Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumah Sakit


Menurut  Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
340/MENKES/PER/III/2010 adalah Rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan, dan gawat darurat. Sedangkan pengertian rumah sakit menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit, dinyatakan bahwa rumah sakit merupakan sarana pelayanan
kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, atau
dapat menjadi tempat penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya
pencemaran lingkungan dan gangguan Kesehatan.
Menurut PMK no.340 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, berdasarkan
fasilitas dan kemampuan pelayanannya, rumah sakit diklasifikasikan
menjadi :
1. Rumah Sakit Umum Kelas A
Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan
Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik,
12 (dua belas) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13 (tiga belas)
Pelayanan Medik Sub Spesialis serta memiliki jumlah tempat tidur
minimal 400 (empat ratus) buah.
2. Rumah Sakit Umum Kelas B
Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan
Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang
Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua)
Pelayanan Medik Subspesialis Dasar. Rumah Sakit Umum Kelas B
juga harus memiliki jumlah tempat tidur minimal 200 (dua ratus) buah.
3. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan
Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang
Medik. Rumah Sakit Umum Kelas C memiliki jumlah tempat tidur
minimal 100 (seratus) buah.
4. Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan
Medik Spesialis Dasar. Pelayanan Medik Spesialis Dasar sekurang-
kurangnya 2 (dua) dari 4 (empat) jenis pelayanan spesialis dasar
meliputi Pelayanan Penyakit Dalam, Kesehatan Anak, Bedah,
Obstetri dan Ginekologi serta memiliki jumlah tempat tidur minimal
50 (lima puluh) buah.

2.2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)


Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit di rumah sakit
yang merupakan fasilitas penyelenggaraan kefarmasian di bawah pimpinan
seorang apoteker dan memenuhi persyaratan secara hukum untuk
mengadakan, menyediakan, dan mengelola seluruh aspek penyediaan
perbekalan kesehatan di rumah sakit yang berintikan pelayanan produk
yang lengkap dan pelayanan farmasi klinik yang sifat pelayananannya
berorientasi kepada kepentingan penderita.
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan
berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan pasien, penyediaan obat
yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi
semua lapisan masyarakat. Farmasi bertanggung jawab atas semua barang
yang beredar di rumah sakit. (Nofriana, 2011).
Menurut PMK No, 58 TAHUN 2014 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Rumah Sakit, Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana
fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit. Instalasi farmasi dipimpin oleh seorang
apoteker sebagai penanggung jawab. Instalasi Farmasi harus melakukan
pengembangan pelayanan kefarmasian sesuai dengan situasi
perkembangan kefarmasian terkini. Berikut tugas dan fungsi instalasi
kefarmasian di rumah sakit berdasarkan PMK no.58 tahun 2014 :
2.2.1 Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi:
1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan
mengawasi seluruh kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang
optimal dan profesional serta sesuai prosedur dan etik profesi;
2. Melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan
efisien;
3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna
memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan
risiko;
4. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta
memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;
5. Berperan aktif dalam Tim Farmasi dan Terapi;
6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan
Pelayanan Kefarmasian;
7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan
dan formularium Rumah Sakit.
2.2.2 Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai.
a. Memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
b. Merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai secara efektif, efisien dan
optimal;
c. Mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai berpedoman pada perencanaan yang telah
dibuat sesuai ketentuan yang berlaku;
d. Memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit;
e. Menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan
yang berlaku;
f. Menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian;
g. Mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah
Sakit;
h. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu;
i. Melaksanakan pelayanan Obat “unit dose”/dosis sehari;
j. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (apabila sudah
memungkinkan);
k. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
l. Melakukan pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang sudah tidak
dapat digunakan;
m. Mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
n. Melakukan administrasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
2. Pelayanan farmasi klinik.
a. Mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau
permintaan Obat;
b. Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. Melaksanakan rekonsiliasi Obat;
d. Memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik
berdasarkan Resep maupun Obat non Resep kepada
pasien/keluarga pasien;
e. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
f. Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga
kesehatan lain;
g. Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;
h. Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO) : Pemantauan
efek terapi Obat, Pemantauan efek samping Obat, dan
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
i. Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. Melaksanakan dispensing sediaan steril : Melakukan
pencampuran Obat suntik dan Melaksanakan pengemasan
ulang sediaan steril yang tidak stabil;
k. Melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada
tenaga kesehatan lain, pasien/keluarga, masyarakat dan
institusi di luar Rumah Sakit;
l. Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).

Pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk


mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat.
Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu pelayanan
kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang
berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang
berorientasi pada pasien (patient oriented). Untuk itu kompetensi apoteker
perlu ditingkatkan secara terus menerus agar perubahan paradigma
tersebut dapat diimplementasikan.
Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan,
yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan kegiatan
pelayanan farmasi klinik. Kegiatan manajerial yaitu melakukan
serangkaian pengelolaan terhadap pemilihan, perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan,
pengendalian dan administrasi (pencatatan dan pelaporan). Sedangkan
pada kegiatan pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung
yang diberikan apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan terapi
dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat.

2.3 Manajemen Rumah Sakit


2.3.1. Definisi
Istilah manajemen rumah sakit didefinisikan oleh Aditama
(2007) yaitu suatu ilmu pengetahuan atau seni serta proses mengenai
perencanaan dan penentuan kebutuhan pengadaan, penyimpanan,
penyaluran, dan pemeliharaan serta penghapusan material/alat-alat.
Sedangkan menurut Romzi (2010) dalam Ariyanti (2012),
manajemen dapat didefinisikan sebagai Planning, Organizing,
Staffing, Leading, dan Controlling dalam kegiatan yang berkaitan
dengan pengadaan, pendistribusian, penggunaan, pemeliharaan, dan
penghapusan barang dan jasa untuk mendukung kegiatan fungsi-
fungsi utama dalam pencapaian organisasi.
Tahap pengelolaan obat di rumah sakit terdiri dari tahapan
pemilihan dan perencanaan (selection), pengadaan (procurement),
penyimpanan (storage), distribusi (distribution) dan penggunaan
(use) yang memiliki keterkaitan di antara masing–masing tahap
sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar masing–masing dapat
berfungsi optimal. Tidak efisiennya salah satu tahap saja akan
mengakibatkan tidak efisien pula sistem suplai dan penggunaan obat
yang ada. Dengan demikian pengelolaan obat perlu dukungan
manajemen dari struktur organisasi yang kuat, keuangan, informasi
manajemen yang layak dan staf yang termotivasi dan kompeten.
(Nofriana, 2011).
Siklus pengelolaan obat merupakan rangkaian proses yang
mencakup 4 fungsi dasar sistem pengelolaan obat yaitu perumusan
kebutuhan (selection), pengadaan (procurement), penyimpanan dan
distribusi (distribution), dan penggunaan obat dan evaluasinya (use).
Keempat fungsi ini didukung oleh sistem penunjang (management
support) yaitu organisasi, pembiayaan, sistem informasi dan sumber
daya manusia seperti yang digambarkan dalam siklus manajemen
obat . (Quick. Et. Al., 1997).

kebutuhan

Management Support :
pengorganisasian,
Distribusi pendanaan, sumber pengadaan
informasi, SDM

penggunaan obat dan


evaluasinya

Gambar 2.1. Siklus Manajemen Obat (Drug Management


Cycles)
2.3.2. Tujuan Manajemen
Tujuan manajemen logistik menurut Aditama (2007) adalah
tersedianya bahan logistik setiap saat dibutuhkan, baik mengenai
jenis, jumlah, maupun kualitas yang dibutuhkan secara efisien. Lebih
spesifik kegiatan logistik mempunyai tiga tujuan, yaitu (Henny,
2013) :
1. Tujuan Operasional, agar tersedianya barang serta bahan dalam
jumlah yang tepat dan mutu yang memadai.
2. Tujuan Keuangan, upaya operasional dapat terlaksana dengan
biaya yang serendah-rendahnya. Nilai persediaan yang
sesungguhnya dapat tercermin didalam sistem akuntansi.
3. Tujuan Pengamanan, agar persediaan tidak terganggu oleh
kerusakan, pemborosan, penggunaan tanpa hak, pencurian, dan
penyusutan yang tidak wajar lainnya.
2.3.3. Fungsi Manajemen
Fungsi manajemen menurut Aditama (2007) diantaranya
perencanaan dan penentuan kebutuhan, penganggaran, pengadaan,
penyimpanan, penyaluran, dan pemeliharaan, penghapusan,
pengendalian serta pengawasan.
Fungsi-fungsi manajemen yang membentuk suatu siklus kegiatan
harus dijaga agar selaras, serasi dan seimbang (Seto, 2004). Siklus
logistik adalah proses dari sebelum terjadinya kegiatan logistik
sampai kegiatan itu dapat di evaluasi (Henny, 2013). Apabila salah
satu fungsi manajemen tidak diimplementasikan dengan baik maka
akan mempengaruhi suatu siklus manajemen.
Berikut uraian lebih jelas mengenai fungsi-fungsi kegiatan dalam
manajemen logistik, diantaranya :
1. Perencanaan dan Penentuan Kebutuhan
Menurut PMK no.58 tahun 2014, perencanaan kebutuhan
merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan periode
pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk
menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat
waktu dan efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat
dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah
ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi
metode konsumsi dan epidemiologi serta disesuaikan dengan
anggaran yang tersedia.
Perencanaan obat yang dibutuhkan di rumah sakit pada
mulanya ditentukan oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)
melalui seleksi obat berdasarkan usulan dari dokter rumah sakit
kemudian disusun menjadi formularium rumah sakit.
Adapun pendekatan perencanaan kebutuhan dapat
dilakukan melalui beberapa metode :
a. Metode konsumsi, metode ini didasarkan pada data riil
konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu, dengan
berbagai penyesuaian dan koreksi. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam perhitungan jumlah perbekalan farmasi
diantaranya pengumpulan data, analisa data, perhitungan
perkiraan kebutuhan dan penyesuaian jumlah kebutuhan.

b. Metode morbiditas, dasar perhitungan pada metode ini yaitu


jumlah kebutuhan perbekalan perbekalan farmasi yang
digunakan untuk beban kesakitan yang harus dilayani.
Metode ini berdasar pola penyakit, kenaikan kunjungan, dan
waktu tunggu.

c. Kombinasi metode konsumsi dan metode morbiditas


disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Acuan yang
digunakan yaitu formularium RS, rekam medik, anggaran
yang tersedia, penetapan prioritas, pola penyakit, sisa
persediaan, data penggunaaan periode yang lalu, dan rencana
pengembangan.
2. Penganggaran
Fungsi penganggaran merupakan usaha untuk merumuskan
perincian penentuan kebutuhan dalam suatu skala standar,
yakni skala mata uang serta jumlah biaya dengan
memperhatikan pengarahan dan pembatasan yang berlaku
terhadapnya (Aditama, 2007). Menurut Seto (2004)
anggaran umumnya dipakai dalam periode satu tahun dan
merupakan operasional dari institusi yang berisi ramalan
pendapatan yang akan diterima dan pengeluaran yang terjadi
pada tahun mendatang.
3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang
efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang
tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu.
Tujuan dari pengadaan yaitu mendapatkan perbekalan farmasi
dengan harga yang layak, dengan mutu yang baik, pengiriman
barang terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar dan
tidak memerlukan tenaga serta waktu berlebihan. Proses
pengadaan terdapat 3 elemen penting yang harus diperhatikan
diantaranya (Depkes,2008) :
a. Pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan
“biaya tinggi”
b. Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja sangat penting
untuk menjaga agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu
c. Order pemesanan agar barang dapat sesuai jenis, waktu dan
tempat.
Menurut Quick J. et al, ada empat metode proses pengadaaan :
a. Tender terbuka berlaku untuk semua rekanan yang
terdaftar, dan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.
Pada penentuan harga lebih menguntungkan.
b. Tender terbatas sering disebut dengan lelang tertutup.
Hanya dilakukan pada rekanan tertentu yang sudah
terdaftar dan punya riwayat yang baik. Harga masih bisa
dikendalikan.
c. Pembelian dengan tawar menawar dilakukan bila jenis
barang tidak urgen dan tidak banyak, biasanya dilakukan
pendekatan langsung untuk jenis tertentu.
d. Pengadaan langsung, pembelian jumlah kecil, perlu segera
tersedia. Harga tertentu relatif agak mahal.
4. Distribusi
Distribusi merupakan kegiatan mendistribusikan
perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu
dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan
serta untuk menunjang pelayanan medis. Proses distribusi obat
dimulai dari pengurusan bea masuk, pengendalian stok,
pengelolaan penyimpanan, penyaluran ke depo obat dan
fasilitas kesehatan. Pengaturan distribusi sangat penting
terutama dalam penentuan jenis dan jumlah obat yang harus
sesuai dengan permintaan. Pendistribusian mengutamakan agar
obat sampai ke pengguna tepat waktu, tepat indikasi dan
terjangkau. (Nofriana, 2011).
Tujuan dari pendistribusian yaitu tersedianya perbekalan
farmasi di unit-unit pelayanan secara tepat waktu, tepat jenis
dan jumlah (Depkes,2008). Faktor yang mempengaruhi
pendistribusian barang antara lain proses administrasi, proses
penyampaian data/informasi, proses pengeluaran fisik barang,
proses angkutan, proses pembongkaran dan pemuatan
(Dina,2012).
5. Penyimpanan
Menurut Depkes (2008) bahwa kegiatan penyimpanan
merupakan kegiatan menyimpan dan memelihara perbekalan
farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari
pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat.
Tujuan dari penyimpanan obat adalah untuk melindungi obat-
obat yang disimpan dari kehilangan, kerusakan, kecurian,
terbuang sia-sia dan untuk mengatur aliran barang dari
tempat penyimpanan ke pengguna melalui suatu sistem yang
terjangkau (Febriwati, 2013).
Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi
menurut persyaratan yang ditetapkan :
a. Dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya
b. dibedakan menurut suhunya, kesetabilannya
c. mudah tidaknya meledak/terbakar
d. tahan tidaknya terhadap cahaya
Pengaturan penyimpanan obat dan persediaan menurut
WHO adalah sebagai berikut : (Istinganah, 2006)
a. Simpan obat-obatan yang mempunyai kesamaan secara
bersamaan di atas rak. ‘Kesamaan’ berarti dalam cara
pemberian obat (luar,oral,suntikan) dan bentuk ramuannya
(obat kering atau cair)
b. Simpan obat sesuai tanggal kadaluwarsa dengan
menggunkan prosedur FEFO (First Expiry First Out). Obat
dengan tanggal kadaluwarsa yang lebih pendek
ditempatkan di depan obat yang berkadaluwarsa lebih
lama. Bila obat mempunyai tanggal kadaluwarsa sama,
tempatkan obat yang baru diterima dibelakang obat yang
sudah ada.
c. Simpan obat tanpa tanggal kadaluwarsa dengan
menggunakan prosedur FIFO (First In First Out). Barang
yang baru diterima ditempatkan dibelakang barang yang
sudah ada
d. Buang obat yang kadaluwarsa dan rusak dengan dibuatkan
catatan pemusnahan obat, termasuk tanggal, jam, saksi dan
cara pemusnahan.

6. Pemeliharaan
Pemeliharaan diartikan sebagai kegiatan menjaga fasilitas dan
peralatan penunjang kegiatan logistik dirumah sakit agar
seluruh kegiatan dapat berjalan dengan optimal sesuai
perencanaan. Fungsi pemeliharaan menurut Seto (2004) yaitu
upaya melindungi kualitas dan kuantitas obat dari faktor panas,
kelembaban, kerusakan fisik, kadaluarsa, kebersihan dari
serangga dan hama, pencuri dan bahaya api.
7. Pemusnahan
Menurut PMK no.58 tahun 2014 bahwa fungsi
penghapusan/pemusnahan dilakukan untuk sediaan farmasi,
alkes dan BHP bila produk tidak memenuhi pesyaratan mutu,
telah kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan
dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu
pengetahuan dan dicabut izin edarnya. Sedangkan menurut
Aditama (2007), fungsi penghapusan yaitu usaha pembebasan
barang pertanggungjawaban yang berlaku karena kerusakan
yang tidak dapat diperbaiki lagi, dinyatakan sudah tua,
kelebihan, dan hal lain menurut peraturan perundangan yang
berlaku (Herni, 2012).
8. Pengawasan/Pengendalian
Pengawasan adalah segenap kegiatan untuk menyakinkan
dan menjamin bahwa tugas/pekerjaan telah dilakukan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan, kebijaksanaan yang
telah digariskan dan perintah (aturan) yang diberikan.
Pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen,
disamping fungsi perencanaan, pengorganisasian dan
pelaksanaan.
Fungsi Pengendalian menurut Subagya (1998) merupakan
fungsi inti dari pengelolaan perlengkapan yang meliputi usaha
untuk memonito dan mengamankan keseluruhan pengelolaan
logistik dimana terdapat kegiatan pengendalian inventaris.

2.4. Pengendalian Persediaan


Menurut Priyambodo (2007) bahwa pengendalian persediaan adalah
menghasilkan keputusan tingkat persediaan yang menyeimbangkan
tujuan diadakannya persediaan dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan
kata lain, sasaran akhir dari pengendalian persediaan adalah
meminimalkan total biaya dengan perubahan tingkat persediaan.
Untuk mempertahankan tingkat persediaan yang optimum,
diperlukan jawaban atas dua pertanyaan mendasar yaitu kapan dilakukan
pemesanan dan berapa jumlah yang harus dipesan dan kapan harus
dilakukan pemesanan kembali. Keputusan mengenai kapan dan berapa
jumlah yang harus dipesan sangat tergantung kepada waktu dan tingkat
persediaan.
Salah satu fungsi manajerial dalam manajemen persediaan yang
sangat penting adalah pengendalian persediaan. Apabila perusahaan
menanamkan terlalu banyak dananya dalam persediaan, hal ini akan
menyebabkan biaya penyimpanan yang berlebihan, dan mungkin
mempunyai oppurtinity cost. Demikian pula apabila perusahaan tidak
mempunyai persediaan yang mencukupi, dapat mengakibatkan biaya-
biaya dari terjadinya kekurangan bahan (stock out) (Rangkuti, 2002).
Sedangkan menurut Seto (2004), pengendalian persediaan
(inventory control) adalah fungsi manajerial yang sangat penting karena
persediaan/stok obat akan memakan biaya yang melibatkan investasi
yang besar karena itu perlu dilakukan dengan efektif dan efisien.
Pengendalian persediaan yang efektif adalah mengoptimalkan dua tujuan
yaitu memperkecil total investasi pada persediaan obat dan menjual
berbagai produk yang benar untuk memenuhi permintaan konsumen.
2.4.1. Pengendalian Persediaan Dengan Analisis ABC Investasi
Jenis barang perbekalan farmasi dirumah sakit sangat banyak
jumlahnya yang tidak seluruhnya memiliki prioritas yang sama.
Untuk mengetahui jenis perbekalan farmasi yang harus mendapat
prioritas maka digunakan analisis ABC. Analisis ABC ini dapat
memudahkan pengendalian persediaan perbekalan farmasi dengan
mengklasifikasikan item barang. Analisis ABC merupakan metode
pembuatan grup atau penggolongan berdasarkan peringkat nilai dari
nilai tertinggi hingga terendah, dan dibagi menjadi 3 kelompok
besar yang disebut kelompok A, B dan C (Maimun, 2008):
Menurut Assauri (2004), klasifikasi dalam analisis ABC dibagi
menjadi 3, diantaranya :
1. Kelompok A adalah inventory dengan nilai investasinya tinggi
dengan jumlah sekitar 80% dan mempunyai jumlah penggunaan
tidak melebihi 10% dari total nilai inventory.
2. Kelompok B adalah inventory dengan nilai investasinya
mencapai 15% dan mempunyai jumlah penggunaan hingga
20% dari total nilai inventory.

3. Kelompok C adalah inventory dengan nilai investasinya tidak


lebih dari 15% dan mempunyai jumlah penggunaan mencapai
70% dari total nilai inventory.
Menurut Dirjen Binakefarmasian dan Alat Kesehatan (2008)
klasifikasi persediaan berdasarkan kumulasi persennya dibagi atas 3
bagian, yaitu :
1. Persediaan dengan persen kumulatifnya 0-70% masuk dalam
kategori kelompok A.
2. Persediaan dengan persen kumulatifnya 71-90% masuk dalam
kategori kelompok B.
3. Persediaan dengan persen kumulatifnya 90-100% masuk dalam
kategori kelompok C.
Menurut Priyambodo (2009), beberapa persediaan memiliki
proporsi yang relatif lebih kecil dari volume persediaan secara
keseluruhan, namun memiliki nilai (rupiah) yang relatif lebih besar.
Besarnya persentase ini adalah kisaran yang bisa berubah-ubah dan
berbeda antara perusahaan satu dengan yang lainnya. Analisis ABC
adalah analisis konsumsi obat tahunan dan biaya untuk menentukan
item yang menjelaskan proporsi terbesar dari anggaran. Analisis ABC
dapat (WHO, 2003) :
1. Mengklasifikasikan item yang memiliki tingkat penggunaan yang
tinggi dan item yang memiliki biaya yang rendah.
2. Mengukur sejauh mana konsumsi obat yang sebenarnya
mencerminkan kebutuhan kesehatan masyarakat dan
membandingkan konsumsi obat pola morbiditas.
3. Mengidentifikasi pembelian untuk item di rumah sakit yang tidak
masuk dalam daftar obat esensial yaitu penggunaan obat-obatan
non- formularium.
Manfaat pengendalian persediaan dengan klasifikasi ABC, yaitu
(Rangkuti, 2002) :
1. Membantu manajemen dalam menentukan tingkat persediaan
yang efisien
2. Memberikan perhatian pada jenis persediaan utama yang dapat
memberikan cost benefit yang besar bai perusahaan
3. Dapat memanfaatkan modal kerja sebaik-baiknya sehingga
dapat memacu pertumbuhan perusahaan
4. Sumber-sumber daya produksi dapat dimanfaatkan secara efisien.

2.4.2. Pengendalian Persediaan Dengan Metode EOQ (Economic Order


Quantity)
Berawal di tahun 1913, F.W. Harris mengembangkan suatu
model dimana menjaga persediaan dalam keadaan siap digunakan,
terlebih dahulu mendefinisikan seberapa banyak suatu persediaan
atau produk dipesan. Kemudian Wilson pada tahun 1934
mengembangkan teori F.W.Harris membuat perumusan EOQ.
Metode ini tidak hanya mengetahui dan menentukan jumlah
pemesanan namun dengan metode ini diharapkan dapat
meminimalisasi total biaya operasional. Hal ini dikarenakan pada
perumusan EOQ, jumlah pemesanan diperoleh dengan
mempertimbangkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan
sebagai variabel yang dihitung (Nadia, 2012).
Menurut Bunawan (1996), rumus ini kemudian mencapai
pemakaian yang sangat luas dalam industri melalui upaya seorang
konsultan bernama Wilson. Maka rumus ini sering pula dinamakan
EOQ Wilson yang sebenarnya dikembangkan oleh Harris. Metode
ini merumuskan jumlah barang yang harus dipesan dengan
meminimalkan biaya pengoperasian persediaan.
Menurut Anief (2008), metode EOQ merupakan volume atau
jumlah pembelian yang paling ekonomis untuk dilaksanakan pada
setiap kali pembelian. Sehingga diharapkan metode ini dapat
mencegah kekosongan obat dengan mengadakan jumlah pesanan
barang.
Berikut adalah rumus untuk menentukan jumlah pesanan
optimum Heizer dan Render (2010), yaitu :
2 DS
Q=
√ H
Keterangan :
Q = Jumlah Pesanan
D = Jumlah kebutuhan barang
S = Biaya pesanan untuk setiap kali pesan
H = Biaya penyimpanan per unit per tahun
Menurut Schroeder (2003), dalam menggunakan EOQ ada
beberapa asumsi yang digunakan :

1. Permintaan terhadap obat konstan, berulang, dan diketahui.


2. Waktu tunggu (lead time) konstan dan diketahui.
3. Tidak diperbolehkan terjadi kehabisan stok untuk menentukan
dengan pasti kapan harus memesan bahan untuk mencegah
kekurangan stok.
4. Barang yang dipesan ditempatkan dalam persediaan dalam satu
waktu.
5. Harga per unit konstan dan tidak ada diskon yang diberikan jika
pesanan dalam jumlah banyak.
6. Barang merupakan produk tunggal ,tidak ada interaksi dengan
produk lain.

2.4.3. Pengendalian Persediaan Dengan Safety Stock


Apabila penggunaan persediaan melebihi dari perkiraan maka
terdapat persediaan pengamanan untuk menghindari kekosongan
obat inilah yang dinamakan safety stock. Rumah sakit sering
menghadapi ketidakpastian jangka waktu pengiriman dan
permintaan akan barang logistik selama periode tertentu. Dalam hal
ini rumah sakit memerlukan persediaan ekstra yang disebut
persediaan pengamanan. Safety stock bertujuan untuk menentukan
berapa besar stok yang dibutuhkan selama masa tenggang untuk
memenuhi besarnya permintaan. (Rangkuti, 2002).
Safety stock adalah persediaan tambahan yang diadakan
untuk melindungi atau menjaga kemungkinan terjadinya
kekurangan persediaan yang disebabkan karena adanya permintaan
yang lebih besar dari perkiraan semula atau karena keterlambatan
barang yang dipesan sampai digudang penyimpanan (lead time yang
lebih lama dari perkiraan semula) dengan menentukan besarnya
persediaan pengaman yang kemudian diikuti dengan jumlah
pesanan tetap atau EOQ (Seto dkk, 2004). Faktor-faktor yang
mempengaruhi besar kecilnya safety stock, adalah sebagai berikut
(Ristono, 2009):
1. Resiko kehabisan persediaan, yang biasanya ditentukan oleh :
a. Kebiasaan pihak supplier dalam pengiriman barang yang
dipesan, apakah tepat waktu atau sering kali terlambat dari
waktu yang telah ditetapkan dalam kontrak pembelian.
b. Dapat diduga atau tidaknya kebutuhan bahan
baku/penolong untuk produksi. Apabila kebutuhan bahan
penolong setiap kali proses produksi dapat diduga atau
diperhitungkan secara tepat, maka perusahaan tidak perlu
memiliki persediaan yang besar.
2. Biaya simpan digudang dan biaya ekstra bila kehabisan
persediaan. Apabila dibandingkan, biaya penyimpanan
digudang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan seandainya
melakukan pesanan ekstra bila persediaan habis,maka
perusahaan tidak perlu memiliki persediaan besar.
3. Sifat persaingan. Persaingan yang terjadi antara perusahaan
dapat ditentukan dari kecepatan pelayanan pemenuhan
permintaan konsumen, maka perusahaan perlu memiliki
persediaan yang besar. Namun bila yang menjadi sifat
persaingan adalah hal lain (kualitas dan harga), maka tidak
mendesak untuk memiliki persediaan yang besar.
Oleh karena itu, mengapa diperlukan perhitungan terhadap safety
stock untuk menentukan jumlah persediaan pengamanan dalam
menjaga kendali persediaan obat dirumah sakit.
Persediaan pengaman (safety stock) adalah persediaan tambahan
yang diadakan untuk melindungi atau menjaga kemungkinan
terjadinya kekurangan bahan (stockout) (Bowersox, 2002). Berikut
perhitungan dalam menentukan persediaan pengaman obat dirumah
sakit dengan lead time yang diketahui, permintaan bersifat konstan
sehingga service level sebesar 98% (Z = 2,05) (Rangkuti, 2002) :
SS = Z x d x L
Keterangan
SS = Safety stock
Z = Service level
d = Rata-rata Pemakaian
L = Lead time
Tingkat pelayanan (Service level) dapat didefinisikan sebagai
probabilitas permintaan tidak akan melebihi persediaan selama
waktu tenggang. Tingkat pelayanan 98% menunjukkan bahwa
besarnya kemungkinan permintaan tidak akan melebihi persediaan
selama waktu tenggang ialah 98%. Dengan kata lain, risiko
terjadinya kekosongan stok (stockout risk) hanya 2% (Herjanto,
2008).

2.4.4. Pengendalian Persediaan Dengan Metode ROP (Reorder Point)


Pemesanan terhadap persediaan obat dirumah sakit dilakukan
berulang-ulang setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhan maka
perlu dipertimbangkan persediaan pengaman (safety stock) dan
kapan waktu pemesanan kembali (ROP) untuk menghindari
kekosongan obat.
ROP adalah batas/titik jumlah pemesanan kembali termasuk
permintaan yang diinginkan atau dibutuhkan selama masa tenggang
(Rangkuti, 2002). Dimana dengan metode ini dapat diketahui kapan
sebaiknya waktu bagi petugas kefarmasian dalam melakukan
pemesanan kembali barang yang hampir habis ke distributor.
Pendekatan ROP menghendaki jumlah persediaan yang tetap
setiap kali melakukan pemesanan. Apabila pemesanan mencapai
jumlah tertentu maka harus dilakukan pemesanan kembali dengan
segera untuk menghindari kekosongan obat. Pendekatan ROP ini
mempunyai resiko terjadi stock out jika jumlah permintaan selama
waktu lead time melebihi jumlah persediaan pengaman (buffer
stock). Pendekatan ini mengharuskan dilakukannya pengecekan
kartu stok secara teratur untuk menentukan apakah pemesanan
kembali harus dilakukan (Priyambodo, 2007).
Berikut adalah rumus untuk menentukan titik pemesanan kembali
menurut Heizer dan Render (2010) dan Rangkuti (2002), yaitu :
ROP = ( d x L ) + SS
Keterangan :
ROP = Reorder Point
d = Permintaan harian
L = Lead Time (waktu tunggu)
SS = Persediaan Pengaman (safety stock)
ROP model terjadi apabila jumlah persediaan yang terdapat
dalam stok berkurang terus sehingga kita harus menentukan
berapa banyak batas minimal tingkat persediaan yang harus
dipertimbangkan sehingga tidak terjadi kekosongan obat (stock out)
(Rangkuti, 2002).

2.5 Stock Out (Kekosongan Obat)


Menurut Waluyo (2006), sisa obat akhir kurang dari jumlah
pemakaian rata- rata tiap bulan selama satu bulan disebut stockout.
Sedangkan menurut Gazali (2002) dalam Pratiwi (2009)
mendefinisikan stock out adalah keadaan persediaan obat kosong
yang dibutuhkan. Stok kosong adalah jumlah akhir obat sama dengan
nol. Stok obat digudang mengalami kekosongan dalam
persediaannya sehingga bila ada permintaan tidak bisa terpenuhi.
Apabila jumlah permintaan atau kebutuhan lebih besar dari
tingkat persediaan yang ada, maka akan terjadi kekurangan
persediaan atau disebut Stock Out. Pada situasi terjadinya
kekurangan persediaan, seorang pengusaha akan menghadapi dua
kemungkinan diantaranya permintaan akan dibatalkan sama sekali
dan barang yang masih kurang akan dipenuhi kemudian (Rangkuti,
2004). Stock out disebabkan beberapa faktor antara lain
demand yang fluktuasi, peramalan yang tidak akurat, dan lead
time yang bervariasi (lead time supplier maupun lead time
manufacturing) (Nova, 2013).
Menurut Prawirosentono (2000), Stock out berakibat pada
kerugian berupa tidak efisien dan terputusnya hubungan dengan
konsumen. Upaya-upaya untuk menghindari terjadinya kehabisan
bahan, yaitu bisa dilakukan sebagai berikut :
1. Pembelian secara darurat, pembelian mendadak ini harus
dilakukan hanya dalam keadaan dimana persediaan bahan yang
ada dalam keadaan kritis.
2. Mengadakan cadangan persediaan (safety stock), salah satu upaya
selain pembelian darurat yaitu mengadakan safety stock.

Anda mungkin juga menyukai