Anda di halaman 1dari 20

SASTRA ANAK DAN PENDIDIKAN KARAKTER

1. PENGANTAR

Fungsi pendidikan yang utama adalah mengantarkan peserta didik menuju kedewasaan sebagai manusia
yang utuh dan yang berkepribadian. Hakikat manusia yang utuh dapat dipandang sebagai adanya
keselarasan perkembangan dan kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Manusia yang berkepribadian
adalah manusia yang memiliki sikap dan perilaku yang baik sesuai dengan pandangan hidup masyarakat
(dan bangsa sebagai warga negara) tempat seseorang hidup bermasyarakat. Pandangan hidup (flosofis)
dapat dimaknai sebagai pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tidak pantas,
dan lainlain yang sejenis suatu masyarakat. Seseorang yang menampilkan sikap dan perilakunya yang
sesuai dengan pandangan masyarakat berdasarkan nuraninya dapat disebut sebagai orang yang
berkepribadian. Atau, kini disebut sebagai orang yang berkarakter.

Penyebutan seseorang sebagai berkepribadian atau berkarakter menunjuk pada sesuatu yang baik,
sesuatu yang diharapkan dan diidealkan terwujud.Pendidikan di sekolah memunyai fungsi untuk
mewujudkan harapan dan idealisme itu. Dengan kata lain, salah satu fungsi pendidikan adalah untuk
menjadikan seorang peserta didik menjadi orang yang berkarakter. Namun, pada kenyataannya fungsi
itu sering tidak mudah dilakukan. Apalagi ada banyak variabel lain yang terdapat dan terjadi di luar
sekolah yang memengaruhi perjalanan seorang bocah peserta didik menuju kedewasaannya. Sebagai
contoh kasus ditunjukkan berikut. Tidak jarang di hadapan kita tersaji berita carut-marutnya kehidupan

berbangsa ini, baik lewat pemberitaan televisi, internet dengan berbagai turunannya, surat kabar,
maupun media massa yang lain, kita mungkin setuju bahwa keadaan itu semua lebih disebabkan oleh
kurang mengenanıya pendidikan karakter anak bangsa. Lembaga pendidikan yang semestinya berada di
ujung tombak selaku penjaga ketangguhan karakter, bahkan tidak jarang menampilkan sosok yang lebih
mencerminkan kurangnya status berkarakter itu. Bocornya soal ujian nasional di berbagai pelosok tanah
air, usaha guru dan peserta didik untuk menempuh segala cara asal lulus, tawuran antarpelajar,
berbagai kasus asusila yang melibatkan sivitas akademika sekolah, kasus plagiat yang terjadi di mana-
mana, dan berbagai kasus lainnya seolah-olah memperkuat dugaan tersebut. Belum lagi berbagai kasus
yang kini menimpa para pelaku kerah putih seperti kejahatan makelar kasus perpajakan, perbankan, dan
peradilan

Masalah pendidikan karakter adalah masalah universal. Setiap bangsa dan negara pasti berusaha
menanam, memupuk, dan mengembangkan pendidikan karakter sebaik mungkin untuk anak bangsanya.
Jadi, masalah-masalah kurang baik yang terkait dengan karakter tersebut tidak hanya dialami oleh
bangsa Indonesia, melainkan juga bangsa-bangsa lain di dunia.Hanya saja belum tentu ada keseragaman
tentang pandangan bagaimana karakter yang baik yang diidealkan karena hal itu juga tidak lepas dari
pandangan flosofis suatu bangsa. Hal itu juga akan terkait dengan masalah pandangan moral,
pandangan tentang baik dan buruk, tentang benar dan salah, pantas dan tidak pantas yang juga belum
tentu sama di antara berbagai bangsa. Pandangan tentang moral merupakan pondasi yang penting bagi
pembentukan karakter. Namun, untuk memperoleh sebutan sebagai orang berkarakter sebenarnya
lebih dari sekadar bermoral karena sebutan menjadi berkarakter memiliki tuntutan dan makna yang
lebih tinggi (Nurgiyantoro, 2010:26). Proses pembelajaran di sekolah melibatkan banyak input yang
sama-sama

penting. Beberapa faktor input itu adalah bahan dan strategi. Para pendidik pasti sependapat bahwa ada
banyak bahan dan strategi yang dapat dikreasikan untuk mendidik, memupuk dan mengembangkan,
serta membentuk karakter peserta didik. Strategi yang dimaksudkan adalah proses dan strategi
pembelajaran,sedang bahan adalah bahan ajar (baca: mata pelajaran, pokok bahasan,berbagai macam
bacaan) yang dapat dimuat usaha pendidikan karakter. Perlu ditegaskan bahwa pendidikan karakter
dalam usaha pembentukan karakter tidak dibelajarkan secara mandiri sebagai sebuah bahan ajar
sebagaimana halnya mata-mata pelajaran yang lain, melainkan termuat dan dintegrasikan ke dalam
pembelajaran berbagai mata pelajaran lain tersebut baik dalam proses dan strategi permbelajaran
maupun, jika dimungkinkan, juga inklusif dalam bahan ajar. Jadi, ia dapat masuk dalam pembelajaran
agama, kesenian, bahasa dan sastra, ilmu pengetahuan sosial, matermatika, dan lain-lain.

A. HAKIKAT PENDIDIKAN KARAKTER

Ada banyak literatur yang berbicara tentang pendidikan karakter baik yang berupa buku maupun artikel
hasil penelitian. Pada intinya, pendidikan karakter kini semakin disadari pentingnya pada dunia
pendidikan untuk mengembangkan peserta didik menjadi manusia yang berkarakter dan berbudaya
yang menjadikan moral sebagai bagian prinsip hidup. Karakter anak bangsa yang baik menjadi jaminan
bagi keberlangsungan hidup bukan saja untuk kepentingan individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi
bangsa tempat para individu bernaung. Bangsa yang besar adalah bangsa yang berhasil menanam,
menumbuh, dan mengermbangkan nilai-nilai karakter yang diyakini kebenarannya kepada anak bangsa
sehingga ada jamminan kelangsungan hidup bangsa itu. Pendidikan karakter adalah masalah seluruh
bangsa di dunia.

Kita dapat mengambil contoh pendidikan di Jepang yang menempatkan budaya tradisional sebagai
sumber nilai moral yang penting, menempatkan nilai-nilai dan moral sebagai inti kegiatan pendidikan
sesuai dengan pandangan hidup bangsa Jepang yang antara lain menempatkan pentingnya nilai displin,
kerja, lingkungan hidup, dan nilai-nilai tradisional. Pendidikan moral harus diberlakukan sebagai unsur
inti darí berbagai aktivitas pendidikan yang diselenggarakan di sekolah. Pendidikan karakter menjadi
fokus utama dan ditetapkan secara eksklusif menjadi bagian penting dalam pendidikan pada anak usia
sekolah antara 6-15 tahun (Nakayama, 2015:39). Pembentukan Karakter. Pendidikan di Indonesia
mestilah melihat berbagai negara lain dalam mengimplementasikan pendidikan karakter seperti di
Jepang. Pendidikan karakter bahkan juga dapat dimaknai sebagai usaha pembangunan karakter
(character building) bangsa, maka hal itu mesti didahulukan. Hal itu sudah disadari dan dikemukakan
oleh Bung Kamo waktu itu. Permbangunan karakter itulah yang akan membuat Indonesia menjadi
negara yang bermartabat. Kalau tidak dilakukan pembangunan karakter maka bangsa Indonesia akan
menjadi bangsa kuli. Dalam perspektif filosofis, Sathya this sin is the basis for misery in the world, the
essence of education is to recognize truth. Let your secular education go hand in hand with spiritual
education.Sai (Manulang, 2013:2) mengemukakan bahwa: Education without character,

Dengan demikian, pendidikan karakter yang notabene juga terkandung tujuan pembangunan karakter
mesti menjadi fokus perhatian terutama di dunia pendidikan. Pendidikan haruslah menjadi bagian
integral dalam proses pembelajaran yang dilakukan secara sadar dan terencana. Hal itu juga dikatakan
oleh Davison & Lewis (2005:239), yaitu bahwa character education is a specific approach to morals and
values education which is consistently linked with citizenship education. Pendidikan karakter tidak lain

adalah pendekatan yang spesifik untuk pendidikan moral dan hal itu secara konsisten mesti terkait
dengan fungsi sosial. Pendidikan karakter haruslah mampu memotivasi peserta didik untuk berperilaku
atas dasar prinsip moral Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Nucci & Narvaes (2008:415), yaitu bahwa
karakter adalah seperangkat karakteristik psikologis yang memotivasi dan memungkinkan seorang
individu berfungsi sebagai seseorang yang memiliki kompetensi moral. Atau, yang juga dikatakan oleh
Bajovic dkk.

(2009) karakter adalah kompetensi sosio-moral yang menyatukan aksi moral, nilai moral, serta moral
personalitas, moral emosi, moral alasan, moral identitas, dan karakteristik fundamental. Jadi, jika
keduanya digabungkan, karakter adalah seperangkat kompetensi psikologis yang memotivasi dan
memungkinkan seseorang menyatukan nilai moral, aksi moral, moral personalitas, moral emosi, moral
alasan, dan moral identitas sebagai karakteristik utama. Berbicara tentang pendidikan karakter, banyak
orang merujuk pendapai Thomas Lickona yang terkenal itu. Lickona (1991) mengemukakan bahwa ada
tiga hal yang mesti terlibat dalam pembentukan karakter, yaitu pengetahuan perbuatan moral (moral
action). Ketiga hal tersebut saling berkaitan satutentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral
(moral feeling), dan perbuatan moral. Ketiga hal tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain untuk
membentuk sebuah kesatuan yang padu yang berwujud terbentuknya manusia yang memiliki karakter
yang baik. Keterkaitan dan/atau hubungan antara ketiga ranah tersebut ditunjukkan dalam Gambar 1
(lihat juga Nurgiyantoro, 2015:438).

Moral Knowing

Moral Aueareness
Knoweing Aoral Palue

Perspective-Taking

Moral Reasoning

Decision-Making

Sel-Knovsledge

-છ

Moral Feeling

Conscience

SelfEsteem

Empathy

Loving The Good

SelControl

Humilin
Moral Action

1. Competence

2. Fill

3. Habt

Gambar 1.

Komponen dan hubungan antarkomponen karakter (Sumber: Lickona, 1991) Ketiga ranah karakter itu
haruslah dipahami sebagai sebuah kesatuan sebagai sesuatu yang dibangun dan dikembangkan secara
saling berkaitan Hal pertama yang perlu dipahamkan kepada peserta didik adalah pengetahuan tentang
moral yang lebih terkait dengan ranah kognitif agar seseorang memiliki pengetahuan yang memadai.
Ranah ini meliputi kesadaran moral, pengetahuan nilai-moral, pandangan ke depan, penalaran moral,
pengambilan keputusan dan pengetahuan diri. Pengetahuan ini penting sebagai modal dasar
pembentukan karakter, namun belum cukup untuk membentuk seseorang menjadi berkarakter. Apalah
artinya seseorang mengetahui dan memahami moral yang baik jika tidak untuk diterapkan dalam
perilaku kehidupan di dunia nyata. Namun sebaliknya, untuk berperilaku keseharian yang baik akan kuat
jika dilandasi oleh pemahaman tentang moral yang kuat pula.

Oleh karena itu, penyadaran tentang pentingnya perasaan tentang moral haruslah dilakukan untuk
langkah pembelajaran selanjutnya. Aspek ini lebih terkait dengan ranah sikap, afektif. Pada intinya,
seseorang yang memiliki pemahaman tentang moral karakter yang baik, maka ada potensi yang kuat
dalam dirinya untuk membangkitkan ranah afeksi tersebut agar menjadi terlibat aktif. Untuk mengambil
sikap dengan benar, seseorang mesti memahami segala sesuatunya dengan baik. Seseorang tidak akan
bersikap terhadap sesuatu jika belum memahaminya secara kognitif. Ranah ini meliputs kata hati, rasa
percaya diri, empati, cinta kebaikan, pengendalian diri, dan kerendahan hati. Kombinasi pengetahuan
dan sikap tentang moral yang baik akan memiliki potensi pembentukan karakter yang baik yang
terwujud dalam aksi moral.

Pada giliran selanjutnya, pemahaman dan sikap tentang moral yang baik secara logika akan mendorong
seseorang untuk melakukan aksi, perbuatan moral yang mencerminkan pengetahuan dan sikapnya.
Itulah aspek ketiga dalam "trilogi aspek karakter" versi Lickona, yaitu perilaku moral. Atau kalau dibalik,
seseorang akan berperilaku moral jika telah memahami dan memiliki sikap yang baik terhadap moral itu
sehingga timbul kesadaran dalam dirinya untuk diterapkan dalam perilaku keseharian. Jadi, aspek ini
tampak terkait dengan ranah psikomotor. Aspek ini meliputi kompetensi, kemauan, dan kebiasaan
bertindak yang semuanya sesuai dengan nilai-nilai moral yang diyakini benar

Dengan denikian, untuk membentuk manusia yang berkarakter baik, ketiga komponen karakter
(Lickona) di atas mesti dipahamkan, dirasakan, dan dilaksanakan secara sinergis dan berkelanjutan
dalam bentuk sikap dan perilaku hidup keseharian. Dalam kehidupan nyata di masyarakat, kesemuanya
akan dapat dilihat dan dipahami oleh orang lain jika hal itu sudah berwujud perilaku, bukan sekadar
dipahami dan disikapi. Jadi, dalam suatu aksi perbuatan, atau perilaku moral sebagaimana terlihat,
sebenarnya hal itu sudah sekaligus mengandung unsur pengetahuan moral, sikap moral, dan aksi moral
sekaligus

Pendidikan Karakter. Karakter yang baik adalah sebuah konsep yang berisi pengetahuan tentang sesuatu
yang baik, merangkul sesuatu yang baik dan kemudian melakukannya dengan baik. Pada umumnya
orang sependapat bahwa pendidikan karakter berangkat dari pandangan psikologis dan filosofis bahwa
sesuatu yang baik dapat dibelajarkan lewat pendidikan yang baik (Agboola & Tsai, 2012:166). Lewat
pendidikan yang secara sengaja dirancang dengan baik diharapkan nilai-nilai karakter yang dibelajarkan
dapat terinternalisasikan pada diri peserta didik sehingga nilai-nilai itu terealisasikan dalam bentuk
moral action dalam kehidupan sehari-hari.Tujuan pendidikan karakter di sekolah antara lain untuk
mengembangkan sikap dan perilaku peserta didik yang baik lewat berbagai aktivitas yang dilakukan,
Pendidikan bukan sekadar wacana untuk dibicarakan, tetapi harus terwujud dalam implementasi sikap
dan perilaku hidup keseharian, tidak hanya ketika peserta didik berada di lingkungan sekolah, melainkan
juga di rumah dan di lingkungan sosial masyarakat. Untuk hal ini, Almerico (2014:1) mengemukakan
bahwa pendidikan karakter berkaitan dengan usaha pembelajaran peserta didik untuk mengembangkan
kemampuan mengarmbil sikap dan perilaku yang pantas dalamm berbagai situasi sosial dengan tujuan
pengembangan individu yang memiliki kapasitas nilai-nilai moral dan mampu (mau) memilih melakukan
sesuatu yang baik.

Di pihak lain, Lickona (1991) mengemukakan bahwa pendidikan karakter tidak lain merupakan suatu
usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika
inti. Pendidikan karakter sebagaimana halnya dengan hakikat pendidikan secara umun, haruslah secara
sengaja dikreasikan untuk membantu peserta didik mencapai kedewasaan sebagai manusia yang
berkarakter, yang bermartabat yang tahu menempatkan diri sesuai dengan etika moral sesuai dengan
konteks sosial yang sedang dihadapinya. Di dunia pendidikan di Indonesia, pihak yang berwenang
(Kemendiknas) juga telah memberikan arahan perihal pendidikan karakter. Kemendiknas via

Pusat Kurikulum (2010) memaknai karakter sebagai watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai
landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Karakter tidak lain adalah tabiat atau
kebiasaan untuk melakukan hal yang baik. Nilai-nilai karakter adalah sikap dan perilaku yang didasarkan
pada norma dan nilai yang berlaku di masyarakat yang mencakup aspek spiritual, personal/kepribadian,
sosial dan lingkungan.
Jadi, pendidikan karakter dalam pengertian ini sekaligus dimaksudkan sebagai pembentukan karakter
peserta didik, bahkan juga secara langsung atau tidak langsung berarti pembangunan karakter bangsa.
Usaha pendidikan dan pembentukan karakter yang dimaksud tidak terlepas dari pendidikan dan
penanaman moral kepada peserta didik. Pendidikan karakter itu sendiri merupakan sebuah proses
panjang, yaitu proses pembelajaran untuk menanam,memupuk, dan mengembangkan nilai-nilai luhur
dan akhlak mulia yang rangka pengembangan kepribadian peserta didik agar menjadi manusia yang
bermatabat; menjadi manusia Indonesia yang berkarakter sesuai dengan nilainilai Juhur bangsa dan
agama. Dari sini dapat dipahami bahwa pendidikan karakter memfokus pada pendidikan nilai-nilai luhur
dengan sekian jumlah variannya.berakar pada ajaran agama, adat-istiadat, dan nilai-nilai kebangsaan
dalam

Tujuan pendidikan karakter adalah agar peserta didik menjadi orang yang bermatabat, orang yang
berkarakter dalam arti yang sebenarnya, dan bukan sekadar hafal secara kognitif apa itu pendidikan
karakter dan ciri orang yang berkarakter. Orang yang mau dan mampu bersikap, berperilaku, dan
menempatkan diri sesuai dengan nilai-nilai moral dalam konteks berbagai situasi sosial di masyarakat.
Misalnya, bagaimana seseorang harus menempatkan diri berhadapan dengan orang yang berbeda
pendapat, berbeda keyakinan, orang yang senang atau tidak kepada dirinya, orang yang berteman akrab
atau yang memusuhi, orang yang membutuhkan bantuan, dan lain-lain yang banyak ditemukan dalam
hidup keseharian. Dalam karya sastra, halhal tersebut biasa ditemukan yang ditunjukkan secara konkret
lewat sikap dan perilaku tokoh dan yang dapat dijadikan sumber referensi pembelajaran
karakter.Pertanyaan yang kemudian dapat diajukan adalah nilai karakter apa yang terkandung dalam
karakter bangsa? Hal itu tidak lain adalah nilai-nilai yang berkembang, berlaku, diakui, diyakini, dan
disepakati untuk dilaksanakan oleh setiap warga masyarakat di sebuah negara. Nilai-nilai itu adalah nilai-
nilai

yang digunakan untuk mencapai derajat kemanusiaan yang lebih tinggi, bermartabat, dermi kedamaian
dan kebahagiaan. Kemanusiaan yang dimaksud antara lain meliputi solidaritas sesama manusia,
menghormati hakikat dan martabat manusia, kesetaraan dan tolong-menolong, menghormati
perbedaan, dan menciptakan kedamaian. Budi pekerti sebagai nilai luhur adalah perilaku yang dibangun
berdasarkan nilai-nilai yang diyakini dan diposisikan sebagai instrumen untuk mencapai sesuatu.luhur
(supreme values) yang dijadikan pedoman hidup (guiding principles) Pendidikan adalah investasi sumber
daya insani, investasi masa depan banyak pribadi, bangsa, dan negara. Maka, pendidikan mesti
diselenggarakan secara terencana dengan menjawab pertanyaan: akan dibawa ke mana masa depan
subjek didik selaku pribadi, bagian dari bangsa, dan aset negara itu? Hal ini sebenarmya terkait dengan
masalah filosofi pendidikan yang dijabarkan darí filosofi bangsa yang melandasi rumusan tujuan
pendidikan dan pengembangan kurikulum. Hubungan antara tujuan pendidikan dan kurikulum adalah
tujuan dan isi pendidikan; keduanya harus sejalan, Pada intinya, akan dibawa ke mana masa depan
pribadi dan bangsa, haruslah tercermin dalam tujuan dan kurikulum pendidikan. Termasuk di dalamnya
jati diri dan karakter seperti apa yang diinginkan dimiliki oleh peserta didik itu.
B. JENIS NILAI KARAKTER

Berbicara tentang pendidikan karakter, lazimnya orang akan mempertanyakan: nilai karakter apa (saja)
yang terlibat di dalamnya atau yang dibelajarkan. Artinya, ada banyak nilai karakter, nilai moral yang
perlu mendapat perhatian. Bahkan, boleh dikatakan tiap ahli yang berbicara nilainilai moral, akan
menunjuk pada bermacam nilai yang berbeda dan semuanya bagus. Tampaknya hal itu bukan suatu
masalah, bahkan sebaliknya dapat diambil sisi positifnya. Walau penyebutan nilai-nilai moral itu berbeda
mungkin karena perbedaan istilah, fokus, pementingan, kategori, sumber, dan lain-lain-secara
substansial bagus dan tiap orang juga boleh berbeda pendapat. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
besar dalam arti selain luasnya wilayah, juga karena didukung oleh multietnis dan tiap etnis
dimungkinkan memiliki banyak nilai dan tuntutan tentang budi pekerti yang belum tentu sama. Selain
itu, kita juga belajar dan mengadopsi nilai-nilai moral dari berbagai bangsa di dunia yang sesuai dengan
jati diri bangsa Indonesia terutama untuk kepergaulan antarbangsa. Untuk kasus di Indonesia, hal yang
sama juga dapat terjadi untuk saling pahami dan adopsi nilai moral antaretnis untuk membangun sikap
toleransi dan kebersamaan. Indonesia adalah negara multikulutur, negara kesatuan yang dibangun atas
banyak nilai kultural dan moral . Tiap etnis memiliki nilai moral yang diyakini baik bagi etnis yang
bersangkutan untuk melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan kehidupan. Misalnya,
salah satu ajaran Ki Ageng Suryamentaraman (Jawa) adalah saran untuk menjalani hidup jangan
ngangsa, ngaya, golek benere dhewe 'memaksa diri, cari betulnya sendiri'. R.M. Sosrokartono (saudara
R.A Kartini; Jawa), misalnya mengajarkan sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala,
menang tanpa ngasorake 'kaya tanpa kekayaan, sakti tanpa kesaktian, menyerbu tanpa bala tentara,
menang tanpa mengalahkan (Gufron, 2010:15). Selain iru, berbagai cerita tradisional masyarakat juga
kaya akan nilai-nilai moral. Misalnya, cerita wayang memiliki banyak nilai moral yang masih saja
signifikan untuk diteladani, misalnya lewat

sikap dan perilaku tokoh tertentu (Nurgiyantoro, 2017).Kategorisasi (pembedaan) nilai karakter sering
dilakukan para penulis pendidikan karakter untuk menunjukkan fokus-fokus pada nilai-nilai tertentu.

Tiap peneliti dan penulis biasanya menghasilkan jenis nilai karakter yang tidak sama. Hal itu juga bukan
merupakan masalah karena orang sah-sah saja memilih dan memilah nilai-nilai tertentu sesuai dengan
pandangannya. Namun, lazimnya para peneliti dan penulis juga merujuk 18 nilai karakter yang
disarankan oleh Kemendiknas (2010) terkait dengan pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk
dijadikan pedoman pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah.

1. Nilai Karakter versi Kemendiknas

Jenis nilai karakter ada banyak sekali. Namun, untuk memudahkan pembelajaran dan pengamatan
terhadap capaian pembelajaran itu dibutuhkan pemfokusan pada nilai-nilai tertentu yang dipandang
sebagai nilai minimal mendata dan mendeskripsikan nilai-nilai karakter yang mesti mendapat perhatian
dalam proses pembelajaran di sekolah. Adapun ke-18 nilai karakter yang dimaksud ditunjukkan
(sekaligus diringkas) sebagai berikut.yang mesti dimiliki peserta didik. Untuk itu, Kemendiknas (2010)
telah
(1) Religius: sikap dan perilaku yang patuh untuk melaksanakan ajaran agama; memiliki keberanian
melakukan hal yang benar; toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, hidup rukun dengan
pemeluk agama lain.

(2) jujur

bersikap jujur: tidak menipu, tidak main curang, tidak mencuri; dapat diandalkan; apa yang dikatakan
membangun reputasi baik;Jujur: perilaku dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan;setia pada keluarga, teman, dan negara.

(3) Toleransi: sikap dan perilaku yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan
tindakan orang lain; memperlakukan orang lain dengan hormat; mengikuti aturan; bersopan santun,
bertutur kata baik; menjaga perasaan orang lain; bersikap damai terhadap kemarahan, penghinaan, dan
perselisihan.

(4) Disiplin: tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.

(5) Kerja keras: perilaku yang menunjukkan kesungguhan, berusaha mengatasi hambatan belajar, dan
menyelesaikan tugas dengan sebaik- baiknya.

(6) Kreatif: berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang
telah dimiliki.

(7) Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak tergantung kepada orang lain untuk menyelesaikan tugas.

(8) Demokratis: cara berpikir, bersikap, dan berperilaku sama terhadap hak dan kewajiban dengan orang
lain; mau bergiliran dan berbagi; berpikiran terbuka; mendengarkan orang lain; tidak menyalahkan
orang lain secara sembarangan; memperlakukan semua orang secara fair.

(9) Rasa ingin tahu: sikap dan perilaku yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan
meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar.

(10) Semangat kebangsaan: cara berpikir, berperilaku, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya; berupaya dan bekerja sama
dalam urusan sosial atau masyarakat; patuh hukum dan peraturan, menghormati otoritas, melindungi
lingkungan.

(11) Cinta tanah air: cara berpikir, bersikap, dan berperilaku yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian,
dan penghargaan terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

(12) Menghargai prestasi: sikap dan perilaku untuk cenderung menghasilkan sesuatu yang berguna,
mengakui, dan menghormati keberhasilan orang lain.
(13) Bersahabat/komunikatif: sikap dan perilaku yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul,
dan bekerja sama dengan orang lain

(14) Cinta damai: sikap dan perilaku yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas
kehadiran dirinya.

(15) Gemar membaca: sikap dan perilaku membiasakan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan manfaat.

(16) Peduli lingkungan: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam
dan mengupayakan perbaikan kerusakan alam yang sudah terjadi

(17) Peduli sosial: sikap dan perilaku yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain yang
membutuhkan; penuh kasih, memperlihatkan sikap peduli dan rasa syukur; memaafkan orang lain.

(18) Tanggungjawab: sikap dan perilaku melaksanakan tugas dan kewajiban; melakukan apa yang
seharusnya dilakukan; memiliki rencana ke depan; melakukan yang terbaik; pengendalian diri, berpikir
sebelum bertindak; bertanggung jawab terhadap kata, tindakan, dan sikap sendiri; memberi contoh
yang baik.

Hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa ke-18 unsur nilai pendidikan karakter di atas berlaku untuk
semua mata pelajaran. Artinya, semua mata pelajaran yang ada pada suatu jenjang sekolah (SD, SMP,
SMA) memunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk ikut melaksanakannya agar hasilnya lebih
maksimal. Hal itu juga akan mendukung penciptaan kultur sekolah yang lebih kondusif karena
pelaksanaan pembelajaran nilai karakter tidak mungkin dilaksanakan secara parsial oleh sebagian mata
pelajaran dan sivitas akademika. Sebagai sebuah sistem pendidikan, semua komponen yang terkait yang
menjadi subsistemnya harus secara bersama dilibatkan. Bahwa kedelapan belas nilai tersebut
dibelajarkan semua lewat satu mata pelajaran, hal itu dapat saja dilakukan tergantung guru sebagai
pelaksana kegiatan pembelajaran. Namun, yang pasti pengamatan terhadap proses dan hasil
pembelajaran, internalisasi, dan pembudayaan terhadap kedelapan belas nilai sudah pasti cukup
merepotkan. Untuk itu, penentuan prioritas, fokus pada nilai karakter tertentu, tampak lebih dimungkin
dan lebih memudahkan pemantauan dan evaluasi efektivitas pembelajarannya (Nurgiyantoro & Efendi,
2013). Artinya, suatu mata pelajaran, misalnya bahasa Indonesia diperbolehkan menekankan,
memfokuskan, atau memprioritaskan nilai pendidikan karakter tertentu dalam pelaksanaan
pembelajaran. Di pihak lain, mata-mata pelajaran yang lain, boleh memfokuskan diri pada nilai yang
sama, ada yang sama, atau yang lain. Salah satu pertimbangan pemilihan nilai-nilai karakter itu sebagai
prioritas adalah kesesuaian dengan masing-masing mata pelajaran. Semua nilai yang dicantumkan
memang baik, namun ada nilai-nilai tertentu yang lebih cocok untuk suatu mata pelajaran.
Untuk melihat prioritas nilai-nilai yang dimaksud oleh para guru, Nurgiyantoro & Efendi (2013) sengaja
meneliti sikap, tanggapan, dan pendapat para guru SMP/MTs (di DIY). Para guru yang notabene adalah
guru para remaja itu diminta menentukan 7 dari ke-18 nilai karakter yang menurutnya mendesak dan
penting untuk lebih ditekankan pembelajarannya. Pendapat para guru dijaring lewat angket,
wawancara, dan curah pendapat untuk memberikan kejelasan perihal pemilihan fokus penentuan nilai
karakter itu. Namun, harus juga dipahami bahwa pengertian prioritas, fokus, tidak perlu diartikan
sebagai tidak menganggap penting nilai-nilai yang lain. Pemfokusan terhadap nilainilai tertentu tersebut
sekadar dimaksudkan untuk memudahkan pembelajaran dan pamantauan hasil belajarnya.Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya guru lebih memilih nilai-nilai religius, jujur, cinta tanah
air, kreatif, kerja keras, tanggung jawab, dan peduli lingkungan yang mesti mendapat prioritas dalam
pembelajaran sastra remaja. Ada sejumlah nilai lain yang juga dipilih, namun arus utama para guru
adalah pada nilai-nilai itu. Hal itu mengandung konsekuensi bahwa dalam hal pengembangan bahan ajar
sastra remaja, bahan karya sastra yang dipilih harus difokuskan pada berbagai karya dari berbagai genre
yang mengandung unsur-unsur nilai pendidikan tersebut Nilai religius, kejujuran, dan cinta tanah air
adalah ketiga nilai yang paling banyak dipilih untuk diprioritaskan pembelajarannya. Keadaan itu dapat
dipahami karena semua orang, bahkan guru sebagai guru dan sebagai orang tua, pasti menghendaki
peserta didik dan anak-anaknya bersikap dan berperilaku religius. Apalagi kita hidup di negara yang juga
berdasarkan nilainilai ketuhanan. Demikian juga nilai kejujuran. Apalah arti hidup jika kita, anak didik
kita, dan bangsa kita tidak hidup dalam kondisi yang dilandasi prinsip kejujuran? Hal yang menarik untuk
dicatat adalah pendapat guru yang juga menekankan nilai cinta tanah air. Hal ini penting sekali, kata
mereka, baik yang terlihat dalam angket, wawancara, maupun sumbang saran di FGD, mengingat
mereka masih usia remaja untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan perasaan
nasionalisme.

Hal itu juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Zuchdi dkk. (2010:7-10) tentang model pendidikan
karakter terintegrasi dalarm bidang studi di sekolah dasar. Mereka juga menentukan fokus-fokus nilai
yang dipilih berdasarkan sikap dan tanggapan guru, kepala sekolah, dan orang tua siswa, yaitu nilai-nilai
kesabaran, kerja sama, kepedulian, kejujuran, ketaatan beribadah, kedisiplinan, dan kenyamanan semua
warga sekolah. Setelah dilakukan pembelajaran secara komprehensif lewat berbagai bidang studi
misalnya diketahui ada sedikit peningkatan dalam hal ketaatan beribadah dan peningkatan nilai
kejujuran. Peningkatan nilai kejujuran terlihat lebih intensif. Peningkatan nilai ini antara lain terlihat
dalam hal kantin kejujuran yang tidak merugi, menyerahkan temuan barang hilang, mengembalikan
kepada pemiliknya, dan lain-lain.

2. Penguatan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter kini semakin dipandang penting untuk mendidik anak bangsa menjadi manusia
dewasa yang berkepribadian Indonesia. Di atas ditunjukkan bahwa Kemendiknas (2010) telah
menjabarkan nilai karakter yang menjadi fokus perhatian pendidikan di Indonesia ke dalam 18 buah
nilai. Hal itu kini diperkuat lagi dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter. Semua itu menunjukkan semakin penting dan mendesaknya pendidikan
karakter di sekolah sebagai bagian usaha pelestarian kehidupan bangsa. Penguatan Pendidikan Karakter
(PPK) dimaksudkan sebagai gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk
memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, olahraga dengan
pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari
Gerakan Nasional Revolusi Mental

(GRNM) (Pasal 1).Ada pun tujuan PPK adalah:(a) membangun dan membekali peserta didik sebagal
generasi emas Indonesia 2045 dengan jiwa Pancasila dan pendidi kankarakter yang baik guna
menghadapi dinamika perubahan di masa depan; b) mengembangkan platform pendidikan nasional
yang meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan pendidikan bagi
peserta didik dengan dukungan publik yang dilakukan melalui pendidikan jalur formal,nonformal, dan
informal dengan memperhatikan keragaman budaya Indonesia,

(c) merevitalisasi dan memperkuat potensi dan kompetensi pendidik, tenaga kependidikan, peserta
didik, masyarakat, dan lingkungan keluarga dalam mengimplementasikan PPK Pasal 2. Generasi emas
Indonesia 2045 adalah generasi manusia Indonesia yangpada ulang tahun kemerdekaan bangsa
Indonesia yang ke-100 tahun 2045 mengisi kemerdekaan itu dengan segala aktivitasnya yang
menunjukkankebesaran bangsa yang berjiwa Pancasila sekaligus mampu menjawab tantangan zaman.
Untuk mendapatkan generasi "emas" sebagaimanadiharapkan, usaha pendidikan karakter harus
dilakukan secara terencana sejak mereka, manusia Indonesia itu, berusia dini. Usaha tersebut tidak
hanya

menjadi tanggung jawab pemerintah melalui pendidikan formal, tetapi juga seluruh bangsa baik melalui
jalur nonformal maupun informal, baik yangdilakukan di sekolah, masyarakat, maupun lingkungan
keluarga. Pada intinya seluruh potensi yang ada haruslah secara bersama secara saling membantu,

saling mengisi, saling melengkapi, dan saling bertanggung jawab sesuai dengan peran masing-
masing.Pendidikan karakter diusahakan menjadi bagian yang terintegrasi dengan kegiatan
intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Lewat kegiatan intrakurikuler berarti, sepanjang
dimungkinkan, pendidikan karakter diusahakan menjadi bagian dari materi dan/atau teknik
pembelajaran dalam suatu mata pelajaran. Lewat kegiatan kokurikuler berarti pendidikan karakter

dilakukan pada berbagai aktivitas yang bertujuan memperkuat, memperdalam, memperkaya kegiatan
intrakurikuler. Lewat kegiatan ekstrakurikuler berarti pendidikan karakter diselenggarakan di luar jam
pembelajaran sekaligus untuk mengembangkan potensi, bakat, minat, kepribadian, kerja sama, dan

kemandirian peserta didik secara lebih optimal. Kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler dapat
dilakukan lewat kerja sama antarsatuan pendidikanformal, pendidikan nonformal, dan antara satuan
pendidikan dan lembagakeagamaan atau lembaga lain. Pendidikan karakter kini secara sadar dan
terencana harus dilakukan oleh semua pihak. Kalau proses pendidikan melibatkan unsur ketiga pusat
pendidikan, yaitu keluarga, masyarakat, dan sekolah, ketiga pusat pendidikan itulah yang mestinya
melaksanakan secara bertanggung jawab. Adanya kerja sama antara ketiganya merupakan sebuah
keniscayaan yang mesti disadar dan dilaksanakan dengan saling mengisi, melengkapi, memperkuat
dengan tujuan akhir dapat menghasilkan insan Indonesia yang berkarakter. Untuk itu, adanya kultur
belajar yang kondusif yang memungkinkan anak belajar dan berkembang dengan baik, baik yang terjadi
di level keluarga, masyarakat, sekolah, maupun lembaga lain mesti diusahakan secara sadar. Kegiatan
literasi dan pembelajaran sastra anak, misalnya, mestilah terjadi di lingkup keluarga, masyarakat,
sekolah, dan tempat-tempat lain yang memungkinkan. Kegiatan literasi dan pembelajaran puitisasi
Alquran dan/atau berbagai cerita yang berbasis Alquran, misalnya, dapat dilaksanakan di semua lingkup
tersebut.

3. Kategorisasi Nilai Karakter dalam Karya Sastra

Dalam karya sastra baik genre puisi, fiksi, maupun drama, baik yang digolongkan ke dalam sastra anak,
sastra remaja, maupun sastra dewasa juga terkandung banyak nilai moral yang baik sebagai sarana
pendidikan karakter. Dalam kaitan ini juga ada banyak versi kategorisasi untuk menunjukkan
keberagaman nilai moral yang terkandung tergantung siapa yang mengategorikannya. Hal itu bukan
masalah karena pada prinsipnya orang boleh berbeda pendapat untuk memilih cara penyajian hasil
kajiannya.

Biasanya ada banyak nilai moral yang terkandung dalam teks-teks kesastraan. Sebagaimana dikatakan
Grenby (2008:70), tampaknya tidak mungkin kita mencatat semua nilai spesifik yang terdapat dalam
teks-teks cerita kesastraan itu, tetapi cukup dengan menuliskan nilai-nilai utama yang dominan. Untuk
itu, perlu dibuat suatu kategorisasi yang dapat mencakup nilai-nilai spesifik tersebut. Dengan cara itu,
nilai-nilai spesifik pun dapat teridentifikasi kemunculannya. Nilai-nilai moral itu sendiri dapat terdapat
pada aspek utama seperti tema, karakter tokoh, alur, atau aspek lain baik terlihat secara langsung atau
tidak langsung Nurgiyantoro (2015) misalnya, memilih mengategorisasikan nilai moral dalam teks-teks
fiksi kesastraan berdasarkan konteks hubungani hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan sesama (sosial-kemasyarakatan), dan hubungan manusia
dengan lingkungan alam. Tiap jenis hubungan tersebut adalah semacam payung, substansi umum;
artinya berbagai nilai moral spesifik yang teridentifikasi dapat dikategorikan ke dalam suatu kategori
hubungan. Dengan kata lain, tiap kategori tersebut memiliki sub-subkategori, atau varian, yang
jumlahnya tergantung intensitas nilai moral yang mendapat penekanan dalam suatu karya. Jadi,
pengategorian itu sebenarnya hanya merupakan suatu cara untuk memudahkan identifikasi dan
penyajian hasil kajian.

Misalnya, dalam sebuah cerita fiksi ditemukan nilai moral pada tokohtokoh cerita dan alur sebagai
berikut. (1) Sebelum mengerjakan sesuatu seorang tokoh bocah tidak lupa membaca doa, senang pergi
ke masjid, salat berjemaah, menyempatkan waktu membaca Alquran, dan bahkan juga cara berpakaian
muslim-rapi: termasuk kategori hubungan manusia dengan Tuhan. (2) Kedisiplinan, kejujuran, kebijakan,
dan rasa percaya diri: ketiga nilai itu termasuk dalam kategori hubungan manusia dengan diri sendiri. (3)

Suka membantu ibu dan kawan-kawan di sekolahnya; menyayangi ibu, ayah dan saudara; bersimpati
kepada orang miskin, aktif berorganisasi di sekolah dan masyarakat: ketiga kelompok nilai tersebut
termasuk dalam kategori hubungan manusia dengan sesama (lingkup sosial-kemasyarakatan). (4) Selalu
menyempatkan diri merawat tanaman hias di rumah dan di sekolah, menanam pohon di tanah kosong,
membersihkan rumput pengganggu, membuang sampah pada tempatnya: kesemuanya masuk dalam
kategori hubungan manusia dengan alam.Hasil penelitian Rosidah (2013:254-255) tentang kandungan
nilai pendidikan karakter dalam Classic Fairy Tales Barat, baik yang asli dalam bahasa Inggris maupun
terjemahannya dalam bahasa Indonesia juga dikategorikan dalam keempat hubungan tersebut. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa dalam cerita-cerita klasik tersebut terkandung banyak macam nilai
yang secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam nilai yang berkaitan dengan hubungan manusia
dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dan dengan lingkungan alam. Nilai karakter yang
termasuk hubungan manusia dengan Tuhan misalnya berupa beriman kepada Tuhan, pandai bersyukur,
sabar menerima cobaan Tuhan, dan lain-lain. Nilai karakter dalam hubungan manusia dengan diri sendiri
misalnya berupa sifat dapat dipercaya, bijaksana, rasa ingin tahu yang tinggi, berorientasi pada tindakan
atau konsekuensi, dan lain-lain. Nilai karakter dalam hubungan manusia dengan lingkup sosial misalnya
rasa hormat kepada orang lain, rasa kasih sayang, patuh kepada orang tua, pandai membalas budi, dan
lain-lain. Nilai

karakter dalam hubungan manusia dengan alam misalnya berupa sikap peduli pada alam dan lingkungan
serta hewan sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan. Selain nilai-nilai karakter yang menjadi fokus dalam
pembelajaran karakter lewat kesastraan, ada fokus lain yang dikemukakan oleh Almerico Almerico
(2014:1) menyebutkan bahwa isi muatan program pembelajaran sastra haruslah mengandung prinsip
dan nilai-nilai utama pendidikan karakter Nilai-nilai karakter yang dimaksud antara lain kedermawanan
(generosity) kebaikhatian (kindness), kejujuran (honesty), sikap bertoleransi (tolerance) kepercayaan
(trust), integritas (integrity), loyalitas (loyalty), keadilan, kejujuran, kewajaran (fairness), kebebasan
(freedom), kesamaan hak atau derajat (equality), dan menghargai keberagaman (respect of and for
diversiry).

C. SASTRA ANAK KARAKTER SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN

Pembicaraan tentang sastra dalam kaitannya dengan pembentukan karakter atau mungkin dikatakan
pembentukan sikap dan perilaku telah banyak dilakukan orang. Bahkan, tidak jarang timbul kesan bahwa
pembelajaran sastra tidak lain adalah pembelajaran moral dan/atau nilai-nilai. Hal itu tidak sepenuhnya
salah

, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Berbagai teks kesastraan diyakini mengandung unsur moral dan
nilai-nilai yang dapat dijadikan "bahan baku" pendidikan dan pembentukan karakter. Teks-teks
kesastraan diyakini mengandung suatu "ajaran" karena tidak ada pengarang yang menulis tanpa pesan
moral (messages). Namun, penekanan pada bahan tersebut bahkan tidak jarang berakibat fatal: peserta
didik hanya sekadar diminta mengidentifikasi moral dan nilai-nilai yang terkandung di dalam teks-teks
kesastraan itu Padahal, semestinya hal-hal yang bernuansa nilai luhur yang lazimnya menjadi sikap dan
perilaku tokoh cerita itu adalah untuk dimengerti, direnungkan, dan diteladani dalam sikap dan perilaku
hidup keseharian.
Hal itu juga berlaku dalam pembelajaran sastra anak kepada peserta didik yang notabene masih
berstatus anak-anak. Pembelajaran sastra di sekolah, baik di sekolah dasar dengan peserta didik yang
memang masih anak-anak maupun di sekolah menengah dengan peserta didik yang remaja, lazimnya
menjadi bagian pembelajaran bahasa. Hal itu dapat dipahami karena sarana pengungkapan sastra
adalah bahasa. Namun, harus dipahami juga bahwa sastra, baik sastra anak maupun sastra dewasa lebih
dari sekadar bahasa. Bahasa dalam teks kesastraan "hanyalah" merupakan aspek sarana, walau harus
ada tuntutan yang berbeda untuk menjadi bahasa sastra, sedang kandungan teks itulah sebenarnya
yang mengandung muatan moral dan nilainilai. Muatan inilah yang dapat dijadikan sebagai "bahan
baku" pendidikan dan pembentukan karakter peserta didik lewat strategi yang paling mengena.

Misalnya, membaca sastra sekaligus belajar tentang kehidupan, mengajarkan nilai-nilai luhur kehidupan
tetapi peserta didik tidak merasa sedang diajari.Hampir semua pembicara dan pecinta kesastraan suka
berpromosi bahwa karya sastra memunyai peran yang penting, yang vital, dalam dunia pendidikan:
peran sebagai salah satu alat pendidikan yang harus dimanfaatkan dalam dunia pendidikan; peran dalam
usaha untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian anak, peran sebagai character building.Hal
itu sekali lagi menekankan bahwa sastra diyakini memunyai andil yang tidak kecil dalam usaha
pembentukan dan pengembangan kepribadian anak.

Jika dimanfaatkan secara benar, sastra diyakini mampu berperan dalam pengembangan kepribadian
seutuhnya dengan cara yang menyenangkan Kondisi yang tidak berbeda juga terjadi di berbagai negara
lain, misalnya, di Cina. Sejak awal abad ke-20, di Cina sastra anak dipandang memiliki fungsi utama
sebagai sarana pendidikan. Sastra anak dipakai untuk menegakkan dan menjaga legitimasi program-
program sosial, sebagai sumber nilai moral dan juga sebagai alat untuk mendidik anak menghadapi
dunia modern Sastra diasumsikan memiliki fungsi edukatif. Sejak generasi Lu Xun--yang dipandang
sebagai founding father-nya sastra anak di Cina-di awal abad ke-20, sastra anak difungsikan sebagai
suatu senjata yang dipergunakan

untuk mendidik anak (a weapon to educate children) dan mengembangkan imajinasi (awakening their
imagination) (Farguhar, 2015:9-10), Namun,setelah era Revolusi Kebudayaan Mao Zedong, sastra anak
juga terkooptasi dengan kepentingan politik. Intinya, sastra anak dipandang sebagai sesuatu yang
penting untuk investasi manusia di masa mendatang, investasi peradaban. Namun, hal itu harus juga
dipahami bahwa usaha pembentukan kepribadian tersebut lewat kesastraan terjadi secara tidak
langsung. Mengapa? Sastra bukan ajaran tentang etika dan moral walau di dalamnya terkandung
perilaku etika-moral yang diidealkan. Sastra bukan pelajaran agama walau di dalamnya terkandung
prinsip kehidupan dan perilaku agamis. Sastra adalah model kehidupan berbudaya dalam tindak, dalam
tingkah laku tokoh, bukan dalam konsep Sastra mampu memberikan teladan kehidupan yang diidealkan,
maka ia dikatakan mampu menunjang pembentukan karakter anak yang masih dalam tahap
perkembangan. Apakah keyakinan itu berlebihan?

1. Contoh Sejarah Pemanfaatan Sastra


Sejarah kehadiran sastra di masyarakat boleh dikatakan setua kehadiran masyarakat itu sendiri di dunia.
Tokoh-tokoh kesastraan sejak masa Yunani

Klasik seperti Plato dan Aristoteles yang hidup kurang lebih 4-3 abad sebelum Masehi hingga sekarang
masih dikenal dan dirujuk pendapatnya. Pengarang drama Yunani Klasik seperti etnis suku bangsa yang
masing-masing memiliki bahasa daerah dengan latar bahasa Nasional Indonesia, sebenarnya juga
berasal dari salah satu bahasa daerah, yaitu bahasa Melayu. Berbagai bahasa daerah tersebut tidak
sedikit yang memiliki hasil-hasil karya sastra (yaitu: sastra daerah, sastra tradisional)belakang sosial-
budayanya. Bahkan, bahasa Indonesia yang kini menjadi Salah satu bahasa daerah yang memiliki sastra
tradisional yang dimaksudyang bermilai literer tinggi.

Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa sastra Jawa memiliki sejarah yang amat panjang sejalan dengan
sejarah kehidupan bahasa Jawa yang keduanya sudah bereksistensi sejak zaman prasejarah. Salah satu
genre sastra itu adalah wayang, sastra wayang. Hingga dewasa ini sastra wayang masih dikenal secara
luas di masyarakat Jawa, juga Indonesia, terutama yang hadir lewat pertunjukan wayang, yaitu wayang
kulit. Buku-buku cerita wayang, baik yang bergenre puisi (tembang) maupun prosa, pertunjukan wayang
kulit danadalah bahasa Jawa dengan sastra tradisional Jawa yang ditulis dalam bahasa

wayang orang, semuanya bersumber pada cerita wayang. Cerita wayang mampu bertahan sepanjang
masa, dari zaman ke zaman, dan tiap zaman memiliki keadaan dan ciri khasnya sendiri. Cerita wayang

adalah sebuah epos, wiracarita, yang bersumber pada pakem Mahabarata dan

Ramayana. Kedua pakem tersebut pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang berwatak
baik menghadapi dan menumpas tokoh yang berwatak jahat. Menilik usianya yang telah demikian
panjang dan kenyataan bahwa hingga dewasa ini masih banyak orang yang menggemarinya, hal tu
menunjukkan betapa tinggi nilai dan makna wayang bagi kehidupan masyarakat. Hal itu semua dapat
dipandang sebagai salah satu faktor yang membentuk jati diri dan kepribadian bangsa. Dilihat dari sudut
pandang

dikatakan memenuhi kualifikasi karya masterpiece, karya sastra dan budaya adiluhuna.dewasa ini cerita
wayang yang notabene adalah sastra tradisional dapat Teks asli cerita wayang baik yang berpakem
Mahabarata maupun Ramayana sebenarnya bukan asli karya sastra Jawa. Keduanya berasal dar India
yang semula ditulis dalam bahasa Sanskerta. Setelah masuk ke Jawa teks itu kemudian disadur dan
disunting ke dalam bahasa Jawa Kuno. Lewat kerjapenyunúngan dan penyaduran sekaligus ditambah
dan disesuaikan dengan cerita dan legenda yang telah merakyat pada waktu itu, maka jadilah
ceritaSophocles yang semasa dengan kedua tokoh
tersebut-misalnya dengan karangan yang berjudul Oedipus Sang Raja dan Oedipus di Kolonus-juga
masih memunyai gaung hingga kini. Apalagi Homerus dengan Illias-nya yang dewasa ini dikenal
masyarakat lewat flm kolosal Troy. Buku-buku cerita klasik seperti Ramayana, Mahabarata, dan

Kisah Seribu Satu Malam juga masih populer hingga kini. Kesemuanya it disebutkan sekadar
menunjukkan bahwa sastra telah eksis selama ribuan tahun lalu. Pasti bukan tanpa alasan jika buku-
buku cerita lama hingga kini orang masih mengenal dan menyukainya. Negara-negara Barat yang kini
sudah mencapai dan bahkan melewati tahap surpermodern, semua memiliki peradaban masa lalu yang
salah satunya berasal dari dunia kesastraan. Peradaban Yunani Klasik yang penuh cerita

sastra itu diklaim sebagai cikal bakal peradaban Eropa masa kini. Mereka bangga dengan kenyataan
bahwa sejarah peradabannya telah begitu panjang.Perlu dicatat bahwa peradaban mereka yang paling
populer adalah berupa peninggalan cerita-cerita klasik tersebut. Hal serupa juga terjadi di Indonesia.
Eksistensi suatu bangsa dalam banyak hal ditentukan oleh sejarah masalalu bangsa itu. Hal itu juga
berlaku untuk bangsa Indonesia yang memilik sejarah masa lalu amat panjang. Bangsa Indonesia yang
dewasa ini berada dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas berbagai cerita
Mahabarata dan Ramayana versi Jawa (Groenendael, 1985). Cerita wayang yang hidup dan dikenal
orang dewasa ini merupakan sebuah warisan budaya nenek moyang yang diperkirakan telah
bereksistensi kurang lebih 3.500 tahun yang lalu (Mulyono, 1989:1). Teks dan/atau cerita wayang yang
versi Jawaini secara terus-menerus ditulis kembali, disunting dan ditambah berbaga cerita yang tumbuh
kemudian, dan bahkan dewasa ini banyak yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan asing. Betapa
pentingnya pengaruh wayang bagi masyarakat Jawa pada masa lampau juga terlihat dari berbagai relief
candi yang melukiskan tokoh-tokoh dan cerita wayang Cerita wayang tidak hanya milik etnis Jawa,
melainkan juga milik sejumlah daerah di Nusantara (Indonesia, misalnya Bali dan Sunda), bahkan
kemudian menjadi milik bangsa secara nasional. Bahkan, dewasa ini cerita wayang/telah diakui dunia
sebagai salah satu karya agung internasional Pada tahun 1997 UNESCO, sebuah iembaga di bawah PBB
yang menanganimasalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, menyusun peraturan
mengenai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.

Setelah melewati penelaahan yang cermat, pada tahun 2003, wayang Indonesia diumumkan oleh
UNESCO sebagai karya agung dunia, Masterpiece of Oraand Intangible Heritage of Humanity, di Paris
(Wibisono, 2009; Sudjarwo dkk., 2010). Hal itu menunjukkan bahwa cerita wayang yang diakui dunia
internasional sebagai sebuah warisan budaya sarat nilai yang berperan besar dalam pembentukan dan
pengembangan jati diri bangsa. Oleh karena itu wajar jika cerita wayang banyak dijadikan sumber
rujukan bagi penul

Sejarah masa lalu menunjukkan bahwa karya sastra (cerita!) banyak diper sarana untuk mengajarkan
berbagai keperluan hidup memberikan ajaran moral, etika kehidupan, semangat perjuangan,
mewariskan pandangan hidup, nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat, dan
mempertahankan eksistensi masyarakat (bangsa). Hal itu terlihat misalnya untuk memberikan semangat
juang membela negara, para tentara kerajaan
di Semenanjung Malaka secara rutin dibacakan cerita-cerita kepahlawanan Karya sastra yang lazim
dibacakan antara lain Hikayat Muhammad Ali Hanafiah (Hikayat Ibn Hanafah) dan Hikayat Amir Hamzah
yang keduanya bercerita perihal kepahlawanan tentara Islam.

2. Sastra Anak dan Pengembangan Karakter

Mungkin orang menganggap berlebihan jika dikatakan bahwa sastra memunyai peran penting dalam
pembentukan karakter anak. Mungkin, orang mengatakan atau masih meragukan bahwa dampak sastra
kurang konkret. Namun sebaliknya, orang juga tidak dapat menolak fakta bahwa sastra memunyai peran
dalam pembentukan karakter anak karena mendidik anak yang dilakukan secara tidak langsung diakui
cukup efektif. Hal itu sesuai dengan pepatah lama yang mengatakan, "Kerbau tahan pukul, manusia
tahar kata". Artinya, untuk mengajar kerbau harus dengan cara dipukul, tidak cukup dengan kata-kata
karena binatang itu tidak akan tahu. Sebaliknya, untuk mendidik anak tidak harus lewat pukulan,
melainkan cukup dengan kata

kata, misalnya lewat cerita, petuah, nasihat, sindiran, larangan, dan lain-lain yang sejenis. Ungkapan
lama tersebut menunjukkan betapa pentingnya cerita sebagai sarana untuk "mendidik".

Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang dijumpai anak tidak mau menuruti perintah orang tua atau
bahkan berontak ketika disuruh, diminta, dilarang, atau bahkan dimarahi jika anak melakukan sesuatu
yang tidak sesuai dengan harapan. Misalnya, kini amat sulit meminta anak untuk membatasi diri
bermain dengan handphone karena benda itu menawarkan banyak sekali

kemudahan untuk akses ke mana-mana yang serba menarik. Padahal jika berlebihan menggunakan
benda tersebut, hal itu jelas akan kurang baik bagi kesehatan. Belum lagi anak akan lupa belajar atau
beraktivitas penting lainnya.

Tetapi, anak belum menyadari dan memahami keadaan itu semua. Jika dilarang secara langsung dan
frontal, anak bisa marah, ngambek, atau menentang Untuk mengatasi hal itu, coba sampaikan dengan
cara bercerita. Cerita tentang kasus berbagai dampak negatif terhadap anak yang secara berlebihan ber-
HP ria sehingga lupa waktu. Karena tidak mau mengalami hal yang serupa, anak akan menuruti
"larangan" (baca: usaha mendidik) orang tua dengan kesadaran sendiri. Ingat, semua orang suka cerita,
bahkan orang tua sekalipun.

Pembelajaran sastra bermuara pada ranah afektif, tepatnya pada pengembangan (pembentukan) ranah
afektif. Berbeda halnya dengan ranah psikomotor yang langsung dapat dilihat, hasil pembelajaran ranah
afektif tidak langsung dapat diindra. Ia lebih bersifat psikologis dan bahkan filosofis serta bersifat
fundamental. Dampak itu lebih berupa dampak masa depan, dampak jangka panjang, dampak yang
justru akan membangun dan menentukan peradaban masa depan.

Pengakuan bahwa sastra berperan penting itu terlihat antara lain dari kenyataan bahwa sejak masa
lampau hingga kini orang secara sadar mengakui eksistensi sastra, mempertahankan, menikmati, juga
menciptakannya. Kalau sastra itu tidak penting pasti ia tidak akan bertahan dan berkembang di
masyarakat. Eksistensi sastra yang tetap terjaga hingga kini sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat
membutuhkan sastra.

3. Sastra Budaya dalam Tindak

Jika belajar dari berbagai teks cerita kesastraan-lewat kegiatan membaca, memahami, menganalisis, dan
merenungkan-kita akan menemukan fakta bahwa berbagai konsep tentang kehidupan yang berkarakter,
bermartabat, yang memenuhi idealisme bertingkah laku, hampir semuanya dalam bentuk sikap dan
tingkah laku tokoh. la dapat berupa cara bersikap, cara berpikir cara berasa, dan cara berperilaku verbal
dan nonverbal. Konsep-konsep abstrak sebagaimana yang dibicarakan dalam buku yang bersifat teoretis
(pelajaran!) diejawantahkan dalam sikap dan perilaku tokoh cerita. Namun sikap dan perilaku yang
dimaksud haruslah yang sesuai dengan karakter yang disandangkan dan wujud sikap dan perilaku itu
tergantung pengembangan alur. Jadi, belajar kehidupan lewat teks-teks cerita kesastraan tidak ubannya
belajar langsung terhadap perikehidupan masyarakat, orang per orang, kasus per kasus, dan bagaimana
kesemuanya saling berinteraksi, saling menentukan. dalam sebuah konteks dan/atau sisterm yang
bersifat padu dan harmonis dalam kehidupan nyata keseharian.

Dengan cara itu apakah pembaca akan memperoleh "sesuatu" yang bermanfaat? Jawabnya adalah
tergantung, tergantung pada keseriusan, keintensifan, kepekaan, kekritisan, serta kemauan membuka
diri untuk menerima. Itulah hakikat aktivitas berapresiasi sastra. Kualitas kegiatan berapresiasi akan
menentukan kualitas manfaat yang dapat diperoleh. Sebagai ilustrasi marilah kita lihat anak-anak TK
ketika diasuh oleh seorang ibu guru. Keadaan kelas pasti ramai, ada teriakan di sana-sini, ada yang
mengganggu kawannya, ada

yang berebut mainan, ada yang menangis, dan lain-lain yang kesemuanya sebenarnya bersifat alamiah.
Tetapi, bagaimanakah sikap dan reaksi ibu guru?Apakah ia marah, uring-uringan, biasa-biasa saja,
senang, kagum, menikmati atau yang lain adalah ditentukan oleh seberapa besar sikap dan kemampuan
berapresiasinya terhadap anak-anak. Anak-anak TK di hadapannya tidak ubahnya sebuah cerita sastra
yang lagi diapresiasinya.

Jika ibu guru "belajar" dengan penuh kesungguhan terhadap "teks cerita sastra" yang tersaji itu, ia pasti
akan memperoleh manfaat yang besar bahkan mungkin merupakan sesuatu yang tiada diduga
sebelumnya karena belajar langsung dari kehidupan konkret. "Perolehan" tersebut tentunya dapat
dimanfaatkan dalam kehidupan karena telah menjadi bagian hidup yaitu berupa sikap dan perilaku, dan
yang pada giliran selanjutnya dapat dimanfatkan untuk "mengapresiasi" dan membelajarkan anak-anak
TK berikutnya dengan kesadaran dan pengabdian.

Contoh lain. Ketika seorang ibu melihat anaknya yang usia TK bermainmain sendiri, beriual-beli sendiri
sebagai penjual sekaligus pembeli, berbicara sendiri bertanya sekaligus dijawab sendiri yang semuanya
dilakukan dengan penuh kesungguhan, bagaimanakah sikap ibu tersebut? Jawabnya adalah juga
tergantung, tergantung pada keseriusan, keintensifan, kepekaan dan kekritisan, serta kemauan
membuka diri untuk menerima dan menghargai.

4. Sastra Anak Penunjang Kebiasaan Berbuat

Alkisah, dikisahkan seorang ibu guru SD kelas satu bercerita atau menyuruh anak-anak membaca sebuah
cerita. Cerita anak itu berkisah tentang seorang anak nakal yang biasa mencuri mainan dan menyakiti
temannya. Jika ada kawan yang takut, sedih, atau bahkan menangis, ia malah senang dan merasa gagah.
Anak itu sudah sering diperingatkan, tetapi ia masih saja suka melakukannya. Suatu ketika mainan dia
sendiri hilang. Ia kemudian menuduh kakak kelasnya yang mencuri, maka ia pun dihajar oleh si kakak
kelas yang dituduhnya itu. Si anak itu menangis, tetapi kawannya tidak ada yang mau membantu bahkan
tidak menunjukkan rasa simpati. Si anak itu pulang dengan hati yang sedih dan merasa tidak memiliki
kawan. Pelajaran apa yang dapat dipetik dari kisah singkat itu?

Ibu guru berpesan: "Makanya, anak-anak, kalian jangan suka berbuat seperti anak tersebut. Ia akan
dijauhi oleh kawan-kawannya, lagi pula mencuri dan menyakiti orang lain itu tidak boleh karena
berdosa." Contoh lain. Seorang ibu guru yang lain bercerita atau menyuruh anak-anak untuk membaca
cerita tentang dua anak yang berbeda kebiasaan Anak yang pertama rajin membaca sehingga nilai
rapornya tinggi dan berpengetahuan luas, sedang anak yang kedua malas membaca sehingga bodoh dan
tidak tahu apa-apa. Ketika sekolah mengadakan lomba membaca, anak yang pertama mendapatkan
hadiah mainan yang bagus karna dapat m3njawab berbagai pertanyaan

Anda mungkin juga menyukai