Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG PENDIDIKAN MADRASAH DAN


MADRASAH DINIYAH

Dosen Pengampu :
Dr. Ibnu Hasan, M.S.I

Disusun Oleh :
Kelompok 3
1. Fitri Iffa Nur Rahma (2006010010)
2. Amora Derit Prafika (2006010037)
3. Hasnah Miladiyyata R (2006010045)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih dan maha penyayang. Kami
panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya
kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini tentang “Kebijakan Pemerintah
Dalam Bidang Pendidikan Madrasah dan Madrasah Diniyah“

Kami selaku penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ibnu
Hasan, M.S.I , selaku dosen mata kuliah kapita selekta pendidikan Islam .Tidak lupa bagi pihak-
pihak lain yang telah mendukung penulisan makalah ini kami juga mengucapkan terima kasih.

Terakhir, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu
kami membutuhkan kritik dan saran yang bisa membangun kemampuan kami, agar kedepannya
bisa menulis makalah dengan lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para
pembaca, dan bagi kami sebagai penulis.

Purwokerto , 7 September 2021

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan madrasah di Indonesia di latar belakangi oleh respon pendidikan
Islam terhadap sistem persekolahan yang diterapkan pemerintahan Hindia Belanda dalam
rangka politik etisnya dan merupakan bagian dari Gerakan pembaharuan Islam di
Indonesia. Madrasah di Indonesia sudah ada di awal abad ke 20 ditandai dengan
berdirinya Madrasah Adabiyah di Padang, yang didirikan Syekh Abdullah Akhmad tahun
1909. Sejak itu bermunculan madrasah yang didirikan tokoh-tokoh Islam dan Organisiasi
Islam. Madrasah mengalami masa pasang surut terutama dalam hal pengakuan
pemerintah. Pada masa penjajahan Belanda, Madrasah mendapat tekanan, sedangkan
pada masa pemerintahan penjajahan Jepang, madrasah mendapat bantuan dana. Setelah
Indonesia merdeka, walaupun madrasah merupakan sistem pendidikan yang sudah
berjalan dimasyarakat tapi belum menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Madrasah baru mendapatkan status disamakan setingkat dengan sekolah umum diawali
dengan terbitnya SKB tiga menteri tanggal 24 Maret 1979. Pengakuan madrasah sebagai
bagian dari sistem Pendidikan nasional dengan dikeluarkannya UU. Sisdiknas No. 2
tahun 1989.
Maka dari itu, peran pemerintah dalam pembuatan kebijakan dalam bidang
pendidikan madrasah dan madrasah diniyah tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, kami
menyusun makalah ini untuk meninjau kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai
pendidikan madrasah.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Madrasah.
2. Kebijakan Pemerintah dalam Pendidikan Madrasah.
3. Pengertian Madrasah Diniyah.
4. Kebijakan Pemerintah dalam Pendidikan Madrasah Diniyah.

C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Madrasah dan Madrasah Diniyah.
2. Mengetahui kebijakan dan sistem Madrasah di Indonesia.
3. Menambah pengetahuan baru bagi pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab adalah bentuk kata keterangan tempat (zharaf makan)
dari kata darasa. Secara harfiah madrasah diartikan sebagai tempat belajar para pelajar atau
tempat untuk memberikan pelajaran. Eksistensi madrasah dalam pendidikan Islam di
Indonesia dimulai sekitar awal abad 20. Madrasah di Indonesia bisa dianggap sebagai
perkembangan lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren atau surau.
Pertumbuhan madrasah merupakan respon pendidikan Islam terhadap sistem sekolah yang
menjadi kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam taktik politik etisnya.

B. Kebijakan Pemerintah dalam Pendidikan Madrasah


Dari sekian madrasah yang lahir di abad 20 hampir di seluruh wilayah Indonesia pada
awalnya masih bersifat diniyah semata-mata. Sekitar tahun 1930 dilakukan pembaharuan
terhadap madrasah dalam rangka memantapkan keberadaannya, khususnya dengan
penambahan ilmu pengetahuan umum. Hal ini dapat dilihat dari struktur mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah. Pada rencana pelajaran Madrasah Tsanawiyah tahun 1931 maka
struktur jumlah jam mata pelajaran terdiri pelajaran agama 18 jam/minggu (62,07%) dan
mata pelajaran umum 11 jam/minggu (37,03%). Mata pelajaran agama terdiri dari Tafsir,
Hadist/Mustalah, Tauhid, Fikh/Hikmah Tasyri, Ushul Fiqh, Sejarah Islam dan Bahasa Arab.
Sedangkan mata pelajaran umum terdiri: Ilmu Bumi/Falak, Ilmu Alam, Ilmu Tumbuh-
Tumbuhan, Ilmu Hewan, Ilmu Tubuh Manusia, Ilmu Berhitung, Bahasa Inggris, dan Gerak
Badan. Untuk rencana pelajaran Madrasah Ibtidaiyah tahun 1936 terdiri 15 jam mata
pelajaran agama (44,12%) dan 19 jam mata pelajaran umum (55,15%). Mata pelajaran agama
terdiri: Qur’an, Tauhid, Fiqh/Ushul Fiqh, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Sedangkan untuk
mata pelajaran umum terdiri: Bahasa Indonesia, Berhitung, Ilmu Bumi, Sejarah, Ilmu Alam,
Menulis Arab Latin, Menggambar, Pergerakan Badan dan Pekerjaan Tangan.
Pada awalnya perkembangan madrasah merupakan perkembangan pendidikan yang
mandiri, tanpa bimbingan dan bantuan pemerintahan kolonial Belanda. Bahkan kebijakan
pemerintahan Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam termasuk terhadap madrasah
bersifat menekan, karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar.
Salah satu kebijakan Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam adalah penerbitan
Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari
pemerintah. Tidak tiap orang, meskipun ahli ilmu agama, dapat mengajar di lembaga
pendidikan. Latar belakang Ordonansi guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan
sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak memicu perlawanan rakyat terhadap
penjajah.
Pada masa pemerintahan penjajahan Jepang, madrasah mendapat bantuan dana. Hal ini
dimaksudkan untuk memperoleh dukungan dari ummat Islam. Bahkan Jepang membiarkan
kembali dibukanya madrasah-madrasah yang pernah ditutup pemerintah Hindia Belanda.
Untuk mengamankan kepentingan Jepang, maka pemerintahan penjajah Jepang lebih banyak
mengangkat kalangan priyayi dalam jabatan di Kantor Urusan Agama. Kantor Urusan
Agama bertugas antara lain mengkoordinasikan pertemuan dan pembinaan guru-guru agama.
Meskipun dengan alasan pembinaan kecakapan, tetapi usaha ini pada dasarnya bertujuan agar
pelaksanaan pendidikan Islam baik di madrasah ataupun di pesantren tetap dalam kontrol
pemerintah.
Setelah Indonesia merdeka, perkembangan madrasah berjalan lebih baik. Pemerintahan
Republik Indonesia memberikan perhatian kepada madrasah sabagai modal sumber
pendidikan nasional yang berdasarkan UUD 1945. BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat ) sebagai Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan pada masa itu
merumuskan pokok-pokok usaha pendidikan yang menetapkan bahwa: madrasah dan
pesantren yang pada hakekatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan
rakyat jelata yang sudah berurat dan berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya,
hendaknya mendapat perhatian dan bantuan yang berupa tuntunan dan bantuan materiil dari
pemerintahan.
Dalam rangka pengaturan kegiatan pendidikan di madrasah maka pemerintah dalam hal
ini Departeman Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946, tanggal
19 Desember 1946 yang menetapkan bahwa madrasah adalah tiap-tiap tempat yang
mengajarkan ilmu pengetahuan agama sebagai pokok pengajarannya dan beberapa mata
pelajaran umum yang juga wajib diajarkan oleh madrasah. Adapun mata pelajaran yang
dimaksud adalah: Bahasa Indonesia, berhitung, dan membaca serta menulis dengan huruf-
huruf lain di madrasah tingkat rendah ditambah dengan Ilmu Bumi, Sejarah, Kesehatan,
Tumbuh-Tumbuhan dan Ilmu Alam di madrasah lanjutan.

Peraturan tersebut kemudian disempurnakan dengan peraturan Menteri Agama RI


Nomor 7 Tahun 1952 yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Dalam peraturan
tersebut dinyatakan bahwa jenjang pendidikan madrasah adalah:

1. Madrasah rendah (sekarang dikenal dengan Madrasah Ibtidaiyah), dengan masa


belajar 6 tahun.
2. Madrasah lanjutan tingkat pertama (sekarang Tsanawiyah), lama belajar 3 tahun.
3. Madrasah lanjutan atas (sekarang Madrasah Aliyah), lama belajar 3 tahun.

Berbagai kebijakan pemerintah berikutnya mulai dari mengatur madrasah seperti


termuat dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran Nomer 4 tahun 1950,
melaksanakan Madrasah Wajib Belajar tahun 1957/1958, membuat SKB Tiga Menteri tahun
1979, kesemuanya adalah dimaksudkan membina madrasah agar pendidikan di Madrasah
setara dengan pendidikan di Sekolah Umum. Walaupun demikian eksistensi madrasah
secara tegas (tetapi tidak disebut secara eksplisit) diakui menjadi bagian dari sistem
pendidikan Nasional setelah dikeluarkannya UUSPN No. 2 tahun 1989. Pengakuan
pemerintah RI terhadap madrasah sebagai bagian dari system pendidikan nasional baru
benar-benar dinyatakan secara eksplisit adalah pada UUSP No. 20 tahun 2003. Akibat dari
usaha menyetarakan pendidikan madrasah dengan pendidikan umum berakibat pada
mengecilnya porsi waktu untuk mengajarkan mata pelajaran agama di madrasah.

C. Pengertian Madrasah Diniyah


Madrasah diniyah merupakan lembaga pendidikan non-formal yang berfokus pada
pendalaman pendidikan keagamaan yang diselenggarakan baik terorganisir secara klasikal,
rombongan belajar, maupun dalam bentuk pengajian anak, majelis taklim, kursus, agama
atau sejenisnya. Menurut Daulay sebelum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional diterbitkan, madrasah diniyah hanya dikenal sebagai madrasah
saja. Selanjutnya peran madrasah diniyah kala itu hanya sebagai pelengkap dan penambah
pendidikan keagamaan bagi anak-anak yang menempuh pendidikan umum pada pagi hari
hingga siang hari, yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan keagamaan di madrasah
diniyah pada sore hari.

D. Kebijakan Pemerintah dalam Pendidikan Madrasah Diniyah


Kebijakan pemerintah dalam pendidikan madrasah diniyah salah satu yang paling
terkenal yakni program wajib belajar Madrasah Diniyah telah ditetapkan dalam peraturan
pemerintah ataupun peraturan bupati. Dalam penerapan madrasah diniyah tidak bersifat
wajib bagi setiap kota atau kabupaten untuk menerapkannya dan hanya sebagian
pemerintahan saja yang sudah mulai menetapkan peraturan Madrasah Diniyah diterapkan di
sekolah-sekolah yang mana itu sekolah formal maupun non formal.
Jika ditinjau kembali latar belakang kemunculan kebijakan program wajib belajar ini,
karena ada kebutuhan sosial oleh masyarakat akan pendidikan agama. Kemunculan
kebijakan pendidikan ini didasarkan adanya kebutuhan sosial masyarakat, sehingga
walaupun yang menetapkan kebijakan adalah pemerintah  berwenang, substansi penetapan
kebijakan ini didasarkan pada pemebuhan kebutuhan masyarakat. Dengan begitu
perencanaan dan pembuatan kebijakan pendidikan program wajib belajar madrasah diniyah
ini dilakukan dengan pendekatan kebutuhan sosial (social demand approach). Pendekatan
kebutuhan sosial seperti telah dijelaskan merupakan  bentuk pendekatan yang berorientasi
pada pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat, jadi walaupun pembuatan kebijakan
dilakukan oleh pemerintah yang berwenang pembuatan kebijakan tetap didasarkan pada
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial masyarakat.
Diterapkannya Madrasah Diniyah di sebagian kota juga didasarkan pada keputusan-
keputusan pemerintah yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada bagian kesatu paragraph 1
pasal 15 tentang Pendidikan diniyah formal yaitu menyelenggarakan  pendidikan ilmu
pengetahuan yang bersumber dari ajaran agama islam dari jenjang  pendidikan anak usia
dini, pendidikan sekolah dasar sampai pendidikan sekolah menengah dan pendidikan
sekolah tinggi. Dan pada pasal 21 tentang Pendidikan Diniyah nonformal diselenggarakan
dalam bentuk pengajian kitab, majelis taklim, pendidikan Al-Qur’an, Diniyah Takmiliyah,
pendidikan diniyah nonformal ini wajib mendapatkan izin dari kanntor Departemen Agama
Kabupaten/Kota setelah terpenuhinya persyaratan pendirian dalam satauan pendidikan.
Madrasah diniyah menjadi salah satu satuan pendidikan keagamaan diluar sekolah yang
menerapkan pendidikan ilmu agama islam dengan baik yang terorganisir secara klasikal,
kelompok belajar maupun dalam bentuk pengajian, majelis taklim maupun kursus agama.
Dari penetapan peraturan-peraturan diatas telah ditetapkan dalam Peraturan Perundang-
Undangan yang mana sebagai landasan utama dalam pembentukan pendidikan diniyah yang
telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang menetapkan bahwa Pendidikan Diniyah merupakan salah satu dari lembaga
pendidikan yang memberikan pendidikan kepada peserta didik dalam bidang keagamaan.
Kebijakan pendidikan wajib belajar madrasah diniyah pada dasarnya dilandasi Undang-
Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan  Nasional, yang selanjutnya diatur
lebih detail pada daerah masing-masing melalui Peraturan Daerah maupun Peraturan Bupati.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Madrasah merupakan ruang belajar yang sudah mengakar dari budaya Indonesia.
Perkembangan madrasah dari abad ke-20 sampai sekarang mengalami banyak
perubahan. Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan madrasah mengambil
banyak tindakan pada perubahan tersebut. Dengan ditetapkan kebijakan-kebijakan yang
dilandasi oleh undang-undang. Sedangkan untuk madrasah diniyah ditetapkan kebijakan
pendidikan wajib belajar madrasah diniyah, yang beberapa daerah di Indonesia sudah
melaksanakannya.

B. Saran
Pemerintah telah memberikan perhatian pada pendidikan madrasah dan madrasah
diniyah. Diperlihatkan dengan bentuk kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. Namun, ada
kebijakan yang perlu ditelaah kembali. Seperti, UUSP No. 20 tahun 2003. Dari
peraturan tersebut berakibat pada mengecilnya porsi waktu untuk mengajarkan mata
pelajaran agama di madrasah. Diharapkan pemerintah perlu meninjau ulang kembali dan
menetapkan peraturan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan madrasah dan
madrasah diniyah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mizani, Hilmi. (2013). PENDIDIKAN MADRASAH (Kebijakan dan Sistem
Madrasah di Indonesia). Tarbiyah Islamiyah: Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama
Islam, 3(2).

Anda mungkin juga menyukai