Pilar Pengobatan
1) Edukasi dan konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan sekitar agar dapat hidup mandiri. Pasien memrlukan edukasi
mengenai cara mencegah kekambuhan antara lain dengan melindungi kulit
dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya,
payung, atau topi, melakukan latihan secara teratur, pengaturan diet agar
tidak kelebihan berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia. Diperlukan
informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan
aktifitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan.
2) Latihan/program rehabilitasi
Istirahat
Terapi fisik
Terapi dengan modalitas
3) Pengobatan SLE Ringan 10
A. Edukasi
Pasien diberikan harapan yang realistic sesuai keadaannya, hindari
paparan ultra violet berlebihan, hindari kelelahan, berikan
pengetahuan akan gejala dan tanda kekambuhan, anjurkan agar pasien
mematuhi jenis pengobatan dan melakukan konsultasi teratur.
B. Obat-obatan
Anti analgetik
Anti inflamasi non steroidal (OAINS)
Glukokortikoid topikal potensi ringan (untuk mengatasi ruam)
Klorokuin basa 4mg/kg BB/hari
Kortikosteroid dosis rendah < 10 mg/hari prednisone
Tabir surya : topikal minimum sun protection factor 15 (SPF 15)
Istirahat
4) Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
a. Glukokortikoid dosis tinggi 1,6,7,8

20
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia : 40-60 mg/hari (1mg/kg
BB) Prednisone atau metilprednisolon intravena sampai1 g/hari selama 3
hari berturut-turut. Selanjutnya diberikan oral.
b. Obat imunosupresan atau sitotoksi
Azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, klorambusil, siklosporin dan
nitrogen mustard. Tergantung dari berat ringannya penyakit serta organ
yang terlibat, misalnya pada lupus nefritis diberikan siklofosfamid
(oral/intravena) azatioprin; arthritis berat diberikan metotreksat (MTX).
Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna(sangat jarang didapatkan
remisi yang sempurna). Meskipun begitu dokter  bertugas untuk memanage dan
mengkontrol supaya fase akut tidak terjadi. Tujuan pengobatan selain untuk
menghilangkan gejala, juga memberi pengertian dan semangat kepada penderita
untuk dapat bekerja dan melakukan kegiatan sehari-hari. Terapi terdiri dari terapi
suportif yaitu diit tinggi kalori tinggi protein dan pemberian vitamin.
Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE,
yaitu:11,12
1. Monitoring teratur
2. Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup
3. Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan
pemberian sunscreen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar
matahari
4. Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik
yang adekuat.
5. Rencanakan kehamilan / hindari kehamilan .
Berikut adalah beberapa terapi medikamentosa pada penderita SLE :11,12
1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID):
NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik,
antipiretik dan antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE
dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang
paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup
efektif untuk mengobati SLE dengan arthritis dan pleurisi, dalam
kombinasi dengan steroid dan antimalaria. Keterbatasan obat ini

21
adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan
dan ulserasi. Cox2 dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan
dapat mengatasi hal ini, tetapi belum ada penelitian mengenai
efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS adalah :
reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis
aseptik.
2. Antimalaria
Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan
sendi telah lama diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat
pilihan pertama untuk SLE kulit terutama LE diskoid dan LE kutaneus
subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan
antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan
meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat
fagositosis, migrasi netrofil, dam metabolisme membran fosfolipid.
Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV.
Hidrosiklorokuin menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan kolesterol
total, HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima steroid
maupun yang tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin
(dosis 200-400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin
(100mg/hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan
efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling
sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan
muntah; efek samping lain adalah timbulnya ruam, toksisitas retin, dan
neurologis (jarang).
3. Kortikosteroid
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme
antiinflamasi dan. Dari berbagai jenis steroid, yang paling sering
digunakan adalah prednison dan metilprednisolon.
Pada SLE yang ringan (kutaneus, arthritis/arthralgia) yang tidak
dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednisone 2,5

22
mg sampai 5 mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2
minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan
mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalaria
tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik
dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis berat, poliarthritis,
poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis, glomeruloneftritis
(bentuk proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan krisis
lupus.
Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian
steroid:
1. Regimen I : daily oral short acting (prednison, prednisolon,
metilprednisolon), dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis
terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap (tapering) sesuai dengan
perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat
mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hematologis
atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3-10 minggu untuk
glomerulonephritis.
2. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000
mg/hari, selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari.
Regimen ini mungkin dapat mengontrol penyakit lebih cepat
daripada terapi oral setiaap hari, tetapi efek yang menguntungkan
ini hanya bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi
SLE jangka lama.
3. Regimen III : kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik
azayhioprine atau cyclophosphamide.
Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan
kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
4. Methoreksat
Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam
dosis untuk penyakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah
daripada obat alkilating atau azathrioprin. Methorekxate dosis
rendah mingguan, 7,5-15 mg, efektif sebagai “steroid spring agent”

23
dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestsi
kulit dan mukulosketetal. Gansarge dkk. melakukan percobaan
dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada kegagalan steroid
dan antimalaria.
Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah:
lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal,
hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek samping diperlukan
pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan hepar. Pada
penderita dengan efek samping gastrointestinal, pemberian asam
folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.
5. Imunosupresan atau sitostatik yang lain.
Azathhioprine (Imuran AZA)
Cylophosphamide (chitokxan, CTX)
Chlorambucil (leukeran, CHL)
Cyclosporine A
Tacrolimus (FK506)
Fludarabine
Cladribine
Mycophenolate mofetil
6. Terapi hormonal
Dehidroxyepiandrosterone Sulfate (DHEAS)
Danazol
7. Pengobatan Lain
Dapsone
Dapsone, atau 4.4’- diaminophenylsulphone, bekerja
dengan cara mengganggu metabolisme folat dan menghambat
asam para aminobenzoat, dan menghambat jalur alternative
komplemen serta sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari
50 tahun  yang lalu untuk pengobatan lepra. Dapson ternyata
efektif untuk pengobatan Lupus eritematosus kutaneus.
Leukopenia, dan trombositopenia pada SLE, dengan  dosis 50-
150 mg/hr. hampir semua penderita yang menerima dapsone

24
akan mengalami anemia hemolitik ringan yang biasanya
berhubungan dengan dosis.
Clofazimine (Lamprene)
Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk
LE kutaneus yang refrakter. Digunakan dengan dosis antara 100
sampai 200 mg/hr. efek samping yang terutama adalah warna
kulit yang berubah menjadi pink atau coklat gelap, dan menjadi
kering.
Thalidomide
Thalidomide dengan dosis 50 sampai 100 mg/hr serta dosis
pemeliharaan 25 sampai 5o mg/hr, efektif untuk LE kutaneus
refrakter. Obat ini bekerja dengan menghambat TNF alfa. Obat
ini dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak laporan
mengenai terjadinya malformasi janin (fokomelia). 11,12

Immunoglobulin intravena
Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan
menghambat reseptor Fc reikuloendotelial. Terapi ini berguna
untuk mengatasi trombositopenia, dan pada keadaan mengamcam
jiwa, dengan dosis 2 k/kgBB/hari. 5 hari berturut-turut setiap
bulan. IVIg sangat mahal, oleh karena itu hanya digunakan pada
SLE yang resisten terhadap terapi standar, atau pada keadaan
SLE yang berat. 11,12
External Device
Terdapat beberapa teknik eksternal  yang kegunaannya
pada SLE agak terbatas, yaitu: plasmapheresis, photopheresis,
immunoabsorption, UVA1light (panjang gelombang: 340-400nm),
and iradiasi limfoid total.
8. Transplantasi Sumsum Tulang11,12
Hanya diberikan pada kasus SLE yang paling agresif dan
rekfrakter. Terapi ini masih merupakan eksperimental untuk saat ini.
 Pengobatan Terhadap Komplikasi

25
Pada komplikasi gagal ginjal dipertimbangkan pemberian diuretic,anti
hipertensi,mungkin juga dilakukan dialysis serta transplantasi ginjal.
Terhadap kejang-kejang dapat diberikan antikonvulsan.

II.10 KOMPLIKASI 9,10


Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa
psikosis, epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial neuropati,
transverse myelitis, stroke. Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari
obat kortikosteroid. Perbedaan antara keduanya dapat diketahui dengan
menurunkan atau menaikkan dosis steroid. Psikosis lupus membaik bila dosis
steroid dinaikkan, dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya diturunkan.
Komplikasi  renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik.
Manifestasi yang paling sering berupa proteinuria. Histopatologi lesi renal
bervariasi mulai glomerulonefritis fokal sampai glomerulonfritis
membranoploriferatif difus. Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan
asimtomatik sampai progresif dan mematikan. Karena kasus yang ringan semakin
sering dideteksi, insidens yang bermakna semakin menurun. Ada 2 macam
kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis lupus
membranosa. Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat. Klinis berupa
sebagai sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal kronik.

II.11 PROGNOSIS 9,10


Bervariasi tergantung dari komplikasi dan keparahan keradangan.Perjalanan
SLE kronis dan kambuh-kambuhan seringkali dengan periode remisi yang lama.
Dengan pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis dapat baik.

26
BAB III
KESIMPULAN

SLE (Systemisc Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun dimana


organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding
autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa
menyerang berbagai sistem organ. Prevalensi SLE di Amerika adalah 1:1000
dengan rasio wanita : laki-laki antara 9-14 : 1. Data tahun 2002 di RSUP Cipto
mangunkusumo Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan pasien
poliklinik Reumatologi. Belum terdapat data epidemiologi yang mencakup semua
wilayah Indonesia, namun insidensi SLE dilaporkan cukup tinggi di Palembang.
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik,
infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE.
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel
dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan
menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam
pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun
sistemik dengan kerusakkan multiorgan.
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik,
banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Angka harapan hidup
10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk ditemukan pada
penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio Harry, Albar Zuljasri, Yoga, Bambang. Lupus Eritematosus


Sistemik. Dalam Sudoyo Aru, dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Balai Penerbit FK UI Jakarta; 2006. h.1214.
2. Symposium National Immunology Week 2004, Surabaya 9-10 Oktober
2004; hal201-213.
3. Current Medical Diagnosis and Treatment 2004; Chapter 20; Arthritis and
Musculosceletal disorder ; page 805-807.
4.  Harrisson’s Principle of Internal Medicine 15 th Edition; Volume 2; page
1922-1928.
5. Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ; hal.27-30.
6. Klippel JH, ed. Primer on the rheumatis disease. 12 th ed. Atlanta: Arthritis
Foundation. 2001: 329-334
7. Hochberg Mc. Updating the Ameican College of Rheumatology revised
criteria for the classification of systemic lupus erythematosus [letter].
Arthritis Rheum 1997; 40: 1725
8. American college of rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus
erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999; 42(9): 1785-96
9. Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB, editors. Textbook of
rheumatology. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders. 1997
10. Boumpas DT, Austin HA, Fessler BJ. Systemic lupus erythematosus :
Renal, neuropsychiatric, cardiovascular, pulmonary and hematologic
disease. Ann Intern Med 1995; 122 : 940–50.
11. Wallace DJ. Antilamarial agents and lupus. Rheum Dis Clin North Am
1994; 20 : 243-263.
12. Bansal VK, Beto JA. Treatment of lupus nephritis: a meta-analysis of
clinical trials. Am J Kidney Dis 1997; 29 : 193-199

28

Anda mungkin juga menyukai