Anda di halaman 1dari 8

KOMIK (Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komputer) ISSN 2597-4645 (media online)

Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018 ISSN 2597-4610 (media cetak)

KAJIAN LITERATUR MODEL KONSEPTUAL KEBERHASILAN


E-GOVERNMENT
Bernadus Gunawan Sudarsono, Sri Poedji Lestari

Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Bung Karno


Email: 1gunawanbernadus@gmail.com, 2beningkes@gmail.com
Abstrak
Pemanfaatan teknologi internet di lingkungan pemerintahan dikenal dengan sebutan electronic government atau e-
government. Secara sederhana, e-government atau pemerintahan digital adalah kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah dengan menggunakan dukungan teknologi informasi dalam memberikan layanan kepada masyakarat.
Sejalan dengan semangat reformasi birokrasi di Indonesia, e-government berperan dalam meningkatkan kualitas
pelayanan publik serta membantu proses penyampaian informasi secara lebih efektif kepada masyarakat. Seiring
dengan berjalannya waktu, penerapan e-Government ternyata memberikan hasil yang beragam. Di negara maju,
penerapan sistem e-Government di lingkup pemerintahan telah menghasilan berbagai keuntungan mulai dari
efisiensi proses administrasi dan berbagai inovasi di bidang layanan publik. Namun sebaliknya pada kasus negara
berkembang termasuk Indonesia, hasilnya lebih memprihatinkan dimana banyak lembaga pemerintah mengalami
hambatan bahkan gagal mencapai peningkatan kualitas pelayanan publik yang signifikan meskipun telah memiliki
teknologi informasi dan komunikasi yang memadai. Paradigma para birokrat yang salah menganggap bahwa
keberhasilan e-Government terutama ditentukan oleh teknologi. Padahal banyak faktor diluar teknologi yang
ternyata lebih dominan sebagai penyebab kegagalan seperti manajemen organisasi, etika dan budaya kerja.
Penelitian ini bertujuan mengembangkan model keberhasilan dalam penerapan e-Government dari beberapa model
best practice di bidang teknologi informasi yang selama ini telah digunakan secara luas dengan menggunakan studi
literatur sebagai metode penelitian. Hasil penelitian menunjukkan model konseptual keberhasilan penerapan e-
Government yang dikembangkan terdiri dari 17 faktor-faktor penentu keberhasilan.
Kata kunci: Model, Faktor, Keberhasilan, Sistem, e-Government
Abstract
The use of internet technology in the government environment is known as electronic government or e-government.
In simple terms, e-government or digital government is an activity carried out by the government by using
information technology support in providing services to the community. In line with the spirit of bureaucratic
reform in Indonesia, e-government has a role in improving the quality of public services and helping the process
of delivering information more effectively to the public. Over time, the application of e-Government has turned out
to have mixed results. In developed countries, the application of e-Government systems in the scope of government
has produced various benefits ranging from the efficiency of administrative processes and various innovations in
the field of public services. But on the contrary in the case of developing countries including Indonesia, the results
are more alarming where many government institutions face obstacles and even fail to achieve significant
improvements in the quality of public services despite having adequate information and communication
technology. The paradigm of bureaucrats who wrongly considers that the success of e-Government is mainly
determined by technology. Even though there are many factors outside of technology that are more dominant as
causes of failure such as organizational management, ethics and work culture. This study aims to develop a model
of success in the application of e-Government from several best practice models in the field of information
technology that have been widely used so far using literature studies as research methods. The results of the study
show that the conceptual model of the success of the implementation of e-Government developed consists of 17
determinants of success..
Keywords: Model, Factor, Success, System, e-Government

1. PENDAHULUAN
Pemanfaatan teknologi internet di lingkungan pemerintahan dikenal dengan istilah electronic government (e-
government). Secara sederhana, e-government adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan
menggunakan dukungan teknologi informasi dalam memberikan layanan kepada masyakarat [1]. Sejalan dengan
semangat reformasi birokrasi di Indonesia, e-government berperan dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik
serta membantu proses penyampaian informasi secara lebih efektif kepada masyarakat. Seiring dengan berjalannya
waktu, penerapan e-Government ternyata memberikan hasil yang beragam. Di negara maju, penerapan sistem e-
Government di lingkup pemerintahan telah menghasilan berbagai terobosan mulai dari efisiensi proses
administrasi birokrasi dan munculnya inovasi di bidang layanan publik [2]. Namun sebaliknya pada kasus negara
Page | 491
http://ejurnal.stmik-budidarma.ac.id/index.php/komik
KOMIK (Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komputer) ISSN 2597-4645 (media online)
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018 ISSN 2597-4610 (media cetak)

berkembang termasuk Indonesia, hasilnya cukup memprihatinkan dimana banyak lembaga pemerintah mengalami
hambatan bahkan gagal mencapai peningkatan kualitas pelayanan publik yang signifikan meskipun telah memiliki
teknologi informasi dan komunikasi yang memadai [2].
Jika diteliti lebih jauh, kecepatan adopsi e-Government bervariasi antara negara dan negara lain dimana negara
berkembang termasuk Indonesia tertinggal jauh bila dibandingkan dengan negara maju. Berdasarkan kesiapan e-
Government 2014, Indonesia berada di peringkat 110 jauh di bawah Vietnam, Filipina, Thailand apalagi Malaysia
dan Singapura [3]. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tertinggal dari adopsi e-Government dimana utilisasi
yang rendah dan tingkat kegagalan yang tinggi disebabkan oleh kurangnya infrastruktur TIK, rendahnya kualitas
sumber daya manusia, berbagai faktor budaya yang umumnya terjadi di negara-negara berkembang [4]. Masalah
yang bermuara khususnya pada kualitas sumber daya manusia telah lama menjadi batu sandungan bagi
peningkatan efisiensi dan mutu pelayanan lembaga pemerintahan di banyak negara terutama negara berkembang.
Solusi dan pemecahan masalah sumber daya manusia itu tidaklah mudah dan cenderung bersifat jangka panjang.
Ditambah lagi, paradigma para birokrat yang selama ini menganggap bahwa keberhasilan e-Government adalah
ditentukan oleh faktor teknologi. Padahal banyak faktor diluar teknologi yang ternyata lebih dominan
dibandingkan faktor teknologi yang menjadi penyebab kegagalan penerapan e-Government seperti manajemen
organisasi, etika dan budaya kerja [5][6]. Kumorotomo (2009) juga menguatkan bahwa penyebab kegagalan
implementasi e-Government di Indonesia ternyata sumber masalahnya tidak selalu terkait dengan ketersediaan
Teknologi. Permasalahan yang dihadapi cukup kompleks dalam domain pengembangan e-Government di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah saling kait-mengait antara masalah ketersediaan infrasruktur, kepemimpinan dan
budaya [7]. Faktor kepemimpinan juga merupakan faktor yang sangat penting karena tanpa adanya komitmen
pimpinan (e-leadership) maka program e-Government tidak akan berjalan atau tidak punya arah dan tujuan yang
jelas [2][8][9].
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model keberhasilan penerapan e-Government di Indonesia.
Model konseptual merupakan hasil integrasi dari beberapa model best practice di bidang sistem dan teknologi
informasi yang telah digunakan secara luas. Model dikembangkan berdasarkan gambaran keberhasilan e-
Government khususnya faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap keberhasilan penerapan e-Government.
Faktor-faktor tersebut merupakan key area yang harus diprioritaskan oleh lembaga pemerintah untuk dapat
meningkatkan keberhasilan dalam proses pengembangan e-Government.

2. TEORITIS
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka (literature review) terhadap beberapa
penelitian sebelumnya khususnya terkait dengan studi faktor keberhasilan implementasi e-Government dan sistem
informasi secara umum. Penelitian ini melakukan kajian terhadap penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan
dimana hingga saat ini ternyata sudah banyak peneliti yang memformulasikan dan melakukan studi faktor
keberhasilan terkait implementasi sistem e-Government. Penelitian tersebut telah berhasil memformulasikan
berbagai faktor keberhasilan yang diidentifikasi berbeda satu sama lain namun belum memberikan gambaran yang
utuh. Sebagai contoh, Gil-Garcia dan Pardo (2005) telah merumuskan 23 faktor keberhasilan yang terkait dengan
inisiatif e-Government [10]. Sementara Fortune dan White (2006) telah memformulasikan 27 faktor keberhasilan
[11]. Yoon dan Chae (2009) juga telah memformulasikan 15 faktor keberhasilan terkait implementasi sistem e-
Government [12]. Ketiga penelitian faktor keberhasilan ini dilakukan di waktu yang berbeda yakni Gil-Garcia &
Pardo (2005), Fortune & White (2006) dan Yoon & Chae (2009).
Beberapa studi faktor kebehasilan juga telah dilakukan peneliti lainnya di tingkat nasional seperti studi oleh
Furuhold & Wahid mengidentifikasi enam faktor penentu keberhasilan pelaksanaan e-Governmen di kabupaten
Sragen yaitu kepemimpinan yang kuat, keterlibatan semua pihak, persiapan sumber daya manusia, melaksanakan
-tahap secara bertahap, membangun kemitraan dan evaluasi rutin [13]. Sejalan dengan hal ini, penelitian serupa
dilakukan pada lima bidang yang diperoleh paling tidak 4 faktor dominan yang mendukung keberhasilan yaitu
kemauan politik kepala daerah, pengembangan rencana induk e-Government, manajemen perubahan dan
partisipasi masyarakat [14]. Keseluruhan faktor keberhasilan tersebut tersebar di berbagai jurnal dan konferensi
dan tidak memberikan gambaran yang lengkap karena konteks dan objek penelitian yang berbeda. Dalam
implementasi e-Government, ada berbagai CSF yang mempengaruhi kekeberhasilanan e-Government.
Berdasarkan Heeks (2003), beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan dalam implementasi e-Government,
terutama di negara-negara berkembang yang kurangnya driver internal, kurangnya visi dan strategi, manajemen
proyek yang buruk, manajemen perubahan yang buruk, dominasi politik dan kepentingan pribadi, desain yang
tidak realistis, tidak memiliki kompetensi yang diperlukan, infrastruktur yang tidak memadai dan inkompatibilitas
teknologi [15].
Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di atas dapat dilihat bahwa sudah banyak penelitian terkait
studi faktor keberhasilan yang ada namun keseluruhan studi tersebut tersebar di berbagai artikel jurnal maupun
conference. Dengan kata lain, belum ada kajian faktor keberhasilan yang dilakukan untuk memberikan gambaran
yang utuh tentang model keberhasilan penerapan e-Government. Pada penelitian ini akan dilakukan kajian literatur

Page | 492
http://ejurnal.stmik-budidarma.ac.id/index.php/komik
KOMIK (Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komputer) ISSN 2597-4645 (media online)
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018 ISSN 2597-4610 (media cetak)

dengan megintegrasikan beberapa penelitian sebelumnya serta model keberhasilan yang sudah digunakan secara
luas (best practice) hingga menjadi model yang bersifat generik.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Seperti disebutkan sebelumnya, penerapan sistem e-Government khususnya di negara berkembang dapat
dikatakan masih rendah. Berdasarkan survey yang dilakukan Heeks (2008) dilaporkan bahwa 35% proyek e-
Government di negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah kegagalan total, 50% merupakan kegagalan
parsial sementara sisanya hanya 15% berhasil. Jika diteliti lebih jauh, rendahnya tingkat keberhasilan penerapan
e-Government dipengaruhi permasalahan adopsi e-Government yang rendah pula. Sementara itu, permasalahan
terkait adopsi e-Government yang rendah disebabkan rendahnya penerimaan pengguna terhadap e-Government.
Berdasarkan Delon & McLean (2003), tingkat pemanfaatan suatu teknologi ditentukan oleh tingkat penerimaan
penggunanya, artinya jika tingkat penerimaan pengguna tinggi maka tingkat pemanfaatannya juga akan tinggi dan
dapat dikatakan sistem atau teknologi tersebut berhasil. Dengan kata lain, penerimaan pengguna (user acceptance)
dapat memprediksi tingkat pemanfaatan dan keberhasilan teknologi tersebut. Oleh karena itu, faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap keberhasilan suatu teknologi termasuk e-Government dalam penelitian ini terkait dengan
faktor-faktor penerimaan pengguna terhadap sistem e-Government itu sendiri. Pada bagian ini, akan dieksplorasi
beberapa literatur yang relevan dengan teori penerimaan pengguna sistem informasi. Dengan kata lain, literatur
yang dikaji adalah penelitian-penelitian sebelumnya yang merupakan bagian dari ilmu perilaku (behavioural
science). Menurut Irani (2005), ilmu perilaku fokus mengembangkan dan menguji teori atau memprediksi perilaku
organisasi dan manusia [16]. Hakim (2009) menyatakan bahwa sangat penting untuk mengetahui secara mendalam
tentang respon pengguna terhadap Sistem Informasi yang ada [17]. Teori perilaku dapat digunakan untuk
mengevaluasi suatu teknologi yang diimplementasikan berdasaran respon penggunannya. Beberapa teori perilaku
yang paling banyak dikutip khusunya dalam bidang Teknologi seperti TRI (Technology Readiness Index), TAM
(Technology Acceptance Model), UTAUT (The Unified Theory of Acceptance dan Use of Technology) dan teori
keberhasilan SI/TI Delon & McLean.
Model TRI berangkat dari definisi Parasuraman (2000) tentang Technology Readiness, sebagai
"kecenderungan orang untuk merangkul dan menggunakan teknologi baru untuk mencapai tujuan dalam kehidupan
rumah dan di tempat kerja adalah konsep yang menjanjikan yang benar-benar membantu baik akademisi dan
manajer memahami proses perilaku khas di balik adopsi produk berbasis teknologi dan layanan” [18]. Menurut
Parasuraman (2000), kesiapan individu adalah faktor signifikan yang mempengaruhi adopsi pengguna terhadap
teknologi baru [18]. TRI mengukur kesiapan individu untuk menggunakan teknologi baru, secara umum,
menggunakan empat ciri kepribadian: optimisme, inovasi, ketidaknyamanan, dan ketidakamanan seperti dijelaskan
di bawah ini:
1. Optimism (Optimisme): pandangan positif teknologi. Keyakinan dalam peningkatan kontrol, fleksibilitas, an
efisiensi dalam hidup karena teknologi.
2. Innovation (Inovasi): kecenderungan untuk menjadi yang pertama menggunakan teknologi baru.
3. Discomfort (Ketidaknyamanan): memiliki kebutuhan untuk kontrol dan rasa kewalahan.
4. Insecurity (Ketidakamanan): teknologi tidak percaya untuk alasan keamanan dan privasi.

Gambar 1. Technology Readiness Index [18]

Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa kekuatan relatif masing-masing sifat menunjukkan keterbukaan
seseorang terhadap teknologi. Oleh karena itu, TRI mencerminkan serangkaian keyakinan tentang teknologi tetapi
bukan merupakan indikator kompetensi seseorang dalam menggunakannya.
Teori perilaku lainnya yang paling banyak dikutip adalah TAM (Technology Acceptance Model). Teori TAM
(Technology Acceptance Model) telah digunakan secara luas di bidang Sistem Informasi atau Teknologi Informasi
(SI/TI) untuk memperoleh perspektif yang lebih komprehensif dan penjelasan yang lebih baik dari proses
Page | 493
http://ejurnal.stmik-budidarma.ac.id/index.php/komik
KOMIK (Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komputer) ISSN 2597-4645 (media online)
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018 ISSN 2597-4610 (media cetak)

penerimaan teknologi pada individu. Konsep TAM menawarkan penjelasan yang sederhana namun kuat terkait
dengan penerimaan teknologi dan perilaku penggunaan. Faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi adalah
persepsi kegunaan dan persepsi kemudahan penggunaan. Berdasarkan Davies (1989), tingkat pemanfaatan TI oleh
pengguna akan sangat ditentukan oleh tingkat penerimaan pengguna, sedangkan penerimaan pengguna dapat
diprediksi dari "persepsi kegunaan/manfaat" atau "bagaimana teknologi digunakan untuk meningkatkan
produktivitas" dan persepsi kemudahan menggunakan, atau "seberapa mudah teknologi ini dapat digunakan [19].
Kedua faktor utama tersebut dapat menjelaskan aspek perilaku pengguna dan menemukan secara signifikan
pengaruh penerimaan pengguna terhadap teknologi.

Gambar 2. Technology Acceptance Model [19]

Berdasarkan gambar 2 di atas, dapat dilihat bahwa ada lima variable dalam TAM orisinal yaitu persepsi
manfaat, persepsi kemudahan penggunaan, sikap terhadap penggunaan, niat perilaku untuk menggunakan dan
penggunaan sistem yang sebenarnya. TAM dapat digunakan untuk mengukur tingkat adopsi teknologi berdasarkan
perspsi pengguna. Jika diamati lebih lanjut, konsep TAM juga memiliki kelemahan meskipun TAM adalah model
yang sederhana namun kuat. Kelemahan model TAM adalah tidak memperhitungkan variabel eksternal diluar
sistem yang ada, seperti pengaruh sosial, fasilitas pendukung yang bisa mendorong perilaku pengguna dalam
menggunakan teknologi. Dengan kata lain, TAM terbatas dalam kemampuannya untuk mempertimbangkan
pengaruh faktor eksternal untuk penerimaan teknologi. Selain itu, TAM hanya digunakan untuk mengukur perilaku
pengguna dalam kondisi sukarela (volunter). Dalam konteks penggunaan Sistem Informasi/Teknologi Informasi
secara sukarela, ukuran keberhasilan biasanya didasarkan pada penerimaan pengguna. Pengguna akhir memiliki
kebebasan penuh apakah pengguna akan menggunakan atau meninggalkan teknologi. Tetapi pada penggunaan
teknologi yang bersifat wajib (mandatory), indikator keberhasilan adalah kepuasan pengguna [20].
Model UTAUT diperkenalkan oleh Venkatesh (2003) yang mengintegrasikan delapan model teoritis perilaku
yaitu Theory of Reasoned Action (TRA), Technology Adoption Model (TAM), Motivational Model (MM), Theory
of Planned Behaviour (TPB), Combined TAM and TPB (C-TAM-TPB), Model of PC Utilization, Diffusion of
Innovation Theory (DOI), and the Social Cognitive Theory yang dapat ditunjukkan pada Gambar 3 di bawah ini
[21]:

Gambar 3. Model UTAUT [21]

Variabel eksternal yang diusulkan oleh model UTAUT terdiri dari performance expectancy, effort
expectancy, social influence and facilitating conditions. Perceived usefulness (TAM) atau performance expectancy
(UTAUT), didefinisikan sebagai tingkat di mana seseorang percaya bahwa menggunakan sistem tertentu akan
meningkatkan kinerja atau produktivitas kerja. Pengguna mungkin merasa bahwa menggunakan e-Government
dapat membantu mereka dalam menyelesaikan pekerjaan mereka dengan cepat dan meningkatkan kinerja serta
Page | 494
http://ejurnal.stmik-budidarma.ac.id/index.php/komik
KOMIK (Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komputer) ISSN 2597-4645 (media online)
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018 ISSN 2597-4610 (media cetak)

produktivitas kerja mereka. Perceived ease of use (TAM) atau effort expectancy (UTAUT) berhubungan dengan
sejauh mana pengguna percaya bahwa sistem e-Government mudah digunakan atau sejauh mana seseorang percaya
bahwa menggunakan sistem tertentu akan bebas dari upaya. Faktor pengaruh sosial (social influence) dalam model
UTAUT didefinisikan sebagai persepsi orang apakah sebagian besar orang penting bagi mereka akan berpikir
mereka harus melakukan perilaku tersebut. Pengaruh sosial menunjukkan pengaruh signifikan pada niat individu
yang menggunakan teknologi dalam studi sebelumnya.
Kondisi fasilitas (facilitating conditions) dalam model UTAUT didefinisikan sebagai faktor obyektif di
lingkungan yang para pengamat setuju membuat suatu tindakan mudah dilakukan, termasuk penyediaan dukungan
komputer. Ismail (2015) dan Mohamadali & Garibaldi (2010) menunjukkan bahwa kondisi fasilitas secara
memadai meningkatkan penerimaan pengguna melalui manfaat yang dirasakan dan kemudahan penggunaan.
Kondisi fasilitas ini menyediakan panduan pengguna dengan instruksi yang jelas tentang cara menggunakan
aplikasi, unit khusus, atau personel untuk mengelola sistem dan sumber daya pendukung yang memadai (komputer,
laptop, dan jaringan) [22][23].

Gambar 4. Delon & Mclean Success Model [24]

Model Delone & McLean (2003) pada Gambar 4 di atas adalah salah satu model atau kerangka kerja yang
paling banyak digunakan dalam penelitian dengan tema pengukuran keberhasilan implementasi teknologi
informasi (TI) [24]. Model tersebut tidak mengukur keberhasilan implementasi TI dari sudut pandang ekonomis,
namun keberhasilan TI diukur dengan ukuran tidak langsung yaitu dalam bentuk perilaku pengguna. DeLone &
McLean (2003) berpendapat bahwa keberhasilan implementasi TI dapat dinilai atau diprediksi dari penerimaan
pengguna dan kepuasan pengguna untuk TI, di mana penerimaan dan kepuasan pengguna dipengaruhi oleh faktor
eksternal. Model Delon & McLean menggunakan kepuasan pengguna sebagai indikator keberhasilan adopsi TI di
mana sistem TI bersifat wajib (mandatory). Artinya pengguna tidak memiliki pilihan untuk menggunakan
teknologi lain. Oleh karena itu, model ini tidak cocok dterapkan untuk lingkungan voluntary system. Variabel
independen pada model Delon & McLean terdiri dari kualitas informasi (information quality), kualitas sistem
(system quality) dan kualitas layanan (service quality). Kualitas informasi dalam model Delon & McLean Success
(2003) didefinisikan sebagai tingkat keunggulan informasi yang dihasilkan oleh perangkat lunak atau sistem, yang
berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan ketepatan waktu, akurasi, relevansi, dan format informasi yang
dihasilkan oleh sistem. Nguyen (2014) mendefinisikan kualitas informasi sebagai menunjukkan akurasi,
kelengkapan, akses tepat waktu, ketersediaan, meningkatkan keterbacaan, dan kemampuan untuk menangani
banyak data atau informasi atribut. Kualitas sistem dalam model Delon & McLean Success (2003) didefinisikan
sebagai tingkat keunggulan perangkat lunak atau sistem dan berfokus pada konsistensi antarmuka pengguna,
kemudahan penggunaan, tingkat respons sistem, dokumentasi dan kualitas sistem, kemudahan mempertahankan
kode pemrograman, dan apakah sistemnya bebas dari bug. Menurut Mohamadali dan Garibaldi (2010), kualitas
sistem dapat diukur berdasarkan kinerja sistem secara keseluruhan. Sebagai contoh, jika ada banyak bug dalam
sistem, pengguna akan cenderung untuk tidak menggunakan sistem, dan sistem tidak dapat melakukan tugas sesuai
dengan kebutuhan penggunanya [23]. Kualitas layanan dalam model keberhasilan Delon & McLean (2003) adalah
kualitas sistem yang dihasilkan apakah pengguna mau atau tidak dan sejauh mana sistem dapat membantu
pengguna dalam menghasilkan pekerjaan. Kualitas layanan yang ditambahkan ke dalam model Delone & McLean
didasarkan pada pertimbangan bahwa perkembangan terbaru pada SI/TI telah menunjukkan bahwa sistem tidak
lagi hanya sebuah produk tetapi juga penyedia layanan.
Disamping beberapa teori perilaku (best practice) yang disebutkan di atas, penulis menemukan ada beberapa
faktor-faktor eksternal (diluar sistem) yang juga berpengaruh terhadap penerimaan pengguna terhadap teknologi.
Faktor kepercayaan (Trust) merupakan salah satu faktor yang mendorong adopsi e-Government. Menurut
Warkentin, kepercayaan (Trust) adalah prediktor penting dari penggunaan sistem e-Government [25]. Berdasarkan
Abu-Shanab, Berdykhanova dan Faisal & Rahman bahwa Kepercayaan adalah masalah dalam e-Government dan
ditemukan menjadi faktor penting bagi para peneliti [26][27][28]. Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap
penerimaan pengguna adalah faktor kemampuan penggunaan sistem (Self-efficacy). Menurut Bandura (1997),
self-efficacy merupakan persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu.
Page | 495
http://ejurnal.stmik-budidarma.ac.id/index.php/komik
KOMIK (Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komputer) ISSN 2597-4645 (media online)
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018 ISSN 2597-4610 (media cetak)

Self-efficacy berhubungan dengan keyakinan diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan
[29]. Self-efficacy berbeda dengan cita-cita atau aspirasi, karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang
seharusnya dapat dicapai, sedangkan self-efficacy menggambarkan penilaian kemampuan diri. Self-efficacy
adalah konstruk yang diusulkan Bandura (1997) berdasarkan teori sosial kognitif. Dalam teorinya, Bandura
menyatakan bahwa tindakan manusia merupakan suatu hubungan timbal balik antara individu, lingkungan dan
perilaku. Self-efficacy juga menentukan bagaimana usaha yang dilakukan orang dalam melaksanakan tugasnya
dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas tersebut. Lebih jauh lagi disebutkan bahwa
orang dengan self-efficacy yang tinggi maka akan mampu menggunakan usaha terbaiknya untuk mengatasi
hambatan, sedangkan orang dengan self-efficacy yang rendah atau lemah cenderung untuk tidak mengoptimalkan
usahanya dari hambatan yang ada [29]. Dalam konteks e-Government, self-efficacy berkaitan erat dengan
kemampuan pengguna dalam menjalankan sistem e-Governmen. Kemampuan pengguna ini juga memiliki
hubungan postiif denga minat pengguna untuk menggunakan e-Government. Artinya jika kemampuan pengguna
(self-efficacy) tinggi maka tinggi pula minat pengguna terhadap e-Government.
Selain self-efficacy atau system self efficacy, faktor lainnya juga yang berdampak pada penerimaan pengguna
dalam konteks e-Government adalah faktor kekhawatiran terhadap penggunaan sistem (system anxiety). Pengguna
memiliki level system anxiety yang berbeda-beda tergantung pada faktor seperti pengalaman komputer dan
internet, tingkat pendidikan, usia, dll [30][31] (Lee, 2009; Venkatesh, 2003). System anxiety berpengaruh terhadap
adopsi dan minat warga menggunakan sistem e-Government. System anxiety didefinisikan sebagai perasaan
afektif yang berkaitan dengan penggunaan sistem komputer. Menurutnya, ada hubungan negatif antara system
anxiety dengan penggunaan sistem. Faktor lainnya seperti faktor motivasi hedonis (hedonic motivation) pada
dasarnya adalah perasaan menyenangkan dari penggunaan sebuah teknologi. Dalam konteks e-Government,
pengguna mengganggap sistem e-Government sangat menyenangkan untuk digunakan. Pengguna menikmati
penggunaan e-Government [32]. Menurut beberapa penelitian, motivasi hedonic memegang peranan penting
dalam menentukan tingkat adopsi e-Government. Dengan kata lain faktor motivasi hedonic berpengaruh signifikan
secara langsung terhadap penerimaan e-Government dan penggunaannya [33]. Faktor yang berikutnya juga
mempunyai dampak pada penerimaan pengguna terhadap e-Government yaitu faktor kebiasaan (habit). Habit
dapat didefinisikan sebagai sejauh mana orang cenderung melakukan perilaku secara otomatis karena kebiasaan
[34]. Kebiasaan telah dioperasionalkan dalam dua cara berbeda: pertama, kebiasaan dipandang sebagai perilaku
sebelumnya dan kedua, kebiasaan diukur sebagai sejauh mana seseorang percaya bahwa perilaku itu bersifat
otomatis. Berdasarkan kajian literatur yang dilakukan terhadap berbagai model best practice yang ada maka dapat
diintegrasikan menjadi model konseptual keberhasilan penerapan e-Government seperti pada Gambar 5 sebagai
berikut:

Gambar 5. Model Konseptual Keberhasilan Penerapan e-Government

Page | 496
http://ejurnal.stmik-budidarma.ac.id/index.php/komik
KOMIK (Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komputer) ISSN 2597-4645 (media online)
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018 ISSN 2597-4610 (media cetak)

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dihasilkan model konseptual keberhasilan penerapan
e-Government yang merupakan hasil integrasi dari beberapa model best practice yang telah digunakan secara luas
yaitu model TRI, TAM, Delon & McLean dan model UTAUT. Total keseluruhan ada 17 faktor keberhasilan yang
terdiri dari 16 faktor (variabel) bebas dan 1 faktor (variabel) terikat yaitu keberhasilan e-Government. Penelitian
lebih lanjut adalah melakukan validasi model konseptual keberhasilan e-Government untuk mendukung
pemanfaatannya di lapangan.

5. REFERENSI
[1] HASIBUAN, Z.A. & SANTOSO, H. B. Standardisasi aplikasi e- government untuk instansi pemerintah.
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia. ITB. 2005.
[2] CAHYADI, E. E-Government: Suatu Tinjauan Konsep dan Permasalaah. Journal The Winners, 4(1), 1-12.
2003.
[3] UNITED-NATIONS. UN E-Government survey 2014: e-Government for the future we want. Sumber:
https://publicadministration.un.org. 2014.
[4] MUNYOKA, W. & MANZIRA, F.M. Alignment of E-Government Policy Formulation with Practical
Implementation: The Case of Sub-Saharan Africa. International Journal of Social, Behavioral,
Educational, Economic, Business and Industrial Engineering, 7(12), 3034-3039. 2013.
[5] NAPITUPULU, D. Kajian Faktor Sukses Implementasi E-Government Studi Kasus: Pemerintah Kota
Bogor. Jurnal Sistem Informasi, 5(3), 229-236. 2015.
[6] SILALAHI, M., NAPITUPULU, D. & PATRIA, G. Kajian Konsep dan Kondisi E-Government di
Indonesia. Jurnal Penerapan Ilmu-Ilmu Komputer, 1, 10-16. 2015
[7] KUMOROTOMO, W. Kegagalan penerapan e-Government dan kegiatan tidak produktif dengan internet.
Sumber: http://Kumoro.Staff.Ugm.Ac.Id/Wp-Content/Uploads/2009/01/Kegagalan-Penerapan-Egov.Pdf.
2009.
[8] INDRAJIT, R. E. Electronic government: strategi pembangunan dan pengembangan sistem pelayanan
publik berbasis teknologi digital. Yogyakarta: Penerbit ANDI. 2002.
[9] NAPITUPULU, D. & SENSUSE, D. The Critical Success Factors Study for e-Government
Implementation. International Journal of Computer Applications, 89(16), 23-32. 2014.
[10] GIL-GARCIA, J.R. & PARDO, T.A. E-Government success factors: mapping practical tools to theoretical
foundations. Gov. Inform. Quart., 22, 187-216. 2005
[11] FORTUNE, J. & WHITE, D. Framing of project critical success factors by a systems model. Int. J.
Project Management, 24, 53-65. 2006.
[12] YOON, J. & CHAE, M. Varying criticality of key success factors of national e-strategy along the status of
economic development of nations. Gov. Inform. Quart., 26, 25-34. 2009.
[13] FURUHOLT, B. & WAHID, F. E-Government challenges and the role of political leadership in indonesia:
the case of sragen. Proceeding of the 41st International Conference on System Sciences, 411-421. 2008.
[14] JUNAIDI. Dukungan E-Government Dalam Upaya Peningkatan Kualitas Elayanan Publik Di Era Otonomi
Daerah : Kasus Best Practices Dari Sejumlah Daerah Di Indonesia. Proceeding Simposium Nasional
Otonomi Daerah, LAB-ANE FISIP Untirta. 2011.
[15] HEEKS, R. Most egovernment for development projects fail: how can risks be reduced. Institute for
Development Policy and Management. Sumber:
http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/NISPAcee/UNPAN015488.pdf. 2003.
[16] IRANI, Z. et. al. Evaluating E-Government: Learning from the Experiences of Two UK Local Authorities
Information Systems Journal, 15, pp. 61-82, 2005. 

[17] HAKIM, S. Evaluasi Tingkat Penerimaan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG) Pada
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Universitas Gadjah Mada, 2009. 

[18] PARASURAMAN, A. Technology readiness index (TRI): a multiple- item scale to measure readiness to
embrace new technologies. Journal of Service Research, 2(4), 307–320. 2000. 

[19] DAVIS, F.D. Perceived Usefulness, Perceived Ease of Use, and User Acceptance of Information
Technology. MIS Quarterly, 13(3), 319-339. 1989. 

[20] AGARWAL, R. & PRASAD, J. A. conceptual and operational definition 
of personal innovativeness in
the domain of information technology. Information Systems Research, 9(2), 204–215. 1998.
[21]
 VENKATESH, ET. AL. User Acceptance of Information Technology: Toward a Unified View. MIS
Quarterly, 27(3), 425-478. 2003. 

[22] ISMAIL, N., ABDULLAH, N. & SHAMSUDIN, A. Adoption of hospital information system (HIS) in
Malaysian public hospitals. Procedia— Soc. Behav. Sci., 336–343. 2015.
[23] MOHAMADALI, N.K. & GARIBALDI, J.M. A novel evaluation model of user acceptance of software
Page | 497
http://ejurnal.stmik-budidarma.ac.id/index.php/komik
KOMIK (Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komputer) ISSN 2597-4645 (media online)
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018 ISSN 2597-4610 (media cetak)

technology in health-care sector. Proceedings from the International Conference on Health Informatics,
392–397. 2010.
[24] DELONE W.H. & MCLEAN, E.R. The DeLone and McLean model of information systems success: a 10-
year update. Journal of Management Information Systems, 19(4), 9–30. 2003. 

[25] WARKENTIN, M., GEFEN, D., PAVLOU, P. & ROSE, G. Encouraging Citizen Adoption of e-
Government by Building Trust. Electronic Markets, 12(3). 2002. 

[26] Abu-Shanab, S.A., Al-Rub. & Nor, K.M. Obstacles facing the adoption of e-government services in Jordan.
Journal of E- Governance, 33, 35-47. 2010. 

[27] BERDYKHANOVA, D., DEHGHANTANHA, A. & HARIRAJ, K. Trust challenges and issues of e-
government: e-tax prospective. International Journal of Computer Science Security, 8(7), 62-66. 2010. 

[28] FAISAL, M.N. & RAHMAN, Z. E-government in India:modelling the barriers to its adoption and diffusion.
Electronic Government. An International Journal, 5(2), 181-202. 2008. 

[29] BANDURA, A. Self-efficacy: The exercise of control. New York, NY, US: W H Freeman/Times Books/
Henry Holt & Co. 1997.
[30] VENKATESH, ET. AL. User Acceptance of Information Technology: Toward a Unified View. MIS
Quarterly, 27(3), 425-478. 2003. 

[31] LEE, ET AL. Implications of modifying the duration requirement of generalized anxiety disorder in
developed and developing countries. Psychol Med., 39(7): 1163–1176. 2009.
[32] KRISHNARAJU, V., MATHEW, S. & SUGUMARAN, V. Role of Web Personalization in Consumer
Acceptance of E-Government Services. Proceedings of the Nineteenth Americas Conference on
Information Systems, 15-17. 2013.
[33] KALAMATIANOU, M.A. & MALAMATENIOU, F. An Extended UTAUT2 Model for e-Government
Project Evaluation. The Eleventh International Conference on Digital Society and eGovernments. 2017.
[34] LIMAYEM, M., HIRT, S. G., & CHEUNG, C. M. How habit limits the predictive power of intention: The
case of information system continuance. MIS Quarterly, 31(4), 705–737. 2007.

Page | 498
http://ejurnal.stmik-budidarma.ac.id/index.php/komik

Anda mungkin juga menyukai