Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK

THALASEMIA

Disusun Oleh :
Cindy Isma Aulia 2.13.018

DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TELOGOREJO
SEMARANG
2015
THALASEMIA

A. KONSEP DASAR

1. DEFINISI

Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan


pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin,
sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel darah
merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang
dari 120 hari dan terjadilah anemia (Herdata.N.H. 2008 dan Tamam.M. 2009).

Thalasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat dari


ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam amino yang
membentuk hemoglobin (medicastore, 2004).

Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah
merah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 120 hari).
Penyebab kerusakan tersebut adalah Hb yang tidak normal sebagai akibat dari gangguan dalam
pembentukan jumlah rantai globin atau struktur Hb (Nursalam,2005).

2. ETIOLOGI

Adapun etiologi dari thalasemia adalah faktor genetik (herediter). Faktor genetik yaitu
perkawinan antara 2 heterozigot (carier) yang menghasilkan keturunan Thalasemia
(homozigot).

Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah
merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari
100 hari). Kerusakan tersebut terjadi karena gangguan struktural pembentukan
hemoglobin (hemoglobin abnormal) dan atau gangguan jumlah (salah satu/beberapa)
rantai globin.
3. KLASIFIKASI
Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu thalasemia alfa
dan thalasemia beta :
1.Thalasemia Alfa Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin
rantai alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari :
a.Silent Carrier State
Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama sekali atau
sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.
b.Alfa Thalasemia Trait
Gangguan pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia ringan dengan
sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.
c.Hb H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak ada gejala
sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan perbesaran limpa.
d.Alfa Thalassemia Mayor
Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalasemia tipe ini merupakan kondisi yang
paling berbahaya pada thalassemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat rantai globin
yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang
menderita alpha thalassemia mayor pada awal kehamilan akan mengalami anemia,
membengkak karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya
mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.

2.Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta yang
ada. Thalasemia beta terdiri dari :
a.Beta Thalasemia Trait.
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.
Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang
mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit rantai
beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari derajat
mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Mayor.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai
beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang
berat. Penderita thalasemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup
sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang
lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif,
maupun kematian. Penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang
rutin dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya (Dewi.S 2009 dan Yuki
2008).

4. MANIFESTASI KLINIS

Bayi baru lahir dengan thalasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awal pucat
mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan
pada kasus yang berat terjadi beberapa minggu pada setelah lahir. Bila penyakit ini tidak
ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terhambat. Anak
tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai demam berulang
akibat infeksi. Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung.

Terdapat hepatosplenomegali. Ikterus ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada


tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat system eritropoesis
yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan dan kaki dapat
menimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan
kekurangan gizi menyebabkan perawakan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis,
pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu. Pasien menjadi peka terhadap
infeksi terutama bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah
mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pensitopenia
akibat hipersplenisme.

Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan dan gangguan


perkembangan sifat seks sekunder), pancreas (diabetes), hati (sirosis), otot jantung
(aritmia, gangguan hantaran, gagal jantung), dan pericardium (perikerditis).

Secara umum, tanda dan gejala yang dapat dilihat antara lain:
1. Letargi
2. Pucat
3. Kelemahan
4. Anoreksia
5. Sesak nafas
6. Tebalnya tulang cranial
7. Pembesaran limpa

5. PATOFISIOLOGI

Penyebab anemia pada thalasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer


adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai
penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena defisiensi
asam folat,bertambahnya volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi,
dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial dalam limfa dan hati.

Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga


produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. Tejadinya hemosiderosis
merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang,peningkatan absorpsi besi dalam
usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.

 Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan dua polipeptida rantai alpa dan
dua rantai beta.
 Pada Beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai Beta dalam molekul
hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan eritrosit membawa oksigen.
 Ada suatu kompensator yang meninghkatkan dalam rantai alpa, tetapi rantai Beta
memproduksi secara terus menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defektive.
Ketidakseimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi.
Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia
dan atau hemosiderosis.
 Kelebihan pada rantai alpa pada thalasemia Beta dan Gama ditemukan pada
thalasemia alpa. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presipitasi dalam sel
eritrosit. Globin intra-eritrositk yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai
rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil-badan Heinz,
merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis.
 Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang
lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC diluar
menjadi eritropoitik aktif. Kompensator produksi RBC terus menerus pada suatu
dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya
sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan distruksi RBC menyebabkan bone
marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.
6. PATHWAY
7. KOMPLIKASI

Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi darah yang
berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi,
sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan
lain lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa
yang besar mudah ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia disertai tanda
hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama disebabkan
oleh infeksi dan gagal jantung (Hassan dan Alatas, 2002)
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah diperiksa
terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes
melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis, karena
peningkatan deposisi melanin (Herdata, 2008)

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

  Hasil apusan darah tepi didapatkan gambaran perubahan-perubahan sel darahmerah,


yaitu mikrositosis, anisositosis, hipokromi, poikilositosis, kadar besi dalam serum
meninggi, eritrosit yang imatur, kadar Hb dan Ht menurun. Pada hapusan darah tepi di
dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis, polklilositosis dan adanya sel
target (fragmentasi dan banyak sel normoblas).Kadar besi dalam serum (SI) meninggi
dan daya ikat serum terhadap besi (IBC) menjadi rendah dan dapat mencapai
nol Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%, kadang
ditemukan juga hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia
juga mempunyai HbE maupun HbS. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan
SGPT dapat meningkat karena kerusakan parankim hati oleh
hemosiderosis. Penyelidikan sintesis alfa/beta terhadap refikulosit sirkulasi
memperlihatkan peningkatan nyata ratio alfa/beta yakni berkurangnya atau tidak adanya
sintetis rantai beta.
   Elektroforesis hemoglobin: hemoglobin klien mengandung HbF dan A2 yang tinggi,
biasanya lebih dari 30 % kadang ditemukan hemoglobin patologis.
9. PENATALAKSANAAN

Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :


  Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian
transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi
yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian
deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh
(iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun untuk
mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara  subkutan dalam waktu
lebih dari 12 jam.
  Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan
meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen (transfusi).
  Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian
tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari
tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena
zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan.         Pada bentuk yang sangat
berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam
tahap penelitian.

Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain (Rudolph, 2002; Hassan dan Alatas, 2002;
Herdata, 2008) :
1.  Medikamentosa
  Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin
serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-
20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan
melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut
setiap selesai transfusi darah.
  Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan
efek kelasi besi.
  Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
  Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur
sel darah merah 
2.  Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
  limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur
  hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau
kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu
tahun.

Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita thalasemia
dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil tersembuhkan dengan
tanpa ditemukannya akumulasi besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih
berarti pada anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-
spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan
transplantasi ini.

3. Suportif
Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan ini akan
memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi
besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap
kenaikan Hb 1 g/dl.

10. PENCEGAHAN

a. Pencegahan primer :

Penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk mencegah perkawinan


diantara pasien Thalasemia agar tidak mendapatkan keturunan yang homozigot.
Perkawinan antara 2 hetarozigot (carrier) menghasilkan keturunan : 25 % Thalasemia
(homozigot), 50 % carrier (heterozigot) dan 25 normal

b.   Pencegahan sekunder :

Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri dengan Thalasemia
heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengan sperma berasal
dari donor yang bebas dan Thalasemia troit. Kelahiran kasus homozigot terhindari,
tetapi 50 % dari anak yang lahir adalah carrier, sedangkan 50% lainnya normal.
Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion merupakan suatu
kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot intra-uterin sehingga
dapat dipertimbangkan tindakan abortus provokotus (Soeparman dkk, 1996)
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN

1. Asal Keturunan / Kewarganegaraan


Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar laut Tengah (Mediteranial) seperti
Turki, Yunani, dll. Di Indonesia sendiri, thalasemia cukup banyak dijumpai pada
anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.
2. Umur
Pada penderita thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala telah terlihat sejak
anak berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada thalasemia minor biasanya anak
akan dibawa ke RS setelah usia 4 tahun.
3.    Riwayat Kesehatan Anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi lainnya.
Ini dikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.
4.    Pertumbuhan dan Perkembangan
Sering didapatkan data adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbang sejak
masih bayi. Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan fisik anak, adalah kecil
untuk umurnya dan adanya keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak
ada pertumbuhan ramput pupis dan ketiak, kecerdasan anak juga mengalami
penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor, sering terlihat pertumbuhan dan
perkembangan anak normal.
5.    Pola Makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah makan, sehingga BB rendah dan tidak
sesuai usia.
6.    Pola Aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak lebih banyak
tidur/istirahat karena anak mudah lelah.
7.    Riwayat Kesehatan Keluarga
Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa apakah orang tua
juga mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak beresiko terkena talasemia
mayor.
8.    Riwayat Ibu Saat Hamil (Ante natal Core – ANC)
Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor
resiko talasemia. Apabila diduga ada faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan
resiko yang mungkin sering dialami oleh anak setelah lahir.
9.    Data Keadaan Fisik Anak Thalasemia
a. Keluhan utama yaitu lemah dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang
seusia.
b. Kepala dan bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan pengobatan mempunyai
bentuk khas, yaitu kepala membesar dan muka mongoloid (hidung pesek tanpa
pangkal hidung), jarak mata lebar, tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva pucat dan kekuningan
d. Mulut dan bibir terlihat kehitaman
e. Dada, Pada inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya pembesaran jantung
dan disebabkan oleh anemia kronik.
f. Perut, Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati (hepatospek
nomegali).
g. Pertumbuhan fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB di bawah normal
h. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas tidak tercapai
dengan baik. Misal tidak tumbuh rambut ketiak, pubis ataupun kumis bahkan
mungkin anak tidak dapat mencapai tapa odolense karena adanya anemia kronik.
i. Kulit, Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering mendapat transfusi
warna kulit akan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini terjadi karena adanya
penumpukan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.    Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang


diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
2.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan
kebutuhan.
3.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan
untuk pembentukan sel darah merah normal.
4.    Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan
neurologis.
5.    Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat, penurunan
Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
6.    Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi.

3. INTERVENSI

1.    Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang


diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
Kriteria hasil :
  Tidak terjadi palpitasi
  Kulit tidak pucat
  Membran mukosa lembab
  Keluaran urine adekuat
  Tidak terjadi mual/muntah dan distensil abdomen
  Tidak terjadi perubahan tekanan darah
  Orientasi klien baik.
Intervensi :
  Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/ membran mukosa, dasar
kuku.
  Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien dengan
hipotensi).
  Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
  Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan memori,
bingung.
  Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh hangat sesuai
indikasi.
  Kolaborasi pemeriksaan laboratorium, Hb, Hmt, AGD, dll.
  Kolaborasi dalam pemberian transfusi.
  Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.

2.    Intoleransi aktivitas berhubungan degnan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan


kebutuhan.
Kriteria hasil :
  Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi, pernapasan dan
Tb masih dalam rentang normal pasien.
Intervensi :
  Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan kesulitan
dalam beraktivitas.
  Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
  Catat respin terhadap tingkat aktivitas.
  Berikan lingkungan yang tenang.
  Pertahankan tirah baring jika diindikasikan.
  Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
  Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
  Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
  Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
  Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
  Gerakan teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.

3.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencerna / ketidakmampuan mencerna makanan / absorbsi nutrien yang diperlukan
untuk pembentukan sel darah merah normal.
Kriteria hasil :
  Menunjukkan peningkatan berat badan/ BB stabil.
  Tidak ada malnutrisi.
Intervensi :
  Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.
  Observasi dan catat masukan makanan pasien.
  Timbang BB tiap hari.
  Beri makanan sedikit tapi sering.
  Observasi dan catat kejadian mual, muntah, platus, dan gejala lain yang
berhubungan.
  Pertahankan higiene mulut yang baik.
  Kolaborasi dengan ahli gizi.
  Kolaborasi Dx. Laboratorium Hb, Hmt, BUN, Albumin, Transferin, Protein, dll.
  Berikan obat sesuai indikasi yaitu vitamin dan suplai mineral, pemberian Fe tidak
dianjurkan.
DAFTAR PUSTAKA

anie, A, 2004. Kajian DNA thalasemia alpha di medan. USU Press, Medan
Hartoyo, Edi, dkk. 2006. ”Standar Pelayanan Medis. Fakultas Kedokteraan Unlam
/ RSUD Ulin Banjarmasin.
Hoffband, A, dkk, 2005. Kapita selekta Hematologi. Penerbit buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
info.services@nucleus-precise.com
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classification
(NIC), Mosby Year-Book, St. Louis
Kuncara, H.Y, dkk, 2002,  Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, EGC, Jakarta 
Mansjoer, arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran  E d i s i k e - 3 J i l i d 2 . Media
Aesculapius Fkul.
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-Book,
St. Louis
Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-
2002,  NANDA.
McCloskey, J.C., 1996. Nursing Intervention Classification (NIC). 2nd Edition. Mosby Year
Book: USA
North American Nursing Diagnosis Association., 2001. Nursing Diagnoses : Definition &
Classification 2001-2002. Philadelphia.
Supardiman, I, 2002. Hematologi Klinik. Penerbit alumni bandung.
Suriadi S.Kp dan Yuliana Rita S.Kp, 2001, Asuhan Keperawatan Anak, Edisi I. PT Fajar
Interpratama : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai