Anda di halaman 1dari 29

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Jil. 18, Edisi 1 Juni 2019

PEMIMPIN REDAKSI
Alfitri

PENGELOLA EDITOR
Muzayyin Ahyar

EDITOR
Murjani
Lilik Andaryuni
Muhammad Iswadi
Akhmad Nur
Zaroni

PAPAN REDAKSI
Noorhaidi Hasan (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
INDONESIA) Melissa Crouch (Universitas New South Wales,
AUSTRALIA) Nyi Nyi Kyaw (Universitas Nasional Singapura,
SINGAPURA)
Sayed Sikandar Shah Haneef (Universitas Islam Internasional
Malaysia, MALAYSIA)
Ratno Lukito (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
INDONESIA) Mohammad Abdun Nashir (Universitas Islam Negeri
Mataram, INDONESIA)
Dani Muhtada (Universitas Negeri Semarang, INDONESIA) Zezen
Zainal Mutaqin (University of California Los Angeles, USA)
Delmus Puneri Salim (Institut Studi Islam Negeri Manado,
INDONESIA)

Abdurrahman Raden Aji Haqqi (Universitas Islam Sultan Syarif Ali,


BRUNEI DARUSSALAM)
Haitham Osta, (Universitas King Abdulaziz, ARAB SAUDI)

ASISTEN UNTUK REDAKSI


Sayuri

DESAINER SAMPUL
Nurul Huda
MAZAHIB JURNAL PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (ISSN: 1829-9067| E-ISSN:
2460-6588) merupakan jurnal internasional yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah IAIN Samarinda. Majalah berkala ilmiah ini mengkhususkan diri
pada kajian hukum Islam dan berupaya menyajikan berbagai hasil
penelitian terkini, baik konseptual-doktrinal maupun empiris, di lapangan.
Publikasi artikel dalam jurnal ini merupakan blok bangunan penting dalam
pengembangan jaringan pengetahuan yang disegani. Ini adalah cerminan
langsung dari kualitas karya penulis dan lembaga yang mendukung
mereka. Artikel peer-review mendukung dan mewujudkan metode ilmiah.
Penting untuk menyepakati standar perilaku etis yang diharapkan untuk
semua pihak yang terlibat dalam tindakan penerbitan: penulis, editor
jurnal, peninjau sejawat, dan penerbit.

MAZAHIB JURNAL PEMIKIRAN HUKUM ISLAM telah diakreditasi oleh


Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
sebagai jurnal akademik dengan peringkat S2 (SK Nomor:
51/E/KPT/2017).

MAZAHIB JURNAL PEMIKIRAN HUKUM ISLAM telah menjadi anggota


CrossRef sejak tahun 2016. Oleh karena itu, semua artikel yang diterbitkan oleh
MAZAHIB JURNAL PEMIKIRAN HUKUM ISLAM akan memiliki nomor Digital
Object Identifier (DOI) yang unik.

Kantor Redaksi:
MAZAHIB JURNAL PEMIKIRAN HUKUM ISLAM, Gedung
Laboratorium IAIN Samarinda. Jl. HAMM Rifaddin, Loa Janan Ilir,
Samarinda Kalimantan Timur 75131 Telp. (0541) 742193; Fax.
(0541) 206172
E-mail: redaksi.mazahib@gmail.com
Situs web:
http://journal.iain-samarinda.ac.id/index.php/mazahib

MAZAHIB JURNAL PEMIKIRAN HUKUM ISLAM menerima pesanan


eksemplar jurnal. Biaya satu eksemplar per edisi adalah Rp.
70.000 dan US$ 10 untuk pelanggan dari luar Indonesia. Biaya
tidak termasuk penanganan dan pengiriman.

Jangan ragu untuk menghubungi Tim Redaksi Mazahib untuk


pemesanan.
Daftar isi

Artikel

1 Heru Susetyo, dkk


Mengatur Produk Halal di Indonesia: Antara
Kebutuhan Agama dan Tantangan Sosial
Ekonomi

43 Dian Mustika & Siti Marlina


Itsbat Perkawinan Terpadu di Kota Jambi:
Menganalisis Permasalahan di Balik Pelaksanaannya

75 Alfarid Fedro, dkk


Analisis Hukum Fatwa Dewan
Syariah Nasional Rahn:
Antara Filosofi Hukum dan Implementasinya
di Pegadaian Syariah Indonesia

117 Syaikhu
Penyelesaian Sengketa Warisan di Palangka

Raya: Pendekatan Antropologi Hukum

143 Hervina
Strategi Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual
dan Pencarian Materi Hak Cipta di Perguruan Tinggi
Islam
A z AAH Saya BB,, Hai aku 1 8 , Hai . 1 ( JDkamu n e, P2 P0B11.891R))21 7- 1 41 H T:T P/:/ /xD Hai Saya. Hai jv 18i1. 1441
RRG //1 0 .2.21 0 9933/ M

https://journal.iain-samarinda.ac.id/index.php/mazahib/index
P-ISSN: 1829-9067 | E-ISSN: 2460-6588

PENYELESAIAN SENGKETA WARISAN


DI PALANGKA RAYA:
Pendekatan Antropologi Hukum

Syaikhu
IAIN PALANGKA RAYA
Syaikhu.ahmad.h@gmail.com

Abstrak
Masalah pembagian warisan tidak jarang menimbulkan konflik yang harus diselesaikan melalui

jalur litigasi. Dalam menyelesaikan konflik yang mungkin timbul, masyarakat biasanya telah

menetapkan aturan tersendiri untuk pembagian warisan. Masyarakat Kalimantan Tengah

khususnya di Kota Palangka Raya mengutamakan musyawarah yang sebenarnya tidak

bertentangan dengan syariat Islam dalam menyelesaikan sengketa warisnya. Mengapa dan

bagaimana penyelesaian sengketa ini dilakukan? Penelitian ini menggunakan metode normatif-

empiris dengan pendekatan antropologi hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi

penyelesaian sengketa waris pada masyarakat Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah

mengutamakan penyelesaian sengketa secara damai dengan menggunakan syariat Islam

terlebih dahulu kemudian diadakan musyawarah keluarga untuk menentukan pembagian dan

pembagian harta yang disepakati. Asas kekeluargaan dalam perlindungan harta (hifz al-maal)

dalam keluarga dianut, sehingga masyarakat kembali berbagi harta dengan cara negosiasi yang

dibangun atas kesepakatan keluarga. Dengan mengacu pada fikih Islam tentang pewarisan,

penyelesaian sengketa juga bertujuan pada syariah compliant untuk mematuhi ajaran Islam (hifz

al-din). Akhirnya, mereka juga mengadopsi prinsip berpikir responsif sehingga masyarakat

kembali berbagi harta dengan metode negosiasi yang dibangun atas kesepakatan keluarga.

Dengan mengacu pada fikih Islam tentang pewarisan, penyelesaian sengketa juga bertujuan

pada syariah compliant untuk mematuhi ajaran Islam (hifz al-din).

Akhirnya, mereka juga mengadopsi prinsip berpikir responsif sehingga masyarakat kembali berbagi

harta dengan metode negosiasi yang dibangun atas kesepakatan keluarga. Dengan mengacu pada

fikih Islam tentang pewarisan, penyelesaian sengketa juga bertujuan pada syariah compliant untuk

mematuhi ajaran Islam (hifz al-din). Akhirnya, mereka juga mengadopsi prinsip berpikir responsif
118 | Mazahib, Vol 18, No.1 (Juni

yang manusiawi berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal dalam


masyarakat. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa
Masyarakat Kota Palangka Raya memadukan hukum Islam dan hukum
adat dalam pembagian harta warisan.

Kata kunci: penyelesaian sengketa, waris, Palangka


Raya, antropologi hukum

Abstrak

Persoalan pembagian kewarisan tidak jarang menimbulkan


konflik yang harus diselesaikan. Dalam menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul tersebut, masyarakat biasanya
telah menentukan suatu aturan tersendiri untuk
meyelesaikan pembagian kewarisan. masyarakat
Kalimantan Tengah khususnya Kota Palangka Raya dalam
penyelesaian sengketa waris,
musyawarah yang sejatinya bertentangan dengan hukum
Islam. Penelitian ini menggunakan metode normatifempiris.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi perselisihan
kewarisan pada masyarakat Kota Palangka Raya Kalimantan
Tengah

perdamaian dengan cara menggunakan hukum Islam terlebih


dahulu kemudian dilakukan musyawarah keluarga untuk
menentukan bagian dan pembagian harta. Tradisi tersebut
dilakukan dengan cara yang digabung atau proses
penyelesaian sengketa kewarisan. Sikap mental masyarakat
tetap membagi harta secara Islam, kemudian harta digabung
dengan nilai kemanusiaan (humanis). Adanya
kekeluargaandalam perlindungan terhadap harta (hifzul maal)
dalam keluarga, sehingga masyarakat kembali membagi
harta dengan metode islah yang dibangun berdasarkan
kesepakatan kekeluargaan.
Masyarakat Kota Palangka Raya melaksanakan prinsip ta'abbudi
dalam
konteks menjalankan hukum faraid yang juga bertujuan
syariat (maqashid syariah) memelihara agama (hifzul din)
kemudian menjalankan prinsip-prinsip ijtihad responsif yang
bersifat humanis berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal (local
wisdom) di masyarakat. Kesimpulan penelitian ini
menunjukkan bahwa Masyarakat Kota Palangka Raya
menggabungkan antara hukum Islam dan hukum Adat dalam
pembagian harta warisan.

Kata kunci: penyelesaian sengketa, kewarisan, Palangka


Raya, antropologi hukum

A. pengantar

Kalimantan Tengah adalah salah satu provinsi di


Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibukotanya adalah
kota Palangka Raya. Kalimantan Tengah memiliki luas
153.564,50 km.2 Berdasarkan sensus tahun 2017, provinsi ini
berpenduduk 2.526.014 jiwa. Kalimantan Tengah memiliki 13
kabupaten dan 1 kota.1Berdasarkan data Pusat Statistik Suku dan
Agama di Palangka Raya tahun 2010, terdapat tiga suku dominan
di Kalimantan Tengah yaitu Dayak (46,62 %), Jawa (21,67%) dan
Banjar (21,03). %). Sedangkan agama yang dianut di Provinsi ini
mayoritas Islam (74,31%), Kristen Katolik-Protestan (18,60%),
Kaharingan (6,62%), Hindu (0,50%) dan Buddha (0,10 %). 2

Jumlah penduduk pada tahun 2017 sebanyak 2.526.014 jiwa dengan


perbandingan 49% perempuan dan 51% laki-laki. Perbandingan luas wilayah
dengan jumlah penduduk menunjukkan bahwa kepadatan penduduk

1
Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah, Kondisi Daerah,
https://dishut.kalteng.go.id/page/37 kondisi-daerah
2 Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Tengah, Penduduk Menurut
Wilayah dan Agama yang Dianut, http://
sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=6200000000
Provinsi Kalimantan Tengah tergolong kurang padat yaitu 12
jiwa/Km. Jika diamati menurut kabupaten dan kota terdapat
perbedaan kepadatan penduduk yang signifikan, dimana kota
Palangka Raya sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Tengah
merupakan kota dengan kepadatan tertinggi 71,50 jiwa/Km. 2,
sedangkan Kabupaten Barito Utara merupakan kecamatan
dengan kepadatan penduduk terendah sebesar 6,30 jiwa/Km 2.3
karena banyaknya penduduk di kota palangka raya yang terdiri
dari berbagai suku, budaya, adat dan agama, maka terdapat
perbedaan cara pembagian harta warisan.

Dalam menyelesaikan konflik yang mungkin timbul,


masyarakat biasanya telah menetapkan aturan tersendiri untuk
menyelesaikan masalah warisan. Masyarakat Kalimantan Tengah
khususnya Kabupaten Katingan dan Kota Palangka Raya, juga
memiliki tradisi tersendiri dalam pembagian warisan. Kehadiran
Islam di Indonesia tidak lepas dari tradisi atau budaya
masyarakat Indonesia. Agama dan budaya adalah dua hal yang
saling berinteraksi dan mempengaruhi.4
Agama-agama dalam perspektif ilmu-ilmu sosial merupakan
sistem nilai yang mengandung sejumlah persepsi tentang
konstruksi realitas. Menurut Zulfa_Jamalie, agama berperan
besar dalam menjelaskan struktur normatif dan tatanan sosial
serta memahami dan menafsirkan dunia sekitar.5Tradisi atau
budaya merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia
(pada masyarakat tertentu) yang mengandung nilai dan pesan
religiositas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom,
local genius). Pergulatan interaksi antar hukum Islam

3Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Informasi Umum,


https://kalteng.go.id /INDO/informasi_umum_kalimantan_tengah.htm
4DepartemanPendidikanNasional, KamusBesarBahasa Indonesia, 3 rd
edisi, Jakarta: Balai Pustaka, 2005; 1208.
5ZulfaJamalie, “Akulturasi dan Kearifan Lokal dalam Tradisi Baayun
Maulid pada Masyarakat Banjar”, di el-Harakah Jurnal; 238.
dan adat sejak zaman penjajahan memunculkan teori kontak
yang pernah berlaku di Indonesia seperti teori penerimaan dalam
kompleks, teori reseptif, pintu keluar penerimaan teori, dan teori
receptio a contrario. teori dariResepsionis di kompleks dirintis
oleh Lodewijk Willem Cristian van den Berg pada tahun
1845-1925. Teori ini menyatakan bahwa hukum agama dapat
diterapkan bagi mereka di wilayah kabupaten mereka.
Resepsionis Teori ini dikemukakan oleh Cristion Snouck Hurgronje
(1857-1936). NSpenerima tamu teori secara harfiah berarti
penerimaan atau pertemuan. Secara terminologis, teori ini berarti
bahwa hukum adat sebagai penerima dan hukum Islam sebagai
yang diterima. NSpintu keluar penerimaan Teori yang dipelopori
oleh Hazairin yang menyatakan bahwa hukum yang lama masih
berlaku jika tidak bertentangan dengan UUD 1945, selain itu ia juga
mengatakan bahwa teori receptie sudah tidak berlaku lagi karena
bertentangan dengan al-Qur'an dan sunnah. teori daripenerimaan A
kontrario merupakan pengembangan dari teori yang dikemukakan
oleh Hazairin yang mengungkapkan hubungan antara hukum adat
dan hukum Islam.6
Menurut kajian teoritis ditegaskan bahwa bagi umat
Islam di bidang kewarisan sangat sulit untuk menghindari
keterkaitan antara hukum Islam dan tradisi. Hal ini karena dalam
ajaran Islam tidak melarang umat Islam mengakomodasi tradisi
selama tidak mendapatkan nilai yang bertentangan dengan
sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Qur'an dan hadits. 7

6Rasyid, Muh Haras. "Dinamika Hukum Islam Dan Aktualisasi Teori-Teori


Berlakunya Hukum Islam DiIndonesia." DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum
11.1 (2013): 15-23.
7Abdullah Said, Kebebasan beragama, murtad dan Islam .

(Routledge, 2017)
Keberagaman penerapan syariat Islam di berbagai negara
Islam8 juga menyiratkan pendekatan antropologis hukum Islam.
Antropologi menunjukkan pentingnya memberikan interpretasi
yang lebih luas, sehingga nilai-nilai dan pesan-pesan Al-Qur'an
dapat dikonkretkan dalam budaya yang berbeda. Dari perspektif
ini, agama dan interaksi sosial dengan berbagai budaya dapat
dipelajari. Teori yang digunakan untuk melihat pola interaksi ini
adalah teori akulturasi, asimilasi, atau enkulturasi. Selain itu,
analisis dapat dipertajam dengan teori strukturalisme,
fungsionalisme, dan simbolisme.

Teori strukturalisme memandang masyarakat sebagai suatu sistem


yang terdiri dari unsur-unsur suatu sistem yang saling berkaitan dan
bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dengan demikian,
setiap sistem yang ada berkontribusi pada keseimbangan.
Fungsionalisme adalah teori filosofis yang menganggap fenomena
mental dalam kesatuan dinamis sebagai sistem fungsi untuk
memenuhi kebutuhan yang bersifat biologis. Fungsionalisme
memandang masyarakat sebagai suatu sistem dari beberapa bagian
yang saling berhubungan satu sama lain. Secara keseluruhan inti teori
simbolisme adalah bahwa manusia tidak berinteraksi secara langsung
tetapi melalui simbol-simbol yang sebagian besar berupa kata-kata
baik secara lisan maupun tulisan.9

8 untuk keragaman penerapan hukum waris Islam di Pengadilan Syariah

Indonesia karena perbedaan konsep anak (walad), lihat misalnya, Ana Amalia
Furqan, Alfitri Alfitri, Akhmad Haries, “Perbedaan Konsep Anak (Walad) dalam
Hukum Waris Islam dan Implikasinya Terhadap Putusan Pengadilan Agama di
Indonesia,”Mazahib Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 17, No. 2 (2018), hlm.
119-146.

9 Herien Puspitawati, "Konsep dan teori keluarga." Departemen Ilmu

Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia-Institut Pertanian Bogo


Diakses di: http://ikk. perempuan. ipb. ac. id/v2/imag es/karyailmiah/teori.
pdf( 2013).
Ada dua cara pembagian harta warisan secara
kekeluargaan di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya.
Pertama, pembagian yang dilakukan dengan cara kesepakatan
keluarga dan berdasarkan wasiat ahli waris pada saat masih
hidup, sedangkan dampak dari pembagian warisan dengan cara
musyawarah yang dilakukan berdasarkan pesan pewaris
sebelum meninggal dunia kepada ahli waris untuk membagi
harta warisan dengan cara musyawarah adalah dampak
positifnya10
Memperhatikan tradisi penyelesaian sengketa dalam
Perselisihan Masyarakat Kalimantan Tengah, khususnya di Kota
Palangka Raya yang mengutamakan musyawarah, tidak
mendapatkan nilai yang bertentangan dengan syariat Islam.
Namun jika dikaitkan dengan asas hukum waris maka akan
terjadi kontradiksi, karena dengan adanya musyawarah dalam
penyelesaian sengketa waris di masyarakat tanpa disadari
mengabaikan atau bahkan melupakan ketentuan hukum Islam
sehingga sangat disayangkan keberadaanya. warisan dalam
hukum Islam. Hukum Islam adalah hukum yang cukup
mengakomodir hukum adat
hukum adat sering diterima sebagai hukum yang sah sepanjang
tidak bertentangan dengan hukum Islam.11 Oleh karena itu,
mengkaji hubungan Islam dan tradisi dalam bidang pewarisan
merupakan sesuatu yang sulit dihindari dalam kehidupan umat
Islam termasuk masyarakat Kota Palangka Raya di Kalimantan
Tengah.

10Utami. "Tradisi Masyarakat Muslim Dalam Membagi Harta Warisan


Secara Kekeluargaan (Studi Di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya)."
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 12.2 (2016): 197-
213.
11Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (
Jakarta: Grup Media Kencana Prenada, 2011); 81.
B. Pendekatan Antropologi Hukum dalam Penyelesaian
Sengketa Masyarakat

Memahami dialektika pengaturan hukum dalam Al-Qur'an


juga berarti memiliki pengetahuan tentang hubungan timbal balik
antara hukum dan fenomena sosial secara empiris dalam
kehidupan masyarakat. Wahyu Al-Qur'an dengan tradisi hukum
masyarakat Arab bertemu dan berdialog, sebagaimana terlihat
dalam undang-undang yang ditetapkan secara bertahap. bertahap
penetapan hukum al qur'anBagaimana cara fungsi dan kinerja
hukum, baik sebagai alat kontrol sosial (social control) maupun
sebagai alat menjaga ketertiban sosial (social order) dalam
masyarakat.12 Penelitian tentang fungsi dan kerja hukum dalam
budaya masyarakat merupakan kajian dalam antropologi hukum.

Pendekatan antropologi hukum digunakan untuk


memandang hukum Islam sebagai suatu sistem, yang pada
dasarnya mengandung tiga unsur; yaitu: struktur sistem hukum,
substansi sistem hukum, dan budaya hukum publik (legal
culture).13 Struktur sistem hukumnya adalah Syariah yang
merupakan pemegang kekuasaan hukum, yang dalam hal ini
termasuk siapa Hakim dalam hukum Islam, apakah hanya Allah
dan Rasul-Nya, atau juga termasuk pemikir. Dari segi sumbernya,
hukum Islam adalah hukum ketuhanan karena didasarkan pada
wahyu Tuhan yang transenden, tetapi dari segi pelaksanaan
hukumnya.14 Substansi sistem hukum Islam terletak pada nilai-
nilai atau norma-norma fundamental yang terkandung dalam
aturan hukum. Elemen ini bersifat universal, sangat berharga

12Ali, Sodiqin, "Antropologi Hukum sebagai Pendekatan dalam Penelitian


Hukum Islam." Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam7.1
(2013): 115-126.
13 Mohd Winario. "Masalah Hukum Islam Perspektif Sosiologi
Antropologi Hukum."Jurnal Al Himayah 1.2 (2017): 261-276.
14KEPADA Ihromi, Antropologi dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1984); 8
jelas.15 Konsekuensinya, nilai ini harus diterapkan dan menjadi
dasar untuk menegakkan hukum Islam.
Unsur ketiga, yaitu budaya hukum masyarakat, merupakan
aspek lokal yang terkandung dalam kaidah-kaidah hukum Islam,
yang terletak sebagai instrumen dalam mengimplementasikan nilai-
nilai fundamental.16 Budaya ini berkaitan dengan nilai, harapan, dan
keyakinan yang diwujudkan dalam perilaku masyarakat dalam
mempersepsikan hukum. Unsur ini sangat terbuka terhadap
perubahan atau adaptasi, yaitu bila diterapkan pada orang-orang
yang memiliki nilai dan persepsi hukum yang berbeda.17
Isu krusial yang harus mendapat perhatian dalam model
penelitian ini adalah menjaga struktur dan legalitas hukum
Islam. Penggunaan pendekatan antropologi hukum tidak
dimaksudkan untuk mengurangi wibawa al-Qur'an sebagai
sumber hukum tertinggi. Penggunaan rasionalitas dalam
pendekatan ini bukan untuk mempertanyakan legalitas sumber
hukum, tetapi untuk memperjelas dimensi intrinsik penegakan
hukum dalam al-Qur'an ini. Oleh karena itu, kecenderungan
sekularisasi epistemologis perlu diminimalisir, dengan tidak
mengubah sesuatu yang berstatus.
Penelitian tentang akulturasi antara hukum Islam dan
budaya lokal bertujuan untuk menjelaskan integrasi antara
hukum Islam dan budaya lokal. Interaksi antara hukum Islam
dan budaya lokal merupakan upaya untuk memasyarakatkan
hukum Islam. Dalam sejarahnya penyebaran Islam selalu
menimbulkan kontak dengan budaya lain. Bahkan sejak
turunnya wahyu, al-Qur’an telah melakukan dialektika dengan
budaya masyarakat penerimanya. Disinilah terjadi enkulturasi
nilai-nilai Al-Qur'an

15Kholidah, Kholidah. "qathi'dan zhanni menurut masdar farid


mas'udi."fitrah: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Keislaman 2.1 (2016): 19-36.
16Abdul Halim, Barkatullah. "Budaya Hukum Masyarakat dalam
Perspektif Sistem Hukum."Jurnal UKSW (2013).
17Syamsudin, Muhammad. "Korupsi Dalam Perspektif Budaya Hukum."

Jurnal Fakultas Hukum UII 30,64 (2007).


budaya masyarakat Arab saat itu. Hasil enkulturasi ini
memunculkan konsep olah reproduksi budaya. Dasar penerapan
konsep ini adalah tauhid dan keteladanan Nabi Muhammad SAW
sebagai agen budaya. Konsep ini harus diterapkan sebagai
kerangka teoritis dialog antara Islam dan budaya lokal di masa
sekarang.18

Kajian antropologi hukum untuk melihat interaksi antara hukum Islam


dan budaya lokal harus memperhatikan hal-hal berikut. Pertama,
menggunakan paradigma reproduksi al-Qur'an, yang dilakukan melalui
tahapan adopsi, adaptasi dan integrasi. Di sinilah letak pentingnya menghargai
perbedaan budaya dalam setiap kelompok masyarakat. Berdasarkan nalurinya,
manusia mengembangkan daya cipta, karsa, dan karya yang berpuncak pada
penciptaan ide, atau artefak yang merupakan bentuk kebudayaan. Kedua,
mengutamakan upaya rekonstruktif dan bukan destruktif; budaya masyarakat
harus dilihat sebagai sesuatu yang mulia karena merupakan kristalisasi
pemikiran dan upaya masyarakat. Dengan demikian upaya untuk berdialog
dengan Islam harus diupayakan agar unsur-unsur yang sama tidak berbeda
atau bertentangan. Hal ini akan memudahkan untuk mengakulturasi ajaran
universal Al-Qur'an ke dalamnya. Ketiga, mengutamakan toleransi terhadap
variasi tertentu; budaya lokal harus menjadi media atau alat transfer
transformasi ajaran Islam. Keaslian bukan berarti upaya penyeragaman
budaya di kalangan umat Islam, karena sejak awal Al-Qur'an menoleransi
berbagai perbedaan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dasarnya
yaitu tauhid. Hal ini terbukti dalam mereformasi tatanan sosial karena sejak
awal Al-Qur'an menoleransi berbagai perbedaan sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip dasarnya yaitu tauhid. Hal ini terbukti dalam
mereformasi tatanan sosial karena sejak awal Al-Qur'an menoleransi berbagai
perbedaan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dasarnya yaitu
tauhid. Hal ini terbukti dalam mereformasi tatanan sosial

18Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur'an, Model Dialektika Wahyu dan


Budaya, (Yogyakarta: Arruz Media, 2008); 63
komunitas Arab Al-Qur'an menggunakan pendekatan budaya. 19

Pengamalan budaya lokal menjadi dasar pelaksanaan


ajaran Islam. Eksistensi tradisi atau pranata sosial budaya yang
ada tetap dipertahankan sepanjang tidak bertentangan dengan
ajaran universal al-Qur'an. Kedudukan al-Qur'an menjadi
pedoman bagi proses enkulturasi adat istiadat yang berjalan.
Dengan demikian masyarakat bisa Islam tanpa harus kehilangan
tradisinya. Di sinilah letak otentisitas Islam, yaitu ketika
masyarakat menjalankan ajaran agamanya dalam konteks
budayanya. Uraian di atas menjelaskan bahwa hukum dalam
masyarakat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain agama
dan kepercayaan. Aturan atau hukum agama, hukum adat yang
bersumber dari kepercayaan lokal mengintegrasikan dan
mempengaruhi perilaku dan peristiwa hukum dalam masyarakat.
Di mata antropologi hukum,20

C. Penerapan Hukum Waris Dalam Penyelesaian Sengketa Waris


di Kota Palangka Raya

Pembagian harta warisan berdasarkan kesepakatan antara


ahli waris, dilakukan atas nasihat ahli waris yang paling dominan.
Cara ini dapat dikatakan sebagai pembagian warisan secara
adat. Bagian yang diperoleh masing-masing ahli waris tidak
sama dan ada yang membagi harta warisan kepada salah satu
atau ahli waris yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu,
berikut penjelasan hukumnya

20Hilman Hadikusumah, Antropologi Hukum Indonesia, cet. ke-3,


Bandung: Alumni, 2010); 53
mengenai pembagian harta warisan yang dilakukan secara
kekeluargaan atau berdasarkan kesepakatan bersama.
Secara konseptual penerapan tradisi penyelesaian sengketa waris
dengan terlebih dahulu membagikan harta warisan kepada masing-
masing ahli waris dalam hukum Islam. Setelah dipastikan masing-masing
memiliki hak penuh atas harta warisan, maka harta warisan itu telah dibagi
secara wajar dan sah. Selanjutnya, masing-masing keluarga ahli waris
diperbolehkan untuk saling membantu saudara kandung yang mendapat
jatah sedikit atau bahkan ingin memberikan seluruh haknya dari harta
warisan.
Secara konseptual terdapat aturan-aturan yang rinci
tentang pembagian harta warisan dalam Islam agar tidak terjadi
perselisihan antar sesama ahli waris setelah orang yang hartanya
diwarisi. Hukum Islam mensyaratkan bahwa pembagian warisan
itu adil. Tujuan utama pembagian harta warisan dalam hukum
Islam adalah agar pembagian harta warisan kepada yang benar-
benar berhak agar tidak ada orang yang mengambil hak orang
lain dengan cara yang tidak halal.21, Jika seseorang telah
meninggal dunia, maka harta warisan tersebut telah dipisahkan
dari hartanya dan dialihkan kepada orang lain, yaitu orang yang
menjadi ahli warisnya. Hal ini didasarkan pada musyawarah dan
kesepakatan antara ahli waris dalam hal ini untuk mencegah
terjadinya perselisihan dan juga mempertimbangkan
kepentingan dan kebutuhan ahli waris sesuai dengan kondisi
atau dengan kata lain memperhatikan kemaslahatan ahli waris
lainnya.
Dengan demikian sebagai pemenuhan kewenangan hukum
Islam, dalam menyelesaikan sengketa waris pada masyarakat Kota
Palangka Raya juga menerapkan Syariat Islam yang telah dijelaskan
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan meminta pendapat dari
para tokoh atau ulama yang memahami ilmu hukum waris
kemudian melakukan musyawarah dengan kesepakatan

21Badriyah Harun, SH Panduan Praktis Pembagian Waris.


(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009)
membantu ahli waris lain dalam rangka ekonomi (harta/maal).
Dengan kata lain, gotong royong dalam kebaikan diperintahkan
dalam ajaran Islam. Demikian juga berkaitan dengan pembagian
harta warisan bagi yang berhak menerima harus dilakukan agar
tidak terjadi perselisihan yang juga menjadi tujuan syariat dalam
menjalankan perintah Allah SWT dalam rangka memelihara
agama. Sehubungan dengan
hifzul mAaku, ada beberapa pelajaran tentang pembagian harta
warisan dengan konsep hukum Islam; antara lain: 1) Menjaga
keutuhan keluarga. Pembagian harta warisan berkaitan
langsung dengan harta, jika tidak diberikan berdasarkan
ketentuan (rincian bagiannya) sangat mudah menimbulkan
perselisihan di antara ahli waris. Hal ini karena sifat manusia
sangat senang dengan harta. 2). Sebagai sarana untuk
mencegah kesengsaraan atau kemiskinan ahli waris. Dapat
dilihat bahwa sistem waris Islam memberikan sebanyak-
banyaknya kepada ahli waris dan kerabat. Warisan tidak hanya
untuk anak dari ahli waris, tetapi untuk orang tua, suami istri,
saudara laki-laki dan perempuan, cucu bahkan kakek-nenek. 3)
Sebagai sarana pencegahan dari kemungkinan penimbunan
harta kekayaan kepada seseorang. Dengan aturan yang rinci
tentang pembagian warisan,22Selain itu, hikmah waris itu sendiri
sangat besar yaitu mempererat tali silaturahmi antar hubungan
keluarga. Pada prinsipnya harta warisan sangat bermanfaat bagi
manusia agar terjadi gotong royong, saling mencintai dan
memberikan manfaat kepada kerabat ahli waris yang
ditinggalkan untuk mengenang kebaikan pemilik harta yang
telah meninggal juga termasuk dalam rangka memelihara harta.

Hukum waris adat sendiri terbagi menjadi hukum waris


adat yang masing-masingnya berbeda-beda

22Sa'adah, Sri Lum'atus. "Maqashid Al-Syariah Dalam Hukum Kewarisan

Islam." (2015).AL-AHWAL jilid 7. No.1


wilayah lain. Akibat dari keadaan tersebut, hukum waris yang
berlaku di Indonesia saat ini masih bergantung pada hukum
waris mana yang berlaku bagi orang yang meninggal. Pilihan
hukum untuk menentukan hukum waris didasarkan pada
pluralisme hukum waris yang diakui di Indonesia.23
Jika dilihat melalui pendekatan legislatif, hukum waris Islam
berlaku bagi mereka yang beragama Islam sebagaimana diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Acara Peradilan
Agama Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Khusus Pasal 49 ayat 1 huruf (b) yang menyatakan
bahwa pengadilan agama mempunyai tugas dan wewenang
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pada
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang kewarisan. Selanjutnya pada ayat 3 disebutkan “bidang
harta warisan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf (b)
adalah penetapan siapa ahli waris, penetapan harta warisan,
penetapan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan
pembagian harta warisan”. Melihat pasal ini jelas bagi mereka
yang beragama Islam secara formal (hukum acara) harus tunduk
pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 jo,

Selain menggunakan jalur litigasi melalui Pengadilan


Agama, penyelesaian sengketa waris juga mengenal adanya jalur
non-litigasi (di luar pengadilan) dengan menggunakan alternatif
penyelesaian sengketa (ADR) atau alternatif penyelesaian
sengketa. Para pihak dalam menyelesaikan sengketa waris
melalui cara alternatif penyelesaian sengketa (ADR), baik secara
tegas dengan menggunakan mediasi, perundingan,
musyawarah, fasilitasi, dan lain-lain. Kemampuan menyelesaikan
perkara di luar pengadilan diatur dalam pasal 1851, 1855, 1858
KUH Perdata, penjelasan Pasal 3 UU No.

23Supriyadi, Pilihan Hukum Kewarisan dalam Masyarakat Pluralistik


(Studi Komparasi Hukum Islam dan Hukum Perdata), Jurnal Al-'Adalah, Vol. XII,
No. 3 Juni 2015; hal 554-555.
1970 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka dimungkinkan bagi para
pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga
selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase dan musyawarah
mufakat atau perdamaian (islah).24 Penyelesaian Alternatif Penyelesaian
Sengketa (ADR) merupakan penyelesaian yang secara tidak langsung
telah ada dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Katigan dan Kota
Palangka Raya yang ditanam dan dibudidayakan dengan rapi dalam
kehidupan masyarakat. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan
alternatif penyelesaian sengketa (ADR) atau alternatif penyelesaian
sengketa sangat mudah dipahami, sederhana dan penyelesaian
sengketa secara fakta, khususnya sengketa waris yang terjadi pada
masyarakat Kota Palangka Raya.
Jika dilihat dari pendekatan konseptual, keberlakuan hukum
waris tunduk pada hukum yang dianut oleh para ahli waris
seperti yang terjadi dalam tradisi masyarakat Kota Palangka
Raya, bagi yang beragama Islam tunduk pada hukum Islam
kemudian melaksanakan pewarisan adat. hukum. Hal ini karena
sistem hukum waris yang dianut di Indonesia meliputi: hukum
waris Islam, hukum waris Adat, dan hukum waris menurut KUH
Perdata.

Secara formal di Indonesia, cara ini diakomodasi dalam


Kompilasi Hukum Islam. Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam
menegaskan bahwa para ahli waris dapat bersepakat untuk
berdamai dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing
mengetahui bagiannya. Dengan cara ini syarat terpenting yang
harus dipenuhi adalah kesepakatan dan kerelaan para ahli waris.
Selanjutnya ahli waris juga dapat menggugurkan haknya untuk
memperoleh hak waris dan memberikannya kepada ahli waris lain.

24Syarif Dahlan dan Iwan Haryanto, Eksistensi ADR dalam


Penyelesaian Sengketa Harta Waris Pada Masyarakat Suku Samawa , Jurnal
IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. IV, No.2, Agustus 2018;
325.
Sebaliknya, jika para ahli waris, atau di antara para ahli waris tidak
setuju atau tidak mau membagi harta warisan dalam satu anggota
keluarga, maka sistem pembagiannya dilakukan menurut aturan
faraid yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an dan sunnah. dalam
konteks Indonesia, menurut peraturan perundang-undangan yang
telah menjelaskan hal tersebut. Pembagian harta warisan secara
kekeluargaan dapat didorong oleh pertimbangan adanya
perbedaan kondisi ekonomi sebagian ahli waris yang lebih baik dari
ahli waris lainnya, sehingga harta warisan diharapkan dapat lebih
membantu kondisi kehidupan mereka. Alasan lain mungkin karena
pertimbangan ahli waris bahwa salah satu atau lebih dari mereka
lebih terlibat dalam mengelola ahli waris dan sebagainya. Dengan
demikian menjadi logis jika mereka mendapatkan lebih banyak
bagian selama para pihak sepakat atas prinsip-prinsip tersebut dan
telah mengetahui hak-hak mereka masing-masing.25
Berdasarkan hal tersebut di atas, tradisi penyelesaian
sengketa waris pada masyarakat Kota Palangka Raya masih
memberlakukan teori otoritas hukum Islam dengan
diberlakukannya hukum faraid dan dilakukan musyawarah
keluarga dengan prinsip damai dan menyesuaikan kondisi
ekonomi. Dengan adanya misi kemanusiaan sebagai jaminan
perlindungan harta (hifzul maal) dalam keluarga, sehingga
masyarakat kembali berbagi harta dengan metode perdamaian
yang dibangun berdasarkan kesepakatan keluarga. Masyarakat
Kota Palangka Raya menjalankan prinsip peribadatan dalam
rangka menjalankan hukum waris yang juga bertujuan syariah.
( maqAshid syarSayaah) Memelihara agama kemudian
melaksanakan prinsip ijtihad berpikir responsif berdasarkan nilai-
nilai kearifan lokal di masyarakat.

25Fatahuddin Azis Siregar, Pembagian Harta Warisan Menurut Al-Qur'an


dan Sunnah, Jurnal Fitrah, Vol. 8, No. 1, Januari-Juni 2014; 119-120.
D. AnalisisAsnoafltyhseisSoeftthleemSeenttloefmtehnetCoofmthmeuCnoitmy
munity Sengketa Warisan di Kota Palangka Raya

Tradisi diartikan sebagai adat turun temurun tradisional (dari


nenek moyang) yang masih dilakukan dalam masyarakat; penilaian
atau asumsi bahwa metode yang ada adalah yang terbaik dan
benar.26 Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa adalah
proses atau upaya untuk memulihkan kembali hubungan para
pihak, yaitu para anggota keluarga yang bersengketa pada keadaan
semula. Dengan kembalinya hubungan tersebut maka para pihak
atau anggota keluarga yang bersengketa dapat menjalin hubungan,
baik hubungan sosial maupun hubungan hukum satu sama lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan warisan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang diwarisi, seperti harta, nama
baik; warisan.27
John Berry memberikan definisinya tentang akulturasi, yaitu
proses perubahan budaya dan psikologis yang terjadi sebagai
akibat dari kontrak antara dua atau lebih kelompok dan anggota
dari masing-masing kelompok.28 Menurut Koenjaraningrat,
akulturasi merupakan persoalan dalam antropologi yang memiliki
makna kontak budaya. Hal ini menyangkut konsep proses sosial
yang muncul ketika sekelompok masyarakat dengan budaya
tertentu dihadapkan pada unsur-unsur budaya asing sehingga
unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima dan diolah
menjadi budayanya sendiri tanpa menimbulkan hilangnya
kepribadian budaya tersebut.29 Faktor pendukung terjadinya
akulturasi budaya antara lain: (1) kontak sosial yang terjadi di
masyarakat; (2) Keberadaan budaya

26Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


artikel “tradisi”;1208.
27Ibid.,artikel “warisan”; 1269.
28Berry, John W., dkk. Psikologi lintas budaya: Penelitian dan aplikasi .
Cambridge University Press, 2002.
29https://jdih.katingankab.go.idKoentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
kontak dalam hubungan; (3) Konflik budaya antara penguasa dan
mereka yang dikendalikan melalui unsur budaya, ekonomi,
bahasa, ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, agama, dan seni; (4)
Kontak budaya antara komunitas mayoritas dan komunitas
minoritas; dan (5) Kontak budaya antar sistem sosial budaya
berupa nilai dan norma.30

Tradisi penyelesaian sengketa waris jika dilihat


berdasarkan pendekatan sejarah, tradisi penyelesaian sengketa
waris dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Kota
Palangka Raya. Berdasarkan pendekatan konseptual, pada
dasarnya mengetahui dan
mengakui penyelesaian sengketa waris yang dilakukan menurut
hukum Islam. Selain itu, penyelesaian sengketa waris juga
dilakukan dengan tradisi yang ada yaitu mengutamakan
musyawarah dalam menentukan bagian warisan dengan
menyesuaikan kondisi dan kondisi seperti kondisi ekonomi dan
kebutuhan ahli waris.. Hal ini menunjukkan pola yang
berkembang pada masyarakat Kota Palangka Raya dalam
menyelesaikan sengketa waris dengan menggali nilai-nilai
kearifan lokal di masyarakat dan mengedepankan prinsip
perdamaian. Melihat fenomena yang terjadi dalam kasus ini,
pada dasarnya disebutkan dalam pasal 183 Kompilasi Hukum
Islam (KHI).31 bahwa para ahli waris dapat bersepakat untuk
berdamai dalam pembagian harta warisan setelah masing-
masing dari mereka menyadari bagiannya.
Tradisi penyelesaian sengketa waris yang dilakukan oleh
masyarakat Palangka Raya sangat relevan dengan makna pasal
183 KHI, memberikan makna bahwa ahli waris tidak boleh
membagikan harta warisan secara musyawarah sebelum
masyarakat mengetahui tata cara pembagiannya.

30Berry, JW "20. Psikologi akulturasi." Pembaca budaya dan psikologi 457


(1995).
31Lihat, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 183.
waris secara sah menurut waris Islam. Jika tidak, ahli waris
diperbolehkan melakukan musyawarah setelah mereka
mengetahui hak warisnya baik secara langsung melalui
pengetahuan yang mereka miliki tentang hukum waris Islam
maupun melalui ahli waris yang menyampaikan kepada mereka.
Penyelesaian perselisihan keadaban masyarakat Kota
Palangka Raya yang membagi harta pusaka dengan melakukan
penghitungan syariat Islam kemudian diakhiri dengan
penyelesaian bersama dengan cara hukum adat. Tradisi
penyelesaian sengketa waris melalui praktek atau cara
pembagian harta warisan di Kota Palangka Raya adalah sebagai
berikut: pertama, cara pembagian dilakukan dengan
kesepakatan antar keluarga. Berdasarkan pembagian harta
warisan dengan saran dari satu atau lebih anggota keluarga
yang lebih tua atau mengumpulkan semua anggota keluarga.
Kedua, pembagian harta warisan dilakukan terlebih dahulu
dalam hukum Islam kemudian dilakukan musyawarah dengan
memperhatikan kondisi dan kondisi ekonomi ahli waris yang
membutuhkan. Hal ini karena pembagiannya didasarkan pada
kebutuhan atau keperluan, dan kondisi ekonomi ahli waris yang
menerimanya. Terakhir, metode yang digunakan (penggabungan
hukum Islam dan penyelesaian hukum adat secara musyawarah
dan kesepakatan keluarga) ditujukan untuk mencegah terjadinya
perselisihan. Pembagian ini dilakukan berdasarkan cara yang
selalu dilakukan dalam keluarga mereka secara turun temurun.32

Tradisi penyelesaian sengketa waris menurut hukum adat,


tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematis,
tetapi selalu didasarkan pada pertimbangan dengan
mempertimbangkan benda dan kebutuhan ahli waris yang
bersangkutan. Mengamati

32Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh beberapa informan UK, RS, EN, WH, dan JP

di Kota Palangkaraya.
Pelaksanaan tradisi pembagian warisan di atas, dikaitkan dengan
konsep kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih
dilakukan di masyarakat dan tradisi tersebut merupakan
perbuatan yang dianggap benar oleh masyarakat setempat.

Jika ditelaah melalui pendekatan historis dan konseptual,


pembagian tersebut didasarkan pada kekerabatan kepada para
ahli waris setelah dibagikan dalam syariat Islam. Informan yang
menggunakan pembagian warisan dengan cara ini adalah pola-
pola yang terjadi dari tradisi masyarakat yang telah turun
temurun dan dianggap memiliki keyakinan psikologis dan
dilakukan secara berulang-ulang sebagai bagian dari kearifan
masyarakat setempat.
Secara konseptual, hukum waris dalam masyarakat di Kota Palangka
Raya dapat menciptakan keharmonisan dan keseimbangan dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat untuk menghindari konflik yang
kemungkinan akan terjadi. Dalam hukum Islam ada beberapa manfaat
yang dirasakan oleh ahli waris ketika ada pembagian harta warisan, yaitu
menciptakan ketentraman hidup bagi yang melaksanakannya dan
membangun nilai-nilai keadilan yang setinggi-tingginya. Jika keadilan ini
diterapkan, secara otomatis akan mencegah munculnya dalam keluarga
atau masyarakat.33
Perpaduan hukum Islam dan hukum adat menunjukkan
situasi yang pluralistik. Hal ini terlihat dari berlakunya berbagai
sistem hukum kewarisan masyarakat Kota Palangka Raya, yaitu
hukum waris Islam, waris perdata yang diatur dalam KUHPerdata
dan hukum adat. Keberagaman hukum ini masih ditambah
dengan hukum waris adat yang berlaku dalam kenyataannya
tidak tunggal, tetapi juga bervariasi sesuai dengan bentuk
masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia. bisa
dibilang

33Syarif Dahlan dan Iwan Haryanto, Eksistensi ADR dalam


Penyelesaian Sengketa Harta Waris Pada Masyarakat Suku Samawa , Jurnal
IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. IV, No.2, Agustus 2018;
324.
hukum waris masyarakat di Kota Palangka Raya dipengaruhi oleh
sistem kekeluargaan masyarakat.34 Akibatnya, bentuk dan sistem
pewarisan di Indonesia mengalami pluralisme hukum kewarisan
yang sah dan dilaksanakan oleh masyarakat sesuai dengan rasa
keadilannya.

Pluralisme sistem pewarisan pada masyarakat Kota


Palangka Raya dapat dilihat pada hukum waris yang digunakan
yaitu hukum waris Islam, hukum waris perdata yang bersumber
dari KUHPerdata dan hukum waris adat yang bersumber dari aw
yang hidup di masing-masing daerah. Hukum waris Islam berlaku
bagi mereka yang beragama Islam sebagaimana diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam dan UU Peradilan Agama No. 7 Tahun
1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2006.

Jika dicermati dari tradisi penyelesaian sengketa waris


masyarakat di Kota Palangka Raya dalam pandangan syariat
Islam, tujuannya adalah agar dapat menyelesaikan masalah
waris sesuai dengan ketentuan agama dan tidak dirugikan dan
dikonsumsi oleh pihak lain. Selain itu, pembagian harta warisan
dapat bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat sekitar. Tradisi
penyelesaian sengketa waris di Kota Palangka Raya Kalimantan
Tengah adalah kebiasaan menyelesaikan dengan musyawarah
kemudian musyawarah untuk menentukan bagi hasil dan
pembagian harta. Tradisi tersebut dilakukan secara terpadu,
yaitu melalui ilmu hukum waris dan tradisi kearifan lokal.

34Supriyadi, Pilihan Hukum Kewarisan dalam Masyarakat Pluralistik


(Studi Komparasi Hukum Islam dan Hukum Perdata), Jurnal Al-'Adalah, Vol. XII,
No. 3, Juni 2015; hal. 554-555.
E. Kesimpulan

Akhirnya, dari semua pengalaman keagamaan umat Islam di


Palangka Raya mengenai praktik pewarisan, dapat disimpulkan
bahwa masyarakat di Palangka Raya masih membagi harta
warisan menurut hukum Islam, kemudian mendaur ulang harta
dan menggabungkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini karena fakta
ilmiah tradisi penyelesaian sengketa waris terikat pada aspek
peribadatan yang masih menjalankan syariat Islam yang
ketentuannya dimodifikasi melalui nilai-nilai kemanusiaan dalam
konteks hukum keluarga. Hal ini kemudian melahirkan
paradigma baru dalam penyelesaian sengketa waris. yaitu
penyelesaian sengketa dalam arti memenuhi pelaksanaan
pembagian waris sesuai dengan syariat Islam kemudian
melaksanakan musyawarah kita dengan mengutamakan aspek
yang paling utama. Permohonan hukum penyelesaian sengketa
waris di Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah mutlak
menerapkan teori kekuasaan hukum Islam dengan asas damai
dan menyesuaikan keadaan ekonomi. Tradisi tersebut dilakukan
dengan cara memadukan atau due process penyelesaian
sengketa waris dengan kompromi pada penyelesaian sengketa
waris. Kota Palangka Raya menerapkan prinsipatta'abbudi dalam
rangka menjalankan hukum firaun yang juga bertujuan syariah (
maqashid syariah) menjaga agama (hifzul din) maka untuk
melaksanakan prinsip ta'aqquli dalam ijtihad berbasis
kemanusiaan yang responsif berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal
masyarakat. Dengan demikian,
BIBLIOGRAFI
Furqan, An Amalia. Alfitri, dan Haries,
a Alfitri.
Akhmad,“Perbedaan Konsep Anak (Walad) dalam Hukum
Waris Islam dan Implikasinya Terhadap Putusan Peradilan
Agama di Indonesia,”
Mazahib Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 17, Tidak.
2, hal. 119-146. 2018.
Badriyah, Harun, Panduan Praktis Pembagian Waris. Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2009.
Bahri, Saiful,”Tafsir dan Antropologi Sosial (Sebuah
Pendekatan Metodologi; Urgensi, Relevansi, dan
Penyalahgunaannya”, makalah dipresentasikan dalam
makalah reguler yang disampaikan dalam kajian reguler
FORDIAN (Forum Studi alQur'an) Kairo, di Hay. 7, 2dan Oktober
2007.
Berry, John W., dkk. Psikologi lintas budaya: Penelitian
dan aplikasi. Cambridge University Press, 2002.
Berry, JW "20. Psikologi akulturasi."
Budaya dan pembaca psikologi 457,
1995.
Eman Suparman, HukumWaris Indonesia DalamPerspektif
Islam, Adatdan BW, Bandung: Refika Aditama, 2005.
Dahlan Syarif dan Haryanto Iwan, Eksistensi ADR dalam
Penyelesaian Sengketa Harta Waris Pada Masyarakat
Suku Samawa, Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Vol.
IV, No.2, Agustus 2018.
Fatahuddin Azis Siregar, PembagianHartaWarisanMenurut
Al-Qur'an dan Sunnah, JurnalFitrah, Vol. 8, No. 1, Januari-
Juni 2014.
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, Jakarta: Grup Media Kencana Prenada,
2011.
Hadikusumah Hilman, Antropologi Hukum Indonesia, cet.
3rd edisi, Bandung: Alumni, 1986
Halim Abdul, Barkatullah. "Budaya Hukum Masyarakat"
dalam Perspektif Sistem Hukum.” Jurnal UKSW
2013.
Haris, Ahmad, Analisis Tentang Studi Komparatif Antara
Hukum Kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Adat , Jurnal
Fenomena, Vol. 6, No.2, 2014.
https://dishut.kalteng.go.id/page/37/kondisi-
daerahhttp://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?
tid=321&wid=6200000000
https://kalteng.go.id/INDO/informasi_umum_kalimantan_
tengah.htm
Ihromi, TO Antropologi dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1984
Jamalie, Zulfa, “Akulturasi dan Kearifan Lokal dalam
Tradisi Baayun Maulid pada Masyarakat Banjar”, el-Harakah
Jurnal Vol 16 No.2 Tahun 2014 Kholidah, "qathi'dan zhanni
menurut masdar farid mas'udi." fitrah: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu
Keislaman 2.1 hal.19-36, 2016

https://jdih.katingankab.go.idKoentjaraningrat,
PengantarIlmuAntropologi, RinekaCipta, Jakarta, 2005.
Komari, Eksistensi Hukum Waris di Indonesia: Antara Adat
dan syariah, Jurnal Asy-Syariah, Vol. 17, No. 2, Agustus 2015.

Rasyid, Haras Muh. "Dinamika Hukum Islam Dan


Aktualisasi Teori-Teori Berlakunya Hukum Islam Di
Indonesia." DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum 11.1: 15-23,
2013.
Rofiq Ahmad,Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media,
2004.
Sa'adah, Lum'atus Sri. “Maqashid Al-Syariah Dalam
Hukum Kewarisan Islam.” AL-AHWAL Jilid 7. Nomor
1, 2015.
Said, Abdullah. Kebebasan beragama, murtad dan Islam.
Routledge, 2017.
Sodikin, Ali, Antropologi Al-Qur'an, Model Dialektika Wahyu
dan Budaya, Yogyakarta: Arruz Media, 2008.
Sodiqin, Ali, "Antropologi Hukum sebagai Pendekatan
dalam Penelitian Hukum Islam.” Al-Manahij: Jurnal Kajian
Hukum Islam7.1 2013
Supriyadi, Pilihan Hukum Kewarisan dalam Masyarakat
Pluralistik (Studi Komparasi Hukum Islam dan Hukum
Perdata), Jurnal Al-'Adalah, Vol. XII, No. 3, Juni 2015.
Syamsudin, Muhammad, “Korupsi Dalam Perspektif
Budaya Hukum.” Jurnal Fakultas Hukum UII 30.64,
2007.
Prasetyo, Basuki Agung, dan Sri Wahyu Ananingsih.
"Perkembangan Hak Waris Perempuan pada Sistem
Kekeluargaan Patrilineal Batak (Studi Kasus Putusan No.
583/pdt. g/2011/pn. jaksel)."Jurnal Hukum Diponegoro 5.2
hal.1-17, 2016.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
pengembangan bahasa, kamu Besar bahasa
s
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Utami, "Tradisi Masyarakat Muslim Dalam Membagi Harta
Warisan Secara Kekeluargaan (Studi Di Kecamatan Jekan
Raya Kota Palangka Raya)." Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat 12.2 hal.97-213. 2016.
Winario, Mohd, “Masalah Hukum Islam Perspektif Sosiologi
Antropologi Hukum.” Jurnal Al Himayah 1.2 hal. 261-
276, 2017

Anda mungkin juga menyukai