Anda di halaman 1dari 5

Peran aktif Bangsa Indonesia pada masa Perang Dingin dan dampaknya terhadap politik dan

ekonomi global

Perang Dingin (bahasa Inggris: Cold War, bahasa Rusia: холо́дная война́,


kholodnaya voyna, 1947–1991) adalah sebutan bagi suatu periode terjadinya
ketegangan politik dan militer antara Dunia Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan
sekutu NATO-nya, dengan Dunia Komunis, yang dipimpin oleh Uni Soviet beserta sekutu
negara-negara satelitnya. Perang dingin merupakan sebuah persaingan ideologi yang terjadi
antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam memperebutkan pengaruh negara-negara lain.
[1]
 Peristiwa ini dimulai setelah keberhasilan Sekutu dalam mengalahkan Jerman
Nazi di Perang Dunia II, yang kemudian menyisakan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai
dua negara adidaya di dunia dengan perbedaan ideologi, ekonomi, dan militer yang besar.
Uni Soviet, bersama dengan negara-negara di Eropa Timur yang didudukinya,
membentuk Blok Timur. Proses pemulihan pasca-perang di Eropa Barat difasilitasi oleh
program Rencana Marshall Amerika Serikat, dan untuk menandinginya, Uni Soviet kemudian
juga membentuk COMECON bersama sekutu Timurnya. Amerika Serikat membentuk aliansi
militer NATO (North Atlantic Treaty Organization) pada tahun 1949, sedangkan Uni Soviet
juga membentuk Pakta Warsawa pada tahun 1955. Beberapa negara memilih untuk memihak
salah satu dari dua negara adidaya ini, sedangkan yang lainnya memilih untuk tetap netral
dengan mendirikan Gerakan Non-Blok.
Peristiwa ini dinamakan Perang Dingin karena kedua belah pihak tidak pernah terlibat
dalam aksi militer secara langsung, namun masing-masing pihak memiliki senjata nuklir yang
dapat menyebabkan kehancuran besar. Perang Dingin juga mengakibatkan ketegangan tinggi
yang pada akhirnya memicu konflik militer regional seperti Blokade Berlin (1948–
1949), Perang Korea (1950–1953), Krisis Suez (1956), Krisis Berlin 1961, Krisis Rudal
Kuba (1962), Perang Vietnam (1959–1975), Perang Yom Kippur (1973), Perang
Afganistan (1979–1989), dan penembakan Korean Air Penerbangan 007 oleh Soviet (1983).
Alih-alih terlibat dalam konflik secara langsung, kedua belah pihak berkompetisi melalui
koalisi militer, penyebaran ideologi dan pengaruh, memberikan bantuan kepada negara
klien, spionase, kampanye propaganda secara besar-besaran, perlombaan nuklir, menarik
negara-negara netral, bersaing di ajang olahraga internasional, dan persaingan teknologi
seperti Perlombaan Angkasa. AS dan Uni Soviet juga bersaing dalam berbagai perang proksi;
di Amerika Latin dan Asia Tenggara, Uni Soviet membantu revolusi komunis yang ditentang
oleh beberapa negara-negara Barat, Amerika Serikat berusaha untuk mencegahnya melalui
pengiriman tentara dan peperangan. Dalam rangka meminimalkan risiko perang nuklir, kedua
belah pihak sepakat melakukan pendekatan détente pada tahun 1970-an untuk meredakan
ketegangan politik.
Pada tahun 1980-an, Amerika Serikat kembali meningkatkan tekanan diplomatik,
militer, dan ekonomi terhadap Uni Soviet di saat negara komunis itu sedang
menderita stagnasi perekonomian. Pada pertengahan 1980-an, Presiden Soviet yang
baru, Mikhail Gorbachev, memperkenalkan kebijakan reformasi
liberalisasi perestroika ("rekonstruksi, reorganisasi", 1987)
dan glasnost ("keterbukaan", ca. 1985). Kebijakan ini menyebabkan Soviet dan negara-
negara satelitnya dilanda oleh gelombang revolusi damai yang berakhir dengan runtuhnya
Uni Soviet pada tahun 1991, dan pada akhirnya menyisakan Amerika Serikat sebagai satu-
satunya kekuatan militer yang dominan di dunia. Perang Dingin dan berbagai peristiwa yang
menyertainya telah menimbulkan dampak besar terhadap dunia dan sering disebutkan dalam
budaya populer, khususnya dalam media yang menampilkan tema spionase dan
ancaman perang nuklir.
Peran aktif Bangsa Indonesia pada masa Perang Dingin dan dampaknya terhadap politik dan
ekonomi global

Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 merupakan proses awal lahirnya
GNB. KAA diselenggarakan pada tanggal 18 - 24 April 1955 dan dihadiri oleh 29 Kepala
Negara dan Kepala Pemerintah dari benua Asia dan Afrika yang baru saja merdeka. KAA
ditujukan untuk mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia waktu itu dan
berupaya menformulasikan kebijakan bersama negara-negara baru tersebut pada tatanan
hubungan internasional. KAA menyepakati 'Dasasila Bandung' yang dirumuskan sebagai
prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan hubungan dan kerja sama antara bangsa-bangsa.
Sejak saat itu, proses pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, dan dalam proses ini
tokoh-tokoh yang memegang peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Gamal Abdel
Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden
Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito. Kelima tokoh dunia ini
kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB.

GNB berdiri saat diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I GNB di


Beograd, Yugoslavia, 1 - 6 September 1961. KTT I GNB dihadiri oleh 25 negara yakni
Afghanistan, Algeria, Yaman, Myanmar, Kamboja, Sri Lanka, Kongo, Kuba, Cyprus, Mesir,
Ethiopia, Ghana, Guinea, India, Indonesia, Irak, Lebanon, Mali, Maroko, Nepal, Arab Saudi,
Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia, dan Yugoslavia. Dalam KTT I tersebut, negara-negara
pendiri GNB ini berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan, bukan suatu organisasi untuk
menghindarkan diri dari implikasi birokratis dalam membangun upaya kerja sama di antara
mereka. Pada KTT I juga ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada suatu peran pasif
dalam politik internasional, tetapi untuk menformulasikan posisi sendiri secara independen
yang merefleksikan kepentingan negara-negara anggotanya.

GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena Indonesia
sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB. KAA merupakan bukti peran dan
kontribusi penting Indonesia dalam mengawali pendirian GNB. Secara khusus, Presiden
Soekarno juga diakui sebagai tokoh penggagas dan pendiri GNB. Indonesia menilai penting
GNB tidak sekadar dari peran yang selama ini dikontribusikan, tetapi juga mengingat prinsip
dan tujuan GNB merupakan refleksi dari perjuangan dan tujuan kebangsaan Indonesia
sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.

Tujuan utama GNB semula difokuskan pada upaya dukungan bagi hak menentukan nasib sendiri,
kemerdekaan nasional, kedaulatan,dan integritas nasional negara-negara anggota. Tujuan penting lainnya
adalah penentangan terhadap apartheid; tidak memihak pada pakta militer multilateral; perjuangan
menentang segala bentuk dan manifestasi imperialisme; perjuangan menentang kolonialisme,  neo-
kolonialisme, rasisme, pendudukan, dan dominasi asing; perlucutan senjata; tidak mencampuri urusan
dalam negeri negara lain dan hidup berdampingan secara damai; penolakan terhadap penggunaan atau
ancaman kekuatan dalam hubungan internasional; pembangunan ekonomi-sosial dan restrukturisasi sistem
perekonomian internasional; serta kerja sama internasional berdasarkan persamaan hak. Sejak pertengahan
1970-an, isu-isu ekonomi mulai menjadi perhatian utama negara-negara anggota GNB. Untuk itu, GNB
dan Kelompok 77 (Group of 77/G-77) telah mengadakan serangkaian pertemuan guna membahas masalah-
masalah ekonomi dunia dan pembentukan Tata Ekonomi Dunia Baru (New International Economic Order).
Dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta pada tahun 1992, sebagian besar ketidakpastian dan keraguan mengenai
peran dan masa depan GNB berhasil ditanggulangi. Pesan Jakarta, yang disepakati dalam KTT GNB ke-10
di Jakarta, adalah dokumen penting yang dihasilkan pada periode kepemimpinan Indonesia dan memuat
visi baru GNB, antara lain:

 Mengenai relevansi GNB setelah Perang Dingin dan meningkatkan kerja sama konstruktif sebagai
komponen integral hubungan internasional.
 Menekankan pada kerja sama ekonomi internasional dalam mengisi kemerdekaan yang berhasil
dicapai melalui perjuangan GNB sebelumnya.
Peran aktif Bangsa Indonesia pada masa Perang Dingin dan dampaknya terhadap politik dan
ekonomi global

 Meningkatkan potensi ekonomi anggota GNB melalui peningkatan kerja sama Selatan-Selatan.

Selaku ketua GNB waktu itu, Indonesia juga menghidupkan kembali dialog konstruktif Utara-Selatan
berdasarkan saling ketergantungan yang setara (genuine interdependence), kesamaan kepentingan dan
manfaat, dan tanggung jawab bersama. Selain itu, Indonesia juga mengupayakan penyelesaian masalah
utang luar negeri negara-negara berkembang miskin (HIPCs/Heavily Indebted Poor Countries) yang
terpadu, berkesinambungan dan komprehensif. Guna memperkuat kerja sama Selatan-Selatan, KTT GNB
ke-10 di Jakarta sepakat untuk mengintensifkan kerja sama Selatan-Selatan berdasarkan prinsip collective
self-reliance. Sebagai tindak lanjutnya, sesuai mandat KTT Cartagena, Indonesia bersama Brunei
Darussalam mendirikan Pusat Kerja Sama Teknik Selatan-Selatan GNB.

Dalam kaitan dengan upaya pembangunan kapasitas negara-negara anggota GNB, sesuai mandat
KTT GNB Ke-11 di Cartagena tahun 1995, telah didirikan Pusat Kerja sama Teknik Selatan-Selatan GNB
(NAM CSSTC) di Jakarta, yang didukung secara bersama oleh Pemerintah Brunei Darussalam dan
Pemerintah Indonesia. NAM CSSTC telah menyelenggarakan berbagai bidang program dan kegiatan
pelatihan, kajian, dan lokakarya/seminar yang diikuti negara-negara anggota GNB. Bentuk program
kegiatan NAM CSSTC difokuskan pada bidang pengentasan kemiskinan, usaha memajukan usaha kecil
dan menengah, serta penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Di masa mendatang diharapkan
negara-negara anggota GNB, non-anggota, sektor swasta, dan organisasi internasional terdorong untuk
terlibat dan berperan serta dalam meningkatkan kerja sama Selatan-Selatan melalui NAM CSSTC. Upaya
mengaktifkan kembali kerja sama Selatan-Selatan ini merupakan tantangan bagi GNB, antara lain untuk
menjadikan dirinya tetap relevan saat ini dan di waktu mendatang.

Munculnya tantangan-tantangan global baru sejak awal abad ke-21 telah memaksa GNB terus
mengembangkan kapasitas dan arah kebijakannya agar sepenuhnya mampu menjadikan keberadaannya
tetap relevan tidak hanya bagi negara-negara anggotanya tetapi lebih terkait dengan kontribusinya dalam
menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Isu-isu menonjol terkait dengan masalah terorisme, merebaknya
konflik intra dan antar negara, perlucutan senjata dan senjata pemusnah massal, serta dampak gobalisasi di
bidang ekonomi dan informasi teknologi, telah menjadikan GNB perlu menyesuaikan kebijakan dan
perjuangannya.  Dalam konteks ini, GNB memandang perannya tidak hanya sebagai objek tetapi sebagai
mitra seimbang bagi pemeran global lainnya.

Dalam kaitan ini, KTT ke-15 GNB di Sharm El-Sheikh, Mesir, yang diselenggarakan tanggal 11-
16 Juli 2009 telah menghasilkan sebuah Final Document yang berisi sikap, pandangan, dan posisi GNB
terkait isu-isu dan permasalahan internasional dewasa ini. KTT ke-15 GNB menegaskan perhatian GNB
atas krisis ekonomi dan moneter global, perlunya komunitas internasional kembali pada komitmen
menjunjung prinsip-prinsip pada Piagam PBB, hukum internasional, serta peningkatan kerja sama antara
negara maju dan berkembang untuk mengatasi berbagai krisis saat ini.

Terkait dampak negatif krisis moneter global terhadap negara-negara berkembang, KTT ke-15
menegaskan pula perlunya GNB bekerja sama lebih erat dengan Kelompok G-77 dan China. Suatu
reformasi mendasar terhadap sistem dan fondasi perekonomian dan moneter global perlu dilakukan dengan
memperkuat peran negara-negara berkembang dalam proses pengambilan keputusan dan penguatan peran
PBB.

KTT ke-15 GNB menyatakan bahwa GNB mendukung hak menentukan sendiri bagi rakyat,
termasuk rakyat di wilayah yang masih di bawah pendudukan. Dalam konteks itu, GNB mendukung hak-
hak rakyat Palestina dalam menentukan nasibnya sendiri, untuk mendirikan negara Palestina merdeka dan
berdaulat dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota, serta solusi adil atas hak kembali pengungsi Palestina
sesuai Resolusi PBB Nomor 194. GNB juga menolak segala bentuk pembangunan permukiman Yahudi di
Tepi Barat dan Jerusalem Timur untuk tujuan mengubah peta demografis di dua wilayah tersebut. GNB
juga meminta Israel melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB dengan mundur dari Dataran Tinggi
Golan hingga perbatasan 4 Juni 1967 dan mundur total dari sisa tanah Lebanon yang masih diduduki.
Peran aktif Bangsa Indonesia pada masa Perang Dingin dan dampaknya terhadap politik dan
ekonomi global
Dalam bidang politik, Indonesia selalu berperan dalam upaya peningkatan peran GNB untuk menyerukan
perdamaian dan keamanan internasional, proses dialog dan kerja sama dalam upaya penyelesaian damai
konflik-konflik intra dan antar negara, dan upaya penanganan isu-isu dan ancaman keamanan global baru.
Indonesia saat ini menjadi Ketua Komite Ekonomi dan Sosial, Ketua Kelompok Kerja Perlucutan Senjata
pada Komite Politik, dan anggota Komite Palestina.

Pada tanggal 17-18 Maret 2010, telah diselenggarakan Pertemuan Special Non-Aligned Movement
Ministerial Meeting (SNAMMM) on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace and Development di
Manila. Pertemuan dihadiri oleh Presiden Filipina, Gloria Macapagal Arroyo; Presiden Sidang Majelis
Umum PBB (SMU-PBB), Dr. Ali Abdussalam Treki; Menlu Filipina, Alberto Romulo; dan Menteri
Agama Mesir, Dr. Mahmoud Hamdy Zakzouk dalam kapasitasnya sebagai Ketua GNB; serta delegasi dari
105 negara anggota GNB.

umum, para delegasi anggota GNB yang hadir pada pertemuan tersebut sepakat bahwa konflik di dunia
saat ini banyak diakibatkan oleh kurangnya rasa toleransi. Di samping itu, banyak negara anggota GNB
menjelaskan berbagai aspek ketidakadilan politik, ekonomi, dan sosial yang dapat memicu timbulnya
ekstremisme dan radikalisme.

Menlu RI dalam pertemuan tersebut menyampaikan capaian yang dilakukan Pemri dalam diskursus
tersebut. Menlu RI juga menjelaskan bahwa saat ini dunia tengah menghadapi berbagai tantangan global.
Untuk itu, dengan tekad yang kuat serta didasarkan atas kesamaan nilai yang dianut, diharapkan negara
anggota GNB dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat internasional dalam membangun "global
resilience" untuk menghadapi berbagai tantangan di dunia.

Menlu RI lebih lanjut menjelaskan pentingnya dialog antar-peradaban dan lintas agama untuk
meningkatkan people to people contact, menjembatani berbagai perbedaan melalui dialog dan menciptakan
situasi yang kondusif pagi perdamaian, keamanan, dan harmonisasi atas dasar saling pengertian, saling
percaya, dan saling menghormati.

Untuk itu, GNB seyogianya terus melakukan berbagai upaya dan inisiatif konkret dalam mempromosikan
dialog dan kerja sama untuk perdamaian dan pembangunan. Dari pengalaman Indonesia memprakarsai
berbagai kegiatan dialog lintas agama di berbagai tingkatan, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
upaya global dalam mempromosikan keharmonisan dan perdamaian di dunia.

Pertemuan SNAMMM mengesahkan beberapa dokumen sebagai hasil akhir, yaitu: Report of the
Rapporteur-General of the SNAMMM on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace
and Development, dan Manila Declaration and Programme of Action on Interfaith Dialogue and
Cooperation for Peace and Development.

Pada tanggal 9-10 Mei 2012, diselenggarakan KTM Biro Koordinasi GNB di Sharm El-Sheikh, Mesir.
Diawali dengan Preparatory Senior Officials Meeting (SOM) pada tanggal 7-8 Mei 2012, pertemuan
tingkat menteri ini diselenggarakan sebagai langkah persiapan GNB menjelang KTT GNB ke-16 pada
bulan Agustus 2012.

Hasil utama dari KTM Biro Koordinasi ini adalah “Sharm El-Sheikh Final Document" yang berdasarkan
kepada Bali Final Document(hasil KTM ke-16 GNB, 2011). Dokumen ini memuat berbagai isu penting
yang menjadi perhatian bersama negara-negara anggota GNB. Dokumen-dokumen lainnya yang berhasil
disepakati dalam KTM ini mencakup Deklarasi Seabad Gerakan Pembebasan Kongres Nasional Afrika,
Deklarasi Palestina, serta rekomendasi kepada KTT ke-16 GNB untuk mengesahkan Venezuela sebagai
tuan rumah KTT ke-17 GNB tahun 2015.

Selanjutnya, Indonesia kembali berpartisipasi aktif dalam KTT GNB ke-16 di Tehran, Iran, tanggal 26-31
Agustus 2012, dengan dipimpin Wakil Presiden RI. KTT GNB ke-16 menyepakati Tehran Final
Document, Deklarasi Solidaritas Palestina, Deklarasi Tahanan Politik Palestina, Deklarasi Tehran, dan
Tehran Plan of Action. KTT juga menyambut baik tawaran Pemerintah Venezuela untuk menjadi Tuan
Rumah KTT ke-17 GNB pada tahun 2015.
Peran aktif Bangsa Indonesia pada masa Perang Dingin dan dampaknya terhadap politik dan
ekonomi global
Pada kesempatan tersebut, Wapres RI menyampaikan pentingnya kontribusi GNB dalam
menciptakan budaya perdamaian dan keamanan; mendorong pendekatan multilateralisme dan menjalin
kemitraan untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyat; tata kelola pemerintahan yang baik di tatanan
internasional (global governance), baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi-pembangunan; serta
perlunya reformasi rezim keuangan dan perdagangan internasional serta organisasi PBB dalam bidang
ekonomi dan pembangunan. Wapres RI juga menyampaikan perlunya GNB mengambil langkah konkret
dalam membantu bangsa Palestina. (Terakhir dimutakhirkan: 28 Januari 2014)

Anggota NATO pada saat perang digin (Amerika serikat dan Sekutu/ Blok Barat):

  Amerika Serikat
  Belanda
  Belgia
  Britania Raya
  Denmark
  Islandia
  Italia
  Kanada
  Luksemburg
  Norwegia
  Portugal
  Prancis

Negara-negara yang bergabung pada masa Perang Dingin

  Yunani (1952)
  Turki (1952)
  Jerman (1955 sebagai Jerman Barat)
  Spanyol (1982)

Anggota Pakta Warsawa (Uni Soviet dan Negara yang membantunya/Blok Timur):

  Uni Soviet
  Bulgaria
  Romania
  Jerman Timur
  Hungaria
  Polandia
  Cekoslowakia

Anda mungkin juga menyukai