Anda di halaman 1dari 11

ISLAM SEBAGAI MODAL BUDAYA DI INDONESIA DAN DUNIA

MELAYU: Konvergensi Kajian Islam, Ilmu Sosial dan Humaniora


Amin Abdullah

Abstrak:

Fenomena kehidupan sosial-politik-keagamaan di Timur Tengah sangat kontras dengan


kehidupan sosial- politik-keagamaan di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia dan di dunia
Melayu pada umumnya. Pergantian kepemimpinan sosial-politik di Indonesia dari Orde Baru ke
Orde Reformasi (1998) relatif mulus, diikuti dengan pemilihan legislatif yang bebas kekerasan
dan pemilihan presiden pada tahun 2004, 2009, dan 2014. Sementara itu, perubahan sosial-
politik Kepemimpinan politik di negara-negara Timur Tengah (Arab Spring) selalu dibayangi
dan diikuti oleh konflik sosial politik dan kekerasan agama yang memakan banyak korban.
Kehidupan sosial politik masyarakat Muslim di Indonesia dan di dunia Melayu mengambil jalan
yang berbeda dari masyarakat Timur Tengah, dan juga membentuk Asia Selatan. Selama transisi
kepemimpinan di Indonesia, yang mayoritas Islam, dapat dijalankan dengan damai tanpa
kekerasan dan korban jiwa. Tulisan ini akan mengkaji kontribusi intelektual Muslim Indonesia—
sebagai bagian integral dari dunia Melayu —terhadap perkembangan pemikiran Islam Asia
Tenggara dan kontribusinya dalam membingkai Muslim moderat- progresif di dunia Melayu
dalam merawat keragaman, inklusi, keterbukaan, perdamaian dan harmoni di dunia global saat
ini.

Kata kunci: Studi Islam, pemikiran Islam, dunia Melayu.

pengantar

Membahas pemikiran politik Islam di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, sepengetahuan


saya, tak pelak lagi melibatkan konteks seperti Marshall Hodgson membedakan tiga bentuk
fenomena penyebaran dan perkembangan peradaban Islam, yaitu: pertama, fenomena Islam
sebagai sebuah doktrin (Islam), kedua, fenomena ketika doktrin itu masuk, meresap,
berjuang secara intens dan kompleks. pertemuan dengan budaya lokal (islami) dan terwujud
dalam konteks sosial dan sejarah tertentu. Dan ketiga, ketika Islam menjadi fenomena
“dunia Islam” yang bersifat politis di lembaga- lembaga pemerintahan (Islam) berangkat
dari konsep “dar al-Islam”, seperti yang terjadi di dunia Kristen, yang disebut kristen, di
mana ketentuan hukum diterapkan seperti yang dilakukan al-Qur'an atau Injil. Jadi, ada tiga
kata kunci penting untuk memahami sejarah dan peradaban Islam, yaitu keislaman,
keislaman, dan keislaman.
Salah satu ciri pokok pemikiran Islam Indonesia yang dikembangkan oleh para pendiri
bangsa Indonesia dan disampaikan oleh para cendekiawan dan intelektual Muslim
menunjukkan perlunya keterlibatan konteks sosial dan budaya untuk memahami realitas dan
dinamika teologi Islam dan pemikiran politik Islam di tanah air. Bukan itu Sejak awal
kemunculan cendekiawan muslim Indonesia pasca

kemerdekaan yang diwakili oleh Nurcholish Madjid, wacana tahap perkembangan


pemikiran Islam Indonesia, gagasan Kalam Ibnu Taimiyah dan 'aqi>dah, al-Ghazali dan Ibn
Arabytas}awwuf, Ibnu Rusdh fiqh, dan para pemikir Muslim klasik lainnya, telah
diilustrasikan dengan jelas dalam karyanya Khazanah Intelektual Islam. Semuanya
kemudian dikawinkan dengan dialog dan pemikiran para sejarawan, seperti Marshall
Hodgson, sosiolog agama, seperti Robert N. Bellah dan sejenisnya, kemudian menyatu dan
menyatu dalam pemikiran dan kerangka analitis utuh. Dalam public speaking, dalam
seminar, kuliah dan orasi, perkawinan dan jalinan khazanah intelektual muslim klasik (al-
Tura>th) dan ilmu-ilmu sosial modern (al-H{ada>thah) selalu muncul di sana. Itulah salah
satu ciri dari banyak ciri lain, yang membedakan pemikiran teologi dan politik Islam lokal
Indonesia dari pola pemikiran teologi dan politik Islam lokal di wilayah lain di dunia
Muslim.

Pluralitas, inklusivitas dan al-h}anifah al-samha'

Ekspresi lokal pemikiran politik Islam Indonesia telah berbaur dan menjuntai dari
segi pluralitas, toleransi, inklusivitas, al-h}anifah al- samha' dan dialog. Bagaikan kilat
menyambar di siang bolong ketika Nurcholish Madjid, sebagai salah satu perwakilan
intelektual Muslim Indonesia di tahun 80 dan 90-an, dengan lantang dan tegas berbicara
tentang pemikiran Islam yang bercorak dialh}anifah al-samha' ( toleransi, solidaritas, dan
keterbukaan), pluralitas (alta'addudiyyah) dan inklusif (al-tadhamuniyyah). Ia diciduk di
siang bolong karena pemikiran Islam secara umum yang berkembang di pesantren,
perguruan tinggi Islam, khususnya di perguruan tinggi negeri, belum lagi berbagai jenis
pesantren.majelis taklims (kumpulan ajaran agama bagi umat Islam) dan halaqah-halaqah
tarbiyah (forum pelatihan agama) dan juga berkembang di berbagai organisasi Islam di
tanah air tidak seperti itu. Umumnya polanya masih eksklusif, tertutup, sektarianisme,
primordial, parokialisme,madhhabiyyah, hizbiyyah, ta'ifiyyah. Situasi dan psikologi sosial-
politik di tanah air pada waktu itu—bahkan sampai batas tertentu sampai sekarang dan lagi
—masih ada yang menginginkan segala bentuk keislaman (Islam politik, khilafah,al-
khila>fah al-isla>miyyah, al- daulah al-isla>miyyah) karena mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam (87%). Maka wajar jika ada beberapa kelompok kepentingan yang
menginginkan berdirinya semacam negara agama atau negara Islam di sini, tetapi sayangnya
dengan mengesampingkan kesepakatan untuk menarik konsensus dan kesepakatan para
orang tua pendiri, pendiri republik, negara-bangsa, Indonesia.
Diktum yang dicanangkan Nurcholish Madjid adalah "Islam, Ya, Partai Islam,
Tidak?" yaitu Islam yang bercorakal-h}anifah al-samha', toleran, terbuka, lapang, dan yang
dapat menerima dan bekerjasama dengan masyarakat dan kelompok lain dalam membangun
kesejahteraan warga negara bangsa Indonesia secara bersama-sama adalah Ya. Bukan Islam
yang secara kaku terjebak dalam pola eksklusif, sektarianisme, primordial,madzhabiyah,
hizbiyyahdan ta'ifiyyah, yang hanya mementingkan kepentingan internal kelompoknya
sendiri, tetapi tidak dapat menerima apalagi bekerjasama dengan orang, organisasi dan
kelompok, agama, suku, ras lain. Meski terasa pahit saat itu, namun manisnya bisa dirasakan
di masa sekarang, apalagi kita semua sebagai keluarga besar dan warga bangsa Indonesia
saat ini dibandingkan dengan melihat, mengamati dan mengikuti perkembangan sosial-
budaya masyarakat. konflik politik-agama di Timur Tengah (Arab Spring).

Pada dasarnya, ekspresi lokal Islam Asia Tenggara dan dunia Melayu pada
khususnya adalah moderat. Budaya Islam Asia Tenggara harus sopan dan ramah terhadap
perbedaan interpretasi dan pemahaman dari perspektif agama yang berbeda.Pancasila
sebagai landasan ideologis era modern dan bangsa yang digali dari akar budaya Indonesia,
juga mencerminkanWeltanschauung masyarakat Indonesia pada umumnya. 5 pilar
dariPancasilayaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, Pelajaran Kebijakan Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Permusyawaratan Rakyat, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, di satu sisi
merupakan puncak dari kompromi nasional, titik temu kesepakatan nilai-nilai luhur
(kalimatun sawa>'; platform bersama) yang diperoleh dari berbagai budaya lokal, budaya
yang tersebar di seluruh bangsa (Islam dalam konteks budaya), sedangkan di sisi lain
merupakan titik temu dan titik sentral ajaran Islam yang terkandung dalam kitab suci al-
Qur'an. an dan buku-buku darifiqh siyasah/politik klasik (Islam in Text). Dengan landasan
filosofis ketatanegaraan konstitusional sebagaimana adanya, umat Islam Indonesia telah
melengkapi dirinya dan juga telah menyelesaikan perjuangannya dengan gagasan berbangsa
dan bernegara modern. Kelengkapan itulah yang menjadi inti dari identitas komunitas
Muslim Indonesia, yang mewakili komunitas Muslim terbesar di Asia Tenggara. Ini juga
merupakan modal yang akan digunakan untuk menghadapi dan memasuki kehidupan
bersama masyarakat ekonomi Asia, AFTA serta anggota kewarganegaraan dunia.

Kegagalan merawat dan memperkuat sendi-sendi kehidupan dan pemerintahan


negara-bangsa era modern di sebagian besar negara di Timur Tengah dan belahan dunia
Muslim lainnya disebabkan oleh kekuatan ideologi, doktrin yang keras, atau pemahaman
sosial-politik yang kaku tentang prinsip-prinsip Islam, yang dikenal sebagai al-walla>' wa
al-barra.

(hanya setia kepada orang, kelompok, organisasi, sekte, partai seagama, aliran agama
dan tidak setia atau menolak pemimpin yang tidak berasal dari kelompok agama, sekolah,
organisasi atau sekte mereka sendiri). Doktrin ini cukup kuat, ditanamkan oleh kelompok-
kelompok sosial dan politik yang saling berebut kekuasaan sosial-politik di kawasan Timur
Tengah. Perjuangan teologis-politik dan perselisihan antara Sunni dan Syi'ah tidak selesai,
bahkan diperdalam, di berbagai wilayah di Timur Tengah, dan cenderung merambah ke
wilayah lain, seperti di Asia Selatan yang berakar pada doktrinfiqh al-siya>sah (pola doktrin
politik agama) dalam teks klasik tersebut. Ideologitakfi>r atau takfi>riyyahberasal dari
wilayah Timur Tengah dan menyebar di masyarakat dan di jejaring media sosial, yaitu
menganggap kelompok lain yang berbeda pemahaman dan interpretasi agama sebagai kafir,
rasul dan kafir juga didasarkan pada doktrin al-walla>' wa al-barra>' (kesetiaan dan
penolakan).

Ideologi dan praktik sosial politik Islam yang dideklarasikan oleh para pendiri
Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang mendeklarasikan secara sepihak khila>fah atau
al-Daulah al-Isla>miyyah (Islamic State) merupakan penangkal atau antitesis dari sistem
demokrasi republik dan pemerintahan konstitusional yang mereka anggap gagal di Irak dan
Suriah. Praktek kekhalifahan Islam (khila>fah islamiyah) doktrin yang dianut oleh ISIS

benar-benar didasarkan pada doktrin al-walla>' wa al-barra>' (kesetiaan dan


penolakan). Bahkan doktrin kesetiaan dan pengingkaran tidak hanya terbatas pada pemilihan
pemimpin masa depan, tetapi juga meluas ke bidang sejarah dan budaya. Perusakan tempat
ibadah milik pemeluk agama lain, perusakan situs budaya dan agama, seperti:

candi, arca, dan benda bersejarah lainnya yang dianggap sebagai simbol melalaikan, dan
bertentangan dengan pemahaman subjektif dari 'Aqi>dah dan Syariah>'ah Islam yang
mereka pahami. Puncak dari posisi yang tidak nyaman dan sulit ini adalah gumpalan dan
kesuburan sektarianisme (madzhabiyah), parokialisme (hizbiyyah), primordial (ta'ifiyah)
dalam masyarakat muslim yang melemahkan sendi-sendi kehidupan sosial-sosial dan
kehidupan sosial-politik bangsa.

Sungguh, jenis doktrin politik agama berdasarkan teks klasik ini

sangat bertolak belakang dengan nilai pamungkas mempelajari ilmu- ilmu sosial yang
disebarluaskan dari abad ketujuh belas hingga saat ini. Menurut Gudmund Hernes, Presiden
Dewan Ilmu Sosial Internasional, Ilmu Sosial memiliki konsepsi baru dan nilai-nilai
fundamentalnya dalam mengelola negara dalam masyarakat yang majemuk. Saya mengutip:

“Sebagian besar, ilmu-ilmu sosial datang dengan ide-ide baru tentang agama, akal,
kemanusiaan, dan masyarakat digabung menjadi pandangan dunia yang cukup koheren yang
menekankan hak asasi manusia, individualisme, dan konstitusionalisme. Studi masyarakat
asing digunakan sebagai kontras ketika menganalisis institusi dan kebiasaan suatu negara.
Serangkaian konsepsi baru yang mendasar diartikulasikan, misalnya: tentang otonomi
individu dan hak-hak yang tidak dapat diganggu gugat; tentang kebebasan individu dan
kedaulatan rakyat; tentang tripartisi kekuasaan negara dan kemerdekaan negara dari
supremasi agama; tentang ketidakadilan hak istimewa yang diwarisi; tentang prinsip-prinsip
untuk mengatur ekonomi pasar”.

Lebih lanjut, Hernes menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu sosial setara dengan
kebangkitan Modernitas di mana pengakuan bahwa pluralitas pendapat dan debat kritis yang
terbuka diperlukan untuk mendapatkan wawasan baru dan bagi warga negara untuk
menempa sejarah mereka sendiri. Pendidikan untuk semua, termasuk perempuan,
diartikulasikan sebagai tujuan politik. Pers gratis dan penyebaran pengetahuan dianggap
sebagai sarana untuk pencerahan dan pengembangan pribadi. Kekuasaan hanya bisa sah jika
ia memajukan kesejahteraan rakyat. Bahkan hari ini, banyak dari isu-isu ini tetap
diperdebatkan. Inilah poin penting yang dihadapi oleh masyarakat Muslim di tempat lain di
dunia. Berikut adalah kekurangan dan kelemahan pemikiran Islam di Timur Tengah pada
khususnya dan di negara-negara Muslim pada umumnya, yang diduga oleh Ibrahim M. Abu
Rabi' sebagai pemikiran Islam pada umumnya dan'Ulu>m al-Di>n khususnya yang tidak
mengenal dan kurang menyentuh ilmu-ilmu sosial dan masukan berharga dari pemikiran
kritis-filosofis-akademik yang biasa dipelajari dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora
kontemporer. Saya kutip pandangan Ibrahim M. Abu Rabi' sebagai berikut:

“Inti dari lapangan berputar di sekitar Syariah>'ah dan fiqh studi yang telah, sangat
sering, dikosongkan dari konten kritis atau politik, atau relevansi dengan situasi saat ini.
Sebuah perbedaan yang jelas telah dibuat antara "Teologis" dan 'politik' atau 'Teologis' dan
'sosial', dengan yang pertama Dipahami sebagai ritus, simbol, dan teks sejarah saja.
Selanjutnya, perspektif ilmu-ilmu sosial atau kritis filsafat sayangnya tidak ada. Bidang
modernSyariah>'ahstudi di dunia Muslim tetap tertutup untuk kontribusi manusia yang
paling maju dalam filsafat kritis dan ilmu-ilmu sosial”.

Cendekiawan Muslim Indonesia khususnya yang mendedikasikan karya


akademisnya di Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTKIN) menempuh jalan lain. Sejak tahun
1980 dan seterusnya, ide ilmu-ilmu sosial pada awalnya diperkenalkan dan digabungkan
dengan'Ulu>m al-Di>n (pengetahuan Islam) dan akhirnya berkembang pada tahun 2000-an
sebagai Islamic Studies (Dira>sat Isla>miyyah).17 Bahkan di beberapa kalangan di
Universitas Islam Negeri (UIN), mereka sudah memperkenalkan Studi Agama dan Studi
Banding Agama. Dialog, debat, dan perjumpaan antara ketiga rumpun disiplin ilmu ini
terlihat jelas dalam karya-karya ilmiah mereka. Ide-ide besar pemikiran sosial dan politik
Islam yang ditulis oleh para cendekiawan Muslim Indonesia dalam buku-bukunya kemudian
diunggulkan, ditangkap dan disebarluaskan baik secara langsung maupun tidak langsung
oleh jaringan perguruan tinggi Islam di tanah air. Ada jaringan lain yang berpartisipasi
dalam merawat dan mengembangkan ide-ide baru dan inklusivitas, pluralitas,alh}anifah al-
samha', toleransi dan dialog, namun yang diterapkan secara sistematis, akademis dan
terstruktur secara kelembagaan adalah melalui jaringan Perguruan Tinggi Islam di tanah air.
Konsep-konsep dasar tersebut dituangkan dalam buku dan karya tulis lainnya, melalui
buletin, majalah, jurnal, hard copy atau elektronik, yang selanjutnya dimasukkan ke dalam
kurikulum inti dan silabus pengajaran dan pemberian kuliah agama di perguruan tinggi bagi
para dosen. Selain itu, mendorong semangat penelitian pemikiran Islam dan masyarakat
Muslim di tanah air.

Belakangan, sekitar tahun 90-an, gagasan itu semakin berkembang seiring dengan
didirikannya pusat-pusat studi di dalam dan di luar madrasah, diklat yang dilakukan oleh
para aktivis sosial melalui organisasi kepemudaan, kepemudaan, dan pengadilan umum dan
agama, serta kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat sipil.18 Tema-tema tersebut
berkembang ke wilayah yang lebih luas, seperti dialog antarbudaya, dialog antaragama,
dialog budaya dan agama, agama dan gender, agama dan hak asasi manusia, agama dan
mitigasi bencana, agama dan lingkungan, agama dan demografi, agama dan
multikulturalisme, agama dan ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Apa dampaknya bagi
kehidupan berbangsa? Memang, ternyata pemahaman dan pemikiran Islam model
kontekstual ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam jangka panjang,
berkesinambungan, dan tiada henti proses pembentukan bangsa dan karakter masyarakat
muslim Indonesia.

Pengaruh dan dampaknya baru bisa dirasakan ketika masyarakat dan pemerhati
internasional membandingkan kehidupan berbangsa dan bernegara umat Islam Indonesia
dengan kehidupan berbangsa di berbagai kawasan dunia, terutama di sebagian kawasan
Timur Tengah. Tanpa mengurangi peran perguruan tinggi lain, patut dicatat jika tidak ada
Perguruan Tinggi Islam (PTA; PTKIN) di tanah air yang kini memiliki 57 Perguruan Tinggi
Agama Islam, yang terdiri dari 17 Universitas Islam Negeri (UIN), 26 Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) dan 14 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), belum lagi lebih dari
569 Perguruan Tinggi Swasta, Perguruan Tinggi (PTAIS; PTKIS), kita tidak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi pada bangsa ini dan bagaimana bangsa ini,

Kenyataannya, di banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim di dunia, tidak ada


atau tidak semuanya dapat menerima model pemerintahan negara modern sepenuh hati
dengan sistem negara-bangsa seperti yang telah kita lakukan di Indonesia, yaitu
pemerintahan negara-bangsa, yang berdasarkan konstitusi, demokrasi, pluralitas, pemerataan
dan perlindungan hak asasi manusia. Jika mereka menerima, mereka belum bisa
menyelesaikan masalah Sunni dan Syi'ah di negara mereka sendiri. Salah satu poin penting
dalam UUD dalam negara-bangsa adalah demokrasi, yaitu terselenggaranya pemilihan
umum yang jujur dan adil dalam memilih wakil rakyat melalui pemilihan legislatif dan
memilih calon presiden melalui pemilihan presiden. Bukan negara Muslim terpadat, untuk
mengambil contoh Pakistan dan Mesir, berhasil dengan baik dalam melestarikan Konstitusi
penyelenggaraan pemilu dan pemilihan presiden.

Dalam pelaksanaan pemilu, di Pakistan, misalnya, hampir terjadi kerusuhan yang


menelan korban jiwa. Korbannya bisa dari kalangan peserta/kontestan dan pemilihan
presiden atau bahkan dari kalangan calon pemimpin negara (perdana menteri). Setelah 30
tahun inkonstitusional kepresidenan Presiden Hosni Mubarak di Mesir, ada gerakan orang
yang ingin menjatuhkannya dari posisinya. Seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun
1998. Mencari penggantinya bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa korban. Suatu ketika,
setelah pemilihan presiden baru, ternyata beberapa orang dan pendukung presiden terpilih
juga tidak bisa memahami dan menjalankan Konstitusi dengan baik yang terjadi di
Afghanistan, Suriah, Irak, dan juga di Libya. Hanya Tunisia yang memiliki peluang bagus
untuk menyelesaikan masalah internal mereka hari ini. Lagilagi situasi tidak kondusif. Arab
Spring belum berhasil menyelesaikan atau menyelesaikan masalah konstitusional mereka.
PBB mencatat bahwa krisis politik di Suriah sejak 2011 merenggut nyawa tak kurang dari
500.000 orang. Kegagalan mengelola negara bangsa dipertajam dan diperparah dengan
deklarasi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada 2013.

Kontribusi Intelektual Muslim Indonesia

Dengan perbandingan seperti itu, kita semua kemudian diingatkan oleh apa yang
disebut oleh para ulama, intelektual dan pemikir intelektual Muslim Indonesia dan lainnya
tentang pentingnya bersikap toleran, inklusif, dan non-diskriminatif, non-kekerasan dalam
menghadapi berbagai perbedaan pendapat, keyakinan, agama, sekte, suku, ras, jenis
kelamin, golongan dan sebagainya. Seruan tersebut dikumandangkan terus menerus, tanpa
kenal lelah, dan menimbulkan umpatan risiko dari masyarakat lain, sehingga dapat
mengantarkan bangsa Indonesia menjalankan konstitusi negara 5 tahun, yaitu menyeleksi
calon pemimpin negara/presiden dengan baik, sukses, dan tidak memakan korban jiwa. .
Meski dalam proses menjaring pemilih, di kalangan juru kampanye, da'i, simpatisan dan
relawan seringkali menggunakan isu agama, keyakinan, dan ras yang cukup sengit (black
campaign), tetapi di tingkat akar rumput tidak ada gesekan dan perselisihan yang berarti.
Tanpa mengabaikan peran umat beragama lain, peran umat Islam yang merupakan
mayoritas penduduk Indonesia menjadi tulang punggung keberhasilan pemahaman gagasan
“negara-bangsa” dan “demokrasi” sebagaimana diatur dalam konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia. . Mereka tidak mudah dikotak-kotakkan, dikoyak dan dicabik-cabik
oleh isu perbedaan agama, kepercayaan, ras, suku dan golongan meskipun ada godaan,
hasutan, ajakan, himbauan terhadap sektarianisme politik dan sentimen primordial dan
terkadang dengan intimidasi dan ancaman apapun. kesempatan. Peran umat Islam yang
merupakan mayoritas penduduk Indonesia menjadi tulang punggung keberhasilan
pemahaman gagasan “negara-bangsa” dan “demokrasi” sebagaimana diatur dalam konstitusi
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka tidak mudah dikotak-kotakkan, dikoyak dan
dicabik-cabik oleh isu perbedaan agama, kepercayaan, ras, suku dan golongan meskipun ada
godaan, hasutan, ajakan, himbauan terhadap sektarianisme politik dan sentimen primordial
dan terkadang dengan intimidasi dan ancaman apapun. kesempatan. Peran umat Islam yang
merupakan mayoritas penduduk Indonesia menjadi tulang punggung keberhasilan
pemahaman gagasan “negara-bangsa” dan “demokrasi” sebagaimana diatur dalam konstitusi
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka tidak mudah dikotak-kotakkan, dikoyak dan
dicabik-cabik oleh isu perbedaan agama, kepercayaan, ras, suku dan golongan meskipun ada
godaan, hasutan, ajakan, himbauan terhadap sektarianisme politik dan sentimen primordial
dan terkadang dengan intimidasi dan ancaman apapun. kesempatan. Setidaknya ada tiga hal
penting yang telah dikondisikan oleh para ulama, cendekiawan, dan cendekiawan Muslim di
Indonesia dalam berbagai lapisan yang patut dicatat sebagai warisan mereka dalam upaya
penegakan Konstitusi dalam negara-bangsa modern dan kelangsungan perawatan kehidupan.
untuk demokrasi, dan kebijakan negara non-diskriminasi di negara ini. Itu adalah warisan,
yang akan berkontribusi memfasilitasi masuknya Indonesia ke masyarakat Asia dan dunia
tanpa hambatan besar, didistribusikan oleh banyak orang, universitas agama, organisasi
nonpemerintah, dan diskusi aktivis sosial dan masyarakat sipil pada umumnya.

Konvergensi Keyakinan Agama (Nilai-Nilai Khas) dan Kemanfaatan Negara-


Bangsa (Nilai-Nilai Bersama)

Muslim Indonesia, serta komunitas agama lainnya20, sampai tingkat tertentu telah
mampu secara mandiri mempertimbangkan, mengartikulasikan, dan mengarang secara kritis
dan titik temu antara iman, keyakinan agama dan ritual Islam (nilai-nilai khas) di satu sisi
dan kesejahteraan dan kepentingan bersama (nilai-nilai bersama), untuk tercapainya
persatuan nasional-kemanusiaan-kemanusiaan dan perdamaian dunia dalam format negara-
bangsa di sisi lain. Tidak kurang dari 133.574.277 pemilih yang sah masuk ke bilik suara.
Mereka dengan kedaulatan penuh memilih sesuai pilihan mereka. Mereka tidak mudah
terprovokasi oleh isu-isu negatif yang mengeksploitasi sentimen rasial, suku, etnis dan
agama. Kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di negeri ini akan selalu diuji
ketahanannya setiap lima tahun sekali pemilu legislatif dan presiden, tak terkecuali puluhan
pemilu, gubernur, bupati, Jelas, umat Islam Indonesia dalam hal ini memiliki keunggulan
kualitatif dan keunggulan komparatif dibandingkan dengan negara-negara lain yang
mayoritas Muslim di dunia.

Bangsa lain tidak, atau belum mampu melakukan dialog positif-konstruktif antara
keyakinan agama dan negara bangsa seperti yang dipraktikkan dan dialami masyarakat
Indonesia. Negara-negara lain di dunia yang masih menempatkan satu di atas yang lain
bahkan menghancurkannya. Bangsa Indonesia dapat mengartikulasikan dan menggunakan
pilihan otonomi-rasional dalam menentukan pemimpin masa depan bangsa, tanpa
terpengaruh oleh kampanye hitam yang mendahului dan menyertainya sebelum memasuki
bilik suara. Pengalaman membangun hubungan yang harmonis dan damai di negeri ini akan
menjadi modal sosial dan budaya yang kuat untuk membangun hubungan yang harmonis
dan damai di lingkungan internasional dan masyarakat ekonomi Asia. Tingkat kualitas
keadaban dan harkat martabat suatu bangsa dan negara sangat ditentukan oleh bagaimana
jenis hubungan antara “keyakinan (setiap) agama” dan “keanekaragaman kehidupan sosial
dalam negara-bangsa” itu. Perjumpaan dan dialog antara keduanya yang gagal mencapai
titik kulminasi konvergensi, bukan kebenaran dan kebaikan bersama yang akan diperoleh,
melainkan sebaliknya, defisit kebenaran dan kesengsaraan dan kesengsaraan sosial-
ekonomi-politik.

Pluralitas, Demokrasi, Inklusivitas sebagai Bagian Integral dari Yang Baru


mas}lah}ah (Kebaikan Umum) Teori.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbentuk kepulauan. Mentalitas


maritim, khususnya nusantara sama sekali berbeda dengan mentalitas kontinental.21
Membangun tembok besar dan kuat adalah ciri khas mentalitas kontinental ketika
masyarakat ingin menyelesaikan perbedaan, perselisihan, dan konflik sosial, politik dan
ideologis. Orang-orang di Nusantara tidak memiliki pengalaman membangun tembok besar
seperti tembok Berlin pada masa perang dingin antara kapitalisme di Barat dan sosialisme di
Timur. Tidak kurang dari 15.000 pulau di negara ini. Sepanjang masa, sebelum Indonesia
merdeka dan menjadi negara-bangsa pada tahun 1945, masyarakat nusantara telah berada
dalam keragaman. Kemajemukan dan keragaman merupakan jalinan jalinan sosial
masyarakat nusantara sejak dahulu kala, sejak zaman kesultanan, beberapa abad yang lalu
dan bekas zaman penjajahan Belanda. Karena kompleksnya keragaman/kemajemukan
nusantara maka para pendiri negara Republik Indonesia memilih sistem pemerintahan
negara dalam bentuk negara-bangsa (nation state), bukan dalam bentuk teokrasi Islam,
meskipun menurut hitungan statistik populasi Komunitas Muslim menempati persentase
yang tinggi, lebih dari 87%. Selain ras, suku, golongan, bahasa, agama dan kepercayaan
yang beraneka ragam, kebhinekaan juga dapat dilihat dari segi geografi, wilayah bahkan
dari segi waktu (Indonesia Timur, Tengah, dan Barat)

Pengertian Ajaran Islam Tauhid melalui tafsir sosial-keagamaan yang berpola al-
Hanifah al-samha' (toleran), pluralis dan inklusif merupakan bagian integral dari
pembangunan maslahah (kebaikan bersama) teori dalam studi kontemporer kami}u>l al-
fiqh.22 Ini Mas}lah} ah perkembangan teori dalam kami}u>l al-fiqh mendapatkan
momentum yang tepat untuk diterapkan dan diimplementasikan

Kohesi Sosial sebagai Modal Sosial dan Budaya Indonesia

Sudah sangat lama para sosiolog agama menemukan salah satu fungsi sosial agama
dalam masyarakat adalah memelihara kohesi dan kesatuan sosial. Ketika teori itu dikembangkan,
dipelopori oleh Emile Durkheim, mungkin imajinasi pertama tentang kohesi atau persatuan
sosial hanya terbatas pada lingkup lingkaran internal komunitas agama tertentu itu sendiri.
Dalam masyarakat Muslim Indonesia, selama ini dan lebih lagi setelah kemerdekaan Republik
Indonesia, teori kohesi sosial tidak hanya diartikan sebagai kesatuan, kerukunan, kedamaian,
soliditas dan solidaritas dalam lingkungan internal agama tertentu. Maknanya telah diperluas
menjadi kesatuan Indonesia. Di sini, sekali lagi, untuk kasus Indonesia, iman dalam agama
memiliki dialektisisme dan telah menyatu dengan gagasan kebangsaan dan kemanusiaan
universal. Artinya, solidaritas keagamaan seringkali bersifat primordial agama-
sektarian( ta'ifiyah; hizbiyyah)telah berubah, dan menjelma menjadi solidaritas nasional-
kemanusiaan (al-wat}aniyyah; al-insa>niyyah). Sekali lagi, ini adalah kasus unik dalam
pengalaman keagamaan dan kebangsaan Indonesia setempat. Namun, hal itu sulit dicapai, jika
sebelumnya tidak tertutupi hanya oleh modal sosial budaya yang telah tertanam kuat, terjalin
rapi, dan terinternalisasi secara mendalam dalam struktur dan alam pemikiran bawah sadar
masyarakat Indonesia, apapun suku, ras, suku, bahasa dan agama yang dianutnya. Pertemuan dan
perjumpaan berbagai macam suku, ras, bahasa, agama dan kepercayaan di tanah airlah yang
selama ini menjadi kekuatan alam bawah sadar dan menjiwai kehidupan sehari-hari masyarakat
Indonesia. Lagi-lagi pertemuan dan tandingan yang positif-konstruktif itulah yang mengantarkan
orang-orang besar Indonesia yang berjasa untuk bisa keluar dari krisis yang sangat kompleks
sebelum, di tengah dan setelah pemilihan presiden baru-baru ini. Pada titik ini, kita diingatkan
kembali pada diktum Nurcholish Madjid: “Islam Ya, Partai Islam, Tidak”

Namun demikian, ia memiliki dampak besar pada dunia Melayu. Masih banyak rintangan
yang senantiasa menghadang setiap saat dalam perjalanan panjang umur bangsa di Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan di dunia Melayu pada umumnya. Jika dipetakan, wilayah
pemikiran dan praksis di lapangan terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu pertama, tataran wacana(al-
khit}a>b); kedua, tataran normatif-regulatif, dan ketiga adalah tataran implementasi aplikatif
dalam kehidupan nyata masyarakat di lapangan, maka kontribusi muslim moderat dan progresif
Indonesia sudah berhasil mengangkat isu tingkat pluralitas, inklusivitas dan toleransi.al-h}anifah
al-samha') dalam kehidupan beragama dan negara-bangsa pada tataran wacana publik. Ini
merupakan kontribusi intelektual yang luar biasa dan signifikan karena tidak banyak negara di
dunia mayoritas Muslim yang dapat menerima wacana seperti itu. Kita tahu banyak buku
dilarang masuk ke negara tertentu—apalagi dibaca—karena membahas masalah pluralitas atau
alta'addudiyyah. Pada tataran normatif-regulatif masih banyak batu sandungan di masyarakat
luas, di berbagai kementerian, baik kementerian agama, kementerian dalam negeri, maupun
kementerian hukum dan hak asasi manusia. Ada lagi di level aplikasi dan implementasi seperti di
pimpinan ormas, caleg, gubernur, bupati, kepala desa dan sebagainya. Dinamika dalam setiap
situasi dapat berbeda-beda. Ada yang berhasil dan ada yang tidak, tergantung gaya dan
kedalaman literasi keagamaan seseorang, penguasaan tiga pemikiran awal.

masyarakat, interaksi antaragama yang lebih besar di dunia yang semakin kosmopolit,
dengan tingkat kekerasan sosial yang tinggi, kebencian dan pemahaman agama yang eksklusif,
kekerasan sosial dan perbedaan agama, sekolah, aliran, interpretasi subjektif teks agama,
konservatisme agama dan fundamentalisme , kebencian dan kekerasan atas dasar agama
(takfi>r– takfi>riyyah ideologi) peningkatan kualitas pendidikan, khususnya pemerataan akses
bagi perempuan, pengembangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan
rendah/akar rumput, rekonsiliasi sosial, politik dan budaya, kerukunan internal umat Islam,
kerukunan umat beragama, media sosial yang melek tentang isu-isu pluralitas agama,
pemberantasan dan pencegahan korupsi dan banyak lainnya. Masih ada jendela yang terbuka
untuk menyambut harapan baru bagi kemakmuran dan persatuan Indonesia, terutama setelah
keutuhan masyarakat ekonomi Asia. Para elit dan pemimpin kuat untuk memulai, seperti yang
biasa disebut media, rekonsiliasi sosial. Masyarakat Indonesia di tingkat akar rumput tampaknya
lebih dewasa daripada para elit dalam memahami, menganalisis, dan menyelesaikan perbedaan
budaya. Maka para elit dengan berbagai konflik kepentingan yang perlu diprioritaskan untuk
memajukan hubungan ideologis-politik yang mendorong rakyat Indonesia untuk menjaga
persatuan rakyat, memusatkan energi mental dan spiritual mereka untuk pembangunan
kesejahteraan sosial. ]

Anda mungkin juga menyukai