Anda di halaman 1dari 16

II.1.1.

Pengertian Pengembangan SDM

Pengembangan SDM secara makro adalah suatu proses peningkatan kualitas atau
kemampuan manusia dalam rangka mencapai suatu tujuan pembangunan bangsa. Sedangkan
pengembangan SDM secara mikro adalah suatu proses perencanaan pendidikan, pelatihandan
pengelolaan tenaga atau karyawan untuk mencapai suatu hasil optimal. Dapat disimpulkan
bahwa proses pengembangan SDM adalah suatu “conditio sine qua non”, yang harus ada dan
terjadi di suatu organisasi (Notoatmodjo, 2009).
Sedangkan Atmodiwirio (2005) menyatakan bahwa pengembangan SDM adalah
aktivitas belajar yang terorganisasi yang diatur dalam suatu organisasi agar meningkatkan
kinerja/pertumbuhan untuk maksud perubahan kerja individu/organisasi.

II.1.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan SDM


Dalam pelaksanaan pengembangan SDM perlu mempertimbangkan berbagai faktor,
baik dati dalam diri organisasi itu sendiri maupun dari luar organisasi yang bersangkutan
(Notoatmodjo, 2009).
1. Faktor Internal
Faktor internal di sini mencakup keseluruhan kehidupan organisasi yang dapat
dikendalikan baik oleh pimpinan maupun oleh anggota organisasi yang
bersangkutan. Faktor eksternal antara lain:
a. Visi
Visi adalah impian atau cita-cita, atau harapan yang ingin dicapai oleh organisasi
tersebut dalam kurun waktu tertentu. Visi merupakan petunjuk kemana organisasi
tersebut akan diarahkan.
b. Misi.
Misi adalah upaya-upaya untuk mewujudkan visi atau impian organisasi tersebut.
Upaya-upaya organisasi dalam mencapai cita-cita organisasinya sangat tergantung
dari SDM dari organisasi yang bersangkutan.
c. Tujuan.
Tujuan adalah apa yang ingin dicapai setiap upaya atau program organisasi. Untuk
mencapai tujuan ini diperlukan perencanaan yang baik, serta implementasi
perencanaan tersebut secara tepat.
d. Strategi pencapaian tujuan.
Misi dan tujuan suatu organisasi mungkin mempunyai persamaan dengan
organisasi lain, tetapi strategi untuk mencapai misi dan tujuan tersebut berbeda.
Oleh sebab itu setiap organisasi mempunyai strategi yang tertentu. Untuk itu
diperlukan kemampuan karyawannya dalam memperkirakan dan mengantisipasi
keadaan diluar yang dapat mempunyai dampak terhadap organisasinya.
e. Sifat dan jenis kegiatan.
Sifat dan jenis kegiatan organisasi sangat penting pengaruhnya terhadap
pengembangan SDM dalam organisasi yang bersangkutan.
f. Jenis teknologi yang digunakan
Hal ini perlu diperhitungkan dalam program pengembangan SDM dalam organisasi
tersebut. Pengembangan SDM disini sangat diperlukan, baik untuk mempersiapkan
tenaga guna menangani atau mengoperasikan teknologi itu, atau mungkin
terjadinya otomatisasi kegiatan-kegiatan yang semula dilakukan oleh manusia.
2. Faktor Eksternal.
Suatu organisasi berada di lingkungan tertentu, dan tidak terlepas dari pengaruh
lingkungan dimana organisasi itu berada. Agar organisasi itu dapat melaksanakan
visi, misi, dan tujuannya, maka ia harus memperhitungkan faktor-faktor
lingkungan atau faktor-faktor eksternal organisasi tersebut. Faktor-faktor eksternal
tersebut antara lain :
a. Kebijaksanaan pemerintah
Kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah, baik yang dikeluarkan melalui
perundang-undangan, peraturan pemerintah, surat keputusan menteri, dan
sebagainya dapat mempengaruhi program-program pengembangan SDM dalam
organisasi yang bersangkutan.
b. Sosio Budaya Masyarakat
Faktor sosio budaya masyarakat tidak dapat diabaikan suatu organisasi. Hal ini
karena suatu organisasi apapun didirikan untuk kepentingan masyarakat yang
mempunyai belakang sosio budaya yang berbeda-beda. Sehingga dalam
menyelenggarakan program - program pengembangan SDM harus
mempertimbangkan sosio budaya.
c. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di luar organisasi dewasa ini telah
sedemikian pesatnya. Untuk itu maka organisasi harus mampu untuk memilih
teknologi yang tepat untuk organisasinya dan kemampuan karyawan organisasi
harus diadaptasikan dengan kondisi tersebut.

II.1.3 Pelatihan sebagai Upaya Pengembangan SDM.


Pelatihan dalam suatu organisasi sebagai upaya untuk pengembangan SDM adalah
suatu siklus yang harus terjadi terus menerus. Hal ini terjadi karena organisasi itu harus
berkembang untuk mengantisipasi perubahan-perubahan di luar organisasi tersebut. Untuk itu
maka kemampuan SDM itu harus terus menerus ditingkatkan seirama dengan kemajuan dan
perkembangan organisasi (Notoatmodjo, 2009).

II.2. Pelatihan.
II.2.1 Pengertian Pelatihan.
Pelatihan adalah suatu proses yang meliputi serangkaian tindak (upaya) yang
dilaksanakan dengan sengaja dalam bentuk pemberian bantuan kepada tenaga kerja yang
dilakukan oleh tenaga profesional kepelatihan dalam satuan waktu yang brtujuan untuk
meningkatkan kemampuan kerja peserta dalam bidang pekerjaan tertentu guna meningkatkan
efektivitas dan produktivitas dalam suatu organisasi (Hamalik, 2007),.
Sedangkan Kaswan (2011) mengemukakan bahwa pelatihan adalah proses meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan karyawan. Pelatihan mungkin juga meliputi pengubahan sikap
sehingga karyawan dapat melakukan pekerjaannya lebih efektif. Pelatihan dapat dilakukan
pada semua tingkat dalam organisasi.

II.2.2. Tujuan Pelatihan.


Secara khusus dalam kaitannya dengan pekerjaan, Simamora dalam Kamil (2010)
mengelompokkan tujuan pelatihan ke dalam lima bidang, yaitu:
a. Memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan perubahan teknologi.
b. Mengurangi waktu belajar bagi karyawan untuk menjadi kompeten dalam pekerjaan.
c. Membantu memecahkan permasalahan operasional.
d. Mempersiapkan karyawan untuk promosi.
e. Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi.

II.2.3. Prinsip Pelatihan.


Pelatihan merupakan proses pembelajaran maka prinsip-prinsip pelatihanpun
dikembangkan dari prinsip-prinsip pembelajaran (Kamil, 2010). Beberapa prinsip umum agar
pelatihan berhasil adalah sebagai berikut:
a. Prinsip perbedaan individu.
Perbedaan-perbedaan individu dalam latar belakang sosial, pendidikan,
pengalaman, minat, bakat, dan kepribadian harus diperhatikan dalam
menyelenggarakan pelatihan.
b. Prinsip motivasi.
Agar peserta pelatihan belajar dengan giat perlu ada motivasi. Motivasi dapat
berupa pekerjaan atau kesempatan berusaha, penghasilan, kenaikan pangkat atau
jabatan, dan peningkatan kesejahteraan serta kualitas hidup. Dengan begitu,
pelatihan berasa bermakna oleh peserta pelatihan.
c. Prinsip pemilihan dan pelatihan para pelatih.
Efektivitas program pelatihan antara lain bergantung pada para pelatih yang
mempunyai minat dan kemampuan melatih. Pemilihan dan pelatihan para pelatih
dapat menjadi motivasi tambahan bagi para peserta pelatihan.
d. Prinsip belajar
Belajar harus dimulai dari yang mudah menuju kepada yang sulit, atau dari yang
sudah diketahui menuju kepada yang belum diketahui.
e. Prinsip Kerjasama
Pelatihan dapat berhasil dengan baik melalui kerjasama yang apik antar semua
komponen yang terlibat dalam pelatihan.
f. Prinsip metode pelatihan.
Terdapat berbagai metode pelatihan, dari tidak ada satupun metode pelatihan yang
dapat digunakan untuk semua jenis pelatihan. Untuk itu perlu dicarikan metode
pelatihan yang cocok untuk suatu pelatihan.
g. Prinsip hubungan pelatihan.
Prinsip hubungan pelatihan dengan pekerjaan atau dengan kehidupan nyata
Pekerjaan, jabatan, atau kehidupan nyata dalam organisasi atau dalam masyarakat
dapat memperoleh informasi mengenai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
dibutuhkan, sehingga perlu diselenggarakan pelatihan.

II.2.4 Metode Pelatihan.


Metode pelatihan merupakan pendekatan terhadap cara penyelenggaraan dan
pelaksanaan pelatihan (Sastrohadiwiryo, 2005),. Metode pelatihan yang biasa dianut
manajemen meliputi:
a. Pelatihan di tempat kerja.
b. Kuliah dan Konferensi.
c. Studi kasus.
d. Permainan peran.
e. Seminar dan lokakarya.
f. Simposium.
g. Kursus korespodensi.
h. Diskusi kelompok
i. Permainan manajemen
j. Kombinasi.

II.2.5. Jenis-jenis Pelatihan.


Dengan melihat dari sudut siapa yang dilatih dalam konteks suatu organisasi pelatihan
dapat dibedakan (J.C Denyer dalam Kamil, 2010). Pelatihan dibedakan atas beberapa macam,
yaitu:
a. Pelatihan induksi, yaitu pelatihan perkenalan yang biasanya diberikan kepada
pegawai baru dengan tidak memandang tingkatannya.
b. Pelatihan kerja, yaitu pelatihan yang diberikan kepada semua pegawai dengan
maksud untuk memberikan petunjuk khusus guna melaksanakan tugas-tugas tertentu.
c. Pelatihan supervisor, yaitu pelatihan yang diberikan kepada supervisor atau pimpinan
tingkat bawah.
d. Pelatihan manajemen, yaitu pelatihan yang diberikan kepada manajemen atau untuk
pemegang jabatan manajemen.
e. Pengembangan eksekutif, yaitu pelatihan untuk mengembangkan dan meningkatkan
kemampuan pejabat-pejabat pimpinan.

II.2.6. Kemungkinan Hambatan Pelatihan.


Hambatan pelatihan dapat berasal dari lingkungan internal dan lingkungan eksternal
program pelatihan. Lingkungan internal adalah kekurangcocokan sistem pelatihan, program
pelatihan, sumber daya manusia dan manajemen pelatihan (Sudjana, 2007).
a. Sistem Pelatihan.
Sistem pelatihan yang tidak lengkap yaitu tidak memuat komponen, proses dan tujuan
secara menyeluruh, cemderung akan menghambat tercapainya dampak pelatihan
sebagaimana diharapkan.
b. Program pelatihan.
Program pelatihan akan menjadi hambatan apabila disusun tanpa menjabarkan sistem
pelatihan, tidak mempertimbangkan ketersediaan waktu calon peserta latihan, tidak
memperhatikan cara dan gaya belajar masyarakat dari mana peserta pelatihan berasal,
dan ketersediaan sarana, prasarana, dan dana yang diperlukan dalam pelatihan.
c. Manajemen pelatihan.
Manajemen pelatihan mungkin menjadi hambatan apabila pelatihan tidak disusun
berdasarkan fungsi –fungsi manajemen secara runtut antara lain yaitu perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, pembinaan, penilaian, dan pengembangan atau fungsi
manajemen yang dipersingkat yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian.

II.3. Manajemen Pelatihan.


II.3.1. Model Siklus Pelatihan.
Penyelenggaraan pelatihan dapat dihgambarkan dalam bentuk sebuah siklus
(Pusdiklat Depdagri dalam Siregar, 2010). Bentuk siklus penyelenggaran pelatihan sebagai
berikut :

Perencanaan Pelatihan

Evaluasi Pelatihan Pelaksanaan Pelatihan

Sumber Siregar (2010)


Gambar 2.1 Siklus Pelatihan Menurut Depdagri

II.3.2. Manfaat Siklus Pelatihan.


Siklus pelatihan sangat bermanfaat bagi manajemen maupun bagi peserta (Krisno,
2011). Manfaat siklus pelatihan antara lain :
a. Bagi Manajemen
1. Agar manajemen lebih serius dalam menetapkan tolok ukur keberhasilan
pelatihan serta dalam memperhatikan tahap-tahap pelatihan secara keseluruhan
sebagai faktor-faktor penting guna lebih mnjamin efektifitas pelatihan, khususnya
pada tahap persiapan pelatihan, pelaksanaan materi maupun tahap evaluasi
pelatihan.
2. Agar manajemen juga lebih banyak mengalokasikan waktu, perhatian, maupun
biaya pada tahap-tahap tersebut.
3. Penyelenggaraan pelatihan tidak hanya lebih efektif (sesuai dengan sasaran
manajemen) namun juga akan lebih efisien.
4. Manajemen juga akan lebih fokus terhadap setiap penyelenggaraan pelatihan,
khususnya didalam mencermati setiap tahapan pelatihan serta efektifitas dan
efisiensi setiap tahapan pelatihan.
b. Bagi Peserta
1. Peserta akan lebih paham akan manfaat pelatihan serta tujuan manajemen
menyelenggarakan pelatihan.
2. Peserta akan semakin serius setiap mengikuti pelatihan karena dari awal
penyelenggaraan sampai dengan hasil pelatihan akan selalu diklarifikasi dan
konfirmasi oleh stakeholder pelatihan.
3. Manfaat pelatihan akan semakin dirasakan tidak hanya saat pelatihan namun
juga setelah kembali ke tempat kerja.

II.4. Identifikasi Kebutuhan Pelatihan.


II.4.1. Tingkat Identifikasi Kebutuhan Pelatihan.
Tujuan keseluruhan identifikasi kebutuhan pelatihan adalah untuk menentukan apakan
pelatihan dibutuhkan, dan jika dibutuhkan, memberi informasi yang dibutuhkan untuk
merancang program pelatihan. Identifikasi kebutuhan pelatihan terdiri dari tiga tingkat yaitu
analisis organisasi, analisis individu, dan analisis tugas/ pekerjaan (Kaswan, 2011).
a. Analisis Organisasi.
Analisis organisasi memeriksa faktor-faktor utama seperti budaya, misi organisasi,
sasaran jangka pendek, dan jangka panjang, dan struktur organisasi. Tujuannya
adalah untuk mengidentifikasi baik kebutuhan organisasi secara menyeluruh dan
tingkat dukungan untuk pelatihan.
b. Analisis Individu.
Analisis individu menentukan karyawan yang mana yang membutuhkan pelatihan
dengan memeriksa sejauh mana kearyawan itu melaksanakan tugas - tugas yang
membentuk kerjanya. Pelatihan sering dibutuhkan ketika ada kesenjangan antara
kinerja karyawan dengan ekspektasi atau standar organisasi. Sering analisis
individu melibatkan penilaian peringkat kinerja karyawan dan selanjutnya
mengidentifikasi karyawan yang kurang dalam keterampilan tertentu.
c. Analisis Tugas/Pekerjaan.
Analisis pekerjaan adalah pemeriksaan terhadap tugas/pekerjaan yang dijalankan,
berfokus pada kewajiban dan tugas di seluruh organisasi itu untuk menentukan
pekerjaan yang mana yang membutuhkan pelatihan. Kewajiban dan tugas ini
digunakan untuk mengidentifikasi pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan
karakteristik lain yang dituntut untuk melaksanakan pekerjaan dengan memadai.

II.4.2. Proses Identifikasi Kebutuhan Pelatihan.


Identifikasi kebutuhan pelatihan terdiri dari langkah-langkah (Atmodiwirio, 2005).
Langkah-langkah dalam identifikasi kebutuhan pelatihan adalah sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi dan menggambarkan kesenjangan pelaksanaan kerja.
b. Menentukan sebab-sebab kesenjangan.
c. Mengidentifikasi kesenjangan pelaksanaan kerja tersebut yang didasarkan kepada
kurangnya pengetahuan, dan keterampilan.
d. Menentukan apakah pelatihan adalah solusi yang mungkin.
e. Rekomendasi solusi.
f. Menggambarkan tentang peran atau pelaksanaan tugas.

II.5. Perencanaan dan Perancangan Pelatihan.


II.5.1 Perumusan Tujuan Pelatihan.
Tujuan pelatihan merupakan dasar bagi penentuan langkah-langkah kegiatan dalam
mengembangkan komponen dan proses pelatihan. Tujuan merupakan inti dalam sistem
pelatihan. Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan baik akan memberikan arah untuk
menetapkan cara-cara praktis dan objektif dalam menentukan fakta, prinsip, konsep, dan
kemampuan khusus sebagai bahan pembelajaran dalam pelatihan, termasuk penentuan jenis
dan jumlah bahan pembelajaran yang tepat sesuai dengan kebutuhan peserta pelatihan
(Sudjana, 2007).
Tujuan itupun dapat dijadikan dasar dalam menguraikan persyaratan pekerjaan,
memilih metode, media dan sistem organisasi, mengidentifikasi kebutuhan belajar peserta
pelatihan pada saat pelatihan berakhir, menumbuhkan motivasi peserta pelatihan untuk terus
belajar yang lebih efekti dan efisien, menyusun standar lat evaluasi hasil belajar yang valid
dan dapat dipercaya (Atmodiwirio, 2005).
II.5.2 Penyusunan Anggaran Pelatihan.
Dalam peyusunan anggaran pelatihan diperlukan manajemen anggaran yang baik.
Proses penganggaran menggunakan estimasi perkiraan ini menyangkut berapa banyak
sumber daya keuangan yang diperlukan untuk menutup biaya yang dikeluarkan selama
periode anggaran. Jadi, keterampilan yang dibutuhkan adalah kemampuan membuat prediksi
yang handal mengenai berapa besar uang yang akan dikeluarkan (Krisno, 2011).

II.5.3. Penyusunan Pedoman Pelatihan.


Pedoman pelatihan merupakan suatu pegangan bagi penyelenggara pelatihan yang berisi
tentang garis besar dalam pelaksanaan pelatihan. Pedoman pelatihan berfungsi agar
penyelenggara pelatihan dapat menyelenggarakan pelatihan sesuai dengan langkah-langkah
yang telah ditetapkan di awal.. Pedoman pelatihan akan mempermudah penyelenggara dalam
menyelenggarakan pelatihan sesuai dengan prosedut yang telah ditetapkan. Pedoman
pelatihan bersifat baku untuk pelatihan tertentu (Krisno, 2011).

II.6. Pengembangan Materi.


II.6.1. Pemilihan Instruktur.
Instruktur pelatihan memiliki peran umum dalam penyelenggaraan pelatihan
(Sudjana, 2007). Peran umum seorang instruktur pelatihan antara lain:
a. Instruktur harus bertaggung jawab dalam merencanakan dan memastikan
kebutuhan peserta.
b. Instruktur harus paham tentang pengembangan keterampilan, pengetahuan dan
tingkatan yang diharapkan.
c. Berdasarkan pemahaman tersebut instruktur wajib menyusun serangkaian sasaran
yang akan membantu dalam merancang pelatihan.
Penyelenggara pelatihan biasanya mempunyai kriteria-kriteria tertentu dalam
melakukan pemilihan instruktur (Krisno, 2011). Kriteria yang harus dipenuhi dalam
pemilihan instruktur yang sesuai adalah sebagai berikut :
a. Paham tentang materi yang akan dibahas (baik dari konsep maupun praktik).
b. Paham tentang proses pembelajaran yang efektif.
c. Dedikasi dan loyalitas tinggi terhadap efektifitas pembelajaran.
d. Paham dan terampil dalam perannya sebagai instruktur.
e. Sesuaikan kebutuhan pelatihan dengan kompetensinya (dengan mengecek CV-
nya).
Menurut Krisno (2011), keahlian instruktur dalam pembelajaran antara lain :
a. Konsultan g. Pencipta
b. Pengajar h. Penemu
c. Pelatih i. Penggerak
d. Pendengar j. Penjual
e. Pemimpin k. Teknisi
f. Penilai l. Administrator

II.6.2. Penyusunan Modul Pelatihan.


Modul pelatihan sebaiknya sudah dimiliki sebelum dimulainya pelathan sehingga jauh
sebelumnya sudah dapat membaca dan mempelajari materi yang akan diberikan. Penyediaan
modul pelatihan disesuaikan dengan jumlah jumlah topik pelatihan yang direncanakan
(Atmodiwirio, 2005).
Modul pelatihan digunakan oleh peserta pelatihan sendiri tanpa bantuan keberadaan
instruktur (Atmodiwirio, 2005). Modul pelatihan mempunyai empat ciri, yaitu:
a. Mempunyai kalimat yang mampu menjelaskan sendiri, uraiannya jelas tidak
a. perlu adanya penjelasan tambahan
b. Dapat dipelajari oleh peserta sesuai kecepatan belajar masing-masing peserta;
c. di dalam modul tersebut ada petunjuk kapan peserta boleh melanjutkan ke
d. bagian berikutnya dan kapan harus engulang bahan pelajaran yang sama
b. Dapat dipelajari oleh peserta menurut waktu dan tempat yang dipilihnya
c. Mampu membuat peserta aktif melakukan sesuatu pada saat belajar.
Menurut Atmodiwirio (2005), langkah-langkah pengadaan modul pelatihan antara
lain:
a. Memilih dan mengumpulkan bahan pelajaran yang tersedia di lapangan dan
relevan dengan isi pelajaran yang tercantum dalam strategi pembelajaran.
b. Mengadaptasi bahan pelajaran ke dalam bentuk bahan belajar dengan mengikuti
strategi pembelajaran yang telah disusun sebelumnya.
c. Meneliti kembali konsistensi isi bahan belajar dengan strategi pembelajaran.
d. Meneliti kualitas teknis bahan tersebut yang meliputi :
- Bahasa yang sederhana dan relevan
- Bahasa yang komunikatif
- Desain fisik (berbentuk media cetak, menarik, diketik dengan jelas, dll)

II.6.3. Ketersediaan Alat Bantu dan Ruangan Pelatihan.


Tujuan dasar alat bantu pelatihan adalah membantu instruktur agar presentasi verbal
mereka dapat dipahami dan diterima sehingga menghasilkan proses belajar yang maksimal
(Krisno, 2011). Alat bantu pelatihan yang biasanya digunakan adalah sebagai berikut:
a. Over Head Projector (OHP).
b. Pembuatan transparansi.
c. Flipchart.
d. Handouts
e. Visual Aids
Sesuai dengan jenis atau metode yang dipergunakan oleh setiap pengaturan ruang
dapat diatur sesuai kebutuhan (Atmodiwirio, 2005). Ada beberapa macam bentuk/formasi
yang dikenal, yaitu:
a. Bentuk lingkaran tanpa meja.
Dalam bentuk ini disediakan tempat bagi seorang pemimpin, jarak antara peserta
dengan pimpinan sedemikian rupa sehingga tampak adanya seorang peserta yang
dominan sebagai pemimpin.
b. Bentuk lingkaran memakai meja.
Dalam bentuk lingkaran ini dipakai meja, menjadikan ruang menjadi terbatas.
c. Bentuk segi empat.
Meja dan kursi disusun sedemikian rupa sehingga di tengah membentuk ruang
kosong. Ini tergantung kepada dimana papan tulis atau instruktur berada.
d. Bentuk persegi panjang.
Penataan ruang kelas dapat dibuat persegi panjang. Meja dan kursi memanjang
disusun saling berhimpit sehingga tidak ada ruang yang tersedia.
e. Bentuk huruf U.
Dengan bentuk huruf U ruang gerak instruktur lebih besar dan lebih mudah untuk
mengadakan komunikasi dengan peserta.

II.7. Pelaksanaan Pelatihan.


II.7.1. Pelaksanaan Test Awal dan Akhir Peserta Pelatihan.
Test awal dan test akhir peserta pelatihan merupakan evaluasi pembelajaran dalam
pelatihan. Alat evaluasi awal dan evaluasi akhir digunakan untuk mengukur perbedaan
tingkat kemampuan peserta pelatihan pada saat sebelum memasuki program pelatihan dan
setelah mengikuti program pelatihan. Alat evaluasi awal dan akhir kemampuan peserta
pelatihan dapat berbentuk tes (essay, objektif, performansi), lembaran pendapat, dan
sebagainya. Pertanyaan/penyataan yang dimuat dalam instrumen awal dapat bersamaan atau
hampir sama dengan yang dimuat dalam instrumen evaluasi akhir sehingga hasilnya dapat
diukur dengan menggunakan pengkuran yang valid dan dapat dipercaya (Sudjana, 2007).

II.7.2 Proses pembelajaran.


Pelaksanaan pelatihan merupakan proses pembelajaran di berikan oleh instruktur
terhadap peserta pelatihan (Sudjana, 2011). Langkah-langkah dalam proses pembelajaran
adalah sebagai berikut :
a. Pembinaan Keakraban.
Pembinaan keakraban adalah kegiatan saling mengenal antara peserta pelatihan,
antara peserta pelatihan dengan instruktur, dan antar instruktur. Tujuannya adalah
untuk mengkondisikan agar mereka siap melakukan kegiatan pelatihan secara
akrab dan menyenangkan.
b. Identifikasi kebutuhan.
Identifikasi kebutuhan belajar, aspirasi dan potensi peserta pelatihan. Pada tahap
ini instruktur melibatkan peserta pelatihan dalam mengenali, menyatakan dan
menyusun kebutuhan belajar, harapan dan potensi yang dimiliki peserta pelatihan.
c. Penetapan kontrak pembelajaran.
Kontrak pembelajaran merupakan perjanjian tertulis yang dibuat oleh peserta
pelatihan untuk mengikuti pembelajaran dalam pelatihan. Format kontrak
pembelajaran biasanya telah disiapkan dan disediakan untuk setiap peserta
pelatihan oleh pengelola program pelatihan.

II.8. Evaluasi Pelatihan.


II.8.1 Tingkatan Evaluasi Pelatihan.
Studi yang paling populer menurut Kirtpatrick (1996) adalah mengidentifikasi empat
bidang atau menggunakan model empat tingkatan dalam proses langkah perencanaan dan
pelaksanaan pelatihan (Krisno, 2011). Keempat tingkatan itu didefinisikan sebagai berikut :
a. Level 1: Reaksi
b. Level 2: Pembelajaran
d. Level 3: Perilaku
e. Level 4: Hasil
Dua level yang pertama terjadi pada saat pelatihan, sedangkan dua level yang terakhir
terjadi di tempat kerja setelah mengikuti pelatihan.
a. Level 1 – Reaksi.
- Level evaluasi ini memberikan informasi mengenai kualitas pengalaman peserta.
- Informasi ini cenderung jangka pendek dan bersifat subjektif serta memberikan
indikasi bagian dari pelatihan yang perlu mendapat perhatihan khusus dari peserta.
- Evaluasi reaksi ini juga berisi umpan balik untuk instruktur mengenai metode
pembelajaran, efisiensi, dan sebagainya.
- Evaluasi rekasi sangat populer, namun nilainya menjadi kecil apabila menjadi satu-
satunya pendekatan yang digunakan untuk mengevaluasi pelatihan.
- Pada intinya penyelenggara berupaya unutuk mendapat pandangan peserta mengenai
dampak pelatihan tersebut dan dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik untuk
instruktur.
b. Level 2 – Pembelajaran.
- Mengevaluasi pembelajaran memberikan informasi mengenai banyaknya pelajaran
yang dapat dipetik oleh peserta selama mengikuti pelatihan.
- Evaluasi ini akan memberi umpan balik bagi penyelenggaraan pelatihan maupun
instruktur dan peserta untuk membentunya mengikuti siklus pembelajaran.
- Evaluasi ini juga memberi umpan balik bagi instruktur mengenai efektivitas metode
yang digunakan.
- Sasaran merupakan patokan mengenai apa yang harus dapat dilakukan oleh peserta
berdasarkan standar tertentu dalam kondisi tertentu.
c. Level 3 – Perilaku.
- Evaluasi pada level ini adalah untuk menilai apakah peserta telah menerapkan
pembelajarannya dalam bentuk perubahan perilaku di tempat kerja.
- Evaluasi difokuskan pada peningkatan hasil atau kinerja.
- Mengevaluasi perilaku kerja juga merupakan peluan umpan balik bagi instruktur
mengenai metodi dan strategi pembelajaran.
- Evaluasi ini juga membantu menentukan relevansi sasaran pembelajaran yang telah
ditetapkan dengan kebutuhan pelatihan yang sesungguhnya.
d. Level 4 – Hasil
- Evaluasi ini meneliti dampak jangka panjang pelatihan.
- Peserta mungkin dapat mendemonstrasikan keterampilan baru yang diperolehnya dan
juga untuk mengukur apakah terdapat perubahan efisiensi dan profitabilitas pada unit
kerja tempat peserta bekerja.
- Ini merupakan upaya untuk mengukur kinerja organisasi dan membandingkannya
dengan biaya pelatihan yang telah dikeluarkan.
II.8.2. Laporan Hasil Penyelenggaraan Pelatihan.
Penilai pelatihan dan manajer pelatihan mungkin diminta untuk memberikanlaporan
stakeholder, pihak yang berkepentingan atau kelompok manajemen senior (Krisno, 2011).
Banyak cara untuk membuat laporan yang bentuknya sering ditentukan berdasarkan budaya
organisasi, tapi beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Usahakan pendek dan sederhana.
Ini akan membantu para pembaca untuk membaca laporan yang ringkas tapi
komprehensif serta merujuk pada bukti-bukti pendukung bila mereka merasa
memerlukannya.
b. Bila memungkinkan, gunakan gambar, grafik, diagram dan bukan kata atau angka yang
panjang
Jenis bahan yang akan dimasukkan dalam laporan biasanya menentukan bentuk grafik
atau imaji-imaji lain yang digunakan.
Laporan-laporan evaluasi pada umumnya meliputi tabel-tabel dan representatif grafik
yang digunakan seperti grafik garis, diagram pie, diagram batang, dan sebagainya.
c. Identifikasi pihak-pihak yang berkepentingan yang utama dan temukan apa
permintaannya.
Hal utama ketiga dalam membuat laporan evaluasi yang baik adalah memastikan bahwa
laporan yang telah dibuat menggunakan forma yang dikehendaki.
d. Format Laporan
Laporan-laporan evaluasi mungkin perlu diformat seperti yang dikehendakivbudaya
organisasi, dan isinya perlu disesuaikan dengan ukuran-ukuran validasi dan evaluasi
pelatihan.
Salah satu dari standar-standar ini adalah :
a) Isi
b) Deskripsi singkap mengenai pokok laporan
c) Alasan pentingnya pembuatan pokok laporan
d) Rangkuman hasil dan rekomendasi
e) Deskripsi metode yang digunakan untuk pengumpulan
f) Naskah utama
g) Kesimpulan, termasuk mengingatkan rekomendasi-rekomendasi
h) Lampiran.
 Penyepelean TNA di dalam Program Kerja
 Buku SPO Diklat terselip atau hilang tahunan seluruh unit di tiap-tiap instalasi Rumah
sehingga tidak sering dibaca lagi oleh Ka. Sakit.
Instalasi beserta unitnya.  Ka. Instalasi tidak dengan baik dan benar dalam
memahami dan berkoordinasi dengan unit-
 Beban Kerja yang banyak terhadap seluruh unitnya dalam menyiapkan program kerja
staff di tiap unit seluruh instalasi rumah anggaran tahunan.
sakit, membuat tidak paham dalam  Kurangnya kegiatan sosisalisasi bagian diklat
pengajuan TNA yang berdasarkan program terhadap SPO Diklat terutama tentang pengajuan
kerja tahunan unit di instalasi TNA
Proses pengajuan
proposal training
MAN (seminar) banyak
MATERIAL yang tidak sesuai
dengan program
kerja (TNA)
METHODE anggaran tiap-tiap
MACHINE
unit di instalasi
Rumah Sakit
 Kurangnya komunikasi antara bagian Diklat  Pendistribusian buku SPO Diklat
dengan seluruh Ka. instalasi yang terutama tentang pengajuan TNA
membawahi unit-unit di Rumah Sakit. tidak diserap 100% oleh tiap-tiap
 Bahasa SPO Diklat terkadang unit di Instalasi Rumah Sakit.
membingungkan sehingga menimbulkan
ketidakpahaman tiap unit diseluruh instalasi
Rumah Sakit dalam penyusunan TNA
didalam program kerja tahunanya.

Anda mungkin juga menyukai