1450-Article Text-3518-1-10-20170901
1450-Article Text-3518-1-10-20170901
Abstract: This study was aimed to explore middle class single adult women's experience
concerning their identity as a single in Surabaya. The number of single adult women in Surabaya
has been increased since 2010 until recently. Phenomenological method was used in this study.
Data collected using indepth semi-structured interviews and analysed using IPA (Interpretative
Phenomenological Analysis). This study reveals three themes, namely the experience of being
stigmatized, psychological impacts of the stigma, and strategies employed to cope with stigma and
psychological discomforts. Most participants reported that they are called as “perawan tua”
(spinster), “tidak laku” (leftover) by social surroundings. They are also blamed as having negative
traits such as introvert because of their single status. The experience of being stigmatized has
impacted on their psychological discomforts such as insecure feelings and loneliness. To cope with
stigma and psychological discomforts, most participants employed some strategies, namely
reevaluating single identity in positive ways, avoiding situations wich invite stigma, and accepting
God's destiny and plan.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman perempuan lajang kelas
menengah di Surabaya. Meningkatnya jumlah perempuan lajang di Surabaya dari tahun 2010
hingga tahun 2012 dan masih dijumpainya stigma negatif kepada perempuan lajang menjadi dasar
dilakukannya penelitian ini. Metode yang digunakan adalah kualitatif fenomenologis dengan
pengambilan data menggunakan wawancara semiterstruktur. Data yang telah diperoleh dianalisis
menggunakan teknik analisis interpretative phenomenological analysis (IPA). Penelitian ini
berhasil mengidentifikasi tiga tema utama, yaitu pengalaman terkait stigma terhadap identitas
lajang; kondisi psikologis akibat stigma terhadap lajang, dan cara menghadapi tekanan dan stigma.
Para partisipan melaporkan bahwa mereka dianggap dan diperbincangkan sebagai perawan tua,
perempuan tidak laku, dan memiliki sifat tertutup yang tidak mendukung terjalinnya hubungan
intim. Pengalaman stigma tersebut telah mempengaruhi kondisi psikologis sebagai perempuan
lajang, yaitu perasaan tertekan dan kesepian. Dalam menghadapi tekanan akibat stigma dan upaya
untuk mengatasi tekanan psikologis tersebut, para partisipan penelitian ini menempuh strategi
untuk mempertahankan rasa identitas yang positif sebagai lajang, antara lain: memaknai kembali
status lajang lebih positif, menghindari situasi yang menimbulkan stigma, dan menyerahkan diri
pada takdir.
Fenomena hidup lajang (single) telah menikah. Sebelumnya, sensus pada tahun
muncul dalam skala global. DePaulo (2008) 2007 menunjukkan bahwa 12,3% dari wanita
memaparkan bahwa Biro Sensus Amerika umur 40an di Amerika hidup melajang.
Serikat mencatat pada tahun 2009, 40% dari Berdasarkan sensus tahun 2006 di Australia,
penduduk dewasa di Negara itu belum perempuan yang hidup lajang tanpa menikah
Korespondensi tentang artikel ini dapat dialamatkan kepada Ema Septiana melalui e-mail: emaseptianaa@ymail.com.
71
JURNAL PSIKOLOGI: TEORI & TERAPAN, Vol. 4, No. 1, Agustus 2013
72
Ema Septiana dan Muhammad Syafiq: Identitas Lajang (Single Identity) ...(71 - 86)
single professional woman (SPW) berusia 30- setiap individu yang masuk dalam kategori
50 tahun di Sleman, Yogyakarta, berhasil tersebut. Jika status suatu kelompok individu
mengungkap bahwa mereka cenderung dipandang negatif, maka para anggotanya
dipandang masyarakat bukan sebagai akan mendapatkan evaluasi negatif dan pada
perempuan dengan profesi tertentu, tapi akhirnya akan berdampak pada turunnya
sebagai perempuan yang belum menikah. harga diri mereka (Burke dan Stets, 2000).
Para partisipan penelitian tersebut berprofesi Dalam hal kategori status pernikahan, status
sebagai pengusaha, guru, dosen, dan belum menikah pada perempuan dewasa akan
pengacara. Keluarga dan teman kerja mereka cenderung diposisikan sebagai status identitas
lebih cenderung menyoroti status tidak yang bersifat negatif atau inferior karena
menikah mereka dan menyarankan agar status tersebut cenderung dianggap tidak
segera menikah daripada mendukung sesuai dengan kewajaran atau “tidak normal”.
pekerjaan profesional mereka. Akhirnya, Teori Identitas Sosial meramalkan
pertanyaan yang dianggap menekan dan bahwa individu yang berada dalam suatu
mencampuri urusan pribadi dari keluarga dan kategori sosial dengan status identitas negatif
masyarakat seperti “kapan menikah?” kerap akan cenderung merasakan ancaman identitas
ditujukan kepada perempuan dewasa yang (identity threat). Ancaman identitas sosial
masih lajang (Indriana dkk., 2007). merupakan bentuk dari perasaan individu
Perempuan lajang telah menjadi sebuah yang merasa dirinya akan mendapatkan
kategori sosial tersendiri yang dilekati dengan evaluasi negatif jika status identitasnya yang
karakteristik yang khas yang seringkali telah dinilai negatif terungkap. Ancaman
bernada negatif atau “tidak normal” karena identitas sosial ini mengakibatkan timbulnya
akan cenderung dibandingkan dengan kekhawatiran individu tentang diri mereka
kelompok perempuan yang sudah menikah sendiri dalam sebuah hubungan sosial (Derks,
yang lebih dipandang “normal”. Inzlicht, & Kang, 2008). Alasan mengapa
Pengkategorian dan perbandingan inilah yang ancaman identitas bisa muncul adalah karena
akhirnya memunculkan suatu karakteristik menurut Teori Identitas Sosial (dalam Korf &
identitas yang khas pada perempuan lajang. Malan, 2002), setiap individu akan cenderung
Teori Identitas Sosial dari Tajfel & Turner berupaya untuk mendapatkan dan menjaga
(1979) menjelaskan bahwa pengkategorisasian harga diri yang positif melalui ke-
sosial merupakan hasil alamiah dari proses anggotaannya dalam sebuah kelompok atau
kategorisasi kognitif yang dilakukan setiap kategori sosial. Jika persepsi positif seseorang
individu. Pengkategorian ini terbentuk terhadap identitas sosialnya ditantang oleh
berdasarkan kesamaan dan perbedaan pandangan negatif banyak orang, individu
karakteristik setiap individu yang ada dalam tersebut akan mengalami rasa terancam, dan
atau di luar kelompok kategori. Berdasarkan sebagai akibatnya akan muncul emosi negatif
perspektif ini, kita bisa mengasumsikan bahwa (Walton & Cohen, 2007).
meskipun memiliki motivasi dan prestasi yang Berdasarkan perspektif ini dapat
berbeda-beda, semua perempuan yang diasumsikan bahwa perempuan dewasa yang
melajang pada usia dewasa akan cenderung memiliki status identitas “lajang” (single)
dipandang sama dalam konteks hubungan akan mengalami ancaman karena identitas
sosial, yaitu “belum menikah”. tersebut. Ancaman itu bersumber dari evaluasi
Adanya kategorisasi sosial tersebut negatif atau stereotip masyarakat atas status
akan diiringi dengan munculnya nilai-nilai “lajang”. Stereotip atau bentuk-bentuk
psikologis yang berdampak pada harga diri penilaian negatif terhadap status “lajang”
73
JURNAL PSIKOLOGI: TEORI & TERAPAN, Vol. 4, No. 1, Agustus 2013
inilah yang akhirnya membuat perempuan Cara vokasional adalah cara yang melibatkan
dengan status tersebut rentan menjadi target usaha untuk menyelesaikan, sedangkan cara
stigma. Stigma adalah semua bentuk kualitas nonvokasional adalah cara tidak melibatkan
bersifat fisik, sosial, atau personal yang usaha untuk menyelesaikan termasuk
membuat kelompok orang yang memilikinya didalamnya adalah menyembunyikan status
dilabeli dengan identitas yang yang mendatangkan stigma atau menghindar
mendiskreditkan dan inferior (Goffman, dari situasi yang mendatangkan stigma.
1963). Dalam pengertian ini, kualitas status Berdasarkan latarbelakang di atas,
sosial “lajang” akan membuat para penelitian ini bertujuan untuk mengungkap
perempuan lajang mendapatkan label yang pengalaman hidup perempuan dewasa lajang
mendiskreditkan dan merendahkan. kelas menengah di Surabaya terkait dengan
Penelitian Indriana dkk., (2007) misalnya identitas sosial “lajang” yang mereka
melaporkan perempuan dewasa lajang di sandang. Penelitian ini mengeksplorasi
Jawa yang menjadi partisipan mereka bagaimana perempuan lajang mempersepsi
dianggap sebagai tertutup, emosional, status lajang mereka sebagai respon atas
kekanak-kanakan, dan mudah marah. pandangan masyarakat dan dampak
Bahkan pada masayarakat individualis psikologis yang mereka dirasakan. Penelitian
seperti di Amerika, orang-orang yang hidup ini juga berupaya untuk mengungkap
melajang juga cenderung menjadi target bagaimana pengalaman stigma yang
stigma (DePaulo & Morris, 2005, 2006; Byrne didapatkan, dan cara mereka menghadapi
& Carr, 2005). Penelitian Greitemeyer (2009) stigma tersebut.
juga mengungkapkan bahwa masyarakat
Jerman menunjukkan sikap negatif terhadap METODE
orang yang melajang (single). Secara umum,
perempuan dewasa lajang cenderung Penelitian ini menggunakan metode
mendapatkan beberapa stereotip seperti: kualitatif fenomenologis, yaitu jenis
kurang dapat mengemban tanggungjawab, penelitian kualitatif yang melihat secara dekat
kurang dewasa, dan kurang bisa bergaul bagaimana individu memaknai pengalaman-
daripada mereka yang telah menikah (Etaugh pengalamannya sendiri (Emzir, 2010).
&Birdoes, 1991; Conley & Collins, 2002).
Kajian literatur dalam bidang psikologi Partisipan
perkembangan juga menunjukkan bahwa
perempuan dewasa yang tidak atau belum Partisipan penelitian ini berjumlah 6
menikah (singles) sering diposisikan sebagai (enam) orang yang direkrut melalui teknik
“berbeda”, bermasalah dalam menjalin purposive sampling dengan kriteria
hubungan intim, atau bahkan memiliki perempuan lajang belum pernah menikah, usia
“disfungsi” pribadi hingga perlu di atas 30-55 tahun dan memiliki penghasilan
mendapatkan intervensi terapeutik (Reynolds sendiri. Para partisipan tersebut adalah (dalam
& Wetherell, 2003; Reynolds, 2002) nama samaran): Marina (38 tahun) bekerja
Namun, berdasarkan perspektif Model sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan gaji 3
Ancaman Identitas (Major dan O'Brien, juta per bulan; Nisa (52 tahun) bekerja sebagai
2004), individu atau kelompok sosial yang Pegawai Negeri Sipil dengan gaji 4 juta per
menjadi target stigma berpeluang untuk bulan; Elisabeth (43 tahun) berwirausaha
melawan stigma melalui dua strategi umum, dengan rata-rata penghasilan sebesar 8 juta per
yaitu cara vokasional dan nonvokasional. bulan; Rina (42 tahun), seorang wirausahawan
74
Ema Septiana dan Muhammad Syafiq: Identitas Lajang (Single Identity) ...(71 - 86)
dan pengajar dengan rata-rata penghasilan 8 label-label yang lebih konseptual. Label-label
juta per bulan; Ira (50 tahun) bekerja sebagai konseptual di marjin kanan pada semua
staff Administrasi di Perusahaan swasta transkrip kemudian dikelompokkan
dengan gaji 2 juta per bulan; dan terakhir, Eki berdasarkan kesamaan maknanya dan tiap
(37 tahun) bekerja sebagai guru privat dengan kelompok ini diberi nama subtema. Seluruh
gaji 2 juta per bulan. subtema dikelompokkan kembali berdasarkan
kedekatan cakupan maknanya dan diberi nama
Teknik Pengumpulan Data tema utama (superordinate themes). Seluruh
proses pengkodingan ini bermuara pada hasil
Teknik pengumpulan data yang akhir berupa tebal tema hasil penelitian. Tabel
digunakan dalam penelitian ini adalah tema inilah yang menjadi dasar penulisan
wawancara semi-terstruktur dengan laporan. Sebagai upaya untuk menjamin
menggunakan pedoman wawancara yang transparansi penelitian, peneliti mengutip
tidak diikuti secara ketat. Pedoman ekstrak-ekstrak dari data asli dalam paparan
wawancara berisi tiga pokok bahasan yakni hasil penelitian agar pembaca dapat menilai
pertanyaan demografis tentang data diri, interpretasi dari peneliti. Teknik ini disebut
pertanyaan mengenai pengalaman hidup grounding in example (Elliot dkk., 1999). Pada
melajang terkait stigma, makna terhadap atas ekstrak wawancara peneliti menggunakan
status “lajang”, dampak status tersebut tanda “[…]” untuk menunjukkan ada bagian
terhadap diri mereka, dan cara-cara yang kecil dari data asli yang dihapus untuk tujuan
ditempuh untuk mengatasi tekanan dan memperlancar maksud partisipan. Sedangkan
stigma. Alat pengumpul data yang digunakan kata atau kalimat dalam tanda “( )” dalam
adalah alat perekam dan buku catatan. Proses ekstrak kutipan merupakan klarifikasi makna
wawancara diawali sebelumnya dengan peneliti atas maksud partisipan.
membangum rapport pada semua partisipan
selama kurun waktu sekitar satu bulan. Proses HASIL PENELITIAN
wawancara pada semua partisipan dilakukan
dalam satu kali pertemuan yang berkisar Penelitian ini berhasil mengungkap tiga
antara 45 menit hingga 120 menit tanpa tema utama, yaitu pengalaman terkait stigma
kehadiran pihak ketiga. terhadap status lajang, dampak psikologis
terkait dengan stigma, dan cara menghadapi
Teknik Analisis Data stigma dan dampaknya.
75
JURNAL PSIKOLOGI: TEORI & TERAPAN, Vol. 4, No. 1, Agustus 2013
Nisa menunjukkan melalui ekstrak di salah satu pendorong teman teman saya cepat
atas bahwa status lajangnya dipandang orang- menikah gitu lho, karena ada orang ngomong
gini, “Oh ini mumpung ada orang yang
orang di sekitarnya sebagai sebuah kesalahan nyenengin saya, oh nikah aja, langsung nikah”.”
akibat ketidakmampuan pribadinya dalam (Rina-B450)
berhubungan sosial. Ia menolak anggapan
yang menyudutkan dirinya tersebut. Ia juga “ada masanya wanita itu harus menikah, kalau
pernah mendengar ia dijuluki sebagai ndak ini kita terlambat, kalau sudah melewati
batas ini kita sudah nggak laku, ada orang yang
perawan tua yang tidak laku. ada di batas batas itu, kayak kesannya jadi jual
murah, kesannya seperti itu.” (Rina-B.460)
“Ya itu sih katanya gini, ah perawan tua, gak
laku (tidak laku), gitu” (Nisa-B182)
Kedua ekstrak wawancara di atas
menunjukkan betapa status lajang pada
Hal senada dialami oleh Eki (37 th)
perempuan dewasa membuat mereka dinilai
yang pernah mendengar ia diperbincangkan
sebagai “sudah lewat masanya” hingga “tidak
sebagai perempuan yang tidak laku karena
laku”. Karena itu, perempuan dewasa lajang
belum menikah.
dituntut untuk “menurunkan standarnya” agar
“[…] ya ada omongan (pembicaraan dapat menikah. Rina mempersepsi seperti
tentang saya), gak rabi-rabi (tidak kunjung itulah cara pandang masyarakat terhadapnya
nikah), gak payu (tidak laku),” (Eki-B50) dan para perempuan dewasa lajang lainnya.
Rina juga menunjukkan ketidaknyamanannya
Bahkan karena statusnya tersebut ia terhadap perempuan dewasa lajang seperti
sampai dituduh merebut suami tetangganya. dirinya yang terburu-buru memutuskan
menikah hanya karena takut dengan
“Mbak Lia (nama tetangganya) iku (itu), tanggapan negatif orang disekitarnya.
kemarin juga sempat jarene (katanya) aku mau
merebut kono (suaminya)”(Eki-B68)
Tema: Kondisi Psikologis terkait stigma
Kutipan wawancara Eki di atas
menunjukkan bahwa ia mendapatkan Pengalaman mendapatkan stigma dari
tanggapan negatif dari perempuan lain yang masyarakat membuat para perempuan dewasa
telah menikah karena status lajangnya lajang yang menjadi partisipan dalam
dipersepsi sebagai ancaman terhadap penelitian ini mengalami tekanan psikologis
keutuhan rumah tangga. Artinya, status lajang tertentu.
Eki, dipersepsi perempuan berkeluarga di
sekitarnya sebagai “godaan” bagi suami Merasa tertekan
mereka.
Rina (42 th) juga merasakan bagaimana Status perempuan dewasa lajang yang
orang di sekitarnya memandang perempuan mengundang stigma membuat keluarga dan
lajang seperti dirinya dalam cara yang teman-teman para partisipan penelitian ini turut
merendahkan. berupaya mendorong para partisipan agar segera
menikah. Namun, perhatian yang terlalu
“Ada orang yang ngomong gini, cewek itu kalau berlebihan terhadap status lajang dari keluarga da
masih muda, jual mahal, nanti kalau sudah tua teman-teman dekat ini dianggap para partisipan
jual murah, katanya. Kan ada orang prinsipnya
itu gitu, maksudnya ada yang seperti itu, dari sebagai tekanan yang tidak menyenangkan.
teman-teman saya (sesama lajang) itu kita kayak Keluarga Rina misalnya memberi tekanan
menurunkan standar gitu lho, dan (omongan) itu dengan selalu bertanya “kapan menikah?”
76
Ema Septiana dan Muhammad Syafiq: Identitas Lajang (Single Identity) ...(71 - 86)
““Ayo kapan kamu menikah?” […] orangtua pernikahan temannya. Ia lebih memilih tidak
saya itu ngomong itu dan mereka mendesaknya datang jika tidak ada yang menemaninya.
kan sangat (sekali) gitu ya, mereka juga katanya
malu […] anaknya itu ndak anu (tidak
menikah)” (Rina-B437) “Saya sulit itu kalau dapat undangan manten
(pernikahan), itu sulit […]. Siapapun yang
mengundang, saya datang, kalau datang
Ekstrak wawancara di atas juga sendirian itu belum bisa”(Nisa-B289)
menunjukkan bahwa status lajang Rina
dianggap keluarganya bukanlah urusan Elisabeth (43 th) merasakan bagaimana
pribadi Rina belaka, tapi juga urusan keluarga. tidak nyamannya saat ia datang ke acara reuni.
Bahkan status lajang Rina dirasakan oleh
orang tuanya sebagai “membuat malu” “ […] kalau ada acara reuni teman sekolah,
keluarga. lha itu rasanya nggak enak banget (sangat
Marina juga merasakan bagaimana tidak nyaman), […] semua orang tanya, dan
sebagainya, aduh rasanya pusing banget gitu
keluarganya mengharapkannya agar segera lho. […] nggak enaknya kan buanyak (banyak
memiliki pasangan. sekali), rasanya itu kita mbayangkan kayak
teror gitu.” (Elisabeth-B102)
“keluarga sih tetap berharap biar aku cepet
punya pasangan.” (Marina-B220) Ia mendapatkan banyak pertanyaan
seputar mengapa ia belum menikah. Ia
Marina menceritakan bagaimana menggambarkan rasa tidak nyamannya
dirinya merasa tertekan atas desakan untuk seperti sedang diteror. Hal yang sama
segera menikah tersebut. Marina diungkapkan oleh Ira (50 th), ia merasa tidak
menceritakan ada salah satu temannya yang nyaman saat menghadiri pesta pernikahan.
ikut campur dalam urusannya mencari
pasangan. “Nggak enak, ditanyain orang-orang. Kalau kita
menghadiri pernikahan, terus kalau lama gak
“Orangnya pengen ngurus-ngurus (ikut ketemu, nggak pake nanya sudah nikah apa
campur) gitu, aku jadi merasa risih, karena itu belum, tapi (langsung) tanya “anakmu
kan masalah pribadi ya. […] aku nggak suka” berapa?”(Ira-B150)
(Marina-B178)
Hidup menjadi perempuan lajang
“[…] kalo memang belum ini (siap) masak dengan banyak stigma negatif tersebut,
harus dipaksa-paksakan, kalau seperti itu kan
otomatis orangnya memaksa”(Marina-B196) ternyata membuat hidup partisipan menjadi
sulit. Hubungan dengan lawan jenis rawan
Marina merasa tidak nyaman karena dianggap sebagai kesalahan. Ira menceritakan
tidak seharusnya masalah pribadi diurusi oleh pengalamannya.
orang lain apalagi dengan cara memaksa.
“Kalau waktu pulang kerja, kadang-kadang
ketemu tetangga, waktu pulang dibarengi
Tidak nyaman (diantar pulang laki-laki) itu ndak enak juga
(perasaan tidak enak).” (Ira-B163)
Tekanan dari masyarakat terutama
paling jelas muncul ketika para partisipan Rasa tidak nyaman Ira ketika diketahui
menghadiri perayaan-perayaan tertentu tetangganya pulang diantar laki-laki
seperti acara pernikahan, kelahiran, arisan, menunjukkan bahwa Ira telah menyadari
dan bahkan acara reuni. Nisa tidak berani bahwa status lajangnya bisa mengundang
datang sendiri untuk menghadiri undangan respon negatif. Kutipan ekstrak wawancara
77
JURNAL PSIKOLOGI: TEORI & TERAPAN, Vol. 4, No. 1, Agustus 2013
dengan Ira di atas juga menunjukkan bahwa “opo dek” (ada apa dek [dek adalah panggilan
Ira memiliki ketakutan bahwa ia akan untuk istri]/ada yang bisa dibantu dek?)”.” (Eki-
B176)
dipandang rendah oleh masyarakat sekitar
jika bergaul dengan laki-laki.
Eki merasa iri karena tidak memiliki
pasangan yang dapat menemaninya dan
Kesepian
mengantarkannya kemanapun dan dapat
memberinya perhatian seperti tetangganya
Berbagai tekanan yang dialami
yang berkeluarga. Rina juga menunjukkan
partisipan dari masyarakat sekitarnya
situasi ketika ia berpikir membutuhkan pria
memunculkan kesadaran bahwa hidup
sebagai pasangan hidup.
mereka tampak “kurang lengkap” jika belum
berkeluarga. Karena itu, ada saat-saat tertentu Misalnya gini (begini) ya kalau di rumah
dalam kehidupan para partisipan ketika Sidoarjo dulu, ada masalah dengan lampu mati,
mereka mengidamkan memiliki pasangan […] dengan Sanyo (pompa air), saya sampai
atau berkeluarga seperti perempuan lain pada mikir, ini ternyata susah kalau nggak ada cowok
(laki-laki) di rumah, […] ketika kita ketemu
umumnya. Elisabeth melaporkan masalah-masalah seperti itu, kita tuh […] baru
pengalamannnya berikut: menyadari bahwa sebenernya (sebenarnya) kita
itu butuh […]. “ Seandainya ada pasangan”
“Kadang-kadang ada saat-saatnya, saya itu […] (Rina-B251)
pingin menikah, saya masih menghilangkan
keinginan itu sepenuhnya ya gak bisa (tidak
bisa), karena saya ga (tidak) berniat
Hal yang sama dirasakan oleh Elisabeth
(melajang).” (Elisabeth-B396)
“Dukanya kalau ada hal-hal yang rasanya butuh
tenaga pria, hahahaha, kalo pergi keluar kota
Keinginan menikah juga dirasakan oleh kemalaman, rasanya apa, takut. Seandanya ada
Marina (38 th) saat melihat seorang teman (suami), tapi kali sudah habis nglewatin
yang lebih muda telah memiliki anak. (melalui situasi itu) ya sudah. hhahahaha”.
(Elisabeth-B295)
“Iri juga, apalagi udah punya anak, masih muda
kok sudah punya anak,”(Marina-B150) Elisabeth merasa membutuhkan
pasangan hidup pada situasi yang
Nisa pun mengutarakan perasaannya. menyulitkan. Namun, jika situasi itu sudah
“…aku ngelihat gitu ya iri, aduh kok isok yo dilalui, perasaan membutuhkan itu hilang.
(kok bisa ya masih muda sudah berkeluarga?) Ketika mengungkapkan hal itu, Elisabeth
[…] heh, aku iri. Yo wes akhire gak popo (ya tampak tertawa. Hal ini menunjukkan
sudah, tapi akhirnya sekarang tidak
masalah)”(Nisa-B184)
Elisabeth tidak terlalu memandang penting
keinginannya untuk mendapatkan pasangan
Rasa iri ingin memiliki pasangan juga tersebut.
muncul pada Eki saat ada sepasang suami istri
menunjukan kebersamaan di depannya. Tema: Cara mengatasi stigma dan
dampak psikologisnya
“(saya) kondangan (pergi ke acara undangan)
sendirian, situ (teman partisipan) berdua Dalam menghadapi stigma dan tekanan
(dengan suaminya), dibonceng. Sakit (bisa) psikologis akibat stigma, para partisipan
ngeluh, “aduuuh”, lain kalau aku (lain jika
saya). Sebelahku (teman partisipan) bojone penelitian ini menempuh strategi untuk
seng ngelayani (suaminya yang melayaninya), mempertahankan rasa identitas yang positif
78
Ema Septiana dan Muhammad Syafiq: Identitas Lajang (Single Identity) ...(71 - 86)
sebagai lajang, antara lain: memaknai kembali “Sebetulnya saya nggak (tidak) masalah tuh
status lajang lebih positif, menghindari situasi (dengan status lajang saya). Saya merasanya
enjoy aja (menikmati)”(Nisa-B129)
yang menimbulkan stigma, dan menyerahkan
diri pada takdir.
Nisa mengaku menikmati status
lajangnya. Ia memaknai kelajangan sebagai
Memaknai kembali kelajangan secara
bebas dari beban pekerjaan rumah tangga.
positif
“Kalo gini (lajang) kan mau apa-apa itu bebas,
Beratnya menanggung stigma yang baru (pulang) kerja capek langsung ngglundung
telah melekat kepada perempuan lajang dapat (istirahat) bah (walaupun) sana berantakan sini
memunculkan perasaan tidak puas terhadap berantakan. Tapi kalo ada keluarga kan pasti,
teko omah jek ngrinkesi omah (sampai rumah
diri sendiri dan kemampuan yang mereka harus masih membersihkan rumah).” (Nisa-
miliki. Para partisipan penelitian ini berupaya B331)
untuk melawan stigma dengan memaknai
kembali status lajangnya secara positif. Nisa Kebebasan dalam bentuk lain dirasakan
menyatakan berikut: oleh Marina. Status lajang dimaknai oleh
Marina sebagai bebas melakukan apapun
“[…] Kalau sebagai orang bujang (lajang) sih, tanpa harus terikat oleh keinginan suami.
aku merasa sudah menjadi orang yang
sempurna, hahahah ” (Nisa-B460)
“Enaknya itu kita kan nggak terikat gitu ya,
misalnya pengen apa harus ngomong dulu
Dengan menyatakan “aku sudah merasa (sama suami), misalkan mau kemana harus
sebagai orang yang sempurna” sambil tertawa, pamitan, aku mau ini ngomong dulu boleh apa
Nisa tampaknya menyadari bahwa ucapannya nggak (tidak),” (Marina-B66)
tersebut hanyalah menunjukkan upayanya
untuk menerima statusnya lajangnya sebagai Ira juga merasa status lajangnya
sesuatu yang tidak bermasalah. Ia berusaha membuatnya tidak ada beban karena merasa tidak
untuk menerima dirinya sebagai seseorang ada yang keberatan untuk ditinggalkan olehnya.
yang telah lengkap dan tidak tergantung pada
harapannya untuk mendapatkan pasangan. Hal “Ya bisa pergi, pergi ke teman-teman, ngga ada
beban, kalau mau pergi keluar kota, menjenguk
yang sama dirasakan oleh Marina, ia teman, mau kemping ke (Gunung) Bromo.”
bersyukur dengan keadaan dirinya saat ini. Ia (Ira-B138)
merasa status lajangnya tidak membuat
dirinya merasa kekuarangan. Status lajang adalah peluang bagi para
partisipan untuk bebas melakukan keinginnya
“Aku sih selalu beryukur, aku ya wis (sudah) sendiri. Status lajang juga dimaknai sebagai
bersyukur, nggak merasa kekurangan” (Marina-
B10) kemampuan untuk mengurus kehidupan sendiri
atau mandiri. Elisabeth menyatakan berikut:
Saat partisipan mensyukuri keadaan diri
“Walaupun sendiri tapi saya bisa mengatasi
mereka, dan tidak mempermasalahkannya. kehidupan saya, […] ternyata dengan
Besar kemungkinan mereka untuk menikmati kesendirian saya, saya masih […] bisa berdiri.”
kelajangan. Melakukan apa yang mereka (Elisabeth-B136)
ingin lakukan dan tidak merasa terbebani
dengan kesendiriannya. Seperti yang Rasa memiliki kemandirian pada para
dilaporkan oleh salah satu partisipan berikut: partisipan telah memberi mereka harga diri
79
JURNAL PSIKOLOGI: TEORI & TERAPAN, Vol. 4, No. 1, Agustus 2013
dan kebanggaan pada diri mereka sebagai takdir Tuhan yang hanya bisa dijalani.
perempuan lajang.
“Hidup kok bisa melajang ini aku juga nggak
(tidak) tahu, [...] hidup saya itu sudah menurut
Menghindari stigma tuntunan Tuhan” (Nisa-B143)
Marina menanggapi orang yang terlalu “Kan ada prinsip kita lahir, nikah, mati kan
mencampuri urusan pribadinya terkait status rahasia Tuhan, rahasia Tuhan yang kita nggak
lajangnya dengan menjaga jarak. bisa tahu. Ya jangan kita didesak (untuk
menikah).”(Nisa-B179)
“Aku cuma pengen (ingin) menjauh dari orang
seperti itu, menghindari aja, nggak menjauh tapi Nisa menegaskan bahwa ia tidak
menghindari, menjaga jarak.”(Marina-B201) menginginkan dirinya terus menjadi lajang.
Namun ia memposisikan status lajangnya
Nisa lebih memilih untuk tidak sebagai takdir Tuhan yang harus ia jalani,
menghadiri undangan teman ke acara pesta entah sampai kapan.
atau perayaan kalau tidak ada orang yang
menemaninya. “Saya belum memutuskan untuk hidup
melajang, belum. Cuma saya menjalani
“Kalo nggak ada (teman) yang barengin (ke hidup ini apa adanya seperti ini dijalani.”
acara undangan), saya ijin nggak datang, “Sorry (Rina-B271)
ya aku ngga datang””. (Nisa-B302)
Ira pun tidak jauh berbeda, walaupun ia
Nisa telah mengantisipasi bahwa datang menikmati semua yang Tuhan rencanakan
ke acara semacam itu akan membuatnya untuk dirinya, namun ia masih berharap
mendapat perhatian yang terlalu berlebihan menikah.
dan mengganggu terkait status lajangnya.
Pengalaman serupa dilaporkan oleh Elisabeth. “Siapa sih yang nggak (tidak) pingin (ingin)
menikah, terlepas dari itu kan rahasia Tuhan jadi
ya dinikmati aja” (Ira-B65)
“Karena kita sudah tahu ya, nanti dateng ke
acara itu, pasti yang ditanya pertanyaannya
'kamu dah (sudah) nikah belum, kamu udah Meskipun sebagian besar partisipan
(sudah) punya anak belum?' jadi saya males tetap optimis Tuhan akan memberikan jodoh
(malas) dan ya terus terang saya menghindari
itu, […] Berapa kali sih ada […] reuni SMA
bagi mereka, namun mereka telah bersiap jika
pernah, tapi saya juga ngga dateng (tidak hidup melajang merupakan takdir yang
datang).” (Elisabeth-B104) sesungguhnya.
80
Ema Septiana dan Muhammad Syafiq: Identitas Lajang (Single Identity) ...(71 - 86)
Penelitian ini menunjukkan hasil yang sejalan agar partisipan segera menikah. Elisabeth
dengan penelitian sebelumnya di Indonesia menggambarkan pertanyaan-pertanyaan
(Noviana & Suci, 2010; Kumalasari, 2007; seputar kapan menikah dari lingkungan
Indriana dkk., 2007), Amerika Serikat sekitarnya sebagai “teror” yang mengganggu.
(DePaulo & Morris, 2005, 2006; Byrne & Marina dan Rina merasakan bagaimana
Carr, 2005), Jerman (Greitemeyer, 2009), dan keluarganya menuntut mereka agar segera
China (To, 2013) yang melaporkan bahwa memiliki pasangan. Hasil penelitian ini juga
perempuan dewasa lajang mendapatkan sejalan dengan penelitian Indriana dkk.,
stereotip dan stigma karena status (2007) yang menunjukkan bahwa tuntutan
kelajangannya. dari keluarga dan masyarakat seperti “kapan
Salah satu partisipan, Nisa, melaporkan menikah?” kerap ditujukan kepada
bahwa orang-orang di sekitarnya perempuan yang masih lajang.
menganggap dirinya terlalu menutup diri Bahkan keluarga Rina mengaku malu
sehingga ia belum menikah sampai saat ini. jika anaknya tidak segera menikah. Rina pun
Penemuan ini sejalan dengan penelitian menyadari tuntutan keluarganya tersebut.
Indriana dkk. (2007) yang melaporkan bahwa Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil
perempuan dewasa lajang di Jawa yang penelitian Noviana & Suci (2010) terhadap
menjadi partisipan mereka dianggap menutup perempuan karir belum menikah di Jakarta
diri dari orang lain (eksklusif). Nisa juga yang mengalami konflik dalam diri mereka
pernah mendengar ia disebut sebagai perawan akibat mendapat tuntutan dari orangtua untuk
tua yang tidak laku. Partisipan lain, Eki, juga segera menikah. Keempat partisipan dalam
pernah mendengar ia diperbincangkan penelitian tersebut seluruhnya menilai
sebagai perempuan yang tidak laku karena tuntutan orangtuanya untuk menikah adalah
belum menikah. Noviana & Suci (2010) juga kewajiban yang harus dipenuhi. Terlebih lagi
menggambarkan sering munculnya stigma pada perempuan Jawa yang telah dewasa,
masyarakat terhadap perempuan lajang di menikah adalah tuntutan budaya yang sangat
Indonesia dengan julukan 'perawan tua' atau penting. Orangtua memiliki kewajiban untuk
'tidak laku' terhadap mereka. Perempuan menikahkan puterinya, dan menjadi tugas
lajang di China juga mendapatkan julukan puterinya untuk membantu orangtuanya
serupa, yaitu sheng nu (leftover women) yang memenuhi tugas tersebut (Hapsari dkk, 2007).
berarti 'perempuan sisa' (To, 2013). Bahkan Hadirnya stigma yang mempengaruhi
karena status lajangnya, Eki pernah dituduh kondisi psikologis partisipan kemudian
akan merebut suami orang oleh tetangganya. mendorong keinginan partisipan untuk
Seperti halnya partisipan lain, Rina melihat menjadi normal sesuai harapan masyarakat,
masyarakat memandang negatif perempuan yakni menikah. Akibatnya, kadangkala di
dewasa lajang sebagai “tidak laku”. Status saat-saat tertentu para partisipan merasakan
mereka yang tetap lajang sering dipandang kesepian. Menurut Baron & Byrne (2003)
sebagai akibat “jual mahal” hingga belum permasalahan kesepian merupakan fenomena
mendapatkan pasangan. umum yang terjadi di seluruh dunia yang
Pengalaman mendapatkan stigma dari merupakan suatu keadaan emosi dan kognitif
masyarakat telah menimbulkan dampak pada yang disebabkan tidak tercapainya uapaya
kondisi psikologis para partisipan. Para menjalin hubungan yang akrab dengan orang
partisipan dalam penelitian ini melaporkan lain. Marina yang merupakan salah satu
mereka merasa tertekan dengan tuntutan dan partisipan pada penelitian ini mengungkapkan
desakan keluarga dan teman-teman mereka bahwa menjadi perempuan lajang membuat
81
JURNAL PSIKOLOGI: TEORI & TERAPAN, Vol. 4, No. 1, Agustus 2013
dirinya merasakan kesepian karena tidak ada stigma menurut Major dan O'Brien (2004)
yang menemani, mengantarkannya, dan ancaman identitas akan ditanggapi dengan
memberinya perhatian. dua cara yakni, cara vokasional dan cara
Jika ditinjau dari sudut pandang teori nonvokasional, cara vokasional adalah cara
Erikson dalam tahap perkembangan yang melibatkan usaha untuk menyelesaikan,
psikososialnya yang keenam, yaitu intimacy sedangkan cara non vokasional yakni tidak
versus isolation, apabila orang dewasa awal melibatkan usaha untuk menyelesaikan.
tidak dapat menjalin komitmen pribadi dengan Penelitian ini menemukan bahwa para
orang lain, maka mereka dapat menjadi partisipan menggunakan tiga cara
terisolasi (Feldman, 2009). Isolasi adalah menghadapi stigma, yaitu: pertama,
ketidakmampuan untuk bekerja sama dengan memaknai kembali status lajang secara lebih
orang lain melalui kepercayaan, pengorbanan, positif, menghindari stuasi yang mengundang
dan komitmen dalam suatu hubungan intim stigma, dan menyerahkan diri pada takdir
(Feldman, 2009). Erikson menambahkan Tuhan. Dalam perspektif teori Major &
bahwa wanita dewasa yang belum menikah O'Brien (2004), tiga strategi tersebut dapat
akan merasa kesepian karena teman-teman digolongkan sebagai cara nonvokasional
lama méreka sudah berpencar dan sibuk karena tidak melibatkan upaya secara
dengan urusan keluarga masing-masing langsung dalam melawan atau
(Hurlock, 1980). Elisabeth merasakan ada saat- menghilangkan stigma.
saat tertentu dirinya ingin sekali menikah. Ia Para partisipan penelitian ini menyadari
tidak bisa menghilangkan keinginannya untuk bahwa mereka berbeda dari perempuan pada
menikah walaupun telah berusaha. Menurut umumnya yang telah menikah. Perbedaan
Hurlock (1980), pada dasarnya memang tidak tersebut tidak membuat mereka merasa lebih
semua perempuan yang tidak menikah rendah dalam segala hal sebagai perempuan.
bermaksud untuk terus menjadi single. Mereka masih memiliki hal-hal tertentu yang
Rasa iri pun tidak dapat dihindarkan oleh dapat diunggulkan selain masalah pernikahan.
Marina, saat ia melihat ada perempuan yang Para partisipan penelitian ini berupaya
masih muda sudah menikah dan memiliki anak. memaknai kembali status lajang mereka
Rasa iri ingin memiliki pasangan juga muncul sebagai peluang mengalami kebebasan
saat ada sepasang suami istri menunjukan (freedom) dan kemandirian (independence).
kemesraan didepan pasrtisipan. Eki melihat Nisa, Marina dan Ira merasakan kebebasan
seorang suami yang memberikan perhatian berupa bebas beristirahat sepulang kerja tanpa
kepada sang istri saat istrinya mengeluh sakit. harus terbebani pekerjaan rumah tangga yang
Hal yang sama dirasakan oleh Elisabeth, ia berantakan, bebas menginginkan sesuatu sesuai
merasa kesulitan saat dirinya membutuhkan kehendaknya sendiri, dan bebas melakukan
bantuan pria untuk menemaninya pergi keluar apapun tanpa perlu meminta persetujuan suami.
kota dimalam hari. Namun, perasaan Elisabeth juga secara jelas memaknai status
membutuhkan kehadiran pasangan itu hanya lajangnya sebagai kemandirian yang
muncul pada momen-momen tertentu. membuatnya bangga sebagai perempuan. Hasil
Pengalaman mendapatlan stigma dan penelitian ini sejalan dengan penelitian
dampak psikologis yang ditimbulkannnya Kumalasari (2007) terhadap 10 perempuan
mendorong para partisipan untuk melakukan karir lajang kelas menengah berusia 30-50
upaya untuk menghadapi stigma dan tekanan tahun di Yogyakarta yang juga mengungkapkan
psikologis tersebut. Berdasarkan model bahwa mereka memaknai kelajangan sebagai
ancaman identitas yang ditimbulkan dari kebebasan dan kemandirian.
82
Ema Septiana dan Muhammad Syafiq: Identitas Lajang (Single Identity) ...(71 - 86)
83
JURNAL PSIKOLOGI: TEORI & TERAPAN, Vol. 4, No. 1, Agustus 2013
stigma terhadap perempuan dewasa lajang membuat partisipan mencari cara untuk
yang dihadapi para partisipan penelitian ini mengatasinya. Tiga strategi untuk mengatasi
adalah julukan sebagai “perawan tua”, “tidak stigma dan tekanan psikologis akibat stigma
laku”, dan “sudah lewat masanya” yang digunakan oleh para partisipan penelitian ini,
mereka dengar secara langsung maupun tidak yaitu: pertama, memaknai kembali status
langsung. Pengalaman stigma juga muncul lajang secara positif. Status lajang dimaknai
terkait anggapan orang-orang di sekitar para sebagai peluang mengalami kebebasan dan
partisipan bahwa mereka tetap melajang bukti kemandirian. Cara kedua adalah dengan
karena ada yang salah dalam kepribadian menghindari situasi yang mengundang stigma
mereka, di antaranya adalah sifat tertutup atau seperti tidak menghadiri undangan
introvert. Pengalaman mendapatkan stigma pernikahan, reuni, atau acara ulang tahun
ini telah berdampak pada kondisi psikologis teman. Para partisipan sudah mengantisipasi
para partisipan, di antaranya adalah perasaan bahwa kehadiran mereka akan mendatangkan
tertekan karena dibombardir dengan perhatian berlebihan yang mengganggu. Cara
pertanyaan-pertanyaan dan desakan untuk terakhir untuk mengatsi stigma dan tekanan
segera menikah. Para partisipan juga psikologis akibat stigma adalah dengan
merasakan ketidaknyamanannya ketika menyerahkan nasib pada takdir Tuhan. Para
menghadiri situasi-situasi yang bisa partisipan ingin menegaskan bahwa status
memunculkan stigma seperti resepsi lajang yang mereka emban bukan sepenuhnya
pernikahan, ulang tahun dan reuni. Posisi tanggungjawab mereka. Mereka hanya
sebagai perempuan dengan status lajang yang menjalaninya sebagai takdir yang ditentukan
berbeda dari kebanyakan perempuan Tuhan. Jika Tuhan menginginkan mereka
seusianya yang telah menikah juga menikah, maka jodoh akan datang.
menyebabkan sebagian partisipan penelitan Sebaliknya, jika tidak ada jodoh, maka
ini mendambakan pernikahan. Para partisipan mereka meyakini hidup lajang adalah
merasakan kesepian pada momen-momen ketentuan Tuhan bagi mereka. Dengan
tertentu kehidupan mereka dan keyakinan itu, para partisipan penelitian ini
mengharapkan hadirnya pasangan hidup. merasa lebih ringan menanggapi berbagai
Pengalaman stigma dan dampak pertanyaan menggganggu dan stigma negatif
psikologis tidak menyenangkan yang dialami terkait dengan status lajang mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, R. A., & Byrne, D. (2003). Psikologi Sosial Psychology Bulletin, 28, 1483–1494.
(Jilid 1 & 2). (edisi Terjemahan). Jakarta: DePaulo, B. (2008, November 1st ). Living Single
Erlangga. Longer: It's a Global Phenomenon.
Burke, P. J., & Stets, J. E. (2000). Identity Theory Psychology Today. Diakses dari:
and Social Identity Theory. Social http://www.psychologytoday.com/blog/liv
Psychology Quarterly, 63(3), 224-237. ing-single/200811/living-single-longer-its-
Byrne, A., & Carr, D. (2005). Caught in the global-phenomenon. pada 2 juli 2013.
cultural lag: The stigma of singlehood. DePaulo, B. M., & Morris, W. L. (2005). Singles in
Psychological Inquiry, 16, 84–141. society and in science. Psychological
Conley, T. D., & Collins, B. E. (2002). Gender, Inquiry, 16,57–83.
relationship status, and stereotyping about DePaulo, B. M., & Morris, W. L. (2006). The
sexual risk. Personality and Social unrecognized stereotyping and discrimination
84
Ema Septiana dan Muhammad Syafiq: Identitas Lajang (Single Identity) ...(71 - 86)
85
JURNAL PSIKOLOGI: TEORI & TERAPAN, Vol. 4, No. 1, Agustus 2013
Tajfel, H., & Turner, J. (1979). An integrative Late Marriage among Chinese Professional
theory of intergroup conflict. In W. Astin & Women. Symbolic Interaction, 36 (1),1-20.
S. Worchel (Eds.). The social psychology of Doi: 10.1002/symb.46.
intergroup relations (pp. 33-47). Walton, G. M., & Cohen, G. L. (2007). A Question
California: Brooks/Cole. of Belonging : Race Social Fit, and
To, S. (2013). Understanding Sheng Nu Achievement. Journal of Personality and
(“Leftover Women”): the Phenomenon of Social Psychology , 92(1). 82-96.
86