Sastra
Sastra
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dalam arti selain luasnya wilayah, juga
karena didukung oleh multietnis dan tiap etnis dimungkinkan memiliki banyak nilai dan
tuntutan tentang budi pekerti yang belum tentu sama. Selain itu, kita juga belajar dan
mengadopsi nilai-nilai moral dari berbagai bangsa di dunia yang sesuai dengan jati diri
bangsa Indonesia terutama untuk kepergaulan antarbangsa. Untuk kasus di Indonesia, hal
yang sama juga dapat terjadi untuk saling pahami dan adopsi nilai moral antaretnis untuk
membangun sikap toleransi dan kebersamaan. Indonesia adalah negara multikultur, negara
kesatuan yang dibangun atas banyak nilai kultural dan moral.
m. Cinta damai:
sikap dan perilaku yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas
kehadiran dirinya.
n. Gemar membaca:
sikap dan perilaku membiasakan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan manfaat.
o. Peduli lingkungan:
sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam
dan mengupayakan perbaikan kerusakan alam yang sudah terjadi
p. Peduli social:
sikap dan perilaku yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain yang
menbutuhkan; penuh kasih, memperlihatkan sikap peduli dan rasa syukur;
memaafkan orang lain.
q. Tanggung jawab:
sikap dan perilaku melaksanakan tugas dan kewajiban melakukan apa yang
seharusnya dilakukan; memiliki rencana ke depan; melakukan yang terbaik,
pengendalian diri, berpikir sebelum bertindak bertanggung jawab terhadap kata,
tindakan, dan sikap sendiri, memberi contoh yang baik.
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagaimana yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara, dan Tuhan YME.
2. Penguatan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter kini semakin dipandang penting untuk mendidik
anak bangsa menjadi manusia dewasa yang berkepribadian Indonesia. Di atas
ditunjukkan bahwa Kemendiknas (2010) telah menjabarkan nilai karakter yang
menjadi fokus perhatian pendidikan di Indonesia ke dalam 18 buah nilai. Hal itu
kini diperkuat lagi dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tahun 2017
tentang Penguatan Pendidikan Karakter Semua itu menunjukkan semakin penting
dan mendesaknya pendidikan karakter di sekolah sebagai bagian usaha
pelestarian kehidupan bangsa.
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dimaksudkan sebagai gerakan
pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat
karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir,
olahraga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga,
dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental(GRNM)
(Pasal 1).
Ada pun tujuan PPK adalah: (a) membangun dan membekali peserta
didik karakter yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan;
(b) mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan pendidikan
karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan pendidikan bagi peserta
didik dengan dukungan publik yang dilakukan melalui pendidikan jalur formal,
nonformal, dan informal dengan memperhatikan keragaman budaya
Indonesia;sebagai generasi emas Indonesia 2045 dengan jiwa Pancasila dan
pendidikan (C) merevitalisasi dan memperkuat potensi dan kompetensi pendidik,
tenaga kependidikan, peserta didik, masyarakat, dan lingkungan keluarga dalam
mengimplementasikan PPK Pasal 2.
Generasi emas Indonesia 2045 adalah generasi manusia Indonesia yang
pada ulang tahun kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-100 tahun 2045
mengisi kemerdekaan ia dengan segala aktivitasnya yang menunjukkan
kebesaran bangsa yang berjiwa Pancasila sekaligus mampu menjawab tantangan
zaman. Untuk mendapatkan generasi "emas" sebagaimana diharapkan, usaha
pendidikan karakter harus dilakukan secara terencana sejak mereka, manusia
Indonesia itu, berusia dini. Usaha tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah melalui pendidikan formal, tetapi juga seluruh bangsa baik melalui
jalur nonformal maupun informal, baik yang dilakukan di sekolah, masyarakat,
maupun lingkungan keluarga. Pada intinya seluruh potensi yang ada haruslah
secara bersama secara saling membantu, saling mengisi, saling melengkapi, dan
saling bertanggung jawab sesuai dengan peran masing-masing.
Dengan demikian, dalam mendidik peserta didik usia Sekolah Dasar,
maka seorang guru harus memberikan pendidikan berdasarkan tahapan
perkembangan alamiah peserta didik. Hal ini dimaksudkan, agar peserta didik
dapat lebih mudah dalam memahami subtansi pembelajaran yang berlangsung.
Perkembangan moral peserta didik Sekolah Dasar, menganggap bahwa
sebuah aturan merupakan sesuatu yang disetujui oleh setiap orang, dan apabila
setiap orang setuju untuk mengubahnya, maka aturan tersebut dapat diubah.
Dalam hal ini, seorang guru harus memberikan bimbingan berkenaan dengan
penanaman nilai-nilai karakter, agar peserta didik tetap dalam koridor
kebaikan.Peserta didik Sekolah Dasar, cenderung melihat benar atau salah bukan
dari hukumannya, melainkan dari tujuan pelakunya. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Piaget bahwa, “Anak-anak pada usia Sekolah Dasar cenderung
mendasarkan penilaian moral pada maksud pelakunya bukannya konsekuensi
tindakan”.47
Moralitas peserta didik terus berkembang seiring dengan meluasnya
dunia sosial peserta didik, serta semakin banyaknya teman sebaya yang
dimilikinya. Perkembangan moralitas peserta didik dilakukan melalui interaksi
dan bekerjasama secara terus menerus dengan teman-teman sebaya, sehingga
aturan adalah sesuatu yang dapat dibuat atau diubah, dan hukumannya dapat
disesuaikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari tujuan melakukannya.
Teori pendidikan karakter sebenarnya merupakan teori pendidikan yang
sudah sejak lama mengakar dalam sejarah umat manusia. Bahkan sebelum
adanya lembaga pendidikan formal yang bernama sekolah, orang tua dengan
berbagai cara telah berusaha mendidik anak-anak mereka menjadi anak yang
baik, menurut normanorma yang berlaku dalam budaya mereka masing-masing
(Tim Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa, 2011). Pada dasarnya istilah ‘pendidikan
karakter’ ini berasal dari dua buah kata yang terpisah, yaitu “pendidikan” dan
“karakter”. Untuk memahaminya, perlu diterjemahkan satu persatu agar tidak
terjadi ambigu dalam memaknai istilah tersebut. Sebab pendidikan sendiri bisa
dimaknai sebagai suatu proses pembentukan karakter, sedangkan karakter adalah
hasil yang hendak dicapai melalui proses pendidikan. Abudin Nata, menjelaskan,
bahwa dalam bahasa Arab, kata pendidikan terambil dari beberapa kata, yaitu
tarbiyah, ta’dib, ta’lim, tadris, tadzkiyah, dan tadzkirah. Kata-kata tersebut
menghimpun makna kegiatan membina, memelihara, mengajarkan, menyucikan
jiwa, dan mengingatkan seseorang terhadap hal-hal yang baik (Abudin Nata,
2003).
3. Kategorisasi Nilai Karakter dalam Karya Sastra
Dalam karya sastra baik genre puisi, fiksi, maupun drama, baik yang
digolongkan ke dalam sastra anak, sastra remaja, maupun sastra dewasa juga
terkandung banyak nilai moral yang baik sebagai sarana pendidikan karakter.
Dalam kaitan ini juga ada banyak versi kategorisasi untuk menunjukkan
keberagaman nilai moral yang terkandung tergantung siapa yang
mengategorikannya. Hal itu bukan masalah karena pada prinsipnya orang boleh
berbeda pendapat untuk memilih cara penyajian hasil kajiannya.
Biasanya ada banyak nilai moral yang terkandung dalam teks-teks
kesastraan. Sebagaimana dikatakan Grenby (2008:70), tampaknya tidak mungkin
kita mencatat semua nilai spesifik yang terdapat dalam teks-teks cerita kesastraan
itu, tetapi cukup dengan menuliskan nilai-nilai utama yang dominan. Untuk itu,
perlu dibuat suatu kategorisasi yang dapat mencakup nilai-nilai spesifik tersebut
Dengan cara itu, nilai-nilai spesifik pun dapat teridentifikasi kemunculannya.
Nilai- nilai moral itu sendiri dapat terdapat pada aspek utama seperti tema,
karakter tokoh, alur, atau aspek lain baik terlihat secara langsung atau tidak
langsung.
Nurgiyantoro (2015) misalnya, memilih mengategorisasikan nilai moral
dalam teks-teks fiksi kesastraan berdasarkan konteks hubungan: bubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan diri sendiri, bubungan
manusia dengan sesama (sosial-kemasyarakatan), dan hubungan manusia dengan
lingkungan alam. Tiap jenis hubungan tersebut adalah semacam payung,
substansi umum; artinya berbagai nilai moral spesifik yang teridentifikasi dapat
dikategorikan ke dalam suatu kategori hubungan. Dengan kata lain, tiap kategori
tersebut memiliki sub-subkategori, atau varian, yang jumlahnya tergantung
intensitas nilai moral yang mendapat penekanan dalam suatu karya. Jadi,
pengategorian itu sebenarnya hanya merupakan suatu cara untuk memudahkan
identifikasi dan penyajian hasil kajian.
Misalnya, dalam sebuah cerita fiksi ditemukan nilai moral pada tokoh-
tokoh cerita dan alur sebagai berikut. (1) Sebelum mengerjakan sesuatu seorang
tokoh bocah tidak lupa membaca doa, senang pergi ke masjid, salat berjemaah,
menyempatkan waktu membaca Alqur'an, dan bahkan juga cara berpakaian
muslim-tapi: termasuk kategori hubungan manusia dengan Tuhan. (2)
Kedisiplinan, kejujuran, kebijakan, dan rasa percaya diri: ketiga nilai itu
termasuk dalam kategori hubungan manusia dengan diri sendiri. (3) Suka
membantu ibu dan kawan-kawan di sekolahnya; menyayangi ibu, ayah, dan
saudara; bersimpati kepada orang miskin, aktif berorganisasi di sekolah dan
masyarakat: ketiga kelompok nilai tersebut termasuk dalam kategori hubungan
manusia dengan sesama (lingkup sosial-kemasyarakatan). (4) Selalu
menyempatkan diri merawat tanaman hias di rumah dan di sekolah, menanam
pohon di tanah kosong, membersihkan rumput pengganggu, membuang sampah
pada tempatnya: kesemuanya masuk dalam kategori hubungan manusia dengan
alam.
Seorang Ibu Guru SD kelas satu bercerita atau menyuruh anak-anak
membaca sebuah cerita. Cerita anak itu berkisah tentang seorang anak
nakal yang biasa mencuri mainan dan menyakiti temannya. Sudah sering
diperingatkan, tetapi ia masih saja suka melakukannya. Suatu ketika mainan dia
sendiri hilang, dan karena dia menuduh kakak kelasnya yang mencuri, dia pun
dihajarnya. Si anak itu menangis, tetapi kawannya tidak mau membantu bahkan
tidak menunjukkan rasa simpati. Maka, anak itu pulang dengan hati yang sedih.
Pelajaran apa yang dapat dipetik dari kisah singkat itu? Ibu Guru berpesan:
“Makanya, anak-anak, kamu jangan suka berbuat seperti anak tersebut. Ia akan
dijauhi oleh kawan-kawannya, lagipula mencuri dan menyakiti orang lain itu
tidak boleh karena berdosa.”
Seorang Ibu Guru yang lain bercerita atau menyuruh membaca cerita
tentang dua anak yang berbeda kebiasaan. Anak yang pertama rajin membaca
sehingga nilai rapornya tinggi dan berpengetahuan luas, sedang anak yang kedua
malas membaca sehingga bodoh dan tidak tahu apa-apa. Ketika sekolah
mengadakan lomba membaca, anak yang pertama mendapat hadiah mainan yang
bagus karena dapat menjawab berbagai pertanyaan.
Namun, anak-anak tidak secara otomatis mengerti itu semua. Maka,
mereka harus dimengertikan, disadarkan, dilatih dan dibimbing, serta secara
konkret diminta untuk menjalankan hal-hal yang baik sebagaimana dilakukan
tokoh hero. Bagaimanakah cara untuk membuat mereka mengerti? Inilah
kuncinya: anak-anak secara langsung dikenalkan pada cerita-cerita itu,
ceritacerita yang telah dipilih oleh guru atau orang tua di rumah. Jika anak belum
dapat membaca sendiri, mereka harus diceritai. Tetapi, jika sudah dapat
membaca, mereka diminta untuk sering membacanya, membaca dan membaca
dengan dan sekaligus dicek pemahamannya dan jangan dibiarkan tanpa
kompensasi. Setiap akhir cerita Ibu Guru, si Ibu, atau orang tua perlu
menegaskan kembali nilai inti yang menjadi inti cerita. Jadi, harus ada penguatan
yang bersifat positif. Jika anakanak masih kesulitan memahami cerita, mereka
harus dilatih untuk memahami, ditunjukkan hal-hal penting, dilatih untuk
menerapkannya dalam sikap dan perilakunya keseharian.
Daftar pustaka
Aqib, Z. (2016). Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter. Bandung: Penerbit Yarama Medya.
Nurgiantoro, B. (2019). Sastra Anak. Yogyakarta: gadjah Mada University Press Anggota
IKAPI.
------------------- (2010). Sastra Anak dan Penentuan Karakter. Yogyakarta: FBS Universitas
Negeri Yogyakarta