Anda di halaman 1dari 27

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/322007917

URGENSITAS PEMBAHASAN KEPARIWISATAAN DALAM PROGRAM LEGISLASI


NASIONAL PERIODE 2014-2019 DITINJAU DARI PERSPEKTIF POLITIK HUKUM

Research Proposal · December 2017


DOI: 10.13140/RG.2.2.21021.20963

CITATIONS READS

0 1,431

1 author:

Regina Naomi
Universitas Padjadjaran
2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Hak Kekayaan Intelektual: Ekspresi Budaya Tradisional View project

All content following this page was uploaded by Regina Naomi on 22 December 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


URGENSITAS PEMBAHASAN KEPARIWISATAAN DALAM
PROGRAM LEGISLASI NASIONAL PERIODE 2014-2019 DITINJAU
DARI PERSPEKTIF POLITIK HUKUM

Diajukan guna memenuhi ujian akhir semester mata kuliah


Politik Hukum

Disusun Oleh:
Regina Naomi Nalurita – 110620170027

Dosen:
Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H.
Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M.

FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan tugas ini. Cita-cita untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai
garda terdepan pemasukan kas negara nampaknya masih menemui banyak halang
rintang. Banyaknya regulasi yang ada, tidak sejalan dengan pemerataan
pembangunan kepariwisataan di Indonesia.
Dari berbagai banyak prolegnas yang penulis amati, penulis memilih
untuk menganalisis prolegnas kepariwisataan. Program legislasi ini bertujuan
untuk membentuk identitas pariwisata Indonesia dalam berbagai bentuk
manifestasinya seperti karakter bangsa, budaya dan tradisi Indonesia kepada dunia
luar. Program ini diharapkan mampu mencitrakan Indonesia di mata turis
mancanegara agar mereka menikmati pariwisata di Indonesia dan tentunya
menambah pemasukan bagi negara.
Walaupun program ini sudah dicanangkan sejak tahun 2015, namun
ternyata tidak serta merta menunjukkan kemajuan. Keinginan untuk melakukan
perubahan terhadap UU Kepariwisataan Indonesia masih berupa angan-angan
belaka. Maka dari itu, penulis akan berusaha memaparkan analisis terhadap
permasalahan pembahasan kepariwisataan dalam Prolegnas periode 2014-2019 di
Indonesia ditinjau dari perspektif politik hukum. Akhir kata, penulis berharap
penelitian ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya terkhusus yang
memiliki ketertarikan khusus di bidang kepariwisataan Indonesia. Demikian kata
pengantar ini penulis susun dengan segala keterbatasan yang penulis miliki.
Penulis sangat terbuka dengan saran dan kritik yang membangun guna
perkembangan penulis. Terima kasih.

Bandung, 17 Desember 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

K ATA P ENGANTAR………………………………………………………………………………………..II
D AFTAR ISI ………………………………………………………………………………………….…....III
B AB I P ENDAHULUAN
A. L ATAR B ELAKANG ………………………………………………………………….…..…...1
B. IDENTIFIKASI M ASALAH …………………………………………………….……..…….…2
B AB II P EMBAHASAN
A. A NALISIS TERHADAP TERHADAP URGENSI PEMBAHASAN PROGRAM
LEGISLASI NASIONAL DI BIDANG K EPARIWISATAAN PERIODE 2014-
2019…………..………………………………………………..……………..……………....3
B. H AMBATAN DALAM MEREALISASIKAN P ROGRAM L EGISLASI N ASIONAL UU
K EPARIWISATAAN …………………………………………………………..……………...15
B AB III P ENUTUP
A. K ESIMPULAN …………………………………………………………………….……..…...20
B. R EKOMENDASI ……………………………………………………………………….........21
D AFTAR P USTAKA…………………………………………………….………………………….........22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kepariwisataan adalah salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
pembangunan nasional sehingga pelaksanaannya harus dilakukan secara
integratif, sistematis, terpadu, berkelanjutan dan bertanggung jawab.1Maka dari
itu, kepariwisataan merupakan urusan yang wajib dikelola baik oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah menurut asas-asas pembagian kewenangan.
Dikarenakan urusan kepariwisataan menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dibutuhkan pengaturan melalui
peraturan perundang-undangan agar terlihat jelas bidang-bidang mana saja yang
harus dikelola dan bagaimana tata kelola daerah-daerah yang memiliki potensi
pariwisata yang besar.
Indonesia, sebagai negara kesatuan yang terbagi atas 17.508 pulau
memiliki berjuta potensi pariwisata yang dapat menjadi daya tarik utama turis
mancanegara untuk datang. Atas potensi tersebut, dibentuklah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (untuk
selanjutnya disebut dengan UU Kepariwisataan) sebagai bentuk perlindungan dan
penjaminan mutu pariwisata Indonesia. Undang-Undang ini kemudian berlaku
dibawah pengawasan langsung Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
(selanjutnya disebut Kemenparekraf).
Puncak kesuksesan dari sektor pariwisata Indonesia ditandai dengan
peningkatan turis mancanegara menjadi 6 juta di tahun 2011, 8,04 juta di tahun
2012, 8,8 juta di tahun 2013, 9,44 juta di tahun 2014 dan 10,98 juta di tahun 2016
2
kemarin. Peningkatan jumlah turis mancanegara ini jelas menunjukkan
peningkatan pendapatan negara juga. Namun, tren peningkatan jumlah turis
mancanegara ini juga harus diikuti dengan pembangunan sektor pariwisata yang


1
Konsideran huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan
2
Badan Statistik Pariwisata 2016.

1
berkelanjutan juga. Banyak sekali potensi wisata yang tidak dikelola dengan
standar yang baik atau bahkan tidak dikelola sama sekali. Hal ini menandakan
masih belum tercapainya tujuan yang tercantum dalam UU Kepariwisataan.
Maka, terdapat urgensi untuk melakukan pembaharuan terhadap UU
Kepariwisataan untuk menyesuaikan sasaran dari UU Kepariwisataan dengan
kondisi pariwisata Indonesia dewasa ini. Pembaharuan tersebut dicanangkan
melalui Prolegnas Indonesia periode 2014-2019. Namun, hingga saat ini belum
terdapat kemajuan mengenai perubahan UU Kepariwisataan tersebut.
Sehingga, selain perlunya pembentukan peraturan yang lebih jelas lagi
mengenai tata kelola pariwisata Indonesia, perlu juga strategi pemosisian
(positioning) agar peningkatan tren pariwisata Indonesia terus meningkat dalam
3
jangka panjang. Maka dari itu, penelitian ini akan membahas mengenai
urgensitas pembahasan pariwisata dalam program legislasi nasional periode 2014-
2019 ditinjau dari perspektif Politik Hukum dan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan.

B. Identifikasi Masalah
1. Apa urgensi dari pembahasan kepariwisataan dalam program legislasi
nasional periode 2014-2019 ditinjau dari perspektif politik hukum?
2. Apa hambatan dalam merealisasikan program legislasi nasional UU
Kepariwisataan?


3
Hawkins D.I., Consumer Behaviour: Building Marketing Strategy, Amerika: McGraw-
Hill Companies, 1998, hlm. 352.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Analisis terhadap urgensi pembahasan program legislasi nasional di


bidang Kepariwisataan periode 2014-2019

Pengertian Program Legislasi Nasional menurut Pasal 1 angka 9 UU


Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang
disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Perencanaan program
pembentukan Undang-Undang yang berencana, terpadu dan sistematis tersebut
memuat skala prioritas program legislasi nasional jangka menengah (lima tahun)
dan program legislasi nasional tahunan yang sesuai dengan program
pembangunan nasional, dan perkembangan kebutuhan dalam masyarakat.

Secara garis besar Prolegnas merupakan bagian dari sistem hukum


nasional. Sistem hukum nasional terdiri atas 4 (empat) sub-sistem atau unsur,
yang meliputi4:

1) budaya atau kesadaran hukum (legal culture);


2) materi hukum (legal substance);
3) aparatur hukum (legal apparatus); dan
4) sarana prasarana hukum (legal structure).

Prolegnas juga memuat suasana politik hukum sebagaimana diatur dalam


UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan kata lain, prolegnas berperan sebagai sarana penjabaran politik hukum
untuk mencapai tujuan negara dalam periode tertentu. Rencana UU yang akan


4
Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, New York: W.W. Norton and
Company, 1984.

3
dibuat dalam jangka waktu lima tahun yang disusun berdasarkan tingkatan
prioritasnya adalah substansi yang terkandung di dalam Prolegnas. Selain itu,
prolegnas juga berperan sebagai acuan pembuatan UU yang sifatnya mengikat.
Oleh karena itu, untuk mencapai konsistensi pembuatan suatu undang-undang
dengan konstitusi, harus dilakukan melalui alur politik hukum nasional yang telah
diatur dengan rapi agar setiap hukum selalu mengalir dan konsisten dengan tujuan
negara, sistem hukum, kaidah penuntun dan konstitusi.5

Program Legislasi Nasional sebagai instrumen pembentukan peraturan


pembentukan perundang-undangan nasional sering menjadi sorotan publik hampir
setiap tahun karena dikaitkan dengan penilaian kinerja DPR dan Pemerintah
sebagai lembaga yang diberi wewenang untuk membentuk undang-undang. 6
Prolegnas adalah tolak ukur dari kesuksesan dari kinerja anggota DPR dalam
menghasilkan produk undang-undang. Indikator yang ditetapkan untuk
menentukan kesuksesan pencapaian target prolegnas adalah kualitas dan kuantitas
dari undang-undang yang dihasilkan.

Tujuan diciptakannya Prolegnas adalah untuk menjaga eksistensi negara


Indonesia sebagai negara hukum. Oleh karena itu, diperlukannya legalitas dalam
wujud Undang-Undang untuk menjalankan sebuah pemerintahan yang baik.
Dengan terhambatnya pencapaian Prolegnas, maka akan berpotensi menciptakan
kekosongan hukum pada bidang-bidang tertentu. Jika undang-undang yang
dihasilkan cenderung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka


5
Ricko Wahyudi, “Pembaruan Hukum Agraria Melalui Rancangan Undang-Undang
Bidang Hukum Agraria dalam Program Legislasi Nasional 2010- 2014”, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2011, hlm. 53.
6
Andi Mattalata, Peran Program Legislasi Dalam Pembangunan Hukum Nasional,
dalam Badan Pembangunan Hukum Nasional, Tiga Dekade Program Legislasi Nasional
dan BPHN, Jakarta: BPHN, 2004, hlm. 7.

4
berimbas pada terlanggarnya hak-hak warga negara dan terganggunya sistem
hukum.7
Prolegnas secara otomatis juga berpengaruh untuk menentukan tingkat
kepercayaan masyarakat kepada lembaga negara, khususnya DPR, DPD dan
Pemerintah selaku legislator. Tugas yang harus dipikul lembaga-lembaga negara
tersebut adalah tugas yang tidak mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena itu,
presisi dan sinergitas antar lembaga negara sangat dibutuhkan untuk mewujudkan
undang-undang yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Prolegnas dalam tataran operasional memuat daftar RUU yang disusun
berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi
pembangunan hukum nasional. 8 Prolegnas merupakan salah satu instrumen
pembangunan hukum yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan negara sesuai
dengan konstitusi, yakni:
1. melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta seluruh tumpah darah
Indonesia;
2. memajukan kesejahteraan umum;
3. mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial mealui pembangunan hukum
nasional.
Tujuan utama dari Prolegnas adalah untuk melakukan perubahan terhadap
konstitusi yang mengukuhkan negara sebagai pilar konstitualisme yang
berimplikasi pada perubahan sistem ketatanegaraan. Selain itu, perkembangan
globalisasi yang dilegalkan melalui berbagai perjanjian internasional berimplikasi
pada perubahan pola hubungan antara negara dengan maupun bubungan antara
negara dan warga negara.9


7
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar
Maju, 2003, hlm. 66.
8
Rachmad Maulana Firmansyah (et. al.), Catatan Kinerja DPR 2012: Fondasi Tahun
Politik, Jakarta: PSHK, 2013, hlm. 16.
9
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya, 2000, hlm. 206.

5
Keberadaan Prolegnas dalam pembangunan nasional dihadirkan untuk
menata sistem hukum nasional secara menyeluruh dan terpadu yang tidak dapat
dipisahkan dari cita-cita negara hukum (rechtstaat) yang tertuang dalam Pasal 1
ayat (3) UUD 1945. Prinsip-prinsip negara hukum dimana menjadi instrumen
tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara (supremasi hukum),
persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law), serta
menjadikan hukum sebagai landasan operasional dalam menjalankan sistem
kehidupan bermasyarakat, berbanagsa dan bernegara. 10 Kuantitas pencapaian
Prolegnas yang terbilang rendah dari sisi kuantitas maupun kualitas sejak periode
2005-2009 hingga periode 2014-2019 menjadi problematika penting dalam
pembangunan hukum. Dampak dari rendahnya undang-undang yang dibuat oleh
suatu negara juga dapat mengancam eksistensi dan reputasi negara itu sendiri.
Bidang kepariwisataan juga merupakan salah satu bidang yang tercantum
di dalam pembahasan Prolegnas periode 2014-2019. Bagi setiap negara, sektor
pariwisata berperan penting dalam menggerakkan ekonomi nasional. Selain itu,
kontribusinya terhadap PDB dunia terus meningkat dan penyediaan lapangan
pekerjaan pariwisata juga semakin tinggi. Pertumbuhan pariwisata saat ini
mencapai angka 5% atau dua-tiga kali lebih tinggi dari pada pertumbuhan
ekonomi dunia. Sementara itu, pertumbuhan sektor pariwisata Indonesia mencapai
11% di tahun 2011. Tingginya pertumbuhan sektor pariwisata di Indonesia terlihat
pada penerimaan devisa negara dari sektor pariwisata menempati urutan kelima
dengan angka menembus 8,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp75 triliun ditahun
yang sama. Kondisi ini menunjukkan bahwa daya tahan pariwisata ditengah
ketidak pastian ekonomi global tetap kuat sehingga sektor ini terus mengalami
pertumbuhan.
Aktivitas pariwisata di Indonesia mulai terlihat sejak diundangkannya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1960 tentang
Kepariwisataan. Latar belakang pembentukan undang-undang ini adalah karena
banyaknya potensi wisata di Indonesia yang belum dikelola dengan baik. Melalui


10
Saldi Isra, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi: Catatan Hukum, Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2009, hlm. 48.

6
undang-undang ini juga Indonesia diakui oleh dunia sebagai negara yang memiiki
aset sangat banyak dalam jumlah situs warisan dan budaya. Namun, jumlah situs
wisata yang sangat banyak ini tidak sejalan dengan jumlah turis mancanegara dan
pendapatan negara dari sektor pariwisata. Terjadi ketimpangan antara hal-hal yang
nyata terjadi (Das Sein) dengan hal-hal yang seharusnya terjadi (Das Sollen) serta
kesenjangan yang terjadi diantara keduanya.11
Hal yang sangat menjadi perhatian khusus adalah bagaimana bisa jumlah
potensi wisata yang sangat banyak ini tidak bisa mendatangkan target pencapaian
pendapatan negara yang telah direncanakan. Selain itu, yang terlebih lagi adalah
permasalahan kepariwisataan yang dialami tadi terus terjadi hingga tahun ini.
Banyaknya potensi wisata yang ada tidak sebanding dengan target pendapatan
negara yang ingin dicapai. Penulis menyimpulkan ada beberapa permasalahan
utama yang dihadapi Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang
diantaranya:
1) Instabilitas kondisi masyarakat yang ada di daerah sehingga konflik bisa
terjadi kapan saja tanpa diprediksi;
2) Situs wisata yang ada tidak menimbulkan kenyamanan bagi turis
mancanegara sehingga tidak banyak respon positif terhadap situs wisata
di Indonesia;
3) Minimnya promosi dan keterbukaan informasi terhadap situs wisata di
Indonesia membuat turis mancanegara tidak mengetahui bahwa Indonesia
kaya dengan situs wisata.
Perubahan-perubahan faktor sosial, ekonomi dan budaya yang terjadi di
dalam suatu masyarakat dipengaruhi berbagai faktor internal dan eksternal.
Beberapa faktor yang sekarang telah menjadi bagian dari faktor internal adalah
implementasi perundang-undangan nasional. Hal ini memberi peranan yang
sangat besar terhadap perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Perubahan ini telah mendorong terjadinya perubahan signifikan dalam


11
Violetta Simatupang, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, Bandung: PT
Alumni, 2009, hlm.7.

7
konfigurasi politik nasional yang kemudian mempengaruhi kinerja perekonomian
dan pariwisata di Indonesia.
Salah satu perubahan tersebut adalah diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini antara
lain dirancang untuk mengakomodasi wilayah-wilayah di luar Jawa khususnya
wilayah yang kaya akan sumber daya alam, yang menuntut adanya pengendalian
pihak daerah yang lebih besar. Kebijakan otonomi daerah telah melahirkan
sejumlah perubahan-perubahan yang cukup penting. Di bidang politik misalnya,
otonomi daerah berdampak positif bagi perkembangan demokrasi lokal. Di sisi
lain kebijakan otonomi daerah juga menimbulkan banyak persoalan seperti adalah
lemahnya kemampuan SDM daerah yang selanjutnya akan mempengaruhi
kebijakan daerah dan implementasinya.
Dengan demikian perubahan Undang-Undang No. 10 tahun 2009
diperlukan mengingat peran daerah dalam kerangka otonomi daerah perlu
diakomodir. Pembaharuan terhadap UU Kepariwisataan ini juga diharapkan dapat
memuat konsep kepariwisataan dalam lingkup suatu kawasan serta filosofis
kepariwisataan. Adanya suatu kawasan pariwisata khusus belum diatur dalam
undang-undang pariwisata. Padahal beberapa daerah telah menunjukkan adanya
kekhususan ekonomi yang mengandalkan sektor pariwisata.
Masalah-masalah di atas jelas akan sangat merugikan citra pariwisata
Indonesia sehingga dapat berujung dengan surutnya minat wisatawan untuk
datang ke Indonesia karena merasa haknya tidak terlindungi. Hal inilah yang
menunjukkan bahwa kondisi yang semestinya (Das Sollen) adalah wisatawan
memperoleh informasi terhadap semua situs wisata di Indonesia namun
kenyataannya (Das Sein) informasi terhadap situs wisata itu tidak dapat diakses
dan dirasakan oleh wisatawan.Kesenjangan-kesenjangan inilah yang seharusnya
dapat diatasi baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melalui
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kedudukan negara Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di
dunia seharusnya menunjukkan antusiasmenya dalam melaksanakan
pembangunan negara dari berbagai aspek kehidupan masyarakatnya.

8
Pembentukan peraturan adalah salah satu cara untuk mendobrak perkembangan
pembangunan negara khususnya bagi negara yang sedang berkembang. 12
Sehingga dalam penelitian ini, peran peraturan perundang-undangan khususnya
UU Kepariwisataan menjadi tolak ukur yang sangat vital untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada. Terlebih lagi Indonesia berdasarkan konstitusi
13
menyatakan diri sebagai negara hukum sehingga keberadaan peraturan
perundang-undangan adalah sebuah kewajiban di Indonesia.
Kedudukan sebuah undang-undang hanya menjadi hukum apabila
memenuhi prinsip keadilan. Atau secara sederhana dapat diaratkan bahwa
keadilan yang tertuang dalam ketentuan perundang-undangan merupakan unsur
konstitutif tentang pengertian hukum itu sendiri. 14 Melihat kondisi yang ada
sekarang, perwujudan dari pembahasan pariwisata dalam prolegnas 2014-2019
masih belum tercapai. Prolegnas ini telah dicanangkan sejak tahun 2015 sebagai
upaya pembentukan citra pariwisata Indonesia ke mata dunia. Tujuan dari
prolegnas tersebut akan berperan strategis bagi sektor pariwisata Indonesia,
meskipun pembaharuan terhadap UU Kepariwisataan tersebut masih belum
terwujud.
Kepariwisataan Indonesia dulu dan sekarang dinilai belum memiliki
sistem hukum tersendiri dan karakter perdagangan jasa dalam kegiatan bisnis
pariwisata disamakan objeknya dengan perdagangan jasa pada umumnya.15 UU
Kepariwisataan yang berlaku hingga saat ini dirasa belum mencakup seluruh
aspek keterkaitan pariwisatan dengan aspek bisnis lain, berbagai bidang hukum
dan peraturan perundang-undangan lain seperti Hukum Perlindungan Konsumen,
Hukum Perdata Internasional, Hukum Lingkungan, Hukum Keimigrasian dan
Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual.


12
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: PT
Alumni, 2004, hlm. 35.
13
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
14
Theo Hujibers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1995,
hlm. 70.
15
Ida Bagus Wyasa Putra dkk, Hukum Bisnis Pariwisata, Bandung: PT Refika Aditama,
2003, hlm. 24.

9
Prolegnas Kepariwisataan periode 2014-2019 sendiri telah memiliki tujuan
yang mengarahkan negara kepada kondisi yang semestinya (Das Sein). Prolegnas
Kepariwisataan tersebut masih dalam proses perundingan sehingga pembaharuan
yang dicita-citakan masih belum dapat terwujud secara nyata. Namun dilihat dari
sasaran dan latar belakangnya, Prolegnas tersebut bertujuan untuk mengatasi
beberapa permasalahan yang mengikuti perkembangan masyarakat. Pertama,
instabilitas kondisi masyarakat di daerah sehingga konflik bisa muncul tanpa
diprediksi. Kondisi perekonomian di Indonesia yang fluktuatif menyebabkan
ketidakstabilan sosial di dalam masyarakat. Pendekatan hukum melalui program
pemerintah yang tidak tepat sasaran sangat lumrah terjadi di Indonesia.
Dampaknya, investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. Alasannya satu, ketidakstabilan sosial masyarakat Indonesia tidak
menguntungkan untuk melakukan investasi. Padahal hubungan antara
kepariwisataan dengan bisnis sangatlah erat. Salah satu alasan utama mengapa
negara maju sektor kepariwisataannya maju adalah tingginya tingkat
investasi.16Apabila dianalisis selama periode 20 tahun terakhir, kepariwisataan
dunia menunjukkan peningkatan yang sangat besar terkhusus pada negara-negara
yang kondisi masyarakatnya stabil dan tingkat investasi asingnya tinggi.
Sehingga, dalam hal ini telah jelas terbukti bahwa instabilitas kondisi
masyarakat dan kondisi ekonomi akan beriringan dengan arus investasi asing
yang masuk ke dalam negeri. Arus investasi asing yang masuk ke dalam negara
akan berguna untuk memajukan aspek-aspek dalam kehidupan bernegara dimana
terdapat kesesuaian antara permintaan dan persediaan baik barang ataupun jasa.17
Dilihat dari permasalahan yang pertama, Indonesia melalui Prolegnas
Kepariwisataan periode 2014-2019 diharapkan mampu untuk mewujudkan cita-
cita negara dengan cara mempromosikan sektor pariwisata di Indonesia
khususnya kepada wisatawan dalam negeri terlebih dahulu. Hal ini sejatinya telah
diatur dalam Pasal 29 huruf J UU Kepariwisataan yang menyatakan bahwa,


16
Oka A. Yoeti, Pemasaran Pariwisata, Bandung: Angkasa, 2010, hlm. 33.
17
Karl E Case & Ray C Fair, Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, Jakarta: PT Prenhallindo,
2006, hlm. 57.

10
“Pemerintah provinsi berwenang untuk memfasilitasi promosi destinasi
pariwisata yang berada di wilayahnya”. Melalui ketentuan ini telah
diejawantahkan kepada pemerintah provinsi dan instansi vertikal di bawahnya
bahwa setiap promosi kepariwisataan wajib difasilitasi.
Adapun cara lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan instabilitas
sosial dan ekonomi tadi adalah dengan membentuk peraturan pelaksana dari UU
Kepariwisataan baik melalui PP atau dalam bentuk Perda Provinsi/Kabupaten.
Kedua instrumen hukum dibawah tadi dapat memfokuskan objek bisnis pariwisata
sebagai fokus utamanya. Apalagi potensi setiap daerah di Indonesia yang berbeda-
beda tidak memungkin hanya diatur melalui satu ketentuan umum yang sifatnya
terlalu luas.
Prolegnas Kepariwisataan periode 2014-2019 juga mencanangkan
pengaturan kawasan pariwisata khusus yang menjamin keberlangsungan usaha
pariwisata sebagai salah satu tulang punggung ekonomi masyarakat dan daerah
dalam kawasan tersebut. Kawasan pariwisata khusus tersebut akan dikelola oleh
Pemerintah Daerah sehingga konsentrasi akan pengembangan potensinya akan
lebih efektif. Diharapkan dengan pengaturan kawasan pariwisata khusus tersebut
akan menambah pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi dan meningkatkan
taraf hidup masyarakat sekitar obyek wisata.
Permasalahan kedua adalah ketidaknyamanan wisatawan baik dalam
negeri ataupun mancanegara ketika berada di situs wisata Indonesia.
Permasalahan ini merupakan masalah klasik bidang kepariwisataan Indonesia dari
dulu hingga sekarang. Kesenjangan antara peraturan dengan kenyataan jelas
terlihat dalam masalah ini. Seringkali banyak objek wisata yang tidak dikelola
dengan baik atau bahkan tidak dikelola sama sekali. Hal ini disebabkan oleh
miskoordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap urusan-
urusan pemerintah yang beririsan diantara keduanya.
Ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah ini
dapat terjadi karena ada kekosongan hukum dan salah penafsiran mengenai
ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945. Padahal, ada banyak sekali prinsip

11
pembagian tugas dan wewenang yang tercantum dalam pasal tersebut,
diantaranya:18
4) Prinsip daerah provinsi, daerah kabupaten/kota diberikan kewenangan
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind). Ini bermakna bahwa
pemerintah daerah merupakan bagian yang lebih kecil dari negara
Indonesia yang tidak berbentuk negara (staat), namun memiliki
kemampuan untuk mengembangkan diri secara mandiri.
5) Prinsip menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai potensi yang
ada. Dikarenakan tiap-tiap daerah memiliki potensi sumber daya yang
berbeda-beda, maka tidak mungkin diberikan pengaturan yang sama antar
daerah karena akan mengakibatkan ketidakoptimalan sumber daya.
Kondisi di atas memang lumrah terjadi di negara-negara yang wilayahnya
terbagi atas banyak daerah. Seringkali pemerintah pusat terlihat mendominasi
roda penyelenggaraan negara sedangkan pemerintah daerah diberi porsi yang
sangat sedikit.19 Dalil pemerintah pusat untuk mendominasi dilakukan untuk tetap
menjaga kesatuan negara dan integritas negara. Padahal, untuk membangun
sebuah negara dibutuhkan sinergitas, tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat
namun pemerintah daerah juga. Apalagi sumber daya potensial (yang jumlahnya
sangat besar) berada dalam yurisdiksi pemerintah daerah, apabila tidak
dimanfaatkan secara efektif dan optimal, alhasil tujuan utama pembangunan
nasional dan pemerataan antar daerah akan sangat sulit dicapai. Maka dari itu,
untuk mencegah terjadinya kekuasaan yang terlalu dominan dipegang oleh
pemerintah pusat yang ujungnya mengakibatkan perpecahan 20 , dilakukanlah
pembagian urusan pemerintahan, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.


18
Bagir Manan, Menyongsong Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum FH UII,
Yogyakarta, hlm. 5-17.
19
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi
RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2004, hlm. 218.
20
Indah Qurbani, Hubungan Wewenang Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Vol.
9 No.2, Desember 2014, hlm. 141.

12
Pelimpahan urusan pemerintahan jelas diperbolehkan mengingat urusan
kepariwisataan merupakan bagian dari urusan pemerintahan konkuren. Urusan
pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang terbagi atas pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Pembagian tugas kepada pemerintah daerah menjadi
dasar penyelenggaraan otonomi daerah. Urusan konkuren terbagi lagi menjadi 2
(dua) yaitu urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan.21 Urusan
pemerintahan wajib adalah urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada
warga negara seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan rakyat,
pekerjaan umum dan lain sebagainya. Sedangkan urusan pemerintahan pilihan
contohnya adalah pariwisata, pertanian, kelautan, kehutanan dan lain sebagainya.
Alasan mengapa perlu adanya pembagian tugas antara pemerintah pusat dengan
daerah adalah agar tercapai efektivitas, akuntabilitas dan efisiensi dalam
penyelenggaraan negara.
Dari kedua prinsip-prinsip yang tercantum dalam ketentuan Pasal 18 UUD
1945, seharusnya pemerintah pusat memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
kepada pemerintah daerah untuk memanfaatkan potensi daerah dengan sebaik-
baiknya. Dikarenakan setiap daerah memiliki potensi daerah yang berbeda,
pemerintah daerah juga harus membuat pengaturannya sendiri sesuai kebutuhan
daerah agar potensi yang ada dapat dimanfaatkan dengan baik. Atau pemerintah
daerah dapat melibatkan pihak swasta untuk melakukan pengelolaan potensi
wisata agar baik wisatawan dalam negeri atau mancanegara dapat datang dan
memberikan pemasukan kepada negara.
Permasalahan ketiga adalah minimnya promosi dan keterbukaan informasi
terhadap situs wisata di Indonesia membuat turis mancanegara tidak mengetahui
bahwa Indonesia kaya dengan situs wisata. Permasalahan ini sangat lumrah terjadi
di negara yang sedang berkembang dimana keterbukaan teknologi akan
menunjukkan kemudahan untuk mengakses sebuah informasi di suatu negara.
Indonesia, negara yang terdiri dari 250 juta penduduk yang tersebar dari Sabang


21
Abdul Rauf Alauddin Said, Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-Daerah dalam
Otonomi Seluas-Luasnya Menurut UUD 1945, Jurnal FH Unila Fiat Justitia, Volume 9
No. 4 Oktober, 2015, hlm. 593.

13
sampai Merauke tidak memiliki hak yang sama terhadap teknologi. Bagi mereka
yang bertempat tinggal di Pulau Jawa sangat mudah untuk memperoleh informasi
karena akses teknologi yang merata. Namun, bagi mereka yang tinggal di luar
Pulau Jawa tidaklah demikian. Mereka masih sangat memiliki keterbatasan untuk
mengakses teknologi. Hal ini jelas belum sejalan dengan grand design yang
dicita-citakan bangsa Indonesia karena masih belom tercapainya pemerataan
teknologi bagi seluruh masyarakat.
Ketidakserasian antara grand design dengan kenyataan yang ada
senyatanya sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo yang menyatakan
bahwa hukum bukanlah tujuan akhir, tapi hukum ada sarana untuk mencapai
tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang berdasarkan rangsangan dari
luar hukum, sehingga hukum akan terus berjalan secara dinamis.22 Dalam hal ini
pemerintah pusat sebagai roda utama penggerak negara memang harus
mengupayakan hak yang sama terhadap teknologi kepada seluruh warganegara
karena keadilan merupakan hak setiap warga negara. Bagaimana mungkin suatu
negara akan memiliki akses terhadap teknologi yang sama apabila pemerintah
pusatnya tidak memprioritaskan permasalahan ini menjadi prioritas utama bangsa.
Sehingga, untuk menyelesaikan permasalahan ini pemerintah harus berupaya
keras untuk menempatkan keterbukaan terhadap teknologi dan informasi yang
sama secara nasional agar pembangunan kepariwisataan Indonesia dapat berjalan
sesuai grand design yang dicita-citakan.


22
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2002, hlm. 40.

14
B. Hambatan dalam merealisasikan Program Legislasi Nasional UU
Kepariwisataan
Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum adalah aktivitas memilih suatu
tujuan sosial tertentu dan keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai
tujuan maupun cara-cara yang hendak dicapai untuk mencapai tujuan tersebut.23
Demikian pula latar belakang direncakannya pembaharuan terhadap UU
Pariwisata merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk memajukan
kesejahteraan rakyat melalui bidang pariwisata. Politik hukum adalah dasar dari
dibentuknya suatu undang-undang, dalam konteks ini adalah UU Pariwisata,
untuk mencapai suatu cita-cita atau tujuan tertentu yakni pembangunan nasional.
Guna mencapai target realisasi Prolegnas Kepariwisataan periode 2014-
2019 tersebut, terdapat berbagai hambatan untuk merealisasikannya yang harus
diatasi oleh seluruh golongan masyarakat. Bercermin dari pengalaman
sebelumnya pada periode 2005-2009, hambatan tersebut tidak jauh berbeda
dengan kondisi saat ini. Disadari bahwa terdapat beberapa faktor penghambat
dalam pelaksanaan Prolegnas pada periode 2005-2009 baik kendala teknis
maupun substanstif yang antara lain sebagai berikut;24

1. Penentuan jumlah RUU sebanyak 284 RUU, belum sepenuhnya


menggunakan kriteria yang jelas dan tepat, dikaitkan dengan kebutuhan
hukum yang ada. Penentuan daftar judul yang masuk tidak disertai
ketersedian kelengakapan pendukung seperti NA dan naskah RUU-nya
sehingga terjadi beberapa judul RUU memiliki kesamaan atau setidaknya
kedekatan substansi materi yang akan diatur.

23
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 35.

24
Badan Legislasi DPR RI, Program Legislasi Nasional 2005-2009, 2009, hlm. 62-63.

15
2. Penentuan target prioritas tahunan juga belum sepenuhnya
mempertimbangkan kapasitas dan ketersediaan waktu legislasi. Seperti
diketahui, di DPR berlaku kesepakatan adanya hari legislasi yang
jumlahnya hanya 2 hari kerja dalam setiap minggu legislasi.
3. Lemahnya parameter yang digunakan untuk menentukan RUU yang akan
dimasukan dalam Prolegnas. Tidak ada persyaratan yang ketat terutama
menyangkut identifikasi permasalahan yang akan diatur baik dari aspek
filosofis, sosiologis dan yuridis.
4. Komitmen terhadap Prolegnas sebagai satu-satunya instrumen
perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan, belum
sepenuhnya ditaati baik oleh pemerintah maupun DPR, sehingga masih
sering terjadi masuknya RUU yang sebelumnya tidak tercantum dalam
daftar, menjadi RUU yang diagendakan untuk dibahas di DPR.
5. Mekanisme pembahasan RUU di lingkungan DPR membutuhkan waktu
yang panjang, karena keharusan adanya DIM lebih dulu dan harus
mendapatkan persetujuan semua fraksi.

Selain itu, muncul pula faktor internal yang menghambat realisasi dari
Prolegnas UU Kepariwisataan yang meliputi:
1. Kelemahan pengelolaan kepariwisataan Indonesia
Terdapat urgensi untuk melibatkan pihak swasta dan pemerintah
daerah untuk memajukan potensi kepariwisataan. Pada dasarnya, tidak ada
negara yang mampu memenuhi kebutuhan negaranya hanya dengan
mengandalkan peran pemerintah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut sebagai UUPM)
diundangkan untuk membuka kesempatan bagi penanam modal asing
untuk berinvestasi di bidang usaha pariwisata.
Peran sektor swasta dalam pariwisata dapat membawa perubahan
yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Dalam Pasal 30 UUPM
diamanatkan agar pemerintah daerah lebih diberdayakan, baik dalam
pengembangan potensi di setiap daerah maupun dalam hal koordinasi

16
promosi mengenai kepariwisataan serta pelayanan penanaman
25
modal. Secara obyektif dapat dikatakan bahwa pengembangan
penanaman modal khususnya penanaman modal asing dalam bidang
pariwisata sangatlah menjanjikan dan memberi peluang besar, dengan
syarat pemerintah mampu membuat berbagai kebijakan yang dapat
mendukung kegiatan pariwisata secara adil dan tanpa mengandung unsur
diskriminasi di dalamnya.26
Investor asing maupun dalam negeri membutuhkan jaminan atas
perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah Indonesia.
Pemerintah harus mampu memberikan kepastian hukum bagi calon
investor untuk mencegah investor menjadi enggan untuk menanamkan
modalnya dikarenakan tidak adanya kepastian hukum dan jaminan
perlindungan dari pemerintah. Pemerintah perlu meregulasikan peraturan
perundang-undangan berstrategi mengundang minat calon investor untuk
menanamkan modalnya di Indonesia.
Selain dari sisi birokrasi, investor juga sering tersandung pada
permasalahan-permasalahan untuk berinvestasi di bidang pariwisata.
Permasalahan-permasalahan yang menghambat pembangunan pariwisata
antara lain adalah: (1) belum pulihnya citra keamanan nasional akibat
beberapa aksi terorisme di dalam maupun di luar negeri; (2) belum optimal
dan efektifnya pengelolaan pemasaran baik dalam maupun luar negeri, (3)
belum optimalnya pengembangan dan pengelolaan destinasi
pariwisata. 27 Peran pemerintah untuk menjaga stabilitas negara dalam
bidang pertahanan, politik dan ekonomi sangat krusial dalam memajukan
potensi pariwisata Indonesia.


25
Kezia Frederika Wasiyono & I Ketut Sudiarta, “Upaya Pencapaian Iklim Usaha
Kondusif Bagi Penanaman Modal (Investasi) Dalam Kegiatan Bisnis Pariwisata”, Kertha
Negara,Volume 01 Nomor 01, hlm. 4, 2013.
26
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kuwais:2010, hlm 263-264.
27
Arie Chandra & Atom Ginting Munthe, “Profil Kesiapan Daerah Dalam Memasuki
Masyarakat Ekonomi ASEAN Studi kasus: Sektor Kepariwisataan Jawa Barat 2012”,
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan, hlm.
17, 2012.

17
Maka, dibutuhkan keseimbangan peran antara pemegang saham
dan/atau pemerintah, pelaku industri maupun masyarakat dalam
pembangunan kepariwisataan. Keseimbangan tersebut diharapkan mampu
untuk mengatasi kompleksitas permasalahan pariwisata dan juga untuk
mengurangi intensitas konflik kepentingan antar pemegang saham;
2. Minimnya lapangan kerja di bidang kepariwisataan sehingga tingkat
partisipasi masyarakat daerah rendah. Hal ini harus diatasi dengan
membuka kesempatan kepada masyarakat untuk turut terlibat dalam
merencanakan dan mengembangkan pariwisata di daerah. Dengan
demikian, sektor pariwisata diharapkan dapat memberikan kontribusi yang
lebih besar dalam pembangunan nasional. Tata kelola destinasi pariwisata
perlu diselenggarakan secara sistematis, terpadu dan berorientasi pada
masyarakat lokal. Pengelolaan yang tepat menjadi sangat penting dalam
mengembangkan destinasi pariwisata dengan karakter yang berbeda;
3. Pembagian wewenang pemerintahan yang kurang harmonis. Pemerintah
daerah adalah pihak yang lebih mengenal potensi daerahnya sendiri. Oleh
karena itu, pemerintah daerah adalah instansi pemerintah yang memiliki
kewenangan lebih luas dengan asumsi bahwa pemerintah daerah lebih
mengetahui kebutuhannya masing-masing;
4. Minimnya promosi untuk mengundang minat wisatawan untuk
berkunjung. Untuk mengatasi hal ini, perlu diterapkan konsep ekonomi
kreatif pariwisata untuk mengantisipasi perkembangan pariwisata dunia ke
depan.

Tidak jarang bahwa prolegnas dilahirkan atas identifikasi masalah hukum


yang tidak terlalu mendesak untuk dipecahkan. Syarat teknis diajukannya suatu
RUU ke dalam daftar prolegnas dinilai berdasarkan latar belakang dan
urgensinya. Hal ini dilakukan guna mencegah penumpukan RUU dalam
Prolegnas. Meskipun demikian, sering kali latar belakang, urgensi dan ruang
lingkup yang muncul dalam prolegnas justru tidak mencerminkan kebutuhan yan
gmendesak akan suatu pembaharuan undang-undang. Latar berlakang prolegnas

18
berperan krusial dalam proses pengambilan keputusan untuk mengetahui mengapa
suatu RUU harus segera diselesaikan. Selain itu, latar belakang prolegnas juga
merupakan informasi yang patut dan wajib diketahui masyarakat sebagai pihak
yang kelak akan mengimplementasikan undang- undang tersebut di kehidupan
sehari-hari, dan bahkan dapat dikenai sanksi jika melakukan pelanggaran
ketentuan terhadap undang-undang tersebut.

Tugas prolegnas adalah menentukan pilihan atas penilaian dan prioritas


kebutuhan kebutuhan hukum yang harus dipenuhi dan penentuan prioritas
penyelesaiannya. Tugas ini ditujukan supaya RUU yang dihasilkan adalah RUU
yang sesuai kebutuhan masyarakat, bukan melainkan produk partai politik semata.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Prolegnas Kepariwisataan periode 2014-2019 masih berada di tahap
perundingan, sehingga pembaharuan undang-undang yang dicita-citakan belum
dapat terwujud secara nyata. Namun dilihat dari sasaran dan latar belakangnya,
Prolegnas tersebut bertujuan untuk mengatasi beberapa permasalahan yang
mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, terdapat urgensi yang
tinggi untuk dilakukannya pembahasan kepariwisataan dalam program legislasi
nasional periode 2014-2019 berdasarkan tiga permasalahan utama di sektor
pariwisata Indonesia, diantaranya:
1. Instabilitas kondisi masyarakat yang ada di daerah sehingga konflik bisa
terjadi kapan saja tanpa diprediksi;
2. Situs wisata yang ada tidak menimbulkan kenyamanan bagi turis
mancanegara sehingga tidak banyak respon positif terhadap situs wisata di
Indonesia;
3. Minimnya promosi dan keterbukaan informasi terhadap situs wisata di
Indonesia membuat turis mancanegara tidak mengetahui bahwa Indonesia
kaya dengan situs wisata.
Tiga permasalahan sektor pariwisata di atas terjadi karena ada kesenjangan
antara hal yang semestinya terjadi (Das Sollen) dengan kenyataan yang ada di
lapangan (Das Sein). Pembaharuan terhadap UU Kepariwisataan ini juga
diharapkan dapat memuat konsep kepariwisataan dalam lingkup suatu kawasan
serta filosofis kepariwisataan.
Selain itu, terdapat hambatan-hambatan dalam merealisasikan program
legislasi nasional UU Kepariwisataan baik teknis maupun substantif yakni latar
belakang, urgensi dan ruang lingkup yang muncul dalam prolegnas justru tidak
mencerminkan kebutuhan yang mendesak akan suatu pembaharuan undang-
undang. Prolegnas bertujuan untuk melahirkan RUU yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, bukan melainkan produk partai politik semata.

20
B. Rekomendasi
Akhir kata, penulis menawarkan 7 (tujuh) solusi atas urgensi pembahasan
kepariwisataan dalam Prolegnas periode 2014-2019 diantaranya:

1. Menyelaraskan koordinasi antara pemerintah dan DPR supaya setiap RUU


yang menjadi usulan prioritas dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
2. Membuka kesempatan untuk menampung aspirasi dan partisipasi
masyarakat dalam setiap tahapan penyusunan RUU.
3. Menyesuaikan kapasitas yang dimiliki oleh DPR dan pemerintah dalam
mengajukan RUU yang diusulkan ke dalam prolegnas secara realistis.
4. Membentuk peraturan pelaksana dari UU Kepariwisataan baik melalui PP
atau dalam bentuk Perda Provinsi/Kabupaten sambil menunggu
rampungnya pembahasan kepariwisaraan di dalam prolegnas.
5. Membentuk peraturan perundang-undangan kawasan khusus pariwisata
untuk membuka kesempatan partisipasi bagi masyarakat lokal.
6. Memberikan kebebasan yang seluas-luasnya dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk memanfaatkan potensi daerah dengan sebaik-
baiknya. Dikarenakan setiap daerah memiliki potensi daerah yang berbeda,
pemerintah daerah juga harus membuat pengaturannya sendiri sesuai
kebutuhan daerah agar potensi yang ada dapat dimanfaatkan dengan baik.
Selain itu, pemerintah daerah dapat melibatkan pihak swasta untuk
melakukan pengelolaan potensi wisata agar baik wisatawan dalam negeri
atau mancanegara dapat datang dan memberikan pemasukan kepada
negara.
7. Menempatkan keterbukaan teknologi dan informasi sebagai prioritas
utama bangsa Indonesia. Keterbukaan informasi dan teknologi yang baik
akan berjalan beriringan dengan arus investasi dan arus masuk wisatawan
baik dalam negeri maupun mancanegara.

21
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Jakarta: Kuwais,
2010.
Andi Mattalata, Peran Program Legislasi Dalam Pembangunan Hukum Nasional,
dalam Badan Pembangunan Hukum Nasional, Tiga Dekade Program
Legislasi Nasional dan BPHN, Jakarta: BPHN, 2004.
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi
Hukum FH UII, 2001.
Case, Karl E & Ray C Fair, Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, Jakarta: PT
Prenhallindo, 2006.
Friedman, Lawrence M., American Law: An Introduction, New York: W.W.
Norton and Company, 1984.
Hawkins, D.I., Consumer Behaviour: Building Marketing Strategy, Amerika:
McGraw-Hill Companies, 1998.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius,
1995.
Ida Bagus Wyasa Putra (et.al), Hukum Bisnis Pariwisata, Bandung: Refika
Aditama, 2003.
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah
Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI,
Jakarta, 2004.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung:
Mandar Maju, 2003.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,
Bandung: PT Alumni, 2004.
Oka A. Yoeti, Pemasaran Pariwisata, Bandung: Angkasa, 2010.
Rachmad Maulana Firmansyah (et. al.), Catatan Kinerja DPR 2012: Fondasi
Tahun Politik, Jakarta: PSHK, 2013.
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 2002.
Violetta Simatupang, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, Bandung:
PT Alumni, 2009.

B. Jurnal
Abdul Rauf Alauddin Said, Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-Daerah
dalam Otonomi Seluas-Luasnya Menurut UUD 1945, Jurnal FH Unila Fiat
Justitia, Volume 9 No. 4 Oktober, 2015.
Arie Chandra & Atom Ginting Munthe, “Profil Kesiapan Daerah Dalam
Memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN Studi kasus: Sektor
Kepariwisataan Jawa Barat 2012”, Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan, 2012.

22
Indah Qurbani, “Hubungan Wewenang Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Vol. 9 No.2, 2014.
Kezia Frederika Wasiyono & I Ketut Sudiarta, “Upaya Pencapaian Iklim Usaha
Kondusif Bagi Penanaman Modal (Investasi) Dalam Kegiatan Bisnis
Pariwisata”, Kertha Negara, Volume 01 Nomor 01, 2013.
Ricko Wahyudi, “Pembaruan Hukum Agraria Melalui Rancangan Undang-
Undang Bidang Hukum Agraria dalam Program Legislasi Nasional 2010-
2014”, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.

C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Pembentukan
Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah

23

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai