NPM : 2120202063
Kelas : ILKOM 03
BENTUK AKAD
A. TABARRU’
Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut
not for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi
bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong
menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa arab
yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’ pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak
mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari
Allah swt, bukan dari manusia. Namun demikian pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh
meminta kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang
dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut.
1. Pelayanan Jasa
a. Wakalah
b. Wa’diah
Wadi’ah merupakan sejumlah harta ataupun lainnya yang dititipkan atau ditinggalkan
pada seseorang penjaganya yang berkewajibn untuk menjagabalikannya kepada pihak yang
menitipkan, kapan saja dia memintanya. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam wadiah adalah
sebagai berikut:
1) Penerima simpanan (pihak bank) disebut yad al-amanah yang artinya tangan amanah.
Penyimpan (nasabah) tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan kerusakan yang
terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohannya dalam
memelihara barang titipan. Contoh penerapan akad wadiah yad amanah adalah pada produk
Save Deposit Box (SDB). Dalam skema ini, nasabah menitipkan barangnya kepada Bank
Syariah. Pada saat awal transaksi akad sudah disepakati adanya sewa penyimpanan atau jasa
penjagaan atau pemeliaraan dari barang titipan tersebut, sehingga pihak Bank Syariah boleh
mengenakan biaya kepada nasabah.
2) Penggunaan uang titipan harus terlebih dulu meminta izin kepada si pemilik uang dan
dengan catatan pengguna uang menjamin akan mengembalikan uang tersebut secara utuh.
Dengan demikian prinsip yadamanah (tangan amanah) menjadi yad dha-manah (tangan
penanggung), konsekuensinya adalah pihak bank akan menerima seluruh keuntungan dari
penggunaan uang tetapi sebaliknya bila mengalami kerugian juga bank harus menanggungnya.
Sebagai imbalannya, nasabah memperoleh insentif atau bonus (nisbah) untuk simpanannya.
Contoh penerapan wadiah yad dhamanah dalam esensi qardh adalah pada produk Tabungan
Wadiah dan Giro Wadiah. Pada skema ini, Nasabah menitipkan dana kepada Bank Syariah
(dalam bentuk rekening tabungan atau giro). Dana titipan Nasabah dipergunakan oleh Bank
Syariah (baik untuk transaksi bisnis maupun transaksi nonbisnis). Nasabah tidak boleh
mensyaratkan adanya manfaat seperti minta syarat diberi hadiah, syarat ada kelebihan
pengembalian dana titipan dan/atau manfaat lainnya, agar tidak terkena Riba.
Penerapan wadiah yad dhamanah dalam esensi ariyah bisa dilihat misalnya transaksi titipan
kendaraan, tapi kendaraannya dipergunakan oleh penerima titipan. Kendaraan dipergunakan
oleh penerima titipan, namun tidak dijual atau dihilangkan.Penerima titipan wajib
mengembalikan kendaraan tersebut sesuai kondisi semula. Pengembalian bukan berupa
kendaraan lainnya. Jika kendaraan tersebut hilang, maka penerima titipan harus mengganti
barang titipan tersebut.
c. Ariyah
Pinjaman atau Ariyah secara terminology ariyah diambil dari kata Aara yang berarti
datang dan pergi, menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari kata AtTa’aawuru yang sama
artinya dengan At-tanaasubu yang berarti saling menukar dan mengganti dalam konteks tradisi
pinjam meminjam, sedangkan terminologi yang dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan
mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat dikembalikan
kepada pemiliknya, menurut pendapat pendapat Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh
Wahbah al-juhaili, ariyah adalah pemilikan atas manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan.
Adapun menurut AlAyafi‟iyah dan Al-Hanabalah ariyah adalah pembolehan untuk mengambil
manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan, dan menurut Amir Syarifuddin berpendapat
bahwa ariyah adalah transaksi atas manfaat suatu barang tanpa imbalan.
Dari definisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebut dapat dipahami
bahwa pada dasarnya ariyah adalah suatu hak untuk memanfaatkan suatu benda yang
diterimanya dari orang lain tanpa imbalan dengan ketentuan barang tersebut tetap utuh dan
suatu saat harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Macam-macam Ariyah
Pinjaman pinjaman barang yang dilakukan oleh seseorang yang dalam akadnya tidak
dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakan pemanfaatannya hanya untuk musta’ir saja atau
dibolehkan untuk orang lain dan tidak dijelaskan cara penggunaanya.
Contohnya seseorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hala-hal
yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut, misalnya waktu dan tempat
mengendarainya. Walaupun begitu tetap harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di
masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika
penggunaanya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir harus
bertanggung jawab.
Ariyah muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat
dengan batasan tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan jangka
waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan tersebut,
berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya
berlaku pada objek yang berharta, sehingga untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan
adanya syarat tertentu. Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak
dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian
dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk
memanfaatkannya. Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir (orang yang meminjamkan)
dan musta’ir (orang yang menerima pinjaman) tentang lamanya waktu meminjam, berat/nilai
barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat
mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai
dengan keinginannya.
2. Pinjaman Uang
a. Qardh
Qardh secara bahasa, berarti Al-Qath’u: pemotongan. Harta yang disodorkan kepada
orang yang berutang disebut Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang
memberikan utang. Ini termasuk penggunaan isim mashdar (gerund = nonverbal) untuk
menggantikan ism maf ul.
Secara syar‟i, menurut Hanafi, adalah harta yang memiliki kesepadanan yang anda
berikan untuk anda tagih kembali, atau dengan kata lain: suatu transaksi yang dimaksud untuk
memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan yang
sepadan dengan itu.
Contoh
1). Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan
untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum
keberangkatan haji.
2). Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah
diberi keluasaan untuk menarik uang tunai milik Bank melalui ATM. Nasabah akan
mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.
3). Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk
memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya
secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
b. Rahn
Menurut Bank Indonesia, rahn adalah akad penyerahan barang/harta dari nasabah
kepada bank sebagai jaminan atau seluruh utang. Aplikasi rahn dalam perbankan, yaitu dalam
bentuk gadai dengan tujuan memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam
memberikan pembiayaan barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria:
2) Jelas ukuran, sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak
mengurangi dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan atas
perintah hakim, nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizing bank,
apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, kelebihan tersebut menjadi milik nasabah.
Sebaliknya jika hasil penjualannya lebih kecil, nasabah wajib memenuhi sisa kewajibannya.
c. Hiwalah
Hiwalah akad pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.
Madzhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian. Ditinjau dari segi objek akad, maka
hiwalah dapat dibagi dua, apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut utang, maka
pemindahan itu disebut hiwalah alhaqq (pemindahan hak). Sedangkan jika yang dipindahkan
itu berkewajiban untuk membayar utang, maka pemindahan itu disebut hiwalah ad-dain
(pemindahan utang). Ditinjau dari sisi lain, hiwalah terbagi dua pula, yaitu:
2) Hiwalah Al-Mutlaqah (pemindahan mutlak) yaitu pemindahan utang yang tidak ditegaskan
sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua. Contoh: Jika A
berutang kepada B sebesar satu juta rupiah. C berutang kepada A juga sebesar satu juta rupiah.
A mengalihkan utangnya kepada C, sehingga C berkewajiban membayar utang A kepada B,
tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang tersebut sebagai ganti dari pembayaran utang C
kepada A. Dengan demikian hiwalah al-mutlaqah hanya mengandung hiwalah ad-dain, karena
yang dipindahkan hanya utang A terhadap B menjadi utang C terhadap B.
d. Kafalah
Jenis Kafalah
b. Kafalah bi al-Mal Adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang. Bentuk
kafalah ini merupakan medan yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada
para nasabahnya dengan imbalan fee tertentu.
c. Kafalah bit Taslim Jenis kafalah ini bisa dilakukan untuk menjamin dikembalikannya barang
sewaan pada akhir masa kontrak. Hal ini dapat dilakukan dengan leasing company terkait atas
nama nasbah dengan mempergunakan depositnya di bank dan mengambil fee atasnya.
d. Kafalah al-Mujazah Adalah jaminan untuk tidak dibatasi oleh kurun waktu tertentu atau
dihubungkan dengan maksud-maksud tertentu.
e. Kafalah al-Mualah Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-Munjazah
dimana, jaminan dibatasi oleh kurun waktu dan tujuan-tujuan tertentu. Dalam dunia perbankan
modern jaminan jenis ini biasa disebut performance bonds (jaminan prestasi).
3. Memberikan Harta
a. Hibah
Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang
dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada waktu penghibah
masih hidup juga. Contoh hibah
1) Pemberian tanah waris dari orang tua ke anaknya (ada ikatan darah)
2) Seorang juragan tanah yang menghibahkan tanahnya untuk kuburan masyarakat
3) Seorang kyai yang menghibahkan tanahnya untk membuat sebuah masjid/mushola
4) Seseorang yang kaya menghibahkan tanahnya untuk membangun sebuah sarana
olahraga,pondok dan panti asuhan.
b. Wakaf
Wakaf adalah suatu kata yang berasal dari bahasa arab, yaitu waqafa yang berarti
menahan, menghentikan atau mengekang. Dalam bahasa indonesia kata waqaf biasa diucapkan
dengan wakaf dan ucapan inilah yang dipakai dalam perundang-undangan di Indonesia.
Menurut istilah wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa
menghabiskan atau meneruskan bendanya (‘ainnya) dan di gunakan untuk kebaikan.
Sedangkan defenisi wakaf dalam terminologi fiqih adalah penahanan pemilikan atas hartanya
yang dapat dimanfaatkan tanpa merubah substansi dari segala bentuk tindakan atasnya dan
mengalihkan manfaat harta tersebut untuk salah satu ibadah pendekatan diri kepada Allah
dengan niat mencari ridho Allah.
c. Wasiat
Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang
meninggal dunia. Wasiat berasal dari kata washa yang berarti menyampaikan atau memberi
pesan atau pengampuan. Dengan arti kata lain, wasiat adalah harta yang diberikan oleh
pemiliknya kepada orang lain setelah si pemberi meninggal dunia.
Wasiat juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain. Arti kata washa merupakan
bentuk jamak dari kata washiyyah, mencakup wasiat harta, sedang iishaa’, wishayaa dan
washiyyah dalam istilah ulama fiqih diartikan kepemilikkan yang disandarkan kepada keadaan
atau masa setelah kematian seseorang dengan cara tabbaru’, baik sesuatu yang akan dimiliki
tersebut berupa benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang.
Contoh wasiat Nabi Luqman kepada anaknya yaitu berupa peringatan untuk menjauhi
perbuatan mensyarikatkan (menyekutukan) Allah serta penjelasan akan bahayanya.
d. Hadiah
Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada orang lain tanpa mengharap balasan dengan
tujuan untuk membahagiakan atau memberikan penghargaan. Contoh, memberikan hadiah
kepada teman saat dia memenangkan lomba sebagai bentuk apresiasi.
B. MU’AWADHA
Mu’awadah adalah akad yang dilakukan karena adanya motif bisnis seperti jual beli,
sewa atau lainnya sehingga cara yang ditempuh dapat berupa pertukaran harta dengan uang
atau uang dengan jasa (sewa benda atau upah untuk tenaga). Atau Akad Mu’awadhah yaitu
akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik, sperti jual beli, sewa-menyewa terhadap harta
dengan harta. Akad Mu’awadhah dibagi menjadi dua yaitu Natural Certainty Contract dan
Natural Uncertainty Contract.
1. Jual beli
a. Bai’ Murabahah
Akad Bai‟ Al-Murabahah dalam Fiqih merupakan Jual-beli dalam hukum Islam
diartikan sebagai suatu akad yang dibuat atas dasar kata sepakat antara dua pihak untuk
melakukan tukar-menukar suatu benda dengan benda lain sebagai imbalan dengan
memindahkan hak milik atas masing-masing benda itu dari pihak yang satu kepada pihak lain.
Dalam hukum Islam, jual-beli meliputi tukar menukar barang dengan barang (barter, bai‟ al-
muqayadah), uang dengan uang (as-sarf), dan uang dengan barang (bai‟ al-mutlaq).
Berdasarkan salah satu kategorinya, jual-beli dibedakan menjadi jual-beli tawar- menawar
(bai‟ al-musawamah), dan jual-beli amanah/kepercayaan (bai‟ alamanah).
b. Salam
As-salam ( )السلمdalam istilah fikih disebut juga as-salaf ()السلف. Secara etimologis,
kedua kata memiliki makna yang sama yaitu mendahulukan pembayaran dan mengakhirkan
barang. Penggunaan kata as-salam biasaya digunakan oleh orang-orang Hijaz, sedangkan
penggunaan kata as-salaf biasanya digunakan oleh orang-orang Iraq.
Secara etimologis salam adalah menjual sesuatu barang yang penyerahannya ditunda,
atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal
terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari. Menurut Sayyid Sabiq as-
salam atau as-salaf (pendahuluan) penjualan sesuatu dengan kriteria tertentu (yang masih
berada)dalam tanggungan dengan pembayaran segera atau disegerakan. Menurut kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang
pembiayaannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.
Adapun contoh kasus bai’ as-salam, yaitu ada seorang pembeli yang memesan beberapa
daun pintu ke pembuat atau produsen daun pintu, kemudian sang pemesan menyebutkan
kriteria atau sifat pintunya, baik dari segi model dan bahan kayu yang digunakan dengan
perjanjian waktu yang sudah ditentukan dan disepakati kedua belah pihak. Dan seorang
pemesan harus membayar lunas biaya pemesanan daun pintu tersebut dan daun pintu harus
selesai ditanggal yang ditentukan kedua belah pihak. Orang yang memesan atau yang memiliki
uang disebut muslam, orang yang memiliki barang disebut muslam ilaih, barang yang dipesan
disebut muslam fīh, dan harganya disebut ra’su māl as-salam. Kemudian cara pemesanan tidak
diisyaratkan harus dengan lafal salam atau salaf, melainkan cukup dengan lafal bai‟ atau jual
beli. Akan tetapi boleh juga dengan lafal salam atau salaf.
c. Istishna
Istishna berasal dari kata ( صنعshana’a) yang artinya membuat kemudian di tambah
huruf alif, sin dan ta’ menjadi ( استصنعistashna’) yang berarti meminta dibuatkan sesuatu.
1). Rumah. Rumah apabila dipesan sesuai dengan keinginan Anda, termasuk dalam akad
istishna. Misalnya, ingin rumah dengan 3 kamar, desainnya minimalis, dan ada kolam
renangnya. Untuk memenuhi keinginan ini, Anda bisa memesan rumah KPR di perbankan
syariah yang menyediakan fasilitas tersebut.
2). Pakaian. Apabila Anda ingin pakaian kustom sesuai dengan selara, juga termasuk dalam
istishna. Misalnya, Anda ingin memesan jersey sepak bola dengan desain sendiri untuk 40
orang.
3). Sepatu. Apabila ukuran sepatu Anda jarang ada di pasaran, Anda pastinya akan memesan
ukuran tersebut ke tukang sepatu. Apabila melakukan transaksi tersebut berdasarkan syariat
islam, hal tersebut termasuk akad istishna.
d. Sharf
Mata uang asing dalam istilah bahsa inggris dikenal dengan money changer dan foreign
exchange dalam bahasa arab sering disebut dengan kata al-sharf. Dalam kamus al-Munjid fi al-
Laughah disebutkan bahwa al-Sharf berarti menjual uang dengan uang lainnya. Secara bahasa
pertukaran mata uang asing atau al-Sharf mempunyai arti Al-Ziyadah (tambahan), penukaran,
penghindaran, atau transaksi jual beli.
Sedangkan secara istilah atau terminologi, terdapat beberapa definisi dari beberapa
ulama:
a. Wahbah Al-Zuhaili mengatakan, aal-Sharf aialah pertukaran mata uang dengan mata uang
lainnya baik satu jenis maupun lain jenis, seperti uang dollar dengan uang rupiah atau rupiah
dengan uang ringgit.
b. Abd. Al-Rahman Al-Jazairi mengatakan, al-Sharf ialah pertukaran mata uang asing dengan
mata uang rupiah, emas dengan emas, perak dengan perak, atau salah satu dari keduanya.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa al-Sharf adalah perjanjian jual beli satu
valuta dengan valuta lainnya. Al-Sharf secara bebas diartikan sebagai mata uang yang
dikeluarkan dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain.
2. Ijarah IMBT
Secara etimologi ijarah berarti: sewa, upah, jasa, atau imbalan. Secara istilah Islam,
Ulama Hanafi mendefinisikan ijarah sebagai berikut:
Adapun menurut Fatwa DSN Nomor 09/DSN/MUI/IV/2000, akad pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Pendapatan yang diterima dari transaksi ijarah disebut ujrah. Al-ujrah ialah imbalan yang
diperjanjikan dan dibayar oleh pengguna manfaat sebagai imbalan atas manfaat yang
diterimanya.
Ijarah Muntahiya Bi At-tamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual
beli dan sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang
ditangan si pembeli. Menurut kamus ekonomi syariah, ijarah muntahiya bi at-tamlik adalah
ijarah dengan janji (wa’ad) yang mengikat pihak yang menyewakan untuk menjadikan
kepemilikan kepada penyewa.
Contoh
Bpk. Ahmad hendak menyewa sebuah ruang perkantoran di sebuah gedung selama 3 bulan
mulai dari tanggal 1 Mei 2002 sampai 1 Agustus 2003. Pemilik gedung menginginkan
pembayaran sewa secara tunai di muka sebesar Rp.80.000.000,-. Dengan pola pembayaran
tersebut, kemampuan keuangan Bpk. Ahmad tidak memungkinkan. Bpk. Ahmad hanya dapat
membayar sewa di akhir masa sewa, yaitu tanggal 1 Agustus. Untuk memecahkan masalah ini,
Bpk. Ahmad mendatangi sebuah bank syariah untuk meminta pembiayaan, dengan
memaparkan kondisi kebutuhan dan keuangannya.
Berikut adalah analisa bank dalam memberikan pendanaan dengan memperhitungkan
kebutuhan dan kemampuan finansial/keuangan nasabah serta required rate of profit bank
sebesar 20%:
Harga sewa 3 bulan (tunai di muka) : Rp. 80.000.000,-
Dengan analisa tersebut maka bentuk pembiayaan yang diberikan oleh bank kepada Bpk
Ahmad adalah:
a. Pembiayaan ijarah, harga sewa Rp.96.000.000,- 3 bulan (90 hari), pembayaran sewa
di belakang sekaligus.
b. Pendanaannya diambil dari RIA.
Contoh, Pak Albino ingin membuka Bisnis Rumah Makan, modal yang dimiliki Pak
Albino hanya Rp 20.000.000. Sedangkan modal yang dibutuhkan sebesar Rp 80.000.000 Pak
Albino pergi ke Bank syariah untuk meminta bantuan pendanaan sebesar Rp 60.000.000
dengan persetujuan bagi hasilnya yaitu 60 % untuk Bank syariah dan 40 % untuk Pak Albino
dalam jangka waktu 2 Tahun. Persetujuan bagi hasil tersebut merupakan kesepakatan kedua
belah pihak, yaitu antara Bank syariah dengan Pak Albino.
b. Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu berjalan di muka bumi. Dan
berjalan di muka bumi ini pada umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu usaha,
berdagang atau berjihad di jalan Allah, sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-
Muzzammil, ayat ke-20. Mudharabah disebut juga qiraadh, berasal dari kata al–qardhu yang
berartial-qath’u (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk
diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya. Sedangkan menurut
istilah fiqih, Mudharabah ialah akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak,
yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan,
sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.
Contoh, Pak Deva ingin membuka usaha jasa Fotocopy, Print, dan alat-alat tulis, karena
tidak memiliki modal Pak Deva pergi ke BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat Syariah) untuk
meminta bantuan pemodalan, Pak Deva memintak bantuan pendanaan sebesar Rp 30.000.000
dengan persetujuan bagi hasilnya yaitu 60 % untuk BPRS dan 40 % buat pak Deva. Persetujuan
bagi hasil tersebut merupakan kesepakatan kedua belah pihak, yaitu antara BPRS dengan Pak
Deva.
2. Kerjasama Dalam Pertanian
a. Muzara’ah
Menurut bahasa, Muzara’ah memiliki dua arti, pertama adalah Tharh Al-Zur’ah
(melemparkan tanaman), maksudnya adalah Al-Hadzar (modal). Makna yang pertama adalah
makna majas dan makna yang kedua ialah makna hakiki.Al- Muzara’ahmenurut bahasa adalah
Muamalah terhadap tanah dengan (imbalan) sebagian apa yang dihasilkan darinya. Sedangkan
yang dimaksud disini adalah memberikan tanah kepada orang yang akan menggarapnya dengan
imbalan ia memperoleh setengah dari hasilnya atau yang sejenisnya.
Secara Etimologi, Muzara’ah berarti kerja sama dibidang pertanian antara pemilik
tanah dengan petani penggarap. Sedangkan menurut istilahFiqih ialah pemilik tanah memberi
hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya. Secara
Terminologis, Muzara’ah adalah penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk
digarap dan hasilnya dibagi dua.
Muzara’ah berasal dari kata Az-Zar’u yang artinya ada dua cara, yaitu, menabur benih
atau bibit dan menumbuhkan. Dari arti kata tersebut dapat dijelaskan, bahwa Muzara’ah adalah
bentuk kerjasama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dengan petani penggarap.
Dalam hal ini penggaraplah yang menanami lahan itu dengan biaya sendiri, tanaman dan lahan
tersebut nanti dibagi antara kedua belah pihak sebagai pembayaran atau upah dari penggarapan
tersebut.
Contoh, Pak Badrun belum memiliki pekerjaan tetapi ia ahli dalam bidang pertanian.
Karena Pak Badrun tahu Pak Ahmad mempunyai tanah yang luas, Pak Badrun menawarkan
kerjasama pada Pak Ahmad. Pak Badrun berniat menyewa tanah yang Pak Ahmad miliki dan
akan menanam bibit pada tanah tersebut hingga masa panen. Jika masa panen tiba, sepertiga
dari hasil panennya akan diberikan kepada Pak Ahmad, sedangkan Pak Barun mendapatkan
2/3 hasil panen. Pak Ahmad pun setuju dengan perjanjian tersebut.
b. Mukhabarah
Pengertian Mukhabarah adalah salah satu muamalah yang akadnya memiliki kesamaan
dengan muzara’ah baik dalam hal dasar hukum, syarat, dan rukunnya. Keduanya masih sama-
sama dalam perdebatan para ulama. Ada sebagian ulama yang membolehkan dan ada sebagian
ulama yang tidak membolehkan. Namun, dilihat dari manfaat yang diambil dari kedua akad
tersebut maka secara syarat baik mukhabarah dan muzara’ah boleh dilakukan sepanjang tidak
ada maksud mencari keuntungan untuk diri sendiri dan upaya mempekerjakan orang lain tanpa
diberi upah sedikitpun dari hasil kerjanya.
Perbedaan antara muamalah yang bersifat mukhabarah dan muzara’ah terletak dalam
hal benih yang akan ditanam apakah benih menjadi tanggungan pemilik tanah atau menjadi
tanggungan penggarap. Dan akad muzara’ah, pihak penggarap adalah yang menyediakan
benih, sedangkan pada akad mukhabarah, pemilik tanah adalah pihak yang menyediakan benih.
Contoh, Pak Ahmad adalah seorang saudagar kaya, dia memiliki banyak tanak
diberbagai desa. Tanah-tanah tersebut tidak ada yang merawat, karena Pak Ahmad sering
keluar kota untuk urusan bisnisnya. Istrinya pun memberi saran agar Pak Ahmad memasrahkan
tanah-tanah itu agar dirawat oleh orang lain. Akhirnya, Pak Ahmad meminta tolong kepada
Pak Badrun, salah satu saudara jauhnya agar mau membantu Pak Ahmad merawat tanah-tanah
itu. Pak Badrun hanya perlu menanam bibit-bibit yang telah dibeli Pak Ahmad dan merawatnya
hingga panen. Jika waktu panen sudah tiba sebagian hasilnya akan diberikan kepada Pak
Badrun.
c. Musaqah
Musaqah diambil dari kata al-saqa, yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur
(mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainya supaya mendatangkan kemaslahatan dan
mendatangkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.
Musaqah adalah betuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan sebagai imbalan, si penggarap berhak
atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Menurut etimologi, musaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah
menyebutnya dengan istilah muamalah, akan tetapi yang lebih dikenal adalah musyaqah,
sedangkan menurut terminologi Islam adalah suatu akad dengan memberikan pohon kepada
penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi di antara keduanya.
Musaqah ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar
dipeliharanya, dan penghasilan yang di dapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut
perjanjian antara keduanya sewaktu akad.
Contoh, Pak Ahmad adalah orang yang sangat kaya raya dan memiliki banyak
tanah/ladang dan Pak Badrun adalah orang yang rajin bekerja tetapi kekurangan lapangan
pekerjaan. Karena Pak Badrun adalah orang yang jujur dan dapat dipercaya maka Pak Ahmad
menyerahkan sebagian kebunnya kepada Pak Badrun dengan ketentuan-ketentuan tertentu
yang disetujui kedua belah pihak. Dan dengan disetujuinya perjanjian tersebut maka Pak
Badrun harus merawat kebun Pak Ahmad sebaik-baiknya sampai waktu panen telah tiba.