Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

PRSALINAN NORMAL DENGAN KETUBAN PECAH DINI

A. PERSALINAN NORMAL
1. Pengertian persalinan
a.  persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks dan janin
turun ke dalam jalan lahir (Saifudin, abdul bari.2002)
b.   Persalinan adalah proses pengluaran hasil konsepsi yang dapat hidup
dari dalam uterus melelui vagina ke dunia luar (Wiknjosastro, 2006)
c.  Persalinan normal adalah proses lahirnya bayi pada letak belakang
kepala dengan ibu sendiri, tanpa bantuan alat – alat serta tidak
melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam
(mochtar, rustam.1998)

2. Etiologi Persalinan
Sebab terjadinya persalinan sampai kini masih merupakan teori –
teori yang kompleks. Faktor – faktor humoral, pengaruh prostaglandin,
struktur uterus, sirkulasi uterus, pengaruh syaraf dan nutrisi di sebut
sebagai faktor – faktor yang mengakibatkan persalinan mulai. Menurut
Wiknjosastro (2006) mulai dan berlangsungnya persalinan, antara lain :
a. Teori penurunan hormon
Penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron yang
terjadi kira – kira 1 – 2 minggu sebelum partus dimulai.
Progesterone bekerja sebagai penenang bagi otot–otot uterus dan
akan menyebabkan kekejangan pembuluh darah sehingga timbul
his bila kadar progesterone turun.
b.   Teori plasenta menjadi tua
       Villi korialis mengalami perubahan–perubahan, sehingga
kadar estrogen dan progesterone menurun yang menyebabkan

1
kekejangan pembuluh darah, hal ini akan menimbulkan kontraksi
rahim.
c.    Teori berkurangnya nutrisi pada janin
        Jika nutrisi pada janin berkurang maka hasil konsepsi akan
segera di keluarkan.
d.   Teori distensi rahim
        Keadaan uterus yang terus menerus membesar dan menjadi
tegang mengakibatkan iskemia otot–otot uterus. Hal ini mungkin
merupakan faktor yang dapat menggangu sirkulasi uteroplasenter
sehingga plasenta menjadi degenerasi.
e.    Teori iritasi mekanik
        Tekanan pada ganglio servikale dari pleksus franken
hauser yang terletak di belakang serviks. Bila ganglion ini tertekan,
kontraksi uterus akan timbul.
f.    Induksi partus (induction of labour)
Partus dapat di timbulkan dengan jalan :
1) Gagang laminaria : beberapa laminaria di masukkan dalam kanalis
servikalis dengan tujuan merangsang pleksus frankenhauser.
2)   Amniotomi : pemecahan ketuban.
3)   Oksitosin drips : pemberian oksitosin menurut tetesan infuse.

3. Patofisiologi Persalinan
a.  Tanda – tanda permulaan persalinan
      Menurut Manuaba (1998), tanda – tanda permulaan peralinan :
1)  Lightening atau settling atau dropping Yaitu kepala turun
memasuki pintu atas panggul terutama pada primigravida. Pada
multipara tidak begitu kentara. 
2)    Perut kelihatan lebih melebar, fundus uterus turun. 
3)    Perasaan sering – sering atau susah kencing (polakisuria) karena
kandung kemih tertekan oleh bagian terbawah janin.

2
4)   Perasaan sakit di perut dan di pegang oleh adanya kontraksi.
Kontraksi lemah di uterus, kadang – kadag di sebut “ traise labor
pains”.
5) Serviks menjadi lembek, mulai mendatar dan sekresinya bertambah
juga bercampur darah (bloody show)
6)    Tanda – tanda inpartu.
Menurut Mochtar (1998), tanda – tanda inpartu :
1)   Rasa sakit oleh adanya his yang dating lebih kuat, sering dan
teratur.
2)   Keluar lender bercampur darah (show) yang lebih banyak
karena robekan – robekan kecil pada serviks
3)   Kadang – kadang ketuban pecah dengan sendirinya.
4)   Pada pemeriksaan dalam : serviks mendatar dan pembukaan
telah ada.

4. Pembagian Tahap Persalinan
a. Persalinan kala I
             Menurut azwar (2004), persalinan kala I adalah pembukaan
yang berlangsung antara pembukaan nol sampai pembukaan
lengkap.
Dengan ditandai dengan :
1) Penipisan dan pembukaan serviks. 
2) Kontraksi uterus yang mengakibatkan perubahan pada serviks
(frekuensi minimal 2 kali dalam 10 menit).
3) Keluarnya lendir bercampur darah.
     Menurut wiknjosasto, kala pembukaan di bagi atas 2 fase yaitu :
 1) Fase laten
Pembukaan serviks berlangsung lambat, di mulai
dari pembukaan 0 sampai pembukaan 3 cm, berlangsung
kira – kira 8 jam. 
2)  Fase aktif

3
Dari pembukaan 3 cm sampai pembukaan 10 cm, belangsung
kira–kira 7 cm. Di bagi atas :
a) Fase akselerasi : dalam waktu 2 jam, pembukaan 3 cm
menjadi 4.
b) Fase dilatasi maksimal : dalam waktu 2 jam pembukaan
berlangsung sangat cepat, dari pembukaan 4 cm menjadi 9
cm
c) Fase deselarasi : berlangsung lambat, dalam waktu 2 jam
pembukaan jadi 10 cm.   
Kontraksi  menjadi lebih kuat dan sering pada fase aktif.
Keadaan tersebut dapat dijumpai pada primigravida maupun
multigravida, tetapi pada multigravida fase laten, fase aktif
das fase deselerasi terjadi lebih pendek.
(1)  Primigravida
Osteum uteri internum akan membuka terlebih
dahulu sehingga serviks akan mendatar dan menipis.
Keadaan osteum uteri eksternal membuka, berlangsung
kira – kira 13–14 jam.
(2)  Multigravida
Osteu uteri internum sudah membuka sedikit
sehingga osteum uteri internum dan eksternum serta
penipisan dan pendataran serviks terjadi dalam waktu
yang bersama.
b. Kala II (pengluaran)
Menurut winkjosastro (2002), di mulai dari pembukaan
lengkap (10 cm) sampai bayi lahir. Pada primigravida berlangsung
2 jam dan pada multigravida berlangsung 1 jam.
Pada kala pengluaran, his terkoordinir, kuat, cepat dan lebih
lama, kira–kira 2-3 menit sekali. Kepala janin telah turun masuk
ruang panggul sehingga terjadi tekanan pada otot – otot dasar
panggul yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan.

4
Karena tekanan pada rectum, ibu merasa seperti mau buang air
bersih, dengan tanda anus terbuka.
Pada waktu his, kepala janin mulai kelihatan, vulva
membuka dan perineum meregang. Dengan his mengedan
maksimal kepala janin di lahirkan dengan suboksiput di bawah
simpisis dan dahi, muka, dagu melewati perineum. Setelah his
istriadat sebentar, maka his akan mulai lagi untuk meneluarkan
anggota badan bayi.
c. Kala III (pelepasan uri)
Kala III adalah waktu untuk pelepasan dan pengluaran uri
(mochtar, 1998). Di mulai segera setelah bayi baru lahir samapi
lahirnya plasenta ysng berlangsung tidak lebih dari 30 menit
(saifudin, 2001) 
1)    Tanda dan gejala kala III
Menurut depkes RI (2004) tanda dan gejala kala III adalah :
perubahan bentuk dan   tinggi fundus uteri, tali pusat
memanjang, semburan darah tiba – tiba. 
2)    Fase – fase dalam pengluaran uri (kala III)
Menurut Mochtar (1998) fase – fase dalam pengluaran uri
meliputi :
a)  Fase pelepasan uri
Cara lepasnya luri ada beberapa macam, yaitu :
(1)   Schultze : lepasnya seperti kita menutup payung , cara
ini paling sering terjadi (80%). Yang lepas duluan
adalah bagian tengah, kemudian seluruhnya.
(2)   Duncan : lepasnya uri mulai dari pinggir, uri  lahir
akan mengalir keluar antara selaput ketuban pinggir
plasenta.
b)   Fase pengeluaran uri
Persat – perasat untuk mengetahui lepasnya uri, antara lain
:

5
(1)   Kustner, dengan meletakkan tangan disertai tekanan
pada atas simfisis, tali pusat di tegangkan maka bila
tali pusat masuk (belum lepas), jika diam atau maju
( sudah lepas).
(2)   Klein, saat ada his, rahim kita dorong sedikit, bila tali
pusat kembali ( belum lepas), diam atau turun ( sudah
lepas).
(3)   Strassman, tegangkan tali pusat dan ketok fundus bila
tali pusat bergetar (belum lepas), tidak bergetar
(sudah lepas), rahim menonjol di atas simfisis, tali
pusat bertambah panjang, rahim bundar dank eras,
keluar darah secara tiba – tiba.
d. Kala IV ( obsevasi )
Menurut saifudin (2002), kala IV dimulai dari saat lahirnya
plasena sampai 2 jam pertama post partum.
Observasi yang di lkukan pada kala IV adalah :
1)      Tingkatan kesadaran
2)      Pemeriksaan tanda – tanda vital, tekanan darah, nadi dan
pernafasan
3)      Kontraksi uterus
4)      Perdarahan : dikatakan normal jika tidak melebihi 500 cc.

5. Mekanisme Persalinan Normal
Menurut Manuaba (1999) gerakan–gerakan janin
dalam persalinan adalah sebagai berikut :
a. Engagement ( masuknya kepala ) : kepala janin berfiksir pada pintu
atas panggul.
b. Descent ( penurunan )
Penurunan di laksanakan oleh satu / lebih.
1)      Tekanan cairan amnion

6
2)      Tekanan langsung fundus pada bokong kontraksi otot
abdomen.
3)      Ekstensi dan penelusuran badan janin.
4)      Kekuatan mengejan.
c. Fleksion (fleksi)
Fleksi di sebabkan karena anak di dorong maju dan ada
tekanan pada PAP, serviks, dinding panggul atau dasar panggul.
Pada fleksi ukuran kepala yang melalui jalan lahir kecil, karena
diameter fronto occopito di gantikan diameter sub occipito.
d. Internal rotation (rotasi dala)
Pada waktu terjadi pemutaran dari bagian depan sedemikian
rupa sehingga bagian terendah dari janin memutar ke depan ke
bawah simfisis (UUK berputar ke depan sehingga dari dasar
panggul UUK di bawah simfisis)
e. Extensition (ekstensi)
Ubun – ubun kecil (UUK) di bawah simfisis  maka sub
occiput sebagai hipomoklion, kepala mengadakan gerakan defleksi
(ekstensi).
f. External rotation (rotasi luar)
Gerakan sesudah defleksi untuk menyesuaikan kedudukan
kapala denga punggung anak.
g. Expulsion (ekspusi) : terjadi kelahiran bayi seluruhnya.

6. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Persalinan


Menurut mochtar (1998) faktor – fakor yang berperan
dalam persalinanantara lain :
a. Jalan lahir (passage)
1) Jalan  lahir di bagi atas :
a)   Bagian keras tulang – tulang panggul (rangka panggul).
b)   Bagian lunak panggul.
2) Anatomi jalan lahir

7
a. Jalan lahir keras : pelvis/panggul
Terdiri dari 4 buah tulang, yaitu :
(1)   Os.coxae, terdiri dari : os. Illium, os. Ischium, os.pubis
(2)   Os.sacrum : promontorium
(3)   Os.coccygis.
Tulang panggul di pisahkan oleh pintu atas panggul menjadi 2
bagian :
(1)   Pelvis major : bagian di atas pintu atas panggul dan tidak
berkaitan dengan persalinan.
(2)   Pelvis minor : menyerupai suatu saluran yang menyerupai
sumbu melengkung ke depan.
b. Jalan lahir lunak : segmen bawah rahim, serviks, vagina,
introitus vagina, dan vagina, muskulus dan ligamentum yang
menyelubungi dinding dalam dan bawah panggul.
3) Bidang – bidang Hodge
Adalah bidang semu sebagai pedoman untuk menentukan
kemajuanpersalinan, yaitu seberapa jauh penurunan kepala
melalui pemeriksaan dalam.
Bidang hodge :
a. Hodge I         : promontorium pinggir atas simfisis
b. Hodge II        : hodge I sejajar pinggir bawah simfisis
c. Hodge III      : hodge I sejajar ischiadika
d. Hodge IV      : hodge I sejajar ujung coccygeus
Ukuran – ukuran panggul :
a. Distansia spinarium (24 – 26 cm)
b. Distansia cristarium (28 – 30 cm)
c. Conjugate externa (18 – 20 cm)
d. Lingkar panggul (80-90 cm)
e. Conjugate diagonalis (12,5 cm)
b. Passenger (janin dan plasenta)
1) Janin 

8
Persalinan normal terjadi bila kondisi janin adalah letak
bujur, presentasi belakang kepala, sikap fleksi dan tafsiran berat
janin <4000 gram.
2) Plasenta
Plasenta berada di segmen atas rahim (tidak menhalangi
jalan rahim). Dengan tuanya plasenta pada kehamilan yang
bertambah tua maka menyebabkan turunya kadar estrogen dan
progesterone sehinga menyebabkan kekejangan pembuluh
darah, hal ini akan menimbulkan kontraksi.
c. Power (kekuatan)
     Yaitu faktor kekuatan ibu yang mendorong janin keluar
dalam persalinan terdiri dari :
1)  His (kontraksi otot rahim)
His yang normal mempunyai sifat :
a. Kontraksi dimulai dari salah satu tanduk rahim.
b. Fundal dominan, menjalar ke seluruh otot rahim.
c. Kekuatannya seperti memeras isi rahim dan otot rahim yang
berkontraksi tidak kembali ke panjang semula sehinnga terjadi
refleksi dan pembentukan segmen bawah rahim.
2)   Kontraksi otot dinding perut.
3)   Kontraksi diafragma pelvis atau kekuatan mengejan
4)   Ketegangan dan kontraksi ligamentum.

7. Perubahan – Perubahan Fisiologis Dalam Persalinan


Menurut pusdiknakes 2003, perubahan fisiologis
dalam persalinan meliputi :

a. Tekanan darah
Tekanan darah meningkat selama kontraksi uterus dengan
kenaikan sistolik rata – rata 10 – 20 mmHg dan kenaikan diastolic
rata – rata 5-10 mmHg. Diantara kontraksi uterus, tekanan darah

9
kembali normal pada level sebelum persalinan. Rasa sakit, takut
dan cemas juga akan meningkatkan tekanan darah.
b.Metabolisme
Selama persalinan metabolism karbohidrat aerobic maupun
metabolism anaerobic akan naik secara berangsur disebabkan
karena kecemasan serta aktifitas otot skeletal. Peningkatan inni
ditandai dengan kenaikan suhu badan, denyut nadi, pernafasan,
kardiak output, dan kehilangan cairan.       
c. Suhu badan
Suhu badan akan sedikit meningkat selam persalinan,
terutama selampersalinan dan segera setelah kelahiran. Kenaikan
suhu di anggap normal jika tidak melebihi 0.5 – 1 ˚C.
d. Denyut jantung
Berhubungan dengan peningkatan metabolisme, detak
jantung secara dramatis naik selama   kontraksi. Antara kontraksi,
detak jantung  sedikit meningkat di bandingkan
sebelum persalinan.
e. Pernafasan
Karena terjadi peningkatan metabolisme, maka terjadi
peningkatan laju pernafasan yang di anggap normal. Hiperventilasi
yang lama di anggap tidak normal dan bias menyebabkan alkalosis.
f. Perubahan pada ginjal
Poliuri sering terjadi selama persalinan, mungkin di
sebabkan oleh peningkatan filtrasi glomerulus dan peningkatan
aliran plasma ginjal. Proteinuria yang sedikit di anggap biasa
dalam persalinan.

g. Perubahan gastrointestinal
Motilitas lambung dan absorpsi makan padat secara
substansial berkurang banyak sekali selama persalinan. Selai itu,
pengeluaran getah lambung berkurang, menyebabkan aktivitas

10
pencernaan hamper berhenti, dan pengosongan lambung menjadi
sangat lamban. Cairan tidak berpengaruh dan meninggalkan perut
dalam tempo yang biasa. Mual atau muntah biasa terjadi samapai
mencapai akhir kala I.
h. Perubahan hematologi
Hematologi meningkat sampai 1,2 garam/100 ml
selama persalinan dan akan kembali pada tingkat seperti
sebelum persalinan sehari setelah pasca persalinankecuali ada
perdarahan post partum.

8. 60 langkah Asuhan Persalinan Normal


1) Mendengar dan melihat adanya tanda persalinan kala II.
2) Memastikan kelengkapan alat pertolongan persalinan
termasuk mematahkan ampul oksitosin dan memasukan alat
suntik sekali pakai 2½ ml ke dalam wadah partus set.
3) Memakai celemek plastik.
4) Memastikan lengan tidak memakai perhiasan, mencuci
tangan degan sabun dan air mengalir.
5) Menggunakan sarung tangan DTT pada tangan kanan yang
akan digunakan untuk pemeriksaan dalam.
6) Mengambil alat suntik dengan tangan yang bersarung
tangan, isi dengan oksitosin dan letakan kembali ke dalam
wadah partus set.
7) Membersihkan vulva dan perineum dengan kapas basah
dengan gerakan vulva ke  perineum.
8) Melakukan pemeriksaan dalam (pastikan pembukaan sudah
lengkap dan selaput ketuban sudah pecah).
9) Mencelupkan tangan kanan yang bersarung tangan ke dalam
larutan klorin 0,5%, membuka sarung tangan dalam keadaan
terbalik dan merendamnya dalam larutan klorin 0,5%.

11
10) Memeriksa denyut jantung janin setelah kontraksi uterus
selesai (pastikan DJJ dalam batas normal (120-160 x/menit).
11) Memberi tahu ibu pembukaan sudah lengkap dan keadaan
janin baik, meminta ibu untuk meneran saat ada his apabila
ibu sudah merasa ingin meneran.
12) Meminta bantuan keluarga untuk menyiapkan posisi ibu
untuk meneran (pada saat ada his, bantu ibu dalam posisi
setengah duduk dan pastikan ia merasa nyaman.
13) Melakukan pimpinan meneran saat ibu mempunyai
dorongan yang kuat untuk meneran.
14) Menganjurkan ibu untuk berjalan, berjongkok atau
mengambil posisi nyaman,  jika ibu belum merasa ada
dorongan untuk meneran dalam 60 menit.
15) Meletakan handuk bersih (untuk mengeringkan bayi) di
perut ibu, jika kepala  bayi telah membuka vulva dengan
diameter 5-6 cm.
16) Meletakan kain bersih yang dilipat 1/3 bagian bawah bokong
ibu.
17) Membuka tutup partus set dan memperhatikan kembali
kelengkapan alat dan  bahan.
18) Memakai sarung tangan DTT pada kedua tangan.
19) Tangan kanan enahan perineum saat kepala janin Nampak 5-
6cm di depan vulva dan tangan kiri di vertex kepala janin.
20) Memeriksa adanya lilitan tali pusat pada leher janin.
21) Menunggu hingga kepala janin selesai melakukan putaran
paksi luar secara spontan.
22) Setelah kepala melakukan putaran paksi luar, pegang secara
biparental. Menganjurkan kepada ibu untuk meneran saat
kontraksi. Dengan lembut gerakan kepala ke arah bawah dan
distal hingga bahu depan muncul di bawah arkus pubis dan

12
kemudian gerakan arah atas dan distal untuk melahirkan
bahu belakang.
23) Setelah bahu lahir, lakukan sangga dengan geser tangan
bawah ke arah perineum ibu untuk menyanggah kepala,
lengan dan siku sebelah bawah. Gunakan tangan atas untuk
menelusuri dan memegang tangan dan siku sebelah atas.
24) Setelah badan dan lengan lahir, tangan kiri menyusuri
punggung ke arah bokong dan tungkai bawah janin untuk
memegang tungkai bawah (selipkan jari telunjuk tangan kiri
di antara kedua lutut janin).
25) Melakukan penilaian selintas : (a) Apakah bayi menangis
kuat dan atau bernafas tanpa kesulitan? (b) Apakah bayi
bergerak aktif ?
26) Mengeringkan tubuh bayi mulai dari muka, kepala dan
bagian tubuh lainnya kecuali bagian tangan tanpa
membersihkan verniks. Ganti handuk basah dengan
handuk/kain yang kering. Membiarkan bayi di atas perut ibu.
27) Memeriksa kembali uterus untuk memastikan tidak ada lagi
bayi dalam uterus.
28) Memberitahu ibu bahwa ia akan disuntik oksitosin agar
uterus berkontraksi baik.
29) Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, suntikan oksitosin
10 unit IM (intramaskuler) di 1/3 paha atas bagian distal
lateral (lakukan aspirasi sebelum menyuntikan oksitosin).
30) Setelah 2 menit pasca persalinan, jepit tali pusat dengan
klem kira-kira 3 cm dari  pusat bayi. Mendorong isi tali
pusat ke arah distal (ibu) dan jepit kembali tali  pusat pada 2
cm distal dari klem pertama.
31) Dengan satu tangan, pegang tali pusat yang telah dijepit
(lindungi perut bayi), dan lakukan pengguntingan tali pusat
di antara 2 klem tersebut.

13
32) Mengikat tali pusat dengan benang DTT atau steril pada satu
sisi kemudian melingkarkan kembali benang tersebut dan
mengikatnya dengan simpul kunci  pada sisi lainnya
33) Menyelimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan
memasang topi di kepala bayi.
34) Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5 -10 cm
dari vulva.
35) Meletakan satu tangan di atas kain pada perut ibu, di tepi
atas simfisis, untuk mendeteksi. Tangan lain menegangkan
tali pusat.
36) Jika  plasenta tidak lahir setelah 30-40 detik, hentikan
penegangan tali pusat dan menunggu hingga timbul
kontraksi berikutnya dan mengulangi prosedur.
37) Melakukan penegangan dan dorongan dorsokranial hingga
plasenta terlepas, minta ibu meneran sambil penolong
menarik tali pusat dengan arah sejajar lantai dan kemudian
ke arah atas, mengikuti poros jalan lahir (tetap lakukan
tekanan dorsokranial).
38) Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan
plasenta dengan hati-hati. Bila perlu (terasa ada tahanan),
pegang plasenta dengan kedua tangan dan lakukan putaran
searah untuk membantu pengeluaran plasenta dan mencegah
robeknya selaput ketuban.
39) Segera setelah plasenta lahir, melakukan massase (pemijatan)
pada fundus uteri dengan menggosok fundus uteri secara
sirkuler menggunakan bagian palmar 4  jari tangan kiri
hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras)
40) Periksa bagian maternal dan bagian fetal plasenta dengan
tangan kanan untuk memastikan bahwa seluruh kotiledon
dan selaput ketuban sudah lahir lengkap, dan masukan ke
dalam kantong plastik yang tersedia.

14
41) Evaluasi kemungkinan laserasi pada vagina dan perineum.
Melakukan penjahitan  bila laserasi menyebabkan
perdarahan.
42) Memastikan uterus berkontraksi dengan baik dan tidak
terjadi perdarahan  pervaginam.
43) Celupkan tangan yang masih memakai sarung tangan
kedalam larutan klorin 0,5%, bersihkan noda darah dan
cairan tubuh, lepaskan secara terbalik dan rendam sarung
tangan dalam larutan klorin 0,5 % selama sepuluh menit.
Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir,
keringkan tangan dengan tissue atau handuk pribadi yang
bersih dan kering. Kemudian pakai sarung tangan untuk
melakukan pemeriksaan fisik bayi.
44) Membiarkan bayi tetap melakukan kontak kulit ke kulit di
dada ibu paling sedikit 1 jam.
45) Setelah satu jam, lakukan penimbangan/pengukuran bayi,
beri tetes mata antibiotik profilaksis, dan vitamin K1 1 mg
intramaskuler di paha kiri anterolateral.
46) Setelah satu jam pemberian vitamin K1 berikan suntikan
imunisasi Hepatitis B di  paha kanan anterolateral.
47) Celupkan tangan dilarutan klorin 0,5% ,dan lepaskan secara
terbalik dan rendam, kemudian cuci tangan dengan sabun
dan air bersih yang mengalir, keringkan dengan handuk
bersih dan pakai sarung tangan.
48) Melanjutkan pemantauan kontraksi dan mencegah
perdarahan pervaginam.
49) Mengajarkan ibu/keluarga cara melakukan massase uterus
dan menilai kontraksi.
50) Evaluasi dan estimasi jumlah kehilangan darah.

15
51) Memeriksakan nadi ibu dan keadaan kandung kemih setiap
15 menit selama 1 jam pertama pasca persalinan dan setiap
30 menit selama jam kedua pasca  persalinan.
52) Memeriksa kembali bayi untuk memastikan bahwa bayi
bernafas dengan baik.
53) Menempatkan semua peralatan bekas pakai dalam larutan
klorin 0,5% untuk dekontaminasi (10 menit). Cuci dan bilas
peralatan setelah di dekontaminasi.
54) Buang bahan-bahan yang terkontaminasi ke tempat sampah
yang sesuai.
55) Membersihkan ibu dengan menggunakan air DDT.
Membersihkan sisa cairan ketuban, lendir dan darah. Bantu
ibu memakai memakai pakaian  bersih dan kering.
56) Memastikan ibu merasa nyaman dan beritahu keluarga untuk
membantu apabila ibu ingin minum.
57) Dekontaminasi tempat persalinan dengan larutan klorin
0,5%.
58) Membersihkan sarung tangan di dalam larutan klorin 0,5%
melepaskan sarung tangan dalam keadaan terbalik dan
merendamnya dalam larutan klorin 0,5%.
59) Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
60) Melengkapi partograf.

9. Inisiasi Menyusu Dini (IMD)


a. Definisi
Inisiasi menyusu dini (IMD) adalah proses menyusu segera yang
dilakukan dalam satu jam pertama setelah bayi lahir.  Satu jam pertama
kelahiran bayi adalah saat paling penting, karena di masa satu jam
pertama ini terjadi fase kehidupan yang mempengaruhi proses
menyusui. Setelah bayi lahir, semua bayi dari ras manapun akan
mengalami fase yang sama, yakni fase untuk mempertahankan fungsi

16
kehidupannya yaitu insting untuk mencari sumber makanan
(menyusui).
b. Manfaat IMD
1) Mencegah perdarahan pada ibu pasca bersalin, karena hisapan bayi
pada puting akan merangsang hormon oksitosin sehingga otot rahim
akan berkontraksi
2) Termoregulasi, suhu tubuh ibu akan naik untuk menghangatkan bayi
sehingga mencegah bayi mengalami hipothermia.
3) Pembentukan koloni bakteri baik pertama, pada saat IMD bayi akan
menjilati kulit ibunya, sehingga terjadi pemindahan bakteri dari kulit
ibunya ke sakuran cerna bayi
4) Bounding, terbentuk ikatan yang kuat antara ibu, bayi dan ayah yang
mendampingi proses IMD
5) Membantu keberhasilan proses menyusui, karena pada saat IMD
bayi akan belajar menghisap dan melekat pada payudara. Pada satu
jam pertama, insting bayi yang terbentuk akan terlatih dan diingat
oleh bayi.
6) Bayi mendapatkan kolostrum yang banyak mengandung protein anti
infektif sehingga melindungi bayi dari infeksi.

c. Teknik IMD
Teknisnya, sesaat setelah bayi lahir dan dipotong tali
pusatnya, bayi segera diletakkan di dada ibu dengan posisi tengkurap,
di mana antara kulit bayi dengan kulit ibu kontak langsung. Proses
Inisiasi Menyusu Dini ini bisa dilakukan, jika proses persalinan ibu
dilakukan secara normal, sehingga memungkinkan ibu untuk
melakukan IMD sesuai yang dianjurkan. Sedangkan, bagi ibu yang
melahirkan secara caesar, peluang untuk melakukan IMD lebih kecil,
mengingat kondisi kesehatan ibu pasca operasi belum memungkinkan
untuk melakukan itu.

17
A. KETUBAN PECAH DINI
1. Pengertian Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini (KPD) adalah keadaan pecahnya
selaput ketuban sebelum persalinan. Bila ketuban pecah dini
sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini
pada kehamilan premature. Dalam keadaan normal 8 – 10 %
wanita hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini
(Prawirohardjo, 2010)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban
sebelum adanya tanda-tanda persalinan. Sebagian besar ketuban
pecah dini terjadi diatas 37 minggu kehamilan, sedangkan dibawah
36 minggu tidak terlalu banyak (Manuaba, 2010).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum
inpartu, yaitu bila pembukaan pada primipara < 3 cm dan pada
multipara <5 cm. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan
maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah
KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang
adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya
melahirkan (Mochtar, 2007).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
ketuban pecah dini adalahpecahnya ketuban sebelum waktunya
melahirkan atau sebelum inpartu pada pembukaan < 4 cm (fase
laten) yang terjadi setelah kehamilan berusia 22 minggu

2. Etiologi Ketuban Pecah Dini


Ketuban pecah dini disebabkan oleh kurangnya kekuatan
membrane atau meningkatnya tekanan intra uterin atau oleh kedua
faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membrane disebabkan oleh
adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks.
Penyebabnya juga disebabkan karena inkompetensi servik.

18
Polihidramnion / hidramnion, mal presentasi janin (seperti letak
lintang) dan juga infeksi vagina / serviks (Prawirohardjo, 2010).
Adapun yang menjadi faktor resiko terjadinya ketuban
pecah dini adalah : (Prawirohardjo, 2010)
a. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)
Korioamnionitis adalah keadaan pada ibu hamil dimana
korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.
Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu
dan janin, bahkan dapat menjadi sepsis. Infeksi, yang terjadi
secara langsung pada selaput ketuban maupun asenderen dari
vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan
terjadinya KPD.
b. Serviks yang inkompeten
Serviks yang inkompeten, kanalis servikalis yang selalu
terbuka oleh karena kelainan pada serviks uteri (akibat
persalinan, curettage). Serviks yang tidak lagi mengalami
kontraksi (inkompetensia), didasarkan pada adanya
ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan
kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan
kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat
berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum
uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat
dari trauma bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi
loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi
kehamilan atau laserasi obstetrik.
c. Trauma
Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban
pecah dini. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual
saat hamil baik dari frekuensi yang ≥4 kali seminggu, posisi
koitus yaitu suami diatas dan penetrasi penis yang sangat dalam
sebesar 37,50% memicu terjadinya ketuban pecah dini,

19
pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis dapat menyebabkan
terjadinya ketuban pecah dini karena biasanya disertai infeksi.
d. Ketegangan intra uterin
Perubahan volume cairan amnion diketahui berhubungan
erat dengan hasil akhir kehamilan yang kurang bagus.
Ketegangan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara
berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion,
gamelli.
e. Kelainan letak
Misalnya sungsang sehingga tidak ada bagian terendah
yang menutupi pintu atas panggul serta dapat menghalangi
tekanan terhadap membran bagian bawah.
f. Paritas
Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara.
Primipara adalah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin
mencapai titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang
mengalami ketuban pecah dini berkaitan dengan kondisi
psikologis, mencakup sakit saat hamil, gangguan fisiologis
seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan. Selain
itu, hal ini berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu
akhir triwulan kedua dan awal triwulan ketiga kehamilan yang
tidak terlalu dibatasi dan didukung oleh faktor lain seperti
keputihan atau infeksi maternal. Sedangkan multipara adalah
wanita yang telah beberapa kali mengalami kehamilan dan
melahirkan anak hidup. Wanita yang telah melahirkan beberapa
kali dan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan
sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat,
diyakini lebih beresiko akan mengalami ketuban pecah dini
pada kehamilan berikutnya.
g. Usia kehamilan

20
Persalinan preterm terjadi tanpa diketahui penyebab yang
jelas, infeksi diyakini merupakan salah satu penyebab
terjadinya KPD dan persalinan preterm (Prawirohardjo, 2010).
Pada kelahiran <37 minggu sering terjadi pelahiran preterm,
sedangkan bila ≥47 minggu lebih sering mengalami KPD
(Manuaba, 2010).
Komplikasi paling sering terjadi pada ketuban pecah dini
sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindroma distress
pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko
infeksi meningkat pada kejadian ketuban pecah dini, selain itu
juga terjadinya prolapsus tali pusat. Risiko kecacatan dan
kematian janin meningkat pada ketuban pecah dini preterm.
Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada
ketuban pecah dini preterm. Kejadiannya mencapai 100%
apabila ketuban pecah dini preterm terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 23 minggu.
h. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
Riwayat KPD sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami
KPD kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara
singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen
dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban pecah
dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko
tinggi. Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada
kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan
berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini
akan lebih beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari
pada wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini
sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi mudah
rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun pada
kehamilan berikutnya.

21
3. Patofisiologi Ketuban Pecah Dini
Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini menurut
Manuaba (2010) adalah :
a. Terjadinya pembukaan premature serviks
b. Membran terkait dengan pembukaan terjadi devaskularisasi
serta nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
c. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin
berkurang
d. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi
yang mengeluarkan enzim proteolotik dan enzim kolagenase.

4. Tanda dan Gejala Ketuban Pecah Dini


Menurut Manuaba (2010), tanda dan gejala pada kehamilan
yang mengalami KPD adalah keluarnya cairan ketuban merembes
melalui vagina. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti
bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau
menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini
tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai
kelahiran. Tetapi bila duduk/berdiri, kepala janin yang sudah
terletak di bawah biasanya mengganjal atau menyumbat kebocoran
untuk sementara. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut,
denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda infeksi
yang terjadi.

5. Komlpikasi Ketuban Pecah Dini


Komplikasi yang terjadi pada KPD meliputi mudah
terjadinya infeksi intra uterin, partus prematur, dan prolaps bagian
janin terutama tali pusat (Manuaba, 2009). Terdapat tiga
komplikasi utama yang terjadi pada KPD yaitu peningkatan
morbiditas neonatal oleh karena prematuritas, komplikasi selama
persalinan dan kelahiran, dan resiko infeksi baik pada ibu maupun

22
janin. Risiko infeksi karena ketuban yang utuh merupakan
penghalang penyebab infeksi (Prawirohardjo, 2010).
Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka
dan anggota badan janin, serta hipoplasi pulmonal. Komplikasi
akibat KPD kepada bayi diantaranya adalah IUFD, asfiksia dan
prematuritas. Sedangkan pada ibu diantaranya adalah partus lama,
infeksi intrauterin, atonia uteri, infeksi nifas, dan perdarahan post
partum (Mochtar, 2007).

6. Diagnosa Ketuban Pecah Dini


Menurut Prawirohardjo (2010) untuk mendiagnosa ketuban
pecah dini yaitu dengan menentukan pecahnya selaput ketuban di
vagina. Jika tidak ada dapat dicoba dengan menggerakan sedikit
bagian terbawah janin atau meminta pasien batuk atau mengedan.
Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus
(nitrazin test) merah menjadi biru. Tentukan usia kehamilan, bila
perlu dengan pemeriksaan USG. Tentukan ada tidaknya infeksi.
Tanda-tanda infeksi adalah bila suhu ibu ≥48°C serta air ketuban
keruh dan berbau. Leukosit darah > 15.000/mm3. Tentukan tanda-
tanda persalinan, tentukan adanya kontraksi yang teratur. Periksa
dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi
kehamilan).

7. Pemeriksaan Penunjang Ketuban Pecah Dini


a. Pemeriksaan laboratorium
1) Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna.
Konsentrasi, baud an pHnya.
2) Cairan yang keluar dari vagina ini ada kemungkinan air
ketuban, urine, atau secret vagina.

23
3) Secret ibu hamil pH: 4-5, dengan kertas nitrazin tidak
berubah warna tetap kuning.
4) Tes lakmus (nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah
menjadi biru menunjukan adanya air ketuban (alkalis). pH
air ketuban 7-7,5, darah dan infeksi vagina dapat
menghasilkan tes yang positif palsu.
5) Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban
pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan
mikroskopik menunjukan daun pakis. (Varney, 2007)
b. Pemeriksaan Ultrasonogafi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan
ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah
cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahan
pada penderita oligohidramnion (Varney, 2007).

8. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini


Sebagai gambabaran umum untuk tatalaksana ketuban
pecah dini dapat dijabarkan sebagai berikut: (Manuaba, 2010)
a. Mempertahankan kehamilan sampai cukup matur khususnya
maturitas paru sehingga mengurangi kejadian kegagalan
perkembangan paru yang sehat.
b. Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang
menjadi peicu sepsis, meningitis janin, dan persalinan
prematuritas
c. Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan
diharapkan berlangsung dalam waktu 72 jam dapat diberikan
kortikosteroid, sehingga kematangan paru janin dapat terjamin.
d. Kehamilan ≥47 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal
seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 25µg – 50µg
intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila skor pelvic < 5,
lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak

24
berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea. Bila skor
pelvic > 5, induksi persalinan (Prawirohardjo, 2010).

Faktor yang Berkaitan dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini

1. Usia Kehamilan
Usia kehamilan adalah ukuran lama waktu seorang janin
berada dalam rahim (Prawirohardjo, 2010). Umur atau usia
kehamilan adalah lamanya kehamilan ibu. Kehamilan dibagi
atas 3 triwulan (trimester) : kehamilan triwulan I antara 0-12
minggu, kehamilan triwulan II antara 13-28 minggu dan
kehamilan triwulan III antara 29-40 minggu (Manuaba, 2010).
Usia kehamilan pada saat kelahiran merupakan satu-
satunya alat ukur kesehatan janin yang paling bermanfaat dan
waktu kelahiran sering ditentukan dengan pengkajian usia
kehamilan (Varney, 2007). Usia kehamilan merupakan salah
satu prediktor penting bagi kelangsungan hidup janin dan
kualitas hidupnya. Persalinan umumnya terjadi pada usia
kehamilan cukup bulan. Pada kehamilan umur 20 minggu
berisiko terjadi komplikasi kehamilan (Mansjoer, 2010).
Janin dikatakan cukup bulan (aterm) apabila usia
kehamilannya mencapai 37 minggu lengkap (atau dengan kata
lain 38 minggu) hingga 42 minggu. Bila kurang daripada itu
disebut sebagai “prematur/preterm” (<37 minggu) dan jika
lebih dinamakan “postmatur/ postterm” (≥48 minggu)
(Manuaba, 2010).
Manuaba (2010) menjelaskan bahwa usia kehamilan
berkaitan dengan kejadian KPD. Kejadian KPD lebih sering
terjadi pada persalinan usia kehamilan ≥47 minggu, dan pada
persalinan usia <37 minggu tidak terlalu sering terjadi KPD dan
hanya kelahiran preterm yang sering terjadi.

25
Akan tetapi Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah
dini bergantung pada usia kehamilan, dimana ha tersebut dapat
mengakibatkan terjadi infeksi maternal ataupun neonatal,
persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat,
deformitas janin, meningkatnya insiden Sectio Caesaria, atau
gagalnya persalinan normal. Setelah ketuban pecah biasanya
segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung umur
kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam
setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu
50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26
minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu (Manuaba, 2010).
Semakin lama menunggu, kemungkinan infeksi semakin besar
dan membahayakan janin serta ibu (Varney, 2007).
Hasil penelitian Oktavia (2013) menjelaskan bahwa paritas
ibu bersalin resiko tinggi sebanyak 15 (41,7%) mengalami
ketuban pecah dini dan 21 (58,3%) tidak mengalami ketuban
pecah dini. Pada usia kehamilan diketahui bahwa ibu dengan
usia kehamilan prematur sebanyak 9 (64,3%) mengalami
ketuban pecah dini dan 5 (35,7%) tidak mengalami ketuban
pecah dini, sedangkan pada ibu dengan usia kehamilan matur
sebanyak 15 (19,2%) mengalami ketuban pecah dini dan 63
(73,9%) tidak mengalami ketuban pecah dini.
Hasil penelitian Susilowati (2009) mengenai gambaran
karakteristik ibu bersalin dengan KPD, diketahui bahwa ibu
yang mengalami ketuban pecah dini sebagian besar umur
kehamilan antara 37-42 minggu yaitu sebanyak 106 ibu
(82,2%)
2. Paritas
Paritas adalah jumlah kehamilan yang diakhiri dengan
kelahiran janin yang memenuhi syarat untuk melangsungkan
kehidupan atau pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu dan

26
berat janin mencapai lebih dari 1000 gram (Manuaba, 2010).
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh
seorang wanita (Prawirohardjo, 2010).
Menurut Prawirohardjo (2010), paritas dapat dibedakan
menjadi primipara, multipara dan grandemultipara.
a) Primipara adalah wanita yang telah melahirkan
seorang anak, yang cukup besar untuk hidup di
dunia luar
b) Multipara adalah wanita yang telah melahirkan
seorang anak lebih dari satu kali (2-4 anak)
c) Grandemultipara adalah wanita yang telah
melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya
mengalami penyulit dalam kehamilan dan
persalinan
Penggolongan paritas bagi ibu yang masih hamil atau
pernah hamil berdasarkan jumlahnya menurut Perdinakes-
WHO dalam Varney (2007) yaitu:
a) Primigravida adalah wanita hamil untuk pertama
kalinya
b) Multigravida adalah wanita yang pernah hamil
beberapa kali, di mana kehamilan tersebut tidak
lebih dari 4 kali (2-3)
c) Grandemultigravida adalah wanita yang pernah
hamil ≥4 kali.
Paritas 2 – 3 merupakan jumlah paling aman
ditinjau dari sudut kesehatan serta sudut kematian
maternal dan perinatal (Manuaba, 2010). Paritas 1-2
merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut
kematian maternal. Paritas 0 dan paritas tinggi (≥4)
mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi.
Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal.

27
Risiko pada paritas 0 dapat ditangani dengan asuhan
obstetri lebih baik. Sedangkan risiko pada paritas
tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga
berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi
adalah tidak direncanakan (Saifuddin, 2006)
Paritas tinggi (pasritas 1 dan ≥4) merupakan
salah satu dari penyebab terjadinya kasus ketuban
pecah sebelum waktunya. Paritas 1 dan paritas
tinggi (≥4) mempunyai angka kematian maternal
lebih tinggi. Lebih tinggi paritas lebih tinggi
kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat
ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik,
sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi
atau dicegah dengan keluarga berencana dengan dua
anak cukup dan mempunyai lebih dari tiga termasuk
paritas tinggi dan maksimal dua anak digolongkan
dengan paritas rendah. Sebagian kehamilan pada
paritas tinggi adalah tidak direncanakan.
Paritas kedua dan ketiga merupakan keadaan
yang relatif lebih aman untuk hamil dan melahirkan
pada masa reproduktif, karena pada keadaan
tersebut dinding uterus belum banyak mengalami
perubahan, dan serviks belum terlalu sering
mengalami pembukaan sehingga dapat menyanggah
selaput ketuban dengan baik (Varney. 2007). Ibu
yang melahirkan beberapa kali lebih berisiko
mengalami KPD, oleh karena vaskularisasi pada
uterus mengalami gangguan yang mengakibatkan
jaringan ikat selaput ketuban mudah rapuh dan
akhirnya pecah spontan.

28
Wanita yang telah melahirkan beberapa kali
dan pernah mengalami KPD pada kehamilan
sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau
dekat diyakini lebih beresiko akan mengalami KPD
pada kehamilan berikutnya (Varney, 2007).
Hasil penelitian Sari (2014) menjelaskan
bahwa ibu dengan paritas grandemultipara sebagian
besar mengalami KPD sebanyak 14 kasus (73,7%)
sedangkan ibu yang tidak mengalami KPD hampir
seluruhnya adalah ibu dengan paritas primipara 85
kasus (88,5%) dan multipara 150 kasus (82,9%).
Hasil penelitian Susilowati (2009) mengenai
karakteristik ibu bersalin dengan KPD, diketahui
bahwa ibu yang mengalami ketuban pecah dini
sebagian besar adalah primigravida yaitu sebanyak
85 ibu (65,9%).
Hasil penelitian Oktavia (2013) menjelaskan
bahwa paritas ibu bersalin resiko tinggi sebanyak 15
(41,7%) mengalami ketuban pecah dini dan 21
(58,3%) tidak mengalami ketuban pecah dini,
sedangkan paritas ibu bersalin resiko rendah
sebanyak 9 (16,1%) mengalami ketuban pecah dini
dan 47 (83,9%) tidak mengalami ketuban pecah
dini.

9. Pengaruh KPD
a. Terhadap Janin
Walaupun ibu belum menunjukan gejala-gejala infeksi
tetapi janin mungkin sudah terkena infeksi, karena infeksi
intrauterin lebih dahulu terjadi (amnionitis,vaskulitis) sebelum

29
gejala pada ibu dirasakan. Jadi akan meninggikan morrtalitas
danmorbiditas perinatal
b. Terhadap Ibu
Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi
intrapartal, apalagi bila terlalu sering diperiksa dalam. Selain
itu juga dapat dijumpai infeksi puerpuralis atau nifas,
peritonitis dan septikemia, serta dry-labor. Ibu akan merasa
lelah karena terbaring di tempat tidur, partus akan menjadi
lama, maka suhu badan naik, nadi cepat dan nampaklah gejala-
gejala infeksi lainnya

10. Penatalaksanaan KPD


a. Pertahankan kehamilan sampai cukup matur, khususnya
maturitas paru sehingga mengurangi kejadian kegagalan
perkembangan paru yang yang sehat
b. Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang
menjadi pemicu sepsis, meningitis janin, dan persalinan
prematuritas
c. Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan
diharapkan berlangsung dalam waktu 72 jam dapat diberikan
kortikosteroid, sehingga kematangan paru janin dapat terjamin.
d. Pada kehamilan 24 sampai 32 minggu yang menyebabkan
menunggu berat janin cukup, perlu dipertimbangkan untuk
melakukan induksi persalinan, dengan kemungkinan janin tidak
dapat diselamatkan.
e. Menghadapi KPD, diperlukan KIM terhadap ibu dan keluarga
sehingga terdapat pengertian bahwa tindakan mendadak
mungkin dilakukan dengan pertimbangan untuk
menyelamatkan ibu dan mungkin harus mengorbankan
janinnya.

30
f. Pemeriksaan yang rutin dilakukan adalah USG untuk
mengukur distansia biparietal dan peerlu melakukan aspirasi air
ketuban untuk melakukan pemeriksaan kematangan paru
melalui perbandingan L/S
g. Waktu terminasi pada hamil aterm dapat dianjurkan selang
waktu 6 jam sampai 24 jam, bila tidak terjadi his spontan.

11. Faktor Resiko Atau Predisposisi Ketuban Pecah Dini


a. Kehamilan multipel : kembar dua (50%), kembar tiga (90%)
b. Riwayat persalinan preterm sebelumnya : risiko 2 – 4
c. Tindakan sanggama : TIDAK berpengaruh kepada risiko,
KECUALI jika higiene buruk, predisposisi terhadap infeksi
d. Perdarahan pervaginam : trimester pertama (risiko 2x),
trimester kedua/ketiga (20x)
e. Bakteriuria : risiko 2x (prevalensi 7%)
f. PH vagina di atas 4.5 : risiko 32% (vs. 16%)
g. Servix tipis / kurang dari 39 mm : risiko 25% (vs. 7%)
h. Flora vagina abnormal : risiko 2-3x
i. Fibronectin > 50 ng/ml : risiko 83% (vs. 19%)
j. Kadar CRH (corticotropin releasing hormone) maternal tinggi
misalnya pada stress psikologis, dsb, dapat menjadi stimulasi
persalinan preterm

12. Komplikasi KPD


a. Komplikasi yang timbul akibat Ketuban Pecah Dini bergantung
pada usia kehamilan. Dapat terjadi Infeksi Maternal ataupun
neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali
pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden SC, atau
gagalnya persalinan normal
b. Persalinan Prematur Setelah ketuban pecah biasanya segera
disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung umur

31
kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam
setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu
50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26
minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.
c. Infeksi Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada Ketuban
Pecah Dini. Pada ibu terjadi Korioamnionitis. Pada bayi dapat
terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi
korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban Pecah
Dini premature, infeksi lebih sering dari pada aterm. Secara
umum insiden infeksi sekunder pada KPD meningkat
sebanding dengan lamanya periode laten.
d. Hipoksia dan asfiksia Dengan pecahnya ketuban terjadi
oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi
asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya
gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air
ketuban, janin semakin gawat.
e. Syndrom deformitas janin Ketuban Pecah Dini yang terjadi
terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,
kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin,
serta hipoplasi pulmonal

13. Penanganan
1. Konservatif
a. Rawat di rumah sakit
b. Jika ada perdarahan pervaginam dengan nyeri perut,
pikirkan solusioplasenta
c. Jika ada tanda-tanda infeksi (demam dan cairan vagina
berbau), berikanantibiotika sama halnya jika terjadi
amnionitosis

Jika tidak ada infeksi dan kehamilan < 37 minggu:

32
1. Berikan antibiotika untuk mengurangi morbiditas
ibu dan janin
2. Amooxcilin 4x 500mg selama 7 hari ditambah
eritromisin 250mg per oral 3x perhari selama 7 hari.
3. Jika usia kehamilan 32 - 37 mg, belum inpartu,
tidak ada infeksi, beridexametason, dosisnya IM 5
mg setiap 6 jam sebanyak 4 x, observasi tanda-tanda
infeksi dan kesejahteraan janin.
d. Jika usia kehamilan sudah 32 - 37 mg dan sudah
inpartu, tidak ada infeksi maka berikan tokolitik
,dexametason, dan induksi setelah 24 jam.
2. Aktif
a. Kehamilan lebih dari 37 mg, induksi dengan oksitosin
b. Bila gagal Seksio Caesaria dapat pula diberikan
misoprostol 25 mikrogram – 50 mikrogram intravaginal
tiap 6 jam max 4 x.
c. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi
dan persalinan diakhiri.
d. Indikasi melakukan induksi pada ketuban pecah dini adalah
sebagai berikut :
1) Pertiimbangan waktu dan berat janin dalam rahim.
Pertimbangan waktuapakah 6, 12, atau 24 jam. Berat
janin sebaiknya lebih dari 2000 gram.
2) Terdapat tanda infeksi intra uteri. Suhu meningkat lebih
dari 38°c, dengan pengukuran per rektal. Terdapat tanda
infeksi melalui hasil pemeriksaanlaboratorium dan
pemeriksaan kultur air ketuban
3. Penatalaksanaan lanjutan
a. Kaji suhu dan denyut nadi setiap 2 jam. Kenaikan suhu
sering kali didahului kondisi ibu yang menggigil.

33
b. Lakukan pemantauan DJJ. Pemeriksaan DJJ setiap jam
sebelum persalinan adalah tindakan yang adekuat sepanjang
DJJ dalam batas normal. Pemantauan DJJ ketat dengan alat
pemantau janin elektronik secara kontinu dilakukan selama
induksi oksitosin untuk melihat tanda gawat janin akibat
kompresi tali pusat atau induksi. Takikardia dapat
mengindikasikan infeksiuteri.
c. Hindari pemeriksaan dalam yang tidak perlu.
d. Ketika melakukan pemeriksaan dalam yang benar-benar
diperlukan, perhatikan juga hal-hal berikut
e. Apakah dinding vagina teraba lebih hangat dari biasanya
f. Bau rabas atau cairan di sarung tanagn anda
g. Warna rabas atau cairan di sarung tangan
h. Beri perhatian lebih seksama terhadap hidrasi agar dapat
diperoleh gambaranjelas dari setiap infeksi yang timbul.
Seringkali terjadi peningkatan suhu tubuhakibat dehidrasi.

34

Anda mungkin juga menyukai