Anda di halaman 1dari 21

I.

FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

1. Pendahuluan
Manusia sebagai mahluk yang berakal dan berbudi, menyadari akan keberadaannya serta serba
ketidaktahuannya tentang hakekat hidupnya maupun gejala alam sekitarnya. Filsafat adalah perenungan
yang paling dalam tentang hakekat segala sesuatu sedangkan ilmu filsafat tak lain ialah sistematisasi
pemahaman tentang filsafat dan cabang ilmu filsafat yang membahas tentang pengetahuan disebut
epistemologi.
Pada dasarnya manusia memperoleh pengetahuan melalui dua jalur, yakni pertama melalui
pengamatan atau penginderaan atas fakta-fakta dan kedua melalui proses penalaran logis-rasional dari
fakta-fakta empiri yaitu yang teramati. Adapun penalaran tak lain adalah kegiatan mensistemasi dan
menghubung-hubungkan gejala-gejala berdasarkan pengalaman empiri atau pengamatan menurutkan
kaidah sebab-akibat serta keruntutan logika.

2. Sekilas Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Kelahiran ilmu filsafat di Yunani dengan Thales selaku filsuf pertama, menandai awal dari
kemajuan peradaban manusia pasca peradaaban purba di Mesir dan Babilonia. Filsafat Yunani kuno
yang dirintis oleh Thales, Anaximander, Anaximenes dan yang lain, membahas hakekat keberadaan
benda dan asal usul alam kebendaan. Selang 2 abad kemudian, muncul filsuf-filsuf yang terkenal dalam
sejarah peradaban manusia, yaitu Socrates, Democritus, Plato, Aristoteles.
Socrates mempercayai kemungkinan tukar pikiran atau ide dalam rangka saling
membelajarkan, saling menajamkan dan saling transfer ide atau gagasan. Maka muncullah kebiasaan
berdialog, berdiskusi, yang lalu lebih dibudayakan oleh muridnya, Plato. Socrates juga dikenal sebagai
reformis moral yang menentang filsafat moralnya kaum sofi, Menurutnya, secara hakiki manusia
memiliki nilai-nilai etika dan cenderung berkelakuan dan berbudi pekerti yang baik, sedangkan menurut
kaum sofi, nilai kebaikan budi manusia itu relative saja bahkan semu belaka. Lebih lanjut Socrates
mempercayai adanya roh sebagai hakekat keberadaan manusia dan tubuh hanyalah tempat bersemayam
sementara bagi roh itu, dan kematian hanyalah transisi dari kehidupan sementara atau fana ke kehidupan
abadi atau baka. Semangat reformasi moral yang kontroversi bagi masyarakat Yunani khususnya kaum
sofi di kota Athena serta keyakinannya yang kuat akan pendiriannya itulah yang mengantarkan ke
hukuman mati dengan disuruhnya minum racun oleh penguasa pada jamannya.
Democritus adalah penggagas atoom yang pertama. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu
terdiri atas zarah-zarah lembut yang dianamkan atoom-atoom. Ukuran dan bentuk atoom akan
menentukan sifat benda dan interaksinya dengan benda lain. Misalnya rasa pahit itu disebabkan oleh
atoom- atoom yang kasar dan sebaliknya atoom - atoom yang halus akan menampilkan rasa manis.
Sensasi penglihatan disebabkan oleh pancaran atoom- atoom dari benda sumber cahaya yang lalu
melapisi mata pengamat.
Plato, yang dilahirkan di kota Athena, pusat budaya dan peradaban Yunani kuno itu, adalah
murid Socrates yang cemerlang, yang membudayakan dialog, bahkan tulisan-tulisannya juga berbentuk
dialog. Ia juga dikenal sebagai pendiri institusi Pendidikan filsafat yang dinamakan Akademia. Sejalan
dengan pandangan dualistis Socrates tentang hakekat manusia yang terdiri atas roh dan tubuh, Plato
berpandangan adanya sifat dualistic atau mendua dari realita yakni yang berupa ide di alam pikiran dan
yang berupa apa yang diamati lewat penginderaan. Ide itu bersifat abadi dan hakiki, sedangkan hasil
penginderaan itu relatif serta merupakan bayang-bayang dari realita. Pandangan demikian adalah benih
aliran idealismen di kemudian hari.
Aristoteles adalah murid Plato di Akademia yang kemudian menggantikan Plato memimpin
Akademia itu sebelum kemudian mendirikan sekolahnya sendiri yang dinamakan Liceum, sepeninggal
Plato. Seperti halnya Plato, ia juga menulis banyak dialog. Di samping itu, kefilsafatannya mulai
merambah bidang ke-alam-an, dan ia membicarakan hal obat-obatan, serta identifikasi dan klasifikasi
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam bidang logika, Aristoteles adalah yang pertama-tama
memperkenalkan simbul-simbul dalam argumentasi yang lalu menghasilkan ilmu logika simbolik.
Kecuali itu Aristoteles lah yang melahirkan apa yang disebut metafisika yang adalah cara pendekatan
untuk mencapai kebenaran dengan mengandalkan daya intuisi dan logika serta bersifat spekulatif.
Metafisika dapat dipilah menjadi ontologi yang membahas hakekat keberadaan dan kosmologi yang
membahas hakekat alam raya.
Epicurus, mengikuti Democritus perihal keberadaan atoom- atoom penyusun benda-benda dan
lebih lanjut ia mengatakan bahwa segala sesuatu itu bersifat ke-materi-an. Pandangan demikian
kemudian menjadi benih aliran materialisme. Dalam bidang ke-jiwa-an, Epicurus berpendapat bahwa
kedamaian hati hanya diperoleh dengan menjauhkan diri dari hiruk-pikuk gejolak sosial, serta
mengajarkan hidup menyendiri dan menyepi untuk mencapai kedamaian yang sungguh-sungguh.
Ke-adidaya-an bangsa Yunani kemudian digeser dan digantikan oleh hegemoni atau ke-
adidaya-an kekaisaran Romawi di sekitar 150 tahun sebelum Masehi, namun peradaban Yunani yang
dikenal sebagai peradaban Helenistik itu tetap berkembang bahkan merambah ke daerah kekaisaran
Romawi, dan kota Athena tetap menjadi pusat budaya dan peradaban umat manusia di Eropa dan Timur
Tengah. Dalam rangka ke-adidayaa-an Romawi inilah diletakkan landasan ilmu hokum dan tata-negara
yang dianut bangsa=-bangsa di seluruh dunia sampai sekarang. Peradaban Yunani itu boleh dikatakan
berakhir pada sekitar abad ke 5sesudah Masehi dengan ditutupnya sekolah-sekolah filsafat di kota
Athena serta merebaknya ajaran Kristen di Eropa dan munculnya ajaran agama Islam di negara-negara
Arab.
Dari abad ke 5 sampai ke 9, Eropa dilanda kericuhan dan kekacauan oleh merajalelanya
keganasan bangsa bar-bar antara lain bangsa Hun, dari Asia Tengah dan pada tahun 410 kota Roma
jatuh ke tangan bangsa bar-bar. Dalam masa gelap ini sudah tentu ilmu filsafat, beserta kesusateraan,
kesenian dan kebudayaan Yunani-Romawi, boleh dikatakan mengalami kemadegan, hamper tidak maju
bahkan nyaris punah. Masa gelap ini memang merupakan era krisis social-ekonomi di benua Eropa dan
juga era krisis politik bagi kekaisaran Romawi. Namun di lain pihak kekalutan dan berbagai krisis
tersebut menempa bangsa Eropa untuk menjadi dewasa dalam bernegara, melepaskan diri dari ikatan
tradisi timur, serta membangun jatidirinya menuju peradaban barat yang kristiani seperti yang kita lihat
sekarang.
Di awal abad ke 9, Eropa mulai menikmati ketenteraman, ketenagan dan stabilitas politik,
sehingga kegiatan Pendidikan mulai terbangun dan sekolah-sekolah atau tepatnya akademi-akademi
pun mulai didirikan dan kaum intelektual pun bermunculan. Masa ini dikenal sebagai era skolastik,
yang mencapai puncaknya di sekitar abad ke 13 yang ditandai dengan dikembangkannya filsafat dan
theologia kristiani yang dalam hal ini khatolik, serta ilmu pengetahuan. Universitas-universitas pun
mulai bermunculan di kota Paris, Oxford, Cambrigde dan kota-kota besar pusat budaya lainnya di
Eropa.
Di puncak kejayaan jaman skolastik itulah kita kenal Roger Bacon seorang filsuf Inggris yang
mengisyaratkan esensialnya metode empiri yang mengandalkan pengamatan dan pengukuran dalam
pengembangan ilmu pengetahuan alam, yang nantinya melandasi merebaknya semangat empiri 3 abad
berikutnya.
Era skolastik boleh dikatakan berakhir dengan tampilnya jaman Renaissance di abad ke 14–
16, di mana timbul kebangkitan dan kesadaran kembaliakan nilai-nilai keagungan di jaman keemasan
peradaban Yunani-Romawi.
Demikianlah abad pertengahan yang diawali dengan runtuhnya kekaisaran Romawi di abad ke
5, diakhiri dengan munculnya era Renaissance , yang selanjutnya diikuti dengan lahirnya jaman filsafat
modern yang dipelopori oleh Rene Descartes, bapak filsafat modern, Francis Bacon, dan yang lainnya,
yang nantinya mendasari lahirnya abad modern. Perlu dicatat bahwa dalam nuansa filsafat modern itu
mencuat gerakan apa yang disebut pencerahan (enlightment, aufklӓrung) kira-kira di antara pertengahan
abad 18 sebelum Revolusi Perancis tahun 1789, sampai pertengahan abad 19, yang berupa
menggejalanya peninjauan kembali secara kritis mengenai azas otoritas dalam bidang politik maupun
keagamaan serta ilmu pengetahuan, oleh inspirasi pemikir-pemikir modern seperti misalnya Francis
bacon, Isaac Newton, John Locke, Rene Descartes, Baruch Spinoza dan yang lainnya. Dalam era
pencerahan ini, semangat sekularisasi merebak luas.
Dalam pertumbuhan ilmu pengetahuan di era filsafat modern itu, berkembang metode ilmiah
yang berupa perpaduan pendekatan induktif empiri dengan pendekatan deduktif analitik yang ternyata
melandasi pesatnya pertumbuhan ilmu pengetahuan serta kelahiran cabang-cabang ilmu pengetahuan
baru.
Di awal abad ke 20, muncul gagasan pendekatan secara abstraksi transendental, yang
mengandalkan daya fantasi di samping daya nalar analitik. Berbeda dengan pendekatan metafisis,
pendekatan ini hanya bermakna apabila memetakan atau mencerminkan atau men-terjemahkan realita.
Metode abstraksi transendental ini dalam fisika mewujud sebagai mekanika kuantum, yang secara
drastic mengubah visi berilmupengetahuan dari deterministic menjadi kebolehjadian, dari kepastian
mekanistik menjadi ketidakpastian perubahan keadaan yang berkebolehjadian. Kalau lahirnya
pendekatan empiri di akhir era skolastik dikatakan sebagai revolusi atau reformasi pertama, maka
munculnya abstraksi transendental ini boleh disebut revolusi atau reformasi kedua dalam ilmu
pengetahuan.

3. Realita, Ide dan Pengetahuan


Sebagaimana dikatakan Plato, sebagai pelopor realisme, realita yakni hakekat segala sesuatu
yang kebenarannya hakiki dan mutlak itu, adalah di luar alam pikiran manusia dan tak tergantung
kondisi mental-psikhis manusia.
Realita mewujud sebagai fakta-fakta yang lalu dimengerti, dipahami, diketahui, melalui
persepsi, penginderaan ataupun penalaran serta membentuk ide-ide di dalam alam pikiran manusia yang
dengan diyakininya kebenarannya, menjadi pengetahuan.
Menurut Plato, realita itu ada dua tataran yaitu tataran rendah yakni yang membentuk ide
langsung dari kegiatan empirik, penginderaan, pengalaman dan tataran tinggi yakni yang berasal dari
penalaran di alam pikiran.
Menurut Aristoteles, pelopor aliran idealisme, yang sebenarnya bermakna adalah ide meskipun
ide itu memang berasal dari realita. Immanuel Kant dalam idealismenya mengatakan bahwa tidak
hanya keadaan segala sesuatu tetapi kait mengaitnya segala sesuatu adalah hasil dari pemahaman di
dalam alam pikiran, dan G.W.F. Hegel berbeda pendapat dengan Plato, mengatakan bahwa realita itu
ada di alam pikiran dan bersifat rasional yaitu dapat dinalar.
Kalau kaum idealis memandang ide yang sebenarnya bermakna, bahkan realita itu mewujud
sebagai ide-ide, maka bagi kaum empirisme, kegiatan empirik adalah metode utamanya utnuk
mencapai realita, dan John Locke, perintis paham empirisme, sesudah Francis Bacon, mengatakan
bahwa semua ide itu berasal dari penginderaan atau kegiatan empirik dan pengetahuan itu tak lain ialah
hasil kait mengaitkan ide-ide. Lebih jauh bahkan David Hume mengatakan bahwa pengetahuan yang
meyakinkan hanyalah yang nyata dari kegiatan empirik.
Berbeda dari kaum empiris, kaum rasionalis lebih mengandalkan dan mempercayakan
penalaran rasionalistis dalam menggapai realita dan menentang kepercayaan terhadap mujijat, gaib,
keajaiban dan lainnya yang sejenis. Tokoh-tokoh rasionalis yang antara lain ialah Rene Descartes,
Baruch Spinoza dan G.W. von Leibnitz, menerapkan matematika sebagai alat menalar logis, deduktif,
analitik. Menurut mereka, penalaran secara murni bahkan dapat meluruskan kebenaran hakekat realita.
George Wilhelm Friederich Hegel seorang idealis rasionalis murni, menandaskan bahwa yang
rasional yakni yang dapat dinalar, adalah nyata dan yang nyata adalah rasional. Di samping itu Hegel
mengemukakan bahwa sembarang proses itu berlngsung secara dialektis yaitu runtutan proses-proses
thesis, lalu antithesis dan kemudian sintesa yang mengkompromikan thesis dengan antithesis.
Berdasarkan dialektika inilah Friederich Engel bersama Karl Mark mencetuskan gagasan dialektika
materialisme, yang mendasari ideologi komunisme.
Sejalan dengan pandangan kaum realis yang berpendapat bahwa realita itu ada di luar alam
pikiran manusia, kaum naturalis berpendapat bahwa realita itu ada di alam, dan hukum alam adalah
realita hakiki yang menentukan semua proses di alam ini.
Pengetahuan yang kebenarannya diterima tanpa mengalami pengujian, seperti misalnya
metafisika dan intuisi, sudah tentu tidak meyakinkan dan disebut pengetahuan a priori, sedangkan yang
sebaliknya ialah pengetahuan a posteriori. Menurut Auguste Comte (1798-1857) seorang filsuf
Perancis, pencetus aliran positivisme, pengetahuan yang secara positif meyakinkan ialah yang
berlandaskan hasil-hasil empiri serta hubungan antara hasil-hasil empiri itu. Menurutnya, pola piker
manusia telah mengalami 3 jenjang kemajuan yakni dari theologis atau religious atau agamawai, lalu
metafisis, dan kemudian positivistis yakni yang berdasrkan Analisa hasil-hasil empiri.

4. Epistemologi
Epistemologi selaku filsafat tentang pengetahuan, mencoba memberi jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan tentang asal mula pengetahuan, perihal mengetahui, mengenai cara mengetahui atau
memperoleh pengetahuan, bagaimana membedakan pengetahuan dari pendapat, tentang wujud atau
bentuk pengetahuan, dan bagaimana meyakinkan kebenaran pengetahuan.
Pengetahuan adalah informasi atau pun ide, yang telah diterima sebagai kebenaran, di mana ide
itu diperoleh melalui penginderaan atau kegiatan empirik secara langsung, atau melalui penalaran
secara rasionalistis terhadap ide-ide yang telah ada di alam pikiran. Yang menekankan kegiatan empirik
dikatakan menganut paham atau aliran empirisme, sedangkan yang mengandalkan penalaran
rasionalistis dikatakan penganut rasionalisme.
Pengetahuan yang diperoleh langsung dari kegiatan empiri disebut sebagai kegiatan obyektif
atau induktif, sedangkan yang diperoleh dari penalaran rasionalistis disebut sebagai pengetahuan
subyektif atau deduktif. Pengetahuan deduktif itu antara lain berdasarkan kaidah hubungan atau korelasi
antara ide-ide, yang dapat berupa koherensi, korespondensi, interaksi, atau pun berdasarkan kaidah
sebab akibat (cause and effect).
Kecuali itu, pengetahuan dapat juga diperoleh berdasarkan intuisi yaitu dengan serta merta
tanpa penalaran logis, berdasrkan pengalaman atau fakta-fakta empiri. Sudah tentu pengetahuan intuitif
demikian bersifat a priori dan kurang meyakinkan, namun sangat berguna dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan karena intuisi inilah yang memandu dan membimbing proses pemikiran dan penelitian.
Makin banyak pengalaman empiri, makin tajam intuisinya dan makin cerdas berpikirnya dan makin
cepat mengembangkan ilmu pengetahuannya.
Adapun pendapat adalah kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta empiri maupun dari penalaran
logis, namun tidak berarti bahwa pendapat itu adalah pengetahuan, dan pendapat baru akan menjadi
pengetahuan kalau mendasari pengembangan ilmu pengetahuan lebih lanjut atau membuka wacana baru
dalam berilmu pengetahuan.
Dalam nuansa filsafat modern, ilmu pengetahuan dikembangkan berlandaskan apa yang dikenal
sebagai metode ilmiah yang merupakan runtutan kegiatan empiri-induksi-pengajuan hipotese-verifikasi
empirik pernyataan teori-deduksi raasional analitik – pengajuan hipotese- verifikasi empirik, dan
seterusnya melingkar-lingkar terus.
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, dirumuskan teori-teori yang merupakan kristalisasi
pengetahuan serta menjadi tumpuan pengembangan ilmu pengetahuan lebih lanjut. Kerap kali teori lahir
dari hipotese yang telah teruji kebenarannya baik secara empirik maupun secara rasional analitik
berdasarkan koherensi atau pun korespondensi yakni dengan mencocokkan dengan teori atau hasil
deduksi teori lain yang telah mapan dan mantap. Teori dapat diandalkan kebenarannya bilamana mampu
menerangkan fakta-fakta empiri yang terkait dan sebaliknya teori dinyatakan runtuh tidak berlaku lagi
apabila ternyata bertentangan atau tidak cocok dengan fakta empiri atau pun bertentangan dengan teori
lain yang semacam yang telah teruji kebenarannya secara meyakinkan. Di samping itu dari teori harus
dapat dijabarkan atau diturunkan hipotese-hipotese yang akan harus diverifikasi kebenarannya secara
empirik. Perlu dicatat bahwa tidak semua hipotese yang telah teruji kebenarannya dengan sendirinya
menjelma menjadi teori, sebab suatu teori harus memenuhi kriteria seperti yang disebut di atas, di
antaranya dapat menjadi landasan pengembangan ilmu pengetahuan lebih lanjut, seperti dikatakan di
atas.
Adapun fakta-fakta empiri yakni yang lazim disebut “observable” , akan bermakna dalam
membentuk ide atau konsep kalau bersifat unik yakni terpastikan, yang misalnya kalau fakta-fakta itu
berupa besaran fisis yang terdistribusi secara statistik, maka yang bermakna adalah rata-ratanya.

5. Ontologi
Pengetahuan tentang hakekat keberadaan segala sesuatu adalah yang paling hakiki dan paling
awal, dan dikenal sebagai ontologi. Thales (624-546 S.M.) adalah filsuf Yunani yang paling awal dan
yang mula-mula mengupas maslah ontologi ini. Menurutnya semua benda itu berasal dari air yang
kenyataannya terdapat di mana-mana dan air dikatakan sebagai substansi yang paling hakiki yang
menyusun semua benda alam. Istilah ontologi selaku cabang metafisika, di samping kosmologi
digulirkan oleh Christian von Wolff (1679-1754).
Pengetahuan yang paling awal adalah mengetahui suatu keberadaan. Sesuatu dikatakan ada atau
ber-keberadaan bilamana memiliki sifat-sfat atau ciri-ciri tertentu yang secara pasti dapat langsung
diketahui. Berdasarkan pengertian ini, elektron tidak ber-keberadaan secara ontologis. Namun ini tidak
harus berarti bahwa elektron itu tidak ada. Keberadaan elektron dapat diterangkan dengan atau dipakai
untuk menerangkan gejala fisis seperti misalnya kenyataan terkuantisasinya muatan listrik serta dalam
teori atoom dan teori nuklir. Maka dikatakan bahwa elektron itu ber-keberadaan secara epistemologis,
pragmatis, metodologis.
Adapun keberadaan Tuhan, bagi yang taat beragama, diyakini secara mutlak, tanpa memerlukan
verifikasi ilmiah, yakni tidak bersifat ontologis maupun epistemologis, melainkan bersifat imaniah,
yakni diyakini berdasarkan iman kepercayaan.
6. Kosmologi
Kalau ontologi membahas keberadaan segala sesuatu di dunia kehidupan manusia, maka
kosmologi membicarakan hakekat keberadaan segala sesuatu di alam raya secara umum.
Pada hakekatnya substansi dasr pengetahuan alami adalah materi atau kebendaan, ruang dan
waktu. Kalau ontologi lebih ditekankan pada esensi materi, maka kosmologi lebih berkaitan dengan
hakekat ruang dan waktu.
Pemikiran perihal alam semesta sebenarnya sudah timbul dalam filsafat Yunani kuno dengan
filsuf-filsuf yang terkenal seperti Thales (624-546 S.M.), Anaximander (610-545 S.M.), Plato (429-
347 S.M.) dan Aristoteles (384-322 S.M.). Mereka terskesan akan keteraturan, ketertiban dan
keabadian gerakan-gerakan benda angkasa, sehingga meyakini akan adanya sesuatu yang bersifat kekal
yang mengendalikan semua gerakan dan perubahan di alam semesta ini, yang kira-kira seperti yang
sekarang kita kenal sebagai Tuhan.
Dalam pandangan pemikir-pemikir di masa Renaissance , seperti misalnya Copernicus (1473-
1543), Kepler (1571-1630), Galileo (1564-1641) dan Newton (1642-1727), proses alami itu bersifat
mekanistik dan deterministik yakni terpastikan. Filsuf-filsuf di jaman modern yang membahas maslah
kosmologi secara lebih mendalam, antara lain adalah Arthur Eddington (1882-1944) dan Bertrand
Russell (1872-1970).
Kalau materi itu terkuantisasi, maka ruang dan waktu bersifat kontinyu. Kalau ruang itu dapat
dibalik, maka waktu tidak dapat dibalik, artinya proses berlangsung dari dahulu ke sekarang ke waktu
sesudahnya dan seterusnya.
Dari sudut dinamika, hingga kini hanya dikenal 3 macam gaya yang menggerakkan materi,
yaitu gaya gravitasi, gaya elektrodinamika, dan gaya nuklir. Kalau gaya gravitasi dan gaya
elektrodinamika itu telah dikuasai tuntas, maka gaya nuklir masih diliputi misteri atau kerahasiaan
antara lain disebabkan satu-satunya alat andalan fisika modern, tidak memberikan penjelasan proses
mekanistik-deterministik, sedangkan gaya bersangkutan dengan proses dinamika yang mekanistik-
deterministik.

7. Etika Ilmu Pengetahuan


Tentunya amat sukar bahkan boleh dikatakan hampir tidak mungkin meng-kaitkan etika
dengan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, sebab etika mengemuka sebagai aspek budi sedangkan ilmu
pengetahuan adalah manifestasi aspek akal dari manusia sebagai mahluk berakal budi itu.
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan itu bebas nilai, artinya tidak terpengaruh oleh dan tidak
berinteraksi dengan wacana etika. Kaum humanis memang menganjurkan agar pengembangan ilmu
pengetahuan diarahkan ke men-sejahterakan umat manusia. Namun ini tidak berarti bahwa ilmu
pengetahuan itu mengandung nilai moral etika, karena moral etika itu hanya disandang oleh manusia
pelakunya atau manusia penggunanya. Meskipun demikian, akal dan budi sebagai pembawaan manusia
itu, memang tidak dapat dipisahkan, setidak-tidaknya dalam hal kenyataan bahwa manusia lebih cerdas
dan lebih mampu mengembangkan ilmu pengetahuan apabila hati dan pikirannya jernih, tidak
dikeruhkan oleh ketidakberbudian. Boleh dikatakan tidak ada akal tanpa budi meskipun tidak
sebaliknya tiada budi tanpa akal.
Perlu diperhatikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan sejak abad 19 berkat diterapkannya
metode ilmiah, telah secara fantastis mengubah citra peradaban manusia dari peradaban renaissance di
abad pertengahn ke peradaban modern yang teknologis. Tetapi perdaban modern sama sekali tidak
mencerminkan keagungan manusia sebagai citra Tuhan, melainkan mencerminkan keterkutukan
manusia oleh dosanya, apa lagi ternyata kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan alamiah lebih
didorong untuk memenangkan perlombaan senjata perang modern.
Kenyataannya peradaban modern yang bercirikan kemajuan ilmu pengetahuan alamiah dan
kecanggihan teknologi, tidak hanya memberikan kemudahan hidup serta kenikmatan duniawi, tetapi
juga menghadirkan berbagai penderitaan, ketidakadilan, dekadensi moral etika serta perusakan
lingkungan akibat eksplorasi dan eksploitasi secara berlebihan dan tamak.
Sebenarnya peradaban modern itu tidak pernah menjadi idaman apalagi impian para pemikir
yang mengembangkan ilmu pengetahuan serta meletakkan tumpuan kemodernan. Peradaban modern
dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang luar biasa itu, hanyalah produk sampingan dari ilmu
pengetahuan dan pada dasarnya ilmu pengetahuan murni berkembang semata-mata hanya didorong oleh
kegairahan ingin tahu.
Takut akan Tuhan adalah awal dari pengetahuan. Kasihilah Tuhan dengan sepenuh hati dan
akal-budimu.
II. SEJARAH TUMBUH BERKEMBANGNYA ILMU PENGETAHUAN

1. Pendahuluan
Manusia adalah mahluk yang berakal dan berbudi, sehingga beradab serta berilmu
pengetahuan. Peradaban manusia boleh dikatakan dimulai atau berawal di Mesir pada sekitar 4000
tahun sebelum Masehi dan di Babilonia pada kira-kira 3000 tahun sebelum Masehi.
Peradaban Mesir kuno melahirkan astronomi, seni lukis, ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu teknik,
ilmu obat-obatan dan anatomi tubuh manusia, dalam rangka pemujaan kepada raja dewa bangsa Mesir,
dengan mendirikan piramida-piramida kuburan serta pengawetan jasad menjadi apa yang disebut
mummi. Seperti halnya bangsa Mesir, bangsa Babilonia mengembangkan astronomi, khususnya yang
berkaitan dengan astrologi berdasarkan kepercayaan bahwa kehidupan di dunia ini serta nasib manusia,
amat dipengaruhi bahkan ditentukan oleh konstelasi benda-benda angkasa yakni bumi, bulan, matahari
dan bintang-bintang yaitu kedudukan masing-masing satu terhadap yang lain, dan berkaitan dengan itu,
bangsa Babilonia menemukan apa yang disebut saros, sebagai periode terulangnya kembali konstelasi
benda-benda angkasa, yang ternyata selama 18 tahun 11 hari yang sudah tentu juga merupakan periode
terjadinya gerhana atau eclipse.
Ilmu pengetahuan di jaman peradaaban Mesir kuno dan Babilonia kuno itu bersifat terapan
yakni tumbuh dan berkembang demi memenuhi kebutuhan manusia. Ilmu pengetahuan yang murni
yang berkembang atas dasar kegairahan ingin tahu, baru lahir dan berkembang dalam peradaban bangsa
Yunani kuno yang mencapai puncak kejayaannya di sekitar 600 tahun sebelum Masehi. Adalah bangsa
Yunani yang melahirkan daan meletakkan dasar-dasar ilmu filsafat yang melandasi peradaaban umat
manusia sampai sekarang. Ilmu pengetahuan di jaman Yunani itu bersifat murni, rasional, analitik dan
filsafati. Di samping itu bangsa Yunani kuno juga mengembangkan kesenian dan kesusasteraan, serta
ilmu ukur analitik. Adapun tokoh-tokoh ilmu pengetahuan di jaman Yunani kuno itu antara lain
Aristoteles (384-322 SM) yang melahirkan ilmu biologi serta klasifikasi mahluk hidup, Archimedes
(287-212 SM) yang menemukan banyak azas-azas dalam ilmu fisika, Ptolemy yang mengembangkan
astronomi lebih lanjut di tahun 140. Sedangkan perintis-perintis ilmu filsafat bangsa Yunani ialah
Thales (624-546 SM), Anaximander (610-545 SM) yang lalu dikembangkan oleh Socrates (469-399
SM), Plato (429-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), Epicurus (341-270 SM).
Keunggulan bangsa Yunani kuno kemudian digeser oleh keunggulan bangsa Romawi, yang
menciptakan ilmu hukum dan ketatanegaraan yang melandasi ilmu hukum dan tata negara sampai kini.
Tetapi di bawah kekuasaan bangsa Romawi, ilmu pengetahuan mengalami kelambatan
pengembangannya. Beberapa abad kemudian bangsa bar-bar yang ganas itu merajalela menguasai
sebagian besar daratan Eropa dan ilmu pengetahuan bahkan peradaban pada umumnya mengalami masa
gelap antara tahun 450 sampai sekitar 750. Dalam waktu yang bersamaan, bangsa Arab yang memang
tidak terjamah oleh bangsa bar-bar itu, justru mengalami kejayaan dengan ajaran Islamnya. Dalam
masa kejayaannya bangsa Arab tidak hanya menyimpan dan memelihara filsafat dan ilmu pengetahuan
warisan bangsa Yunani dan bangsa Romawi, tetapi juga menemukan ilmu kimia dan ilmu aljabar, dan
pada sekitar abad 13 bangsa Arab menterjemahkan karya tulis ilmiah mereka dari bahasa Arab serta
memasukannya ke Spanyol yang lalu menyebar ke daratan Eropa, dan ilmu pengetahuan pun mulai
bangkit kembali sedikit demi sedikit. Namun demikian kemajuan ilmu pengetahuan baru berati setelah
runtuhnya kekuasaan bangsa bar-bar di awal abad pertengahan.
Menjelang abad pertengahan, pengembangan ilmu filsafat lebih didominasi bangsa Arab dan
bangsa Yahudi, dan di abad pertengahan, dengan filsafat kontemporairnya atau filsafat modernnya,
bangsa Eropa barat sangat mewarnai dunia ilmu filsafat, yang pelopor-pelopornya antara lain ialah
Francis Bacon (1561-1626), dan Rene Descartes (1596-1650) yang dikenal sebagai bapak ilmu filsafat
modern.
Filsafat modern yang lahir di abad pertengahan itu lebih berorientasi pada epistemologi ilmiah
(scientific epistemology) yang lalu melahirkan metode ilmiah yang melandasi perkembangan ilmu
pengetahuan modern yang menumbuhkan peradaban modern di abad 20 ini. Secara epistemologis,
filsafat modern dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu fase empirisme dan rasionalisme, fase metode ilmiah
dan fase abstraksi transendental.

2. Tahapan Perkembangan dan Sistematika Ilmu Pengetahuan


a. Fase Rasionalisme dan Empirisme
Dengan hanya mengandalkan kemampuan berpikir semata, sebagaimana pengembangan ilmu
pengetahuan dilakukan oleh bangsa Yunani kuno, ilmu pengetahuan sukar berkembang lebih lanjut dan
hampir menemui kemandegan. Adalah Roger Bacon (1214-1294) seorang filsuf Inggris, yang pertama
kali menyadari pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan melalui pengamatan kejadian alam dan
pengukuran-pengukuran. Ia mengatakan bahwa hasil kegiatan deduktif rasional hanya bermakna
apabila cocok dengan hasil pengamatan. Jadi kebenaran deduktif rasional harus diverifikasi secara
induktif empiri.
Gagasan Roger Bacon ini baru memperoleh sambutan khalayak ilmuwan kira-kira 350 tahun
kemudian di abad pertengahan, dengan pelopor-pelopornya antara lain Francis Bacon, Rene
Descartes dan Galileo Galilei (1564-1642). Roger Bacon mengkritik pembenaran yang hanya dengan
penalaran tanpa pengamatan empirik, sedang Francis Bacon lebih jauh mengatakan perlunya penelitian
(investigation) dalam rangka memperoleh memperoleh pembenaran pengetahuan. Galileo Galilei,
meskipun seorang guru besar matematika, banyak melakukan eksperimen dan penelitian fisika yang
antara lain dikenal dengan penciptaan teropongnya yang pertama kali, penelitiannya tentang gravitasi
yaitu gerak jatuh benda dari puncak menara Pisa dalam rangka menyanggah teori yang dikemukakan
oleh Aristoteles, dan eksperimennya tentang bandul dan lain sebagainya dan dengan teropongnya,
astronomi menjadi berkembang pesat. John Locke (1632-1704) dan juga David Hume (1711-1776)
mengatakan bahwa semua gagasan atau ide itu pada hakekatnya berasal dari pengamatan, penginderaan,
pengalaman. David Hume bahkan menandaskan bahwa pengetahuan yang meyakinkan kebenarannya
hanyalah yang berdasarkan pengamatan/penginderaan yakni pengalaman empirik, dan di lain pihak
induksi yang umumnya berupa generalisasi kesimpulan itu tidak dapat dibenarkan secara rasional.
Immanuel Kant (1724-1804) yang semula adalah seorang rasionalis seperti halnya Rene Descartes dan
Baruch Spinoza serta Leibnitz, mengatakan bahwa pengetahuan ilmiah (scientific knowlegde) dapat
diyakini kebenarannya, sedangkan sebaliknya pengetahuan metafisis/a priori tidak meyakinkan
kebenarannya karena kebenaran yang dikemukakan sangat dipengaruhi kondisi mental yang
mengemukakan, namun dapat merupakan abstraksi transendental dari pengetahuan yang sebenarnya.
Demikianlah Kant, di samping seorang empiris, juga menghargai pengetahuan metafisis/a priori sebagai
abtraksi transendental dari realita yang nantinya ternyata mendasari epistemologi kontemporer di abad
20. Jadi boleh dikatakan Kant berada di antara empirisme dan rasionalisme.
Seiring dengan bangkitnya semangat empirisme, rasionalisme juga tumbuh berkembang
dengan dipelopori oleh antara laian Rene Descartes, Baruch Spinoza (1632-1677), G.W. von
Leibnitz (1646-1716) ddan G. W. F. Hegel (1770-1831). Sebenarnya adalah Rene Descartes yang
mencetuskan rasionalisme modern, maksudnya dalam alam filsafat modern. Ia memperkenalkan
metode analitik-matematik selaku bahasa singkat penalaran khususnya dalam fisika.
Mengikuti Rene Descartes, Baruch Spinoza mengembangkan metode deduktif rasional. Di
samping itu ia mengatakan bahwa Tuhan adalah realita yang berketidakterhinggaan, nata sendiri (self
evident), yang tak mungkin dipahami dan diterangkan oleh manusia yang serba berketerhinggaan dan
terbatas dan terkendala itu.
G.W. von Leibnitz kecuali dikenal sebagai ahli matematik yang mencetuskan ilmu kalkulus
bersamaan dengan Isaac Newton (1642-1727) juga dikenal sebagai seorang rasionalis murni.
Menurutnya segala sesuatu di dunia ini adalah rasional, artinya dapat dinalar.
G. W. F. Hegel adalah seorang rasionalis-idealis. Baginya apa pun yang nyata adalah rasional
dan yang rasional adalah nyata.
Demikianlah seolah-olah terjadi polarisasi epistemologi dengan empirisme di satu pihak dan
rasionalisme di lain pihak. Namun keduanya membentuk ide atau gagasan serta tidak dipertentangkan
satu sama lain.

b. Fase Metode Ilmiah


Sejalan dengan doktrin dialektika yang dikemukakan Hegel, yang berupa runtutan thesis-anti
thesis-sintesa, maka thesis yang berupa rasionalisme yang lalu diikuti anti thesis yang berupa
empirisme, akhirnya menimbulkan sintesa yang berupa metode ilmiah yang boleh dikatakan merupakan
konvergensi atau pun pengintegrasian atau pemaduan rasionalisme dan empirisme. Metode ilmiah
pengembangan ilmu pengetahuan yang memadukan kegiatan induksi empirik dengan deduksi rasional
analitik.
Dari pengamatan empirik/penginderaan ditarik kesimpulan secara induktif yang lalu
menghasilkan hipotese yang kebenarannya harus diuji atau diverifikasi secara empirik dengan
mencocokannya dengan hasil pengamatan/eksperimen/pengukuran, yang kalau ternyata cocok yakni
dapat dibenarkan, lalu diangkat menjadi teori. Jadi dalam hal ini sepenuhnya diterapkan paham empirik.
Adapun hipotese yang dikemukakan sebagai kesimpulan induktif dari hasil pengamatan tersebut, pada
umumnya berupa generalisasi kejadian, seperti misalnya dari pengamatan jatuhnya beberapa benda
yang dilemparkan ke atas, dikemukakan hipotese bahwa semua benda yang dilemparkan ke atas akan
jatuh. Meskipun sesudah melalui pengujian secukupnya hipotese pantas diangkat menjadi teori,
kebenaran teori itu tidak pernah mutlakdan hanya sejauh cocok dengan pengamatan yang telah
dilakukan. Kebenaran teori itu yakni kebenaran ilmiah, bersifat sementara, sebelum teramati teramati
adanya kejadian yang bertentangan dengan teori itu, dan juga bersifat metodologis yaitu tergantung
pada metode memverifikasikannya, dan spekulatif dalam arti dicoba-coba. Sewaktu-waktu teori dapat
runtuh, tidak berlaku lagi, karena tidak cocok dengan kenyataan yang teramati kemudian. Kebenaran
ilmiah yaitu yang berdasarkan metode ilmiah demikian tidak mutlak dan tidak pernah abadi.
Selanjutnya dari teori, dijabarkan hipotese baru secara deduktif analitik, yang dalam hal ini
sepenuhnya diterapkan paham rasionalisme menurutkan Rene Descartes dan Baruch Spinoza, namun
tidak seperti Leibnitz dan Hegel, yang mengatakan bahwa realita itu rasional, karena hipotese baru itu
masihharus diuji kebenarannya secara empirik dan hasil pengujian boleh jadi memodifikasi,
menyempurnakan bahkan mungkin mengkoreksi teori yang semula, atau mungkin melahirkan teori
baru. Hasil dapat juga menyanggah kebenaran teori yang tadinya telah diterima. Demikianlah ilmu
pengetahuan akan terus berkembang terus tanpa batas akhirnya.
Metode ilmiah yang digalakkan penerapannya di abad 18 dan 19 itu ternyata membuahkan
pesatnya pengembangan ilmu pengetahuan dan bahkan memunculkan cabang-cabang ilmu pengetahuan
baru dan selanjutnya merebakkan tumbuhnya universitas-universitas di berbagai negara di Eropa.
Produk metode ilmiah inilah yang menjadi tumpuan munculnya peradaban modern di abad 20.
Baik dalam fase empirik-rasional maupun era metode ilmiah, hakekat serta kebenaran ilahi
tetap tidak dapat diuji, bahkan secara metafisis sekalipun, dan kita mencatat pengakuan Baruch Spinoza
bahwa manusia yang serba berhingga itu tidak mungkin memahami ke-Allah-an yang serba tak
berhingga itu.

c. Fase Abstraksi Transendental


Ide atau gagasan yang tak lain merupakan abstraksi transendental dari suatu realita, memang
sudah dikemukakan oleh Immanuel Kant, namun baru disadari makna pentingnya di akhir abad 19
yang diawali dengan dikemukakannya hipotese tentang elektron pada tahun 1897 oleh Lorentz dan
Stoney, dalam rangka menerangkan kenyataan terkuantisasinya muatan listrik menjadi unit-unit muatan
listrik oleh Michael Faraday sebagai kesimpulan induktif eksperimennya tentang elektrolisa pada tahun
1833. Pada waktu dikemukakan hipotese keberadaan zarah lembut pembawa muatan listrik yang lalu
dinamakan elektron dalam konperensi Royal Society of London pada tahun 1874, memang terjadi
perdebatan seru. Elektron selaku materi, ternyata memiliki ukuran bentuk, dan massa atau berat.
Bagaimanakah diperoleh informasi tentang ukuran bentuk dan massa elektron itu? Dengan menganggap
elektron itu sebagai konsentrasi muatan listrik dalam bentuk bola, jari-jari elektron dapat ditentukan
dari massanya yang dapat diperoleh dari pengukuran e/m di mana e adalah muatan listrik 1 unit yakni
1,6 x 10-19 coulomb, dan madalah massa elektron. Tetapi sudah tentu tidak ada jaminan pengukuran
dengan cara lain akan menghasilkan sama. Demikianlah perdebatan itu akhirnya mengarah ke
pemahaman bersama bahwa elektron tidak harus berkeberadaan secara ontologis, melainkan boleh juga
merupakan konsep abstrak untuk menerangkan gejala elektrolisis, yang massanya diperoleh secara
metodologis yakni dengan metode tertentu, tidak dengan secara langsung.
Secara umum kita dapat menyatakan bahwa kebenaran yang lalu kita namakan kebenaran
ilmiah itu, boleh diterima secara metodologis yakni berdasarkanmetode tertentu, serta pragmatis-
fungsional, artinya demi menerangkan suatu gejala secara logis-rasional.
Demikianlah juga dikemukakan hipotese: materi hipotesis yang dinamakan fonon oleh Max
Planck pada tahun 1900 dan foton oleh A. Einstein pada tahun 1905, sebagai abstraksi transendental
dari kuantisasi tenaga.
Dengan memandang foton sebagai materialisasi gelombang elektromagnetik, De Broglie pada
tahun 1923 secara abstraksi transendental, sebaliknya, memandang materi atau partikel yang tengah
bergerak, sebagai gelombang yang menjalar, dalam mekanika gelombangnya.
Dalam semangat abstraksi transendental pulalah Erwin Schrödinger pada tahun 1925
mengemukakan teori mekanika kuantumnya, sebagai kelanjutan mekanika gelombang De Broglie.
Dalam mekanika kuantum keadaan fisis sistem dinyatakan dengan fungsi gelombang dan besaran
fisisnya dinyatakan oleh operator diferensial selaku abstraksi transendentalnya. Kemudian prose
fisikanya diterjemahkan sebagai operasi matematik yang hasilnya dipandang merupakan abstraksi
transendental dari realita yaitu diterjemahkan kembali ke dunia realita. Jadi dalam hal ini diterapkan
metode deduktif-rasional-analitik seperti yang ditekankan Rene Descartes 3 abad yang lalu.
Pada hakekatnya teori relativitas yang dikemukakan oleh Albert Einstein pada tahun 1905 itu,
kecuali menganut metode rasional-analitik, juga secara dramatis mengubah gagasan konsep ruang dan
waktu yang lebih bernuansa ide daripada realita sehari-hari, yang dalam hal ini mengingatkan kita akan
paham atau aliran idealisme dalam epistemologi yang menekankan ide atau gagasan dalam memahami
realita.
Dalam pemikiran Henry Margenau (The Nature of Physical Reality, terbitan MacGrawHill
Book Company 1950), dalam berabstraksi transendental, orang menciptakan konsep-konsep yang ia
namakan construct selaku abstraksi transendental realita, seperti misalnya fungsi gelombang selaku
abstraksi transendental keadaan sistem fisis, dan terhadap construct itu dilakukan manipulasi atau
operasionalisasi matematik, yang hasilnya diinterprestasi atau diterjemahkan ke suatu realita secara
spekulatif, namun rasional, yang berbeda dengan pandangan rasionalisme, rasionalisasi tidak menjamin
kebenaran, dan untuk itu harus diuji secara empirik. Hasil operasionalisasi construct sudah tentu
menghasilkan construct baru yang harus menyatakan atau dapat diterjemahkan ke dalam realita,
meskipun mungkin melalui construct- construct lain yang diperoleh dengan proses operasi matematik-
rasional.
Jadi jelaslah bahwa fungsi matematik sangat sentral dalam proses pengembangan pengetahuan
yang mengandalkan abstraksi transendental. Namun harus disadari bahwa matematik hanyalah alat
menalar logis semata-mata dan sama sekali bukan sumber kebenaran, atau realita (truth) dan sumber
kebenaran itu ada di alam yang harus dicapai secara empirik, meskipun dalam penginderaan empirik
selalu ada ralat atau ketidakpastian.
Dalam abstraksi transendental, penyusunan hipotese dalam penerapan metode ilmiah menjadi
lebih tajam dan efektif. Di samping itu, dengan abstraksi transendental, kita lebih leluasaberpetualang
ide yakni berfantasi di “alam construct” sehingga lebih berpeluang mencapai realita yang lebih luas,
yang berarti lebih efektif dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Karena operasionalisasi abstraksi transendental memerlukan bimbingan intuisi, maka intuisi
yang semula didiskreditkan itu, sekarang menjadi berperan, sedangkan di lain pihak ketajaman intuisi
hanya diperoleh melalui pengayaan empiri. Demikianlah maka dalam abstraksi transendental, kegiatan
penginderaan empirik yakni pengamatan dan pengukuran, sama pentingnya dengan kegiatan pemikiran
rasional.

d. Ilmu, Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan


Yang dimaksud ilmu di sini ialah pemahaman yang diperoleh semata-mata dari kegiatan
deduktif rasional, sedangkan pengetahuan adalah sesuatu yang berasal dari luar diri manusia yang lalu
diketahui dari kegiatan empiri baik secara obyektif maupun secara subyektif. Bebearapa orang antara
lain Sir Arthur Eddington, menyebut ilmu pengetahuan sebagai pengetahuan a priori dan pengetahuan
yang dipahami secara empirik disebut pengetahuan a posteriori.
Ilmu pengetahuan adalah ilmu yang berdasarkan pengolahan pengetahuan ataupun pengetahuan
yang ilmiah. Tidak semua ilmu adalah ilmu pengetahuan. Ilmu yang non pengetahuan misalnya:
matematika, kebatinan, bela diri.
Sebaliknya tidak semua pengetahuan adalah ilmiah dan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan
yang ilmiah yakni yang berkembang berdasarkan metode ilmiah. Pengetahuan yang non ilmiah ialah
intuisi dan wahyu ilahi (ke-Tuhan-an).
Dari sudut bobot kebenaran, intuisi adalah pengetahuan yang belum dijamin kebenarannya,
sedangkan wahyuilahi adalah satu-satunya kebenaran yang mutlak bagi yang meyakininya serta tidak
memerlukan pembuktian secara empirik maupun secara ilmiah. Adapu kebenaran ilmu pengetahuan
adalah kebenaran ilmiah yang harus diuji dengan metode ilmiah. Jadi kebenaran ilmu pengetahuan itu
bersifat sementara, relatif, metodologis, fungsional, pragmatis, epistemologis.
Kita kelompokkan ilmu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan alamiah, yakni yang berkaitan
dengan alam materi, dan ilmu pengetahuan sosial, yakni yang berkaitan dengan kehidupan sosial
manusia.
Ilmu pengetahuan juga dibedakan antara ilmu pengetahuan murni, yang berkembang semata-
mata berdasarkan kegairahan ingin tahu, dan ilmu pengetahuan terapan yang berkembang berdasarkan
kebutuhan manjusia seperti misalnya demi kesejahteraan manusia.
Bagan berikut ini menjelaskan sistematika ilmu, pengetahuan dan ilmu pengetahuan.

PENGETAHUAN ILMU PENGETAHUAN

ILMU

NON PENGETAHUAN , misalnya matematika, kebatinan, bela diri

ILMIAH ILMU PENGETAHUAN

PENGETAHUAN

NON ILMIAH : intuisi dan wahyu ilahi

ILMU PENGETAHUAN

ALAMIAH SOSIAL
MURNI TERAPAN MURNI TERAPAN
Fisika Kedokteran Antropologi Ekonomi
Kimia Teknik Sejarah Politik
Biologi Farmasi Sosiologi Sosiatri
Astronomi Pertanian Linguistik Jurnalistik
Geologi Pertambangan Psikologi Psikiatri
dll dll

Dalam perkembangannya, tidak hanya sukar membuat batas yang jelas melainkan bahkan terjadi
tumpang tindih tidak hanya antara yang murni dengan yang terapan, tetapi juga antara masing-masing
cabang ilmu pengetahuan sehingga misalnya timbul geofisika, kimia fisika, biokimia, astrofisika dan
lain sebagainya.
Metodologi penelitian yaitu operasionalisasi metode ilmiah, dalam fisika modern mengubah visi
kejadian alam dari deterministik yang berlandaskan sebab-akibat (cause and effect) ke ketidakpastian
(uncertainty), dari proses mekanistik ke transisi keadaan, dari kemutlakan ke kenisbian.
III. METODOLOGI PENELITIAN

1. Pendahuluan
Penelitian ilmiah tak lain ialah kegiatan ilmiah yang bermotifkan kegairahan ingin tahu dengan
menerapkan metode ilmiah yaitu runtutan kegiatan deduktif analitik-empiri verifikatif-induksi empirik,
dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan secara inovatif dan kreatif.
Sedangkan metodologi penelitian yang dimaksud adalah fungsionalisasi dan operasionalisasi
metode ilmiah secara optimal.

2. Berbagai Corak Penelitian


Secara umum boleh dikatakan ada 3 macam corak penelitian, yaitu:

a. Eksploratif
Penelitian yang dilaksanakan tanpa perencanaan yang sistematik, tanpa arah dan tujuan yang
jelas, atau boleh dikatakan bersifat petualangan, yang semata-mata dimotivasi oleh kegairahan ingin
tahu. Tetapi kemudian dalam rangka menarik kesimpulan secara induktif, maupun dalam rangka
verifikasi hipotese, tidak jarang petualangan ilmiah itu menjadi semakin tersistematisasi dan terarah.
Kerapkali penelitian yang bercorak eksploratif ini, yang karena kebebasannya dari beban
tujuan, menghasilkan banyak penemuan baru sertamembuka cakrawala baru dalam ilmu pengetahuan.

b. Verifikatif
Penelitian yang bertujuan meng-kaji/menguji kebenaran hipotese/teori, sehingga dengan
demikian tentunya terprogram, terarah serta tidak ada banyak peluang akan penemuan baru, meskipun
kadang-kadang dapat ditemui tantangan yang mendorong pengembangan/penemuan baru.

c. Objective Oriented
Penelitian yang karena berorientasi pada tujuan yang kongkrit, maka akan terarah, terprogram
secara sistematik, sehingga kurang sekali memberi peluang petualangan ilmiah.
Penelitian semacam ini banyak dilakukan di industri-industri dan lembaga-lembaga penelitian
yang praktis/teknis.

Ketiga corak penelitian di atas tidaklah terpilah-pilahkan sama lain secara tegas. Penelitian
eksploratif dapay juga berkembang atau mungkin dilengkapi dengan penelitian verifikatif maupun
objective oriented dan sebaliknya.

3. Berbagai Motif Penelitian


Beberapa motif penelitian yang lazim dijumpai antara lain:
a. Pengembangan dan Peningkatan Kualitas Produksi
Yang umumnya lebih bercorak objective oriented serta dilakukan di berbagai
industri. Namun demikian, penelitian demikian sering kali berkembang menjadi
eksploratif dan menghasilkan penemuan baru yang inovatif.

b. Pengembangan Ilmu Semata-mata


Yang boleh dikatakan berupa penelitian murni serta bercorak eksploratif,
meskipun bukannya tanpa arah sama-sekali. Penelitian bermotifkan demikian layak
dilakukan di perguruan-perguruan tinggi dan di lembaga-lembaga penelitian murni.

c. Pendidikan
Yang dilaksanakan dalam rangka pelatihan, pemahaman dan penghayatan metode
ilmiah kepada mahasiswa di semua jenjang pendidikan termasuk program doktor. Dalam
hal ini, bagi jenjang S1, sebaiknya bercorak verifikatif dan lebih mengutamakan
pergumulan ilmiah dan tidak perlu mementingkan obyektif/tujuan maupun hasil
penelitiannya, sedangkan bagi jenjang S2 hendaknya sudah lebih objective oriented
dengan hasil penelitian yang terandalkan. Ada pun bagi jenjang S3, sudah dituntut
diperolehnya penemuan baru yang fundamental yang bukan semata-mata inovasi teknis,
sehingga corak penelitiannya lebih eksploratif dan verifikatif daripada objective oriented
, namun tidak berarti tanpa arah dan tujuan yang jelas.

4. Usulan Penelitian
Kiranya dapat dibedakan 2 jenis usulan penelitian berdasarkan kepada siapa penelitian
diusulkan dan apa motifnya.

a. Penelitian Proyek
Di sini penelitian merupakan kegiatan proyek yang bercorak objective oriented sepenuhnya
dengan alokasi dana yang tertentu.
Usulan peneltian untuk penelitian proyek harus memberi kesan dijamin tercapainya tujuan,
terandalnya pelaku peneliti dan efisien dan efektifnya pengelolaan dana yang tersedia. Dengan
demikian dalam usulan harus tercantum tujuan dan hipotese yang kongkrit, program/tahapan waktu
yang realistis, serta perincian anggaran belanja yang rasional.

b. Penelitian Murni
Peneltian murni yaitu yang semata-mata dalam rangka pengembangan ilmu serta diharapkan
adanya penemuan-penemuan baru seperti misalnya dalam rangka program doktor. Untuk itu usulan
penelitiannya harus mencerminkan kesiapan ilmiah dengan pembahasan studi pustaka serta peng-kajian
landasan teori secara meluas dan mendalam dengan mengemukakan hipotese-hipotese yang diharapkan
membuka cakrawala baru. Usulan penelitian untuk ini tidak memerlukan perincian anggaran,
sedangkan program/tahapan waktunya, meskipun perlu diberikan, tidak perlu ketat dan begitu pula
metodologinya harus fleksibel sehingga memungkinkan pengembangan secara kreatif-inovatif.
Baik bagi yang penelitian proyek maupun bagi yang peneltitian murni, format usulannya
setidak-tidaknya mengandung urut-urutan: Pendahuluan, Studi Pustaka, Metodologi, Tahapan
Penelitian, dan perincian anggaran belanja bagi penelitian proyek.
Di samping itu untuk menilai kredibilitaas peneliti, seringkali diperlukan lampiran curriculum
vitae peneliti.
5. Tahapan Proses Penelitian
a. Persiapan
1. Identifikasi
Identifikasi tujuan, masalah, motif dan kendalanya kalau ada. Suatu contoh misalnya tujuan
peneplitiannya adalah menyelidiki faktor meteorologis yang mempengaruhi pengemdapan denu udara.
Yang menjadi masalah misalnya menentukan dan memilih faktor meteorologis yang kiranya akan
berpengaruh terhadap pengendapan debu, serta perbedaan pengaruh itu terhadap berbagai ukran
besarnya debu, sedangkan motifnya ialah dalam rangka memantau penyebaran polusi udara dan
kendalanya adalah penelitian itu tidak dapat dilakukan di musim hujan.
2. Studi Pustaka
Di samping untuk menghimpun teori-teori yang melandasi penelitian, studi pustaka baik dari
buku-buku maupun dari majalah-majalah ilmiah harus terlebih dahulu dilakukan untuk menelusuri
seberapa jauh penelitian semacam sudah dilakukan orang maupun dalam rangka menentukan
metodologinya. Studi pustaka memang tidak hanya dilakukan pada tahap persiapan, melainkan dari
waktu ke waktu menurut kebutuhan, antara lain untuk pembandingan dan uji silang hasilnya dengan
hasil yang telah diperoleh orang sebelumnya. Termasuk dalam tahap studi pustaka ialah
pengajuan/penyusunan hipotese secara deduktif analitik dari pembahasan teori-teori yang sudah andal.
3. Perencanaan Metodologi
Setelah ada ketegasan tujuan, masalah, motif, serta cukup dibekali informasi teori dan metode
yang berkaitan dengan penelitian, direncanakanlah metode dan langkah-langkah taktis sistematis dalam
pelaksanaan eksperimennya.
4. Penyiapan Fasilitas
Sudah tentu sebelum pelaksanaan teknis penelitian dilakukan, alat-alat pokok maupun alat-
alat penunjang disiapkan terlebih dahulu dan agar demi kelancaran eksperimen, kecuali alat-alatnya
telah diuji kerjanya, juga sebaiknya disediakan alat-alat untuk cadangan ataupun pengganti kalau terjadi
kerusakan mendadak.

b. Penjajagan dan Uji Coba


Sebelum data resmi diambil, eksperimen selaku penjajagan maupun uji coba keterandalan
metodenya perlu terlebih dahulu dilakukan. Kecuali itu eksperimen penjajagan juga diperlukan untuk
mendapatkan gambaran hasilnya serta skenario eksperimennhya.
Kerap kali metode eksperimen perlu dimodifikasi, diperbaiki, dan disempurnakan/dimantapkan
berdasarkan hasil eksperimen penjajagan tersebut.

c. Pengumpulan Data
Data pengukuran biasanya berupa variasi besaran-besaran tertentu terhadap variasi variabel-
variabel yang terkait atau dipilih yang seyogyanya ditulis dalam bentuk tabel-tabel.
Di samping data hasil-hasil ukur harus dicatat pula segala sesuatu yang mungkin perlu
dipertimbangkan ataupun diperhitungkan sewaktu dilakukan analisa data dan pembahasan.
Demi meyakinkan ke-terpercayaan-nya dan konsistensinya atau reprodusibilitas data,
pengumpulan data perlu dilakukan berulang, tidak hanya sekali saja.
d. Analisa Data
Di samping perhitungan besaran dengan menerapkan metode statistik, analisa data mencakup
juga visualisasi data variasi suatu besaran terhadap variabel-variabel terkait dalam bentuk grafik.
Kecuali itu, di samping perhitungan taksiran ke-tidakpasti-an atau ke-tidakteliti-an pengukuran
harus diidentifikasi pula faktor-faktor yang mempengaruhi ke-tepat-an atau ke-cermat-an hasil ukur.

e. Pembahasan
Pembahasan boleh dikatakan merupakan bagian yang sentral dari keseluruhan proses
penelitian, sebab berhasil tidaknya penelitian serta kualitas ilmiah dan keterandalan penelitian akan
tercermin pada pembahasannya. Pembahasan bukan hanya menarik kesimpulan secara induktif dan
hanya berupa presentasi hasilnya beserta beserta keterandalan pengukurannya, melainkan juga
mencakup ulasan ilmiah yang mendalam serta mengisyaratkan prospek pengembangan dan kelanjutan
penelitian, di samping saran-saran lain.

f. Penyusunan Laporan
Laporan penelitian adalah suatu karya tulis ilmiah, sehingga harus memenuhi syarat-syarat
ringkas, padat, jelas, komprehensif dan analitik serta tidak mengandung basa-basi maupun ungkapan-
ungkapan emosional/sentimental yang non ilmiah itu, namun tidak meninggalkan etika ilmiah yaitu
misalnya dengan menyebut nara sumber dan referensi serta ucapan terima kasih kepada semua yang
terlibat dan menentukan keberhasilan penelitiannya.
Kecuali itu, demi etika, sebutan “saya” hendaknya diganti dengan sebutan “kita”, mengingat
penelitian itu selalu melibatkan sejumlah orang secara kooperatif.
Laporan penelitian harus disusun secara runtut atau sistematis menurutkan kelaziman
meskipun tidak harus terikat oleh kaidah-kaidah tertentu. Dalam hal ini hendaknya dibedakan berbagai-
bagai format karya tulis yaitu internal/technical report, makalah untuk diterbitkan di majalah ilmiah,
makalah untuk seminar/konferensi ilmiah, tesis/disertasi dan lain sebagainya.
Meskipun demikian secara umum dapat dikatakan ada pola umum urutan bab-babnya yakni
dimulai dengan bab Pendahuluan yang memuat tujuan, motif, kronologi penelitian yang telah
mendahuluinya, yang pada dasarnya merupakan introduksi atau perkenalan akan seluk-beluk
penelitiannya. Setelah bab ini, bab berikutnya adalah bab teori, mengemukakan latar belakang teori
yang diikuti dengan pengajuan hipotese secara deduktif-analitik, yang disusul oleh bab metodologi yang
menguraikan metodenya, jenis alat-alatnya, cara analisanya, yang lalu diteruskan dengan bab
eksperimen yang memuat data lengkap beserta analisanya, serta bab pembahasan. Adapun sebagai
penutupnya ialah ucapan terima kasih dan daftar pustaka yang disusun secara alfabetis.
Untuk makalah yang hendak diterbitkan di majalah ilmiah ataupun disajikan dalam
seminar/simposium/konferensi, sebelum bab pendahuluan, tepat di bawah judul, dituliskan abstrak atau
intisari yang secara amat singkat memuat garis besar tujuan dan metodologi serta hasil penelitian,
dengan kalimat-kalimat yang dibuat pasif.
Untuk tesis dan disertasi, di samping abstrak, kerapkali dibutuhkan ikhtisar atau ringkasan
yang dibukukan terpisah yang secara mudah memberikan gambaran menyeluruh dan komprehensif dari
isi tesis atau disertasi, yang nantinya dipakai oleh dewan penguji atau penilai.
Penelitian khusus yang melengkapi ataupun merupakan bagian dari keseluruhan penelitian
terprogram, dilaporkan sebagai “internal report” atau “technical report” yang tidak dipublikasi resmi,
dengan format yang tidak formal, singkat, lebih spesifik dan lebih detail, yang meskipun tidak
mengandung uraian teoretis dan pembahasan yang komprehensif, pembahasannya harus detail dan
mendalam.
Resume
Penelitian Ilmiah tak lain adalah kegiatan ilmiah yang bermotifkan kegairahan ingin tahu
dengan menerapkan metode ilmiah yaitu runtutan kegiatan deduktif analitik - empiri verifikatif –
induksi empirik, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan secara inovatif dan kreatif.
Sedangkan metodologi penelitian yang dimaksud adalah fungsionalisasi dan operasionalisasi
metdoe ilmiah secara optimal.

IV. PERTEMUAN ILMIAH DAN KARYA TULIS ILMIAH


Pertemuan ilmiah adalah suatu sarasehan yang membahas masalah ilmiah secara ilmiah atau
pun tukar informasi ilmiah atau pun mengambil kesepakatan ilmiah.

1. Motivasi
Ada pun yang mendorong atau menyemangati diadakannya pertemuan ilmiah adalah kesadaran
bahwa ilmuwan tidak akan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam kesendiriannya dan
memerlukan komunikasi dengan ilmuwan lain dalam rangka:

a. Saling tukar informasi dalam semangat asah-asih-asuh, yakni saling belajar membelajarkan.

b. Mengembangkan ilmu pengetahuan secara bersama dalam semangat gotong-royong,


saling memberi dan menerima, serta saling menguntungkan.

2. Jenis-jenis Forum
Pelaksanaan pertemuan ilmiah pada umumnya dikendalikan dan didasari presentasi atau
penyajian makalah, dan forum pertemuan ilmiah itu dapat dibeda-bedakan sebagai:

c. Seminar
Di dalam seminar ada tema, arah, tujuan, dan diskusi di samping tanya jawab

d. Simposium
Simposium berbeda dengan seminar hanya dalam hal lebih bebasnya kandungan materi, yakni
tanpa tema, tanpa arah dan tujuan, sedangkan suasana diskusi dan tanya jawabnya sama dengan yang
ada dalam seminar.

e. Konperensi
Konperensi berbeda dengan seminar maupun simposium dalam hal sifat ke-lokakaryaan-nya,
di mana ada kesimpulan dan rangkuman dari diskusi dan tanya jawab. Seperti halnya seminar,
konperensi juga bersifat tematis, memiliki arah dan tujuan, serta menghasilkan penyelesaian masalah
atau pun kesepakatan ilmiah, sejalan dengan tujuannya dan direncanakan dengan cermat.

f. Konggres
Konggres tak lain adalah konperensi yang diperluas forumnya maupun cakupan materinya.
Klau konperensi itu lebih mirip seminar, maka konggres lebih mirip simposium dalam hal kelonggaran
temanya di samping keluasan cakupan materinya, dan seperti halnya konperensi, dalam konggres
dihasilkan berbagai penyelesaian masalah dan diambil kesepakatan ilmiah serta kesimpulan kongklusif-
komprehensif.
3. Karya Tulis Ilmiah
Kita bedakan karya tulis ilmiah sebgai:

g. Makalah
Makalah dibeda-bedakan sebgai: makalah untuk dipresentasikan di berbagai pertemuan ilmiah,
makalah untuk dimuat dalam jurnal yakni majalah ilmiah, dan makalah untuk komunikasi di kalangan
terbatas seperti misalnya sebagai progres report dan technical report di lembaga penelitian.

h. Laporan Penelitian
Laporan penelitian berupa uraian dan pembahasan hasil penelitian sebagai pertanggungjawaban
ilmiah kepada pemberi tugas atau yang mensponsori atau memprakarsai atau membiayai, dan tidak
memuat hal-hal yang bersifst administratif dan keuangan sama-sekali.

i. Skripsi/Thesis/Disertasi
Skripsi, thesis, disertasi hanya dilaksanakan oleh mahasiswa, yang merupakan uraian dan
pembahasan dari hasil penelitian seperti halnya dalam laporan penelitian, tetapi berbeda sedikit dari
laporan penelitian dalam hal lebih ditekankannya kegiatan deduktif analitik dan induktif verifikatif
yakni penghayatan dan pendalaman metode ilmiah, dan bukan hasilnya yang diutamakan.
Skripsi adlah yang paling singkat di antara yang lain, dan kerapkali hanya merupakan
rangkuman atau singkatan dari studi pustaka, namun pembahasannya memang harus memiliki bobot
ilmiah yaitu analitik, meskipun tidak harus merupakan hasil penelitian. Sedangkan tesis harus diangkat
dari penelitian dan sepenuhnya mencerminkan penerapan dan pendalaman metode ilmiah. Skripsi dan
tesis umumnya merupakan salah satu syarat kelulusan bagi mahasiswa S 1 dan S2, di mana yang
mahasiswa S2 harus lebih berbobot ilmiah antara lain harus ada inovasi atau bahkan penemuan baru.
Di lain pihak, disertasi adalah karya tulis untuk program doktor yang di samping mencerminkan
penguasaan metode ilmiah juga harus ekstensif yakni mencakup wawasan keilmuan yang luas, dan
intensif yaitu dengan pembahasan yang mendalam. Kecuali itu, harus memperlihatkan karya ilmiah
yang orisinil atau asli, serta ada penemuan baru yang fundamental, bukan sekedar inovasi teknis.
Berbeda dengan karya tulis lainnya, karya tulis ilmiah harus ringkas, padat tetapi utuh,
sistematik, tidak berbasa-basi, langsung pada esensinya, tidak puitis melainkan jelas dan tegas
maknanya dan mudah dipahami, meskipun mendasar dan mendalam uraiannya.
Format redaksional karya tulis memang tergantung jenisnya, namun pada dasarnya, secara
umum dapat dibagi atasbagian pembukaan, bagian utama dan bagian penutup.
Termasuk bagian pembukaan ialah, abstrak, pengantar, pendahuluan, studi pustaka atau
pelacakan pustaka, dan perumusan masalah.
Bagian inti atau pokok atau utama akan memuat tujuan, metodologi, presentasi dan analisa data,
dan pembahasan induktif. Sudah tentu tidak semua jenis karya tulis harus memuat semuanya itu.
Bagian penutup atau bagian akhir karya tulis akan berisi kesimpulan, usul dan saran, serta
perumusan hasil menyeluruh, ucapan terimakasih dan ungkapan penghargaan kepada semua yang
terlibat dan atas jasa pribadi yang langsung maupun tak langung ikut menentukan prestasi, daftar
pustaka, dan lampiran-lampiran seperlunya.
Format redaksional di atas hanyalah pada garis besarnya dan itupun tidak sepenuhnya harus
berlaku untuk semua jenis karya tulis. Detail redaksionalnya sudah tentu amat ditentukan oleh jenisnya.
Yang untuk makalah yang hendak diterbitkan di majalah ilmiah, format redaksionalnya harus mengikuti
ketentuan dari penerbit majalahnya.
Sebagai etika normatif penulisan karya ilmiah, sebutan saya, apalagi aku, bahkan kami, tidak
dipakai dan diganti kita, mengingat setiap karya ilmiah itudihasilkan dengan melibatkan hasil karya
banyak orang.
Sebenarnya materi karya tulis itu diawali dengan Pendahuluan, sehingga kerapkali Pendahuluan
itu merupakan Bab I, apalagi kalau bagian Pengantar-nya ditiadakan atau dipadukan dengan bagian
Pendahuluan-nya. Kalau bagian Pengantar diadakan, maka Pengantar dibedakan dari Pendahuluan
dalam hala Pengantar itu mengantarkan pembaca memasuki materi pokok sehingga antara lain
mengemukakan alasan penulisan, tujuan, dan sistematika atau kerangka penulisan, dan kadang-kadang
memuat memuat ucapan terima kasih, tetapi lazimnya ucapan terimakasih disampaikan di bab akhir. Di
lainpihak, Pendahuluan menyiapkan pembaca untuk memahami esensi materi pokok. Dengan kata lain,
Pengantar lebih menyangkut aspek redaksional, sedangkan Pendahuluan lebih menyangkut aspek
ilmiah.
Sebelum Pengantar , lazim disajikan Abstrak atau intisari yang berisi garis besar esensi materi
pokok secara amat singkat. Dalam Abstrak kata kerjanya selalu pasif, yakni diawali dengan “ di- “
bukannya aktif yakni yang diawali dengan “ me-“.
Untuk skripsi, tesis, disertasi dan kadang-kadang juga untuk makalah, disajikan pula Daftar Isi
setelah Pengantar sebelum Pendahuluan. Pengantar dituliskan setelah Abstrak dan nomor halam 1 utnuk
bagian Pendahuluan, sedangkan nomor-nomor halaman sebelumnya yaitu yang memuat Judul, Abstrak,
Pengantar, Daftar Isi dituliskan dengan huruf Romawi kecil: i, ii, iii, iv,….
Untuk makalah yang hendak diterbitkan di majalah ilmiah maupun yang hendak
dipresentasikan di seminar, Daftar Isi tidak perlu ada dan angka huruf Romawi tidak dipakai sehingga
urutannya adalah langsung: Judul, Penulis, Abstrak, Pengantar, Pendahuluan atau tanpa Pengantar,
materi pokok, Penutup, dengan nomor halaman seluruhnya dengan angka hruf Arab 1,2,3…
Adapun isi bagian materi pokoknya, amat bervariasi, kecuali bergantung jenis karya tulisnya
juga tergantung esensi materinya. Namun bagaimanapun tentu memuat penyajian fakta/data, serta
pembahasan yang diikuti penarikan kesimpulan secara induktif.
Bagian penutup akan diawali dengan penarikan kesimpulan secara komprehensif atau
menyeluruh sebagai kelanjutan yang dipaparkan di bagian materi pokok, dan diakhiri dengan ucapan
terima kasih serta Daftar Pustaka. Daftar Pustaka akan merupakan bab tersendiri dan terakhir. Kerap
kali ucapan terima kasih juga merupakan bab tersendiri sebelum bab Daftar Pustaka.
Adapun gambar dan tabel kerap kali terintegrasikan ke dalam materi pokok, namun kadang-
kadang dipandang sebaiknya sebagai lampiran saja, yang disajikan di bagian akhir dari bagian Penutup.
Kalau pemberian nomor gambar dibubuhkan di bawah gambar dengan angka huruf Arab, maka
pemberian nomor tabel dibubuhkan di atas tabel dengan angka huruf Romawi besar. Di bawah nomor
gambar dibubuhkan keterangan gambar dan begitu pula di bawah nomor tabel dituliskan keterangan
tabel.
V. LAMPIRAN

4. Lampiran 1

5. KRONOLOGI PERADABAN DAN KEFILSAFATAN ILMU PENGETAHUAN

6. Lampiran 2

7. PROSES BERPENGETAHUAN
j. Motivasi

k. Jenis-jenis Forum

1. Karya Tulis Ilmiah

Anda mungkin juga menyukai