Semangat dan daya juang dari ketiga macan tadi tidak lepas dari faktor historis dan
kultural negaranya masing-masing yang sebagian besar mempunyai kemiripan. Hal ini
ditegaskan oleh Bob Widyahartono, Pengamat Ekonomi Bisnis Asia Timur dan Lektor
Kepala Fakultas Ekonomi, Universitas Tarumanegara. Penulis buku “Bisnis dan
Manusia Jepang”, “Belajar dari Jepang sebagai Negara Industri Maju Asia”, “Bangkitnya
Naga Besar Asia”, dan “Dari Guanxi sampai Shinyung”, sudi berbagi informasi kepada
Majalah Marketing. Berikut nukilannya:
Seberapa jauh pengaruh faktor kultural pada etos kerja ketiga negara tersebut?
Sebenarnya, ketiganya tidak jauh berbeda secara budaya. Mereka memiliki kemiripan
prinsip kemanusiaan. Termasuk juga etos kerja. Mereka terkenal bekerja rajin dan tak
kenal lelah. Hanya dalam kancah bisnis, Jepang lebih mengawali ketimbang China dan
Korea.
Pada era Jepang modern, kebijakan paling tinggi, antara lain kewajiban (duty),
kebajikan (wisdom), dan kepercayaan (trust). Jepang lebih banyak memberi bobot pada
ketaatan, kepercayaan, dan murah hati.
Bagaimana dengan Korea?
Korea mengikuti pada era tahun 1975-an. Nasionalisme mereka tinggi. Meski datang
belakangan, orang Korea tidak mau kalah dengan Jepang. Kalau bisa melebihi mereka.
Semangat etos kerja mereka disebut dengan hahn. Semangat ini mengungkapkan
suatu daya psikologi yang menggerakkan orang bersemangat memperoleh pendidikan,
kerja keras, tak kenal lelah, disiplin, adaptasi lingkungan, dan pengorbanan diri demi
peningkatan mutu kehidupan keluarga dan negara.
Meski ada pengaruh Barat, orang Korea tetap mempunyai respek pada yang lebih
memiliki wewenang, lebih tua, dan lebih terpelajar. Mereka bekerja keras, agresif, tapi
tak malas. Mereka juga menjaga etika, seperti jujur, menghargai waktu, mengutamakan
harmoni, dan menghargai nilai moral. Pengaruh Konfusianisme masih kuat.
Bagaimana praktiknya di perusahaan?
Secara keseluruhan, perusahaan memberi tekanan pada harmoni antarmanusia, rasa
menyatu, kerjasama, pengabdian, rajin kerja, orisinalitas, dan kreativitas. Termasuk
mengejar pembangunan pribadi. Selain itu, dalam ideologi dan sasaran bisnis,
kejujuran, kredibilitas, efisiensi, dan usaha meningkatkan mutu dan tanggung jawab
menjadi acuan setiap karyawan mulai dari yang paling top sampai yang terendah.
Orang Korea di mana mereka berada tetap saja mencerminkan tradisi dan pembawaan
Shamaisme—kepercayaan tradisional, Konfusianisme, dan Budhisme. Dari luar, orang
Korea tampak serius, gesit, dan individualistis dalam menunaikan tugas dan tanggung
jawab. Punya rasa patriotisme tinggi seperti orang Jepang. Meski mereka tidak mau
dianggap seperti orang Jepang.
Seperti ciri khas bangsa Timur, China menjalankan organisasi dengan jalan mencari
kompromi, akomodasi, dan konsensus. Mereka ingin mencari akhir harmoni pada “win-
win” sosial tanpa melupakan tujuan bisnis, yakni mencari laba. Oleh karena itu, guanxi
—jaringan kerja dan shinyung.
Bagaimana dengan nasionalisme?
Ketiganya mempunyai nasionalisme tinggi. Efisiensi biaya dari Jepang cukup hebat.
China lebih menyebut inovasi biaya (cost inovation) tapi dengan menggunakan
teknologi canggih dan tidak mengesampingkan mutu. Hasilnya, produk-produk China
lebih dikenal murah ketimbang Jepang dan Korea.
Apakah ada perbedaan pada produk?
Jepang lebih menerapkan efiesiensi. Semangat kaizen dan total quality-nya pantas
diacungi jempol. Prinsip kaizen lebih fokus pada pelanggan, pengembangan produk,
dan inovasi. Korea dan China juga melakukan hal sama meskipun namanya berbeda.
Selain itu, tenaga kerja di China lebih murah. Jepang sekarang sudah masuk high end.
Sedangkan Korea dan China lebih tingkat menengah. Malah, produk China lebih di
bawahnya lagi. Misalnya, kalau Jepang harganya 80, Korea 70, China 60.
Ada perbedaan cara lobi bisnis?
Dalam cara melobi, Jepang lebih sabar. Korea tampaknya lebih tergesa-gesa. China
lebih hati-hati dan melihat-lihat dulu. Orang Jepang sangat just-in-time—bukan melulu
tepat waktu saja. Tidak kurang. Tidak lebih. Dalam praktik, paling tidak sabar adalah
orang Korea.
Ada perbedaan dalam berkompetisi?
Jepang lebih percaya diri. Korea tampak tergesa-gesa, dan China lebih hati-hati. Pabrik
di China selalu berprinsip tidak boleh rugi. Mereka lebih mass production dengan cost
inovation. Jiwa dagang China sudah tertanam lama. Termasuk ketika mereka membuka
Jalur Sutera—Silk Road.