Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH PROGRAM KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

Di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat III Hoegeng Imam Santoso


Banjarmasin

ANALISIS Stock Out (KEKOSONGAN OBAT) DI INSTALASI


FARMASI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA Tk. III
BANJARMASIN

Disusun Oleh :
Nada Khairiyah

(2043700468)

PROGRAM STUDI
PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
2021
DAFTAR ISI

Halaman Judul .............................................................................................. i


Daftar Isi ........................................................................................................ ii
BAB I Pendahuluan ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 3
1.3. Tujuan ................................................................................................. 3
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 4
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 4
BAB II Tinjauan Pustaka ............................................................................. 5
2.1. Rumah Sakit ....................................................................................... 5
2.2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) ............................................... 6
2.3. Manajemen Rumah Sakit ................................................................... 10
2.4. Pengendalian Persediaan .................................................................... 19
2.5. Stock Out (Kekosongan Obat) ............................................................ 26
BAB III Metode Penelitian ........................................................................... 28
3.1. Desain Penelitian ................................................................................ 28
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 28
3.3. Instrument Penelitian ......................................................................... 28
3.4. Pengumpulan Data ............................................................................. 28
3.5. Penyajian Data ................................................................................... 29
3.6. Pengolahan Data ................................................................................. 29
BAB IV Hasil dan Pembahasan ................................................................... 30
4.1. Stock Out (Kekosongan Obat) ............................................................ 30
4.2. Pengendalian Persediaan dengan Metode EOQ (Economic Order Quantity)
.............................................................................................................. 32
BAB V Kesimpulan dan Saran .................................................................... 37
5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 37
5.2. Saran ................................................................................................... 37
Daftar Pustaka

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang


Berdasarkan UU No. 44 tahun 2009, Rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat. Salah satu kewajiban rumah sakit, yaitu membuat,
melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan dirumah sakit
sebagai acuan dalam melayani pasien. Kewajiban ini menuntut rumah sakit
untuk terus melakukan upaya dalam memperbaiki kualitas pelayanan jasa yang
diberikan.
Salah satu tugas utama instalasi farmasi adalah pengelolaan, pelayanan,
sampai dengan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang digunakan
dirumah sakit (Siregar, 2004). Apabila tugas ini tidak dikelola dengan baik dan
penuh tanggung jawab maka dapat diprediksi bahwa kualitas pelayanan rumah
sakit dan pemasokan RS akan menurun.
Berdasarkan PMK No. 58 tahun 2014 tentang standar pelayanan
kefarmasian dirumah sakit bahwa pelayanan kefarmasian dirumah sakit
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan
rumah sakit. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu pelayanan
kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang
berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang
berorientasi pada pasien (patient oriented). Pelayanan yang berorientasi pada
pasien mengharuskan pelayanan kefarmasian yang dapat meningkatkan mutu
dalam pengelolaan dan kefarmasian klinis dirumah sakit.
Dalam menjamin mutu pelayanan kefarmasian harus dilakukan
pengendalian perbekalan farmasi yang bertanggung jawab. Menurut Permenkes
No. 58 tahun 2014 bahwa pengendalian mutu kefarmasian meliputi kegiatan
monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan yang diberikan. Kegiatan ini

1
bertujuan menjamin kegiatan sesuai dengan rencana, salah satunya untuk
mencegah terjadi kekosongan stok perbekalan farmasi saat dibutuhkan. Apabila
ditemukan stok obat yang kosong maka penyebabnya akan dipastikan dan
diatasi sehingga masalah tersebut dapat segera dikendalikan dan meminimalkan
kerugian.
Pengendalian persediaan obat bertujuan untuk menciptakan keseimbangan
antara persediaan dengan permintaan. Fungsi pengendalian sangat penting
untuk menjamin efekfitas dan efisiensi pengelolaan persediaan obat itu sendiri
(Hartih, 2013).
Kekosongan stok obat dirumah sakit dapat mempengaruhi mutu
pelayanan yang diberikan. Menurut penelitian Academy of Managed Care
Pharmacy (AMCP) tentang The Reality of Drug shortages (2010) yang
mayoritas respondennya sebagian besar adalah kepala farmasi/apoteker,
diperoleh hasil bahwa kekosongan obat dapat mengakibatkan 55,5% kelalaian,
54,8% kesalahan dosis, 34,8% kesalahan obat, 70,8% perawatan tertunda dan
38% mengakibatkan keluhan pasien. Akibat lain dari adanya stok yang kosong
yaitu rumah sakit akan mengalami nilai kerugian.
Berdasarkan wawancara dan observasi, kekosongan obat yang terjadi di
RSUD Kota Bekasi tahun 2014, mengakibatkan seringnya rumah sakit
melakukan pembelian obat di apotik luar RSUD. Pembelian ini dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan pasien walau harga pembelian obat lebih mahal
dibanding ke distributor. Banyak pasien yang mengeluh akibat
keterlambatan pengiriman dari apotek luar RSUD sehingga dapat
mempengaruhi kepuasan pasien terhadap pelayanan dan kesembuhan pasien
yang berkunjung ke rumah sakit.
Penyebab kekosongan obat di gudang farmasi rumah sakit diantaranya
yaitu ketidaktelitian petugas gudang dalam pemesanan, dana yang tersedia
tidak mencukupi, kekosongan obat di distributor, perencanaan pengadaan yang
tidak akurat, dan terlambatnya petugas dalam melakukan pemesanan. Hal-
hal ini berkaitan dengan kurangnya pengelolaan terhadap SDM, Dana,
perencanaan, pengadaan dan pengendalian persediaan obat dirumah

2
sakit. Diketahuinya penyebab-penyebab dari kekosongan obat ini diharapkan
menjadi bahan evaluasi bagi manajemen dalam melakukan perencanaan dan
analisis kebutuhan persediaan logistik obat.
Dengan mengetahui penyebab terjadinya stock out dapat memberikan
informasi bagi rumah sakit dalam mengendalikan kejadian stock out di gudang
medis instalasi farmasi. Diharapkan dari adanya informasi tersebut dilakukan
penerapan terhadap metode dalam pengendalian persediaan.

1.2 Rumusan Masalah


Pengendalian persediaan obat memiliki peranan terpenting dalam
pelaksanaan manajemen pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pengendalian
persediaan obat yang kurang efisien akan berpengaruh terhadap peranan
manajemen rumah sakit secara keseluruhan terutama pelayanan kepada pasien,
tanpa Pengendalian persediaan tidak mungkin fungsi manajemen lainnya dapat
terlaksana dengan baik.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran terjadinya stock out (kekosongan stok) obat di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin ?
2. Faktor apa yang dapat menyebabkan terjadinya kekosongan stok di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin ?
3. Bagaimana upaya pengendalian terhadap obat paten agar tidak
terjadi stock out (kekosongan obat) ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran faktor yang menjadi penyebab terjadinya
stock out obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara
Banjarmasin.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran terjadinya kekosongan stok (stock out)
obat di Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin.

3
2. Untuk mengetahui faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
kekosongan stok (stock out) di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Bhayangkara Banjarmasin.
3. Untuk mengetahui jumlah pemesanan yang optimal obat dengan
menggunakan metode EOQ di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Bhayangkara Banjarmasin.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Dengan diketahui gambaran penyebab stock out obat diharapkan petugas
logistik di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin dapat
melakukan pengendalian terhadap kekosongan obat.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif dan masukan dalam
masalah kekosongan obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara
Banjarmasin.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor
penyebab terjadinya stock out obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Bhayangkara Banjarmasin. Penelitian dilakukan selama 10 hari, pada tanggal
23 Oktober – 4 November 2021, dengan metode penelitian kualitatif untuk
mengetahui gambaran penyebab dari terjadinya kekosongan obat di rumah
sakit. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang
diperoleh dari wawancara kepada apoteker dan tenaga teknis kefarmasian di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumah Sakit


Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
340/MENKES/PER/III/2010 adalah Rumah Sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat. Sedangkan pengertian rumah sakit menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, dinyatakan bahwa rumah
sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang
sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit
serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan
Kesehatan.
Menurut PMK no.340 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, berdasarkan
fasilitas dan kemampuan pelayanannya, rumah sakit diklasifikasikan
menjadi :
1. Rumah Sakit Umum Kelas A
Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik
Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua
belas) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13 (tiga belas) Pelayanan
Medik Sub Spesialis serta memiliki jumlah tempat tidur minimal 400
(empat ratus) buah.
2. Rumah Sakit Umum Kelas B
Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik
Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8
(delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan

5
Medik Subspesialis Dasar. Rumah Sakit Umum Kelas B juga harus
memiliki jumlah tempat tidur minimal 200 (dua ratus) buah.
3. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik
Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik.
Rumah Sakit Umum Kelas C memiliki jumlah tempat tidur minimal 100
(seratus) buah.
4. Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik
Spesialis Dasar. Pelayanan Medik Spesialis Dasar sekurang-
kurangnya 2 (dua) dari 4 (empat) jenis pelayanan spesialis dasar
meliputi Pelayanan Penyakit Dalam, Kesehatan Anak, Bedah,
Obstetri dan Ginekologi serta memiliki jumlah tempat tidur minimal
50 (lima puluh) buah.

2.2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)


Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit di rumah sakit
yang merupakan fasilitas penyelenggaraan kefarmasian di bawah pimpinan
seorang apoteker dan memenuhi persyaratan secara hukum untuk
mengadakan, menyediakan, dan mengelola seluruh aspek penyediaan
perbekalan kesehatan di rumah sakit yang berintikan pelayanan produk yang
lengkap dan pelayanan farmasi klinik yang sifat pelayananannya
berorientasi kepada kepentingan penderita.
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan
berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan pasien, penyediaan obat
yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi
semua lapisan masyarakat. Farmasi bertanggung jawab atas semua barang
yang beredar di rumah sakit. (Nofriana, 2011).

6
Menurut PMK No, 58 TAHUN 2014 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Rumah Sakit, Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana
fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit. Instalasi farmasi dipimpin oleh seorang
apoteker sebagai penanggung jawab. Instalasi Farmasi harus melakukan
pengembangan pelayanan kefarmasian sesuai dengan situasi perkembangan
kefarmasian terkini. Berikut tugas dan fungsi instalasi kefarmasian di rumah
sakit berdasarkan PMK no.58 tahun 2014 :
2.2.1 Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi:
1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan
mengawasi seluruh kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang optimal
dan profesional serta sesuai prosedur dan etik profesi;
2. Melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien;
3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna
memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan
risiko;
4. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta
memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;
5. Berperan aktif dalam Tim Farmasi dan Terapi;
6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan
Pelayanan Kefarmasian;
7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan
dan formularium Rumah Sakit.
2.2.2 Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai.
a. Memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;

7
b. Merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai secara efektif, efisien dan
optimal;
c. Mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai berpedoman pada perencanaan yang telah
dibuat sesuai ketentuan yang berlaku;
d. Memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit;
e. Menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang
berlaku;
f. Menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian;
g. Mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah
Sakit;
h. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu;
i. Melaksanakan pelayanan Obat “unit dose”/dosis sehari;
j. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (apabila sudah
memungkinkan);
k. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
l. Melakukan pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang sudah tidak
dapat digunakan;
m. Mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai;

8
n. Melakukan administrasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
2. Pelayanan farmasi klinik.
a. Mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau permintaan
Obat;
b. Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. Melaksanakan rekonsiliasi Obat;
d. Memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik
berdasarkan Resep maupun Obat non Resep kepada
pasien/keluarga pasien;
e. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
f. Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga
kesehatan lain;
g. Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;
h. Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO) : Pemantauan
efek terapi Obat, Pemantauan efek samping Obat, dan
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
i. Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. Melaksanakan dispensing sediaan steril : Melakukan
pencampuran Obat suntik dan Melaksanakan pengemasan
ulang sediaan steril yang tidak stabil;
k. Melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga
kesehatan lain, pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di
luar Rumah Sakit;
l. Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).

Pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk


mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat.
Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu pelayanan
kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang

9
berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang
berorientasi pada pasien (patient oriented). Untuk itu kompetensi apoteker
perlu ditingkatkan secara terus menerus agar perubahan paradigma tersebut
dapat diimplementasikan.
Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu
kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan
farmasi klinik. Kegiatan manajerial yaitu melakukan serangkaian
pengelolaan terhadap pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan, pengendalian dan
administrasi (pencatatan dan pelaporan). Sedangkan pada kegiatan
pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat.

2.3 Manajemen Rumah Sakit


2.3.1. Definisi
Istilah manajemen rumah sakit didefinisikan oleh Aditama (2007)
yaitu suatu ilmu pengetahuan atau seni serta proses mengenai
perencanaan dan penentuan kebutuhan pengadaan, penyimpanan,
penyaluran, dan pemeliharaan serta penghapusan material/alat-alat.
Sedangkan menurut Romzi (2010) dalam Ariyanti (2012),
manajemen dapat didefinisikan sebagai Planning, Organizing,
Staffing, Leading, dan Controlling dalam kegiatan yang berkaitan
dengan pengadaan, pendistribusian, penggunaan, pemeliharaan, dan
penghapusan barang dan jasa untuk mendukung kegiatan fungsi-
fungsi utama dalam pencapaian organisasi.
Tahap pengelolaan obat di rumah sakit terdiri dari tahapan
pemilihan dan perencanaan (selection), pengadaan (procurement),
penyimpanan (storage), distribusi (distribution) dan penggunaan (use)
yang memiliki keterkaitan di antara masing–masing tahap sehingga

10
harus terkoordinasi dengan baik agar masing–masing dapat berfungsi
optimal. Tidak efisiennya salah satu tahap saja akan mengakibatkan
tidak efisien pula sistem suplai dan penggunaan obat yang ada.
Dengan demikian pengelolaan obat perlu dukungan manajemen dari
struktur organisasi yang kuat, keuangan, informasi manajemen yang
layak dan staf yang termotivasi dan kompeten. (Nofriana, 2011).
Siklus pengelolaan obat merupakan rangkaian proses yang
mencakup 4 fungsi dasar sistem pengelolaan obat yaitu perumusan
kebutuhan (selection), pengadaan (procurement), penyimpanan dan
distribusi (distribution), dan penggunaan obat dan evaluasinya (use).
Keempat fungsi ini didukung oleh sistem penunjang (management
support) yaitu organisasi, pembiayaan, sistem informasi dan sumber
daya manusia seperti yang digambarkan dalam siklus manajemen obat
. (Quick. Et. Al., 1997).

kebutuhan

Management Support :
pengorganisasian,
Distribusi pendanaan, sumber pengadaan
informasi, SDM

penggunaan obat dan


evaluasinya

Gambar 2.1. Siklus Manajemen Obat (Drug Management


Cycles)

11
2.3.2. Tujuan Manajemen
Tujuan manajemen logistik menurut Aditama (2007) adalah
tersedianya bahan logistik setiap saat dibutuhkan, baik mengenai
jenis, jumlah, maupun kualitas yang dibutuhkan secara efisien. Lebih
spesifik kegiatan logistik mempunyai tiga tujuan, yaitu (Henny, 2013)
:
1. Tujuan Operasional, agar tersedianya barang serta bahan dalam
jumlah yang tepat dan mutu yang memadai.
2. Tujuan Keuangan, upaya operasional dapat terlaksana dengan
biaya yang serendah-rendahnya. Nilai persediaan yang
sesungguhnya dapat tercermin didalam sistem akuntansi.
3. Tujuan Pengamanan, agar persediaan tidak terganggu oleh
kerusakan, pemborosan, penggunaan tanpa hak, pencurian, dan
penyusutan yang tidak wajar lainnya.
2.3.3. Fungsi Manajemen
Fungsi manajemen menurut Aditama (2007) diantaranya perencanaan
dan penentuan kebutuhan, penganggaran, pengadaan, penyimpanan,
penyaluran, dan pemeliharaan, penghapusan, pengendalian serta
pengawasan.
Fungsi-fungsi manajemen yang membentuk suatu siklus kegiatan
harus dijaga agar selaras, serasi dan seimbang (Seto, 2004). Siklus
logistik adalah proses dari sebelum terjadinya kegiatan logistik
sampai kegiatan itu dapat di evaluasi (Henny, 2013). Apabila salah
satu fungsi manajemen tidak diimplementasikan dengan baik maka
akan mempengaruhi suatu siklus manajemen.
Berikut uraian lebih jelas mengenai fungsi-fungsi kegiatan dalam
manajemen logistik, diantaranya :
1. Seleksi atau pemilihan
Menurut Permenkes No. 72 tahun 2016 pemilihan adalah
kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat Kesehatan,
dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan. pemilihan

12
jenis sediaan farmasi, alat Kesehatan, dan bahan medis habis pakai
berdasarkan :
a. Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnose dan
terapi
b. Standar sediaan farmasi, alat Kesehatan dan bahan hbis pakai
yang telah ditetapkan
c. Pola penyakit
d. Efektifitas dan keamanan
e. Pengobatan berbasis bukti
f. Mutu
g. Harga
h. Ketersediaan dipasaran.

2. Perencanaan dan Penentuan Kebutuhan


Menurut PMK no.58 tahun 2014, perencanaan kebutuhan
merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan periode
pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin
terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan
efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat
dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan
dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain
konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan
epidemiologi serta disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
Perencanaan obat yang dibutuhkan di rumah sakit pada
mulanya ditentukan oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)
melalui seleksi obat berdasarkan usulan dari dokter rumah sakit
kemudian disusun menjadi formularium rumah sakit.
Adapun pendekatan perencanaan kebutuhan dapat dilakukan
melalui beberapa metode :

13
a. Metode konsumsi, metode ini didasarkan pada data riil
konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu, dengan
berbagai penyesuaian dan koreksi. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam perhitungan jumlah perbekalan farmasi
diantaranya pengumpulan data, analisa data, perhitungan
perkiraan kebutuhan dan penyesuaian jumlah kebutuhan.

b. Metode morbiditas, dasar perhitungan pada metode ini yaitu


jumlah kebutuhan perbekalan perbekalan farmasi yang
digunakan untuk beban kesakitan yang harus dilayani. Metode
ini berdasar pola penyakit, kenaikan kunjungan, dan waktu
tunggu.

c. Kombinasi metode konsumsi dan metode morbiditas


disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Acuan yang
digunakan yaitu formularium RS, rekam medik, anggaran
yang tersedia, penetapan prioritas, pola penyakit, sisa
persediaan, data penggunaaan periode yang lalu, dan rencana
pengembangan.
3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif
harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat
dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Tujuan
dari pengadaan yaitu mendapatkan perbekalan farmasi dengan
harga yang layak, dengan mutu yang baik, pengiriman barang
terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak
memerlukan tenaga serta waktu berlebihan. Proses pengadaan
terdapat 3 elemen penting yang harus diperhatikan diantaranya
(Depkes,2008) :
a. Pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan
“biaya tinggi”

14
b. Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja sangat penting
untuk menjaga agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu
c. Order pemesanan agar barang dapat sesuai jenis, waktu dan
tempat.
Menurut Quick J. et al, ada empat metode proses pengadaaan :
a. Tender terbuka berlaku untuk semua rekan yang terdaftar,
dan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Pada
penentuan harga lebih menguntungkan.
b. Tender terbatas sering disebut dengan lelang tertutup. Hanya
dilakukan pada rekanan tertentu yang sudah terdaftar dan
punya riwayat yang baik. Harga masih bisa dikendalikan.
c. Pembelian dengan tawar menawar dilakukan bila jenis
barang tidak urgen dan tidak banyak, biasanya dilakukan
pendekatan langsung untuk jenis tertentu.
d. Pengadaan langsung, pembelian jumlah kecil, perlu segera
tersedia. Harga tertentu relatif agak mahal.
4. Penerimaan
Menurut Permenkes No. 72 tahun 2016 Penerimaan merupakan
kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah,
mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak
atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua
dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan
baik.
5. Distribusi
Distribusi merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan
farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses
terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk
menunjang pelayanan medis. Proses distribusi obat dimulai dari
pengurusan bea masuk, pengendalian stok, pengelolaan
penyimpanan, penyaluran ke depo obat dan fasilitas kesehatan.
Pengaturan distribusi sangat penting terutama dalam penentuan

15
jenis dan jumlah obat yang harus sesuai dengan permintaan.
Pendistribusian mengutamakan agar obat sampai ke pengguna
tepat waktu, tepat indikasi dan terjangkau. (Nofriana, 2011).
Tujuan dari pendistribusian yaitu tersedianya perbekalan
farmasi di unit-unit pelayanan secara tepat waktu, tepat jenis dan
jumlah (Depkes,2008). Faktor yang mempengaruhi
pendistribusian barang antara lain proses administrasi, proses
penyampaian data/informasi, proses pengeluaran fisik barang,
proses angkutan, proses pembongkaran dan pemuatan
(Dina,2012).
6. Penyimpanan
Menurut Depkes (2008) bahwa kegiatan penyimpanan
merupakan kegiatan menyimpan dan memelihara perbekalan
farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari
pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat.
Tujuan dari penyimpanan obat adalah untuk melindungi obat-
obat yang disimpan dari kehilangan, kerusakan, kecurian,
terbuang sia-sia dan untuk mengatur aliran barang dari
tempat penyimpanan ke pengguna melalui suatu sistem yang
terjangkau (Febriwati, 2013).
Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi
menurut persyaratan yang ditetapkan :
a. Dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya
b. dibedakan menurut suhunya, kesetabilannya
c. mudah tidaknya meledak/terbakar
d. tahan tidaknya terhadap cahaya
Pengaturan penyimpanan obat dan persediaan menurut
WHO adalah sebagai berikut : (Istinganah, 2006)
a. Simpan obat-obatan yang mempunyai kesamaan secara
bersamaan di atas rak. ‘Kesamaan’ berarti dalam cara

16
pemberian obat (luar,oral,suntikan) dan bentuk ramuannya
(obat kering atau cair)
b. Simpan obat sesuai tanggal kadaluwarsa dengan
menggunkan prosedur FEFO (First Expiry First Out). Obat
dengan tanggal kadaluwarsa yang lebih pendek ditempatkan
di depan obat yang berkadaluwarsa lebih lama. Bila obat
mempunyai tanggal kadaluwarsa sama, tempatkan obat
yang baru diterima dibelakang obat yang sudah ada.
c. Simpan obat tanpa tanggal kadaluwarsa dengan
menggunakan prosedur FIFO (First In First Out). Barang
yang baru diterima ditempatkan dibelakang barang yang
sudah ada
d. Buang obat yang kadaluwarsa dan rusak dengan dibuatkan
catatan pemusnahan obat, termasuk tanggal, jam, saksi dan
cara pemusnahan.
7. Pemusnahan
Menurut PMK no.58 tahun 2014 bahwa fungsi
penghapusan/pemusnahan dilakukan untuk sediaan farmasi,
alkes dan BHP bila produk tidak memenuhi pesyaratan mutu,
telah kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan
dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu
pengetahuan dan dicabut izin edarnya. Sedangkan menurut
Aditama (2007), fungsi penghapusan yaitu usaha pembebasan
barang pertanggungjawaban yang berlaku karena kerusakan
yang tidak dapat diperbaiki lagi, dinyatakan sudah tua,
kelebihan, dan hal lain menurut peraturan perundangan yang
berlaku (Herni, 2012).
8. Administrasi (Pencatatan dan Pelaporan)
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan,

17
pendistribusian, pengendalian persediaan, pengembalian,
pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai. Pelaporan dibuat secara periodik
yang dilakukan Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu
(bulanan, triwulanan, semester atau pertahun).
Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan
peraturan yang berlaku. Pencatatan dilakukan untuk:
a. persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM
b. dasar akreditasi Rumah Sakit
c. dasar audit Rumah Sakit; dan
d. dokumentasi farmasi.
Pelaporan dilakukan sebagai:
a. komunikasi antara level manajemen
b. penyiapan laporan tahunan yang komprehensif
mengenai kegiatan di Instalasi Farmasi; dan
c. laporan tahunan.
9. Pengawasan/Pengendalian
Pengawasan adalah segenap kegiatan untuk menyakinkan
dan menjamin bahwa tugas/pekerjaan telah dilakukan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan, kebijaksanaan yang telah
digariskan dan perintah (aturan) yang diberikan. Pengawasan
merupakan bagian dari fungsi manajemen, disamping fungsi
perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan.
Fungsi Pengendalian menurut Subagya (1998) merupakan
fungsi inti dari pengelolaan perlengkapan yang meliputi usaha
untuk memonito dan mengamankan keseluruhan pengelolaan
logistik dimana terdapat kegiatan pengendalian inventaris.

18
2.4 Pengendalian Persediaan
Menurut Priyambodo (2007) bahwa pengendalian persediaan adalah
menghasilkan keputusan tingkat persediaan yang menyeimbangkan
tujuan diadakannya persediaan dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan
kata lain, sasaran akhir dari pengendalian persediaan adalah
meminimalkan total biaya dengan perubahan tingkat persediaan.
Untuk mempertahankan tingkat persediaan yang optimum,
diperlukan jawaban atas dua pertanyaan mendasar yaitu kapan dilakukan
pemesanan dan berapa jumlah yang harus dipesan dan kapan harus
dilakukan pemesanan kembali. Keputusan mengenai kapan dan berapa
jumlah yang harus dipesan sangat tergantung kepada waktu dan tingkat
persediaan.
Salah satu fungsi manajerial dalam manajemen persediaan yang
sangat penting adalah pengendalian persediaan. Apabila perusahaan
menanamkan terlalu banyak dananya dalam persediaan, hal ini akan
menyebabkan biaya penyimpanan yang berlebihan, dan mungkin
mempunyai oppurtinity cost. Demikian pula apabila perusahaan tidak
mempunyai persediaan yang mencukupi, dapat mengakibatkan biaya-
biaya dari terjadinya kekurangan bahan (stock out) (Rangkuti, 2002).
Sedangkan menurut Seto (2004), pengendalian persediaan (inventory
control) adalah fungsi manajerial yang sangat penting karena
persediaan/stok obat akan memakan biaya yang melibatkan investasi
yang besar karena itu perlu dilakukan dengan efektif dan efisien.
Pengendalian persediaan yang efektif adalah mengoptimalkan dua tujuan
yaitu memperkecil total investasi pada persediaan obat dan menjual
berbagai produk yang benar untuk memenuhi permintaan konsumen.
2.4.1. Pengendalian Persediaan Dengan Analisis ABC Investasi
Jenis barang perbekalan farmasi dirumah sakit sangat banyak
jumlahnya yang tidak seluruhnya memiliki prioritas yang sama.
Untuk mengetahui jenis perbekalan farmasi yang harus mendapat
prioritas maka digunakan analisis ABC. Analisis ABC ini dapat

19
memudahkan pengendalian persediaan perbekalan farmasi dengan
mengklasifikasikan item barang. Analisis ABC merupakan metode
pembuatan grup atau penggolongan berdasarkan peringkat nilai dari
nilai tertinggi hingga terendah, dan dibagi menjadi 3 kelompok besar
yang disebut kelompok A, B dan C (Maimun, 2008):
Menurut Assauri (2004), klasifikasi dalam analisis ABC dibagi
menjadi 3, diantaranya :
1. Kelompok A adalah inventory dengan nilai investasinya tinggi
dengan jumlah sekitar 80% dan mempunyai jumlah penggunaan
tidak melebihi 10% dari total nilai inventory.
2. Kelompok B adalah inventory dengan nilai investasinya
mencapai 15% dan mempunyai jumlah penggunaan hingga 20%
dari total nilai inventory.

3. Kelompok C adalah inventory dengan nilai investasinya tidak lebih


dari 15% dan mempunyai jumlah penggunaan mencapai 70% dari
total nilai inventory.
Menurut Dirjen Binakefarmasian dan Alat Kesehatan (2008)
klasifikasi persediaan berdasarkan kumulasi persennya dibagi atas 3
bagian, yaitu :
1. Persediaan dengan persen kumulatifnya 0-70% masuk dalam
kategori kelompok A.
2. Persediaan dengan persen kumulatifnya 71-90% masuk dalam
kategori kelompok B.
3. Persediaan dengan persen kumulatifnya 90-100% masuk dalam
kategori kelompok C.
Menurut Priyambodo (2009), beberapa persediaan memiliki
proporsi yang relatif lebih kecil dari volume persediaan secara
keseluruhan, namun memiliki nilai (rupiah) yang relatif lebih besar.
Besarnya persentase ini adalah kisaran yang bisa berubah-ubah dan
berbeda antara perusahaan satu dengan yang lainnya. Analisis ABC
adalah analisis konsumsi obat tahunan dan biaya untuk menentukan

20
item yang menjelaskan proporsi terbesar dari anggaran. Analisis ABC
dapat (WHO, 2003) :
1. Mengklasifikasikan item yang memiliki tingkat penggunaan yang
tinggi dan item yang memiliki biaya yang rendah.
2. Mengukur sejauh mana konsumsi obat yang sebenarnya
mencerminkan kebutuhan kesehatan masyarakat dan
membandingkan konsumsi obat pola morbiditas.
3. Mengidentifikasi pembelian untuk item di rumah sakit yang tidak
masuk dalam daftar obat esensial yaitu penggunaan obat-obatan
non- formularium.
Manfaat pengendalian persediaan dengan klasifikasi ABC, yaitu
(Rangkuti, 2002) :
1. Membantu manajemen dalam menentukan tingkat persediaan yang
efisien
2. Memberikan perhatian pada jenis persediaan utama yang dapat
memberikan cost benefit yang besar bai perusahaan
3. Dapat memanfaatkan modal kerja sebaik-baiknya sehingga dapat
memacu pertumbuhan perusahaan
4. Sumber-sumber daya produksi dapat dimanfaatkan secara efisien.

2.4.2. Pengendalian Persediaan Dengan Metode EOQ (Economic Order


Quantity)
Berawal di tahun 1913, F.W. Harris mengembangkan suatu model
dimana menjaga persediaan dalam keadaan siap digunakan, terlebih
dahulu mendefinisikan seberapa banyak suatu persediaan atau produk
dipesan. Kemudian Wilson pada tahun 1934 mengembangkan teori
F.W.Harris membuat perumusan EOQ. Metode ini tidak hanya
mengetahui dan menentukan jumlah pemesanan namun dengan
metode ini diharapkan dapat meminimalisasi total biaya operasional.
Hal ini dikarenakan pada perumusan EOQ, jumlah pemesanan

21
diperoleh dengan mempertimbangkan biaya pemesanan dan biaya
penyimpanan sebagai variabel yang dihitung (Nadia, 2012).
Menurut Bunawan (1996), rumus ini kemudian mencapai
pemakaian yang sangat luas dalam industri melalui upaya seorang
konsultan bernama Wilson. Maka rumus ini sering pula dinamakan
EOQ Wilson yang sebenarnya dikembangkan oleh Harris. Metode ini
merumuskan jumlah barang yang harus dipesan dengan
meminimalkan biaya pengoperasian persediaan.
Menurut Anief (2008), metode EOQ merupakan volume atau
jumlah pembelian yang paling ekonomis untuk dilaksanakan pada
setiap kali pembelian. Sehingga diharapkan metode ini dapat
mencegah kekosongan obat dengan mengadakan jumlah pesanan
barang.
Berikut adalah rumus untuk menentukan jumlah pesanan optimum
Heizer dan Render (2010), yaitu :

2DS
Q=√
H

Keterangan :
Q = Jumlah Pesanan
D = Jumlah kebutuhan barang
S = Biaya pesanan untuk setiap kali pesan
H = Biaya penyimpanan per unit per tahun
Menurut Schroeder (2003), dalam menggunakan EOQ ada
beberapa asumsi yang digunakan :
1. Permintaan terhadap obat konstan, berulang, dan diketahui.
2. Waktu tunggu (lead time) konstan dan diketahui.
3. Tidak diperbolehkan terjadi kehabisan stok untuk menentukan
dengan pasti kapan harus memesan bahan untuk mencegah
kekurangan stok.
4. Barang yang dipesan ditempatkan dalam persediaan dalam satu
waktu.

22
5. Harga per unit konstan dan tidak ada diskon yang diberikan jika
pesanan dalam jumlah banyak.
6. Barang merupakan produk tunggal ,tidak ada interaksi dengan
produk lain.

2.4.3. Pengendalian Persediaan Dengan Safety Stock


Apabila penggunaan persediaan melebihi dari perkiraan maka
terdapat persediaan pengamanan untuk menghindari kekosongan obat
inilah yang dinamakan safety stock. Rumah sakit sering menghadapi
ketidakpastian jangka waktu pengiriman dan permintaan akan barang
logistik selama periode tertentu. Dalam hal ini rumah sakit
memerlukan persediaan ekstra yang disebut persediaan pengamanan.
Safety stock bertujuan untuk menentukan berapa besar stok yang
dibutuhkan selama masa tenggang untuk memenuhi besarnya
permintaan. (Rangkuti, 2002).
Safety stock adalah persediaan tambahan yang diadakan untuk
melindungi atau menjaga kemungkinan terjadinya kekurangan
persediaan yang disebabkan karena adanya permintaan yang lebih
besar dari perkiraan semula atau karena keterlambatan barang yang
dipesan sampai digudang penyimpanan (lead time yang lebih lama
dari perkiraan semula) dengan menentukan besarnya persediaan
pengaman yang kemudian diikuti dengan jumlah pesanan tetap atau
EOQ (Seto dkk, 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi besar
kecilnya safety stock, adalah sebagai berikut (Ristono, 2009):
1. Resiko kehabisan persediaan, yang biasanya ditentukan oleh :
a. Kebiasaan pihak supplier dalam pengiriman barang yang
dipesan, apakah tepat waktu atau sering kali terlambat dari
waktu yang telah ditetapkan dalam kontrak pembelian.
b. Dapat diduga atau tidaknya kebutuhan bahan baku/penolong
untuk produksi. Apabila kebutuhan bahan penolong setiap
kali proses produksi dapat diduga atau diperhitungkan

23
secara tepat, maka perusahaan tidak perlu memiliki
persediaan yang besar.
2. Biaya simpan digudang dan biaya ekstra bila kehabisan
persediaan. Apabila dibandingkan, biaya penyimpanan
digudang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan seandainya
melakukan pesanan ekstra bila persediaan habis,maka
perusahaan tidak perlu memiliki persediaan besar.
3. Sifat persaingan. Persaingan yang terjadi antara perusahaan
dapat ditentukan dari kecepatan pelayanan pemenuhan
permintaan konsumen, maka perusahaan perlu memiliki
persediaan yang besar. Namun bila yang menjadi sifat
persaingan adalah hal lain (kualitas dan harga), maka tidak
mendesak untuk memiliki persediaan yang besar.
Oleh karena itu, mengapa diperlukan perhitungan terhadap safety
stock untuk menentukan jumlah persediaan pengamanan dalam
menjaga kendali persediaan obat dirumah sakit.
Persediaan pengaman (safety stock) adalah persediaan tambahan
yang diadakan untuk melindungi atau menjaga kemungkinan
terjadinya kekurangan bahan (stockout) (Bowersox, 2002). Berikut
perhitungan dalam menentukan persediaan pengaman obat dirumah
sakit dengan lead time yang diketahui, permintaan bersifat konstan
sehingga service level sebesar 98% (Z = 2,05) (Rangkuti, 2002) :
SS = Z x d x L
Keterangan
SS = Safety stock
Z = Service level
d = Rata-rata Pemakaian
L = Lead time
Tingkat pelayanan (Service level) dapat didefinisikan sebagai
probabilitas permintaan tidak akan melebihi persediaan selama waktu
tenggang. Tingkat pelayanan 98% menunjukkan bahwa besarnya

24
kemungkinan permintaan tidak akan melebihi persediaan selama
waktu tenggang ialah 98%. Dengan kata lain, risiko terjadinya
kekosongan stok (stockout risk) hanya 2% (Herjanto, 2008).

2.4.4. Pengendalian Persediaan Dengan Metode ROP (Reorder Point)


Pemesanan terhadap persediaan obat dirumah sakit dilakukan
berulang-ulang setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhan maka
perlu dipertimbangkan persediaan pengaman (safety stock) dan kapan
waktu pemesanan kembali (ROP) untuk menghindari kekosongan
obat.
ROP adalah batas/titik jumlah pemesanan kembali termasuk
permintaan yang diinginkan atau dibutuhkan selama masa tenggang
(Rangkuti, 2002). Dimana dengan metode ini dapat diketahui kapan
sebaiknya waktu bagi petugas kefarmasian dalam melakukan
pemesanan kembali barang yang hampir habis ke distributor.
Pendekatan ROP menghendaki jumlah persediaan yang tetap
setiap kali melakukan pemesanan. Apabila pemesanan mencapai
jumlah tertentu maka harus dilakukan pemesanan kembali dengan
segera untuk menghindari kekosongan obat. Pendekatan ROP ini
mempunyai resiko terjadi stock out jika jumlah permintaan selama
waktu lead time melebihi jumlah persediaan pengaman (buffer stock).
Pendekatan ini mengharuskan dilakukannya pengecekan kartu stok
secara teratur untuk menentukan apakah pemesanan kembali harus
dilakukan (Priyambodo, 2007).
Berikut adalah rumus untuk menentukan titik pemesanan kembali
menurut Heizer dan Render (2010) dan Rangkuti (2002), yaitu :
ROP = ( d x L ) + SS
Keterangan :
ROP = Reorder Point
d = Permintaan harian
L = Lead Time (waktu tunggu)

25
SS = Persediaan Pengaman (safety stock)
ROP model terjadi apabila jumlah persediaan yang terdapat dalam
stok berkurang terus sehingga kita harus menentukan berapa banyak
batas minimal tingkat persediaan yang harus dipertimbangkan
sehingga tidak terjadi kekosongan obat (stock out) (Rangkuti, 2002).

2.5 Stock Out (Kekosongan Obat)


Menurut Waluyo (2006), sisa obat akhir kurang dari jumlah
pemakaian rata- rata tiap bulan selama satu bulan disebut stockout.
Sedangkan menurut Gazali (2002) dalam Pratiwi (2009)
mendefinisikan stock out adalah keadaan persediaan obat kosong yang
dibutuhkan. Stok kosong adalah jumlah akhir obat sama dengan nol.
Stok obat digudang mengalami kekosongan dalam persediaannya
sehingga bila ada permintaan tidak bisa terpenuhi.
Apabila jumlah permintaan atau kebutuhan lebih besar dari tingkat
persediaan yang ada, maka akan terjadi kekurangan persediaan atau
disebut Stock Out. Pada situasi terjadinya kekurangan persediaan,
seorang pengusaha akan menghadapi dua kemungkinan diantaranya
permintaan akan dibatalkan sama sekali dan barang yang masih
kurang akan dipenuhi kemudian (Rangkuti, 2004). Stock out
disebabkan beberapa faktor antara lain demand yang fluktuasi,
peramalan yang tidak akurat, dan lead time yang bervariasi (lead
time supplier maupun lead time manufacturing) (Nova, 2013).
Menurut Prawirosentono (2000), Stock out berakibat pada
kerugian berupa tidak efisien dan terputusnya hubungan dengan
konsumen. Upaya-upaya untuk menghindari terjadinya kehabisan
bahan, yaitu bisa dilakukan sebagai berikut :
1. Pembelian secara darurat, pembelian mendadak ini harus
dilakukan hanya dalam keadaan dimana persediaan bahan yang
ada dalam keadaan kritis.

26
2. Mengadakan cadangan persediaan (safety stock), salah satu upaya
selain pembelian darurat yaitu mengadakan safety stock.

27
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif dan menggunakan pendekatan sistem. Dalam penelitian ini
peneliti ingin mengetahui faktor penyebab terjadinya stock out (kekosongan
stok) di instalasi farmasi Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Tk III Banjarmasin
yang beralamat di Jalan. A. Yani Km. 3.5, Kebun Bunga, Banjarmasin pada
tanggal 23 Oktober – 4 Novemver tahun 2021.

3.3. Instrument Penelitian


Dalam penelitian kualitatif, instrumen utama penelitian adalah penulis itu
sendiri. Namun, penelitian ini juga menggunakan instrumen bantu berupa
pedoman wawancara dan alat perekam yang akan digunakan untuk mencari
data primer. Peneliti menggunakan pedoman wawancara.

3.4. Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian kualitatif ini
yaitu :
1. Data primer yang diperoleh dari wawancara mendalam untuk
mendapatkan informasi dari responden. Dalam penelitian ini, teknik
wawancara mendalam digunakan untuk mencari informasi terkait stock
out (kekosongan stok) obat. Instrumen yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah pedoman wawancara mendalam, pedoman telaah
dokumen, pedoman cheklist observasi dan dengan alat pendukung yaitu
alat tulis dan perekam.

28
2. Data sekunder diperoleh dari telaah dokumen rumah sakit, seperti SOP,
daftar nama obat, jumlah pemakaian obat, harga obat, daftar distributor
obat.

3.5. Penyajian Data


Penyajian data dari hasil wawancara mendalam, observasi dan telaah
dokumen dilakukan dengan menggunakan bentuk narasi. Data hasil telaah
dokumen dan hasil perhitungan metode EOQ, dan ROP disajikan dalam
bentuk tabel. Penyajian data dalam narasi maupun tabel dapat memudahkan
peneliti dalam menggambarkan faktor penyebab terjadinya stock out
(kekosongan stok) obat di Instalasi Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin.

3.6. Pengolahan Data


Teknik pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian kualitatif ini yaitu:
1. Data primer yang telah dikumpulkan melalui wawancara dicatat
Kemudian hasil wawancara yang telah direduksi ditranskrip ke dalam
matriks berdasarkan pertanyaan penelitian.
2. Data sekunder yang diperoleh dari telaah dokumen rumah sakit, seperti
SOP, daftar nama obat, jumlah pemakaian obat, harga obat, daftar
distributor obat diolah dengan perhitungan matematis menggunakan
metode pengendalian persediaan dengan perhitungan dengan metode
EOQ (pemesanan optimal) dan ROP (titik pemesanan kembali).

29
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Stock Out (Kekosongan Obat)


Kekosongan stok (stock out) atau stok kosong merupakan jumlah akhir
obat sama dengan nol. Stok obat digudang mengalami kekosongan dalam
persediaannya sehingga bila ada permintaan tidak bisa terpenuhi. Apabila
jumlah permintaan atau kebutuhan lebih besar dari tingkat persediaan yang
ada, maka akan terjadi kekurangan persediaan atau disebut Stock Out.
Kekosongan stok menjadi salah satu kendala yang dapat menurunkan
kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian dirumah sakit.
Berdasarkan hasil wawancara dan telaah dokomen kekosongan obat yang
terjadi di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara Tk III Banjarmasin
dari tanggal 23 Oktober – 4 November tahun 2021 terdapat 17 obat.

Table 4.1 Daftar obat yang terjadi kekosongan di Instalasi Farmasi


RS Bhayangkara Tk III Banjarmasin

No Nama Obat Bentuk Sediaan Keterangan


1 Ondansetron Inj Injeksi Generik
2 Ranitidine Inj Injeksi Generik
3 Herbeser Inj Injeksi Paten
4 Loratadine Tab Tablet Generik
5 Omeprazole Inj Injeksi Generik
6 Lansoprazol Inj Injeksi Generik
7 Omeprazole Cap Kapsul Generik
8 Lansoprazole Cap Kapsul Generik
9 Braxidin Tablet Paten
10 Herbeser 200 mg Kapsul Paten
11 Analsik Tablet Paten

30
12 Norages Syr Sirup Paten
13 Flunarizin Tablet Flunarizin
14 Ceftriaxone Inj Injaeksi Generik
15 Vip Albumin Tab Tablet Paten
16 Nutribreast Tablet Paten
17 Bisoprolol 2,5 mg Tablet Generik

Berdasarkan tabel 4. menunjukkan bahwa pada tanggal 23 Oktober – 4


November tahun 2021 terdapat 17 obat mengalami kekosongan, dimana
terdapat 10 obat generic dan 7 obat paten.
Dalam pelayanan JKN, rumah sakit pemerintah diwajibkan menyediakan
dan memberikan obat generik kepada pasien (Kemenkes, 2014). Oleh
karena itu, penggunaan obat generik terus meningkat hingga mengakibatkan
kekosongan stok.
Masalah kekosongan obat di rumah sakit dapat menurunkan kepuasan
pasien dalam pelayanan yang diberikan. Menurut informan factor yang
sangat mempengaruhi terjadinya kekosongan obat yaitu faktor distributor,
karna obat yang stoknya mendekati kosong sudah dilakukan pemesanan
namun kedatangan obat yang terlambat. Kekosongan persediaan obat
dirumah sakit ini dapat mempengaruhi kepuasan pasien terhadap pelayanan
dirumah sakit dan menghambat perawatan kepada pasien.
Kekosongan obat yang terjadi dirumah sakit menurut penelitian Academy
of Managed Care Pharmacy (AMCP) tentang The Reality of Drug
Shortages (2010) dapat mengakibatkan 55,5% kelalaian, 54,8% kesalahan
dosis, 34,8% kesalahan obat, 70,8% perawatan tertunda dan 38%
mengakibatkan keluhan pasien. Hasil penelitian ini menunjukkan persentase
terbesar terhadap kekosongan obat yaitu dapat menghambat dan
mengakibatkan perawatan terhadap pasien tertunda. Dari penelitian tersebut
juga diketahui rumah sakit yang mengalami kekurangan obat melaporkan
bahwa kenaikan biaya yang dikeluarkan rumah sakit dapat terjadi akibat
adanya kekurangan obat.

31
Menurut penelitian Renie dan Widodo (2013) bahwa kekosongan stok
obat juga dapat menimbulkan kerugian bagi rumah sakit. Kerugian yang
ditanggung sebagai akibat stock out obat diperhitungkan dengan hilangnya
biaya kesempatan yang harusnya diperoleh rumah sakit.
Keadaan kehabisan stok harus dihindari karena dapat mengakibatkan
biaya yang tinggi, baik biaya eksternal maupun biaya internal. Biaya
eksternal misalnya pelanggan yang tidak puas sehingga dapat
mengakibatkan penurunan penjualan. Biaya internal misalnya pekerja yang
menganggur, sedangkan gajinya harus tetap dibayar. Kehabisan stok bisa
terjadi karena kenaikan dalam pemakaian barang atau keterlambatan
kedatangan barang atau keduanya sekaligus (Indrajit, 2005).
Pentingnya sebuah rumah sakit memiliki suatu pengendalian obat yang
baik sehingga perbekalan farmasi tidak berlebihan atau kekurangan.
Kelebihan persediaan mengakibatkan banyaknya modal yang tertanam dan
tingginya biaya yang ditimbulkan oleh persediaan. Sebaliknya jika terjadi
kekurangan persediaan akan mengakibatkan arus pelayanan rumah sakit
terganggu antara lain bila stok kurang sehingga membuat pasien menunggu
lebih lama (Agustina, 2011). Persediaan yang tidak mencukupi dapat
menyebabkan biaya kekurangan bahan, tertundanya keuntungan atau
bahkan dapat mengakibatkan hilangnya pelanggan (Rangkuti, 2002).

4.2. Pengendalian persediaan dengan Metode EOQ (Economic Order


Quantity)
Dalam menentukan jumlah pemesanan obat di Instalasi Farmasi RS
Bhayangkara Banjarmasin, petugas tidak pernah menggunakan perhitungan
khusus mengenai jumlah pemesanan. Jumlah pesanan tergantung pada data
pemakaian pada bulan sebelumnya. Obat yang sering digunakan pada bulan
sebelumnya akan dipesan lebih banyak daripada obat yang jarang
digunakan. Hal ini dapat saja meningkatkan biaya pemesanan jika
pemesanan dilakukan dalam jumlah yang sedikit atau meningkatkan biaya
penyimpanan jika jumlah pemesanan terlalu banyak. Oleh sebab itu,

32
diperlukan perhitungan yang tepat untuk mengetahui jumlah pemesanan
optimum yaitu dengan metode EOQ.
Untuk mengetahui jumlah pemesanan yang optimum dalam setiap kali
melakukan pemesanan obat paten di Instalasi Farmasi RS Bhayangkara Tk
III Banjarmasin, dapat diterapkan metode EOQ. Rumus untuk menentukan
jumlah pemesanan optimum menurut Heizer dan Render (2010) adalah
sebagai berikut :

2DS
Q=√
H

Keterangan :
Q = Jumlah Pesanan
D = Jumlah kebutuhan barang
S = Biaya pesanan untuk setiap kali pesan
H = Biaya penyimpanan per unit per tahun

Perhitungan EOQ merupakan perhitungan untuk menentukan jumlah


pemesanan dimana biaya pemesanan dan biaya penyimpanan barang
dipertimbangkan. Dalam perhitungan EOQ, diperlukan jumlah permintaan
pada suatu periode, biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. biaya
pemesanan dilakukan dengan menghitung komponen dalam biaya
pemesanan dari Rangkuti (2007) antara lain biaya telepon/internet dan
biaya ATK. Berikut hasil perhitungan komponen biaya pemesanan :

1. Biaya Telpon/ Internet


Biaya telepon diperoleh dari hasil perkalian waktu yang
diperlukan untuk menghubungi distributor. IFRS Bhayangkara
Banjarmasin bisanya melakukan pemesanan melalui telpon/pesan
Whatsapp dan menggunakan wifi.
Tarif wifi per bulannya yaitu Rp. 350.000. sehingga biaya wifi
untuk 1 hari adalah Rp. 11.700

33
2. Biaya ATK
ATK yang digunakan oleh bagian gudang medis adalah 1
lembar untuk Surat Pemesanan (SP), dan 1 tinta printer untuk 2
bulan pemakaian. Jumlah surat pesanan yang dibuat per bulan rata-
rata yaitu 50 lembar surat pesanan untuk ±500 jenis obat.
Table 4.2 Biaya ATK perbulan pemesanan obat di IFRS
Bhayangkara Tk III Banjarmasin
No Barang ATK Banyak Harga @ Jumlah
1 Kertas HVS 1/4 Rim Rp. 35.000 Rp. 8.750
(Untuk SP)
2 Tintah Printer 1/2 Pcs Rp. 100.000 Rp. 50.000
Total Rp. 58.750

Berdasarkan perhitungan tersebut, biaya ATK yang dibutuhkan


dalam sebulan diasumsikan adalah Rp. 58.750.
Berdasarkan data yang diperoleh pemesanan dilakukan
sebanyak 25 kali dalam sebulan, maka biaya ATK pemesanan yaitu
Rp. 2.350.
Table 4.3 Biaya pemesanan dalam sekali pemesanan obat di
IFRS Bhayangkara Tk III Banjarmasin
No Barang Biaya Pemesanan
1 Biaya Telepon/Internet Rp. 11.700
2 Biaya ATK Rp. 2.350
Total Rp. 14.050

Jadi, biaya dalam sekali pemesanan adalah sebesar Rp. 14.050.


Setelah diketahui jumlah pemakaian obat, biaya pemesanan dan
biaya penyimpanan, kemudian dilakukan perhitungan mengenai
jumlah pemesanan optimal dalam setiap kali pemesanan. Berikut
ini adalah perhitungan EOQ untuk obat Herbeser Kap 200 mg :

34
Jumlah pemakaian pada bulan Oktober 2021 (d) = 13.500
tablet
Baya pemesanan = Rp. 14.050
Biaya penyimpanan = Rp. 5.000
Maka Economic Order Quantity (EOQ) adalah :

2DS
Q=√
H

2(13.500)(14.050)
Q=√
5000

Q = √75.870 = 275,45 Tablet atau 276 Tablet


Jadi, jumlah pemesanan yang optimal dalam setiap kali
memesan obat Herbeser Kap 200 mg adalah 276 tablet.
Berdasarkan perhitungan diatas, dapat diketahui bahwa jumlah
pemesanan optimum obat Herbeser Kap 200 mg adalah 276 tablet
dengan biaya pemesanan sejumlah Rp. 14.050 dan biaya
penyimpanan sejumlah Rp. 5.000.
Berdasarkan perhitungan EOQ terhadap obat Herbeser Kap 200
mg, diketahui bahwa jumlah pemesanan yang ekonomis untuk obat
ini adalah sebanyak 276 tablet setiap kali pemesanan. Jumlah ini
menggunakan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan yang
paling sedikit sehingga merupakan jumlah pemesanan yang paling
ekonomis.
Semakin banyak barang yang disimpan akan mengakibatkan
semakin besar biaya penyimpanan barang dan risiko kerusakan
barang yang lebih besar. Sebaliknya, semakin sedikit barang yang
disimpan dapat menurunkan biaya penyimpanan, tetapi
menyebabkan frekuensi pembelian barang semakin besar, yang
berarti biaya total pemesanan semakin besar dan juga dapat

35
mengakibatkan risiko terjadinya kekurangan persediaan (stock out)
(Herjanto, 2008).
Hal ini sejalan dengan Heizer dan Render (2010) yang
menyatakan bahwa seiring dengan meningkatnya kuantitas barang
yang dipesan, maka jumlah pemesanan pertahunnya akan menurun
namun biaya penyimpanan akan meningkat karena jumlah
persediaan yang harus diurus lebih banyak. Untuk itu, jumlah
pemesanan harus dapat meminimalkan biaya pemesanan dan biaya
penyimpanan.

36
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Kekosongan obat (stock out) yang terjadi di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Bhayangkara Tk III Banjarmasin pada tanggal 23 Oktober – 4
November tahun 2021 mencapai 17 obat.
2. Factor yang menyebabkan kekosongan stok yaitu keterlambatan
pengiriman obat dari distributor ke IFRS Bhayangkara Tk. III
Banjarmasin.
3. Upaya pengendalian persediaan obat berdasarkan metode Economic
Order Quantity (EOQ), yang mana didapat Pemesanan Obat Herbeser
Kap 200 mg yaitu 276 tablet.

5.2.Saran
1. Petugas farmasi diharapkan melihat data real konsumsi obat untuk
mengetahui obat yang dibutuhkan pasien. Sehingga dapat mengurangi
kesalahan dalam penentuan kebutuhan obat dan meminimalisir
tertinggalnya obat untuk dipesan.
2. Dalam menentukan jumlah kebutuhan obat dan persediaan pengaman
(buffer stock) diharapkan petugas memperhitungkan lead time obat agar
persediaan pengaman tidak berlebih ataupun kurang.
3. Perlu diterapkan metode EOQ untuk menghindari terjadinya
kekosongan obat.

37
DAFTAR PUSTAKA

Aditama ,Tjandra Yoga. 2007. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. UI :


Depok

Ainy, Qurrotu. 2013. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketersediaan


Barang di Gudang Sentral RSAB Harapan Kita Jakarta tahun 2012. FKM
UI. Diakses pada 20 Januari 2015. Sumber :
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20320638-S- Qurrotu%20Ainy.pdf

Anief, Moch. 2008. Manajemen Farmasi. UGM : Yogyakarta

Assauri, Sofyan. 2008. Manajemen Produksi. FKM UI : Depok

Azwar, DR. Dr. Azrul. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa


Aksara : Jakarta

Azwar, Daris 2010. Pengawasan. Diakses pada 17 Maret 2015.


Sumber : http://www.ikatanapotekerindonesia.net/articles/pharma-
update/national-
pharmacy/298-p-e-n-g-a-w-a-s-a-n.html

A.Sihotang. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Paramita : Jakarta.

Badawi, Musfika Rahman. 2014. Kinerja Posyandu dalam Pelaksanaan


Pembinaan Gizi Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan
Kembangan Jakarta Barat tahun 2014. UIN : Jakarta

BPOM. 2015. Agomelatine dan Risiko Hepatotoksisitas. Sumber :


http://pionas.pom.go.id/info-bpom/agomelatine-dan-risiko-hepatotoksisitas

Budiyanti, Herni. 2012. Penetapan Safety Stock di Gudang Farmasi RS Risa


Sentra Medika Tahun 2012. FKM UI. Diakses pada 20 Januari 2015. Sumber
:http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20314392-T31291-
Penetapan%20safety.pdf

Bunawan. 1996. Manajemen Operasi. UGM : Yogyakarta

CSR. 2015. Jatah Obat Penderita Skizofrenia Dikurangi.


Sumber : http://kukarsatu.com/2015/03/12/per-januari-2015-jatah-
obat-penderita-skizofrenia- dikurangi/

Depkes. 2011. Pedoman Pembinaan Pedagang Besar Farmasi

Dwi Ariyanti, Benedicta. 2012. Analisis Pengendalian Persediaan Obat


dengan Analisis ABC, EOQ, dan ROP pada Instalasi Farmasi RS X Periode
Jan – Des 2011. FKM UI : Depok

Dirjen Binakefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI. 2008. Pedoman


Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit.

Ditjen Binfar dan Alkes. 2013. Formularium Kendalikan mutu dan biaya
Pengobatan. Sumber : http://binfar.kemkes.go.id/2013/06/formularium-
nasional-kendalikan-mutu- dan-biaya-pengobatan/

Febriawati, Henny. 2013. Manajemen Logistik Farmasi Rumah Sakit. Gosyen


Publishing : Yogyakarta

Fadhila, Rahmi. 2013. Study Pengendalian Persediaan Obat Generik Melalui


Metode ABC, EOQ, dan ROP di Gudang Farmasi RSI Asshobirin tahun
2013. UIN : Jakarta

Griffin. Manajemen. 2004. Erlangga : Jakarta

Handoko, T.Hani. 2003. Manajemen Personalia dan Sumber


Daya Manusia, Yogyakarta:UGM

Heizer, Jay dan Render, Barry. 2010. Manajemen Operasi. Second edition.
Salemba Empat : JakartA

Herjanto, Eddy. 2008. Manajemen Operasi. Edisi Ketiga. Grasindo : Jakarta.


Hendra, Kusuma. 1999. Manajemen Produksi : Perencanaan dan Pengendalian
produksi.Andi : Yogyakarta.

Henni. 2009. Penganggaran Rumah Sakit. Sumber :


http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/09/sistem_penganggara
n_rs.pdf

Indriyo Gitosudarmo. Manajemen Bisnis Logistik Ed. Pertama (1998)

Indrajit. Ricardo Eko. 2001. Sistem Informasi dan Teknologi Informasi.


Jakarta : Gramedia

Ir. M. Budiharjo. 2014. Panduan Menyusun SOP. Swadaya Grup : Jakarta

Jensen, V & Rappaport, BA. 2010. The Reality of Drug shortages. New
England Journal of Medicine. Sumber :
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp1005849

Jayani, Siti Nur dan Pudjirahardjo, Widodo J. 2013. Faktor Penyebab


Stagnant dan Stock out Bahan Makanan Kering di Instalasi Gizi RSUD
Bhakti Dharma Husada Surabaya. FKM UNAIR : Surabaya

Maimun, Ali. 2008. Perencanaan Obat Antibiotik Berdasarkan Kombinasi


Metode Konsumsi dengan Analisis ABC dan Reorder Point Terhadap Nilai
Persediaan dan Turn Over Ratio di Instalasi Farmasi RS Darul Istiqomah
Kendal. Undip : Semarang. Sumber :
http://core.ac.uk/download/pdf/11716263.pdf

Makinuddin dan Sasongko. 2006. Analisis Sosial. Akatiga : Bandung. Sumber


:
https://books.google.co.id/books?id=xRrOr9BPwOEC&pg=PA18&dq=keb
ijakan+adalah+menurut+frederich&hl=id&sa=X&ei=gqFeVcbqMtOQuAT
Ov4PYBw&ved=0CBsQ6AEwAA#v=onepage&q=kebijakan%20adalah%
20menurut%20frederich&f=false
Milena, dkk. 2013. Effects on Patient Care Caused by Drug Shortages: A
Survey. Sumber : http://www.amcp.org/JMCP/2013/Nov-
Dec/17317/1033.html

Nadia, Frita. 2012. Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di


Gudang Medik RS Puri Cinere tahun 2011. FKM UI : Depok

Nova, Iwan, MBA, CPIM, CSCP. 2013. Memahami Safety Stock dan
Menguasai Rumusnya. Sumber
:http://supplychainindonesia.com/new/memahami-safety-stock- dan-
menguasai-rumusnya/

Palupiningtyas, Retno. 2014. Analisis Sistem Penyimpanan Obat di Gudang


Farmasi RS Mulya Tangerang Tahun 2014. UIN : Jakarta

Pratiwi, Amiati. 2009. Stock out Obat di Gudang Perbekalan Kesehatan


Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih. FKM UI : Depok.

Prihatiningsih, Dina. 2012. Gambaran Sistem Penyimpanan Obat di Gudang


Farmasi RS Asri tahun 2011. FKM UI : Depok

Prof. Dr. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Alfabeta : Bandung

PMK No.340 tentang Klasifikasi Rumah Sakit


PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit
PMK No. 34 tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi
PP RI No.4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah PP No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

Priyambodo, Bambang.2007. Manajemen Farmasi Industri. Global Pustaka


Utama : Yogyakarta

Pudjitami, Sri Wahyuni dan Suryawati, Sri. 1998. Dampak Penerapan Metode
Economic Order Quantity (EOQ) Terhadap Nilai Persediaan Obat di
Instalasi Farmasi RSUD Dr. Moewardi Surakarta. FK UGM : Yogyakarta
Suciati, Suci dan Adisasmito, Wiku B.B. 2006. Analisis Perencanaan Obat
Berdasarkan ABC Indeks Kritis di Instalasi Farmasi. Jurnal Managemen
Pelayanan Kesehatan. IX. Sumber: https://staff.blog.ui.ac.id%2Fwiku-
a%2Ffiles%2F2009%2F10%2Fanalisis-perencanaan-obat-berdasarkan.pdf

Rangkuti, Freddy. 2002. Manajemen Persediaan : Aplikasi di Bidang Bisnis.


Rajagrafindo: Jakarta

Schroeder. Operations management : contemporary concepts and cases. Second


edition.2003. Mcgraw Hill companies.

Seto, S., Nita. Yunita., Triana, Lily. 2004. Manajemen Farmasi. Surabaya:
Airlangga University Press.

Sulastri. 2012. Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik dengan Metode


Analisis Pemakaian, Buffer stock dan Reorder Point di Unit Gudang
Farmasi RS Haji Jakarta tahun 2011. FKM UI : Depok

Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar & Hitungan Farmasi. EGC : Jakarta

Sofia, Ananda Ayu. 2003. Analisis Pengendalian Persediaan Obat di Instalasi


Farmasi RS Islam Asshobirin Tangerang tahun 2002. Tesis. FKM UI :
Depok

Utari, Anindita. 2014. Cara Pengendalian Persediaan Obat Paten dengan


Metode EOQ, ROP, dan Buffer Stock di RS Zahirah. UIN : Jakarta

UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit

WHO.2001. Operational Principles For Good Pharmaceutical Procurement.


Essential Drugs and Medicines Policy Interagency Pharmaceutical
Coordination Group. Geneva. Sumber : www.who.int/3by5/en/who-edm-
par-99-5.pdf

Yudihardis. 2014. Masih Perlukah Formularium RS.


Sumber : http://www.kompasiana.com/yudihardis/masih-perlukah-
formularium- rs_552b0b5f6ea8342c1b552cf7

Anda mungkin juga menyukai