ekonomi global
Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 merupakan proses awal lahirnya
GNB. KAA diselenggarakan pada tanggal 18 - 24 April 1955 dan dihadiri oleh 29 Kepala
Negara dan Kepala Pemerintah dari benua Asia dan Afrika yang baru saja merdeka. KAA
ditujukan untuk mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia waktu itu dan
berupaya menformulasikan kebijakan bersama negara-negara baru tersebut pada tatanan
hubungan internasional. KAA menyepakati 'Dasasila Bandung' yang dirumuskan sebagai
prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan hubungan dan kerja sama antara bangsa-bangsa.
Sejak saat itu, proses pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, dan dalam proses ini
tokoh-tokoh yang memegang peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Gamal Abdel
Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden
Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito. Kelima tokoh dunia ini
kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB.
GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena Indonesia
sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB. KAA merupakan bukti peran dan
kontribusi penting Indonesia dalam mengawali pendirian GNB. Secara khusus, Presiden
Soekarno juga diakui sebagai tokoh penggagas dan pendiri GNB. Indonesia menilai penting
GNB tidak sekadar dari peran yang selama ini dikontribusikan, tetapi juga mengingat prinsip
dan tujuan GNB merupakan refleksi dari perjuangan dan tujuan kebangsaan Indonesia
sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
Tujuan utama GNB semula difokuskan pada upaya dukungan bagi hak menentukan nasib sendiri,
kemerdekaan nasional, kedaulatan,dan integritas nasional negara-negara anggota. Tujuan penting lainnya
adalah penentangan terhadap apartheid; tidak memihak pada pakta militer multilateral; perjuangan
menentang segala bentuk dan manifestasi imperialisme; perjuangan menentang kolonialisme, neo-
kolonialisme, rasisme, pendudukan, dan dominasi asing; perlucutan senjata; tidak mencampuri urusan
dalam negeri negara lain dan hidup berdampingan secara damai; penolakan terhadap penggunaan atau
ancaman kekuatan dalam hubungan internasional; pembangunan ekonomi-sosial dan restrukturisasi sistem
perekonomian internasional; serta kerja sama internasional berdasarkan persamaan hak. Sejak pertengahan
1970-an, isu-isu ekonomi mulai menjadi perhatian utama negara-negara anggota GNB. Untuk itu, GNB
dan Kelompok 77 (Group of 77/G-77) telah mengadakan serangkaian pertemuan guna membahas masalah-
masalah ekonomi dunia dan pembentukan Tata Ekonomi Dunia Baru (New International Economic Order).
Dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta pada tahun 1992, sebagian besar ketidakpastian dan keraguan mengenai
peran dan masa depan GNB berhasil ditanggulangi. Pesan Jakarta, yang disepakati dalam KTT GNB ke-10
di Jakarta, adalah dokumen penting yang dihasilkan pada periode kepemimpinan Indonesia dan memuat
visi baru GNB, antara lain:
Mengenai relevansi GNB setelah Perang Dingin dan meningkatkan kerja sama konstruktif sebagai
komponen integral hubungan internasional.
Menekankan pada kerja sama ekonomi internasional dalam mengisi kemerdekaan yang berhasil
dicapai melalui perjuangan GNB sebelumnya.
Peran aktif Bangsa Indonesia pada masa Perang Dingin dan dampaknya terhadap politik dan
ekonomi global
Meningkatkan potensi ekonomi anggota GNB melalui peningkatan kerja sama Selatan-Selatan.
Selaku ketua GNB waktu itu, Indonesia juga menghidupkan kembali dialog konstruktif Utara-Selatan
berdasarkan saling ketergantungan yang setara (genuine interdependence), kesamaan kepentingan dan
manfaat, dan tanggung jawab bersama. Selain itu, Indonesia juga mengupayakan penyelesaian masalah
utang luar negeri negara-negara berkembang miskin (HIPCs/Heavily Indebted Poor Countries) yang
terpadu, berkesinambungan dan komprehensif. Guna memperkuat kerja sama Selatan-Selatan, KTT GNB
ke-10 di Jakarta sepakat untuk mengintensifkan kerja sama Selatan-Selatan berdasarkan prinsip collective
self-reliance. Sebagai tindak lanjutnya, sesuai mandat KTT Cartagena, Indonesia bersama Brunei
Darussalam mendirikan Pusat Kerja Sama Teknik Selatan-Selatan GNB.
Dalam kaitan dengan upaya pembangunan kapasitas negara-negara anggota GNB, sesuai mandat
KTT GNB Ke-11 di Cartagena tahun 1995, telah didirikan Pusat Kerja sama Teknik Selatan-Selatan GNB
(NAM CSSTC) di Jakarta, yang didukung secara bersama oleh Pemerintah Brunei Darussalam dan
Pemerintah Indonesia. NAM CSSTC telah menyelenggarakan berbagai bidang program dan kegiatan
pelatihan, kajian, dan lokakarya/seminar yang diikuti negara-negara anggota GNB. Bentuk program
kegiatan NAM CSSTC difokuskan pada bidang pengentasan kemiskinan, usaha memajukan usaha kecil
dan menengah, serta penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Di masa mendatang diharapkan
negara-negara anggota GNB, non-anggota, sektor swasta, dan organisasi internasional terdorong untuk
terlibat dan berperan serta dalam meningkatkan kerja sama Selatan-Selatan melalui NAM CSSTC. Upaya
mengaktifkan kembali kerja sama Selatan-Selatan ini merupakan tantangan bagi GNB, antara lain untuk
menjadikan dirinya tetap relevan saat ini dan di waktu mendatang.
Munculnya tantangan-tantangan global baru sejak awal abad ke-21 telah memaksa GNB terus
mengembangkan kapasitas dan arah kebijakannya agar sepenuhnya mampu menjadikan keberadaannya
tetap relevan tidak hanya bagi negara-negara anggotanya tetapi lebih terkait dengan kontribusinya dalam
menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Isu-isu menonjol terkait dengan masalah terorisme, merebaknya
konflik intra dan antar negara, perlucutan senjata dan senjata pemusnah massal, serta dampak gobalisasi di
bidang ekonomi dan informasi teknologi, telah menjadikan GNB perlu menyesuaikan kebijakan dan
perjuangannya. Dalam konteks ini, GNB memandang perannya tidak hanya sebagai objek tetapi sebagai
mitra seimbang bagi pemeran global lainnya.
Dalam kaitan ini, KTT ke-15 GNB di Sharm El-Sheikh, Mesir, yang diselenggarakan tanggal 11-
16 Juli 2009 telah menghasilkan sebuah Final Document yang berisi sikap, pandangan, dan posisi GNB
terkait isu-isu dan permasalahan internasional dewasa ini. KTT ke-15 GNB menegaskan perhatian GNB
atas krisis ekonomi dan moneter global, perlunya komunitas internasional kembali pada komitmen
menjunjung prinsip-prinsip pada Piagam PBB, hukum internasional, serta peningkatan kerja sama antara
negara maju dan berkembang untuk mengatasi berbagai krisis saat ini.
Terkait dampak negatif krisis moneter global terhadap negara-negara berkembang, KTT ke-15
menegaskan pula perlunya GNB bekerja sama lebih erat dengan Kelompok G-77 dan China. Suatu
reformasi mendasar terhadap sistem dan fondasi perekonomian dan moneter global perlu dilakukan dengan
memperkuat peran negara-negara berkembang dalam proses pengambilan keputusan dan penguatan peran
PBB.
KTT ke-15 GNB menyatakan bahwa GNB mendukung hak menentukan sendiri bagi rakyat,
termasuk rakyat di wilayah yang masih di bawah pendudukan. Dalam konteks itu, GNB mendukung hak-
hak rakyat Palestina dalam menentukan nasibnya sendiri, untuk mendirikan negara Palestina merdeka dan
berdaulat dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota, serta solusi adil atas hak kembali pengungsi Palestina
sesuai Resolusi PBB Nomor 194. GNB juga menolak segala bentuk pembangunan permukiman Yahudi di
Tepi Barat dan Jerusalem Timur untuk tujuan mengubah peta demografis di dua wilayah tersebut. GNB
juga meminta Israel melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB dengan mundur dari Dataran Tinggi
Golan hingga perbatasan 4 Juni 1967 dan mundur total dari sisa tanah Lebanon yang masih diduduki.
Peran aktif Bangsa Indonesia pada masa Perang Dingin dan dampaknya terhadap politik dan
ekonomi global
Dalam bidang politik, Indonesia selalu berperan dalam upaya peningkatan peran GNB untuk menyerukan
perdamaian dan keamanan internasional, proses dialog dan kerja sama dalam upaya penyelesaian damai
konflik-konflik intra dan antar negara, dan upaya penanganan isu-isu dan ancaman keamanan global baru.
Indonesia saat ini menjadi Ketua Komite Ekonomi dan Sosial, Ketua Kelompok Kerja Perlucutan Senjata
pada Komite Politik, dan anggota Komite Palestina.
Pada tanggal 17-18 Maret 2010, telah diselenggarakan Pertemuan Special Non-Aligned Movement
Ministerial Meeting (SNAMMM) on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace and Development di
Manila. Pertemuan dihadiri oleh Presiden Filipina, Gloria Macapagal Arroyo; Presiden Sidang Majelis
Umum PBB (SMU-PBB), Dr. Ali Abdussalam Treki; Menlu Filipina, Alberto Romulo; dan Menteri
Agama Mesir, Dr. Mahmoud Hamdy Zakzouk dalam kapasitasnya sebagai Ketua GNB; serta delegasi dari
105 negara anggota GNB.
umum, para delegasi anggota GNB yang hadir pada pertemuan tersebut sepakat bahwa konflik di dunia
saat ini banyak diakibatkan oleh kurangnya rasa toleransi. Di samping itu, banyak negara anggota GNB
menjelaskan berbagai aspek ketidakadilan politik, ekonomi, dan sosial yang dapat memicu timbulnya
ekstremisme dan radikalisme.
Menlu RI dalam pertemuan tersebut menyampaikan capaian yang dilakukan Pemri dalam diskursus
tersebut. Menlu RI juga menjelaskan bahwa saat ini dunia tengah menghadapi berbagai tantangan global.
Untuk itu, dengan tekad yang kuat serta didasarkan atas kesamaan nilai yang dianut, diharapkan negara
anggota GNB dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat internasional dalam membangun "global
resilience" untuk menghadapi berbagai tantangan di dunia.
Menlu RI lebih lanjut menjelaskan pentingnya dialog antar-peradaban dan lintas agama untuk
meningkatkan people to people contact, menjembatani berbagai perbedaan melalui dialog dan menciptakan
situasi yang kondusif pagi perdamaian, keamanan, dan harmonisasi atas dasar saling pengertian, saling
percaya, dan saling menghormati.
Untuk itu, GNB seyogianya terus melakukan berbagai upaya dan inisiatif konkret dalam mempromosikan
dialog dan kerja sama untuk perdamaian dan pembangunan. Dari pengalaman Indonesia memprakarsai
berbagai kegiatan dialog lintas agama di berbagai tingkatan, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
upaya global dalam mempromosikan keharmonisan dan perdamaian di dunia.
Pertemuan SNAMMM mengesahkan beberapa dokumen sebagai hasil akhir, yaitu: Report of the
Rapporteur-General of the SNAMMM on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace
and Development, dan Manila Declaration and Programme of Action on Interfaith Dialogue and
Cooperation for Peace and Development.
Pada tanggal 9-10 Mei 2012, diselenggarakan KTM Biro Koordinasi GNB di Sharm El-Sheikh, Mesir.
Diawali dengan Preparatory Senior Officials Meeting (SOM) pada tanggal 7-8 Mei 2012, pertemuan
tingkat menteri ini diselenggarakan sebagai langkah persiapan GNB menjelang KTT GNB ke-16 pada
bulan Agustus 2012.
Hasil utama dari KTM Biro Koordinasi ini adalah “Sharm El-Sheikh Final Document" yang berdasarkan
kepada Bali Final Document(hasil KTM ke-16 GNB, 2011). Dokumen ini memuat berbagai isu penting
yang menjadi perhatian bersama negara-negara anggota GNB. Dokumen-dokumen lainnya yang berhasil
disepakati dalam KTM ini mencakup Deklarasi Seabad Gerakan Pembebasan Kongres Nasional Afrika,
Deklarasi Palestina, serta rekomendasi kepada KTT ke-16 GNB untuk mengesahkan Venezuela sebagai
tuan rumah KTT ke-17 GNB tahun 2015.
Selanjutnya, Indonesia kembali berpartisipasi aktif dalam KTT GNB ke-16 di Tehran, Iran, tanggal 26-31
Agustus 2012, dengan dipimpin Wakil Presiden RI. KTT GNB ke-16 menyepakati Tehran Final
Document, Deklarasi Solidaritas Palestina, Deklarasi Tahanan Politik Palestina, Deklarasi Tehran, dan
Tehran Plan of Action. KTT juga menyambut baik tawaran Pemerintah Venezuela untuk menjadi Tuan
Rumah KTT ke-17 GNB pada tahun 2015.
Peran aktif Bangsa Indonesia pada masa Perang Dingin dan dampaknya terhadap politik dan
ekonomi global
Pada kesempatan tersebut, Wapres RI menyampaikan pentingnya kontribusi GNB dalam
menciptakan budaya perdamaian dan keamanan; mendorong pendekatan multilateralisme dan menjalin
kemitraan untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyat; tata kelola pemerintahan yang baik di tatanan
internasional (global governance), baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi-pembangunan; serta
perlunya reformasi rezim keuangan dan perdagangan internasional serta organisasi PBB dalam bidang
ekonomi dan pembangunan. Wapres RI juga menyampaikan perlunya GNB mengambil langkah konkret
dalam membantu bangsa Palestina. (Terakhir dimutakhirkan: 28 Januari 2014)
Anggota NATO pada saat perang digin (Amerika serikat dan Sekutu/ Blok Barat):
Amerika Serikat
Belanda
Belgia
Britania Raya
Denmark
Islandia
Italia
Kanada
Luksemburg
Norwegia
Portugal
Prancis
Yunani (1952)
Turki (1952)
Jerman (1955 sebagai Jerman Barat)
Spanyol (1982)
Anggota Pakta Warsawa (Uni Soviet dan Negara yang membantunya/Blok Timur):
Uni Soviet
Bulgaria
Romania
Jerman Timur
Hungaria
Polandia
Cekoslowakia