Anda di halaman 1dari 5

Bangkitnya “trio macan”—Jepang, Korea, dan China di bidang bisnis dari Asia Timur

memang cukup memukau. Produk-produk dari ketiga negara menyebar melintasi


benua. Tak hanya itu, kantor-kantor perwakilan mereka bercokol di berbagai negara—
termasuk di kota-kota di Tanah Air, bersaing sengit dengan merek-merek andalan
Eropa dan Amerika. Jepang, Korea, dan China boleh dibilang sebagai ikon bangkitnya
kekuatan Asia Timur.

Semangat dan daya juang dari ketiga macan tadi tidak lepas dari faktor historis dan
kultural negaranya masing-masing yang sebagian besar mempunyai kemiripan. Hal ini
ditegaskan oleh Bob Widyahartono, Pengamat Ekonomi Bisnis Asia Timur dan Lektor
Kepala Fakultas Ekonomi, Universitas Tarumanegara. Penulis buku “Bisnis dan
Manusia Jepang”, “Belajar dari Jepang sebagai Negara Industri Maju Asia”, “Bangkitnya
Naga Besar Asia”, dan “Dari Guanxi sampai Shinyung”, sudi berbagi informasi kepada
Majalah Marketing. Berikut nukilannya:

Seberapa jauh pengaruh faktor kultural pada etos kerja ketiga negara tersebut?
Sebenarnya, ketiganya tidak jauh berbeda secara budaya. Mereka memiliki kemiripan
prinsip kemanusiaan. Termasuk juga etos kerja. Mereka terkenal bekerja rajin dan tak
kenal lelah. Hanya dalam kancah bisnis, Jepang lebih mengawali ketimbang China dan
Korea.

Apa yang mendorong Jepang begitu antusias?


Secara kultural, Jepang memang mempunyai kedisiplinan dan kerja keras. Tapi, faktor
historis memicu lagi semangat ini. Jepang mempunyai semangat besar setelah kalah
dan porak-poranda akibat Perang Dunia II. Penderitaan yang bukan kepalang ini
melahirkan semangat luar biasa bagi mereka untuk bangkit. Mereka bertekad tidak mau
dipermalukan lagi. Pada tahun 1970-an, perusahaan-perusahaan Jepang mulai keluar
dan merambah dunia. Jepang mulai bangkit secara ekonomi.

Bagaimana mereka bisa menciptakan produk-produk dari industri yang sudah


hancur-hancuran?
Ada lima prinsip yang mereka laksanakan yang dikenal dengan “5I”, yakni
imitasi, improvement, inovasi, improvement kembali, dan invention—penemuan. Dari
sini, Jepang mulai keluar dari sarangnya. Kesabaran menjadi bekal dan kebajikan.
Mereka mulai menanamkan nilai-nilai itu semenjak pendidikan dasar. Mereka diajari
mandiri dalam tim.
Spirit kultural seperti apakah?
Masyarakat Jepang memiliki jiwa atau semangat makoto—bersungguh-sungguh
dengan menjunjung tinggi kemurnian batin dan motivasi. Mereka menolak tujuan karya
untuk kepentingan diri sendiri. Ada yang menyebut orang Jepang bermentalkan
Samurai atau teguh hati mencapai tujuan dan pantang menyerah. Ada lagi pengaruh
Suzuki Shosan (1579–1655)—biarawan Zen di mana Zen Budhisme punya dampak
bagi orang Jepang sampai sekarang. Ia memandang pekerjaan duniawi sebagai laku
tapa. Pada era Tokugawa, terungkap unsur humanisme dalam etos kerja sampai
sekarang. Sementara itu, kapitalisme Jepang berbeda dengan kapitalisme Barat yang
mengacu pada etika Protestantisme Weber.
Ada juga peletak dasar pembangunan masyarakat bisnis dalam era Meiji, yakni
Shibusawa Eiichi. Ia punya peran utama dalam perubahan perekonomian Jepang. Ia
mengajarkan disiplin ketat, kerja keras, ketekunan, hemat, dan menganggap kemalasan
serta pemborosan itu dosa. Eiichi mengingatkan orang yang mau berbisnis dengan
empat hal, yakni apakah bisnis mereka secara moral dapat dipertanggungjawabkan,
apakah selaras dengan tuntutan masyarakat saat itu, apakah mendapat dukungan dari
rekan kerja, dan apakah sesuai dengan bakat dan cara bagaimana mereka harus
hidup.

Pada era Jepang modern, kebijakan paling tinggi, antara lain kewajiban (duty),
kebajikan (wisdom), dan kepercayaan (trust). Jepang lebih banyak memberi bobot pada
ketaatan, kepercayaan, dan murah hati.
Bagaimana dengan Korea?
Korea mengikuti pada era tahun 1975-an. Nasionalisme mereka tinggi. Meski datang
belakangan, orang Korea tidak mau kalah dengan Jepang. Kalau bisa melebihi mereka.
Semangat etos kerja mereka disebut dengan hahn. Semangat ini mengungkapkan
suatu daya psikologi yang menggerakkan orang bersemangat memperoleh pendidikan,
kerja keras, tak kenal lelah, disiplin, adaptasi lingkungan, dan pengorbanan diri demi
peningkatan mutu kehidupan keluarga dan negara.
Meski ada pengaruh Barat, orang Korea tetap mempunyai respek pada yang lebih
memiliki wewenang, lebih tua, dan lebih terpelajar. Mereka bekerja keras, agresif, tapi
tak malas. Mereka juga menjaga etika, seperti jujur, menghargai waktu, mengutamakan
harmoni, dan menghargai nilai moral. Pengaruh Konfusianisme masih kuat.
Bagaimana praktiknya di perusahaan?
Secara keseluruhan, perusahaan memberi tekanan pada harmoni antarmanusia, rasa
menyatu, kerjasama, pengabdian, rajin kerja, orisinalitas, dan kreativitas. Termasuk 
mengejar pembangunan pribadi. Selain itu, dalam ideologi dan sasaran bisnis,
kejujuran, kredibilitas, efisiensi, dan usaha meningkatkan mutu dan tanggung jawab
menjadi acuan setiap karyawan mulai dari yang paling top sampai yang terendah.

Orang Korea di mana mereka berada tetap saja mencerminkan tradisi dan pembawaan
Shamaisme—kepercayaan tradisional, Konfusianisme, dan Budhisme. Dari luar, orang
Korea tampak serius, gesit, dan individualistis dalam menunaikan tugas dan tanggung
jawab. Punya rasa patriotisme tinggi seperti orang Jepang. Meski mereka tidak mau
dianggap seperti orang Jepang.

Adakah yang membedakan dengan Jepang?


Orang Korea terkesan agak tergesa-gesa dibanding orang Jepang. Agak berbeda
dengan gaya berbisnis Jepang, seringkali antarkaryawan Korea Selatan terdengar
ungkapan koenchanayo yang berarti alright, that is good enough, sekalipun belum
sesuai dengan hasil yang diharapkan. Secara positif, maksudnya untuk toleransi. Kalau
pelaku bisnis Jepang mengejar zero defect dan menerapkan kaizen atau continuous
improvement, pihak Korsel lebih toleran pada adanya defect untuk mereka usahakan
perbaikannya.
Orang Korea dalam bisnis lebih tampak individualistis. Ini disebabkan oleh pergolakan
dan tekanan yang dialami setiap individu dalam lingkungan masyarakat. Di sana, ada
yang disebut job-hopping—pindah pindah kerja, apalagi yang terhitung skilled—
terampil, dapat diterima oleh masyarakat di mana ia bermukim.
Sepertinya disiplin orang Korea sangat menonjol. Kenapa?
Karena setiap pria Korea, menurut undang-undang, harus ikut wajib militer selama tiga
tahun usai lulus sekolah lanjutan atas. Tamat dari wajib militer, mereka dibekali
pengetahuan dan keterampilan agar bisa kembali ke masyarakat sipil. Sementara, gaya
manajemen masih top down. Dengan bekal ini, kecepatan kerja, efisiensi, dan biaya
tenaga kerja bisa bersaing dengan Jepang. Tapi, orang Korea tidak mau terpengaruh
dengan tren. Mereka tampil sederhana.
Bagaimana dengan pengaruh faktor kultural pada etos bisnis China?
Budaya kerja China menampilkan etos kerja penuh semangat dan tidak cepat lelah—
tireless workers. Kemauan kerja tidak karena jam kantor. China yang diproklamasikan
tahun 1911 oleh Sun Yat-sen. China terus berperang. Termasuk ketika Partai Komunis
muncul. Banyak ketegangan internal pada tahun 1949. China banyak menutup diri
sampai tahun 1958. Mao Zedong terlalu concern ke dalam. Sedikit ada perubahan,
mereka disingkirkan. Ekonominya belum bangun. Semua dikuasai negara dan belum
ada marketing. Usai Mao meninggal, terjadi perpecahan antara pengikut Mao dan Deng
Xiao Ping. Pada tahun 1978, Deng berhasil meminggirkan pengikut Mao. Baru setelah
1978, China mulai merangkak dari sarangnya. Budayanya sama, yakni kerja keras,
tanggung jawab pada orangtua dan keluarga, serta menghargai lingkungan.
Sejak tahun 1980-an, muncul reformasi dan kebijakan terbuka—gaige kaifang dengan
dasar shinyung—saling percaya. China mengejar ketertinggalan dengan semangat
kerja dan dalam banyak situasi, mereka bekerja secara berkelompok. Mirip dengan
Jepang dan Korea, mereka bekerja untuk kepentingan individual, tapi juga untuk
kesejahteraan keluarga dan harmoni dengan lingkungan sekitar.
Dasar budayanya adalah Konfusianisme di China, Shintoisme di Jepang,
Konfusianisme di Korea dicampur dengan budaya-budaya Korea yang lebih kuno. Ada
pengaruh juga agama Kristen.

Seperti ciri khas bangsa Timur, China menjalankan organisasi dengan jalan mencari
kompromi, akomodasi, dan konsensus. Mereka ingin mencari akhir harmoni pada “win-
win” sosial tanpa melupakan tujuan bisnis, yakni mencari laba. Oleh karena itu, guanxi
—jaringan kerja dan shinyung.
Bagaimana dengan nasionalisme?
Ketiganya mempunyai nasionalisme tinggi. Efisiensi biaya dari Jepang cukup hebat.
China lebih menyebut inovasi biaya (cost inovation) tapi dengan menggunakan
teknologi canggih dan tidak mengesampingkan mutu.  Hasilnya, produk-produk China
lebih dikenal murah ketimbang Jepang dan Korea.
Apakah ada perbedaan pada produk?
Jepang lebih menerapkan efiesiensi. Semangat kaizen dan total quality-nya pantas
diacungi jempol. Prinsip kaizen lebih fokus pada pelanggan, pengembangan produk,
dan inovasi. Korea dan China juga melakukan hal sama meskipun namanya berbeda.
Selain itu, tenaga kerja di China lebih murah. Jepang sekarang sudah masuk high end.
Sedangkan Korea dan China lebih tingkat menengah. Malah, produk China lebih di
bawahnya lagi. Misalnya, kalau Jepang harganya 80, Korea 70, China 60.
Ada perbedaan cara lobi bisnis?
Dalam cara melobi, Jepang lebih sabar. Korea tampaknya lebih tergesa-gesa. China
lebih hati-hati dan melihat-lihat dulu. Orang Jepang sangat just-in-time—bukan melulu
tepat waktu saja. Tidak kurang. Tidak lebih. Dalam praktik, paling tidak sabar adalah
orang Korea.
Ada perbedaan dalam berkompetisi?
Jepang lebih percaya diri. Korea tampak tergesa-gesa, dan China lebih hati-hati. Pabrik
di China selalu berprinsip tidak boleh rugi. Mereka lebih mass production dengan cost
inovation. Jiwa dagang China sudah tertanam lama. Termasuk ketika mereka membuka
Jalur Sutera—Silk Road.

Anda mungkin juga menyukai