Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“NEGARA DAN PENGAWASAN ETIKA”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis Islam

Dosen Pengampu :

Said Abdi. Lc., M.A.

Disusun Oleh :

Navila Chandradewi Maharani (401200259)

Rani Aprillianti (401200274)

KELAS EKONOMI SYARIAH I

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI BISNIS DAN ISLAM

IAIN PONOROGO

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penyusun ucapkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karuniaNya, penyusun dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah
mata kuliah “Etika Bisnis Islam” tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam
tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak di
hari akhir.

Makalah “Negara dan Pengawasan Etika” disusun untuk memenuhi tugas


Bapak Said Abdi, Lc., M.A. pada mata kuliah “Etika Bisnis Islam”. Selain itu,
penyusun juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca tentang Negara dan Pengawasan Etika. Penyusun mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Said Abdi, Lc., M.A. selaku dosen mata
kuliah “Etika Bisnis Islam”.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan makalah ini. Penyusun menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan penyusun terima demi kesempurnaan makalah ini.

Madiun, 29 September 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menyimak pemikiran Socrates (399 S.M), Plato (427-347 S.M),


Aristoteles (384-322 S.M) dan Cicero (106-43 S.M), yang menyorot
ketidakpiawaian seorang pemimpin dalam menjalankan mandat publik adalah
suatu pelanggaran. Dianatara indikasi ketidakpiawaian penyelenggara negara
merupakan penyalahgunaan kekuasaan, misalnya melanggar hukum dan
mengabaikan etika. Plato berpendapat bahwasannya pemerintah yang baik ialah
pemerintah yang pratiknya dilandasi oleh hukum. Sedangkan pandangan Cicero
menggariskan bahwa pemerintah yang baik adalah pemerintah yang
memperhatikan civil society, karena civil sociaty merupakan salah satu menifestasi
dari etika politik, dan etika politik itu sendiri berasal dari berbagai literatur yang
didukung oleh dua unsur, antara lain atas agama dan living law.

Perkembangan zaman mempengaruhi manusia untuk berfikir lebih modern


dalam membentuk sebuah perangkat hukun yang kuat, hal ini dibuktikan dengan
adanya perdebatan secara periodik yang melibatkan beberapa filosof kenamaan,
antara lain, Thomas Aquinas (1226-1274 M), Thomas Hobbes (1588-1679 M),
John Locke (1632-1704 M), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M).
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pentingnya Pengawasan

Pengawasan merupakan proses dalam memastikan bahwa segala


program yang terlaksana sesuai dengan apa yang terlah direncanakan.
Pengawasan negara sangat diperlukan untuk menjaga agar kegiatan
bernegara berjalan sesuai dengan perencanaa dan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Selain itu untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan
pemerintah yang bersih dari tindakan-tindakan yang tidak diinginkan,
pengawasan juga sangat diperlukan.
Pengawasan terhadap penyelenggara pemerintahan dapat dilakukan
melalui pengawasan secara dalam, pengawasan masyarakat, dan
pengawasan secara fungsional.
Pengawasan dalam merupakan pengawasan yang diwujudkan dalam
berbagai upaya yang terjalin dalam tata laksana kegiatan yang dilakukan
organisasi. Pengawasan masyarakat merupakan pengawasan yang
dilakukan oleh publik dalam bentuk evaluasi yang dilakukan oleh lemaga
perwakilan rakyat, lembaga swadaya masyarakat, juga organisasi non
pemerintah. Pengawasan fungsional merupakan pengawasan yang
dilakukan oleh lembaga/aparat pengawasan yang telah dipilih secara
khusus untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara khusus terhadap
objek yang telah diawasi.

B. Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan ialah untuk memberikan nilai, analisis,
merekomendasikan, dan menyampaikan hasil laporan atau surat yang
berhubungan dengan bidan pekerjaan sebuah lembaga atau organisasi yang
telah diteliti. Pengawasan juga berfungsi untuk menetapkan apakah telah
terjadi suatu penyimpangan dalam sebuah pekerjaan, serta untuk
mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa
semua sumber daya telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna
mencapai tujuan dari proyek tersebut. Berikut poin-poin fungsi dari
pengawasan :
1. Sebagai penilai apakah setiap unit-unit telah melaksanakan
kebijaksanaan dan prosedur yang menjadi tanggung jawab
masingmasing
2. Sebagai penilai apakah surat-surat atau laporan yang didapat sudah
menggambarkan kegiatan-kegiatan yang sebenarnya secara tepat dan
cermat.
3. Sebagai peniliti apakah kegiatan terlah dilaksanakan secara efisien.
4. Sebagai penilai apakah pengendalian manajemen sudah cukup
memadai dan dilakukan secara efektif.
C. Batas-Batas Intervensi Negara Terhadap Bisnis
Tujuan intervensi negara dalam perekonomian melalui kebijakan publik
Islam adalah keterjaminan pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga
negara. Upaya itu dilakukan dengan mendorong individu agar dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan
kemampuan yang mereka miliki.
Pada batas-batas tertentu campur tangan pemerintah merupakan hal yang
normal dibanyak negara. Hal ini bahkan terjadi di Amerika Serikat dan
negara-negara industri dengan tatanan pasar kompetitif sangat jelas.
Bidang- bidang ekonomi bisnis yang dapat diintervensi oleh negara :
1. Regulasi jual beli barang yang diharamkan seperti miras, alat-alat
berbahaya, media cetak yang merusak agama dan etika. Ibn Taimiyah
menjelaskan bahwa yang masuk dalam wilayah ini adalah segala
bentuk kemurkaan terhadap Allah dan Rasulnya termasuk didalamnya
transaksi riba dan judi.
2. Regulasi yang melarang peredaran bahan makanan dan minuman, serta
makanan dan minuman yang membahayakan kesehatan umum.
3. Regulasi semua bentuk dan jenis manipulasi dalam aktifitas ekonomi
4. Regulasi terhadap penyimpangan pemanfaatan kekayaan milik umum
Ide Pengawasan

Djazuli menuliskan dalam buku fiqh siyasah secara lengkap bahwa prinsip kontrol
sosial yang substansinya meliputi pelaksanaan sikap saling memberi kontribusi,
sumbangsih dengan kebenaran dan kesabaran, tujuan kontrol sosial itu pada
dasarnya ada tiga arah, yakni; 1). Pengawasan karena Allah, dengan menaati
aturan hukum dan aturan moralnya, yang praktisnya pengawasan dari diri sendiri;
2). Pengawasan dari masyarakat; 3). Pengawasan dari pemerintah. Dalam literatur
Piagam Madinah ada 5 karakter tentang nilai-nilai keluhuran manusia, yakni
persamaan di muka hukum dan kebebasan berpendapat. Prinsip ini tidak
dinyatakan oleh teks Piagam secara eksplisit. Prinsip ini dipahami dari pasal 37
yang menyatakan: " dan bahwa di antara mereka saling memberi saran dan nasihat
yang baik dan berbuat kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa. Dua ketetapan ini
mengisyaratkan adanya jaminan kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat
bagi penduduk Madinah. Prinsip tersebut menunjukkan keberadaan rakyat dan
pemerintah sederajat kedudukannya di muka hukum yakni tidak adanya unsur
yang semena-mena atau kebal aturan dan bebas kontrol dalam menjalankan tugas
negara dan adanya saling mengingatkan bila terjadi sesuatu yang berlawanan
dengan tatanan, kegiatan interaksi ini juga termasuk sebagian dari implementasi
maqasid al-syari’ah dengan ushul al-khamsah-nya. Berdasarkan maqasid
alsyari’ah sebagai salah satu prinsip hukum Islam, maka lahirlah konsep nilai
luhur manusia yang mengajarkan proses interaksi antara rakyat dan pemerintah,
yakni hubungan normal, tidak ada yang dirugikan, baik secara materiil ataupun
spiritual.
Kemurnian konsep maqasid al-syari’ah yang bermuara pada moralitas dan muatan
kode etik terhadap perkembangan keanekaragaman hukum, anjuran pola hidup
tanpa melakukan kesalahan yang merugikan orang lain ini sudah ada pada era
Muhammad SAW dengan berbagai bukti yang ada dalam sejarah hukum Islam
sebagai antisipasi dari kelompok- kelompok penguasa yang tiran.
Peraturanperaturan yang mendahulukan etika sebagai dasar dalam menjalankan
tugas negara juga diterapkan pada lingkungan organisasi-organisasi masyarakat
(Ormas) yang memiliki Anggaran atau Pedoman Dasar dan Pedoman organisasi.
Namun, terkadang kondisi itu belum dilengkapi dengan adanya perangkat yang
tepat serta sistem pengelolaan yang baik, sehingga keberadaannya tidak
mempunyai pengaruh atau bahkan tidak berfungsi sama sekali. Untuk menunjang
proses penyelenggaraan negara berlangsung tertib dan teratur, maka gagasan
pembentukan lembaga independen yang mengawasi kinerja wakil rakyat, baik
berbentuk dewan atau badan tidak dapat ditunda-tunda lagi, karena sebagai
tuntutan demokrasi dan modernisasi hukum yang dinamis guna terciptanya
pemerintahan yang mendidik masyarakat sebagai manusia beradab dan beretika.
Era reformasi (1998) merupakan awal dari terciptanya tatanan baru yang
demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam internal DPR-RI
ada sebuah alat kelengkapan yang sifatnya tidak tetap yakni Dewan Kehormatan,
kemudian alat kelengkapan Parlemen ini disempurnakan dan dalam sejarahnya,
badan ini ditetapkan dengan Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2009 Tentang
MPR, DPR-RI, DPD dan DPRD

Kondisi Etika Penyelenggaraan Negara di Indonesia

Dimasa ini penyelenggaraan negara masih dihadapkan pada kondisi yang belum
sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh
ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi
luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Sementara itu,
tatanan baru masyarakat Indonesia dihadapkan pada harapan dan tantangan global
yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi,
transportasi, investasi, dan perdagangan. Kondisi dan perubahan cepat yang
diikuti pergeseran nilai tersebut perlu disikapi secara bijak melalui langkah
kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek
pembangunan untuk membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan
tujuan pembangunan nasional. Untuk itu, diperlukan konsepsi sistem
penyelenggaraan negara yang berisi nilai, persepsi, dan acuan perilaku yang
mampu mewujudkan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat diterapkan
sehingga masyarakat memperoleh penyelenggaraan negara sesuai dengan harapan
dan citacita tujuan nasional. Hak, Kewajiban, Tanggung jawab, dan Larangan
Penyelenggara Negara Pada awalnya negara merupakan suatu entitas yang
didirikan berdasarkan perjanjian antar masyarakat calon warga negara tersebut.
Tiap orang yang ada dalam masyarakat tersebut bersepakat untuk hidup dalam
wadah negara yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama
sebagai warga negara. Untuk menyelenggarakan operasionalisasi penyelenggaraan
negara maka sebagian dari warga negara tersebut dipilih untuk melakukan tugas
sebagai penyelenggara negara. Masing-masing antara warga negara dan
penyelenggara tersebut secara umum memiliki hak dan kewajiban yang bertimbal
balik. Sebagai warga negara berhak mendapatkan pelayanan dari penyelenggara
negara dan wajib untuk mematuhi atau tunduk kepada peraturan-peraturan yang
dibuat oleh penyelenggara negara tersebut. Sebaliknya dari sisi penyelenggara
negara juga wajib untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan warga negara
termasuk juga dalam membuat berbagai peraturan untuk menciptakan keamanan
dan ketertiban.

Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim

Mahkamah Agung telah mengadakan kajian dengan memperhatikan masukan dari


Hakim di berbagai tingkatan lingkungan peradilan, kalangan praktisi hukum,
akademisi hukum, serta pihak-pihak lain dalam masyarakat untuk menyusun Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini. Selain itu memperhatikan hasil perenungan
ulang atas pedoman yang pertama kalidicetuskan dalam Kongres IV Luar Biasa
IKAHI Tahun 1966 di Semarang, dalam bentuk Kode Etik Hakim Indonesia dan
disempurnakan kembali dalam Munas XIII IKAHI Tahun 2000 di Bandung.
Untuk selanjutnya ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung RI Tahun
2002 di Surabaya yang merumuskan 10 (sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku
Hakim yang didahului pula dengan kajian mendalam yang meliputi proses
perbandingan terhadap prinsip-prinsip Internasional, maupun peraturan-peraturan
serupa yang ditetapkan di berbagai negara, antara lain The Bangalore Principles of
Yudicial Conduct. Selanjutnya Mahkamah Agung menerbitkan pedoman perilaku
Hakim melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor :

KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006, tentang Pedoman Perilaku


Hakim dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor :
215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pedoman Perilaku Hakim.

Demikian pula Komisi Yudisial RI telah melakukan pengkajian yang mendalam


dengan memperhatikanmasukan dari berbagai pihak melalui kegiatan Konsultasi
Publik yang diselenggarakan di 8 (delapan) kota yang pesertanya terdiri dari unsur
hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, serta unsur-unsur masyarakat termasuk
lembaga swadaya masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dan memenuhi pasal 32A


jo pasal 81B Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka
disusunlah Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang merupakan pegangan
bagi para Hakim seluruh Indonesia serta Pedoman bagi Mahkamah Agung RI dan
Komisi Yudisial RI dalam melaksanakan fungsi Pengawasan internal maupun
eksternal.

Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan


dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut : (1) Berperilaku Adil, (2)
Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5)
Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri,
(8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional.
DAFTAR PUSTAKA

Arfawie, Nuktoh. Teori Negara Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2005), Cet. Ke-1.

Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia,


(Jakarta: Pusat Studi Hukum Negara-Fakultas Hukum- Penulisan, 2005), cet. Ke-
2.

Eddy dan Desi, Membangun Kepemerintahan yang Baik, (Jakarta:


Depkum Ham, Bahan Ajar diklatpim Tingkat III 2006). Ensiklopedi Hukum
Islam, "Maqasid al-Syari'ah", (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1976), Jilid. 3.

Wulansari, E. M. Pengaturan tentang Etika Penyelenggara Negara dalam


Rancangan Undang-Undang. Jurnal Rechtvinding.

Sumarno, S. (2020). Urgensi UU Etika Penyelenggara Negara. KAIS


Kajian Ilmu Sosial, 1(1), 17.

Anda mungkin juga menyukai