MELISA SITOMPUL
Hikayat merupakan sebuah teks narasi yang berbeda dengan narasi lain. Adapun
karakteristik hikayat antara lain:
1. terdapat kemustahilan dalam cerita,
2. kesaktian tokoh-tokohnya,
3. anonim,
4. istana sentris,
5. bahasa melayu,
6. kata arkais
7. budaya arab (islam/hindu)
Nilai-Nilai Hikayat
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi
manusia. Dalam karya sastra, nilai berwujud makna di balik apa yang dituliskan melalui
unsur intrinsik seperti perilaku, dialog, peristiwa, latar, dan sebagainya.
Beberapa jenis nilai dalam karya sastra antara lain nilai religi, moral, sosial, budaya, estetika,
dan edukasi.
a. Nilai religi adalah nilai yang dikaitkan dengan ajaran agama.
b. Nilai-nilai moral merupakan nasihat-nasihat yang berkaitan dengan budi pekerti,
perilaku, atau tata susila yang dapat diperoleh pembaca dari cerita yang dibaca atau
dinikmatinya.
c. Nilai sosial adalah nasihat-nasihat yang berkaitan dengan kemasyarakatan.
d. Nilai budaya adalah nilai yang diambil dari budaya yang berkembang secara turun
menurun di masyarakat. e. e. Nilai estetika berkaitan dengan keindahan dan seni.
e. Nilai edukasi adalah nilai yang berkaitan dengan pendidikan.
Sekarang, kita akan menganalisis nilai yang terkandung dalam hikayat di atas.
2. Moral
3. Sosial
4. Budaya
5. Edukasi
Kebahasaan
Modul-6/Teks Hikayat/SUD/X/2021
Teks Hikayat
Page 4
Sebagai sebuah karya sastra, teks hikayat menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan yang
terdapat dalam sebuah karya sastra. Berikut beberapa kebahasaan yang akan dibahas dalam
teks hikayat, yaitu :
1. diksi
2. idiom
3. peribahasa
4. majas
Diksi Idiom Peribahasa Majas
Pilihan kata Berupa Kelompok kata yang Gaya bahasa yang
kata/gabungan kata terikat secara susunan menggunakan makna
yang bermakna atau makna. Makna kiasan/konotasi.
kiasan berupa kiasan kehidupan.
Ia begitu ulet Lelah tak dirasanya Sudah empat kali Rumput pun ikut
dan banyak karena membanting diputarinya pasar ini, tak berbisik perihal
pikiran tulang adalah hal salah orang tua dahulu kecantikan Tuan Putri
dalam soal- biasa. berkata, malu bertanya Nayana.
soal sesat di jalan.
menambah
penghasilan.
No Kebahasaan Cuplikan
.
1. Diksi
2. Idiom
3. Peribahasa
4. Majas
Sekarang, kita akan membandingkan nilai-nilai dan kebahasaan dalam teks hikayat dan
cerpen.
Bacalah cuplikan cerpen berikut ini!
KUPU-KUPU DI PUSARA IBU
Fanny J Poyk
(Kompas, 27 September 2020)
Ketika berkunjung ke makam ibu, ada seekor kupu-kupu bertengger tepat di atas
pusaranya. Warna kupu-kupu itu kuning bercampur ungu dengan garis-garis hitam
kebiruan di setiap pinggirannya. Ukuran kupu-kupu itu hampir setelapak tanganku, ia
terlihat sangat cantik, diam di tempat dan tidak terusik dengan kedatanganku. Melihat
kehadiran kupu-kupu yang menawan itu, tiba-tiba aku teringat akan ucapan ibuku setahun
sebelum ia meninggal. Katanya, “Jika kau menemui kupu-kupu di pusara Ibu, jangan kau
usir. Biarkan dia bertengger di sana sebab itu aku.”
Sesungguhnya ketika aku mendengar ucapan ibu, aku hanya menganggapnya sebagai
perkataan orang tua yang terbang melayang ke mana-mana, kata-katanya seperti khayalan
manusia usia lanjut yang tengah merasakan ketidaknyamanan di tubuh rentanya. Kala itu
ibu sedang menderita rasa sakit karena penyakit diabetes. Ucapan tentang kupu-kupu
dikatakannya hampir setiap Minggu.
“Ingat ya Nak, biarkan kupu-kupu berterbangan di makam Ibu nanti. Itu Ibu, Ibu sedang
menunggu kalian datang menengok Ibu. Jangan kalian usir.” Katanya dengan suara parau.
Beberapa bulan kemudian Ibu tiada. Ia tak sanggup lagi berperang melawan penyakit
diabetes yang sudah merambat ke ginjal hingga jantungnya. Seminggu sekali ibu cuci
darah. Kembali sebelum ia menutup mata, ibu berpesan, “Jika kau rindu, Ibu akan menjadi
kupu-kupu dan menunggu kalian di pusara Ibu.”
Setahun setelah itu, aku dan dua saudaraku telah melupakan pesan ibu. Satu adik dan satu
kakakku telah kembali ke kota tempat mereka tinggal. Adikku yang perempuan bahkan
dibawa suaminya ke Camarillo, California, Amerika Serikat. Suaminya memang asli dari
sana. Sedang kakak perempuanku tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah bersama suami
dan dua anak mereka. Tinggal aku si tengah yang kebetulan satu-satunya anak laki-laki ibu
dan ayahku yang menempati rumah peninggalan mereka.
Di usiaku yang ke 30 tahun, aku memilih untuk tidak menikah. Pekerjaanku di sebuah jasa
tabungan uang virtual yang mengharuskan aku menatap komputer sejak pukul sembilan
pagi hingga dua belas malam, membuat aku kehilangan ruang untuk bersosialisasi.
Andai ibuku tidak datang di mimpiku dengan pesannya yang masih sama tentang kupu-
kupu yang bertengger di batu nisannya, mungkin aku tetap bergelut dengan pekerjaan yang
kata temanku benar; memperkaya sang kapitalis bersama tujuh turunannya.
Mimpi tentang ibu dan kupu-kupu semalam, aku bagai melihat kemarahan ibu ketika aku
tidak membuat PR yang diberikan guruku saat SD. “Datanglah, Nak. Masak sejak Ibu
dikubur, kau tidak pernah melihat Ibu. Kau, adikmu dan kakakmu bagai melempar batu ke
dalam tanah, lalu menguruknya dan melupakan kisah tentang Ibu. Kau tengok juga makam
Ayahmu. Kau jangan seperti manusia tak berbudaya yang banyak terdapat di era milenial
ini, menganggap setelah kami tiada, tamat sudah cerita tentang kami. Jika kau melihat
kupu-kupu di batu nisanku, itu Ibu. Aku selalu menunggumu di sana dengan warna sayap
yang berubah-ubah.”
Dan aku terbangun dari tidurku. Peluh membasahi sekujur tubuhku. Ibu yang datang dalam
mimpiku, bagai menyengat dan mengingatkan seluruh kenangan tentangnya. Setelah
sepuluh tahun ayah meninggal, ibu tetap sendiri, ia tidak mau menikah lagi. Ayah yang
pergi meninggalkan tiga anak, tanpa pensiun juga tabungan itu, menyerahkan
tanggungjawabnya pada perempuan yang kala itu memasuki usia empat puluh tahun,
ibuku.
Kisah perjuangan ibu untuk menyekolahkan dan memberikan makan kami, barangkali
sama heroiknya dengan kisah para ibu yang ditinggalkan suami tanpa bekal apapun. Ibu
selalu bilang kalau ia beruntung ditinggalkan sebuah rumah sederhana seluas 100 meter
persegi yang lokasinya di tengah keramaian kota.
“Dari berdagang kue-kue dan makanan inilah, akhirnya kalian bisa tamat kuliah dan
memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan kalian.” Katanya selalu dengan
gurat wajah lelah.
Kala itu, diabetes keparat mulai meminang dan menggerogoti tubuh ibu, lalu perempuan
yang mulai memasuki usia setengah abad itu, menyimpan rasa sakitnya sendirian. Dia tidak
mau kami bersedih dan panik apabila melihat dia berjalan sempoyongan dan lelah karena
gula darahnya sedang tinggi atau turun.
“Ibu lelah, Ibu istirahat sejenak, jika ada pembeli, tolong kau layani dulu. Nak, kau tahu
kan harga-harganya, semua catatan harga ada di bawah etalase tempat kue-kue itu
diletakkan.” Katanya.
Dunia bermain dan ego seorang anak yang membuncah penuh rasa kesal tatkala ibu
meminta bantuan kami untuk mencuci perabotan usai ia membuat kue-kue dagangannya,
membuat ibu tidak mau lagi memaksakan kehendaknya dengan menyuruh kami untuk
sekadar melayani pembeli. Semua dikerjakannya sendiri tanpa keluh juga kernyit di dahi.
Aku sempat marah ketika seorang rentenir berdalih bank keliling datang menagih utang
pada ibu. Suara si rentenir yang menggelegar di siang hari yang panas itu, membuatku
geram, bukan pada si rentenir, akan tetapi pada ibuku yang duduk diam tak berdaya tatkala
si rentenir memakinya sebagai manula tukang berutang yang tidak tahu diri. Ibu hanya
diam dengan air mata berlinang di pipi yang dengan cepat dihapusnya. Ia juga tak bersuara
tatkala aku ikut memarahinya sembari berkata, “Kan Ibu sudah
jualan, ngapain juga ngutang di bank keliling!”
Isak ibuku kudengar di malam hari ketika rasa linu di persendian kakinya menjalar hingga
ke pinggang. Aku tetap diam, menganggapnya itu hanya penyakit tua biasa. Tatkala ia
memberikan amplop putih untuk membayar uang semesteran kuliahku, lama baru kutahu
kalau uang itu dipinjam ibu dari rentenir bank keliling. Ia membayar cicilannya dengan
susah payah dan air mata yang selalu dihapusnya diam-diam ketika makian si rentenir
memborbardir perasaannya. Aku baru tahu ketika ibu tiada dan sang rentenir menuturkan
semua kisah tentangnya.
“Ibumu orang yang baik. Dia mempertaruhkan harga dirinya untuk membayar semua
utangnya padaku. Uang itu bukan ia gunakan untuk kesenangan pribadinya, tapi untuk
membayar uang semesteran kuliahmu.” Kata si rentenir bank keliling di pemakaman ibu
kala ia meninggalkan dunia yang fana ini.
Aku menangis dan menyesali semua yang pernah kulakukan padanya. Tapi terlambat, ibu
sudah tiada.
Hari ini, kulihat kupu-kupu itu telah berubah warna. Ada warna merah jambu berbalut biru
muda dengan garis keemasan di tepi tiap sayapnya. Aku tersentak, itu warna kesukaan
ibuku. Betapa aku ini anak yang tak tahu diri, bahkan warna kesayangan ibuku pun aku tak
tahu jika si kupu-kupu tidak memperlihatkannya.
Ketika aku duduk di sisi makam sembari mencabut rumput-rumput liar yang mulai tumbuh
di sana, kupu-kupu itu hinggap di bahuku. Cukup lama dia berada di sana. Sebelum aku
meninggalkan makam ibu, kupu-kupu itu terbang mengelilingiku tiga kali. Saat aku
beranjak, kukatakan padanya, “Ibu, aku akan sering-sering menengokmu, berbahagialah
kau di tempatmu yang baru.”
Bandingkanlah dengan teks hikayat “Bunga Kemuning” pada buku pelajaran kalian.
Untuk menuliskan kembali teks hikayat menjadi cerita pendek, kamu harus mampu
menginterpretasi makna yang terkandung dalam pernyataan yang memuat kata arkais/bahasa
melayu.
Silakan ubah teks hikayat dalam buku pelajaran kamu menjadi teks cerpen yang utuh.
Selamat mencoba!