Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang adalah salah

satu Universitas yang berada di Malang. Universitas ini adalah universitas yang

terbuka menerima mahasiswa dari mana saja. Peminatnya pun tidak hanya yang

berada di sekitar daerah Malang saja, tetapi hingga keluar daerah Malang. Sebagai

buktinya, banyak terdapat mahasiswa yang berasal dari daerah Bali, Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua. Mereka membawa kebudayaan mereka

masing-masing.

UIN memiliki sebuah Ma’had yang wajib ditinggali oleh mahasiswa baru.

Para mahasiswa baru, tidak peduli berasal dari manapun harus menetap di sana

selama 1 tahun dan berbagi kamar dengan 5-7 orang. Mereka juga tidak dapat

menentukan siapa yang akan menjadi teman satu kamar mereka karena hasil yang

ditentukan tidak bisa diubah-ubah. Sebagai bukti, dalam satu kamar terdapat 8

orang yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Mereka terdiri dari berbagai

macam suku dan memiliki latar belakang kebudayaan yang biasanya berbeda. Ada

yang dari daerah Ponorogo, Lamongan, dan Malang sendiri yang bersuku Jawa.

Daerah Sulawesi Selatan bersuku Bugis, Kalimantan Selatan bersuku Dayak, dan

Madura bersuku Madura.

1
Berkumpulnya mahasiswa yang berbeda latar belakang budaya

mengakibatkan saling terbenturnya budaya-budaya yang mereka bawa. Mulai dari

bahasa, kebiasaan, bahkan adat.

Apakah hal itu juga terjadi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang? Atas

dasar itulah penulis tertarik mengajukan tugas akhir observasi yang berjudul

“Proses Sosial Antara Mahasiswa dari Latar Belakang Budaya di Mabna Ummu

Salamah Tahun 2013”. Timbul pertanyaan apakah dengan berbedanya latar

belakang budaya, benar-benar dapat mempengaruhi proses interaksi sosial dalam

kelompok mereka? Dan apakah dampak yang ditimbulkan oleh berkumpulnya

suku bangsa yang berbeda-beda dalam sebuah kelompok? Apakah hanya

negatifnya saja, atau adapula hal positif yang ditimbulkannya? Hal inilah yang

akan dibahas dalam tugas akhir ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dimunculkanlah rumusan masalah yang

diajukan sebagai berikut:

1. Apakah perbedaan latar belakang budaya mempengaruhi proses interaksi

yang terjadi antar Mahasiswa?

2. Apa dampak yang ditimbulkan akibat adanya perbedaan latar belakang

budaya?

C. Tujuan Observasi

2
Tujuan observasi ini setidak-tidaknya ingin:

1. Mengetahui bahwa perbedaan latar belakang budaya dapat mempengaruhi

atau tidak mempengaruhi proses interaksi yang terjadi antar Mahasantri.

2. Mengetahui apa saja dampak negatif dan positif yang ditimbulkan akibat

adanya perbedaan latar belakang budaya.

BAB II

3
KAJIAN TEORI

A. Budaya

1. Pengertian Budaya

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah lepas dengan yang namanya

kebudayaan. Kebudayaan sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, buddhayah yang

merupakan bentuk jamak dari kata “buddhi” yang berarti budi atau akal.

Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal.”

Banyak para pakar sosiolog memberikan pengertiannya tentang budaya.

Dikutip dari buku Ilmu Budaya Dasar karya Supartono, (2004:31) pengertian

Budaya menurut beberapa ahli di antaranya:

1. Koentjaraningrat

Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan berarti

keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan

belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya.

2. A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn

A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn dalam bukunya Culture, a Critical

Review of Concepts and Definitions (1952) mengatakan bahwa

kebudayaan adalah manifestasi atau penjelmaan kerja jiwa mannusia

dalam arti seluas-luasnya.

3. Malinowski

Malinowski menyebutkan bahwa kebudayaan pada prinsipnya

berdasarkan atas berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap tingkat

4
kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas. Missalnya, guna

memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatannya, maka timbul

kebudayaan yang berupa perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam

bentuk tertentu, seperti lembaga kemasyarakatan.

Menurut Soerjono Soekanto (2012:150) yang mengutip pendapat dari

antropolog bernama E.B Tylor (1871) memberikan definisi sebagai berikut

(terjemahannya): “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-

kemampuanserta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai

anggota masyarakat.”

Jadi, dapat disimpulkan bahwa budaya segala hal yang mencakup kehidupan

manusia. Mulai dari kepercayaan, kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya.

Kebudayaan menjadi cerminan suatu kelompok.

Budaya yang ada, dapat membentuk pola pikir kita. Apabila budaya yang kita

miliki berbeda dengan yang lain, maka cara pandang kita terhadap suatu kejadian

juga berbeda. Hal ini karena budaya mencakup berbagai aspek kehidupan kita.

Budaya yang ada di dunia ini sangat bermacam-macam. Sehingga, mungkin satu

kebiasaan budaya hal yang dianggap normal, justru malah kebalikannya bagi

budaya lain. Ketika budaya-budaya yang berbeda-beda ini bertemu, terjadilah hal

yang disebut culture shock. Seperti dalam buku Kathy S. Stolley yang berjudul

“The Basics of Sociology” (2013:41)

Cultures shapes the way we see the world. It impacts how we


think, how we act, what we value, how we talk, the
organizations we create, the rituals we hold, the laws we make,

5
how and what we worship, what we eat, what we wear, and
what we think of beautiful or ugly.
Cultures vary widely around the world. Readers of this book
familiar with western industrialized cultures. Such ways of life
often seem “normal” and often “better” to readers. However,
other vastly different cultures exist around the world that also
seem “normal” or “better” to their inhabitants. Encountering
these different culture shock, confusion that occurs when
encountering unfamiliar situation and ways of life.

Culture Shock terjadi dikarenakan orang-orang tidak selalu mengharapkan

berbedanya budaya, seperti dikutip dalam buku Introduction to Sociology

(2013:59) “Culture shock may appear because people aren’t always expecting

cultural differences”1

2. Kegunaan Budaya

Culture can also be seen to play a specific function in social life. According

to Griswold, “The sociological analysis of culture begins at the premise that

culture provides orientation, wards off chaos, and directs behaviour toward

certain lines of action and away from others.” (Griswold 2004:24). Griswold

reiterates this point by explaining that, “Groups and society need collective

representations of themselves to inspire sentiments of unity and mutual support,

and culture fulfills this need”. In other words, culture can have a certain

utilitarian function” the maintenance of order as the result of shared

understanding and meanings this understanding of culture is similiar to the

Symbolic Interactionist understanding of society.)2

(Budaya juga bisa dipandang sebagai pemain fungsi spesifik di kehidupan

sosial. Menurut Griswold, “analisis sosiologis budaya dimulai pada alasan bahwa

1
Openstax College, Introduction to Sociology, Texas: 2013, p. 59
2
Exmoron Ryan T, Introduction to Sociology, ... University of Cincinnati:2006, p. 56

6
budaya menyediakan orientasi, kata-kata yang kacau, dan tuntunan kebiasaan

terhadap beberapa garis aksi dan lari dari yang lain.” (Griswold 2004:24)

Griswold mengulangi pernyataannya pada poin ini bahwa, “kelompok dan

masyarakat memerlukan wakil bersama dari diri mereka untuk mengilhami

sentimen dari persatuan dan dukungan yang bermutu, dan budaya melengkapi

keperluan ini.” Dengan kata lain, budaya bisa mempunyai beberapa fungsi yang

bermanfaat” pemeliharaan dari permintaan sebagai hasil dari berbagi pemahaman

dan makna. (pemahaman budaya ini adalah mirip seperti pemahaman Interaksi

Sombolis masyarakat))

B. Keterasingan Sosial

Dalam suatu kelompok yang terdiri dari beberapa suku yang berbeda, ada

kemungkinan terjadinya keterasingan sosial terhadap salah satu etnis yang

minoritas (sedikit anggotanya). Kehidupan yang terasing menunjukkan adanya

kehilangan kontak dan komunikasi dengan orang lain dan kelompok. Ia memang

masih bisa melakukan tindakan, tetapi ia tidak bisa berhubungan dengan orang

lain karena keterbatasan-keterbatasan material dan jarak yang diciptakannya.3

Contohnya, karena berbedanya bahasa, mereka jadi sulit berinteraksi. Ia tak dapat

mengungkapkan pesan, keinginan, dan pendapatnya.

Ada beberapa pengertian tentang kehidupan terasing yang dibuat oleh

Soerjono Soekanto dalam bukunya “Sosiologi, suatu pengantar (1985)” salah

satunya adalah: keterasingan seseorang karena perbedaan kelompok dan identitas

sosial, seperti ras, suku, agama, dan kebudayaan yang tak jarang menimbulkan

3
NURANI SOYOMUKTI, Pengantar Sosiologi, Jogjakarta, 2010, p. 325

7
prasangka-prasangka. Prasangka ini kadang juga memicu terjadinya konflik

sosial. Saat pergi ke suatu tempat secara budaya berbeda, kita sering terasing.

Perbedaan nilai-nilai dan norma yang dipegang juga kadang menimbulkan

keterasingan.4

C. Mobilitas Sosial

Mobilitas sosial (gerak sosial) adalah proses perpindahan dari kedudukan satu

dengan kedudukan lainnya. Masyarakat modern semakin membuka peluang bagi

terjadinya mobilitas sosial dibandingkan masyarakat zaman dulu. Pada

masyarakat kuno dan masih tradisional, mobilitas sangat sulit dilakukan karena

tertutup dan kaku.

Bentuk mobilitas sosial ada 2. Mobilitas vertikal dan horizontal. Namun,

yang akan dibahas di sini hanyalah mobilitas horizontal. Mobilitas sosial

horizontal adalah gerak sosial ketika terjadi peralihan individu atau objek-objek

sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang

tingkatannya sederajat. Tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan

seseorang dalam mobilitas sosialnya yang mendatangkan kehormatan,

penghasilan lebih banyak, atau status sosial yang baru.5 Sebagai contoh, orang

yang awalnya tinggal di daerah luar Jawa, ketika dia pindah tinggal di Jawa, maka

ia akan disebut sebagai orang Jawa. namun, tidak akan mengubah kehormatannya,

penghasilannya, dan sebagainya. Mobilitas sosial membuat lingkungan sosial

budaya setiap orang berubah-ubah sehingga setiap orang seringkali dihadapkan

pada nilai-nilai baru yang mengharuskan setiap orang menyesuaikan diri secara

terus menerus.

4
Ibid, p.327.
5
Nurani Soyomikti, Ibid 394

8
D. Bentuk Interaksi Sosial Asimilasi

Proses Asimilasi terjadi untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang

terdapat antara orang perorang atau kelompok-kelompok manusia dan juga

meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-

proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan

bersama.

Secara singkat, proses asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-

sikap yang sama walau kadangkala bersifat emosional, dengan tujuan untuk

mencapai kesatuan, atau paling sedikit mencapai integrasi dalam organisasi,

pikiran, dan tindakan. Proses asimilasi timbul bila ada:

- Kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya.

- Orang per orang sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara

langsung dan intensif untuk waktu yang lama, dan

- Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut

masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.

Beberapa faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi

adalah:

- Toleransi

- Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi.

- Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya

- Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat.

9
- Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan

Sedangkan, faktor yang menghambat asimilasi adalah:

- Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi

- Terisolasi kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat

- Perasaan takut terhadap kekuatan suatu kebudayaan yang dihadapi

- Perasaan bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok tertentu lebih

tinggi daripada kebudayaan golongan atau kelompok lainnya

- Perbedaan warna kulit atau perbedaan ciri-ciri badaniah

- In-group feeling yang kuat

- Golongan minoritas mengalami gangguan dari golongan yang berkauasa.

- Perbedaan kepentingan dan pertentangan-pertentangan pribadi.

BAB III

LAPORAN OBSERVASI

A. Setting Lingkungan Sosial

Setting lingkungan sosial saat observasi adalah Universitas Islam Negeri

Maulana Malik Ibrahim Malang. Universitas ini memiliki sebuah Ma’had

bernama Sunan Ampel Al-Aly yang wajib ditinggali oleh mahasiswa baru selama

satu tahun. Pada tahun 2013, ketika dilakukannya observasi ini Ma’had tersebut

menampung sebanyak 3010 mahasiswa.

Di Ma’had tersebut, terdapat 9 buah mabna. 4 buah mabna putri dan 5 buah

mabna putra. Para mahasiswa tidak tinggal sendiri. Mereka harus berbagi dengan

10
5-7 orang dalam satu kamar. Dalam satu kamar, mereka tidak bisa menentukan

siapa yang akan menjadi teman kamar mereka. Mereka tidak bisa menentukan

asal tempat tinggal teman satu kamar mereka. Namun, konsentrasi observasi yang

dilakukan ini hanya dibatasi pada Mahasiswa putri yang berasal dari daerah luar

Jawa yang tinggal di Mabna Ummu Salamah.

Mahasiswa yang tinggal di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly tidak hanya berasal

dari daerah Jawa saja, tetapi berasal dari berbagai daerah lain. Masing-masing

daerah membawa suku bangsa dan kebudayaannya sendiri. Sebagai contoh dari

Kalimantan (Suku Dayak), Papua (suku Dani), Sulawesi (suku Bugis, suku Kaili),

Madura (suku Madura) dan sebagainya. Bahkan, tidak hanya dari Indonesia, tapi

ada juga yang dari luar Indonesia. Sebagai contoh dari Sudan, Jerman, Afrika, dan

sebagainya.

B. Gambaran Latar Belakang Kehidupan Subjek

Subjek yang diamati adalah beberapa Mahasiswa baru putri UIN Maulana

Malik Ibrahim Malang yang tinggal di Mabna Ummu Salamah. Mereka berasal

dari daerah yang berbeda-beda dari luar Jawa. Subjek pertama bernama Utari. Dia

berasal dari Sorong, Papua Barat. Dia sama sekali tidak mengetahui budaya Jawa.

Teman satu kamarnya adalah mahasiswa dari daerah Madura, Kediri,

Tulungagung, Medan, Malang, Sidoarjo, Bojonegoro.

Sedangkan pada subjek ke dua bernama Anisa. Dia berasal dari Pelaihari,

Kalimantan Selatan. Dia sedikit mengerti bahasa Jawa karena orang tuanya adalah

orang Jawa. Teman satu kamarnya adalah mahasiswa yang berasal dari daerah

Madura, Lamongan, Mojokerto, Ponorogo, Sulawesi, dan Malang.

11
Pada subjek ke tiga bernama Dewi. Dia mahasiswa dari daerah Bali. Dia

sama sekali tidak mengetahui budaya Jawa. Teman satu kamarnya berasal dari

Madura, Bojonegoro, Jambi, Bali, Sidoarjo, dan Lawang.

Pada subjek ke empat bernama Yuyu. Dia mahasiswa berasal dari Makassar,

Sulawesi Selatan. Dia sama sekali tidak mengetahui budaya Jawa. Teman satu

kamarnya berasal dari Sampit, Kediri, Mojokerto, Malang, dan Turen.

C. Gambaran Tentang Realitas Sosial yang Terjadi

Selama melakukan pengamatan, gambaran yang terjadi adalah, dalam satu

kamar mahasiswa yang bersuku bangsa Jawa lebih banyak dibandingkan

mahasiswa yang bersuku bangsa bukan Jawa.

Pada Subjek pertama: ketika Utari dan teman sekamarnya sedang berkumpul,

teman satu kamarnya lebih sering menggunakan bahasa Jawa ketika berbicara.

Dia hanya diam mendengarkan dan tidak memberi respon apa-apa. Dia sering

menanyakan apa arti dari yang teman-temannya bicarakan.

Pada subjek ke dua: Anisa diminta tolong teman kamarnya yang berasal dari

Malang untuk membelikan dia makanan. Temannya memesan lauk bakwan.

Ketika Anisa kembali dan menyerahkan makanan pesanan, temannya protes

karena yang dibelikan tidak sesuai dengan pesanan. Rupanya, Anisa salah

pengertian. Yang dimaksud bakwan adalah jagung yang dihaluskan kemudian

digoreng bersama bumbu-bumbu lain. Sedangkan menurut Anisa, bakwan adalah

campuran adonan tepung dengan potongan wortel dan kubis. Di lain waktu,

Anisa bersama teman satu kamarnya dari Sulawesi ingin makan nasi kuning.

12
Namun, setelah berkeliling di sekitar UIN, mereka tidak menemukan penjual nasi

kuning.

Pada subjek ke tiga: ketika itu teman kamar Dewi mengajak untuk makan

rujak. Bumbu rujak yang digunakan memiliki aroma ikan. Sedangkan dia

biasanya menggunakan gula sebagai bumbu rujak. Ketika mencicipi, Dewi tidak

menyukai rasanya. Tapi, lama-lama Dewi menyukainya. Kejadian lainnya, karena

Bali mayoritas agamanya adalah Hindu sedangkan Jawa mayoritas Islam, maka

Dewi sempat merasa agak canggung ketika temannya di Jawa lebih banyak yang

memakai kerudung. Sedangkan di Bali, banyak temannya yang tidak memakai

kerudung. Untuk hal makanan, ketika di Bali dia harus memilih-milih makanan.

Akan tetapi, di Malang dia tidak terlalu memikikan apakah ini halal atau haram.

Pada subjek ke empat: ketika itu, Yuyu melontarkan sebuah kata dengan

sengaja dalam bahasa Jawa. Teman-teman sekamarnya langsung menegur dengan

agak keras. Dia bingung kenapa dia ditegur. Rupanya, dia tidak tahu bahwa kata

yang diucapkannya adalah kata yang artinya sangat kasar dalam bahasa Jawa.

Kemudian di lain hari, dia bercerita dengan menggebu-gebu kepada teman

sekamarnya kemudian tertawa keras. Dia pun ditegur oleh temannya karena

dianggap kurang sopan.

D. Bentuk-bentuk Permasalahan Sosial

Bentuk permasalahan sosial yang terjadi adalah ketika di kamar lebih banyak

mahasiswa yang berasal dari Jawa, maka mahasiswa yang berasal dari luar pulau

Jawa mengalami kecanggungan. Mereka menjadi suku yang minoritas dan

merekalah yang harus beradaptasi. Mereka juga kesulitan membaur dikarenakan

13
berbedanya bahasa yang digunakan. Makanan juga menjadi salah satu masalah

yang terjadi pada mahasiswa yang berasal dari luar daerah Jawa. Selain itu,

Berbedanya karakter juga menjadi masalah.

E. Penyebab Munculnya Masalah Sosial

Penyebab munculnya masalah sosial yang disebutkan di atas adalah karena

berkumpulnya para mahasiswa yang berasal dari berbagai macam daerah yang

memiliki suku-suku tersendiri dalam satu tempat. Sehingga, mengharuskan

mereka saling berinteraksi satu sama lain. Sedangkan agak sulit untuk saling

memahami perbedaan antar budaya. Dibutuhkan waktu untuk saling

menyesuaikan diri satu sama lain.

F. Dampak Riil Masalah Sosial dalam Kehidupan Sosial Masyarakat

Akibat dari masalah tersebut bagi mahasiswa yang termasuk suku minoritas,

susah berinteraksi. Mereka merasa bingung bagaimana cara mengungkapkan

pendapat agar temannya mengerti. Sedangkan temannya juga bingung bagaimana

cara menyampaikan sesuatu yang dimaksud. Mereka juga merasa takut karena

tidak tahu kebudayaan temannya, ketika ingin belajar justru dibohongi. Dampak

lainnya adalah, karena beberapa suku memiliki perbedaan karakter, hal ini

memicu konflik jika tidak saling pengertian. Sehingga terkadang tidak sejalan.

14
BAB IV

ANALISA, PEMBAHASAN, DAN SOLUSI

A. ANALISA

Dari observasi yang telah dilakukan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,

tepatnya di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly bahwa dalam sebuah kamar lebih

banyak yang berasal dari daerah Jawa (budaya Jawa) daripada yang berasal dari

luar Jawa. Hal ini sedikit mengakibatkan keterasingan sosial terhadap budaya

yang minoritas. Pada awalnya mereka mengaku kesulitan dalam berinteraksi

dengan teman satu kamar mereka. Hal ini mengakibatkan terjadinya sedikit

kecanggungan pada awal mereka berkumpul.

Hal yang menjadi masalah terbesar mereka dalam berinteraksi dengan teman

satu kamar mereka adalah berbedanya bahasa yang digunakan. Mereka susah

untuk mengungkapkan apa yang ingin mereka katakan dan kesulitan untuk

memahami apa yang ingin diungkapkan oleh teman mereka. Hal ini dikarenakan

ada beberepa bahasa daerah yang tidak diketahui terjemah bahasa Indonesianya.

Ada pula yang kata-katanya sama, namun maknanya berbeda di setiap daerah.

Namun, seiring berjalannya waktu, mahasiswa yang berasal dari luar Jawa

mulai sedikit demi sedikit mempelajari bahasa Jawa. Serta, tidak jarang juga

mahasiswa yang berasal dari daerah Jawa mempelajari bahasa yang dimiliki oleh

15
mahasiswa yang berasal dari luar Jawa. Sehingga, lama kelamaan mereka tidak

merasa canggung lagi antar teman satu kamar.

Selain itu, kebiasaan yang ada di kamar mereka yang mendominasi adalah

kebiasaan-kebiasaan Jawa. Bagi mereka yang bukan berasal dari Jawa, hal itu

sedikit mengherankan. Namun, lama kelamaan mereka terbiasa, bahkan

mengikutinya.

Kemudian, karakter yang dibawa oleh budaya masing-masing. Kebanyakan

orang Jawa, mereka berbicara dengan lembut dan sopan. Sedangkan orang

Sulawesi terkesan lebih keras dan lebih blak-blakan. Sehingga bila tidak ada

saling pengertian, akan menimbulkan konflik.

Makanan pun tak luput dari perbedaan budaya. Makanan khas daerah mereka

sulit ditemukan di Jawa. sehingga, mereka tidak bisa memuaskan keinginan

makan makanan daerah mereka.

Namun, Hal tersebut di atas tidak terlalu menjadikan mahasiswa yang

berasal dari luar daerah Jawa kesulitan untuk berinteraksi dengan teman mereka.

Seiring berjalannya waktu, mereka bisa saling menyesuaikan diri. Berbedanya

latar belakang budaya juga tidak menyebabkan terjadinya konflik yang berarti

dalam kelompok mereka. Justru kelompok mereka menjadi lebih erat.

B. PEMBAHASAN

16
Budaya mencakup segala hal yang diciptakan manusia dan dimiliki manusia

selama hidup bersama. Budaya termasuk tentang bahasa, adat istiadat, kebiasaan,

perilaku, dan sebagainya. Budaya juga membentuk cara kita memandang dunia.

Apabila budaya yang kita anut berbeda, maka cara pandang kita tentang suatu

kejadian juga berbeda. hal inilah yang mengakibatkan Cuture shock. Culture

shock adalah kebingungan yang terjadi akibat dari bertemunya budaya-budaya

yang berbeda dan dianggap asing oleh pemilik budaya masing-masing.

Dalam suatu kelompok yang terdiri dari beberapa suku yang berbeda, ada

kemungkinan terjadinya keterasingan sosial terhadap salah satu etnis yang

minoritas (sedikit anggotanya). Kehidupan yang terasing menunjukkan adanya

kehilangan kontak dan komunikasi dengan orang lain dan kelompok. Ia memang

masih bisa melakukan tindakan, tetapi ia tidak bisa berhubungan dengan orang

lain karena keterbatasan-keterbatasan material dan jarak yang diciptakannya. Hal

itulah yang pertama kali terjadi ketika para mahasiswa baru bertemu dengan

teman yang berasal dari berbagai daerah.

C. SOLUSI

Agar tidak terjadi hal seperti ini, maka sebagai Universitas yang diminati dari

berbagai kalangan, sudah sewajarnya para mahasiswa yang berasal dari berbagai

macam daerah harus saling mentoleransi daerah yang ada di sekitar mereka dan

melakukan proses asimilasi. Proses Asimilasi terjadi untuk mengurangi

perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorang atau kelompok-

kelompok manusia dan juga usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak,

sikap, dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan

17
dan tujuan-tujuan bersama hal itulah yang seharusnya dilakukan untuk

mempersatukan budaya yang berbeda-beda tersebut. Mereka sebaiknya

menghargai setiap kebudayaan daerah teman mereka. Tidak ada budaya yang

jelek. Kita dapat saling berbagi dan memberi pengertian tentang budaya masing-

masing.

Segala hal itu tidak hanya memiliki dampak negatifnya saja. Akan tetapi

memiliki hal positifnya juga. Begitu juga dengan berkumpulnya budaya-budaya

yang berbeda. Dengan berkumpulnya budaya-budaya yang berbeda, kita dapat

mengetahui budaya orang lain. Kita dapat menambah wawasan tentang budaya-

budaya yang ada di Indonesia. Hal ini dapat pula membuktikan kebesaran Allah

SWT yang telah menciptakan manusia dengan sempurna. Maka, hal ini perlu

dipertahankan karena sangat bermanfaat.

BAB V

KESIMPULAN

18
Dari pembahasan bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa, berbedanya latar

belakang budaya sangat berpengaruh terhadap proses interaksi antara mahasiswa.

Hal yang paling berpengaruh dalam hal ini adalah bahasa. Selain itu, karakter

bawaan dan kebiasaan daerah masing-masing juga sedikit banyak mempengaruhi

interaksi.

Dampak negatif yang ditimbulkan akibat berkumpulnya budaya-budaya yang

berbeda di antaranya, adanya rasa bingung dan asing karena berinteraksi dengan

budaya yang berbeda-beda, terjadinya salah paham akibat berbedanya kebiasaan

yang dilakukan setiap daerah dan bahasa yang digunakan. Selain negatif, terdapat

pula dampak positifnya, yaitu melatih rasa toleransi antar sesama, menambah

wawasan tentang budaya-budaya yang ada di Indonesia, dan sebagai bukti tanda

kebesaran Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Cragun, Exmoron Ryan T. 2006. Introduction to Sociology.

OpenStax. 2012. Introduction to Sociology. Texas: OpenStax Collenge.

19
Soyomukti, Nurani. 2010. Pengantar Sosiologi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Stolley, Kathy S. 2005. The Basics of Sociology. USA: Green Wood Press.

Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

W, Supartono. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Bogor:Ghalia Indonesia.

20

Anda mungkin juga menyukai