Disusun Oleh :
Nada Khairiyah
(2043700468)
PROGRAM STUDI
PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
2021
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
bertujuan menjamin kegiatan sesuai dengan rencana, salah satunya untuk
mencegah terjadi kekosongan stok perbekalan farmasi saat dibutuhkan. Apabila
ditemukan stok obat yang kosong maka penyebabnya akan dipastikan dan
diatasi sehingga masalah tersebut dapat segera dikendalikan dan meminimalkan
kerugian.
Pengendalian persediaan obat bertujuan untuk menciptakan keseimbangan
antara persediaan dengan permintaan. Fungsi pengendalian sangat penting
untuk menjamin efekfitas dan efisiensi pengelolaan persediaan obat itu sendiri
(Hartih, 2013).
Kekosongan stok obat dirumah sakit dapat mempengaruhi mutu
pelayanan yang diberikan. Menurut penelitian Academy of Managed Care
Pharmacy (AMCP) tentang The Reality of Drug shortages (2010) yang
mayoritas respondennya sebagian besar adalah kepala farmasi/apoteker,
diperoleh hasil bahwa kekosongan obat dapat mengakibatkan 55,5% kelalaian,
54,8% kesalahan dosis, 34,8% kesalahan obat, 70,8% perawatan tertunda dan
38% mengakibatkan keluhan pasien. Akibat lain dari adanya stok yang kosong
yaitu rumah sakit akan mengalami nilai kerugian.
Berdasarkan wawancara dan observasi, kekosongan obat yang terjadi di
RSUD Kota Bekasi tahun 2014, mengakibatkan seringnya rumah sakit
melakukan pembelian obat di apotik luar RSUD. Pembelian ini dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan pasien walau harga pembelian obat lebih mahal
dibanding ke distributor. Banyak pasien yang mengeluh akibat
keterlambatan pengiriman dari apotek luar RSUD sehingga dapat
mempengaruhi kepuasan pasien terhadap pelayanan dan kesembuhan pasien
yang berkunjung ke rumah sakit.
Penyebab kekosongan obat di gudang farmasi rumah sakit diantaranya
yaitu ketidaktelitian petugas gudang dalam pemesanan, dana yang tersedia
tidak mencukupi, kekosongan obat di distributor, perencanaan pengadaan yang
tidak akurat, dan terlambatnya petugas dalam melakukan pemesanan. Hal-
hal ini berkaitan dengan kurangnya pengelolaan terhadap SDM, Dana,
perencanaan, pengadaan dan pengendalian persediaan obat dirumah
2
sakit. Diketahuinya penyebab-penyebab dari kekosongan obat ini diharapkan
menjadi bahan evaluasi bagi manajemen dalam melakukan perencanaan dan
analisis kebutuhan persediaan logistik obat.
Dengan mengetahui penyebab terjadinya stock out dapat memberikan
informasi bagi rumah sakit dalam mengendalikan kejadian stock out di gudang
medis instalasi farmasi. Diharapkan dari adanya informasi tersebut dilakukan
penerapan terhadap metode dalam pengendalian persediaan.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran faktor yang menjadi penyebab terjadinya
stock out obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara
Banjarmasin.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran terjadinya kekosongan stok (stock out)
obat di Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin.
3
2. Untuk mengetahui faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
kekosongan stok (stock out) di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Bhayangkara Banjarmasin.
3. Untuk mengetahui jumlah pemesanan yang optimal obat dengan
menggunakan metode EOQ di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Bhayangkara Banjarmasin.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Medik Subspesialis Dasar. Rumah Sakit Umum Kelas B juga harus
memiliki jumlah tempat tidur minimal 200 (dua ratus) buah.
3. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik
Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik.
Rumah Sakit Umum Kelas C memiliki jumlah tempat tidur minimal 100
(seratus) buah.
4. Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik
Spesialis Dasar. Pelayanan Medik Spesialis Dasar sekurang-
kurangnya 2 (dua) dari 4 (empat) jenis pelayanan spesialis dasar
meliputi Pelayanan Penyakit Dalam, Kesehatan Anak, Bedah,
Obstetri dan Ginekologi serta memiliki jumlah tempat tidur minimal
50 (lima puluh) buah.
6
Menurut PMK No, 58 TAHUN 2014 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Rumah Sakit, Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana
fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit. Instalasi farmasi dipimpin oleh seorang
apoteker sebagai penanggung jawab. Instalasi Farmasi harus melakukan
pengembangan pelayanan kefarmasian sesuai dengan situasi perkembangan
kefarmasian terkini. Berikut tugas dan fungsi instalasi kefarmasian di rumah
sakit berdasarkan PMK no.58 tahun 2014 :
2.2.1 Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi:
1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan
mengawasi seluruh kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang optimal
dan profesional serta sesuai prosedur dan etik profesi;
2. Melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien;
3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna
memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan
risiko;
4. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta
memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;
5. Berperan aktif dalam Tim Farmasi dan Terapi;
6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan
Pelayanan Kefarmasian;
7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan
dan formularium Rumah Sakit.
2.2.2 Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai.
a. Memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
7
b. Merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai secara efektif, efisien dan
optimal;
c. Mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai berpedoman pada perencanaan yang telah
dibuat sesuai ketentuan yang berlaku;
d. Memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit;
e. Menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang
berlaku;
f. Menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian;
g. Mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah
Sakit;
h. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu;
i. Melaksanakan pelayanan Obat “unit dose”/dosis sehari;
j. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (apabila sudah
memungkinkan);
k. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
l. Melakukan pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang sudah tidak
dapat digunakan;
m. Mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai;
8
n. Melakukan administrasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
2. Pelayanan farmasi klinik.
a. Mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau permintaan
Obat;
b. Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. Melaksanakan rekonsiliasi Obat;
d. Memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik
berdasarkan Resep maupun Obat non Resep kepada
pasien/keluarga pasien;
e. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
f. Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga
kesehatan lain;
g. Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;
h. Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO) : Pemantauan
efek terapi Obat, Pemantauan efek samping Obat, dan
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
i. Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. Melaksanakan dispensing sediaan steril : Melakukan
pencampuran Obat suntik dan Melaksanakan pengemasan
ulang sediaan steril yang tidak stabil;
k. Melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga
kesehatan lain, pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di
luar Rumah Sakit;
l. Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).
9
berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang
berorientasi pada pasien (patient oriented). Untuk itu kompetensi apoteker
perlu ditingkatkan secara terus menerus agar perubahan paradigma tersebut
dapat diimplementasikan.
Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu
kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan
farmasi klinik. Kegiatan manajerial yaitu melakukan serangkaian
pengelolaan terhadap pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan, pengendalian dan
administrasi (pencatatan dan pelaporan). Sedangkan pada kegiatan
pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat.
10
harus terkoordinasi dengan baik agar masing–masing dapat berfungsi
optimal. Tidak efisiennya salah satu tahap saja akan mengakibatkan
tidak efisien pula sistem suplai dan penggunaan obat yang ada.
Dengan demikian pengelolaan obat perlu dukungan manajemen dari
struktur organisasi yang kuat, keuangan, informasi manajemen yang
layak dan staf yang termotivasi dan kompeten. (Nofriana, 2011).
Siklus pengelolaan obat merupakan rangkaian proses yang
mencakup 4 fungsi dasar sistem pengelolaan obat yaitu perumusan
kebutuhan (selection), pengadaan (procurement), penyimpanan dan
distribusi (distribution), dan penggunaan obat dan evaluasinya (use).
Keempat fungsi ini didukung oleh sistem penunjang (management
support) yaitu organisasi, pembiayaan, sistem informasi dan sumber
daya manusia seperti yang digambarkan dalam siklus manajemen obat
. (Quick. Et. Al., 1997).
kebutuhan
Management Support :
pengorganisasian,
Distribusi pendanaan, sumber pengadaan
informasi, SDM
11
2.3.2. Tujuan Manajemen
Tujuan manajemen logistik menurut Aditama (2007) adalah
tersedianya bahan logistik setiap saat dibutuhkan, baik mengenai
jenis, jumlah, maupun kualitas yang dibutuhkan secara efisien. Lebih
spesifik kegiatan logistik mempunyai tiga tujuan, yaitu (Henny, 2013)
:
1. Tujuan Operasional, agar tersedianya barang serta bahan dalam
jumlah yang tepat dan mutu yang memadai.
2. Tujuan Keuangan, upaya operasional dapat terlaksana dengan
biaya yang serendah-rendahnya. Nilai persediaan yang
sesungguhnya dapat tercermin didalam sistem akuntansi.
3. Tujuan Pengamanan, agar persediaan tidak terganggu oleh
kerusakan, pemborosan, penggunaan tanpa hak, pencurian, dan
penyusutan yang tidak wajar lainnya.
2.3.3. Fungsi Manajemen
Fungsi manajemen menurut Aditama (2007) diantaranya perencanaan
dan penentuan kebutuhan, penganggaran, pengadaan, penyimpanan,
penyaluran, dan pemeliharaan, penghapusan, pengendalian serta
pengawasan.
Fungsi-fungsi manajemen yang membentuk suatu siklus kegiatan
harus dijaga agar selaras, serasi dan seimbang (Seto, 2004). Siklus
logistik adalah proses dari sebelum terjadinya kegiatan logistik
sampai kegiatan itu dapat di evaluasi (Henny, 2013). Apabila salah
satu fungsi manajemen tidak diimplementasikan dengan baik maka
akan mempengaruhi suatu siklus manajemen.
Berikut uraian lebih jelas mengenai fungsi-fungsi kegiatan dalam
manajemen logistik, diantaranya :
1. Seleksi atau pemilihan
Menurut Permenkes No. 72 tahun 2016 pemilihan adalah
kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat Kesehatan,
dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan. pemilihan
12
jenis sediaan farmasi, alat Kesehatan, dan bahan medis habis pakai
berdasarkan :
a. Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnose dan
terapi
b. Standar sediaan farmasi, alat Kesehatan dan bahan hbis pakai
yang telah ditetapkan
c. Pola penyakit
d. Efektifitas dan keamanan
e. Pengobatan berbasis bukti
f. Mutu
g. Harga
h. Ketersediaan dipasaran.
13
a. Metode konsumsi, metode ini didasarkan pada data riil
konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu, dengan
berbagai penyesuaian dan koreksi. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam perhitungan jumlah perbekalan farmasi
diantaranya pengumpulan data, analisa data, perhitungan
perkiraan kebutuhan dan penyesuaian jumlah kebutuhan.
14
b. Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja sangat penting
untuk menjaga agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu
c. Order pemesanan agar barang dapat sesuai jenis, waktu dan
tempat.
Menurut Quick J. et al, ada empat metode proses pengadaaan :
a. Tender terbuka berlaku untuk semua rekan yang terdaftar,
dan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Pada
penentuan harga lebih menguntungkan.
b. Tender terbatas sering disebut dengan lelang tertutup. Hanya
dilakukan pada rekanan tertentu yang sudah terdaftar dan
punya riwayat yang baik. Harga masih bisa dikendalikan.
c. Pembelian dengan tawar menawar dilakukan bila jenis
barang tidak urgen dan tidak banyak, biasanya dilakukan
pendekatan langsung untuk jenis tertentu.
d. Pengadaan langsung, pembelian jumlah kecil, perlu segera
tersedia. Harga tertentu relatif agak mahal.
4. Penerimaan
Menurut Permenkes No. 72 tahun 2016 Penerimaan merupakan
kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah,
mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak
atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua
dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan
baik.
5. Distribusi
Distribusi merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan
farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses
terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk
menunjang pelayanan medis. Proses distribusi obat dimulai dari
pengurusan bea masuk, pengendalian stok, pengelolaan
penyimpanan, penyaluran ke depo obat dan fasilitas kesehatan.
Pengaturan distribusi sangat penting terutama dalam penentuan
15
jenis dan jumlah obat yang harus sesuai dengan permintaan.
Pendistribusian mengutamakan agar obat sampai ke pengguna
tepat waktu, tepat indikasi dan terjangkau. (Nofriana, 2011).
Tujuan dari pendistribusian yaitu tersedianya perbekalan
farmasi di unit-unit pelayanan secara tepat waktu, tepat jenis dan
jumlah (Depkes,2008). Faktor yang mempengaruhi
pendistribusian barang antara lain proses administrasi, proses
penyampaian data/informasi, proses pengeluaran fisik barang,
proses angkutan, proses pembongkaran dan pemuatan
(Dina,2012).
6. Penyimpanan
Menurut Depkes (2008) bahwa kegiatan penyimpanan
merupakan kegiatan menyimpan dan memelihara perbekalan
farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari
pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat.
Tujuan dari penyimpanan obat adalah untuk melindungi obat-
obat yang disimpan dari kehilangan, kerusakan, kecurian,
terbuang sia-sia dan untuk mengatur aliran barang dari
tempat penyimpanan ke pengguna melalui suatu sistem yang
terjangkau (Febriwati, 2013).
Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi
menurut persyaratan yang ditetapkan :
a. Dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya
b. dibedakan menurut suhunya, kesetabilannya
c. mudah tidaknya meledak/terbakar
d. tahan tidaknya terhadap cahaya
Pengaturan penyimpanan obat dan persediaan menurut
WHO adalah sebagai berikut : (Istinganah, 2006)
a. Simpan obat-obatan yang mempunyai kesamaan secara
bersamaan di atas rak. ‘Kesamaan’ berarti dalam cara
16
pemberian obat (luar,oral,suntikan) dan bentuk ramuannya
(obat kering atau cair)
b. Simpan obat sesuai tanggal kadaluwarsa dengan
menggunkan prosedur FEFO (First Expiry First Out). Obat
dengan tanggal kadaluwarsa yang lebih pendek ditempatkan
di depan obat yang berkadaluwarsa lebih lama. Bila obat
mempunyai tanggal kadaluwarsa sama, tempatkan obat
yang baru diterima dibelakang obat yang sudah ada.
c. Simpan obat tanpa tanggal kadaluwarsa dengan
menggunakan prosedur FIFO (First In First Out). Barang
yang baru diterima ditempatkan dibelakang barang yang
sudah ada
d. Buang obat yang kadaluwarsa dan rusak dengan dibuatkan
catatan pemusnahan obat, termasuk tanggal, jam, saksi dan
cara pemusnahan.
7. Pemusnahan
Menurut PMK no.58 tahun 2014 bahwa fungsi
penghapusan/pemusnahan dilakukan untuk sediaan farmasi,
alkes dan BHP bila produk tidak memenuhi pesyaratan mutu,
telah kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan
dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu
pengetahuan dan dicabut izin edarnya. Sedangkan menurut
Aditama (2007), fungsi penghapusan yaitu usaha pembebasan
barang pertanggungjawaban yang berlaku karena kerusakan
yang tidak dapat diperbaiki lagi, dinyatakan sudah tua,
kelebihan, dan hal lain menurut peraturan perundangan yang
berlaku (Herni, 2012).
8. Administrasi (Pencatatan dan Pelaporan)
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan,
17
pendistribusian, pengendalian persediaan, pengembalian,
pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai. Pelaporan dibuat secara periodik
yang dilakukan Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu
(bulanan, triwulanan, semester atau pertahun).
Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan
peraturan yang berlaku. Pencatatan dilakukan untuk:
a. persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM
b. dasar akreditasi Rumah Sakit
c. dasar audit Rumah Sakit; dan
d. dokumentasi farmasi.
Pelaporan dilakukan sebagai:
a. komunikasi antara level manajemen
b. penyiapan laporan tahunan yang komprehensif
mengenai kegiatan di Instalasi Farmasi; dan
c. laporan tahunan.
9. Pengawasan/Pengendalian
Pengawasan adalah segenap kegiatan untuk menyakinkan
dan menjamin bahwa tugas/pekerjaan telah dilakukan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan, kebijaksanaan yang telah
digariskan dan perintah (aturan) yang diberikan. Pengawasan
merupakan bagian dari fungsi manajemen, disamping fungsi
perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan.
Fungsi Pengendalian menurut Subagya (1998) merupakan
fungsi inti dari pengelolaan perlengkapan yang meliputi usaha
untuk memonito dan mengamankan keseluruhan pengelolaan
logistik dimana terdapat kegiatan pengendalian inventaris.
18
2.4 Pengendalian Persediaan
Menurut Priyambodo (2007) bahwa pengendalian persediaan adalah
menghasilkan keputusan tingkat persediaan yang menyeimbangkan
tujuan diadakannya persediaan dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan
kata lain, sasaran akhir dari pengendalian persediaan adalah
meminimalkan total biaya dengan perubahan tingkat persediaan.
Untuk mempertahankan tingkat persediaan yang optimum,
diperlukan jawaban atas dua pertanyaan mendasar yaitu kapan dilakukan
pemesanan dan berapa jumlah yang harus dipesan dan kapan harus
dilakukan pemesanan kembali. Keputusan mengenai kapan dan berapa
jumlah yang harus dipesan sangat tergantung kepada waktu dan tingkat
persediaan.
Salah satu fungsi manajerial dalam manajemen persediaan yang
sangat penting adalah pengendalian persediaan. Apabila perusahaan
menanamkan terlalu banyak dananya dalam persediaan, hal ini akan
menyebabkan biaya penyimpanan yang berlebihan, dan mungkin
mempunyai oppurtinity cost. Demikian pula apabila perusahaan tidak
mempunyai persediaan yang mencukupi, dapat mengakibatkan biaya-
biaya dari terjadinya kekurangan bahan (stock out) (Rangkuti, 2002).
Sedangkan menurut Seto (2004), pengendalian persediaan (inventory
control) adalah fungsi manajerial yang sangat penting karena
persediaan/stok obat akan memakan biaya yang melibatkan investasi
yang besar karena itu perlu dilakukan dengan efektif dan efisien.
Pengendalian persediaan yang efektif adalah mengoptimalkan dua tujuan
yaitu memperkecil total investasi pada persediaan obat dan menjual
berbagai produk yang benar untuk memenuhi permintaan konsumen.
2.4.1. Pengendalian Persediaan Dengan Analisis ABC Investasi
Jenis barang perbekalan farmasi dirumah sakit sangat banyak
jumlahnya yang tidak seluruhnya memiliki prioritas yang sama.
Untuk mengetahui jenis perbekalan farmasi yang harus mendapat
prioritas maka digunakan analisis ABC. Analisis ABC ini dapat
19
memudahkan pengendalian persediaan perbekalan farmasi dengan
mengklasifikasikan item barang. Analisis ABC merupakan metode
pembuatan grup atau penggolongan berdasarkan peringkat nilai dari
nilai tertinggi hingga terendah, dan dibagi menjadi 3 kelompok besar
yang disebut kelompok A, B dan C (Maimun, 2008):
Menurut Assauri (2004), klasifikasi dalam analisis ABC dibagi
menjadi 3, diantaranya :
1. Kelompok A adalah inventory dengan nilai investasinya tinggi
dengan jumlah sekitar 80% dan mempunyai jumlah penggunaan
tidak melebihi 10% dari total nilai inventory.
2. Kelompok B adalah inventory dengan nilai investasinya
mencapai 15% dan mempunyai jumlah penggunaan hingga 20%
dari total nilai inventory.
20
item yang menjelaskan proporsi terbesar dari anggaran. Analisis ABC
dapat (WHO, 2003) :
1. Mengklasifikasikan item yang memiliki tingkat penggunaan yang
tinggi dan item yang memiliki biaya yang rendah.
2. Mengukur sejauh mana konsumsi obat yang sebenarnya
mencerminkan kebutuhan kesehatan masyarakat dan
membandingkan konsumsi obat pola morbiditas.
3. Mengidentifikasi pembelian untuk item di rumah sakit yang tidak
masuk dalam daftar obat esensial yaitu penggunaan obat-obatan
non- formularium.
Manfaat pengendalian persediaan dengan klasifikasi ABC, yaitu
(Rangkuti, 2002) :
1. Membantu manajemen dalam menentukan tingkat persediaan yang
efisien
2. Memberikan perhatian pada jenis persediaan utama yang dapat
memberikan cost benefit yang besar bai perusahaan
3. Dapat memanfaatkan modal kerja sebaik-baiknya sehingga dapat
memacu pertumbuhan perusahaan
4. Sumber-sumber daya produksi dapat dimanfaatkan secara efisien.
21
diperoleh dengan mempertimbangkan biaya pemesanan dan biaya
penyimpanan sebagai variabel yang dihitung (Nadia, 2012).
Menurut Bunawan (1996), rumus ini kemudian mencapai
pemakaian yang sangat luas dalam industri melalui upaya seorang
konsultan bernama Wilson. Maka rumus ini sering pula dinamakan
EOQ Wilson yang sebenarnya dikembangkan oleh Harris. Metode ini
merumuskan jumlah barang yang harus dipesan dengan
meminimalkan biaya pengoperasian persediaan.
Menurut Anief (2008), metode EOQ merupakan volume atau
jumlah pembelian yang paling ekonomis untuk dilaksanakan pada
setiap kali pembelian. Sehingga diharapkan metode ini dapat
mencegah kekosongan obat dengan mengadakan jumlah pesanan
barang.
Berikut adalah rumus untuk menentukan jumlah pesanan optimum
Heizer dan Render (2010), yaitu :
2DS
Q=√
H
Keterangan :
Q = Jumlah Pesanan
D = Jumlah kebutuhan barang
S = Biaya pesanan untuk setiap kali pesan
H = Biaya penyimpanan per unit per tahun
Menurut Schroeder (2003), dalam menggunakan EOQ ada
beberapa asumsi yang digunakan :
1. Permintaan terhadap obat konstan, berulang, dan diketahui.
2. Waktu tunggu (lead time) konstan dan diketahui.
3. Tidak diperbolehkan terjadi kehabisan stok untuk menentukan
dengan pasti kapan harus memesan bahan untuk mencegah
kekurangan stok.
4. Barang yang dipesan ditempatkan dalam persediaan dalam satu
waktu.
22
5. Harga per unit konstan dan tidak ada diskon yang diberikan jika
pesanan dalam jumlah banyak.
6. Barang merupakan produk tunggal ,tidak ada interaksi dengan
produk lain.
23
secara tepat, maka perusahaan tidak perlu memiliki
persediaan yang besar.
2. Biaya simpan digudang dan biaya ekstra bila kehabisan
persediaan. Apabila dibandingkan, biaya penyimpanan
digudang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan seandainya
melakukan pesanan ekstra bila persediaan habis,maka
perusahaan tidak perlu memiliki persediaan besar.
3. Sifat persaingan. Persaingan yang terjadi antara perusahaan
dapat ditentukan dari kecepatan pelayanan pemenuhan
permintaan konsumen, maka perusahaan perlu memiliki
persediaan yang besar. Namun bila yang menjadi sifat
persaingan adalah hal lain (kualitas dan harga), maka tidak
mendesak untuk memiliki persediaan yang besar.
Oleh karena itu, mengapa diperlukan perhitungan terhadap safety
stock untuk menentukan jumlah persediaan pengamanan dalam
menjaga kendali persediaan obat dirumah sakit.
Persediaan pengaman (safety stock) adalah persediaan tambahan
yang diadakan untuk melindungi atau menjaga kemungkinan
terjadinya kekurangan bahan (stockout) (Bowersox, 2002). Berikut
perhitungan dalam menentukan persediaan pengaman obat dirumah
sakit dengan lead time yang diketahui, permintaan bersifat konstan
sehingga service level sebesar 98% (Z = 2,05) (Rangkuti, 2002) :
SS = Z x d x L
Keterangan
SS = Safety stock
Z = Service level
d = Rata-rata Pemakaian
L = Lead time
Tingkat pelayanan (Service level) dapat didefinisikan sebagai
probabilitas permintaan tidak akan melebihi persediaan selama waktu
tenggang. Tingkat pelayanan 98% menunjukkan bahwa besarnya
24
kemungkinan permintaan tidak akan melebihi persediaan selama
waktu tenggang ialah 98%. Dengan kata lain, risiko terjadinya
kekosongan stok (stockout risk) hanya 2% (Herjanto, 2008).
25
SS = Persediaan Pengaman (safety stock)
ROP model terjadi apabila jumlah persediaan yang terdapat dalam
stok berkurang terus sehingga kita harus menentukan berapa banyak
batas minimal tingkat persediaan yang harus dipertimbangkan
sehingga tidak terjadi kekosongan obat (stock out) (Rangkuti, 2002).
26
2. Mengadakan cadangan persediaan (safety stock), salah satu upaya
selain pembelian darurat yaitu mengadakan safety stock.
27
BAB III
METODE PENELITIAN
28
2. Data sekunder diperoleh dari telaah dokumen rumah sakit, seperti SOP,
daftar nama obat, jumlah pemakaian obat, harga obat, daftar distributor
obat.
29
BAB IV
30
12 Norages Syr Sirup Paten
13 Flunarizin Tablet Flunarizin
14 Ceftriaxone Inj Injaeksi Generik
15 Vip Albumin Tab Tablet Paten
16 Nutribreast Tablet Paten
17 Bisoprolol 2,5 mg Tablet Generik
31
Menurut penelitian Renie dan Widodo (2013) bahwa kekosongan stok
obat juga dapat menimbulkan kerugian bagi rumah sakit. Kerugian yang
ditanggung sebagai akibat stock out obat diperhitungkan dengan hilangnya
biaya kesempatan yang harusnya diperoleh rumah sakit.
Keadaan kehabisan stok harus dihindari karena dapat mengakibatkan
biaya yang tinggi, baik biaya eksternal maupun biaya internal. Biaya
eksternal misalnya pelanggan yang tidak puas sehingga dapat
mengakibatkan penurunan penjualan. Biaya internal misalnya pekerja yang
menganggur, sedangkan gajinya harus tetap dibayar. Kehabisan stok bisa
terjadi karena kenaikan dalam pemakaian barang atau keterlambatan
kedatangan barang atau keduanya sekaligus (Indrajit, 2005).
Pentingnya sebuah rumah sakit memiliki suatu pengendalian obat yang
baik sehingga perbekalan farmasi tidak berlebihan atau kekurangan.
Kelebihan persediaan mengakibatkan banyaknya modal yang tertanam dan
tingginya biaya yang ditimbulkan oleh persediaan. Sebaliknya jika terjadi
kekurangan persediaan akan mengakibatkan arus pelayanan rumah sakit
terganggu antara lain bila stok kurang sehingga membuat pasien menunggu
lebih lama (Agustina, 2011). Persediaan yang tidak mencukupi dapat
menyebabkan biaya kekurangan bahan, tertundanya keuntungan atau
bahkan dapat mengakibatkan hilangnya pelanggan (Rangkuti, 2002).
32
diperlukan perhitungan yang tepat untuk mengetahui jumlah pemesanan
optimum yaitu dengan metode EOQ.
Untuk mengetahui jumlah pemesanan yang optimum dalam setiap kali
melakukan pemesanan obat paten di Instalasi Farmasi RS Bhayangkara Tk
III Banjarmasin, dapat diterapkan metode EOQ. Rumus untuk menentukan
jumlah pemesanan optimum menurut Heizer dan Render (2010) adalah
sebagai berikut :
2DS
Q=√
H
Keterangan :
Q = Jumlah Pesanan
D = Jumlah kebutuhan barang
S = Biaya pesanan untuk setiap kali pesan
H = Biaya penyimpanan per unit per tahun
33
2. Biaya ATK
ATK yang digunakan oleh bagian gudang medis adalah 1
lembar untuk Surat Pemesanan (SP), dan 1 tinta printer untuk 2
bulan pemakaian. Jumlah surat pesanan yang dibuat per bulan rata-
rata yaitu 50 lembar surat pesanan untuk ±500 jenis obat.
Table 4.2 Biaya ATK perbulan pemesanan obat di IFRS
Bhayangkara Tk III Banjarmasin
No Barang ATK Banyak Harga @ Jumlah
1 Kertas HVS 1/4 Rim Rp. 35.000 Rp. 8.750
(Untuk SP)
2 Tintah Printer 1/2 Pcs Rp. 100.000 Rp. 50.000
Total Rp. 58.750
34
Jumlah pemakaian pada bulan Oktober 2021 (d) = 13.500
tablet
Baya pemesanan = Rp. 14.050
Biaya penyimpanan = Rp. 5.000
Maka Economic Order Quantity (EOQ) adalah :
2DS
Q=√
H
2(13.500)(14.050)
Q=√
5000
35
mengakibatkan risiko terjadinya kekurangan persediaan (stock out)
(Herjanto, 2008).
Hal ini sejalan dengan Heizer dan Render (2010) yang
menyatakan bahwa seiring dengan meningkatnya kuantitas barang
yang dipesan, maka jumlah pemesanan pertahunnya akan menurun
namun biaya penyimpanan akan meningkat karena jumlah
persediaan yang harus diurus lebih banyak. Untuk itu, jumlah
pemesanan harus dapat meminimalkan biaya pemesanan dan biaya
penyimpanan.
36
BAB V
5.1. Kesimpulan
1. Kekosongan obat (stock out) yang terjadi di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Bhayangkara Tk III Banjarmasin pada tanggal 23 Oktober – 4
November tahun 2021 mencapai 17 obat.
2. Factor yang menyebabkan kekosongan stok yaitu keterlambatan
pengiriman obat dari distributor ke IFRS Bhayangkara Tk. III
Banjarmasin.
3. Upaya pengendalian persediaan obat berdasarkan metode Economic
Order Quantity (EOQ), yang mana didapat Pemesanan Obat Herbeser
Kap 200 mg yaitu 276 tablet.
5.2.Saran
1. Petugas farmasi diharapkan melihat data real konsumsi obat untuk
mengetahui obat yang dibutuhkan pasien. Sehingga dapat mengurangi
kesalahan dalam penentuan kebutuhan obat dan meminimalisir
tertinggalnya obat untuk dipesan.
2. Dalam menentukan jumlah kebutuhan obat dan persediaan pengaman
(buffer stock) diharapkan petugas memperhitungkan lead time obat agar
persediaan pengaman tidak berlebih ataupun kurang.
3. Perlu diterapkan metode EOQ untuk menghindari terjadinya
kekosongan obat.
37
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen Binfar dan Alkes. 2013. Formularium Kendalikan mutu dan biaya
Pengobatan. Sumber : http://binfar.kemkes.go.id/2013/06/formularium-
nasional-kendalikan-mutu- dan-biaya-pengobatan/
Heizer, Jay dan Render, Barry. 2010. Manajemen Operasi. Second edition.
Salemba Empat : JakartA
Jensen, V & Rappaport, BA. 2010. The Reality of Drug shortages. New
England Journal of Medicine. Sumber :
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp1005849
Nova, Iwan, MBA, CPIM, CSCP. 2013. Memahami Safety Stock dan
Menguasai Rumusnya. Sumber
:http://supplychainindonesia.com/new/memahami-safety-stock- dan-
menguasai-rumusnya/
Prof. Dr. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Alfabeta : Bandung
Pudjitami, Sri Wahyuni dan Suryawati, Sri. 1998. Dampak Penerapan Metode
Economic Order Quantity (EOQ) Terhadap Nilai Persediaan Obat di
Instalasi Farmasi RSUD Dr. Moewardi Surakarta. FK UGM : Yogyakarta
Suciati, Suci dan Adisasmito, Wiku B.B. 2006. Analisis Perencanaan Obat
Berdasarkan ABC Indeks Kritis di Instalasi Farmasi. Jurnal Managemen
Pelayanan Kesehatan. IX. Sumber: https://staff.blog.ui.ac.id%2Fwiku-
a%2Ffiles%2F2009%2F10%2Fanalisis-perencanaan-obat-berdasarkan.pdf
Seto, S., Nita. Yunita., Triana, Lily. 2004. Manajemen Farmasi. Surabaya:
Airlangga University Press.