Anda di halaman 1dari 2

DEMOKRATISASI DIKAMPUS DIBERANGUS; APA SIKAP KITA?

Pada 14 Otorber 2016 lalu, 21 mahasiswa dari universitas Muhammaadiyah Sumatera Utara
(UMSU) di kenakan sanksi Drop Out (DO) karena melakukan aksi protes terhadap
pembongkaran pondok diskusi. Aksi tersebut juga menuntut beberapa kebijakan kampus
lainnya seperti uang denda telat kuliah, fasilitas, kebebasan beorganisasi, transparansi uang
kuliah, dan kenaikan uang kuliah. Selain itu, di Bandung juga terjadi hal serupa, 27 Oktober
2016 lalu, 115 mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB)
diskors secara sepihak oleh Dekanat, akibat aksi seni yang mereka lakukan untuk mengapresiasi
wisudawan yang lulus di bulan oktober 2016. Sebelumnya, pembubaran terhadap kegiatan
mahasiswa seperti pemutaran film senyap yang melibatkan sipil reaksioner juga terjadi di
beberapa kampus seperti UGM, UNY, ISI dan UIN. Sepanjang tahun 2015 setidak terdapat
sebanyak 23 kali pemberangusan di kampus seluruh indonesia. Pemberangusan tersebut
menyangkut isu-isu sensitif seperti tragedi 65, Lesbi, Gay, Biseksual, dan transgender (LGBT).
Sebagian besar pemberangusan di lakukan oleh pihak kampus (42%), aparatus Negara (20%)
dan milisi sipil reaksioner intoleran (21%).
Situasi ini semakin menunjukkan bahwa otonomi kampus dan kebebasan akademik, rupanya
hanyalah mimpi basah di siang bolong. Anggapan bahwa kampus bisa menjadi sebuah institusi
yang netral dari kekuasaan Negara dan politik adalah angan-angan tanpa pengetahuan.
Pemberangusan demokrasi di dalam kampus sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak rezim
militer soeharto berkuasa, pembubaran kegiatan, pembubaran organisasi mahasiswa, bahkan
pembunuhan terhadap kelompok mahasiswa yang kritis sudah dilakukan secara intensif.
Intelektual kampus menjadi kerdil, menghamba pada moncong senjata dan modal
internasional. Sementara gerakan mahasiswanya menyisakan gerakan yang mandul walau di
beri nama mentereng “gerakan mandul”. Rezim orde baru memainkan perannya dengan baik
dalam membersihkan kampus dari intelektual, mahasiswa, gerakan dan ilmu pengetahuan.
Belasan pers kampus di bredel, sementara itu, ribuan buku di larang. Namun rezim soeharto
yang rakus rupanya tidak menyadari, bahwa penindasan adalah nyata dalam kapitalisme, oleh
karena itu tentu saja akan selalu ada individu-individu yang terbuka pemahamannya, yang ingin
belajar lebih jauh kenapa penindasan terjadi dan jalan keluar bagi penindasan tersebut.
Embrio kebangkitan gerakan mahasiswa kembali bangkit mulai tahun 1978, rezim militer
soeharto langsung menyikapinya dengan membubarkan dewan-dewan mahasiswa dan
menerapkan kebijakan Normalisasi Kebijakan Kampus (NKK) serta membentuk Badan
Koordinasi Kampus (BKK). Selanjutnya, rezim tersebut juga melancarkan program pencucian
otak, seperti di jadikannya “pendidikan pancasila” sebagai syarat kelulusan. Pelajaran
pendidikan pancasila tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran dimana rakyat
diharuskan mempromosikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dan menekankan peran
angkatan bersenjata dalam mempertahankan tatanan sosial.
Meskipun rezim militer soeharto telah dijatuhkan kekuasaanya dan ruang demokrasi relatif
terbuka, ini bukan berati tidak akan adalagi pemberangusan demokrasi. Seperti yang kita
saksikan, bagaimana partai-partai berkuasa di Indonesia secara bergantian mengikis hak-hak
kaum buruh dan rakyat. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, ketika pada tahun 1970an
mahasiswa Australia berhasil mencapai pendidikan gratis. Selang beberapa tahun setelahnya,
pada tahun 1980an pendidikan gratis di hilangkan oleh rezim dan mereka terpaksa membayar
lagi biaya pendidikan.
Kita juga menyaksikan bagaimana neoliberalisme masuk kedalam dunia akademik di Indonesia
dan memperkuat institusi pendidikan sebagai ladang akumulasi modal. Inilah yang
menyebabkan naiknya biaya kuliah serta berbagai biaya tambahan lainnya, menjamurnya
pendidikan non reguler (di luar S1 reguler), dan maraknya pemberangusan demokrasi di dalam
kampus. Kondisi tersebut di perkuat dengan dominasi ideologi liberalisme. Suatu paham yang
menghilangkan peran gerakan kelas buruh dan rakyat dalam perubahan sejarah. Kemunculan
kelompok-kelompok liberal ini semakin lama semakin tumbuh subur seiring dengan
perkembangan post modernisme yang sama-sama menekankan individualisme absolut,
menolak adanya kemampuan untuk mendapatkan kebenaran objektif. Tidak heran jika gerakan
mahasiswa sering dibilang “mandul”, selain karena mahasiswa menjadi semakin apatis atas
ketidakadilan yang mereka alami sendiri.

Anda mungkin juga menyukai