Pangkalnya Sekularisme
Sekularisme yang diterapkan di negeri ini tentu berperan besar dalam melahirkan orang-orang
yang murtad dari Islam, juga dalam melahirkan orang-orang yang sering melecehkan Islam dan menolak
syariah Islam.
Sekularisme adalah akidah (keyakinan dasar) yang memisahkan agama dari kehidupan.
Sekularisme menjadi dasar ideologi Kapitalisme. Kapitalisme melahirkan antara lain sistem demokrasi.
Dalam sistem demokrasi dikenal sejumlah kebebasan yang dijamin oleh undang-undang. Di antaranya
kebebasan beragama, kebebasan berpendapat/beropini dan kebebasan berperilaku.
Dalam konteks kebebasan beragama, misalnya, setiap orang memang dibiarkan memeluk agama
dan keyakinan apapun. Mereka juga dibebaskan untuk gonta-ganti agama. Hari ini Islam, besok Hindu,
lusa Budha, dst. Tidak ada masalah dalam sistem demokrasi.
Begitu pun dalam konteks kebebasan berpendapat/beropini dan berperilaku. Setiap orang
dibebaskan untuk berpendapat/beropini dan berperilaku meski itu menistakan Islam, al-Quran, Nabi
Muhammad saw. dan syariah Islam. Juga tidak ada persoalan dalam sistem demokrasi.
Karena itu dalam sistem sekular saat ini wajar jika ada Muslim yang begitu mudah murtad dari
Islam. Banyak pula Muslim yang melakukan tindakan pelecehan terhadap Islam atau terang-terangan
menolak syariah Islam. Padahal tindakan demikian pun bisa membuat pelakunya murtad dari Islam.
Konsekuensi Murtad
Allah SWT berfirman:
ِ ف ي أْتِي اللَّه بَِق وٍم ي ِحُّبهم وي ِحبُّونَه أ َِذلَّ ٍة علَى الْم ْؤ ِمنِين أ
َع َّز ٍة ِِ ِ ِ ِ َّ
َ ُ َ ُ َُ ْ ُ ُ ْ ُ َ َ آمنُ وا َم ْن َي ْرتَ َّد م ْن ُك ْم َع ْن دين ه فَ َس ْو
َ ينَ يَا أ َُّي َه ا الذ
ِ
َ َعلَى الْ َكاف ِر
ين
Wahai orang-orang yang beriman, siapa saja di antara kalian yang murtad (keluar) dari agama kalian,
pasti Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan mereka pun mencintai Dia. Mereka
bersikap lemah-lembut kepada kaum Mukmin dan bersikap keras terhadap kaum kafir (TQS al-Maidah
[5]: 54).
Menurut Imam Ibnu Katsir rahimahulLaah, melalui ayat ini Allah SWT menginformasikan
tentang kekuasaan-Nya yang agung, bahwa siapa saja yang berpaling dari upaya menolong agama-Nya
dan menegakkan syariah-Nya, maka sesungguhnya Allah SWT pasti akan mengadakan penggantinya
dengan orang yang lebih baik. Mereka lebih sungguh-sungguh dalam melindungi (agama-Nya) dan lebih
lurus jalannya. Menurut beliau pula, mengutip Imam al-Hasan al-Bashri, ayat ini turun berkaitan dengan
orang-orang yang murtad (keluar) dari Islam pada masa Khalifah Abu Bakar ra. (Ibnu Katsir, Tafsiir al-
Qur’aan al-‘Azhiim, 3/135).
Terkait ayat di atas, menurut Imam ath-Thabari rahimahulLaah, sesungguhnya kaum yang
murtad tersebut, yakni setelah Nabi Muhammad saw. wafat, mengatakan, “Terkait shalat, maka kami
akan tetap shalat. Adapun terkait zakat, maka demi Allah, kami tidak akan menyerahkan harta-harta
kami.” Mendengar itu, Khalifah Abu Bakar ra. berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memisahkan perkara
yang telah Allah satukan (shalat dan zakat, red.). Demi Allah, andai mereka menolak untuk menyerahkan
kepadaku zakat unta dan kambing yang telah Allah dan Rasul-Nya wajibkan (atas mereka), aku pasti akan
memerangi mereka karena penolakan mereka itu (Ath-Thabari, Jaami’ al-Bayaan fii Ta’wiil al-
Qur’aan, 21/431).
Berdasarkan penjelasan Imam ath-Thabari tersebut, orang-orang yang menolak salah satu syariah
Islam (di antaranya zakat) diperlakukan sama dengan orang-orang yang murtad. Mereka sama-sama
dibunuh/diperangi.
Berkaitan dengan orang yang murtad, Imam Syafii di dalam kitabnya, Al-Umm, menjelaskan
bahwa seseorang yang berpindah dari kesyirikan menuju keimanan, lalu dia berpindah lagi dari keimanan
menuju kesyirikan, maka jika orang itu sudah dewasa baik laki-laki maupun perempuan, dia diminta
bertobat. Jika dia bertobat maka tobatnya itu diterima. Sebaliknya, jika dia enggan bertobat, maka dia
harus dihukum mati (Asy-Syafii, Al-Umm, 6/168).
Pendapat Imam Syafii ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw.:
ٍ س بِغَرْيِ َن ْف ٍ ان و ِزنًا بع َد إِحص
ٍ ٍ ِ ِ ِ
س ٍ ان َو َقْتل َن ْف
ُ َ ْ ْ َ َ َ ُك ْفٌر َب ْع َد إِمْي:الَ حَي ُّل َد ُم ْام ِرئ ُم ْسل ٍم إِالَّ بِِإ ْح َدى ثَالَث
Tidak halal (menumpahkan) darah seorang Muslim kecuali kerena salah satu di antara tiga sebab: kufur
setelah beriman; zina setelah beristri; membunuh seseorang bukan karena orang tersebut melakukan
pembunuhan (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hukuman mati atas orang murtad juga ditegaskan di dalam sabda Nabi Muhammad saw.:
ِ َ م ن بد
َُّل دينَهُ فَا ْقُتلُوه َ َْ
Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam, red.), bunuhlah dia! (HR al-Bukhari dan an-
Nasa’i).
Jelas, hukuman mati atas orang murtad, 100% berdasarkan keputusan Nabi saw. Keputusan
beliau tentu berasal dari wahyu Allah SWT. Karena itu hukuman ini bukan hasil pemikiran manusia.
Apalagi dikaitkan dengan latar belakang politik kaum Muslim. Namun demikian, hukuman mati atas
orang murtad harus dilakukan oleh penguasa kaum Muslim (Imam/Khalifah) dengan beberapa ketentuan
antara lain: Pertama, penetapan hukuman mati atas orang murtad hanya bisa diputuskan oleh pengadilan
syariah. Kedua, harus ada penundaan hukuman jika pelaku murtad ada harapan untuk kembali ke
pangkuan Islam. Imam ats-Tsauri berpendapat, “Ditunda hukumanya jika ada harapan pelaku murtad mau
bertobat.” (Ibnu Taimiyah, Ash-Sharim al-Maslul, hlm. 328). Ketiga, selama penundaan hukuman,
pelaku murtad didakwahi dengan hikmah dan nasihat yang baik, diajak dialog/debat supaya ia mau
bertobat dan kembali ke pangkuan Islam.
Makna ‘Tidak Ada Paksaan dalam Beragama’
Sebagian kalangan ada yang berpendapat bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Karena itu
siapapun bebas memeluk agama apapun. Termasuk untuk berpindah-pindah agama. Mereka lalu berdalil
dengan ayat:
الَ إِ ْكَر َاه يِف الدِّيْ ِن
Tidak ada paksaan dalam beragama (TQS al-Baqarah [2]: 256).
Menurut Imam al-Alusi, ayat di atas bermakna, “Janganlah kalian memaksa (manusia) untuk
masuk Islam.” (Al-Alusi, Ruuh al-Ma’aani, 2/322).
Dengan demikian memang siapapun tidak boleh dipaksa untuk memeluk agama Islam. Namun,
saat mereka sudah menjadi Muslim, mereka haram untuk murtad (keluar) dari Islam. Jika mereka murtad,
sebagaimana penjelasan di atas, mereka wajib dihukum mati, kecuali jika mereka mau segera bertobat
dan kembali ke pangkuan Islam.
Karena itu, sebagaimana kepada orang murtad diberlakukan hukuman mati, demikian pula
kepada penolak syariah. Mereka diperangi. Demikianlah sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah
Abu Bakar ash-Shiddiq terhadap orang-orang murtad dan para penolak zakat.
Kebijakan yang ditempuh Khalifah Abu Bakar ra. dalam menghukum secara tegas orang murtad
dan para penolak zakat sekaligus menjadi bukti bahwa penguasa Muslim wajib menjaga akidah umat.
Jangan sampai banyaknya orang murtad dan para penolak syariah menular ke masyarakat secara luas. Ini
tentu tidak boleh terjadi.
Sayangnya, saat ini kita tidak bisa banyak berharap kepada para penguasa Muslim dalam
membentengi akidah umat. Pasalnya, mereka sendiri adalah penjaga sistem sekular. Mereka tidak akan
peduli jika akidah umat rusak, bahkan lenyap sekalipun.
Alhasil, saatnya umat mencabut sekularisme dan segala turunannya. Lalu tegakkan sistem Islam!
[]
Hikmah: